You are on page 1of 250

MODEL PENGEMBANGAN MINAPOLITAN BERBASIS

BUDIDAYA LAUT DI KABUPATEN KUPANG

CHATERINA AGUSTA PAULUS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengembangan


Minapolitan Berbasis Budidaya Laut di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara
Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.

Bogor, Juni 2012

Chaterina Agusta Paulus


NIM. P062090111
ABSTRACT

CHATERINA AGUSTA PAULUS. Development of Marine Culture-Based


Minapolitan Model in Kupang Regency. Under direction of D.
DJOKOSETIYANTO, SURJONO H. SUTJAHJO, and BAMBANG PRAMUDYA N.

This research was conducted in Kupang regency, East Nusa Tenggara.


The main purpose of this study was to develop a minapolitan model of regional
development in the Kupang regency - Nusa Tenggara in order to improve the
living standards of social and economic life of society. To achieve the main
objective, then there are some activities that need to be done as a special
purpose, among others: 1) Analyze the potential, level of development, and
sustainability for the development of minapolitan in Kupang regency, and 2) Build
a sustainable development model of minapolitan area in Kupang regency. The
study was conducted in March 2011 to August 2011 is located in Semau sub-
regency, West Kupang sub-regency and Sulamu sub-regency. Data analysis
include: (1) Identification of potential areas comprising: spatial analysis (GIS)
with Arc GIS Version 9, the land suitability analysis, carrying capacity analysis,
financial analysis; (2) Valuing the level of development consisting of the typology
analysis, principal component analysis (PCA), cluster analysis, scalogram
analysis, centrality analysis, methods comparison of exponential (MPE), analysis
hierarchy process (AHP) with criterium decision plus (CDP), structural
interpretative modeling analysis (ISM); (3) Sustainability status of the region by
using analysis of multidimensional scaling (MDS) called Rap-MINAKU, monte
carlo analysis and prospective analysis; and (4) Building a development of
marine culture-based minapolitan model with analysis of dynamic systems with
powersim constructor version 2.5d. The results suggest that seaweed farming
has a profitable business opportunities in the development of minapolitan in
Kupang regency that is currently in the category of the strata pre-minapolitan II
region seen from the completeness of the facilities owned by each village, there
are six villages with a more advanced stage of development, 7 villages with the
average development level, and 11 villages with a level of development lags. In a
multidimensional in Kupang regency, aquaculture region sustained quite
sensitive to 18 attributes that affect the increase sustainable index. The analysis
showed each component of the dynamic system show a tendency to form a
positive growth curve (positive growth) following an exponential curve. Policy
direction in the development of marine culture in Kupang regency is the
development of seaweed farming. Strategy should be to establish a production
center and its hinterland with complete facilities and infrastructure needed, move
the commodity diversification of seaweed processing in domestic industry,
increase production of seaweed in minapolitan area through extension to the
maximum limit, increasing the capacity of farmers, increase coordination and
good partnerships in all relevant stakeholders, and improve the status of
sustainability for the development of minapolitan in Kupang regency in the short
term, medium term and long-term.

Keywords : minapolitan, Kupang regency, mariculture


RINGKASAN

CHATERINA AGUSTA PAULUS. Model Pengembangan Minapolitan Berbasis


Budidaya Laut di Kabupaten Kupang. Dibimbing oleh D. DJOKOSETIYANTO,
SURJONO H. SUTJAHJO, dan BAMBANG PRAMUDYA N.

Kebijakan pembangunan sektor perikanan saat ini, menjanjikan masa


kejayaan dengan mengusung visi ”Indonesia penghasil produk kelautan dan
perikanan terbesar dunia pada tahun 2015,” dan misi ”mensejahterakan
masyarakat kelautan dan perikanan”. Program pengembangan kawasan
minapolitan adalah pembangunan ekonomi berbasis perikanan di kawasan
agribisnis, yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan
berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha
agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan
terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh
pemerintah.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyusun suatu model
pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang - Nusa Tenggara
Timur dalam rangka meningkatkan taraf hidup kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka ada beberapa
kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus, antara lain : (1)
menganalisis potensi, tingkat perkembangan, dan keberlanjutan Kabupaten
Kupang untuk pengembangan kawasan minapolitan, dan (2) membangun model
pengembangan kawasan minapolitan secara berkelanjutan di Kabupaten
Kupang.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan
Agustus 2011 berlokasi di Kecamatan Semau, Kecamatan Kupang Barat dan
Kecamatan Sulamu. Analisis data meliputi : (1) identifikasi potensi wilayah terdiri
atas : analisis spasial (SIG) dengan arc GIS version 9, analisis kesesuaian lahan,
analisis daya dukung, analisis finansial; (2) tingkat perkembangan wilayah yang
terdiri atas : analisis tipologi wilayah, principal component analysis (PCA) analisis
cluster, analisis skalogram, analisis sentralitas, metode perbandingan
eksponensial (MPE), analisis hierarki proses (AHP) dengan criterium decision
plus (CDP), analisis interpretative structural modeling (ISM); (3) status
keberlanjutan kawasan dengan menggunakan analisis multidimensional scaling
(MDS) yang disebut Rap-MINAKU, analisis monte carlo dan analisis prospektif;
dan (4) membangun model pengembangan minapolitan berbasis budidaya laut
dengan analisis sistem dinamik dengan powersim constractor version 2.5d.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya rumput laut memiliki
peluang usaha yang menguntungkan dalam pengembangan minapolitan di
Kabupaten Kupang yang saat ini berada pada kategori wilayah strata pra
kawasan minapolitan II dilihat dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki setiap desa,
terdapat 6 desa dengan tingkat perkembangan lebih maju, 7 desa dengan tingkat
perkembangan sedang, dan 11 desa dengan tingkat perkembangan tertinggal.
Secara multidimensi wilayah budidaya laut di Kabupaten Kupang cukup
berkelanjutan dengan 18 atribut yang sensitif berpengaruh dalam meningkatkan
indeks keberlanjutan. Atribut-atribut tersebut terbagi atas 3 atribut pada dimensi
ekologi, 5 atribut pada dimensi ekonomi, 3 atribut pada dimensi sosial dan
budaya, 4 atribut pada dimensi infrastruktur dan teknologi, dan 3 atribut pada
dimensi hukum dan kelembagaan.
Hasil analisis sistem dinamik menunjukkan setiap komponen
menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive
growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Untuk meningkatkan perubahan
kinerja model maka skenario yang perlu dilakukan adalah skenario optimis
dengan melakukan intervensi yang lebih besar terhadap variabel kunci yang
berpengaruh dalam model. Arahan kebijakan dalam pengembangan budidaya
laut di Kabupaten Kupang adalah pengembangan budidaya rumput laut. Strategi
yang perlu dilakukan adalah membentuk sentra produksi dan hinterland dengan
melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan, menggerakkan diversifikasi
komoditas rumput laut dalam industri olahan rumah tangga, meningkatkan
produksi rumput laut di kawasan minapolitan melalui ekstensifikasi sampai pada
batas maksimal, meningkatkan kapasitas pembudidaya, meningkatkan
koordinasi dan menjalin kemitraan yang baik pada semua stakeholder yang
terkait, dan meningkatkan status keberlanjutan Kabupaten Kupang untuk
pengembangan kawasan minapolitan ke depan baik jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang

Kata kunci : minapolitan, Kabupaten Kupang, budidaya laut


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencatumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
MODEL PENGEMBANGAN MINAPOLITAN BERBASIS
BUDIDAYA LAUT DI KABUPATEN KUPANG

CHATERINA AGUSTA PAULUS

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc
2. Dr. Ir. Etty Riany, M.Si

Penguji pada Ujian Terbuka :


1. Drs. Ayub Titu Eki, MS, Phd
2. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA
Judul Disertasi : Model Pengembangan Minapolitan Berbasis
Budidaya Laut di Kabupaten Kupang

Nama Mahasiswa : Chaterina Agusta Paulus

NIM : P062090111

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. D. Djokosetiyanto, DEA


Ketua

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng
Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian : 07 Juni 2012 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan anugerah yang diberikan penulis dapat menyelesaikan disertasi ini
dengan baik. Adapun judul disertasi yang diambil sebagai penelitian untuk
memperoleh gelar doktor ini adalah : “Model Pengembangan Minapolitan
Berbasis Budidaya Laut di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur”. Terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. D. Djoko Setiyanto, DEA, Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo,
MS. dan Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng selaku Komisi
Pembimbing, atas segala bimbingan dan arahan selama penulis melakukan
penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
2. Bupati Kupang, Drs. Ayub Titu Eki, MS, PhD atas dukungannya selama
melaksanakan penelitian di Kabupaten Kupang; Rektor Universitas Nusa
Cendana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, MAppSc, PhD dan Dekan Fakultas
Pertanian, Ir. Marthen R. Pellokila, MP, PhD yang telah memberikan ijin
belajar untuk melanjutkan studi program doktor di IPB.
3. Ayahanda George Mc. Paulus, MAppSc dan Ibunda Dra. Hanifa Z. Joesoef,
M.Si yang tiada lelah menuntun dan memberikan petuah dalam menempuh
pendidikan dan kehidupan selama ini, serta atas kasih sayang dan kesabaran
yang tiada tara; adik-adik penulis Harry Y.P., SH, John B.M.P, dan George
Y.P. yang menjadi pengobar semangat; dan segenap keluarga besar Paulus
dan Joesoef yang berada di Kupang – Jakarta atas doa dan dukungannya.
4. Para narasumber : Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD, Prof. Frederik L. Benu,
PhD, Thomas R. Sonbait, SH, MH, Ir. Hanna Sitanala, M.Si, Drs. Bernando M.
Gamboa, Adriel S. Abineno, SH, Agus Purwanto, S.Sos, Mester Eryon Bessie,
Novita D.E F., MT dan seluruh nelayan/pembudidaya di lokasi penelitian.
5. Kantor BALITBANGDA Provinsi NTT yang telah menerima dan akan memuat
jurnal hasil penelitian ini.
6. Program COREMAP II yang telah membantu penulisan karya ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih perlu mendapat
masukan konstruktif untuk kesempurnaannya. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Bogor, Juni 2012

Chaterina Agusta Paulus


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kupang pada tanggal 19 Agustus 1984 sebagai anak


pertama dari pasangan George Michael Paulus, MAppSc dan Dra. Hanifa
Zoebaidah Joesoef, M.Si. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu
dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor di Bogor, lulus tahun 2006.
Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan Magister (S2) di Program Studi
Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan
menyelesaikannya pada tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan
pendidikan Doktor (S3) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 2010 penulis diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
(CPNS) di Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana (Undana) dan
ditempatkan di Program Studi Perikanan dan Ilmu Kelautan. Saat ini penulis
mendapat ijin belajar dari Rektor Undana dalam rangka menyelesaikan penelitian
dan penulisan disertasi pada program Doktor (S3).
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xix

1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
1.3 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 5
1.4 Perumusan Masalah ....................................................................... 8
1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................... 10
1.6 Kebaruan (Novelty)......................................................................... 11
1.7 Penelitian Terdahulu ....................................................................... 11

2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 13


2.1 Pengelolaan Pesisir dan Lautan Terpadu ..................................... 13
2.2 Strategi Pengembangan Wilayah .................................................. 15
2.3 Budidaya Laut ............................................................................... 20
2.4 Sistem Informasi Geografis ........................................................... 37
2.5 Kesesuaian dan Daya Dukung ...................................................... 39
2.6 Pendekatan Sistem ....................................................................... 41

3 METODE PENELITIAN ......................................................................... 47


3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .......................................................... 47
3.2 Tahapan Penelitian ........................................................................ 48
3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ........................................... 48
3.4 Metode Pemilihan Responden ....................................................... 50
3.5 Analisis Data .................................................................................. 50

4 KONDISI UMUM WILAYAH .................................................................. 53


4.1 Keadaan Geografis Kabupaten Kupang ......................................... 53
4.2 Keadaan Iklim Kabupaten Kupang ................................................. 53
4.3 Pemerintahan dan Kependudukan Kabupaten Kupang.................. 54
4.4 Keadaan Sosial Kabupaten Kupang .............................................. 55
4.5 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Kupang ........... 57
4.6 Sarana dan Prasarana Kabupaten Kupang .................................... 62
4.7 Keuangan dan Harga Kabupaten Kupang ...................................... 63

5 IDENTIFIKASI POTENSI WILAYAH KABUPATEN KUPANG ............. 65


5.1 Pendahuluan.................................................................................. 65
5.2 Metode Analisis Identifikasi Potensi Kabupaten Kupang ................ 66
5.3 Hasil dan Pembahasan Analisis Potensi Kabupaten Kupang ......... 75
5.4 Kesimpulan .................................................................................... 101

6 TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KUPANG ....... 103


6.1 Pendahuluan.................................................................................. 103
6.2 Metode Analisis Tingkat Perkembangan Kabupaten Kupang ......... 104
6.3 Hasil dan Pembahasan Analisis Tingkat Perkembangan
Kabupaten Kupang ........................................................................ 112
6.3.1 Tipologi Wilayah Kabupaten Kupang ................................. 112
6.3.2 Perkembangan Wilayah Kabupaten Kupang Berdasarkan
Fasilitas dan Kelengkapan Fasilitas ................................... 118
6.3.3 Persepsi Masyarakat dan Alternatif Pengambilan Keputusan
untuk Pengembangan Kawasan Minapolitan ..................... 122
6.3.4 Kendala, Kebutuhan, dan Lembaga yang Terlibat ............. 139
6.4 Kesimpulan .................................................................................... 149

7 STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH KABUPATEN KUPANG ........ 151


7.1 Pendahuluan.................................................................................. 151
7.2 Metode Analisis Status Keberlanjutan Kabupaten Kupang............. 153
7.3 Hasil dan Pembahasan Analisis Status Keberlanjutan Wilayah
Kabupaten Kupang ...................................................................... 157
7.4 Kesimpulan .................................................................................... 173

8 MODEL PENGEMBANGAN MINAPOLITAN KABUPATEN KUPANG. 175


8.1 Pendahuluan.................................................................................. 175
8.2 Metode Analisis Model Pengembangan Kawasan Minapolitan di
Kabupaten Kupang ...................................................................... 177
8.3 Hasil dan Pembahasan Analisis Model Dinamik Pengembangan
Kawasan Minapolitan di Wilayah Kabupaten Kupang................... 181

8.3.1 Simulasi Model Pengembangan Kawasan Minapolitan ...... 181


8.3.2 Skenario Model Pengembangan Kawasan Minapolitan ..... 200

xii
8.3.3 Uji Validasi Model .............................................................. 210
8.3.4 Uji Kestabilan dan Sensitivitas Model ................................ 212
8.4 Kesimpulan .................................................................................... 213

9 PEMBAHASAN UMUM ......................................................................... 215

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN .............................................................. 223


10.1 Kebijakan Umum.......................................................................... 223
10.2 Kebijakan Operasional ................................................................. 226

11 KESIMPULAN ...................................................................................... 229

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 233

LAMPIRAN ................................................................................................ 241

xiii
xiv
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Keterkaitan antara sub elemen pada teknik ISM.................................. 43
2 Jenis dan metode pengumpulan data .................................................. 49
3 Tahapan dan metode analisis model pengembangan minapolitan....... 51
4 Rata-rata curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Kupang ............... 54
5 Jumlah ibukota kecamatan dan banyak desa/kelurahan...................... 55
6 Hasil evaluasi kesesuaian lahan budidaya rumput laut ........................ 75
7 Hasil evaluasi kesesuaian lahan budidaya KJA ................................... 76
8 Hasil evaluasi kesesuaian lahan budidaya tiram mutiara ..................... 77
9 Hasil evaluasi kesesuaian lahan budidaya teripang ............................. 77
10 Hasil analisis daya dukung lahan budidaya rumput laut....................... 78
11 Hasil analisis daya dukung lahan budidaya KJA .................................. 79
12 Hasil analisis daya dukung lahan budidaya tiram mutiara .................... 79
13 Hasil analisis daya dukung lahan budidaya teripang............................ 80
14 Perkiraan biaya investasi usaha budidaya ikan kerapu........................ 94
15 Analisis rugi laba usaha budidaya ikan kerapu .................................... 94
16 Kriteria kelayakan usaha budidaya ikan kerapu ................................... 94
17 Kriteria kelayakan usaha budidaya rumput laut ................................... 96
18 Asumsi dasar usaha budidaya tiram mutiara ....................................... 97
19 Kebutuhan investasi usaha budidaya tiram mutiara ............................. 98
20 Biaya operasional usaha budidaya tiram mutiara ................................ 98
21 Kriteria kelayakan usaha budidaya tiram mutiara ................................ 99
22 Kriteria kelayakan usaha budidaya teripang ........................................ 101
23 Skala penilaian perbandingan berpasangan ........................................ 107
24 Keragaman variabel yang menggambarkan perkembangan wilayah ... 113
25 Tipologi wilayah desa berdasarkan kemiripan karakteristik.................. 116
26 Hirarki wilayah desa berdasarkan kelengkapan fasilitas ...................... 119
27 Tingkat perkembangan desa berdasarkan analisis sentralitas ............. 121
28 Prioritas lokasi industri pengolahan hasil budidaya laut ....................... 136
29 Prakiraan lokasi pasar hasil budidaya laut ........................................... 137
30 Kategori status keberlanjutan berdasarkan nilai indeks ....................... 154
31 Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan minapolitan ...... 155
32 Pengaruh antar faktor dalam pengembangan minapolitan ................... 156

xv
33 Perbedaan indeks keberlanjutan monte carlo dan Rap-MINAKU ......... 169
34 Nilai stres dan koefisien determinasi hasil analisis Rap-MINAKU ........ 170
35 Faktor-faktor kunci dalam pengembangan minapolitan........................ 171
36 Analisis kebutuhan aktor dalam pengembangan minapolitan .............. 178
37 Simulasi perkembangan pemanfaatan lahan minapolitan di
Kecamatan Semau .............................................................................. 185
38 Simulasi perkembangan pemanfaatan lahan minapolitan di
Kecamatan Kupang Barat .................................................................... 186
39 Simulasi perkembangan pemanfaatan lahan minapolitan di
Kecamatan Sulamu ............................................................................. 187
40 Simulasi lahan budidaya rumput laut di Kecamatan Semau ................ 193
41 Simulasi lahan budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat ...... 194
42 Simulasi lahan budidaya rumput laut di Kecamatan Sulamu................ 195
43 Simulasi pengembangan industri rumput laut di Semau ...................... 197
44 Simulasi pengembangan industri rumput laut di Kupang Barat ............ 198
45 Simulasi pengembangan industri rumput laut di Sulamu ..................... 199
46 Simulasi sumbangan PDRB di kawasan minapolitan Semau............... 208
47 Simulasi sumbangan PDRB di kawasan minapolitan Kupang Barat .... 209
48 Simulasi sumbangan PDRB di kawasan minapolitan Sulamu .............. 209
49 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi ................... 211
50 Hasil perhitungan nilai AME-AVE dalam uji validasi kinerja model....... 212

xvi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Kerangka pemikiran penelitian ............................................................ 8
2 Skema perumusan masalah ................................................................ 10
3 Lokasi penelitian.................................................................................. 47
4 Tahapan perencanaan pengembangan minapolitan ............................ 48
5 Tahapan dan metode analisis data dalam penelitian ........................... 52
6 Peta kesesuaian budidaya rumput laut di Kecamatan Semau ............. 81
7 Peta kesesuaian budidaya rumput laut di Kecamatan Sulamu ............ 82
8 Peta kesesuaian budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat ... 83
9 Peta kesesuaian budidaya KJA di Kecamatan Semau ........................ 84
10 Peta kesesuaian budidaya KJA di Kecamatan Sulamu........................ 85
11 Peta kesesuaian budidaya KJA di Kecamatan Kupang Barat .............. 86
12 Peta kesesuaian budidaya mutiara di Kecamatan Semau ................... 87
13 Peta kesesuaian budidaya mutiara di Kecamatan Sulamu .................. 88
14 Peta kesesuaian budidaya mutiara di Kecamatan Kupang Barat ......... 89
15 Peta kesesuaian budidaya teripang di Kecamatan Semau .................. 90
16 Peta kesesuaian budidaya teripang di Kecamatan Sulamu ................. 91
17 Peta kesesuaian budidaya teripang di Kecamatan Kupang Barat ........ 92
18 Matrik driver power- dependence ........................................................ 111
19 Dendogram koefisien korelasi variabel penciri tipologi......................... 115
20 Tingkat pendidikan responden ............................................................. 122
21 Minapolitan dapat menciptakan lapangan kerja ................................... 123
22 Minapolitan dapat memberikan keuntungan ekonomi .......................... 123
23 Kondisi jalan kecamatan di Kabupaten Kupang ................................... 124
24 Pemberdayaan masyarakat dalam minapolitan di Kabupaten Kupang 124
25 Struktur hirarki pengembangan kawasan minapolitan.......................... 126
26 Manajemen pengembangan minapolitan berbasis budidaya laut ......... 127
27 Kontribusi setiap tujuan dalam pengembangan minapolitan ................ 128
28 Kontribusi setiap faktor dalam pengembangan minapolitan ................. 130
29 Kontribusi setiap aktor dalam pengembangan minapolitan .................. 133
3 0 Matrik driver power-dependence sub elemen kendala ......................... 140
31 Struktur hirarki sub elemen kendala .................................................... 142
32 Matrik driver power-dependence Sub Elemen Kebutuhan ................... 143

xvii
33 Struktur hirarki sub elemen kebutuhan ................................................ 145
34 Matrik driver power- dependence sub elemen lembaga....................... 147
35 Struktur hirarki sub elemen lembaga ................................................... 148
36 Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan dalam skala ordinasi ............ 154
37 Penentuan elemen kunci pengembangan kawasan minapolitan .......... 156
38 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan .................... 158
39 Peran masing-masing atribut aspek ekologi dalam bentuk rms ........... 159
40 Peran masing-masing atribut aspek ekonomi dalam bentuk rms ......... 161
41 Peran masing-masing atribut aspek sosial dan budaya dalam
bentuk rms .......................................................................................... 163
42 Peran masing-masing atribut aspek infrastruktur dan teknologi
dalam bentuk rms ................................................................................ 165
43 Peran masing-masing atribut aspek hukum dan kelembagaan
dalam bentuk rms ................................................................................ 167
44 Indeks keberlanjutan multidimensi wilayah Kabupaten Kupang ........... 169
45 Hasil analisis tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh ...... 173
46 Diagram lingkar sebab akibat pengembangan minapolitan .................. 179
47 Diagram kotak gelap (black box) pengembangan minapolitan ............. 179
48 Struktur model dinamik pengembangan minapolitan ........................... 183
49 Struktur model dinamik untuk sub model pengembangan lahan .......... 184
50 Simulasi jumlah pertumbuhan penduduk Kabupaten Kupang .............. 190
51 Struktur model dinamik untuk sub model budidaya laut ....................... 191
52 Struktur model dinamik untuk sub model pengembangan industri ....... 196
53 Simulasi skenario perubahan lahan budidaya laut ............................... 202
54 Simulasi skenario produksi rumput laut ............................................... 204
55 Simulasi skenario keuntungan usaha budidaya rumput laut ................ 206
56 Simulasi skenario sumbangan PDRB Kabupaten Kupang ................... 207

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Konstruksi alat budidaya laut ............................................................... 243
2 Kriteria dan matriks kesesuaian perairan ............................................. 246
3 Luas wilayah Kabupaten Kupang per kecamatan ................................ 250
4 Pulau-pulau di Kabupaten Kupang ...................................................... 251
5 Sebaran desa/kelurahan pesisir di Kabupaten Kupang ....................... 253
6 Karakteristik pantai dan laut dan ekosistem pendukungnya................. 254
7 Sebaran potensi perikanan tangkap (ikan dan non-ikan) ..................... 255
8 Sebaran areal potensial pengembangan budidaya laut ....................... 256
9 Sebaran potensi dan produksi budidaya air tawar dan payau .............. 257
10 Sarana dan prasarana budidaya laut ................................................... 258
11 Sarana dan prasarana penunjang pembangunan perikanan .............. 259
12 Jumlah RTP, nelayan dan pembudidaya ikan ...................................... 260
13 Sebaran nelayan di Kabupaten Kupang .............................................. 261
14 Sebaran pembudidaya ikan di Kabupaten Kupang .............................. 262
15 Hasil analisis kelayakan usaha budidaya laut ...................................... 263
16 Nilai strata kawasan minapolitan pada tipologi wilayah........................ 270
17 Hasil analisis komponen utama ........................................................... 271
18 Karakteristik desa di kecamatan – Kabupaten Kupang ........................ 272
19 Tingkat perkembangan desa berdasarkan hasil analisis sentralitas..... 273
20 Nilai skor pendapat pakar kondisi eksisting dimensi keberlanjutan ...... 274
21 Nilai indeks lima dimensi keberlanjutan di Kabupaten Kupang ............ 277
22 Asumsi model pengembangan minapolitan berbasis budidaya laut ..... 280
23 Hasil olahan dodol dan pilus dari rumput laut ..................................... 284

xix
xx
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara nasional, wilayah pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah
penting yang diharapkan dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi
bangsa. Hal ini didorong oleh besarnya potensi sumber daya pesisir dan laut
yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan bangsa. Nilai dan arti penting
pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua aspek,
yaitu : 1) secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti penting
karena (a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah
Kanada (sekitar 81.000 km); (b) sekitar 75% dari wilayahnya merupakan wilayah
perairan (luas sekitar 5.8 juta km2 termasuk ZEEI); (c) Indonesia merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 13.487 pulau;
dan (d) memiliki keanekaragaman hayati yang besar; dan 2) secara sosial
ekonomi, wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting karena (a) sekitar 140 juta
(60%) penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir; (b) sebagian besar kota
(provinsi dan kabupaten/kota) terletak di kawasan pesisir; dan (c) kontribusi
sektor kelautan terhadap PDB nasional sekitar 12,4% dan menyerap lebih dari
16 juta tenaga kerja (Bengen, 2004).
Secara internasional, Indonesia merupakan negara yang memiliki
peranan strategis dalam memenuhi permintaan ikan dunia. Kebutuhan ikan dunia
selama kurun waktu (1999-2006) meningkat sebesar 45%, dan diproyeksikan
akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan populasi
penduduk dunia. Produksi perikanan Indonesia hingga tahun 2006 menempati
posisi keempat dunia setelah Republik Rakyat Cina (RRC), Peru dan Amerika
Serikat (FAO, 2009).
Perkembangan dunia yang terjadi belakangan ini mengarah kepada era
globalisasi dan perdagangan bebas. Hal ini menyebabkan perubahan yang cepat
dan memberikan pengaruh luas dalam perekonomian nasional maupun
internasional yang berdampak pada semakin ketatnya persaingan. Agar suatu
sektor ekonomi dapat bertahan dan berkembang dalam situasi persaingan saat
ini maka perlu memiliki daya saing yang tinggi. Strategi peningkatan sektor
perikanan yang dipandang relatif tepat untuk meningkatkan daya saing adalah
melalui pendekatan klaster. Strategi klaster menawarkan upaya pembangunan
ekonomi yang lebih efektif dan komprehensif.
2

Strategi ini memerlukan kepeloporan dan kerjasama yang erat antara


berbagai stakeholders yang terkait dengan sektor perikanan. Pendekatan klaster
dalam pengembangan sumberdaya perikanan (selanjutnya disebut klaster
minapolitan) dapat diartikan sebagai suatu bentuk pendekatan yang berupa
pemusatan kegiatan perikanan di suatu lokasi tertentu. Upaya ini dilakukan guna
meningkatkan efisiensi dan efektifitas dengan menurunkan komponen biaya dari
hulu sampai hilir dalam produksi suatu komoditi. Bentuk pemusatan yang
dilakukan adalah dimana dalam suatu kawasan tersedia subsistem-subsistem
dalam agribisnis perikanan dari subsistem hulu hingga hilir serta jasa penunjang.
Adanya pemusatan aktivitas tersebut dapat mengurangi biaya-biaya
terutama biaya transportasi antar subsistem yang terfokus pada komoditas
perikanan tersebut. Efisiensi dan efektifitas yang diciptakan, dengan sendirinya
akan mampu meningkatkan daya saing produk perikanan baik pada skala
domestik maupun internasional.
Kebijakan pembangunan sektor perikanan saat ini, menjanjikan masa
kejayaan dengan mengusung visi ”Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan
Perikanan Terbesar Dunia pada Tahun 2015,” dan misi ”Mensejahterakan
Masyarakat Kelautan dan Perikanan”. Pencapaian visi dan misi tersebut,
pemerintah mencanangkan kebijakan revolusi biru (the blue revolution policies)
melalui program “minapolitan dan peningkatan produksi perikanan”. Program
pengembangan kawasan minapolitan adalah pembangunan ekonomi berbasis
perikanan di kawasan agribisnis, yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan
mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya
sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan,
berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan
difasilitasi oleh pemerintah. Peningkatan produksi perikanan diprioritaskan dari
hasil budidaya, baik budidaya air tawar, budidaya air payau dan budidaya laut.
Produksi budidaya laut Indonesia tahun 2001 sebesar 197.114 ton
meningkat menjadi 1.509.582 ton pada tahun 2007. Produksi tersebut terus
mengalami peningkatan, dengan rata-rata peningkatan per tahun mencapai
79,51% (JICA, 2009). Luas potensi lahan budidaya laut sebesar 8.363.501 ha,
hingga tahun 2007 luas lahan yang telah dimanfaatkan hanya seluas 84.481 ha
(0,8%), sehingga masih terdapat lahan seluas 8.279.020 ha yang potensial untuk
dikembangkan budidaya laut.
3

Produksi budidaya laut Nusa Tenggara Timur menempati peringkat


pertama, dari total produksi perikanan nasional dengan volume produksi terbesar
mencapai 504.709 ton (DKP, 2009). Provinsi Nusa Tenggara Timur secara
geografis memiliki potensi perairan untuk pengembangan budidaya laut. Luas
kawasan potensial daerah ini mencapai 12,187 ha, dan hingga tahun 2007 luas
lahan yang telah dimanfaatkan baru seluas 1.580 ha, diantaranya untuk
pengembangan komoditi tiram mutiara, rumput laut, ikan kakap dan ikan kerapu
(DKP NTT, 2008).
Komoditi rumput laut saat ini menjadi primadona pengembangan
budidaya laut di Kabupaten Kupang, karena mampu memberikan nilai tambah
bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir baik untuk
pembudidaya rumput laut atau nelayan sambilan maupun pelaku usaha
perikanan seperti pengumpul hasil, distributor dan jasa transportasi laut. Sebaran
lokasi potensi dan pengembangan budidaya rumput laut umumnya hampir pada
setiap perairan pantai di seluruh wilayah kecamatan pesisir. Namun demikian,
usaha budidaya rumput laut sampai saat ini lebih banyak digeluti oleh
masyarakat pesisir di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Kupang Barat,
Semau, Semau Selatan dan kecamatan-kecamatan di Pulau Sabu dan Raijua.
Wilayah-wilayah ini merupakan sentra produksi komoditi rumput laut.
Produksi rumput laut juga mengalami peningkatan, dan yang terdata secara total
mencapai sekitar 3.757,16 ton pada tahun 2007, dan umumnya hasil
produksinya diantarpulaukan ke Jakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar.
Potensi budidaya laut lainnya yang juga sudah diujicobakan oleh nelayan di
beberapa kecamatan (Kupang Barat dan Sulamu) yakni budidaya ikan di
keramba jaring apung (KJA) dengan komoditi ikan kerapu dan kakap.
Untuk potensi pengembangan budidaya mutiara hingga saat ini terdapat
di perairan Selat Semau yakni perairan sekitar Kecamatan Kupang Barat, Semau
dan Semau Selatan. Hasil produksi mutiara umumnya dipasarkan ke Jakarta
ataupun diekspor (Jepang). Budidaya laut menjanjikan kontribusi besar terhadap
peningkatan perekonomian daerah dan mampu meningkatkan pendapatan
nelayan, karena sebagian besar komoditinya memiliki pangsa pasar ekspor
dengan harga relatif tinggi. Kegiatan budidaya laut lebih memberikan kepastian
bagi nelayan dibandingkan kegiatan penangkapan yang sangat bergantung pada
cuaca dan musim.
4

Situasi ini memberikan justifikasi bahwa intervensi kebijakan pemerintah


untuk memprioritaskan peningkatan produksi perikanan melalui program
budidaya laut sangat tepat. Oleh karenanya dalam rangka mendukung
implementasi kebijakan pemerintah menjadikan Kabupaten Kupang sebagai
sentra produksi pengembangan budidaya laut, maka diperlukan model
pengembangan minapolitan berbasis budidaya laut yang mampu menjamin
kelestarian ekosistem dengan memperhatikan keterbatasan kapasitas
lingkungan, dengan harapan agar dapat memberdayakan wilayah perikanan
dalam rangka meningkatkan taraf hidup kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat yang ada dengan kaidah-kaidah pemanfaatan ruang yang optimal
dan berkelanjutan, dan sekaligus memberikan masukan dan arahan sebagai
bahan pertimbangan bagi pembuat keputusan dalam rangka menyusun strategi
yang tepat dan benar untuk mengembangkan minapolitan berbasis budidaya laut
di masa yang akan datang.
Dengan demikian program pengembangan kawasan minapolitan ini juga
dapat mendukung program gemala dari pemerintah Provinsi NTT yang akhir-
akhir ini tidak bergaung lagi. Gemala adalah salah satu program kegiatan
strategis yang dicanangkan oleh pemerintah daerah Provinsi NTT pada tahun
2002 yaitu gerakan masuk laut. Orientasi program gemala yaitu optimalisasi
sumberdaya, peningkatan skala usaha, peningkatan teknologi, peningkatan
produksi bernilai tambah, peningkatan partisipasi masyarakat dan globalisasi
perdagangan; diharapkan upaya pengembangan minapolitan dapat
memdongkrak kembali program gemala yang sudah tidak terlihat lagi hasilnya.
Namun, kegiatan budidaya laut ini memiliki dinamika dan permasalahan
yang kompleks terkait kegiatan di wilayah daratan dan kegiatan budidaya itu
sendiri akan berpengaruh terhadap kondisi biofisik dan daya dukung perairan,
kondisi sosial ekonomi, kelembagaan dan teknologi budidaya yang saling
berhubungan membentuk sebuah sistem yang kompleks. Dinamika dan
kompleksitas permasalahan yang dihadapi saat ini merupakan proses dinamis,
disadari sebagai rangkaian kemungkinan kejadian yang diinginkan di masa
datang, dan sangat tergantung dari kebijakan yang diambil saat ini. Oleh karena
itu, sistem dinamik sangat cocok untuk menganalisis mekanisme, pola dan
kecenderungan sistem budidaya laut yang menjamin keberkelanjutan
berdasarkan analisis terhadap struktur dan perilaku sistem yang rumit, berubah
cepat dan mengandung ketidakpastian.
5

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyusun suatu model
pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang - Nusa Tenggara
Timur dalam rangka meningkatkan taraf hidup kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka ada beberapa
kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus, antara lain :
1. Menganalisis potensi, tingkat perkembangan, dan keberlanjutan
Kabupaten Kupang untuk pengembangan kawasan minapolitan.
2. Membangun model pengembangan kawasan minapolitan secara
berkelanjutan di Kabupaten Kupang.

1.3 Kerangka Pemikiran


Penelitian ini berangkat dari potensi lestari kekayaan laut NTT sangat
besar dan menjanjikan. Untuk jenis ikan tuna dan cakalang, misalnya,
berdasarkan hasil penelitian LAPAN pada tahun 1998 lalu potensi lestari sekitar
156.000 ton pertahun. Namun tingkat pemanfaatannya baru sekitar 32,79% atau
setara dengan 51.100 ton. Dilihat dari potensi yang ada dan peluang pasar
manca negara, khususnya Jepang, Hongkong, Taiwan dan Cina, peluang usaha
penangkapan ikan tuna dan cakalang masih sangat besar. Penyebaran jenis ikan
tuna dan cakalang ini berada hampir pada semua perairan laut NTT. Namun
yang berpotensi cukup besar dengan tingkat eksploitasinya masih rendah
terdapat di Kabupaten Kupang (perairan Laut Sabu, Laut Timor, laut sekitar
Pulau Rote dan laut sekitar Pulau Semau). Hal yang tak kalah menariknya
adalah potensi lestari rumput laut (sea weeds). Tumbuhan yang tersebar hampir
di perairan NTT ini bernilai ekonomis penting karena kegunaannya yang luas
dalam bidang industri makanan, kosmetik, minuman dan farmasi.
Di Indonesia, pemanfaatan rumput laut sebagian besar sebagai bahan
komoditas ekspor dalam bentuk rumput laut kering. Dari tahun ke tahun
pertumbuhan ekspor rumput laut mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan,
namun relatif kecil dan jauh di bawah produksi Philipina. Hal itu disebabkan
karena produksi rumput laut belum optimal. Keinginan masyarakat NTT untuk
membudidayakan rumput laut cukup tinggi, walaupun masih dalam skala kecil,
dengan potensi budidaya rumput laut di Kabupaten Kupang dengan luas lahan
sekitar 12.187 ha baru dimanfaatkan sekitar 1.580 ha.
6

Guna mengoptimalkan potensi laut yang sangat besar itu untuk


kemakmuran rakyat, pemerintah daerah (pemda) NTT mencanangkan program
gerakan masuk laut (gemala). Gerakan yang bertumpu pada kondisi geografis
NTT yang sebagian besar terdiri dari perairan merupakan suatu terobosan untuk
merubah paradigma pembangunan dan sekaligus mentalitas masyarakat NTT
yang selama ini lebih berorientasi ke darat. Substansi gemala yang kini
dicanangkan dan disosialisasikan secara intensif oleh pemda NTT dan seluruh
komponen terkait adalah upaya merubah mentalitas agraris masyarakat NTT
menuju mentalitas maritim.
Namun demikian dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk
dan pesatnya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, bagi berbagai
peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, obyek wisata dan lain-lain),
maka tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut itu
semakin meningkat. Meningkatnya tekanan ini tentunya akan dapat mengancam
keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdaya pesisir, laut dan
pulau-pulau kecil yang ada disekitarnya.
Satu hal yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa kecenderungan
kerusakan lingkungan pesisir dan lautan lebih disebabkan paradigma dan
praktek pembangunan yang selama ini diterapkan belum sesuai dengan prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Cenderung
mendominasi kepentingan ekonomi pusat lebih diutamakan daripada ekonomi
masyarakat setempat. Seharusnya lebih bersifat partisipatif, transparan, dapat
dipertanggung-jawabkan (accountable), efektif dan efisien, pemerataan serta
mendukung supremasi hukum. Untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, maka perlu
dirumuskan suatu pengelolaan (strategic plan), mengintegrasikan setiap
kepentingan dalam keseimbangan (proporsionality) antar dimensi ekologis,
dimensi sosial, antar sektoral, disiplin ilmu dan segenap pelaku pembangunan
(stakeholders).
Dengan melihat isu dan permasalahan diatas, pengelolaan sumberdaya
perikanan berbasis budidaya laut yang terpadu dan berkelanjutan di Kabupaten
Kupang dapat dimulai dengan memperhatikan beberapa aspek, yaitu : (1) aspek
ekologis meliputi potensi keruangan, kesesuaian lahan, daya dukung lahan, dan
karakteristik lahan; (2) aspek ekonomi yaitu kelayakan usaha budidaya; (3) aspek
sosial yaitu persepsi masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan
7

berbasis budidaya laut; (4) aspek kelembagaan dan hukum yang meliputi
kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan pemerintah yang terkait; dan (5)
aspek ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu metode analisis data. Keterpaduan
aspek-aspek di atas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis
budidaya laut dapat dimodelkan dalam suatu pengembangan kawasan
minapolitan berbasis budidaya laut secara berkelanjutan di Kabupaten Kupang.
Model pengembangan kawasan minapolitan berbasis budidaya laut ini nantinya
dapat menjadi arahan kebijakan pembangunan kawasan minapolitan di wilayah
perairan Kabupaten Kupang.
Potensi budidaya laut yang dapat dikembangkan sebagai basis kegiatan
perikanan dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan di wilayah
perairan Kabupaten Kupang antara lain adalah budidaya rumput laut, tiram
mutiara, teripang dan keramba jaring apung (KJA). Produksi maupun hasil
olahan dari budidaya laut tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di Kabupaten Kupang. Model pengembangan kawasan minapolitan
berbasis budidaya laut di Kabupaten Kupang dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk kebijakan pembangunan nasional di bidang kelautan dan
perikanan untuk wilayah pesisir lainnya. Kerangka pemikiran penelitian model
pengembangan kawasan minapolitan berbasis budidaya laut di lihat pada
Gambar 1.
8

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian model pengembangan minapolitan di


Kabupaten Kupang

1.4 Perumusan Masalah


Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan
aspek konservasi dan keberlanjutannya. Permasalahan yang ada di Kabupaten
Kupang adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan yang belum optimal,
program pemda NTT yaitu gemala yang tidak lagi bergaung dalam pembangunan
perikanan NTT, dan Kabupaten Kupang sebagai kawasan pengembangan
minapolitan berbasis budidaya laut.
Sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan
perikanan, khususnya nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan sebagaimana
menjadi misi kementerian kelautan dan perikanan (KKP), maka dibuat kebijakan
strategis operasional minapolitan. Minapolitan merupakan konsep pembangunan
kelautan dan perikanan berbasis wilayah. Untuk itu pendekatan dalam
pembangunan minapolitan dilakukan dengan sistem manajemen kawasan
dengan prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselerasi.
9

Ciri kawasan minapolitan adalah sebagian besar masyarakat memperoleh


pendapatan dari kegiatan minabisnis kegiatan dikawasan didominasi oleh
kegiatan perikanan (industri pengolahan, perdagangan). Dalam rencana
pengembangan kawasan minapolitan tersebut, Kabupaten Kupang memiliki
sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi seperti : (1) memiliki lahan dan
perairan yang sesuai untuk pengembangan komoditas perikanan; (2) memiliki
sarana umum lainnya seperti transportasi, listrik, telekomunikasi, air bersih dll;
dan (3) memiliki berbagai sarana dan prasarana minabisnis, yaitu : pasar,
lembaga keuangan, kelompok budidaya, balai benih ikan, penyuluhan dan
bimbingan teknis, jaringan jalan, irigasi.
Dengan demikian, dibutuhkan kajian lebih mendalam berkaitan dengan
persyaratan yang harus dipenuhi untuk sebuah kawasan minapolitan; untuk itu
perlu dilakukan pengkajian pengembangan kawasan minapolitan dengan
menggunakan berbagai macam metode secara komprehensif yang nantinya
akan diperoleh hasil penelitian yang detail dan mendalam. Perumusan masalah
pengembangan kawasan minapolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Kupang,
disajikan secara sistematis pada Gambar 2. Beberapa pertanyaan penelitian
yang merupakan permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji adalah :
1. Bagaimana kondisi dan potensi wilayah yang dimiliki Kabupaten Kupang
untuk menunjang pengembangan kawasan minapolitan?
2. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah yang dimiliki Kabupaten Kupang
untuk menunjang pengembangan kawasan minapolitan?
3. Bagaimana keberlanjutan potensi wilayah yang dimiliki Kabupaten Kupang
dapat mendukung pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten
Kupang?
4. Bagaimana model pengembangan kawasan minapolitan secara berkelanjutan
di Kabupaten Kupang, serta bagaimana rumusan kebijakan dan skenario
strategi pengembangannya?
10

Gambar 2 Skema perumusan masalah model pengembangan kawasan


minapolitan di Kabupaten Kupang

1.5 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat bagi pemerintah daerah, dapat dijadikan pedoman dalam
penyusunan perencanaan kebijakan dan strategi pembangunan wilayah
melalui pengembangan kawasan minapolitan secara berkelanjutan.
2. Manfaat bagi masyarakat (stakeholders), memberikan kontribusi hasil
pemikiran secara ilmiah bagi masyarakat yang akan menginvestasikan
modalnya dalam pengelolaan sumberdaya laut secara berkelanjutan melalui
konsep minapolitan.
3. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi
dan pengkajian lebih lanjut dalam pengembangan wilayah yang berpihak
pada optimalisasi di sektor perikanan berbasis budidaya laut.
11

1.6 Kebaruan (Novelty)


Penelitian mengenai model pengembangan minapolitan berbasis
budidaya laut di Kabupaten Kupang belum pernah dilakukan, khususnya jika
ditinjau berdasarkan hal-hal berikut secara menyeluruh yaitu: potensi
sumberdaya kelautan dan perikanan, tingkat perkembangan wilayah, status
keberlanjutan wilayah, dan konsep pengembangan minapolitan. Berdasarkan hal
tersebut, kebaruan dari penelitian ini adalah dihasilkannya rekomendasi
kebijakan umum dan operasional minapolitan berbasis budidaya laut yang
didasarkan pada potensi sumberdaya kelautan dan perikanan, tingkat
perkembangan wilayah, status keberlanjutan wilayah, dan konsep
pengembangan minapolitan.

1.7 Penelitian Terdahulu


Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian ini yang telah
dilaksanakan terlebih dahulu, antara lain :
1. Susilo (2003) dengan judul penelitian “Keberlanjutan Pembangunan Pulau-
Pulau kecil” (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari
KePulauan Seribu, DKI Jakarta). Penelitian ini menggunakan konsep
keberlanjutan dan menyimpulkan bahwa pengelolaan sumberdaya di Pulau
Panggang dan Pulau Pari termasuk dalam kategori “cukup berkelanjutan”.
2. Pranoto (2005) dengan judul penelitian “Pembangunan Perdesaan
Berkelanjutan Melalui Model Pengembangan Agropolitan”, menyimpulkan
bahwa pengembangan agropolitan sebagai pendekatan pembangunan
perdesaan yang berkelanjutan dapat tercapai jika peningkatan produksi
pertanian, peningkatan sarana dan prasarana permukiman, transportasi, dan
pemasaran disertai dengan peningkatan konservasi sumberdaya alam;
pengembangan agribisnis dan pembangunan agroindustri dibarengi dengan
perbaikan pemasaran secara berkelanjutan, perencanaan dan pelaksanaan
program dibarengi dengan peran dan kinerja kelembagaan yang ada.
3. Rauf (2008) dengan judul “Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang
Kepulauan Tanakeke Berbasis Daya Dukung”, menyimpulkan bahwa
Kepulauan Tanakeke memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup besar
untuk pengembangan budidaya perikanan (rumput laut dan KJA),
penangkapan ikan (pelagis dan karang/demersal); Hasil analisis kesesuaian
dan daya dukung lahan serta kelayakan secara ekonomi terhadap berbagai
12

peruntukkan di Kepulauan Tanakeke, didapatkan bahwa kegiatan budidaya


perikanan seperti rumput laut dan keramba jaring apung layak
dikembangkan di Pulau Tanakeke dan Lantangpeo.
4. Saksono (2008) dengan judul “Kajian Pembangunan Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu Berbasis Industri Perikanan”. Penelitian ini bertujuan
menguji dan menganalisis interaksi antar faktor pembangunan Kabupaten
dan/atau kota yang berbasis industri perikanan; dan merancang suatu model
pembangunan bagi kabupaten administrasi Kepulauan Seribu berbasis
industri perikanan.
5. Thamrin (2009) dengan judul “Model Pengembangan Kawasan Agropolitan
Secara Berkelanjutan Di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat – Malaysia”
(Studi Kasus Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang - Serawak),
menyimpulkan bahwa model pengembangan kawasan agropolitan di wilayah
perbatasan Kabupaten Bengkayang dibangun dari empat sub model
berdasarkan analisis sistem dinamik, yakni : sub model pengembangan
wilayah, sub model budidaya pertanian, sub model pengembangan industri,
dan sub model pengolahan dan pemasaran produk. Hasil identifikasi potensi
wilayah, menunjukkan wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang sangat
potensial untuk pengembangan kawasan agropolitan terpadu.
6. Radarwati (2010) dengan judul “Pengelolaan Perikanan Tangkap
Berkelanjutan Di Perairan Jakarta, Provinsi DKI Jakarta” menyimpulkan
bahwa tingkat keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di perairan
Jakarta berada pada tahap pertumbuhan dan pengelolaan dalam kategori
kurang baik dalam merespon faktor-faktor internal dan eksternal, alokasi
optimum alat tangkap terbesar adalah bubu dengan 8.547 unit, sedangkan
ruang yang dapat dimanfaatkan sebesar 52,89% dari luas perairan 748 ha
dengan strategi standarisasi perikanan ukuran kecil menjadi prioritas utama
untuk diimplementasikan.
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Pesisir dan Lautan Terpadu


Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut, ke
arah daratan meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang
masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut, dan
perembesan air asin. Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi
oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sendimentasi dan aliran air tawar,
maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pertanian dan
pencemaran (Soegiarto, 1984; Beatley et al., 1994). Menurut UU No. 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan
bahwa “Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut”; sedangkan “Perairan pesisir
adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua
belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan
pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna”.
Sumberdaya alam pesisir dan laut, dewasa ini sudah semakin disadari
banyak orang bahwa sumberdaya ini merupakan suatu potensi yang cukup
menjanjikan dalam mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi
nelayan. Di sisi lain, konsekuensi logis dari sumberdaya pesisir dan laut sebagai
sumberdaya milik bersama (common property) dan terbuka untuk umum (open
acces) maka pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut dewasa ini semakin
meningkat di hampir semua wilayah. Pemanfaatan yang demikian cenderung
melebih daya dukung sumberdaya (over exploitation).
Ghofar (2004), mengatakan bahwa perkembangan eksploitasi
sumberdaya alam laut dan pesisir dewasa ini (penangkapan, budidaya, dan
ekstraksi bahan-bahan untuk keperluan medis) telah menjadi suatu bidang
kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh pasar (market driven) terutama jenis-
jenis yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mendorong eksploitasi sumberdaya
alam laut dan pesisir dalam skala dan intensitas yang cukup besar. Sedangkan
menurut Purwanto (2003), mengatakan bahwa ketersediaan stok sumberdaya
ikan pada beberapa daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata
telah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam.
Beberapa spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan nyaris
hilang dari perairan Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah oleh peningkatan
14

jumlah armada penangkapan, penggunaan alat dan teknik serta teknologi


penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Secara ideal pemanfaatan
sumberdaya ikan dan lingkungan hidupnya harus mampu menjamin
keberlangsungan fungsi ekologis guna mendukung keberlanjutan usaha
perikanan pantai yang ekonomis dan produktif. Keberlanjutan fungsi ekologis
akan menjamin eksistensi sumberdaya serta lingkungan hidup ikan (Anggoro,
2004).
Wilayah pesisir memiliki nilai ekonomi tinggi, namun terancam
keberlanjutannya. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tadi maka
wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya
wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara
berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan terpadu pada
hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia atau
masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar pemanfaatan sumberdaya alam
dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian
lingkungan (Supriharyono, 2000).
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa
pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut
dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment),
merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola
segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal
dan berkelanjutan (Bengen, 2004). Perencanaan dan pengelolaan tersebut
dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-
ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir
(stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.
Dalam dimensi keterpaduan ICM (Integrated Coastal Management atau
pengelolaan secara terpadu) meliputi lima aspek, yaitu (a) keterpaduan sektor,
yaitu antara berbagai sektor pembangunan di wilayah pesisir, seperti perikanan
(budidaya), pariwisata, pertambangan migas, perhubungan dan pelabuhan,
pemukiman, pertanian pantai; (b) keterpaduan wilayah/ekologis, yaitu antara
daratan dan perairan (laut) yang masuk dalam suatu sistem ekologis, (c)
keterpaduan stakeholder dan tingkat pemerintah, yaitu dengan melibatkan
seluruh komponen stakeholder yang terdapat di wilayah pesisir dan juga adanya
keterpaduan antara pemerintah pada berbagai level, seperti pusat, propinsi, dan
kabupaten; (d) keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu, yaitu dengan
15

melibatkan berbagai disiplin ilmu terkait dengan pesisir dan lautan, seperti ilmu
sosial-budaya, fisika, biologi, keteknikan, ekologi, hukum dan kelembagaan; (e)
keterpaduan antar negara, yaitu kerja sama dan koordinasi antar negara dalam
mengelola sumberdaya pesisir, terutama yang menyangkut kepentingan seluruh
umat manusia (Cincin-Sain, 1993).

2.2 Strategi Pengembangan Wilayah


2.2.1 Pengembangan Wilayah dalam perspektif Development from Below
Pendekatan konsep pengembangan wilayah yang berbasis pada
kekuatan ekonomi dan sumber daya lokal, merupakan suatu respon terhadap
pendekatan yang bersifat top-down. Mekanisme pola ketergantungan
(dependency) serta struktur hubungan produksi dan distribusi yang berbeda
antara core dan periphery, yang sangat kontras dengan pemikiran sistem
integrasi pusat-pusat dalam suatu lingkup sistem jaringan, tidak memungkinkan
terjadinya proses „penjalaran‟ atau yang dikenal dengan trickling down effects.
Berkaitan dengan dependency serta distorsi yang terjadi antara wilayah
core dan periphery (kesenjangan wilayah), Myrdall (1957), Hirschman (1958),
dan Friedmann (1966), mengatakan bahwa ekonomi wilayah yang terintregasi
dan terkait dengan basis ekonomi dunia yang tidak seimbang akan menimbulkan
dua kecenderungan fenomena. Pertama, aktivitas pembangunan yang mengarah
pada gejala polarisasi atau backwash effect. Kedua, leakages atas pemanfaatan
sumber daya vital suatu wilayah untuk kepentingan metropolis (core atau leading
region) maupun negara lain. Permasalahan juga ditekankan pada kesulitan untuk
menstimulasi keterkaitan ekonomi antara industri-industri di pusat dengan daerah
belakangnya, serta ketimpangan oportunitas yang dimiliki dalam segi skala
ekonomi, potensi perubahan struktur sumber daya manusia dan teknologi oleh
core dan periphery. Gejala yang umum terjadi adalah mobilitas kapital, tenaga
kerja dan sumber daya terakumulasi di kutub-kutub pertumbuhan (growth pole)
sementara akibat pengaruh leakages eksternal maupun internal yang terjadi,
wilayah periphery makin tertinggal.
Bertolak dari konsepsi pemikiran bahwa leakages atas proses produksi
lokal akan meminimisasi pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, teori
“development from below” mensyaratkan adanya suatu tahapan dalam
internalisasi sumber daya untuk menghasilkan produk bagi pemenuhan konsumsi
masyarakat lokal, misalnya melalui cara pengembangan industri padat karya
skala kecil, atau secara ekstrim dapat dikatakan melakukan perubahan di dalam
16

institusi dan keterkaitan hubungan struktur ekonomi. Hal ini didukung pendapat
Hirschman (1958), bahwa pengembangan wilayah atas suatu periphery hanya
dapat dilakukan dengan melindunginya dari pengaruh polarisasi wilayah. Ditinjau
dari sudut pandang ekonomi wilayah, usaha internalisasi yang dilakukan dalam
bentuk komponen elemen-elemen produksi (sumber daya maupun investasi)
dimaksudkan untuk memaksimalkan efek mulitiplier lokal terhadap sektor-sektor
perekonomian wilayah melalui kontrol backwash effects yang terjadi dengan
bertumpu pada karakter dasar wilayah tersebut.
Proses internalisasi potensi lokal wilayah merupakan awal bagaimana
suatu wilayah dapat berkembang. Menurut perspektif teori ini, terdapat berbagai
strategi pendekatan pengembangan wilayah, yaitu pendekatan pengembangan
territorial, fungsional, dan pendekatan minapolitan. Secara umum pendekatan-
pendekatan tersebut memfokuskan pada upaya melepaskan diri dari
ketergantungan terhadap wilayah pusat. Pendekatan-pendekatan ini sejalan
dengan kebijakan pemerintah saat ini, yakni kebijakan pengembangan ekonomi
dan pembiayaan usaha kelautan dan perikanan (Kemenko Ekonomi, 2010) yang
tertulis dalam strategi utama pembangunan 2010-2014, dimana pembangunan
harus berdimensi kewilayahan (pengklasteran) dan ditopang oleh penguatan
ekonomi lokal. Berikutnya akan dibahas mengenai pembangunan ekonomi
kelautan dan perikanan melalui sistem pengklasteran (minapolitan).

2.2.2 Konsep Pengembangan Minapolitan


Sumber daya perikanan merupakan salah satu sumber daya yang penting
bagi hajat hidup masyarakat dan dapat dijadikan sebagai penggerak utama
(prime mover) perekonomian nasional. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa
pertama, Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang besar baik ditinjau dari
kuantitas maupun diversitas. Kedua, industri di sektor perikanan memiliki
keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan industri-industri
lainnya. Ketiga, industri perikanan berbasis sumberdaya lokal atau dikenal
dengan istilah resources-based industries dan keempat, Indonesia memiliki
keunggulan (comparative advantage) yang tinggi di sektor perikanan
sebagaimana dicerminkan dari potensi sumber daya ikannya. Dengan potensi
tersebut sumber daya perikanan sesungguhnya memiliki keunggulan komparatif
untuk menjadi sektor unggulan. Walaupun sektor perikanan memiliki peran dan
potensi sebagai prime mover ekonomi nasional, akan tetapi sampai saat ini
peran dan potensi tersebut masih terabaikan dan belum teroptimalkan dengan
17

baik. Keunggulan komparatif yang kita miliki belum mampu untuk kita
transformasikan menjadi keunggulan kompetitif. Hal tersebut mengakibatkan
rendahnya kinerja sektor ekonomi berbasis perikanan serta munculnya berbagai
permasalahan yang membutuhkan sebuah penanganan yang cepat dan tepat.
Beberapa permasalahan yang sering dihadapi seperti biaya produksi
yang masih tinggi, lemahnya permodalan, lemahnya kemampuan
pembudidayaan ikan, baik benih, pakan, penyakit, pengelolaan lingkungan
budidaya dan penanganan pasca panen. Selain itu dengan semakin terbukanya
pasar pada masing-masing negara menjadi tantangan bagi pembangunan
perikanan nasional. Bila permasalahan-permasalahan tersebut tidak
ditanggulangi, maka bukan tidak mungkin dapat menghambat peningkatan daya
saing sektor perikanan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, strategi
peningkatan sektor perikanan yang dipandang relatif tepat untuk meningkatkan
daya saing adalah melalui pendekatan klaster. Di beberapa negara, industri yang
berbasis klaster telah terbukti mampu menunjukkan kemampuannya secara
berkesinambungan dalam menembus pasar. Strategi klaster menawarkan upaya
pembangunan ekonomi yang lebih efektif dan komprehensif. Strategi ini
memerlukan kepeloporan dan kerjasama yang erat antara berbagai stakeholders
yang terkait dengan sektor perikanan.
Pendekatan klaster dalam pengembangan sumberdaya perikanan
(selanjutnya disebut klaster minapolitan) dapat diartikan sebagai suatu bentuk
pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan di suatu lokasi tertentu
(Porter, 2000). Upaya ini dilakukan guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas
dengan menurunkan komponen biaya dari hulu sampai hilir dalam produksi suatu
komoditi. Bentuk pemusatan yang dilakukan adalah dimana dalam suatu
kawasan tersedia subsistem-subsistem dalam agribisnis perikanan dari
subsistem hulu hingga hilir serta jasa penunjang. Adanya pemusatan aktivitas
tersebut dapat mengurangi biaya-biaya terutama biaya transportasi antar
subsistem yang terfokus pada komoditas perikanan tersebut. Efisiensi dan
efektifitas yang diciptakan, dengan sendirinya akan mampu meningkatkan daya
saing produk perikanan baik pada skala domestik maupun internasional.
Dalam mengembangkan klaster perikanan (minapolitan), berbagai aspek
baik dari subsistem hulu, subsistem hilir maupun jasa penunjang haruslah saling
mendukung satu sama lainnya (Friedmann, 1966). Klaster Minapolitan yang baik
dicirikan oleh tingginya tingkat keterkaitan berbagai kegiatan yang saling
18

mendukung antara satu pelaku dengan pelaku yang lain. Oleh karena itu untuk
mencapai tingkat keberhasilan, beberapa faktor kunci yang harus diperhatikan
dalam klaster minapolitan antara lain : pertama, tercipta kemitraan dan jaringan
(networking) yang baik. Tercipta kemitraan dan jaringan yang ditandai adanya
kerjasama antar perusahaan merupakan hal yang sangat penting karena tidak
hanya untuk memperoleh sumber daya, namun juga dalam hal fleksibilitas, dan
proses pembelajaran bersama antar perusahaan. Fleksibilitas akan tercipta
misalnya dalam hal penentuan jumlah produksi, sedangkan proses pembelajaran
bersama, misalnya dalam transfer dan penyebaran teknologi yang dapat
meningkatkan keahlian pelaku perusahaan yang ada dalam klaster.
Kedua, adanya inovasi, riset dan pengembangan. Inovasi secara umum
berkenaan dengan pengembangan produk atau proses, sedangkan riset dan
pengembangan berkenaan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Ketiga,
tersedianya sumber daya manusia (tenaga kerja) yang handal. Produktivitas
SDM merupakan salah suatu indikator keberhasilan dari sebuah klaster. Dengan
SDM yang handal dan memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, maka
keberadaan kapital maupun kelembagaan dapat dijalankan dengan baik. Ilustrasi
tentang pentingnya peran SDM dan kewirausahaan dapat diwakili oleh Negara
Singapura dan Jepang. Negara ini mengalami keterbatasan SDA dibandingkan
Indonesia namun memiliki SDM yang berkualitas, sehingga kapital dan aturan-
aturan yang mereka ciptakan dapat menempatkan negara tersebut pada jajaran
negara-negara maju. Disamping ketiga faktor tersebut tingkat keberhasilan
klaster minapolitan juga ditentukan oleh penentuan lokasi klaster. Penentuan
lokasi merupakan keputusan yang didasarkan pada perpaduan dari berbagai
faktor yang mempengaruhi seperti ketersediaan sumberdaya (input), biaya
transportasi, harga faktor lokal, kemungkinan produksi dan substitusi, struktur
pasar, kompetisi dan informasi.
Pendekatan klaster minapolitan merupakan suatu strategi yang dapat
digunakan dalam meningkatkan daya saing sumber daya perikanan. Untuk
mendukung strategi tersebut beberapa hal yang harus diupayakan antara lain
pertama, terpenuhinya kebutuhan dasar sebuah klaster seperti terciptanya
stabilitas ekonomi makro yang mantap, iklim investasi yang kondusif, dan
terjaminnya penyelenggaraan hukum yang efisien dan dapat dipercaya. Kedua,
peningkatan kompetensi SDM dari masing-masing pelaku dalam klaster
hendaknya dilakukan dengan cara pengembangan keterampilan dan kecakapan
19

baik melalui pelatihan maupun kegiatan produktif lainnya. Ketiga,


mengembangkan berbagai kelembagaan pendukung terutama kelembagaan
pembiayaan, penelitian, penyuluhan, dan pendidikan. Adanya kelembagaan
tersebut akan mampu meningkatkan akses pelaku terhadap informasi terkait
dengan permodalan, teknologi dan inovasi yang sangat diperlukan untuk
meningkatkan kinerja klaster. Keempat, diperlukan identifikasi dan pemetaan
karakterisasi wilayah dalam menentukan lokasi untuk klaster perikanan.
Penentuan lokasi klaster tersebut merupakan keputusan yang didasarkan pada
pertimbangan efisiensi dan efektifitas. Bila beberapa hal di atas dapat tercipta
dengan baik, niscaya klaster minapolitan dapat berkembang dengan baik dan
dengan sendirinya daya saing sumber daya perikanan dapat meningkat baik itu
di dalam negeri maupun internasional.
Pertambahan penduduk dan perubahan konsumi masyarakat ke arah
protein hewani yang lebih sehat adalah salah satu penyebab meningkatnya
kebutuhan produk perikanan. Sementara pasokan ikan dari hasil penangkapan
cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan semakin
meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas lingkungan,
terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan membesarkan
anak. Guna mengatasi keadaan ini, maka pengembangan budidaya laut
merupakan alternatif yang cukup memberikan harapan. Hal ini didukung oleh
potensi alam Indonesia yang memiliki 81.000 km garis pantai dan penduduk
yang telah terbiasa dengan budaya pantai dengan segala pernik-perniknya.
Kegiatan budidaya laut dan pantai berpeluang besar menjadi tumpuan bagi
sumber pangan hewani di masa depan, karena peluang produksi perikanan
tangkap yang terus menurun.
Dasar hukum minapolitan adalah Permen KKP No.12 tahun 2010 tentang
minapolitan, dan Kepmen KKP No.32 tahun 2010 tentang penetapan kawasan
minapolitan. Minapolitan adalah konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan
perikanan berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi, efisiensi,
berkualitas dan percepatan, sedangkan kawasan minapolitan adalah suatu
bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra
produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa,
dan/atau kegiatan pendukung lainnya. Tujuan dari minapolitan adalah untuk (a)
meningkatkan produksi, produktivitas, dan kualitas produk kelautan dan
perikanan; (b) meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, dan
20

pengolah ikan yang adil dan merata; dan (c) mengembangkan kawasan
minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah. Sedangkan
karakteristik kawasan minapolitan meliputi : (a) Suatu kawasan ekonomi yang
terdiri atas sentra produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran dan kegiatan
usaha lainnya, seperti jasa dan perdagangan; (b) Mempunyai sarana dan
prasarana sebagai pendukung aktivitas ekonomi; (c) Menampung dan
mempekerjakan sumberdaya manusia di dalam kawasan dan daerah sekitarnya;
dan (d) Mempunyai dampak positif terhadap perekonomian di daerah sekitarnya.
Persyaratan kawasan minapolitan adalah : (a) kesesuaian dengan
Rencana Strategis, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan/atau Rencana
Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K)
kabupaten/kota, serta Rencana Pengembangan Investasi Jangka Menengah
Daerah (RPIJMD) yang telah ditetapkan; (b) memiliki komoditas unggulan di
bidang kelautan dan perikanan dengan nilai ekonomi tinggi; (c) letak geografi
kawasan yang strategis dan secara alami memenuhi persyaratan untuk
pengembangan produk unggulan kelautan dan perikanan; (d) terdapat unit
produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran dan jaringan usaha yang aktif
berproduksi, mengolah dan/atau memasarkan yang terkonsentrasi di suatu lokasi
dan mempunyai mata rantai produksi pengolahan, dan/atau pemasaran yang
saling terkait; (e) tersedianya fasilitas pendukung berupa aksesibilitas terhadap
pasar, permodalan, sarana dan prasarana produksi, pengolahan, dan/atau
pemasaran, keberadaan lembaga-lembaga usaha, dan fasilitas penyuluhan dan
pelatihan; (f) kelayakan lingkungan diukur berdasarkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan, potensi dampak negatif, dan potensi terjadinya kerusakan
di lokasi di masa depan; (g) komitmen daerah, berupa kontribusi pembiayaan,
personil, dan fasilitas pengelolaan dan pengembangan minapolitan; (h)
keberadaan kelembagaan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang
kelautan dan perikanan; dan (i) ketersediaan data dan informasi tentang kondisi
dan potensi kawasan.

2.3 Budidaya Laut di Kabupaten Kupang


Sumberdaya perikanan di perairan NTT dapat diklasifikasikan menjadi
perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Khusus perikanan budidaya laut
termasuk budidaya kerapu, rumput laut, mutiara dan teripang dengan potensi
pengembangan sekitar 12.187 ha dan tingkat pemanfaatan baru mencapai
12,97% (1.580 ha) dan sebagian besar hasil potensi yang ada masih dikelola
21

secara tradisional karena keterbatasan sarana, pengetahuan dan modal. Berikut


ini adalah penjabaran jenis, proses dan konstruksi budidaya laut yang diteliti di
Kabupaten Kupang.

2.3.1 Budidaya Keramba Jaring Apung


Dalam analisis kelayakan usaha budidaya keramba jaring apung (KJA) di
Kabupaten Kupang, dipilih ikan kerapu sebagai obyek/komoditi yang akan dikaji.
Ikan kerapu merupakan jenis ikan demersal yang suka hidup di perairan karang,
di antara celah-celah karang atau di dalam gua di dasar perairan. Ikan karnivora
yang tergolong kurang aktif ini relatif mudah dibudidayakan, karena mempunyai
daya adaptasi yang tinggi. Untuk memenuhi permintaan akan ikan kerapu yang
terus meningkat, tidak dapat dipenuhi dari hasil penangkapan sehingga usaha
budidaya merupakan salah satu peluang usaha yang masih sangat terbuka luas.
Dikenal tiga jenis ikan kerapu yaitu kerapu tikus, kerapu macan, dan
kerapu lumpur yang telah tersedia dan dikuasai teknologinya. Dari ketiga jenis
ikan kerapu di atas, untuk pengembangan di Kabupaten Kupang ini disarankan
ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Hal ini karena harga per kg jauh lebih
mahal dibandingkan dengan kedua jenis lainnya. Di Indonesia, kerapu tikus ini
dikenal juga sebagai kerapu bebek atau di dunia perdagangan internasional
mendapat julukan sebagai panther fish karena di sekujur tubuhnya dihiasi bintik-
bintik kecil bulat berwarna hitam.

a. Penyebaran dan Habitat


Daerah penyebaran kerapu tikus di Afrika Timur sampai Pasifik Barat
Daya. Di Indonesia, ikan kerapu banyak ditemukan di perairan Pulau Sumatera,
Jawa, Sulawesi, Pulau Buru, dan Ambon. Salah satu indikator adanya ikan
kerapu adalah perairan karang. Indonesia memiliki perairan karang yang cukup
luas sehingga potensi sumberdaya ikan kerapunya sangat besar. Dalam siklus
hidupnya, pada umumnya kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan
kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang
lebih dalam antara 7-40 m. Telur dan larvanya bersifat pelagis, sedangkan
kerapu muda dan dewasa bersifat demersal.
Habitat favorit larva dan kerapu tikus muda adalah perairan pantai dengan
dasar pasir berkarang yang banyak ditumbuhi padang lamun. Parameter-
parameter ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu temperatur
antara 24–310C, salinitas antara 30-33 gr/kg, kandungan oksigen terlarut > 3,5
22

mg/l dan pH antara 7,8–8. Perairan dengan kondisi seperti ini, pada umumnya
terdapat di perairan terumbu karang.

b. Proses Budidaya
Budidaya ikan kerapu tikus ini, dapat dilakukan dengan menggunakan
bak semen atau pun dengan menggunakan KJA. Untuk keperluan studi ini, dipilih
budidaya dengan menggunakan KJA. Budidaya ikan kerapu dalam KJA akan
berhasil dengan baik (tumbuh cepat dan kelangsungan hidup tinggi) apabila
pemilihan jenis ikan yang dibudidayakan, ukuran benih yang ditebar dan
kepadatan tebaran sesuai. Kriteria benih kerapu yang baik, adalah : ukurannya
seragam, bebas penyakit, gerakan berenang tenang serta tidak membuat
gerakan yang tidak beraturan atau gelisah tetapi akan bergerak aktif bila
ditangkap, respon terhadap pakan baik, warna sisik cerah, mata terang, sisik dan
sirip lengkap serta tidak cacat tubuh.
Proses penebaran benih sangat berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup benih. Sebelum ditebarkan, perlu diadaptasikan terlebih dahulu pada
kondisi lingkungan budidaya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
adaptasi ini, adalah : (a) waktu penebaran (sebaiknya pagi atau sore hari, atau
saat cuaca teduh), (b) sifat kanibalisme yang cenderung meningkat pada
kepadatan yang tinggi, dan (c) aklimatisasi, terutama suhu dan salinitas.
Benih ikan kerapu ukuran panjang 4–5 cm dari hasil tangkapan maupun
dari hasil pembenihan, didederkan terlebih dahulu dalam jaring nylon berukuran
1,5 m x 3 m x3 m dengan kepadatan ± 500 ekor. Sebulan kemudian, dilakuan
grading (pemilahan ukuran) dan pergantian jaring. Ukuran jaringnya tetap, hanya
kepadatannya 250 ekor per jaring sampai mencapai ukuran glondongan (20–25
cm atau 100 gr). Setelah itu dipindahkan ke jaring besar ukuran 3 m x 3 m x 3 m
dengan kepadatan optimum 500 ekor untuk kemudian dipindahkan ke dalam
keramba pembesaran sampai mencapai ukuran konsumsi (500 gr).
Biaya pakan merupakan biaya operasional terbesar dalam budidaya ikan
kerapu dalam KJA. Oleh karena itu, pemilihan jenis pakan harus benar-benar
tepat dengan mempertimbangkan kualitas nutrisi, selera ikan dan harganya.
Pemberian pakan diusahakan untuk ditebar seluas mungkin, sehingga setiap
ikan memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan pakan. Pada
tahap pendederan, pakan diberikan secara ad libitum (sampai kenyang),
sedangkan untuk pembesaran adalah 8%-10% dari total berat badan per hari.
23

Pemberian pakan sebaiknya pada pagi dan sore hari. Pakan alami dari
ikan kerapu adalah ikan rucah (potongan ikan) dari jenis ikan tembang, dan
lemuru. Benih kerapu yang baru ditebardapat diberi pakan pelet komersial. Untuk
jumlah 1000 ekor ikan dapat diberikan 100 gr pelet per hari. Setelah ± 3-4 hari,
pelet dapat dicampur dengan ikan rucah.
Jenis hama yang potensial mengganggu usaha budidaya ikan kerapu
dalam KJA adalah ikan buntal, burung, dan penyu. Sedang, jenis penyakit infeksi
yang sering menyerang ikan kerapu adalah : (a) penyakit akibat serangan
parasit, seperti : parasit crustacea dan flatworm, (b) penyakit akibat protozoa,
seperti : cryptocariniasis dan broollynelliasis, (c) penyakit akibat jamur (fungi),
seperti : saprolegniasis dan ichthyosporidosis, (d) penyakit akibat serangan
bakteri, (e) penyakit akibat serangan virus, yaitu VNN (Viral Neorotic Nerveus).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga kualitas ikan kerapu
yang dibudidayakan dengan KJA, antara lain : penentuan waktu panen,
peralatan panen, teknik panen, serta penanganan pasca panen. Watu panen,
biasanya ditentukan oleh ukuran permintaan pasar. Ukuran super biasanya
berukuran 500 gr – 1000 gr dan merupakan ukuran yang mempunyai nilai jual
tinggi. Panen sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari sehingga dapat
mengurangi stress ikan pada saat panen. Peralatan yang digunakan pada saat
panen, berupa : scoop, keranjang, timbangan, alat tulis, perahu, bak pengangkut
dan peralatan aerasi.
Teknik pemanenan yang dilakukan pada usaha budidaya ikan kerapu
dalam KJA dengan metoda panen selektif dan panen total. Panen selektif adalah
pemanenan terhadap ikan yang sudah mencapai ukuran tertentu sesuai
keinginan pasar terutama pada saat harga tinggi, sedangkan panen total adalah
pemanenan secara keseluruhan yang biasanya dilakukan bila permintaan pasar
sangat besar atau ukuran ikan seluruhnya sudah memenuhi kriteria jual.
Penanganan pasca panen yang utama adalah masalah pengangkutan
sampai di tempat tujuan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar kesegaran
ikan tetap dalam kondisi baik. Ini dilakukan dengan dua cara yaitu pengangkutan
terbuka dan pengangkutan tertutup. Pengangkutan terbuka digunakan untuk
jarak angkut dekat atau dengan jalan darat yang waktu angkutnya maksimal
hanya 7 jam. Wadah angkutnya berupa drum plastik atau fiberglass yang sudah
diisi air laut sebanyak ½ sampai ⅔ bagian wadah sesuai jumlah ikan. Suhu laut
diusahakan tetap konstan selama perjalanan yaitu 19-210C. Selama
24

pengangkutan air perlu diberi aerasi. Kepadatan ikan sekitar 50 kg per wadah.
Cara pengangkutan yang umum digunakan adalah dengan pengangkutan
tertutup dan umumnya untuk pengangkutan dengan pesawat udara. Untuk itu, 1
kemasan untuk 1 ekor ikan dengan berat rata-rata 500 gr.

c. Konstruksi Keramba Jaring Apung


Untuk pembuatan rakit keramba, diperlukan rakit dapat dibuat dari bahan
kayu, bambu atau besi yang dilapisi anti karat. Ukuran bingkai rakit biasanya 6 m
x 6 m atau 8 m x 8 m. Untuk mengapungkan satu unit rakit, diperlukan
pelampung yang berasal dari bahan drum bekas atau drum plastik bervolume
200 ltr, styreofoam dan drum fiberglass. Kebutuhan pelampung untuk satu unit
rakit ukuran 6 m x 6 m yang dibagi 4 bagian diperlukan 8-9 buah pelampung dan
12 buah pelampung untuk rakit berukuran 8 m x 8 m. Bahan pengikat rakit
bambu dapat digunakan kawat berdiameter 4-5 mm atau tali plastik polyetheline.
Rakit yang terbuat dari kayu dan besi, pengikatannya menggunakan baut. Untuk
mengikat pelampung ke bingkai rakit digunakan tali PE berdiameter 4-6 mm.
Untuk menahan rakit agar tidak terbawa arus air, digunakan jangkar yang
terbuat dari besi atau semen blok. Berat dan bentuk jangkar disesuaikan dengan
kondisi perairan setempat. Kebutuhan jangkar per unit keramba minimal 4 buah
dengan berat 25-50 kg yang peletakannya dibuat sedemikian rupa sehingga rakit
tetap pada posisinya. Tali jangkar yang digunakan adalah tali plastik/PE
berdiameter 0,5–1,0 inchi dengan panjang minimal 2 kali kedalaman perairan.
Pembuatan jaring kantong, digunakan jaring yang dipergunakan dalam
usaha budidaya ikan kerapu, sebaiknya terdiri dari dua bagian, yaitu : (a)
kantong jaring luar yang berfungsi sebagai pelindung ikan dari serangan ikan-
ikan buas dan hewan air lainnya. Ukuran kantong dan lebar mata jaring untuk
kantong jaring luar lenih besar dari kantong jaring dalam; (b) kantong jaring
dalam, yang dipergunakan sebagai tempat memelihara ikan. Ukurannya
bervariasi dengan pertimbangan banyaknya ikan yang dipelihara dan
kemudahan dalam penanganan dan perawatannya. Pemberat berfungsi untuk
menahan arus dan menjaga jaring agar tetap simetris. Pemberat yang terbuat
dari batu, timah atau beton dengan berat 2–5 kg per buah, dipasang pada tiap-
tiap sudut keramba/ jaring. Konstruksi keramba jaring apung untuk ikan kerapu
dapat dilihat pada Lampiran 1.
25

d. Analisis Pasar
Potensi dan peluang pasar hasil laut dan ikan cukup baik. Pada tahun
1994, impor dunia hasil perikanan sekitar 52,49 juta ton. Indonesia termasuk
peringkat ke-9 untuk ekspor ikan dunia. Permintaan ikan pada tahun 2010
diperkirakan akan mencapai 105 juta ton. Disamping itu, peluang dan potensi
pasar dalam negeri juga masih baik. Total konsumsi ikan dalam negeri tahun
2001 sekitar 46 juta ton dengan konsumsi rata-rata 21,71 kg/kepala/tahun.
Dengan elastisitas harga 1,06 berarti permintaan akan ikan tidak akan banyak
berubah dengan adanya perubahan harga ikan. Tingkat konsumsi ikan bagi
penduduk NTT pada tahun 2004 mencapai sekitar 17,14 kg/kapita yang baru
mencapai sekitar 68,56% dari standar konsumsi ikan nasional yaitu 25 kg.
Negara yang menjadi tujuan ekspor ikan kerapu adalah Hongkong,
Taiwan, China, dan Jepang. Harga ikan kerapu di tingkat pembudidaya untuk
tujuan ekspor telah mencapai US$33 per kg. Ikan kerapu yang berukuran kecil
(4-5 cm) sebagai ikan hias laku dijual dengan harga Rp7.000,00 per ekor sedang
untuk ikan konsumsi dengan ukuran 400-600 gr/ekor laku dijual dengan harga
Rp70.000,00 per kg untuk kerapu macan dan Rp300.000,00 per kg untuk kerapu
bebek atau kerapu tikus (harga tahun 2001). Dalam analisis ini, tingkat harga jual
digunakan harga pasaran saat ini yaitu sebesar Rp317.000,00 per kg untuk
kerapu tikus. Dengan tingginya permintaan dan harga jual ikan kerapu, maka
usaha budidaya ikan kerapu ini diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan
devisa negara melalui hasil ekspor.

2.3.2 Budidaya Rumput Laut


Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun
1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan
sumberdaya alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan dan
usaha budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya
juga dapat digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan
pantai (Ditjenkan, 2005). Pengembangan budidaya rumput laut merupakan salah
satu alternatif pemberdayaan masyarakat pesisir yang mempunyai keunggulan
dalam hal : (1) produk yang dihasilkan mempunyai kegunaan yang beragam, (2)
tersedianya lahan untuk budidaya yang cukup luas serta (3) mudahnya teknologi
budidaya yang diperlukan.
Rumput laut merupakan ganggang yang hidup di laut dan tergolong
dalam divisio thallophyta. Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang
26

dikenal dengan sebutan thallus, bentuk thallus rumput laut ada bermacam-
macam ada yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong,
rambut dan lain sebagainya. Thallus ini ada yang tersusun hanya oleh satu sel
(uniseluler) atau banyak sel (multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus
dichotomus (dua-dua terus menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang
thallus utama), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan ada
juga yang sederhana tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka
ragam ada yang lunak seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau
mengandung zat kapur (calcareous), lunak bagaikan tulang rawan
(cartilagenous), berserabut (spongeous) dan sebagainya (Soegiarto et al., 1978).
Sejak tahun 1986 sampai sekarang jenis rumput laut yang banyak
dibudidayakan di Kepulauan Seribu adalah jenis Eucheuma cottonii. Rumput laut
jenis Eucheuma cottonii ini juga dikenal dengan nama Kappaphycus alvarezii.
Menurut Dawes dalam Kadi dan Atmadja (1988) bahwa secara taksonomi rumput
laut jenis Eucheuma dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisio : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottonii

Genus Eucheuma merupakan istilah popular di bidang niaga untuk jenis


rumput laut penghasil karaginan. Nama istilah ini resmi bagi spesies Eucheuma
yang ditentukan berdasarkan kajian filogenetis dan tipe karaginan yang
terkandung di dalamnya. Jenis Eucheuma ini juga dikenal dengan Kappaphycus
(Doty, 1987). Ciri-ciri Eucheuma cottonii adalah thallus dan cabang-cabangnya
berbentuk silindris atau pipih, percabangannya tidak teratur dan kasar (sehingga
merupakan lingkaran) karena ditumbuhi oleh nodulla atau spine untuk melindungi
gametan. Ujungnya runcing atau tumpul berwarna coklat ungu atau hijau kuning.
Spina Eucheuma cottonii tidak teratur menutupi thallus dan cabang-cabangnya.
Permukaan licin, cartilaginous, warna hijau, hijau kuning, abau-abu atau merah.
Penampakan thallus bervariasi dari bentuk sederhana sampai kompleks
(Ditjenkan Budidaya, 2004).
Secara umum di Indonesia, budidaya rumput laut dilakukan dalam tiga
metode penanaman berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan.
27

Ketiga budidaya tersebut adalah metode dasar (bottom method), metode lepas
dasar (off-bottom method), dan metode apung (floating method)/longline. Namun
dalam penelitian ini, metode longline yang dipakai oleh nelayan/pembudidaya di
Kabupaten Kupang.
Metode tali panjang (long line method) pada prinsipnya hampir sama
dengan metode rakit tetapi tidak menggunakan bambu sebagai rakit, tetapi
menggunakan tali plastik dan botol aqua bekas sebagai pelampungnya. Metode
ini dimasyarakatkan karena selain lebih ekonomis juga bisa diterapkan di
perairan yang agak dalam. Keuntungan metode ini antara lain: (1) tanaman
cukup menerima sinar rnatahari, (2) tanaman lebih tahan terhadap perubahan
kualitas air, (3) terbebas dari hama yang biasanya menyerang dari dasar
perairan, (4) pertumbuhannya lebih cepat, (5) cara kerjanya lebih mudah, (6)
biayanya lebih murah, dan (7) kualitas rumput laut yang dihasilkan baik.
Saat ini para petani/nelayan di perairan NTT umumnya mengembangkan
usaha budidaya rumput laut Eucheuma sp. dengan metode tali panjang, dan
tentunya metode ini dapat diterapkan dan dikembangkan oleh petani/nelayan di
wilayah lain di Indonesia. Persiapan pembuatan kontruksinya yang meliputi
persiapan lahan dan peralatan sebagai berikut : pada budidaya rumput laut
metode tali panjang biasanya dilakukan dengan menggunakan tali PE. Ada 4
(empat) nomor jenis tali PE yang digunakan yaitu tali induk (PE 10 mm), tali
jangkar (PE 8 mm), tali bentangan (PE 5 mm) dan tali ris simpul (PE 2 mm).
Untuk metode tali panjang (longline) digunakan tali PE 10 mm sepanjang 100 m
yang pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar. Setiap 25 m
diberi tali PE 8 mm sebagai tali bantu jangkar pada setiap sisi dan diberi
pelampung utama yang terbuat dari drum plastik atau styrofoam. Konstruksi
rumput laut dengan sistem longline dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tali bentangan diberi floatting ball (pelampung botol aqua 600 ml) dan
pada setiap jarak 10 m. Tali bentang PE 5 mm sepanjang 30 m terdiri dari 120
titik simpul tali ris PE 2 mm dan jarak antara tali simpul ris setiap rumpun ± 25
cm. Untuk pemilihan bibit, dipilih bibit rumput laut yang bercabang banyak dan
rimbun, tidak terdapat bercak, tidak terkelupas, dan warna spesifik cerah, umur
hari dan berat bibit 200 gr per rumpun; sedangkan untuk penanganan bibit, bibit
sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi dan jumlahnya sesuai
dengan kebutuhan. Saat mengangkut bibit sebaiknya bibit tetap terendam di
dalam air laut atau dimasukkan ke dalam kotak karton berlapis plastik. Bibit
28

disusun berlapis dan berselang-seling yang dibatasi dengan lapisan kapas atau
kain yang sudah dibasahi air laut. Agar bibit tetap baik, simpan di dalam
keranjang atau jaring dengan ukuran mata jaring kecil dan harus dijaga agar
tidak terkena minyak, kehujanan maupun kekeringan.
Sebelum dilakukan penanaman, dilakukan pengikatan bibit pada tali
simpul ris PE berdiameter 2 mm yang terdapat pada tali ris bentang PE
berdiameter 5 mm. Sebaiknya pengikatan bibit dilakukan ditempat terlindung
agar bibit yang akan ditanam tetap dalam kondisi segar. Penanaman bisa
langsung dikerjakan dengan cara merentangkan tali ris bentang PE berdiameter
5 mm yang telah berisi ikatan bibit tanaman yang diikat pada tali ris utama PE
berdiameter 10 mm. Posisi tanaman sekitar 30 cm di atas dasar perairan
(perkirakan pada saat surut terendah masih tetap terendam air).
Pemeliharaan rumput laut dilakukan dengan cara membersihkan tanaman
dari tumbuhan dan lumpur yang mengganggu, sehingga tidak menghalangi
tanaman dari sinar matahari dan mendapatkan makanan. Jika ada sampah yang
menempel, angkat tali perlahan, agar sampah-sampah yang menyangkut bisa
larut kembali. Jika ada tali bentangan yang lepas ikatannya, sudah lapuk atau
putus, segera diperbaiki dengan cara megencangkan ikatan atau mengganti
dengan tali baru.
Pemanenan rumput laut sangat tergantung dari tujuannya. Jika tujuan
memanen untuk mendapatkan rumput laut kering kualitas tinggi dengan
kandungan karaginan banyak, panen dilakukan pada umur 45 hari (umur ideal),
sedangkan untuk tujuan mendapatkan bibit yang baik, pemanenan rumput laut
dilakukan pada umur 25–35 hari. Pemanenan budidaya rumput laut dapat
dilakukan dengan dua cara : (1) memotong sebagian tanaman. Cara ini bisa
menghemat tali pengikat bibit, namun perlu waktu lama, dan (2) mengangkat
seluruh tanaman. Cara ini memerlukan waktu kerja yang singkat. Pelepasan
tanaman dari tali dilakukan di darat dengan cara memotong tali.

2.3.3 Budidaya Tiram Mutiara


Mutiara merupakan salah satu komoditas dari sektor kelautan yang
bernilai ekonomi tinggi dan memiliki prospek pengembangan usaha di masa
datang. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya peminat perhiasan mutiara
dan harganya yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Potensi
mutiara dari Indonesia yang diperdagangkan di pasar dunia sangat berpotensi
untuk ditingkatkan. Saat ini Indonesia baru memberikan porsi 26% dari
29

kebutuhan di pasar dunia, dan angka ini masih dapat untuk ditingkatkan sampai
50%. Sumber daya kelautan Indonesia masih memungkinkan untuk
dikembangkan, baik dilihat dari ketersediaan areal budidaya, tenaga kerja yang
dibutuhkan, maupun kebutuhan akan peralatan pendukung budidaya mutiara.
Mutiara yang dibudidayakan di Indonesia, terutama di Nusa Tenggara
Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Lampung, Irian Jaya, Sulawesi, dan
Halmahera merupakan jenis kerang Pinctada Maxima atau di pasaran
internasional dikenal dengan Mutiara Laut Selatan (MLS) atau south sea pearl.
Tiram muda jenis Pinctada Maxima mempunyai warna cangkang
bervariasi dengan warna dasar kuning pucat, kuning tua, cokelat kemerahan,
merah anggur, dan kehijauan. Pada cangkang bagian luar, terdapat garis-garis
radier yang menonjol seperti sisik yang berwarna lebih terang daripada warna
dasar cangkang. Perusahaan pembudidayaan mutiara di NTT adalah PT. Timor
Outsuki Mutiara (TOM) yang bertempat di Kupang.
Hal yang terpenting dalam usaha budidaya mutiara adalah ketepatan
dalam pemilihan lokasi. Lokasi budidaya kerang mutiara hendaknya berada di
perairan atau pantai yang memiliki arus tenang dan terlindung dari pengaruh
angin musim, selain itu kualitas air disekitar budidaya kerang mutiara harus
terbebas dari polusi atau pencemaran serta jauh dari perumahan penduduk,
karena polusi dan pencemaran dapat mengakibatkan kegagalan usaha. Lokasi
yang sesuai adalah berupa teluk dan pulau-pulau kecil yang tenang. Dasar
perairan yang memiliki karang atau berpasir merupakan lokasi yang baik untuk
melakukan budidaya kerang. Kondisi suhu yang baik untuk kerang adalah
berkisar antara 25-30oC dan suhu air berkisar antara 27-31oC. Perubahan kondisi
suhu yang drastis dapat mengakibatkan kematian spat karena suhu air
menentukan pola metabolisme.
Untuk memulai usaha budidaya kerang mutiara memang dibutuhkan
investasi yang relatif besar, paling tidak 750 juta rupiah sampai 1 miliar rupiah
untuk 10.000 jumlah tiram yang dibudidayakan. Bank memberikan kredit untuk
perusahaan (misalnya PT), dan tidak untuk kelompok, apalagi secara individu.
Kredit yang diberikan oleh bank biasanya digunakan untuk investasi sebesar
70% dan untuk modal kerja sebesar 30%. Selain itu biasanya bank tidak
mensyaratkan adanya bantuan teknis yang berkaitan dengan usaha budidaya
mutiara dari dinas terkait, misalnya DKP. Fasilitas produksi dan peralatan utama
yang dibutuhkan untuk budidaya tiram mutiara (Lampiran 1) ini adalah :
30

1. Rakit Pemeliharaan
Rakit apung selain sebagai tempat pemeliharaan induk, pendederan, dan
pembesaran, juga berfungsi sebagai tempat aklimatisasi (beradaptasi) induk
pasca pengangkutan. Bahan rakit dapat dibuat dari kayu berukuran 7 m x 7
m. selain kayu, bahan rakit dapat pula terbuat dari bambu, pipa paralon, besi,
ataupun alumunium. Bahan pembuat ini disesuaikan dengan anggaran,
ketersediaan bahan, dan umur ekonomis.
Untuk menjaga agar rakit tetap terapung, digunakan pelampung seperti
pelampung yang terbuat dari styrofoam, drum plastik, dan drum besi. Agar rakit
tetap kokoh, maka sambungan sambungan kayu diikat dengan kawat galvanizir.
Apabila kayu berbentuk persegi, maka sambungan dapat menggunakan baut.
Pemasangan rakit hendaknya dilakukan pada saat air pasang tertinggi dan
diusahakan searah dengan arus air atau sejajar dengan garis pantai. Hal ini
bertujuan untuk menghindari kerusakan rakit apabila terjadi gelombang besar.
Agar rakit tetap berada pada posisi semula, maka rakit diberi jangkar berupa
pemberat yang terbuat dari semen seberat 50-60 kg. Tali jangkar yang
digunakan antara 4-5 kali kedalaman tempat.

2. Keranjang Pemeliharaan Induk


Keranjang pemeliharaan induk bisa terbuat dari kawat galvanizir, plastik,
atau kawat alumunium. Jika menggunakan bahan dari kawat, sebaiknya
keranjang dilapisi atau dicelupkan dengan bahan plastik atau aspal sehingga
daya tahan keranjang tersebut lebih lama. Ukuran keranjang 25 cm x 25cm x 60
cm. Ukuran ini dapat bervariasi, tergantung ukuran induk, ketersediaan bahan,
biaya, dan kemudahan penanganannya. Satu keranjang pemeliharaan dapat diisi
dengan induk ukuran dorso ventral 17-20 cm (DVM) sebanyak 8-10 ekor.
Untuk pendederan atau pemeliharaan spat yang baru dipindahkan dari
hatchery, digunakan keranjang jaring ukuran 40 cm x 60 cm. Untuk spat ukuran
2-3 cm dipelihara dalam keranjang dengan lebar jaring ukuran 0,5-1 cm. Lebar
mata jaring yang digunakan disesuaikan dengan ukuran spat. Semakin besar
ukuran spat, maka digunakan jaring dengan mata jaring yang lebih besar pula
agar sirkulasi air dapat terjaga dengan baik.

3. Spat Kolektor
Bahan yang digunakan untuk tempat penempelan spat atau sebagai
substrat disebut kolektor. Spat kolektor dapat terbuat dari berbagai jenis bahan,
31

misalnya serabut tali PE, senar plastik, paranet, asbes gelombang, genteng fiber,
atau bilah pipa paralon. Jika terbuat dari bahan paranet, serabut tali, atau bahan
lain berbentuk serabut, maka harus digunakan kantong untuk meletakkan bahan
tersebut. Keranjang jaring dengan kerangka besi atau kawat ukuran 40 cm x 60
cm juga dapat digunakan sebagai wadah kolektor. Potongan paranet atau
serabut tali dimasukkan ke dalam kantong-kantong jaring dan diikat erat. Pipa
paralon juga dapat digunakan sebagai kolektor. Caranya pipa paralon
berdiameter 2-3 inci dipotong sepanjang 30-50 cm, lalu dibelah menjadi dua.
Selanjutnya belahan pipa tersebut dijalin dengan tali PE (berdiameter 3-5 mm)
sepanjang 40-50 cm.

4. Bak Pencucian
Bak pencucian digunakan untuk membersihkan tiram mutiara dari
organisma dan parasit lain yang menempel pada tiram mutiara. Organisma dan
parasit yang menempel di kulit tiram akan mengakibatkan lambatnya
pertumbuhan tiram mutiara. Bak pencucian biasanya terbuat dari fiberglass,
tetapi ada juga bak pencucian ini terbuat dari bahan lain yang awet, seperti dari
semen, plastik dan bahan lainnya.
Bila dilihat dari umur ekonomisnya, masing-masing peralatan memiliki
umur ekonomi relatif pendek, terutama untuk keranjang jaring, keranjang kawat,
tali tambang, pelampung jalur tambang, dan spat kolektor. Hal ini dikarenakan
peralatan dan fasilitas tersebut rentan terhadap korosi air laut. Bahan baku yang
dibutuhkan untuk budidaya mutiara ini ada dua macam, yaitu : (1) spat (benih)
tiram mutiara jenis Pinctada maxima; dan (2) inti bundar (nukleus) . Kedua jenis
bahan baku ini merupakan bahan baku utama yang harus ada dalam proses
budidaya tiram mutiara. Inti bundar atau nukleus merupakan benda yang
disuntikkan kedalam tiram untuk menghasilkan mutiara.
Tenaga kerja untuk budidaya mutiara ini harus memiliki keahlian khusus,
terutama untuk melakukan operasi penyuntikan nukleus kedalam tiram mutiara.
Ketidaktepatan dalam penempatan nukleus akan mengakibatkan kegagalan
panen karena nukleus yang sudah dimasukkan akan dimuntahkan kembali.
Untuk tenaga kerja lain, seperti tenaga kerja untuk perawatan tiram mutiara dan
tenaga kerja untuk keamanan tidak memerlukan keahlian khusus. Jumlah tenaga
kerja untuk keamanan relatif banyak karena budidaya ini rentan terhadap
perampokan dan pencurian.
32

Teknologi yang digunakan pada budidaya tiram mutiara ini merupakan


kombinasi antara teknologi sederhana dan teknologi modern. Teknologi
sederhana yang digunakan dalam budidaya mutiara ini adalah penggunaan
fasilitas rakit apung, sedangkan teknologi modern yang digunakan adalah
bioteknologi untuk perawatan tiram dari spat sampai tiram siap untuk dioperasi.
Teknologi operasi peletakan nukleus pada kerang yang telah cukup umur
(ukuran minimal 9 cm) sangatlah rumit dan kompleks. Untuk pengoperasian ini
digunakan tenaga kerja asing yang sebagian besar berasal dari Jepang.
Proses budidaya tiram mutiara secara garis besar melalui tiga tahapan,
yaitu: pengoperasian tiram, pemeliharaan, dan panen. Untuk proses produksi
usaha budidaya mutiara ini, spat yang berukuran 700 mµ dipelihara dan
dibersihkan, serta diseleksi untuk dibudidayakan. Setelah tiram diseleksi, maka
tahap selanjutnya adalah memasukkannya kedalam kolektor. Isi satu kolektor
untuk ukuran ini adalah 200-300 buah. Spat yang dipelihara tersebut akan
dipelihara selama 2 bulan. Setelah 2 bulan, maka spat akan bertambah menjadi
2-3 cm. Dalam jangka waktu tersebut, ukuran masing-masing tiram tidak selalu
sama. Langkah selanjutnya adalah memasukkan tiram ukuran 2-3 cm tersebut
kedalam waring (net) yang berisi 20 buah. Tiram mutiara yang telah dipelihara
dalam kurun waktu tersebut akan siap dioperasi apabila ukuran minimalnya 9 cm.
Rata rata pertumbuhan tergantung pada suhu dan kondisi air. Apabila kondisi air
berkurang, maka tiram kemungkinan tidak terjadi pertumbuhan. Setelah satu
setengah tahun dioperasi maka tiram sudah dapat menghasilkan mutiara yang
siap untuk diperdagangkan.

(1) Pengoperasian Tiram Mutiara


Cara pemasangan inti mutiara bulat pada tiram mutiara yang telah
terbuka cangkangnya, dengan menempatkannya dalam penjepit dengan posisi
bagian anterior menghadap ke pemasang inti. Setelah posisi organ bagian dalam
terlihat jelas, dibuat sayatan mulai dari pangkal kaki menuju gonad dengan hati-
hati. Kemudian dengan graft carrier masukkan graft tissue (potongan mantel) ke
dalam torehan yang dibuat. Inti dimasukkan dengan nucleus carrier secara hati-
hati sejalur dengan masuknya mantel dan penempatannya harus bersinggungan
dengan mantel, setelah pemasangan inti selesai, tiram mutiara dipelihara dalam
keranjang pemeliharaan. Untuk pemasangan inti mutiara setengah bulat (blister),
tiram mutiara yang telah terbuka cangkangnya diletakkan dalam penjepit dengan
posisi bagian ventral menghadap arah pemasang inti. Inti mutiara blister
33

bentuknya setengah bundar, jantung atau tetes air. Diameter inti mutiara blister
berkisar 1-2 cm. Setelah itu sibakkan mantel yang menutupi cangkang dengan
spatula, sehingga cangkang bagian dalam (nacre) terlihat jelas. Inti mutiara
blister yang telah diberi lem/perekat dengan alat blister carrier ditempatkan pada
posisi yang dikehendaki; minimal 3 mm di atas otot adducator.
Setelah cangkang bagian atas diisi inti mutiara blister, kemudian tiram
mutiara dibalik untuk pemasangan inti cangkang yang satunya. Diusahakan
pemasangan inti ini tidak saling bersinggungan bila cangkang menutup. Satu
ekor tiram mutiara dapat dipasangi inti mutiara blister sebanyak 8-12 buah,
dimana setiap belahan cangkang dipasangi 4-6 buah, setelah pemasangan inti
mutiara blister selesai, tiram mutiara dipelihara dalam keranjang pemeliharaan di
laut.

(2) Proses Pemeliharaan


Tiram mutiara yang dipasangi inti mutiara bulat perlu dilakukan
pengaturan posisi pada waktu awal pemeliharaan, agar inti tidak dimuntahkan
keluar. Disamping itu tempat dimasukkan inti pada saat operasi harus tetap
berada dibagian atas. Pemeriksaan inti dengan sinar-X dilakukan setelah tiram
mutiara dipelihara selama 2 sampai 3 bulan, dengan maksud untuk mengetahui
apabila inti yang dipasang dimuntahkan atau tetap pada tempatnya.
Pembersihan cangkang tiram mutiara dan keranjang pemeliharaannya harus
dilakukan secara berkala; tergantung dari kecepatan/kelimpahan organisme
penempel.

(3) Panen
Waktu yang dibutuhkan dari setelah dioperasi (nukleus dimasukkan
kedalam kerang) sampai dengan masa panen adalah 1,5 tahun. Jadi jangka
waktu dari mulai spat sampai dengan panen dibutuhkan waktu kurang lebih tiga
tahun. Dalam satu tahun dapat dilakukan 2-3 kali operasi sehingga dalam satu
tahun dapat dipanen lebih dari satu kali. Setelah kerang menghasilkan mutiara,
maka kerang dewasa tersebut dapat dioperasi lagi sebanyak 2-3 kali, dengan
setiap masa panen menunggu jangka waktu 1 tahun.
Jumlah produksi mutiara tergantung pada jumlah kerang yang sudah
dioperasi. Setiap kerang akan menghasilkan satu butir mutiara seberat antara
2,5-3 gr. Risiko kegagalan dari budidaya ini cukup tinggi, yaitu rata-rata 30%.
Artinya dari 10.000 kerang yang dipelihara dan dioperasi, 3.000 diantaranya
34

akan mati atau gagal panen. Dengan cara pembudidayaan yang benar, maka
jenis mutiara yang dihasilkan dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu : round
(bundar sempurna), semi round (agak bundar), drop (bentuk tetesan air), oval
(lonjong), dan barok (bentuk tidak beraturan). Mutiara yang dihasilkan sangat
tergantung dari teknik menyuntik dan kondisi alam selama proses penyuntikan
sampai dengan panen.
Kapasitas produksi optimum tergantung pada jumlah blok yang dimiliki,
setiap blok biasanya berukuran lebar 10 m dan panjang rentang tali 100 m.
Untuk setiap blok terdapat 11 buah rentang tali yang berjarak masing-masing 1
m. Rata-rata jarak antar blok 10-15 m dan sangat tergantung pada ketersediaan
lokasi. Jumlah kerang berukuran 10 cm yang siap dioperasi sekitar 10% dari
jumlah seluruh kerang yang dimiliki. Kerang besar dimasukkan ke dalam kantung
jaring berbingkai besi dengan ukuran 40 cm x 70 cm untuk 8-12 kerang.
Pengusaha mutiara mengalami kesulitan karena mutiara yang dihasilkan
pada satu musim panen tidak seragam baik keseragaman bentuk maupun
keseragaman kualitas. Selain itu risiko keamanan dari pencurian dan
perampokan merupakan kendala produksi yang seringkali mengakibatkan
kerugian sampai miliaran rupiah, bahkan kebangkrutan.

2.3.4 Budidaya Teripang


Ketimun laut atau teripang atau trepang adalah istilah yang diberikan
untuk hewan invertebrata timun laut (Holothuroidea) yang dapat dimakan.
Teripang tersebar luas di lingkungan laut diseluruh dunia, mulai dari zona pasang
surut sampai laut dalam terutama di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik Barat,
diberi nama “sea cucumber” karena bentuknya seperti ketimun. Kelompok hewan
ini adalah sea cucumbers atau holothurians (disebut holothurians karena hewan
ini dimasukkan dalam kelas Holothuroidea). Kelompok timun laut yang ada di
dunia ini lebih dari 1200 jenis, dan sekitar 30 jenis di antaranya adalah kelompok
teripang. Teripang adalah hewan yang bergerak lambat, hidup pada dasar
substrat pasir, lumpur pasiran maupun dalam lingkungan terumbu. Teripang
merupakan komponen penting dalam rantai makanan di terumbu karang dan
ekosistem asosiasinya pada berbagai tingkat struktur pakan (trophic levels).
Teripang berperan penting sebagai pemakan deposit (deposite feeder) dan
pemakan suspensi (suspention feeder). Di wilayah Indo-Pasifik, pada daerah
terumbu yang tidak mengalami tekanan eksploitasi, kepadatan teripang bisa
lebih dari 35 ekor per m2, dimana setiap individunya bisa memproses 80 gr berat
35

kering sedimen setiap harinya (Rustam, 2006). Beberapa spesies teripang yang
mempunyai nilai ekonomis penting diantaranya: teripang putih (Holothuria
scabra), teripang koro (Microthele nobelis), teripang pandan (Theenota ananas),
teripang dongnga (Stichopu ssp) dan beberapa jenis teripang lainnya (DKP,
2006).

Filum : Echinodermata
Sub-filum : Echinozoa
Kelas : Rhodophyceae
Sub-kelas : Aspidochirotacea
Ordo : Aspidochirotda
Famili : Holothuridae
Genus : Holothuria
Spesies : Holothuria scabra

Pemilihan Lokasi
Untuk mendapatkan lokasi budidaya teripang yang baik diperlukan
pemilihan lokasi budidaya. Kegiatan tersebut merupakan salah satu syarat yang
cukup menentukan untuk mencapai keberhasilan suatu usaha budidaya teripang.
Hal ini disebabkah lokasi atau tempat pemeliharaan teripang adalah tempat yang
secara langsung mempengaruhi kehidupannya.
Adapun kriteria pemilihan lokasi budidaya teripang (DKP, 2006; Rustam,
2006) adalah sebagai berikut : (1) tempat terlindung bagi budidaya teripang
diperlukan tempat yang cukup terlindung dari guncangan angin dan ombak, (2)
kondisi dasar perairan hendaknya berpasir, atau pasir berlumpur bercampur
dengan pecahan-pecahan karang dan banyak terdapat tanaman air semacam
rumput laut atau alang-alang laut, (3) salinitas dengan kemampuan yang terbatas
dalam pengaturan esmatik, teripang tidak dapat bertahan terhadap perubahah
drastis atas salinitas (kadar garam). Salinitas yang cocok adalah antara 30–33
gr/kg, (4) kedalaman air untuk teripang hidup pada kedalaman yang berbeda
menurut besarnya. Teripang muda tersebar di daerah pasang surut, setelah
tambah besar pindah ke perairan yang dalam. Lokasi yang cocok bagi budidaya
sebaliknya pada kedalaman air laut 0,40-1,50 m pada air surut terendah, (5)
ketersediaan benih di lokasi budidaya sebaiknya tidak jauh dari tempat hidup
benih secara alamiah. Terdapatnya benih alamiah adalah indikator yang baik
bagi lokasi budidaya teripang, dan (6) kondisi lingkungan perairan sebaiknya
harus memenuhi standard kualitas air laut yang baik bagi kehidupan teripang
seperti : pH 6,5–8,5, kecerahan air laut 50 cm, kadar oksigen terlarut 4–8 mg/l,
36

dan suhu air laut 20–25°C. Disamping itu, lokasi harus bebas dari pencemaran
seperti bahan organik, logam, minyak dan bahan-bahan beracun lainnya.

Metode Budidaya
Metode yang digunakan untuk membudidayakan teripang (ketimun laut)
yaitu dengan menggunakan metode penculture. Metode penculture adalah suatu
usaha memelihara jenis hewan laut yang bersifat melata dengan cara memagari
suatu areal perairan pantai seluas kemampuan atau seluas yang diinginkan
sehingga seolah-olah terisolasi dari wilayah pantai lainnya (DKP, 2006).
Bahan yang digunakan ialah jaring (super-net) dengan mata jaring
sebesar 0,5–1 inchi atau dapat juga dengan bahan bambu (kisi-kisi). Dengan
metode ini maka lokasi/areal yang dipagari tersebut akan terhindar dari hewan-
hewan pemangsa (predator) dan sebaliknya hewan laut yang dipelihara tidak
dapat keluar dari areal yang telah dipagari tersebut (Rustam, 2006).
Pemasangan pagar untuk memelihara teripang, baik pagar bambu (kisi-
kisi) ataupun jaring super net cukup setinggi 50-100 cm dari dasar perairan. Luas
lokasi yang ideal penculture ini antara 500-1.000 m2 (DKP, 2006). Teripang yang
dijadikan induk ialah yang sudah dewasa atau diperkirakan sudah dapat
melakukan reproduksi dengan ukuran berkisar antara 20–25 cm, sedangkan
benih teripang alam yang baik untuk dibudidayakan dengan metoda penculture
adalah yang memiliki berat antara 30-50 gr per ekor atau kira-kira memiliki
panjang badan 5-7 cm. Pada ukuran tersebut benih teripang diperkirakan sudah
lebih tahan melakukan adaptasi terhadap lingkungan yang baru. Konstruksi
penculture dapat dilihat pada Lampiran 1.
Faktor makanan dalam pemeliharaan (budidaya teripang tidak menjadi
masalah sebagaimana halnya hewan-hewan laut lainnya. Teripang dapat
memperoleh makanannya dari alam, berupa plankton dan sisa-sisa endapan
karang yang berada di dasar laut. Namun demikian untuk lebih mempercepat
pertumbuhan teripang dapat diberikan makanan tambahan berupa campuran
dedak dan pupuk kandang (kotoran ayam).
Teripang dapat hidup bergerombol ditempat yang terbatas. Oleh karena
itu dalam usaha budidayanya dapat diperlakukan dengan padat penebaran yang
tinggi. Untuk ukuran benih teripang sebesar 20–30 gr per ekor, padat penebaran
berkisar antara 15–20 ekor per m2, sedangkan untuk benih teripang sebesar 40-
50 gr per ekor, padat penebarannya berkisar antara 10–15 ekor per m2.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya dilakukan pada sore hari, hal ini
37

disesuaikan dengan sifat hidup atau kebiasaan hidup dari teripang. Pada waktu
siang hari teripang tidak begitu aktif bila dibandingkan dengan pada malam hari,
karena pada waktu siang hari ia akan membenamkan dirinya dibawah dasar
pasir/karang pasir untuk beristirahat dan untuk menghindari/melindungi dirinya
dari pemangsa/predator, sedangkan pada waktu malam hari akan lebih aktif
mencari makanan, baik berupa plankton maupun sisa-sisa endapan karang yang
berada di dasar perairan tempat hidupnya.
Waktu yang tepat untuk memulai usaha budidaya teripang disuatu lokasi
tertentu ialah 2-3 bulan setelah waktu pemijahan teripang di alam (apabila
menggunakan benih dari alam). Benih alam yang berumur 2-3 bulan diperkirakan
sudah mencapai berat 20–50 gr per ekor. Pemungutan hasil panen dapat
dilakukan setelah ukuran teripang berkisar antara 4-6 ekor per kg (market size).
Untuk mendapatkan ukuran ini biasanya teripang dipelihara selama 6-7 bulan,
dengan survival yang dicapai kurang lebih 80% dari total penebaran awal. Panen
dilakukan pada pagi hari sewaktu air sedang surut dan sebelum teripang
membenamkan diri. Panen dapat dilakukan secara bertahap yaitu dengan
memilih teripang yang berukuran besar atau juga dapat dilakukan secara total,
kemudian dilakukan seleksi menurut golongan ukuran. Pemeliharaan teripang
diseluruh lokasi dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa memperhatikan musim
angin. Oleh karena teripang dipelihara pada perairan yang dangkal (0,5-1,5 m
pada surut terendah), maka pengaruh musim angin termasuk musim utara tidak
menjadi permasalahan. Dengan demikian pemeliharaan teripang dapat dilakukan
sepanjang tahun.

2.4 Sistem Informasi Geografi


Pada pengertian yang lebih luas sistem informasi geografis (SIG)
mencakup juga pengertian sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan operasi
pengumpulan, penyimpanan dan manipulasi data yang bereferensi geografi
(ESRI, 1990; Chrisman, 1996). Burrough (1986) memberikan definisi yang agak
bersifat umum, yaitu SIG sebagai suatu perangkat alat untuk mengumpulkan,
menyimpan, menggali kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial
dari aspek–aspek permukaan bumi. DeMers (1997), mendefinisikan SIG sebagai
suatu teknologi informasi yang menyimpan, menganalisis, dan mengkaji baik
data spasial maupun non spasial. Walaupun agak berbeda dalam definisi
tersebut, kedua definisi menyatakan secara implisit bahwa SIG berkaitan
38

langsung sebagai sistem informasi yang berorientasi teknologi, walaupun tidak


menyebutkan secara spesifik definisi SIG sebagai suatu sistem berdasarkan
komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi
geografi yang mencakup: (a) pemasukan, (b) manajemen data (penyimpanan
data dan pemanggilan kembali), (c) manipulasi dan analisis, dan (d)
pengembangan produk dan pencetakan.
Pengertian SIG diatas perlu ditambahkan pernyataan Jurana (1996)
bahwa dalam pengertian yang lebih luas lagi harus dimasukkan dalam definisi
SIG selain perangkat keras dan perangkat lunak, juga pemakai dan
organisasinya, serta data yang dipakai. Lebih lanjut Maguire and Dangermond
(1991) mengidentifikasikan bahwa fungsi SIG adalah pengumpulan,
pembaharuan dan perbaikan data; penyimpanan dan strukturisasi data,
generalisasi data, transformasi data, pencarian data, analisis, dan presentasi
hasil analisis. Kemampuan-kemampuan tersebut umumnya dimiliki oleh
beberapa perangkat lunak SIG, dengan kemampuan yang memuaskan dan
mudah digunakan.
Beberapa perangkat lunak memiliki perbedaan pada beberapa fungsi
seperti output kartografi dan presentasi serta cara analisis. Terdapat dua fungsi
utama SIG yaitu kemampuan mencari data (query) dan analisis. Query data
dapat menghubungan antara data spasial dan data atribut. Fungsi query pada
data spasial adalah pencarian data/lokasi dan overlay (tumpang tindih) beberapa
peta. Pencarian lokasi dilakukan berdasarkan kriteria yang ditetapkan seperti
buffer (daerah penyangga), dan informasi yang terdapat di wilayah buffer
tersebut. Overlay peta dapat menggunakan objek (feature) pada 2 atau lebih
peta (layer). Fungsi overlay ini dapat digunakan untuk beberapa lokasi yang
dipilih, seperti menentukan tipe penutupan vegetasi tertentu, jenis tanah, dan
kepemilikannya. Hubungan antara data spasial dan atribut ini dapat pula
menentukan obyek dengan kriteria titik seperti lokasi yang menghasilkan macam
bahan pencemar.
Berbagai bentuk analisis spasial dapat dilakukan dengan menggunakan
SIG adalah (1) operasi titik (point operation), yaitu tipe analisis dengan
memasukan beberapa formula aljabar dan overlay beberapa layer data; (2)
operasi tetangga (operation neighbourhood) yakni tipe analisis yang
menghubungkan titik pada suatu lokasi di permukaan bumi dengan semua
informasi atributnya, dengan lingkungan disekitarnya, sebagai contoh
39

menentukan kesesuaian lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan; (3)


analisis jaringan (network analysis) yakni tipe analisis yang menghubungkan
beberapa tampilan data (feature) berupa garis, seperti menentukan jalan dengan
jarak terdekat di antara dua kota. Alat untuk melakukan analisis-analisis seperti
tersebut di atas telah tersedia pada beberapa perangkat lunak SIG.
Pada aplikasi penggunaan ketiga tipe analisis tersebut, sepenuhnya
tergantung kepada keterampilan pengguna untuk menentukan tipe analisis mana
yang akan di pakai. Beberapa perangkat lunak SIG menyediakan fasilitas bahasa
pemrograman makro yang dapat diintegrasikan pada semua bentuk pekerjaan
SIG. Dengan bahasa pemrograman tersebut pengguna dapat membuat aplikasi
rutin untuk tujuan tertentu. Produk atau output SIG dapat berupa peta (berwarna
atau hitam putih), tabel, angka statistik, dan laporan.

2.5 Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung


2.5.1 Kesesuaian Lahan
Proses penentuan pemanfaatan ruang sangat bergantung pada
penentuan lokasi yang secara biogeofisik sesuai sehingga dapat menjamin
kelangsungan kegiatan pada lokasi yang sesuai, tidak saja mencegah kerusakan
lingkungan tetapi juga menjamin keberhasilan ekonomi kegiatan tersebut. Tahap
pertama dalam proses pemanfaatan ruang adalah penentuan kelayakan
biogeofisik dari wilayah pesisir dan laut. Pendugaan kelayakan biogeofisik
dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biogeofisik setiap kegiatan,
kemudian dipetakan (dibandingkan dengan karakteristik biogeofisik wilayah
pesisir itu sendiri). Dengan cara ini kemudian ditentukan kesesuaian penggunaan
setiap unit (lokasi) peruntukan di wilayah pesisir dan laut.
Penentuan kelayakan biogeofisik ini dapat dilakukan dengan
menggunakan teknologi SIG seperti arc view (Kapetsy et al., 1987). Informasi
dasar biasanya dalam bentuk peta tematik, yang diperlukan untuk menyusun
kelayakan biogeofisik ini tidak saja meliputi karakteristik daratan dan
hidrometerologi seperti kelerengan, tutupan lahan, peruntukan lahan, dan lain-
lain tetapi juga oseanografi dan biologi perairan pesisir dan laut seperti pasang
surut, arus, kedalaman, ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang dan lain-
lain. Berdasarkan fungsinya, ruang dapat dikelompokkan menjadi kawasan
lindung dan budidaya yang masing-masing memiliki persyaratan biogeofisik.
Kawasan lindung merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang
40

tinggi, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan manusia kecuali penelitian
ilmiah atau seremoni keagamaan/budaya oleh masyarakat lokal dan harus dapat
diterima dan didukung oleh masyarakat lokal; sedangkan kawasan budidaya
dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukkan sesuai dengan kemampuan
lahannya (Dacles et al., 2000). Aktifitas budidaya laut untuk masing-masing
kriteria kesesuaian budidaya laut menurut DKP, 2002 disajikan dalam bentuk
tabel pada Lampiran 2.
Kesesuaian suatu ruang untuk kegiatan tertentu akan dapat berkurang
bahkan menjadi tidak sesuai jika kemampuan sistem yang ada didalamnya tidak
mampu lagi untuk menanggung beban kegiatan yang dilakukan diatasnya. Oleh
karena setiap sistem memiliki ambang batas atau kemampuan untuk mendukung
aktifitas didalamnya. Kemampuan dimaksud disebut sebagai kemampuan
mendukung atau daya dukung yang ada di suatu sistem tertentu.

2.5.2 Daya Dukung Lahan


UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) Bab 1 pasal 1 disebutkan bahwa daya dukung
lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya.
Daya dukung didefinisikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap
sumberdaya alam yang berlangsung secara terus-menerus tanpa merusak alam
(Price, 1999).
Daya dukung merupakan alat perencanaan, digambarkan sebagai
kemampuan dari suatu sistem tiruan atau alami untuk mendukung permintaan
dari berbagai penggunaan sampai suatu titik tertentu yang dapat mengakibatkan
ketidakstabilan, penurunan, atau kerusakan (Godschalk and Park, 1978).
Roughgarden (1979) menyatakan bahwa daya dukung adalah suatu ukuran
jumlah organisme yang dapat di dukung oleh lingkungan pada sumberdaya yang
dapat diperbaharui.
Dalam upaya pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam di
pesisir, faktor daya dukung lahan/lingkungan merupakan faktor yang harus
dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa sumberdaya alam
dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan apabila dikelola dengan tetap
memperhatikan daya dukung lahan dan lingkungannya. Daya dukung dapat
dinaikkan kemampuannya oleh manusia dengan memasukkan dan
menambahkan ilmu dan teknologi ke dalam suatu lingkungan. Namun demikian
41

peningkatan daya dukung lingkungan memiliki batas-batas dimana pada


keadaan tertentu cenderung sulit atau tidak ekonomis lagi bahkan tidak mampu
lagi dinaikkan kemampuannya karena akan terjadi kerusakan pada sumberdaya
atau ekosistem. Penggunaan IPTEK yang tidak bijaksana justru akan
menghancurkan daya dukung lingkungan.
Kelestarian, keberadaan atau optimisasi manfaat dari suatu sumberdaya
alam dan lingkungan merupakan salah satu persyaratan dilakukannya penilaian
daya dukung (carrying capacity). Tujuan utama dari penilaian ini adalah untuk
mempertahankan atau melestarikan potensi sumberdaya alam dari areal tersebut
pada batas-batas penggunaan yang diperkenankan atau yang dimungkinkan.
Nilai yang dihasilkan dari perhitungan atau pendekatan daya dukung dari
sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting untuk menentukan bentuk-
bentuk pengelolaan terhadap sumberdaya tersebut terutama dalam tujuan
menjaga, mengendalikan, dan juga melestarikan lingkungan.
Penilaian yang sistematik terhadap sumberdaya alam dan lingkungan
yang menjadi dasar dari kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya dilakukan
terutama untuk mengetahui potensinya. Dengan pendekatan ini maka akan
dapat diketahui kapasitas dari suatu kawasan atau ekosistem yang dinilai, yang
selanjutnya akan dapat merupakan ukuran dan/atau nilai pendugaan terhadap
kualitas sumberdaya alam dan lingkungan.

2.6 Pendekatan Sistem


Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang
berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu
lingkungan yang kompleks. Pengertian ini mencerminkan adanya beberapa
bagian dan hubungan antara bagian dan menunjukkan kompleksitas dari sistem
yang meliputi kerjasama antara bagian yang interdependen satu sama lain
(Marimin, 2004), sedangkan pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu
metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan tentatif mendefinisikan
atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara
efektif dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan (Eriyatno, 1998).
Menurut Manetsch and Park (1979), suatu pendekatan sistem akan dapat
berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut : (1) tujuan sistem
didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, (2)
prosedur pembuatan keputusan dalam sistem ini adalah terdesentralisasi atau
42

cukup jelas batasannya, (3) dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan


dilakukan. Sistem terdiri atas dua jenis yaitu sistem statis dan sistem dinamik
(Djojomartono, 2000). Sistem statis adalah sistem yang nilai outputnya tidak
tergantung pada nilai inputnya. Sedangkan sistem dinamik adalah sistem yang
memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari
perubahan input dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Dengan demikian
nilai output sangat bergantung pada nilai dari variabel-variabel input sebelumnya.
Sistem dinamik dicirikan oleh adanya delay time yang menggambarkan
ketergantungan output terhadap varibel input pada periode waktu tertentu.
Hardjomidjojo, 2006 menyatakan bahwa penyelesaian persoalan dengan
pendekatan sistem dapat ditekankan pada tiga filosofi sistem yang dikenal
sebagai SHE (sibernetik, holistik, dan efektifitas). Sibernetik dapat diartikan
bahwa dalam penyelesaian masalah tidak berorientasi pada permasalahan
(problem oriented) tetapi lebih berorientasi pada tujuan (goal oriented). Holistik
lebih menekankan pada penyelesaian masalah secara utuh dan menyeluruh,
sedangkan efektivitas berarti bahwa sistem yang telah dikembangkan tersebut
harus dapat dioperasikan. Lebih lanjut Eriyatno dan Sofyar (2007) menyatakan
bahwa dalam penyelesaian persoalan dengan pendekatan sistem, harus
memenuhi tiga karakteristik yaitu kompleks, dinamis, dan probabilistik.

2.6.1 Pemodelan dengan Interpretasi Struktur (ISM)


Pemodelan dengan interpretasi struktur (interpretative structural system -
ISM) merupakan salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk
perencanaan kebijakan strategis. Menurut Eriyatno (1998) dalam Marimin (2004),
ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-
model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu
sistem melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan
grafis serta kalimat. Saxena (1992) dalam Marimin (2004) menyebutkan sembilan
elemen yang dapat dianalisis dengan pendekatan ISM yaitu (1) sektor
masyarakat yang terpengaruh, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama
program, (4) perubahan yang diinginkan, (5) tujuan dari program, (6) tolak ukur
untuk menilai setiap tujuan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan
tindakan, (8) ukuran aktifitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai setiap
aktivitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.
Setiap elemen dijabarkan menjadi sejumlah sub elemen. Dalam suatu
kajian dengan menggunakan ISM, analisis dapat dilakukan terhadap semua
43

elemen seperti dikemukakan atas atau hanya sebagian elemen saja tergantung
tujuan yang ingin dicapai dalam kajian yang dilakukan. Apabila hanya sebagian
elemen yang dikaji, maka penentuan elemen-elemennya didasarkan pada hasil
pendapat pakar termasuk penyusunan sub elemen pada setiap elemen yang
terpilih. Setelah ditetapkan elemen dan sub elemen, selanjutnya ditetapkan
hubungan kontekstual antar sub elemen yang terkandung adanya suatu
pengarahan (direction) dalam terminologi sub ordinat yang menuju pada
perbandingan berpasangan seperti apakah tujuan A lebih penting dari tujuan B.
perbandingan berpasangan yang menggambarkan keterkaitan antara sub
elemen atau tidaknya hubungan kontekstual dilakukan oleh pakar. Beberapa
keterkaitan antara sub elemen dengan teknik ISM dapat dilihat seperti Tabel 1.

Tabel 1 Keterkaitan antara sub elemen pada teknik ISM (Marimin, 2004)
No. Jenis Keterkaitan Sub Elemen Interpretasi
1. Perbandingan (comparative) A lebih penting/besar/indah daripada B
2. Pernyataan (definitive) A adalah atribut B
A termasuk di dalam B
A mengartikan B
3. Pengaruh (influence) A menyebabkan B
A adalah sebagian penyebab B
A mengembangkan B
A menggerakan B
A meningkatkan B
4. Keruangan (spatial) A adalah selatan/utara B
A di atas B
A sebelah kiri B
5. Kewaktuan (time scale) A mendahului B
A mengikuti B
A mempunyai prioritas lebih dari B

Untuk menyajikan tipe hubungan kontekstual dengan teknik ISM,


digunakan empat simbol yang disebut VAXO (Eriyatno, 2007) dimana : V = untuk
relasi dari elemen Ei sampai Ej, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya, A =
untuk relasi dari elemen Ej sampai Ei, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya, X
= untuk interelasi antara elemen Ei sampai Ej (berlaku untuk kedua arah), dan O
= untuk merepresentasikan bahwa Ei sampai Ej adalah tidak berkaitan.

2.6.2 Sistem Dinamik


Studi pengembangan sistem dinamik bertujuan untuk mendapatkan
model keterkaitan secara dinamis antar variabel yang berpengaruh. Model
adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya (Hall dan
44

Day, 1977). Menurut bentuknya, model dapat dibedakan antara lain


(Hardjomidjojo, 2006) :
1. Model fisik dan mental. Model fisik menggambarkan sistem secara nyata
(fisik), sedangkan model mental menggambarkan sistem melalui penjelasan
secara deskriptif atau persamaan matematis.
2. Model deskriptif dan numerik. Model deskriptif menjelaskan sistem tanpa
menggunakan hubungan kuantitatif, umumnya menggunakan diagram atau
berupa konsep. Sedangkan model numerik menggunakan persamaan
matematis sehingga mempunyai kemampuan prediksi.
3. Model empirik dan model mekanistik. Model empirik juga disebut model
statistik, yang mengandalkan hubungan kausal berdasarkan pengamatan
empirik (hubungan input-output). Model ini kadang disebut „black box‟ karena
tidak menjelaskan mekanisme proses yang terjadi. Sedangkan model
mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi, namun tergantung
pada level model tersebut.
4. Model statis dan model dinamik. Model statis tidak memperhitungkan waktu
yang selalu berubah (tidak ada fungsi waktu). Sedangkan model dinamik
memperhitungkan waktu sebagai variabel. Dalam model dinamis, variabel
yang tidak berubah dengan waktu disebut „parameter‟ atau „konstanta‟.
5. Model deterministik dan model stokastik. Model deterministik menghasilkan
keluaran (output) yang pasti (determined) atau tunggal dan tidak
memperhitungkan berbagai kemungkinan lain akibat ketidak-pastian
berbagai faktor eksternal. Sedangkan model stokastik dengan masukan
(input) yang sama dapat memiliki berbagai kemungkinan. Pada model
semacam ini, biasanya digunakan perhitungan peluang (probability) dari
keluaran (output) model.
Model-model tersebut digunakan untuk membantu dalam pengambilan
keputusan lintas disiplin, sehingga permasalahan yang kompleks dapat
diselesaikan secara komprehensif. Dalam melakukan suatu pemodelan, maka
langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan struktur model yang
akan memberikan gambaran bentuk dan perilaku sistem dimana perilaku
tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpul umpan balik (causal loop) yang
menyusun struktur model. Struktur model suatu sistem dapat dijelaskan dengan
jalan menentukan pengaruh yang akan memberikan hubungan sebab-akibat
antara faktor-faktor yang ada.
45

Hubungan sebab akibat ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu hubungan
positif dan hubungan negatif. Hubungan positif adalah hubungan sebab akibat
dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar pula nilai faktor
akibatnya, sedangkan hubungan negatif adalah hubungan sebab akibat dimana
makin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil nilai faktor akibat. Akibat
yang ada dapat juga mempengaruhi balik penyebab sehingga terdapat hubungan
sebab akibat yang memiliki arah yang berlawanan dengan hubungan sebab
akibat yang lain atau dikenal dengan feedback. Pemodelan dengan sistem
dinamik dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak powersim
construtor 2.5d. Kelebihannya adalah mudah menghubungkan suatu sistem yang
lain sepanjang ada hubungan matematis atau asumsi-asumsi yang dapat
menghubungkan berbagai sistem tersebut, sedangkan kelemahan pemodelan
dengan sistem dinamik terletak pada pendefinisian dan penggunaan asumsi-
asumsi, penentuan hubungan variabel dengan variabel yang lain (Eriyatno dan
Sofyar, 2007). Tahapan yang dilakukan dalam pendekatan sistem dinamik
meliputi :
1. Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian suatu sistem. Pada
tahap ini dicari kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing aktor dalam
kaitannya dengan tujuan sistem. Tujuan analisis kebutuhan ini adalah untuk
mendefinisikan kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam suatu kegiatan.
2. Formulasi masalah merupakan rincian dari kebutuhan aktor yang saling
bertentangan yang memerlukan solusi pemecahan. Munculnya pertentangan
dapat disebabkan oleh adanya konflik kepentingan dari para stakeholder dan
keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan yang
menimbulkan masalah dalam sistem.
3. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari
kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan
dalam rangka memenuhi kebutuhan. Identifikasi sistem ini bertujuan untuk
mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Identifikasi
sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram input-output (black box)
dan diagram lingkar sebab akibat (causal loop).
4. Pemodelan sistem merupakan simplifikasi dari sistem yang dihadapi. Model
juga didefinisikan sebagai suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia
nyata (real) yang akan bertindak seperti dunia nyata terhadap aspek-aspek
tertentu.
46

5. Simulasi model adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses tersebut.
Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat
analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses di masa depan. Untuk
membuat simulasi diperlukan tahapan berikut : (a) penyusunan konsep, (b)
pembuatan model, (c) simulasi, dan (d) validasi hasil simulasi.
6. Validasi model merupakan salah satu kriteria penilaian keobjektifan dari
suatu pekerjaan ilmiah. Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian
antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Dalam
validasi model dapat dilakukan dua pengujian yaitu uji validasi struktur dan
uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan
pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja
lebih menekankan pemeriksaan kebenaran yang taat data empiris. Model
yang baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris
(logico-empirical).
49

1998) yang diterapkan untuk penentuan titik pengamatan di lapangan dan


penentuan posisi dengan menggunakan alat GPS (global positioning system).
Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran berbagai pustaka
yang ada di berbagai instansi yang terkait sesuai atribut yang dikaji, baik dalam
bentuk laporan (data tabular) maupun spasial (dalam bentuk peta dan data
digital).

Tabel 2 Jenis dan metode pengumpulan data


No Jenis Data Metode Keterangan
A Data Primer
1 Komponen Biogeofisik (untuk usaha budidaya laut)
a. Fisik – Kimia
Posisi GPS In situ
Arus (cm/dtk) Current meter In situ
Kecerahan (m) Secchi disk In situ
0
Suhu ( C) Termometer In situ
Kedalaman (m) Tali berskala In situ
Salinitas (gr/kg) Hand refractometer In situ
pH pH meter In situ
Oksigen terlarut (mg/l) DO meter In situ
Jenis dasar perairan Sendiment grab In situ
b. Ekosistem perairan Interpretasi citra/transek Lab. SIG/In situ
c. Peruntukan lahan Survei lapangan In situ
d. Profil pantai dan perairan Analisis citra & SIG Lab. SIG/In situ
2 Komponen Sosekbud, Hukum & Wawancara, PCRA Kabupaten
Kelembagaan (FGD), indepth Interview, Kupang
dan quitioner.
B Data Sekunder
1 Komponen Biogeofisik
a. Fisik-kimia oseanografi BPS,
(kondisi angin, gelombang, Bappeda,
arah & kecepatan arus, Bappelda,
pasang-surut, salinitas & kantor bupati,
kedalaman) kecamatan &
b. Fisiografi (data bentang alam, Penelusuran dokumen kelurahan
geologi, hidrologi atau potensi hasil penelitian & serta dinas
air tawar, topografi, jenis tanah, dokumentasi pada perikanan &
tekstur tanah) perpustakaan, kantor dinas terkait
c. Data iklim (curah hujan, hari daerah & instansi terkait lainnya di
hujan) lainnya. Kabupaten
d. Data citra satelit Kabupaten Kupang,
Kupang Dishidros,
Bakosurtanal,
Lapan –
Jakarta.
2 Komponen Sosekbud, Hukum & Kelembagaan
a. Kependudukan (jumlah & Penelusuran dokumen BPS,
pertumbuhan penduduk, rasio hasil penelitian & Bappeda,
jenis kelamin, tingkat dokumentasi pada Bappelda,
ketergantungan, tingkat perpustakaan, kantor kantor bupati,
pendidikan & mata daerah & instansi terkait kecamatan &
pencaharian) lainnya. kelurahan
50

b. Sarana & prasarana (sarana serta dinas


perekonomian, transportasi, perikanan &
pendidikan, kesehatan, dinas terkait
peribadatan & sosial) lainnya di
c. Perekonomian (tingkat Kabupaten
pendapatan, pola konsumsi, Kupang.
struktur mata pencaharian,
kesempatan kerja)
d. Kelembagaan (struktur
pemerintah mulai tingkat
Kabupaten sampai dusun,
lembaga masyarakat, koperasi,
dll)

3.4 Metode Pemilihan Responden


Pemilihan responden disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jumlah
responden yang akan diambil yaitu responden yang dianggap dapat mewakili
dan memahami permasalahan yang diteliti. Penentuan responden dilakukan
dengan menggunakan metode expert survey yang dibagi atas dua cara :
1. Responden dari masyarakat selain pakar di lokasi penelitian dilakukan
dengan menggunakan metode purposive random sampling secara
proposional (Walpole, 1995) dengan rumus sebagai berikut :

x = ………………………………………(1)

dimana : nx = jumlah responden (sample) setiap strata


N = jumlah seluruh populasi (kepala keluarga nelayan)
Nx = jumlah populasi setiap strata
n = ukuran responden secara keseluruhan
2. Responden dari kalangan pakar, dipilih secara sengaja (purposive sampling)
dimana responden yang dipilih memiliki kepakaran sesuai dengan bidang
yang dikaji. Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar yang akan
dijadikan responden, menggunakan kriteria seperti berikut :
1. Mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidang yang
dikaji.
2. Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan
bidang yang dikaji.
3. Memiliki kredibilitas yang tinggi, bersedia, dan atau berada pada lokasi
yang dikaji.

3.5 Analisis Data


Penelitian ini melalui empat tahap yang meliputi : (1) studi potensi wilayah
Kabupaten Kupang, (2) studi tingkat perkembangan Kabupaten Kupang, (3) studi
51

status keberlanjutan Kabupaten Kupang untuk pengembangan kawasan


minapolitan, dan (4) membangun model pengembangan kawasan minapolitan
berbasis budidaya laut di Kabupaten Kupang. Empat tahapan dan metode
analisis data secara rinci disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Tahapan dan metode analisis model pengembangan minapolitan


No Tujuan Jenis Bentuk data Sumber data Metode Output yang
khusus data analisis diharapkan
1 Identifikasi Primer Hasil  Dinas/instansi LQ, Analisis Teridentifikasi
potensi wilayah wawancara & terkait Spasial potensi wilayah
Kabupaten penyebaran  Responden (kesesuaian Kabupaten
Kupang kuesioner terpilih & daya Kupang.
Sekunder Laporan dukung).
tahunan
dinas/instansi
terkait
2 Tingkat Primer Hasil  Dinas/instansi Analisis Diketahui
perkembangan wawancara & terkait tipologi, tingkat
wilayah penyebaran  Responden PCA, perkembangan
Kabupaten kuesioner terpilih Cluster, wilayah,
Kupang Skalogram, alternatif
Sekunder Laporan Sentralitas, pengembangn
tahunan MPE, AHP, minapolitan
dinas/instansi ISM. budidaya laut,
terkait lokasi
pengolahan
dan pemasaran
produk
minapolitan,
kendala,
kebutuhan dan
lembaga
terlibat.
3 Status Primer Hasil  Dinas/instansi MDS, Diketahui status
keberlanjutan wawancara & terkait Monte keberlanjutan
wilayah penyebaran  Responden Carlo, dan skenario
Kabupaten kuesioner terpilih Prospektif. keberlanjutan
Kupang Sekunder Laporan ke depan.
tahunan
dinas/instansi
terkait
4 Model Primer Hasil  Dinas/instansi Sistem Didapatkan
pengembangan wawancara & terkait Dinamik model
minapolitan penyebaran  Responden pengembangn
berbasis kuesioner terpilih kawasan
budidaya laut di Sekunder Laporan minapolitan di
Kabupaten tahunan Kabupaten
Kupang dinas/instansi Kupang.
terkait

Penelitian ini menggunakan berbagai metode analisis data seperti analisis


spasial (SIG), analisis kesesuaian lahan, analisis daya dukung, analisis finansial,
analisis tipologi wilayah, principal component analysis (PCA) analisis cluster,
analisis skalogram, analisis sentralitas, metode perbandingan eksponensial
(MPE), analisis hierarki proses (AHP) dengan criterium decision plus (CDP),
52

analisis interpretative structural modeling (ISM), analisis multidimensional scaling


(MDS) modifikasi dari Rapfish, dan analisis prospektif, serta analisis sistem
dinamik dengan powersim constructor 2.5d. Adapun tahapan-tahapan penelitian
dan metode analisis data yang digunakan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Tahapan dan metode analisis data dalam penelitian pengembangan


minapolitan berbasis budidaya laut di Kabupaten Kupang
4 KONDISI UMUM WILAYAH

4.1 Keadaan Geografis Kabupaten Kupang


0 0
Kabupaten Kupang terletak antara 121 30’ - 124 11’ Bujur Timur dan
0 0
9 19’ - 10 57’ Lintang Selatan. Kabupaten Kupang di sebelah utara dan barat
berbatasan dengan Laut Sawu, sementara sebelah selatan berbatasan dengan
Samudera Hindia serta sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Timor
Tengah Selatan dan Negara Timor Leste. Wilayah Kabupaten Kupang mencakup
27 pulau, dimana diantaranya terdapat 8 pulau yang belum memiliki nama. Dari
kedua puluh tujuh pulau tersebut yang telah dihuni hingga saat ini hanya
sebanyak lima pulau yaitu Pulau Timor, Pulau Sabu, Pulau Raijua, Pulau Semau,
dan Pulau Kera.
Permukaan tanah di wilayah Kabupaten Kupang umumnya berbukit-bukit,
bergunung-gunung dan sebagian terdiri dari dataran rendah dengan tingkat
0
kemiringan rata-rata mencapai 45 dan wilayah Kabupaten Kupang berada pada
ketinggian dari permukaan laut 0-500 m. Hampir sebagian besar flora di
Kabupaten Kupang terdiri dari padang rumput, pohon lontar, pohon pinus,
cendana, dan gewang. Sedangkan fauna terdiri dari hewan-hewan menyusui
besar misalnya, kerbau, sapi, kuda. Luas wilayah laut Kabupaten Kupang adalah
4.086,33 km2 dengan panjang garis pantai 551,61 km dari luas wilayah laut
Propinsi NTT 1.999.526 km2 dan panjang garis pantai 5700 km (DKP NTT,
2008). Dengan banyaknya pulau yang dhuni (inhabitted) ada 5 pulau dan yang
tidak dihuni (not inhabitted) ada 22 pulau, sedangkan pulau yang tidak ada nama
8 pulau dan yang sudah memiliki nama ada 19 pulau (BPS, 2010). Luas wilayah
Kabupaten Kupang per kecamatan dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan
pulau-pulau di Kabupaten Kupang ada pada Lampiran 4.

4.2 Keadaan Iklim Kabupaten Kupang


Seperti halnya di tempat lain di Indonesia, di Kabupaten Kupang hanya
dikenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Secara umum Bulan
Juni sampai September, arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak
mengandung uap air sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada
Desember sampai Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal
dari Asia dan Samudera Pasifik sehingga terjadi musim hujan. Dari Tabel 4
jumlah curah hujan setahun bervariasi tiap bulan.
54

Pada tahun 2009 jumlah curah hujan setahun tertinggi pada Bulan
Desember dan terendah pada Bulan Mei. Rata-rata kelembaban udara di
Kabupaten Kupang tahun 2009 sebesar 76,5%, tekanan udara 1.010,42 mb, dan
o
rata-rata suhu udara di atas 27,26 C.

Tabel 4 Rata-rata curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Kupang menurut
bulan, tahun 2008-2009 (stasiun meteorologi klas II Kupang)
Curah hujan (mm) Hari hujan (hh)
Bulan
2008 2009 2008 2009
Januari 235,4 420,7 20 23
Februari 851,4 408,3 26 21
Maret 149,8 117,4 25 18
April 50,0 108,0 6 4
Mei 0 22,8 0 5
Juni 8,6 0 5 0
Juli 0 0 0 0
Agustus 0 0 0 0
September Ttu* Ttu* 1 1
Oktober 3,0 0 2 0
November 130,8 72,1 19 7
Desember 481,0 469,8 24 19
* Ttu : Tidak terukur

4.3 Pemerintahan dan Kependudukan Kabupaten Kupang


Pada tahun 2009 Kabupaten Kupang terdiri dari 24 kecamatan, 159 desa
dan 18 kelurahan. Jumlah desa terbanyak di Kecamatan Kupang Timur (13
desa/kelurahan), sedangkan yang paling sedikit jumlah Desa/kelurahannya
adalah Kecamatan Amarasi Timur, Fatuleu Tengah, Amfoang Barat Daya dan
Amfoang Tengah (4 desa/kelurahan).
Tabel 5 menyajikan jumlah ibukota kecamatan dan banyaknya
desa/kelurahan tahun 2009. Laju pertumbuhan penduduk suatu wilayah pada
hakekatnya disebabkan oleh tiga faktor yaitu kelahiran (fertilitas), kematian
(mortalitas), dan perpindahan penduduk (migrasi). Laju pertumbuhan penduduk
di Kabupaten Kupang dari tahun 2008 ke tahun 2009 sebesar 1,75%.
Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Kupang lebih banyak dipengaruhi oleh
faktor kelahiran dan kematian, namun saat ini faktor perpindahan penduduk juga
mempunyai pengaruh yang cukup besar.
55

Tabel 5 Jumlah ibukota Kecamatan dan banyaknya desa/kelurahan


tahun 2009 (BPS Kabupaten Kupang, 2010)
Banyaknya Banyaknya
No Kecamatan Ibukota
Desa Kelurahan
1 Semau Uitao 8 0
2 Semau Selatan Akle 6 0
3 Kupang Barat Batakte 10 2
4 Nekemese Oemasi 11 0
5 Kupang Tengah Tarus 6 2
6 Taebenu Baumata 8 0
7 Amarasi Oekabiti 8 1
8 Amarasi Barat Baun 7 1
9 Amarasi Selatan Buraen 3 2
10 Amarasi Timur Pakubaun 4 0
11 Kupang Timur Babau 8 5
12 Amabi Oefeto Timur Oemofa 10 0
13 Amabi Oefeto Fatuknutu 7 0
14 Sulamu Sulamu 6 1
15 Fatuleu Camplong 9 1
16 Fatuleu Barat Nuataus 5 0
17 Fatuleu Tengah Oelbiteno 4 0
18 Takari Takari 9 1
19 Amfoang Selatan Lelogama 6 1
20 Amfoang Barat Daya Manubelon 4 0
21 Amfoang Utara Naikliu 5 1
22 Amfoang Barat Laut Soliu 6 0
23 Amfoang Timur Oepoli 5 0
24 Amfoang Tengah Fatumonas 4 0
Jumlah 159 18

4.4 Keadaan Sosial Kabupaten Kupang


Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu negara
adalah tersedianya cukup sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Merujuk pada amanat UUD 1945 beserta amandemennya (pasal 31 ayat 2),
maka melalui jalur pendidikan pemerintah secara konsisten berupaya
meningkatkan SDM penduduk Indonesia. Program wajib belajar 6 tahun dan 9
tahun, gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA), dan berbagai program
pendukung lainnya adalah bagian dari upaya pemerintah mempercepat
peningkatan kualitas SDM, yang pada akhirnya akan menciptakan SDM yang
tangguh, yang siap bersaing di era globalisasi. Peningkatan SDM sekarang ini
lebih difokuskan pada pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada penduduk
untuk mengecap pendidikan, terutama penduduk kelompok usia sekolah (umur 7
sampai 24 tahun). Badan Pusat Statistik (BPS) secara kontinu setiap tahunnya
mengumpulkan data pendidikan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas). Beberapa informasi pendidikan yang dikumpulkan dalam Susenas
56

antara lain mengenai penduduk buta huruf, penduduk usia sekolah (7 sampai 24
tahun), status sekolah. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat
keberhasilan bidang pendidikan adalah tingkat buta huruf. Makin rendah
persentase penduduk yang buta huruf menunjukkan keberhasilan program
persentase penduduk yang buta huruf mengindikasikan kurang berhasilnya
program pendidikan.
Hasil Susenas 2009 menunjukkan bahwa persentase penduduk berusia
10 tahun keatas yang buta huruf mengalami penurunan dibandingkan tahun
2008. Penduduk yang berumur 10 tahun keatas pada tahun 2009 dengan status
masih sekolah sebesar 22,13% dan yang tidak bersekolah lagi sebesar 66,51%
sedang untuk yang tidak/belum pernah bersekolah sebesar 11,36%. Hasil
Susenas juga menunjukkan bahwa penduduk yang masih bersekolah pada
kelompok umur 7 sampai 12 tahun mempunyai persentase paling tinggi.
Sementara itu, untuk penduduk yang belum atau tidak pernah sekolah paling
tinggi persentasenya pada kelompok umur 19 sampai 24 tahun.
Pada tahun ajaran 2009/2010 di tingkat sekolah dasar (SD) terjadi
peningkatan jumlah murid dan jumlah sekolah dibandingkan tahun ajaran
sebelumnya, sedangkan jumlah guru mengalami penurunan. Berbeda dengan
tingkat SD, pada tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) jumlah murid
dan guru mengalami peningkatan sedangkan jumlah sekolah berkurang.
Pembangunan bidang kesehatan meliputi seluruh siklus atau tahapan kehidupan
manusia. Bila pembangunan kesehatan berhasil dengan baik maka secara
langsung atau tidak langsung akan terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Mempertimbangkan bahwa pembangunan bidang kesehatan merupakan bagian
yang sangat penting dari ajang peningkatan SDM penduduk Indonesia pada
umumnya dan Kabupaten Kupang pada khususnya, maka program-program
kesehatan telah dimulai atau bahkan lebih diprioritaskan pada calon generasi
penerus, khusus calon bayi dan anak usia dibawah lima tahun (balita).
Pentingnya pembangunan bidang kesehatan ini paling tidak tercermin dari
deklarasi millenium development goals (MDGs) yang mana lebih dari sepertiga
indikatornya menyangkut bidang kesehatan.
Agama mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam
meletakkan landasan moral, etika dan spiritual yang kuat. Sebagian besar
penduduk Kabupaten Kupang memeluk agama kristen protestan (85,65%), diikuti
oleh pemeluk agama Katolik sebesar 11,19%. Dalam hidupnya, manusia
57

membutuhkan rumah sebagai tempat tinggal dan berinteraksi dengan manusia


lainnya serta tempat berlindung sebuah rumah harusnya memenuhi syarat
kesehatan, untuk menunjang kehidupan manusia.
Salah satu indikator rumah sehat menurut world health organization
2
(WHO) adalah rumah yang memiliki luas lantai minimal 10m perkapita. Jika satu
rumah tangga memiliki empat sampai lima anggota rumah tangga, maka
2
rumahnya dikatakan sehat bila memiliki luas lantai minimal 40-50 m . Hasil
susenas tahun 2009 menyatakan bahwa lebih dari 31,25% rumah tangga di
2
Kabupaten Kupang menempati rumah dengan luas lantai 50 m atau lebih. Selain
luas lantai minimal, rumah juga harus memiliki fasilitas yang sangat dibutuhkan
manusia untuk hidup. Dari hasil susenas tahun 2009 dapat dilihat bahwa
sebagian besar rumah tangga di Kabupaten Kupang sudah mengkonsumsi air
minum bersih (50%). Sumber air minum yang relatif bersih tersebut berasal dari
ledeng, pompa, air kemasan, sumur terlindung dan mata air terlindung.
Fasilitas rumah lainnya yang tidak kalah penting adalah penerangan.
Fasilitas penerangan ini dapat bersumber dari listrik atau bukan listrik seperti
petromak/aladin, pelita/sentir/obor dan lainnya. Berdasarkan hasil susenas 2009,
sekitar 36,84% rumah tangga menggunakan fasilitas penerangan listrik, terdiri
dari 32,23% menggunakan listrik PLN dan 4,61% menggunakan listrik non PLN.
Hasil Susenas tahun 2007 juga memberikan gambaran fasilitas rumah lainnya
yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan yaitu penggunaan tempat
buang air besar. Sekitar 66,30% rumah tangga memiliki tempat buang air besar
sendiri. Tetapi, satu hal yang masih perlu perhatian khusus dari pemerintah
adalah masih ada sekitar 22% rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas buang
air besar.

4.5 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan KabupatenKupang


Potensi dan pemanfaatan sumberdaya perikanan Kabupaten kupang
terdiri atas : potensi dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, data sebaran
sarana dan prasarana perikanan, data sebaran sarana dan prasarana penunjang
pembangunan perikanan, dan database sumber daya perikanan.

4.5.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut


Sebagai salah satu Kabupaten kepulauan yang memiliki sekitar 21 pulau
besar dan kecil (Lampiran 4), dengan perairan laut yang cukup luas dan garis
58

pantai yang cukup panjang, maka wilayah pesisir dan laut Kabupaten Kupang
tentunya memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar pula. Potensi
penangkapan ikan dan non ikan sudah menjadi andalan daerah ini sejak lama,
dan menjadi salah satu penyuplai bahan pangan protein dari sumber ikan ke
Kota Kupang maupun diantar pulaukan ke Pulau Jawa, Bali dan Sulawesi, dan
sebagian lagi diekspor.

a. Karakteristik Wilayah Pesisir dan Laut Kabupaten Kupang


Selain memiliki beberapa pulau kecil terluar yang tidak berpenghuni, wilayah
Kabupaten Kupang juga secara administratif berbatasan dengan Laut Sawu di
sebelah utara, di sebelah selatan dengan Laut Timor, di sebelah timur dengan
Kabupaten Timor Tengah Selatan dan wilayah Oekusi (bagian Negara Timor
Leste), dan sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Rote Ndao dan
Samudera Indonesia.
Dari sekitar 24 kecamatan (177 desa/kelurahan) yang ada, maka terdapat
sekitar 15 kecamatan dan 64 desa/kelurahan yang berada di wilayah tersebut
(Lampiran 5). Dari lokasi yang ada, karakteristik pantai dan lautnya beragam
antara karang, pasir maupun campuran karang dan kerikil, serta sebagian lagi
berlumpur. Wilayah pantai yang berada di Teluk Kupang, pantai dan lautnya
relatif lumpur berpasir dengan kondisi agak landai, karena terdapat beberapa
muara sungai, dimana umumnya didominasi ekosistem mangrove. Wilayahnya
meliputi Kecamatan Sulamu, Kupang Timur, dan sebagian lagi di Kecamatan
Kupang Tengah, sehingga selama ini dimanfaatkan untuk usaha budidaya air
payau (tambak ikan), maupun tambak garam.
Pantai berpasir umumnya ditemukan di pesisir pantai Kecamatan Kupang
Barat, Semau, Pantai Amfoang Utara dan sebagian lagi di Pulau Raijua.
Karakteristik pantai dan laut ini banyak ditumbuhi ekosistem padang lamun, serta
sangat cocok untuk dikembangkan budidaya rumput laut, serta budidaya ikan
dan mutiara. Di lain pihak, karakteristik pantai dan perairan yang berkarang,
dapat ditemukan pada hampir sebagian besar lokasi di desa-desa pantai yang
ada. Beberapa lokasi yang memiliki potensi terumbu karang untuk
pengembangan wisata bahari termasuk wisata bawah laut, yakni perairan di
sekitar Pulau Kera di Desa Uiasa (Kecamatan Semau) maupun pada perairan di
Desa Tablolong (Kecamatan Kupang Barat), sebaliknya, beberapa wilayah
pesisir dan laut telah menunjukkan degradasi lingkungan yang sangat
memprihatinkan, baik itu terhadap kondisi terumbu karang, maupun hutan bakau.
59

Aktifitas manusia dianggap menjadi penyebab utamanya. Kegiatan


penangkapan ikan dan biota laut lainnya yang bersifat destruktif, pemanfaatan
terumbu karang yang tidak terkendali, pengambilan pasir laut serta penebangan
pohon bakau untuk kayu bakar, menjadi alasan-alasan kerusakan lingkungan
pantai dan ekosistemnya. Gambaran karakteristik pantai, laut dan ekosistem
pendukungnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

b. Potensi Perikanan Budidaya (sebaran menurut luasan dan jenis)


Potensi perikanan budidaya di wilayah perairan dan pantai Kabupaten
Kupang juga cukup besar. Beberapa komoditi ekonomis penting yang sudah
dibudidayakan oleh sebagian besar nelayan/pembudidaya adalah rumput laut
dan budidaya ikan, sedangkan budidaya mutiara dilakukan oleh perusahaan
swasta asing yakni PT.TOM.
Komoditi rumput laut saat ini menjadi primadona pengembangan budidaya
laut di Kabupaten Kupang, karena mampu memberikan nilai tambah bagi
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir baik untuk
pembudidaya rumput laut atau nelayan sambilan maupun pelaku usaha
perikanan seperti pengumpul hasil, distributor dan jasa transportasi laut. Sebaran
lokasi potensi dan pengembangan budidaya rumput laut umumnya hampir pada
setiap perairan pantai di seluruh wilayah kecamatan pesisir. Namun demikian,
usaha budidaya rumput laut sampai saat ini lebih banyak digeluti oleh
masyarakat pesisir di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Kupang Barat,
Semau, Semau Selatan dan kecamatan-kecamatan di Pulau Sabu dan Raijua.
Wilayah-wilayah ini merupakan sentra produksi komoditi rumput laut. Produksi
rumput laut juga mengalami peningkatan, dan umumnya hasil produksinya
diantarpulaukan ke Jakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar. Untuk potensi
pengembangan budidaya mutiara hingga saat ini terdapat di perairan Selat
Semau yakni perairan sekitar Kecamatan Kupang Barat, Semau dan Semau
Selatan. Hasil produksi mutiara umumnya dipasarkan ke Jakarta ataupun
diekspor (Jepang). Gambaran sebaran areal potensial pengembangan budidaya
laut seperti pada Lampiran 8.

4.5.2 Sarana dan Prasarana Perikanan


a. Data Sebaran Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap
Hingga saat ini, kondisi sarana dan prasarana perikanan tangkap untuk
sebagian besar kecamatan-kecamatan pantai cenderung masih bersifat
60

tradisional. Umumnya kepemilikan sarana penangkapan ikan berupa perahu


tanpa motor, baik itu jukung, perahu kecil dan besar dengan jumlah seluruhnya
mencapai 2.049 unit, dengan sebaran terbanyak di Kecamatan Kupang Barat
yakni sebanyak 361 unit, kemudian Kecamatan Semau dan Sulamu (data tahun
2007). Ketiga kecamatan tersebut menjadi sentra perikanan tangkap di
Kabupaten Kupang, sehingga kepemilikan armada penangkapan ikan berupa
motor tempel dan kapal motor juga terbanyak pada wilayah-wilayah tersebut.
Jika dilihat dari jenis alat tangkap yang digunakan, maka umumnya nelayan di
Kabupaten Kupang masih menggunakan alat tangkap yang masih tradisional
seperti pancing tangan dan gillnet monofilamen.

b. Data Sebaran Sarana dan Prasarana Perikanan Budidaya


Berhasilnya kegiatan budidaya laut, salah satunya ditunjang pula oleh
tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Sarana prasarana budidaya
laut yang selama ini terus dikembangkan yakni sarana budidaya rumput laut.
Pengadaan tali PE dan pelampung, merupakan sarana utama dari kegiatan
budidaya rumput laut di beberapa sentra pengembangan komoditi tersebut.
Demikian pula untuk mengupayakan peningkatan produksi dan nilai tambah
hasilnya maka diberikan bantuan patok besi, waring penjemuran dan bahkan alat
pres rumput laut, sedangkan prasarana penyimpanan hasil (gudang) hanya
terdapat 2 unit milik masyarakat.
Saat ini para pengumpul hasil di Pulau Sabu masih menggunakan bangunan
rumah miliknya sebagai tempat penampungan sementara. Untuk pengembangan
budidaya (pembesaran) ikan, maka telah ada KJA yang diberikan kepada
nelayan di Desa Tablolong (Kupang Barat) dan Desa Hansisi (Semau).
Gambaran sebaran dan jumlah sarana prasarana budidaya laut seperti pada
Lampiran 10. Untuk pengembangan budidaya air tawar dan payau, maka sarana
prasarana yang seharusnya menjadi pendukungnya yakni kolam permanen,
tambak, bendungan dan embung/cekdam, yang tentunya ditunjang dengan
ketersediaan sumber air yang ada sepanjang tahun. Sarana prasarana ini
tersebar pada beberapa kecamatan yang memiliki potensi sumberdaya air cukup
banyak, yakni Kecamatan Kupang Tengah (bendungan Tilong), Kupang Timur,
Takari, Fatuleu dan Amabi Oefeto Timur. Luasan sarana prasarana ini secara
keseluruhan mencapai 493,00 ha untuk embung/cekdam, untuk kolam permanen
seluas 27,80 ha, untuk tambak (garam) 420,75 ha dan luasan Bendungan Tilong
mencapai sekitar 18,00 ha.
61

4.5.3 Sarana dan Prasarana Penunjang Pembangunan Perikanan


Sarana dan prasarana penunjang pemanfaatan sumberdaya perikanan
menjadi bagian lainnya yang turut mendukung kelancaran dan kecepatan proses
produksi, pengolahan dan distribusi hasil perikanan dari dan ke pusat-pusat
perekonomian. Sarana dan prasarana penunjang dimaksud dapat berkontribusi
dalam mendorong efektifitas dan efisiensi, terutama dalam menyalurkan hasil
komoditas perikanan yang relatif cepat rusak.
Pembangunan tambat labuh kapal/perahu (jetty) di beberapa tempat
menjadi salah satu upaya mempelancar arus orang dan barang termasuk
aktifitas nelayan dalam pemasaran produksinya. Pembangunan jeti ini telah
dilakukan di lokasi Desa Hansisi, Kecamatan Semau dan Kelurahan Sulamu,
Kecamatan Sulamu. Selain itu, untuk memperlancar aktifitas nelayan dalam
usaha penangkapan ikan, terutama dalam penyediaan bahan bakar, maka telah
pula dibangun solar packed dealer nelayan (SPDN) di Desa Tablolong,
Kecamatan Kupang Barat dan di Kelurahan Sulamu, Kecamatan Sulamu, serta
ditunjang pula kedai pesisir pada kedua lokasi tersebut.
Keberadaan balai benih ikan (BBI) di Desa Tablolong dan keberadaan
BBI Noekele di Kecamatan Kupang Timur, juga menjadi salah satu bagian
penting bagi perkembangan pembangunan perikanan di Kabupaten Kupang,
walaupun sarana prasarana tersebut merupakan aset pemerintah Provinsi NTT.
Gambaran sebaran sarana prasarana penunjang pembangunan perikanan
seperti terlihat pada Lampiran 11.

4.5.4 Sumberdaya Manusia Perikanan


Sebagaimana diketahui jumlah rumah tangga perikanan sekitar 3.708
RTP (rumah tangga perikanan). Dari jumlah tersebut beberapa kegiatan
perikanan yang dilakukan seperti nelayan sekitar 6.379 orang, dan pembudidaya
rumput laut sekitar 15.615 orang. Untuk wilayah-wilayah yang memiliki potensi
pengembangan budidaya air tawar dan payau juga digeluti oleh masyarakat
pembudidaya ikan yang berada di pantai maupun di wilayah pengembangan
budidaya ikan air tawar, payau sebanyak 607 orang. Beberapa sentra perikanan
seperti Kecamatan Kupang Barat, Sulamu, Semau, Semau Selatan dan Sabu
Barat, menunjukkan jumlah RTP dan nelayan yang relatif banyak, sedangkan
pembudidaya ikan umumnya berada di Kecamatan Kupang Timur, Kupang
62

Tengah, Fatuleu dan Takari. Gambaran jumlah RTP, nelayan dan pembudidaya
ikan sebagaimana dilihat pada Lampiran 12 sampai 14.
Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan
melalui bantuan sarana prasarana perikanan membutuhkan
pembimbingan/pendampingan oleh aparat teknis terkait dalam rangka alih
teknologi guna mampu memberi nilai tambah dan meningkatkan hasil produksi
dan pendapatan masyarakat. Keberhasilannya, tentu perlu pula didukung oleh
SDM aparatur bidang perikanan yang memiliki keahlian dan kompetensi yang
memadai. Sampai saat ini SDM aparatur dinas umumnya dapat dikatakan sudah
relatif memadai jika dilihat dari sisi pendidikan formal yang dicapai. Pendidikan
setingkat sarjana (S1), pascasarjana (S2) dan jenjang doktoral (S3) sudah cukup
tersedia. Namun demikian dari sisi pendidikan non formal semacam pelatihan
ketrampilan/keahlian dalam penanganan produksi maupun pascapanen relatif
belum maksimal, kalaupun ada baru sebagian kecil saja. Jenis-jenis
ketrampilan/keahlian seperti penguasaan teknologi dan teknik penangkapan
ikan, budidaya perikanan, pengolahan dan pemasaran hasilnya, merupakan
keahlian yang harus dimiliki aparatur dinas guna mendorong makin baiknya
kompetensi dan profesionalitas dalam pelayanan bidang perikanan.

4.6 Sarana dan Prasarana Kabupaten Kupang


Sarana penunjang dalam kegiatan pembangunan di wilayah Kabupaten
Kupang adalah listrik dan air minum. Untuk kondisi listrik PLN yang terpasang
melalui dua interkoneksi yaitu interkoneksi dari Kupang dan interkoneksi dari
Soe, jumlah pelanggang PLN mencapai 13.204 pelanggang dengan daya yang
telah terpasang mencapai 1.027.593 kwh. Terdapat 13 ranting/sub ranting PLN
yang dipasang oleh PT. PLN (Persero) unit bisnis NTT, sedangkan untuk air
minum sendiri, terdapat lima unit PDAM yang terpasang di Kabupaten Kupang
dengan jumlah pelanggang 24.140 pelanggang turun di tahun 2008 menjadi
24.130 pelanggan.
Jalan merupakan prasarana pengangkutan darat yang penting untuk
memperlancar kegiatan perekonomian. Tersedianya jalan yang berkualitas akan
meningkatkan usaha pembangunan khususnya dalam upaya memudahkan
mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah ke
daerah lain. Panjang jalan di seluruh wilayah Kabupaten Kupang pada tahun
2009 mencapai 1.227,29 km. Panjang jalan yang berada di bawah wewenang
negara ada 65,10 km, di bawah wewenang daerah tingkat I ada 320,69 km dan
63

sisanya di bawah wewenang daerah tingkat II sebanyak 814,29 km. Pada tahun
tersebut, ternyata jalan yang diaspal sebesar 52,26%, 22,97% jalan kerikil dan
22,77% untuk jalan tanah dari total panjang jalan yang ada. Untuk angkutan
darat di Kabupaten Kupang, jumlah kendaraan bermotor wajib uji tercatat
sebanyak 828 unit pada tahun 2009. Komposisi jenis kendaraan wajib uji pada
tahun 2009 terdiri atas: 276 unit bis mini, 14 unit bis midi, 33 unit truk, 360 unit
truk mini, 145 unit pick up.
Sarana angkutan sungai dan penyeberangan (ASDP), terjadi peningkatan
arus kunjungan angkutan penyeberangan ferry pada Pelabuhan Laut Bolok di
Kabupaten Kupang selama tahun 2009 sebanyak 1.799 kunjungan atau turun
35,50% dari tahun 2008. Penumpang yang naik di pelabuhan laut pada tahun
2009 sebanyak 223.229 penumpang. Penumpang yang turun sebanyak 223.297
penumpang. Pembangunan pos dan telekomunikasi mencakup jangkauan baik
pelayanan jasa telekomunikasi ataupun informasi. Berbagai usaha telah
dilakukan pemerintah untuk memperlancar pelayanan-pelayanan berkenaan
semakin meningkatnya permintaan akan jasa komunikasi. Salah satunya dengan
memperbanyak jumlah kantor pos. Tahun 2009 jumlah kantor pos pembantu di
Kabupaten Kupang 3 buah. Pada tahun 2009 surat yang paling banyak dikirim di
3 kantor pos pembantu di Kabupaten Kupang adalah sebanyak 18.377 lembar
surat dengan jenis surat biasa sebanyak 9.273 lembar, dan 7.466 lembar surat
kilat khusus.

4.7 Keuangan dan Harga


Berikut ini adalah kondisi keuangan daerah Kabupaten Kupang, dalam
perencanaan anggaran dan belanja negara, pemerintah menganut prinsip
anggaran berimbang dan dinamis. Berimbang berarti harus diusahakan agar ada
keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran. Sedangkan prinsip dinamis
berarti makin meningkatnya jumlah anggaran dan tabungan pemerintah,
sehingga kemampuan dalam negeri bertambah dan ketergantungan pada
bantuan keuangan dari luar negeri semakin berkurang.
Selama tahun anggaran 2009 realisasi pendapatan daerah otonom
Kabupaten Kupang sebesar 541 milyar rupiah. Sumber pendapatan terbesar
tahun 2009 adalah dari pos bagian dana perimbangan sebesar 509 milyar rupiah
rupiah atau sebesar 94,04% terhadap seluruh realisasi penerimaan. Sedangkan
dari pos pendapatan asli daerah (PAD) sebesar 24,6 milyar rupiah atau 4,54%.
64
5 IDENTIFIKASI POTENSI WILAYAH KABUPATEN
KUPANG

Abstrak
Dalam pengembangan kawasan minapolitan, pendekatan potensi
kelautan yang ada di perairan Kabupaten Kupang sangat diperlukan untuk
nantinya dikembangkan agar dapat menambah pendapatan daerah. Penelitian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi kelautan dan perikanan di Kabupaten
Kupang dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan. Metode analisis
data yang dipakai mencakup analisis spasial (kesesuaian lahan), daya dukung
lahan, dan kelayakan usaha budidaya laut. Hasil penelitian dari hasil analisis
spasial didapatkan luas kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut sebesar
31,43 km2, 3,91 km2 untuk budidaya KJA, 1,91 km2 untuk budidaya tiram mutiara,
dan budidaya teripang sebesar 2,37 km2. Hasil analisis daya dukung lahan,
budidaya rumput laut pada kategori sangat sesuai dapat memanfaatkan 10.473
unit longline, budidaya KJA pada kategori sangat sesuai dapat memanfaatkan
61.001 unit keramba, budidaya tiram mutiara pada kategori sesuai dapat
memanfaatkan 38.887 unit keramba, dan budidaya teripang pada kategori sesuai
dapat memanfaatkan 4.743 unit penculture. Bidang usaha budidaya laut dalam
penelitian ini yang meliputi budidaya KJA, rumput laut, tiram mutiara dan teripang
merupakan peluang usaha yang mempunyai prospek ekonomi dan finansial yang
baik dan layak untuk dikembangkan di Kabupaten Kupang.

Kata kunci : potensi wilayah, kesesuaian lahan, kelayakan usaha

5.1 Pendahuluan
Potensi kelautan di perairan Kabupaten Kupang sangat beragam, hal ini
dikarenakan wilayah perairan laut yang subur dan kaya akan unsur hara. Secara
khusus dalam bidang budidaya laut ada lima budidaya yang pernah/sedang
berjalan seperti rumput laut, keramba jarring apung, tiram mutiara, dan teripang.
Penentuan potensi unggulan untuk dikembangkan dalam kawasan minapolitan
melalui beberapa tahapan pengidentifikasian potensi.
Adapun metode analisis data yang dipakai dalam mengidentifikasi
potensi Kabupaten Kupang seperti analisis spasial (kesesuaian lahan), daya
dukung lahan, dan kelayakan usaha budidaya laut. Analisis spasial digunakan
untuk melihat kesesuaian perairan untuk budidaya laut, analisis daya dukung
lahan digunakan untuk mengetahui kemampuan lahan dalam menampung suatu
kegiatan budidaya laut, dan kelayakan usaha dipakai dalam mengkaji
pengembangan usaha budidaya laut dalam pengembangan kawasan minapolitan
di Kabupaten Kupang sesuai dengan karakteristik wilayah dan kondisi
masyarakat setempat.
66

5.2 Metode Analisis Identifikasi Potensi di Kabupaten Kupang

5.2.1 Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan dalam mengidentifikasi potensi di Kabupaten
Kupang terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer yang dibutuhkan
adalah data perairan hasil pengukuran di lapangan dan data hasil penjajakan
dengan menggunakan kuesioner seperti data biaya dan penerimaan usaha
budidaya laut dan data skoring dari pendapat pakar. Data sekunder berupa data
citra Landsat, peta ruba bumi indonesia (RBI), peta lingkungan pantai indonesia
(LPI), peta penggunaan lahan, data curah hujan, sifat fisik dan kimia perairan,
data jumlah penduduk, produksi dan produktivitas budidaya, dan luas lahan
perairan.

5.2.2 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data primer dalam identifikasi potensi dalam
rangka pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang dilakukan
melalui diskusi, wawancara, kuesioner, dan survei lapangan dengan responden
di wilayah studi yang terdiri dari berbagai pakar dan stakeholder yang terkait
dengan topik penelitian. Data sekunder diperoleh dari beberapa sumber
kepustakaan dan dokumen dari beberapa instansi yang terkait dengan penelitian.

5.2.3 Metode Analisis Data


Metode analisis data dalam identifikasi potensi terbagi atas tiga bagian
yaitu analisis spasial/keruangan, analisis daya dukung dan analisis kelayakan
usaha/finansial. Berikut ini adalah penjelasan mengenai ketiga analisis tersebut.

a. Analisis Spasial – Kesesuaian Lahan


Analisis keruangan digunakan untuk melihat kesesuaian pemanfaatan
ruang secara visual dalam bentuk peta untuk beberapa potensi sumberdaya
perairan di kawasan budidaya laut. Analisis dilakukan dengan beberapa tahap,
yaitu (1) mendeliniasi batas kajian yang mencakup lahan daratan dan perairan di
sekitar Kabupaten Kupang, (2) untuk lahan perairan, pengumpulan data
lapangan berupa titik (point information) yang mengandung informasi
karakteristik perairan, (3) menganalisis secara spasial titik yang berisi informasi
tersebut dengan metode interpolasi yaitu pengolahan data titik menjadi area
(polygon) untuk membuat tema-tema yang akan di overlay berdasarkan kriteria
kesesuaian pada masing-masing peruntukan (Lampiran 2).
67

Metode ini menggunakan metode Nearest Neighbour (Burrough &


McDonnell, 1998; Morain, 1999), (4) untuk lahan daratan, pengumpulan data
primer dan sekunder berupa data tabular (attribute) dan spasial yang dihimpun
dalam suatu basis data. Peta tematik yang dihasilkan dari hasil interpolasi
tersebut, selanjutnya diberikan skor dan bobot kemudian di overlay untuk
mendapatkan lokasi yang sesuai bagi berbagai peruntukan berdasarkan
berbagai kriteria kesesuaian lahan yang disusun sebelumnya. Pada setiap
tahapan tersebut, data diolah dengan menggunakan Software Arc View GIS.
Informasi yang diharapkan dari hasil analisis spasial ini adalah kesesuaian
peruntukan ruang untuk pengembangan minapolitan budidaya laut berdasarkan
hasil analisis peta land system, peta kemiringan lahan (slope), peta land use, dan
peta RBI.
Analisis kesesuaian lahan berdasarkan nilai hasil pembobotan dan
skoring pada masing-masing parameter yang menjadi indikator kesesuaian.
Pembobotan pada setiap faktor pembatas/parameter ditentukan berdasarkan
pada dominannya parameter tersebut terhadap peruntukan. Besarnya
pembobotan ditunjukkan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi lahan,
sebagai contoh : keterlindungan dan kedalaman mempunyai bobot yang lebih
tinggi untuk budidaya keramba dan rumput laut dibandingkan dengan
penangkapan ikan.
Pemberian nilai (scoring) ditujukan untuk menilai beberapa faktor
pembatas/parameter/kriteria terhadap suatu evaluasi kesesuaian. Adapun kriteria
dan matriks kesesuaian lahan (lokasi) yang dapat digunakan sebagai acuan
pada setiap peruntukan dan urutan overlay dapat dilihat pada Lampiran 1. Dalam
peneltian ini, penentuan kelas kesesuaian lahan didasarkan pada klasifikasi
menurut FAO (1976), namun dengan pertimbangan lahan yang dievaluasi
(perairan) cukup sempit sehingga kelas kesesuaian dibagi ke dalam tiga kelas
yaitu kelas sangat sesuai (SS), sesuai (S) dan tidak sesuai (TS) dengan nilai skor
masing-masing 3, 2, dan 1 (DKP, 2002).
Analisis overlay yang digunakan adalah index overlay model. Benham
dan Carter (1994) dalam Subandar (1999), menyatakan bahwa setiap coverage
memiliki bobot (weight) dan setiap kelas dalam model memiliki nilai (score)
sesuai dengan tingkat kepentingannya. Dalam model ini setiap coverage memiliki
urutan kepentingan dimana coverage yang memiliki pengaruh yang paling besar
diberikan penilaian yang lebih tinggi dari yang lainnya, begitu juga dengan urutan
68

overlay harus berdasarkan urutan tingkat kepentingan atau pengaruh yang paling
besar ke tingkat yang paling kecil. Model matematis disajikan sebagai berikut :

………………………………………(2)

dimana : S = Indeks terbobot pada area objek atau area terpilih


Sij = Skor pada kelas ke-j dari peta ke-i
Wi = Bobot pada input peta ke-i
n = Jumlah peta

Hasil analisis kesesuaian lahan untuk kegiatan pengembangan budidaya


rumput laut, keramba jaring apung, penangkapan ikan dan kawasan lindung
(konservasi) akan diperoleh peta yang mendeskripsikan pola penggunaan lahan
yang sesuai bagi peruntukan kawasan tersebut. Dengan demikian diharapkan
pemilihan lokasi untuk berbagai kawasan ini akan memberikan dampak positif
bagi masyarakat pengguna ruang maupun pemerintah.

b. Analisis Daya Dukung Lahan


Berkaitan dengan semakin meningkatnya pertambahan jumlah penduduk,
maka kebutuhan lahan juga semakin bertambahan yang akhirnya berdampak
kepada semakin terbatasnya lahan, baik untuk tempat tinggal (permukiman)
maupun untuk kegiatan pemanfaatan lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu
analisis untuk menentukan seberapa besar daya dukung suatu lahan untuk
menampung suatu kegiatan pemanfaatan pada suatu wilayah tanpa merusak
kelestarian lingkungan yang ada.
Daya dukung yang dianalisis dalam kajian ini hanya dibatasi pada daya
dukung kemampuan lahan (ruang) dalam menampung suatu kegiatan ditinjau
dari aspek kesesuaian lahan (fisik) dan sosial budaya masyarakat setempat,
sedangkan daya dukung lingkungan perairan yang berhubungan erat dengan
produktifitas lestari perairan tersebut. Hasil analisis ini akan memberikan
informasi mengenai seberapa besar luas lahan dan jumlah unit kegiatan dalam
mendukung suatu kawasan tertentu untuk diusahakan. Berikut ini uraian analisis
daya dukung bagi berbagai peruntukan yang akan dikembangkan pada kawasan
Kabupaten Kupang. Pertama, untuk perhitungan daya dukung lahan budidaya
rumput laut dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan luas areal
budidaya sesuai (kategori sangat sesuai dan sesuai), kapasitas lahan dan
metode budidaya yang diterapkan. Parameter yang menjadi acuan dalam
penentuan daya dukung lahan tersebut menurut Rauf (2008) antara lain :
69

a) Luas lahan budidaya rumput laut yang sesuai


Luas lahan (areal perairan) budidaya rumput laut yang sesuai dapat
diperoleh dari hasil analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan SIG. Dalam
studi ini dibagi dua musim dimana luas pada musim peralihan lebih besar dari
musim timur atau barat sehingga analisis-nya pun dipisahkan.

b) Kapasitas lahan perairan


Kapasitas lahan diartikan sebagai luasan lahan perairan yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut secara terus menerus dan
secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologi tidak mengganggu
ekosistem pesisir. Besarnya kapasitas lahan yang ditetapkan dalam studi ini
dianalisis dengan formula sebagai berikut :

KL =

= ……………………………(3)

dimana : KL = Kapasitas lahan


ΔL = L2 – L1
L1 = Luas unit budidaya
L2 = Luas yang sesuai untuk satu unit budidaya
l1 = Lebar unit budidaya
l2 = Lebar yang sesuai untuk satu unit budidaya
p1 = Panjang unit budidaya
p2 = Panjang yang sesuai untuk satu unit budidaya

Kapasitas lahan ditentukan dari selisih antara luas lahan yang sesuai
dengan luas unit budidaya dibagi dengan luas lahan yang sesuai kali 100%. Luas
unit budidaya (L1) ditentukan berdasarkan luas rata-rata unit budidaya yang ada
di Kabupaten Kupang. Luas yang sesuai untuk satu unit budidaya (L2) ditentukan
berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan.

c) Luasan unit budidaya


Luasan unit budidaya adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu
unit budidaya rumput laut, dimana setiap luasan unit budidaya berbeda-beda
tergantung dari metode budidaya yang digunakan. Dalam kajian ini luasan satu
unit budidaya didasarkan pada metode long line dengan ukuran 30 m x 100 m =
3000 m2 atau 0,003 km2.
70

d) Daya dukung lahan


Daya dukung lahan menunjukkan kemampuan maksimum lahan yang
mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan
terjadinya penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial.
Berdasarkan pendekatan tersebut di atas maka daya dukung lahan untuk
budidaya rumput laut dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :

DDLRL = LLS x KL ………………………………….…………(4)


dimana : DDLRL = Daya dukung lahan budidaya rumput laut (ha)
LLS = Luas lahan sesuai (ha)
KL = Kapasitas lahan (%)

Untuk menghitung berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh
lahan berdasarkan daya dukung yang diperoleh, dapat dianalisis dengan
persamaan sebagai berikut :

JUBRL = ……………………..………………..…………(5)

dimana : JUBRL = Jumlah unit budidaya rumput laut (unit)


DDL = Daya dukung lahan (ha)
LUB = Luas unit budidaya (unit/ha)

Kedua, analisis daya dukung lahan perairan Kabupaten Kupang untuk


kegiatan budidaya ikan dengan keramba jaring apung dilakukan dengan
pendekatan luas areal kegiatan budidaya yang sesuai dan kapasitas lahan.
Parameter yang menjadi acuan dalam penentuan daya dukung lahan tersebut,
antara lain :

a) Luas lahan budidaya ikan dengan KJA yang sesuai


Luas lahan (areal perairan) budidaya ikan dengan KJA yang sesuai dapat
diperoleh dari hasil analisis kesesuaian lahan.

b) Kapasitas lahan perairan


Besarnya kapasitas lahan yang digunakan untuk kegiatan budidaya dengan
KJA dianalisis seperti formula yang digunakan pada budidaya rumput laut. Yang
membedakan adalah luas unit budidaya yang digunakan secara umum di
perairan Indonesia (Sunyoto, 2000) yaitu dengan luas (12 x 12) m2 = 144 m2 =
0,00014 km2.
71

c) Luasan unit rakit KJA


Luasan unit rakit KJA adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu
unit rakit dengan empat keramba berukuran (3x3x2,5) m3.

d) Daya dukung lahan


Daya dukung lahan menunjukkan kemampuan maksimum lahan yang
mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan
terjadinya penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial.
Berdasarkan pendekatan tersebut di atas maka daya dukung lahan untuk
budidaya KJA dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :

DDLKJA = LLS x KL ………………………………….…………(6)


dimana : DDLKJA = Daya dukung lahan budidaya KJA (ha)
LLS = Luas lahan sesuai (ha)
KL = Kapasitas lahan (%)

Untuk menghitung berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh
lahan berdasarkan daya dukung yang diperoleh, dapat dianalisis dengan
persamaan sebagai berikut :

JUBKJA = ……………………..…..………………..…………(7)

dimana : JUBKJA = Jumlah unit budidaya KJA (unit)


DDL = Daya dukung lahan (ha)
LUB = Luas unit budidaya (unit/ha)

Analisis daya dukung lahan perairan di Kabupaten Kupang untuk kegiatan


budidaya teripang dan tiram mutiara memakai teknik perhitungan yang sama
dengan KJA, namun disesuaikan dengan luasan unit budidaya teripang dan tiram
mutiara.

c. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Laut


Dalam mengkaji suatu pengembangan usaha, di samping menganalisis
tingkat kelayakan lahan dan perairan yang sesuai bagi peruntukannya juga
dilakukan analisis terhadap kelayakan usaha dari sisi finansial. Analisis
kelayakan usaha dimaksudkan untuk menilai keberhasilan usaha pada suatu
bidang produksi dengan menilai besarnya pendapatan (keuntungan) yang
diperoleh, sedangkan analisis finansial diperlukan untuk penetapan alternatif
pemanfaatan budidaya dan pegembangan minapolitan secara berkelanjutan.
72

Untuk menentukan keuntungan, dilakukan perhitungan besar manfaat


(benefit) yang diperoleh dan besarnya biaya (cost) yang dikeluarkan selama satu
kali produksi (Soekartawai, 1986). Secara matematis, fungsi keuntungan dapat
dirumuskan sebagai berikut :

RC = TR -TC……………………..…..………………..…………(8)
dimana : RC = Keuntungan
TR = Total penerimaan usaha (Rp/ha/tahun)
TC = Total pengeluaran (Rp/ha/tahun)

Sementara itu untuk mengetahui sejauh mana hasil yang diperoleh usaha
tersebut telah layak dilanjutkan atau tidak, digunakan analisis perimbangan
antara penerimaan dan biaya yang dirumuskan sebagai berikut :

………………..…..………………..…………(9)

dimana : R/C = Perbandingan pendapatan dan pengeluaran


pi = Harga output produk ke-i
yi = Jenis output produk ke-i
pj = Harga input ke-j
xj = Jenis input ke-j

Untuk kepentingan pengambilan keputusan R/C dinilai dengan menggunakan


kriteria sebagai berikut :
R/C > 1, usaha budidaya laut untung
R/C = 1, usaha budidaya laut berada pada titik impas (break even point)
R/C < 1, usaha budidaya laut rugi

Selanjutnya untuk menentukan prospek pengembangan berbagai


kegiatan peruntukan di Kabupaten Kupang, maka dilakukan perhitungan besar
manfaat (benefit) dan besarnya biaya (cost) yang dihitung berdasarkan nilai
sekarang (net present value). Menurut Abelson (1979), beberapa indikator yang
biasa digunakan dalam analisis ini, yaitu :

a) Net Present Value (NPV)


Net Present Value (NPV) atau nilai bersih sekarang adalah nilai kini dari
keuntungan bersih yang akan diperoleh pada masa yang akan datang, dengan
menghitung selisih antara manfaat dan biaya kini. Secara matematis NPV dapat
dirumuskan sebagai berikut :

– ………………..…..………………..……(10)
73

dimana : Bi = Keuntungan kotor tahunan, selama i tahun


Ci = Biaya kotor tahunan, selama i tahun
i
1/(1+r) = Discount factor (DF)
r = Tingkat suku bunga bank (discount rate)
n = Umur ekonomis dari unit usaha
i = 0,1,2,3,…. tahun ke n

Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :


NPV > 0 berarti budidaya laut layak diusahakan
NPV = 0 berarti budidaya laut berada pada titik impas (break even point)
NPV < 0 berarti budidaya laut tidak layak diusahakan

b) Internal Rate of Return (IRR)


IRR merupakan suku bunga maksimal untuk sampai kepada NPV = 0, jadi
dalam keadaan batas untung-rugi. Disamping itu juga dianggap sebagai tingkat
keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek, asal setiap manfaat yang
diwujudkan secara otomatis ditanam kembali pada tahun berikutnya dan
mendapatkan tingkat keuntungan yang sama dan diberi bunga selama sisa umur
proyek. IRR digunakan untuk mengetahui tingkat pengembalian bunga usaha,
dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi dalam suatu
usaha (Kadariah et al., 1999). Secara matematis dituliskan :

………………..………..…………(11)

dimana : i+ = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV positif


i- = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV negatif
NPV+ = NPV pada tingkat suku bunga i+
NPV- = NPV pada tingkat suku bunga i-

Dengan kriteria pengambilan keputusan :


 IRR > i+ artinya kegiatan usaha budidaya laut dapat dilanjutkan
 IRR > i- artinya kegiatan usaha budidaya laut tidak dapat dilanjutkan

c) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C)


Merupakan perbandingan antara jumlah total nilai kini (present value) dari
keuntungan bersih pada tahun-tahun dimana keuntungan bersih bernilai positif
dengan keuntungan bersifat negatif. Secara matematis, net benefit cost ratio
(B/C) dapat dituliskan :

………………..………..…………(12)

dimana : B = Keuntungan bersih tahunan yang diharapkan


C = Modal investasi yang diharapkan
74

r = Tingkat suku bunga per tahun


n = Jumlah tahun kegiatan

Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :


Net B/C > 1 berarti kegiatan usaha budidaya laut layak untuk diusahakan
Net B/C = 1 berarti kegiatan usaha budidaya laut berada pada titik impas
Net B/C < 1 berarti kegiatan usaha budidaya laut tidak layak untuk diusahakan

d) Pay Back of Period (PBP)


Pay Back of Period adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat lama
waktu yang diperlukan oleh kegiatan usaha untuk mengembalikan investasi,
yaitu dengan membandingkan investasi dengan tingkat keuntungan selama satu
periode produksi (1 tahun) (Kadariah et al., 1999). Secara matematis dituliskan
sebagai berikut :

Pay Back of Period = Investasi / Tingkat keuntungan..…………….(13)

e) Break Event Point (BEP)


Break Event Point (BEP) merupakan sebuah pengukuran untuk mengetahui
berapa volume atau kapasitas produksi minimum agar investasi itu tidak
menderita rugi tetapi juga belum memperoleh keuntungan/laba, yang
diformulasikan sebagai berikut :

BEP = (TBT+TBV/ TH ) x TP…………….….…………….(14)


dimana: TBT = Total biaya tetap
TBV = Total biaya variabel
TH = Total harga
TP = Total produksi
75

5.3 Hasil dan Pembahasan Analisis Potensi Wilayah di Kabupaten


Kupang

5.3.1 Analisis Spasial/Keruangan


Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan yang dilakukan dalam studi ini
merupakan kesesuaian lahan pada saat ini, dimana kelas kesesuaian lahan yang
dihasilkan berdasarkan pada data yang tersedia dan belum mempertimbangkan
asumsi/usaha perbaikan bagi tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kendala fisik atau faktor-faktor penghambat yang ada. Evaluasi
kesesuaian lahan dalam penelitian ini ada empat peruntukkan budidaya laut yaitu
budidaya rumput laut, keramba jaring apung, tiram mutiara, dan teripang.

a. Rumput Laut
Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya rumput
laut di Kecamatan Semau, Sulamu, dan Kupang Barat disajikan pada Tabel 6,
sedangkan peta kesesuaian untuk masing-masing kecamatan dapat dilihat pada
Gambar 6 sampai 8.

Tabel 6 Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut
Kesesuaian lahan (km2) Jumlah total perairan
Kecamatan
Sangat sesuai Sesuai Tidak sesuai yang sesuai (km2)
Semau 5,94 0,32 0,63 6,26
Sulamu 3,20 0,28 0,17 3,48
Kupang Barat 22,29 3,96 4,16 26,25
Sumber : Hasil analisis 2011

Dalam penentuan kesesuaian lahan ini dievaluasi beberapa parameter


fisik dan kimia perairan, namun parameter-parameter yang memiliki bobot
terbesar dalam kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut adalah fosfat,
nitrat, kedalaman, kecerahan, dan kecepatan arus. Hasil evaluasi di lapangan
diperoleh nilai fosfat berkisar antara 0,2-0,7 mg/l, nitrat 0,8-1,5mg/l, kedalaman
perairan 15-20 m, kecerahan perairan berkisar antara 5-9 m, dan kecepatan arus
15-20 cm/dtk.

b. Keramba Jaring Apung


Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya ikan
kerapu dengan keramba jaring apung (KJA) di Kecamatan Semau, Sulamu, dan
Kupang Barat disajikan pada Tabel 7, sedangkan peta kesesuaian untuk masing-
masing kecamatan dapat dilihat pada Gambar 9 sampai 11.
76

Tabel 7 Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya KJA


Kesesuaian lahan (km2) Jumlah total perairan
Kecamatan
Sangat sesuai Sesuai Tidak sesuai yang sesuai (km2)
Semau 2,13 4,29 0,48 6,24
Sulamu 0,45 0,55 2,66 1,00
Kupang Barat 1,33 3,96 25,11 5,29
Sumber : Hasil analisis 2011

Dari hasil evaluasi kesesuaian lahan yang didapatkan (Tabel 7) terungkap


bahwa lokasi yang sesuai untuk usaha budidaya KJA tersebar di tiga kecamatan
namun Kecamatan Semau yang memiliki potensi kesesuaian lahan yang luas
sebesar 2,13 km2. Adapun persentase masing-masing kategori yang sesuai
terhadap luas wilayah perairan kecamatan yaitu Semau 100%, Sulamu 99,99%
dan Kupang Barat 100%. Penentuan lokasi tersebut dengan mempertimbangkan
beberapa parameter seperti kecepatan arus, kedalaman air, muatan padatan
tersuspensi, material dasar perairan, oksigen terlarut, kecerahan perairan, suhu,
salinitas, pH, fosfat, nitrat, kepadatan fitoplankton dan klorofil-a.
Hasil pengamatan lapangan di Kecamatan Semau diperoleh kedalaman
perairan 27-32 m, kecepatan arus 25-30 cm/dtk dengan jenis substrat dasar
perairan berpasir dan pecahan karang, serta kecerahan perairan 5-10 m
memungkinkan untuk dikembangkannya budidaya ikan kerapu dengan KJA.
Untuk perairan Kecamatan Sulamu diperoleh kedalaman perairan 25-30 m,
kecepatan arus 30-35 cm/dtk dengan jenis substrat dasar perairan berpasir, serta
kecerahan perairan 5-10 m memungkinkan untuk dikembangkannya budidaya
ikan kerapu dengan KJA. Sedangkan perairan Kecamatan Kupang Barat
diperoleh kedalaman perairan 20-25 m, kecepatan arus 15-19 cm/dtk dengan
jenis substrat dasar perairan berpasir, serta kecerahan perairan 10-15 m
memungkinkan untuk dikembangkannya budidaya ikan kerapu dengan KJA.
Kedalaman perairan sangat berperan dalam pengoperasian KJA untuk
mengetahui kedalaman jaring yang akan digunakan dapat ditentukan. Parameter
kecepatan arus sangat berperan untuk membawa/membilas (flushing) sisa pakan
atau kotoran ikan tetapi tidak sampai mengganggu jaring sehingga mengurangi
luasan ruang ikan dalam keramba. Kecerahan perairan juga mempengaruhi
kegiatan budidaya KJA dalam menunjukkan kemampuan cahaya untuk
menembus lapisan air pada kedalaman tertentu, faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerahan adalah kandungan lumpur, plankton, dan bahan-
bahan yang terlarut lainnya.
77

Keadaan tersebut dapat mengurangi laju fotosintesis serta mengganggu


pernapasan hewan di air dan bahkan tidak layak untuk pengamatan lapangan
bahwa suhu perairan berkisar antara 26-30 0C, salinitas perairan berkisar antara
29-35 gr/kg, pH air laut berkisar antara 7-9. Menurut Baveridge (1987) dalam
pemilihan lokasi untuk pengembangan KJA di laut kriteria (suhu, salinitas, DO,
pH, kekeruhan, pencemaran, padatan terlarut dan alga) lebih diperuntukkan
pada kondisi fisika-kimia air laut yang akan menentukan bagi
pemilihan/perkembangan ikan budidaya.

c. Tiram Mutiara
Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya tiram
mutiara di Kecamatan Semau, Sulamu, dan Kupang Barat disajikan pada Tabel
8, sedangkan peta kesesuaian untuk masing-masing kecamatan dapat dilihat
pada Gambar 12 sampai 14.

Tabel 8 Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya tiram mutiara
Kesesuaian lahan (km2) Jumlah total perairan
Kecamatan
Sesuai Tidak sesuai yang sesuai (km2)
Semau 0,72 6,18 0,72
Sulamu 0,15 3,51 0,15
Kupang Barat 1,04 29,36 1,04
Sumber : Hasil analisis 2011

Hasil dari parameter-parameter penting yang berpengaruh terhadap


usaha budidaya tiram mutiara adalah kecepatan arus 35 cm/dtk, muatan padatan
terlarut berkisar antara 50-65 mg/l, kedalaman perairan berkisar antara 25-30 m,
dan kepadatan fitoplankton yang berkisar antara 5.105 - 2.106 sel/l.

d. Teripang
Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya
teripang di Kecamatan Semau, Sulamu, dan Kupang Barat disajikan pada Tabel
9, sedangkan peta kesesuaian untuk masing-masing kecamatan dapat dilihat
pada Gambar 15 sampai 17.

Tabel 9 Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya teripang


Kesesuaian lahan (km2) Jumlah total perairan
Kecamatan
Sesuai Tidak sesuai yang sesuai (km2)
Semau 0,61 6,28 0,61
Sulamu 0,17 3,49 0,17
Kupang Barat 1,59 28,81 1,59
Sumber : Hasil analisis 2011
78

Hasil evaluasi parameter-parameter yang penting untuk kesesuaian lahan


budidaya teripang adalah kecepatan arus 10-15 cm/dtk, kedalaman yang
berkisar antara 5-10 m, kecerahan perairan 3-8 m, material dasar perairan agak
landai dan berpasir, dan kondisi perairan terbuka. Dari Gambar 15 sampai 17
dapat disimpulkan bahwa budidaya teripang tidak sesuai dibudidayakan untuk
Kecamatan Kupang Barat dan Kecamatan Semau karena kondisi kedua wilayah
ini terbuka dan kondisi arus yang tidak memungkinkan untuk dibudidayakan
usaha teripang.

5.3.2 Analisis Daya Dukung


a. Rumput Laut
Aspek daya dukung sangat menentukan keberlanjutan kegiatan budidaya
rumput laut. Daya dukung yang digunakan dianalisis dengan pendekatan luas
areal budidaya yang sesuai (kategori sangat sesuai dan sesuai), kapasitas lahan
dan metode budidaya yang diterapkan. Hasil analisis daya dukung lahan untuk
pengembangan budidaya rumput laut di Kabupaten Kupang dapat dilihat pada
Tabel 10.

Tabel 10 Daya dukung lahan perairan untuk budidaya rumput laut


2 2 Daya dukung lahan (Jumlah
Luas lahan (km ) Kapasitas lahan (km )
unit budidaya rumput laut)
Kecamatan
Sangat Sangat Sangat
Sesuai Sesuai Sesuai
sesuai sesuai sesuai
Semau 5,94 0,32 5,94 0,32 1.980 104
Sulamu 3,20 0,28 3,20 0,28 1.065 93
Kupang Barat 22,29 3,96 22,29 3,96 7.428 1.319
Jumlah 31,43 4,56 31,43 4,56 10.473 1.516
Sumber : hasil analisis 2011

Keterangan Tabel :
Kapasitas lahan perairan adalah 99,95% dari luas lahan yang sesuai (sangat sesuai dan sesuai)
2 2
Luas satu unit budidaya dengan metode longline = 3000 m atau 0,003 km
DD lahan (jumlah unit) = kapasitas lahan/luas unit budidaya rumput laut

Berdasarkan hasil analisis daya dukung lahan untuk kegiatan budidaya


rumput laut didapatkan luas kapasitas lahan untuk kategori sangat sesuai dan
sesuai masing-masing sebesar 31,43 km2 dan 4,56 km2 sedangkan jumlah unit
usaha budidaya rumput laut yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya
tersebut pada kategori sangat sesuai dan sesuai masing-masing sebanyak
10.473 unit dan 1.516 unit (Tabel 10). Jika digabungkan jumlah unit usaha
budidaya rumput laut tersebut maka total unit yang dapat diusahakan sebesar
11.989 unit.
79

b. Keramba Jaring Apung


Analisis daya dukung lahan perairan di Kabupaten Kupang untuk kegiatan
budidaya keramba jaring apung dilakukan dengan pendekatan luas areal
kegiatan budidaya yang sesuai (kategori sangat sesuai dan sesuai) dan
kapasitas lahan. Hasil analisis daya dukung lahan untuk pengembangan
kegiatan budidaya ikan kerapu dengan KJA di Kabupaten Kupang disajikan pada
Tabel 11. Berdasarkan hasil analisis daya dukung lahan tersebut diperoleh luas
kapasitas lahan untuk kategori sangat sesuai dan sesuai masing-masing sebesar
3,91 km2 dan 8,80 km2 sedangkan jumlah unit KJA yang dapat didukung untuk
kegiatan budidaya tersebut pada kategori sangat sesuai dan sesuai masing-
masing sebanyak 61.001 unit dan 137.411 unit.

Tabel 11 Daya dukung lahan perairan untuk budidaya KJA


2 2 Daya dukung lahan (jumlah
Luas Lahan (km ) Kapasitas lahan (km )
unit budidaya KJA)
Kecamatan
Sangat Sangat
Sesuai Sesuai Sangat Sesuai Sesuai
Sesuai Sesuai
Semau 2,13 4,29 2,13 4,29 33.287 66.957
Sulamu 0,45 0,55 0,45 0,55 6.958 8.528
Kupang Barat 1,33 3,96 1,33 3,96 20.756 61.926
Jumlah 3,91 8,80 3,91 8,80 61.001 137.411
Sumber : hasil analisis 2011

Keterangan Tabel :
Kapasitas lahan perairan adalah 99,99% dari luas lahan yang sesuai (sangat sesuai dan sesuai)
2 2 2
Luas satu unit budidaya dengan metode KJA = (8 x 8) m = 64 m atau 0,000064 km
DD lahan (jumlah unit) = kapasitas lahan/luas unit budidaya KJA

c. Tiram Mutiara
Analisis daya dukung lahan perairan di Kabupaten Kupang untuk kegiatan
budidaya tiram mutiara dilakukan dengan pendekatan luas areal kegiatan
budidaya yang sesuai (kategori sesuai) dan kapasitas lahan. Hasil analisis daya
dukung lahan untuk pengembangan kegiatan budidaya tiram mutiara di
Kabupaten Kupang disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Daya dukung lahan perairan untuk budidaya tiram mutiara


2 2 Daya dukung lahan (jumlah
Luas lahan (km ) Kapasitas lahan (km )
Kecamatan unit budidaya mutiara)
Sesuai Sesuai Sesuai
Semau 0,72 0,72 14.597
Sulamu 0,15 0,15 2.997
Kupang Barat 1,04 1,04 21.293
Jumlah 1,91 1,91 38.887
Sumber : hasil analisis 2011
Keterangan Tabel :
Kapasitas lahan perairan adalah 99,99% dari luas lahan yang sesuai
2 2 2
Luas satu unit budidaya tiram mutiara = (7 x 7) m = 49 m atau 0,000049 km
DD lahan (jumlah unit) = kapasitas lahan/luas unit budidaya tiram mutiara
80

Berdasarkan hasil analisis daya dukung lahan ketiga kecamatan di


Kabupaten Kupang tersebut diperoleh luas kapasitas lahan untuk kategori sesuai
sebesar 1,91 km2 sedangkan jumlah unit keramba untuk tiram mutiara yang
dapat didukung untuk kegiatan budidaya tersebut pada kategori sesuai masing-
masing sebanyak 38.887 unit.

d. Teripang
Analisis daya dukung lahan perairan di Kabupaten Kupang untuk kegiatan
budidaya teripang dengan sistem penculture dilakukan dengan pendekatan luas
areal kegiatan budidaya yang sesuai (kategori sesuai) dan kapasitas lahan. Hasil
analisis daya dukung lahan ketiga kecamatan di Kabupaten Kupang untuk
pengembangan kegiatan budidaya teripang dengan sistem penculture di
Kabupaten Kupang disajikan pada Tabel 13. Berdasarkan hasil analisis daya
dukung lahan tersebut diperoleh luas kapasitas lahan untuk kategori sesuai
sebesar 2,37 km2 sedangkan jumlah unit penculture teripang yang dapat
didukung untuk kegiatan budidaya tersebut pada kategori sesuai sebanyak 4.743
unit.

Tabel 13 Daya dukung lahan perairan untuk budidaya teripang


2 2 Daya dukung lahan (jumlah
Luas lahan (km ) Kapasitas lahan (km )
Kecamatan unit budidaya teripang)
Sesuai Sesuai Sesuai
Semau 0,61 0,61 1.227
Sulamu 0,17 0,17 329
Kupang Barat 1,59 1,59 3.187
Jumlah 2,37 2,37 4.743
Sumber : hasil analisis 2011
Keterangan Tabel :
Kapasitas lahan perairan adalah 99,99% dari luas lahan yang sesuai (sangat sesuai dan sesuai)
2 2 2
Luas satu unit budidaya teripang = (50 x 10) m = 500 m atau 0,0005 km
DD lahan (jumlah unit) = kapasitas lahan/luas unit budidaya teripang dengan penculture
93

5.3.3 Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Laut


Analisis kelayakan usaha budidaya laut dalam penelitian ini terdiri dari
empat bagian yaitu budidaya keramba jaring apung, rumput laut, tiram mutiara,
dan teripang. Analisis ini dimaksudkan untuk melihat peluang usaha dan profil
investasi komoditas atau produk unggulan daerah Kabupaten Kupang khususnya
dalam bidang/kegiatan budidaya laut sebagai suatu peluang investasi yang
sangat fisibel yang dapat mendorong peningkatan ekonomi wilayah dan
masyarakat dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten
Kupang.

a. Budidaya Keramba Jaring apung


Untuk mendirikan usaha budidaya ikan kerapu dengan sistem keramba
jaring apung (KJA), dibutuhkan sejumlah dana untuk membiayai investasi dan
modal kerja. Komponen-komponen biaya investasi ini meliputi : a) pembuatan
rakit berukuran 8 m x 8 m, b) pembuatan waring berukuran 1 m x 1 m x 1,5 m, c)
pembuatan jaring ukuran 3 m x 3 m x 3 m, d) pembuatan rumah jaga, dan e)
pengadaan sarana kerja. Sedangkan untuk modal kerja meliputi : biaya
pengadaan benih, pakan, bahan bakar, upah/gaji, dan lain-lain.
Adapun jumlah dana untuk membiayai berbagai komponen biaya di atas,
dihitung berdasarkan tingkat harga di lokasi penelitian dan beberapa asumsi
sebagai berikut :
1. Umur investasi 5 tahun
2. Sumber dana untuk membiayai kegiatan investasi khusus untuk biaya
investasi berasal dari pinjaman sebesar Rp15.000.000,00 dengan tingkat
bunga 18% per tahun (flat) dalam jangka waktu 5 tahun
3. Pajak penghasilan 15% per tahun
4. Penyusutan atas aktiva tetap dihitung dengan metoda garis lurus dengan sisa
= 0 dan umur ekonomis dari setiap aset 5 tahun
5. Benih yang ditebarkan berukuran 4-5 cm sebanyak 2.500 ekor dengan tingkat
kehidupan sampai umur panen 65% dengan berat 450 gr/ekor
6. Jangka waktu pembesaran atau umur produksi untuk mencapai berat
jual/panen adalah 12 bulan (1 tahun)
7. Harga jual Rp317.000,00 per kg
Atas dasar asumsi-asumsi di atas, perkiraan biaya investasi dan biaya
variabel disajikan pada Tabel 14.
94

Tabel 14 Perkiraan biaya investasi usaha budidaya ikan kerapu


Komponen Jumlah (Rp) %
Biaya investasi 28.597.500,00 26,2
Biaya variabel 68.851.500,00 63,0
Biaya tetap 11.839.000,00 10,8
Total 109.288.000,00 100,0

Total besarnya biaya investasi, biaya variabel dan biaya tetap sebesar
Rp109.288.000,00 di mana biaya terbesar adalah biaya variabel mencapai 63%
diikuti oleh biaya investasi 26,2% dari total biaya. Rincian biaya investasi, biaya
variabel, dan biaya tetap yang diperlukan untuk usaha budidaya ikan kerapu
tikus dengan sistem KJA di Kabupaten Kupang disajikan pada Lampiran 15.
Sedangkan perhitungan/analisis rugi laba dari usaha budidaya ikan kerapu tikus
dengan sistem KJA di Kabupaten Kupang ini didasarkan pada asumsi-asumsi
seperti yang telah dikemukan terdahulu. Hasil analisis rugi laba seperti
ditunjukkan pada Tabel 15.

Tabel 15 Analisis rugi laba usaha budidaya ikan kerapu


No Uraian Total (Rp)
1 Total biaya 735.896.000,00
2 Total penerimaan 1.212.525.000,00
3 Total pendapatan sebelum pajak 476.629.000,00
4 Pajak penghasilan (15%) 71.494.000,00
5 Total pendapatan bersih setelah pajak 405.134.000,00

Dari Tabel 15, terlihat bahwa usaha budidaya ikan kerapu tikus selama 5
tahun atau 5 kali siklus produksi memberikan pendapatan memberikan
pendapatan bersih setelah pajak sebesar Rp405.134.000,00 untuk rinciannya
dapat dilihat pada Lampiran 15. Berikutnya adalah analisis cash flow dan
kelayakan Investasi yang menggambarkan proyeksi arus penerimaan dan arus
pengeluaran dari usaha budidaya ikan kerapu tikus dengan sistem KJA selama 5
tahun usaha (Lampiran 15).

Tabel 16 Kriteria kelayakan usaha budidaya ikan kerapu dengan sistem KJA
No Kriteria kelayakan Nilai kelayakan
1 Net present value/NPV pada DF 18% (Rp) 247.506.000,00
2 Net B/C pada DF 18% 1,65
3 Internal rate of return/IRR (%) 46,6
4 Payback period/PBP tahun ke-1
5 Break event point/BEP :
unit (kg) 333
unit (Rp/kg) 138.000,00
95

Kriteria-kriteria dan nilai kelayakan finansial dari usaha budidaya ikan


kerapu tikus dengan sistem KJA di Kabupaten Kupang dapat dilihat pada Tabel
16. Investasi di bidang usaha budidaya ikan kerapu di Kabupaten Kupang
dengan teknologi dan kapasitas produksi yang ada, mampu memberikan adanya
surplus pendapatan bagi pihak investor.
Dari Tabel 16 terlihat bahwa dalam jangka waktu 1 tahun lebih atau
tepatnya 1 tahun 1 bulan produksi dana yang diinvestasikan itu dapat diperoleh
kembali. Sedangkan untuk total dana yang diinvestasikan untuk usaha budidaya
ikan kerapu tikus dengan sistem KJA di Kabupaten Kupang saat ini, nilai uang
yang diterima selama masa investasi (NPV) sebesar Rp247.506.000,00 dengan
net B/C 1,65 pada tingkat diskon (DF) 18%. Angka yang ada menunjukkan
bahwa kegiatan investasi di bidang usaha budidaya ikan kerapu tikus dengan
sistem KJA di Kabupaten Kupang secara finansial layak atau memiliki daya
keuntungan yang tinggi.
Dari hasil analisis diperoleh IRR sebesar 46,6% yang bila dibandingkan
dengan tingkat suku bunga pinjaman 18% per tahun, hal ini menunjukkan bahwa
investasi di bidang budidaya ikan kerapu tikus dengan sistem KJA di Kabupaten
Kupang layak untuk diusahakan. Berikutnya untuk mencapai BEP, maka jumlah
hasil budidaya ikan kerapu tikus ini setiap tahunnya minimum sebanyak 333 kg
atau Rp138.000,00 per kg.

b. Budidaya Rumput Laut


Usaha budidaya rumput laut dengan sistem longline membutuhkan
sejumlah dana untuk membiayai investasi dan modal kerja. Komponen-
komponen biaya investasi ini meliputi : a) pembuatan unit budidaya rumput laut
berukuran 100 m x 30 m, b) pembuatan para-para/tempat penjemuran, c) perahu
sampan, dan d) timbangan gantung. Sedangkan untuk modal kerja meliputi :
biaya pengadaan bibit, karung jangkar, pelampung botol aqua, pelampung
jeregen, dan upah/gaji.
Adapun jumlah dana untuk membiayai berbagai komponen biaya di atas,
dihitung berdasarkan tingkat harga di lokasi penelitian dan beberapa asumsi
sebagai berikut : (1) umur investasi 1 tahun (1 periode = 6 siklus kegiatan
budidaya rumput laut), (2) satu siklus kegiatan budidaya = 45 hari ( Periode
budidaya : awal april – oktober), (3) bibit rumput laut awal 2.400 kg, (4)
rendemen: berat basah menjadi kering 12,50%, (5) luas lahan budidaya 100 m x
30 m = 3.000 m2, (6) berat bibit rumput laut yang diikat 200 gr, (7) hasil panen
96

rumput laut 6 kali berat semula, dan (8) harga jual rumput laut kering
Rp10.000,00 per kg. Atas dasar asumsi-asumsi di atas, perkiraan biaya investasi
sebesar Rp11.800.000,00 dan biaya produksi sebesar Rp63.312.000,00 untuk
usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Kupang.
Analisis cash flow dan kelayakan Investasi yang menggambarkan
proyeksi arus penerimaan dan arus pengeluaran dari usaha budidaya rumput
laut dengan sistem longline selama 1 periode usaha atau 6 kali siklus panen.
Pada Lampiran 15 terlihat bahwa investasi di bidang usaha budidaya ikan kerapu
di Kabupaten Kupang dengan teknologi dan kapasitas produksi yang ada,
mampu memberikan adanya surplus pendapatan bagi pihak investor. Kriteria-
kriteria dan nilai kelayakan finansial dari usaha budidaya rumput laut dengan
sistem longline di Kabupaten Kupang dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Kriteria kelayakan usaha rumput laut dengan sistem long line
No Kriteria kelayakan Nilai kelayakan
1 Net present value/NPV pada DF 18% (Rp) 26.071.186,00
2 Net B/C pada DF 18% 1,44
3 Internal rate of return/IRR (%) 46,6
4 Payback period/PBP 0,5 tahun
(1 siklus panen = 45 hari) (5 kali siklus panen)
5 Break event point/BEP :
unit (kg) 7.511
unit (Rp/kg) 6.955,00

Dari Tabel 17 terlihat bahwa dalam jangka waktu 0,5 tahun lebih atau
tepatnya 5 kali siklus produksi dana yang diinvestasikan itu dapat diperoleh
kembali. Sedangkan untuk total dana yang diinvestasikan untuk usaha budidaya
rumput laut dengan sistem longline di Kabupaten Kupang saat ini, nilai uang
yang diterima selama masa investasi (NPV) sebesar Rp26.071.186,00 dengan
Net B/C 1,44 pada tingkat diskon (DF) 18%. Angka yang ada menunjukkan
bahwa kegiatan investasi di bidang usaha budidaya rumput laut dengan sistem
longline di Kabupaten Kupang secara finansial sangat layak atau memiliki daya
keuntungan yang tinggi.
Dari hasil analisis diperoleh IRR sebesar 98,6% yang bila dibandingkan
dengan tingkat suku bunga pinjaman 18% per tahun, hal ini menunjukkan bahwa
investasi di bidang budidaya rumput laut dengan sistem longline di Kabupaten
Kupang sangat layak untuk diusahakan, dan untuk mencapai BEP, maka jumlah
hasil budidaya rumput laut ini setiap tahunnya minimum sebanyak 7.511 kg atau
Rp6.955,00 per kg.
97

c. Budidaya Tiram Mutiara


Budidaya tiram mutiara ini menggunakan teknologi sederhana dan
modern. Teknologi sederhana berupa rakit tempat pemeliharaan sedangkan
teknologi modern yang digunakan adalah bioteknologi untuk perawatan tiram dari
spat sampai tiram siap untuk dioperasi. Usaha budidaya mutiara menggunakan
tenaga keamanan dengan biaya yang cukup besar untuk mencegah terjadinya
penjarahan. Siklus produksi adalah 5 tahun sejak awal usaha dengan melakukan
penyuntikan pada spat umur 1,5 tahun. Mutiara dapat dipanen 1,5 tahun setelah
penyuntikan. Masa tunggu panen kedua dan ketiga dari proses penyuntikan
hanya 1 tahun. Setelah panen pertama, tiram dapat disuntik lagi untuk dipanen 1
tahun berikutnya. Penyuntikan dapat dilakukan 3 kali pada tiram yang sama
sehingga selama 5 tahun dapat dilakukan 3 kali panen. Asumsi-asumsi dasar
perhitungan untuk usaha budidaya tiram mutiara di Kabupaten Kupang disajikan
pada Tabel 18.

Tabel 18 Asumsi-asumsi dasar perhitungan usaha budidaya tiram mutiara


No Uraian Satuan Jumlah/nilai
1 Periode proyek tahun 6
2 Luas tanah dan area budidaya :
a. luas tanah untuk kantor & gudang m2 2.500
b. jumlah jalur area budidaya jalur 30
3 Pembenihan :
a. siklus usaha tahun 5
b. lama pemeliharaan tahun 1,5
c. ukuran spat cm 2–3
d. ukuran spat siap dioperasi cm minimal 9
e. intensitas operasi tiap tiram kali 2–3
f. jangka waktu panen 1 dan ke 2 tahun 1
g. jangka waktu panen 2 dan ke 3 tahun 1
4 Harga mutiara dan siput :
a. spat ukuran 2 – 3 cm Rp/cm 2.500,00
b. harga mutiara Rp/gr 400.000,00
5 Tenaga kerja :
a. tetap (termasuk manajemen) orang 5
b. tidak tetap orang 9
c. tenaga keamanan orang 3
6 Pakan untuk spat sampai panen tidak ada
7 Resiko kegagalan panen % 30
8 Isi kolektor ekor 200 – 300
9 Isi net (waring) ekor 20
10 Isi keranjang ekor 10
11 Harga nukleus Rp/kg 4.000.000,00
12 Kebutuhan nukleus kg 10
13 Biaya operasi nukleus ke tiram Rp 10.000,00
14 Jumlah spat yang dipelihara ekor 5.000
98

Berdasarkan asumsi-asumsi dasar di atas, kebutuhan investasi untuk


usaha budidaya tiram mutiara disajikan pada Tabel 19. Investasi yang
dibutuhkan untuk usaha budidaya tiram mutiara ini adalah Rp425.800.000,00
dengan umur usaha 5 tahun, maka nilai penyusutan per tahunnya adalah
Rp84.960.000,00. Investasi merupakan biaya tetap (fixed cost) yang terdiri dari
beberapa komponen seperti biaya perijinan, sewa tanah, sewa bangunan,
konstruksi rakit untuk budidaya, dan peralatan-peralatan lainnya. Dalam proyek
ini, areal budidaya adalah perairan laut tenang sehingga luas areal budidaya
diukur dalam satuan jalur penggantung tiram untuk budidaya mutiara.

Tabel 19 Kebutuhan investasi budidaya tiram mutiara


Jenis Investasi Nilai (Rp) Penyusutan (Rp)
Perijinan 25.000.000,00
Sewa tanah 75.000.000,00 15.000.000,00
Kontruksi tambak 59.700.000,00 16.500.000,00
Peralatan budidaya mutiara 110.100.000,00 22.260.000,00
Bangunan 156.000.000,00 31.200.000,00
Jumlah 425.800.000,00 84.960.000,00
Sumber dana investasi :
a) kredit 70% 298.060.000,00
b) dana sendiri 30% 127.740.000,00

Biaya operasional pada budidaya mutiara sedikit berbeda dengan biaya


operasional untuk budidaya produk perikanan lainnnya. Biaya operasional pada
budidaya mutiara lebih banyak bersifat tetap sepanjang waktu, mulai dari
penebaran spat sampai dengan masa panen. Hal ini dikarenakan pada budidaya
mutiara, tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk pakan. Biaya operasional pada
budidaya mutiara terdiri dari biaya pembelian spat (anakan tiram mutiara), biaya
tenaga kerja, dan biaya operasional lainnya, seperti penyuntikkan/operasi tiram
mutiara.

Tabel 20 Biaya operasional budidaya tiram mutiara


No Jenis biaya Nilai (Rp)
1 Biaya pembelian spat dan nukleus 52.500.000,00
2 Biaya tenaga kerja tetap 450.000.000,00
3 Biaya tenaga kerja tidak tetap 82.125.000,00
4 Biaya tenaga keamanan 648.000.000,00
5 Biaya bola lampu sorot 1.500.000,00
6 Biaya operasional dan lain-lain 150.000.000,00
Jumlah 1.384.125.000,00
99

Dari Tabel 20 menunjukkan besarnya pengeluaran biaya operasional


budidaya tiram mutiara selama lima tahun. Biaya operasional yang harus
dikeluarkan untuk 3 kali penyuntikkan/operasi tiram mutiara dalam tahun
produksi adalah Rp150.000.000,00 dimana biaya penyuntikkan/operasi
Rp10.000,00 per tiram mutiara. Dana yang digunakan untuk investasi ini
dilakukan pada tahun nol proyek. Sumber dana pembiayaan investasi
diasumsikan 70% berasal dari kredit (Rp298.060.000,00) dan 30% modal sendiri
(Rp127.740.000,00). Sumber kredit berasal dari perbankan dan jenis kredit
komersial, yang syarat dan tingkat bunganya disesuaikan dengan kondisi
masing-masing bank. Untuk usaha budidaya mutiara ini, suku bunga kredit
adalah 17% menurun. Perincian hitungan biaya operasional dan total aliran kas
dapat dilihat pada Lampiran 15.
Dalam proses produksi budidaya tiram mutiara, setelah dilakukan
penyuntikkan/operasi memasukkan inti bundar pada ukuran tiram mutiara 9–10
cm atau setelah 1,5 tahun, maka produksi tiram mutiara akan terjadi pada 1,5
tahun kemudian atau pada tahun ke 3. Dengan mengoperasi 5.000 tiram
mutiara, maka akan diperoleh hasil Rp1.750.000.000,00 angka ini
memperhitungkan kegagalan maksimal 50% dengan harga jual mutiara
Rp400.000,00 per gr. Secara lengkap, proyeksi aliran kas (cash flow) untuk
budidaya tiram mutiara selama lima tahun dapat dilihat pada Lampiran 23. Dilihat
cash flow selama lima tahun, bahwa pada tahun 0 sampai tahun 2, usaha
budidaya ini mengalami defisit karena tiram yang dibudidayakan belum
menghasilkan mutiara. Pada tahun ketiga sampai tahun ke-5, usaha budidaya
tiram mutiara ini akan memberikan keuntungan Rp3.440.075.000,00. Kriteria-
kriteria dan nilai kelayakan finansial dari usaha budidaya tiram mutiara dengan di
Kabupaten Kupang dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21 Kriteria kelayakan usaha tiram mutiara di kabupaten Kupang


No Kriteria kelayakan Nilai kelayakan
1 Net present value/NPV pada DF 17% (Rp) 466.431.739,00
2 Net B/C pada DF 17% 1,60
3 Internal rate of return/IRR (%) 25,7
4 Payback period/PBP
usaha tahun ke-4
kredit 3,7 tahun
5 Break event point/BEP :
unit (gr) 3.650
unit (Rp/gr) 37.542,00
100

Hasil perhitungan kelayakan usaha budidaya tiram mutiara menunjukkan


bahwa investasi di bidang usaha budidaya tiram mutiara di Kabupaten Kupang
dengan teknologi dan kapasitas produksi yang ada, mampu memberikan adanya
surplus pendapatan bagi pihak investor. Dari Tabel 21 terlihat bahwa dalam
jangka waktu 4 tahun usaha ini mampu mengembalikan modal investasinya atau
tepatnya 3 tahun 8 bulan dana kredit itu dapat dibayar kembali. Sedangkan untuk
total dana yang diinvestasikan untuk usaha budidaya tiram mutiara di Kabupaten
Kupang saat ini, nilai uang yang diterima selama masa investasi (NPV) sebesar
Rp466.431.739,00 dengan Net B/C 1,60 pada tingkat diskon (DF) 17%. Angka
yang ada menunjukkan bahwa kegiatan investasi di bidang usaha budidaya
teripang putih dengan sistem penculture di Kabupaten Kupang secara finansial
sangat layak atau memiliki daya keuntungan yang tinggi.
Dari hasil analisis diperoleh IRR sebesar 25,7% yang bila dibandingkan
dengan tingkat suku bunga pinjaman 17% per tahun, hal ini menunjukkan bahwa
investasi di bidang budidaya tiram mutiara di Kabupaten Kupang layak untuk
diusahakan. Berikutnya untuk mencapai BEP, maka jumlah hasil budidaya
teripang putih ini setiap tahunnya minimum sebanyak 3.650 gr atau Rp37.550,00
per gr.

d. Budidaya Teripang
Usaha budidaya teripang putih dengan sistem penculture dibutuhkan
sejumlah dana untuk membiayai investasi dan modal kerja. Komponen-
komponen biaya investasi ini meliputi : a) pembuatan unit penculture berukuran
50 m x 10 m, b) jaring (net), dan c) Tali PE. Sedangkan untuk modal kerja
meliputi : biaya pengadaan bibit, pakan tambahan, tenaga kerja, perawatan
penculture, dan biaya pengeringan.
Adapun jumlah dana untuk membiayai berbagai komponen biaya di atas,
dihitung berdasarkan tingkat harga di lokasi penelitian dan beberapa asumsi
sebagai berikut : (1) umur investasi 1 tahun dan lama pemeliharaan 7 bulan, (2)
ukuran penculture seluas 500 m2, (3) padat tebar 15 ekor setiap m2, (4)
kebutuhan bibit 7.500 ekor, (5) mortalitas 20%, (6) berat rata-rata panen 200 gr,
(7) produksi basah 1200 kg dan produksi kering 120 kg, dan (8) harga jual
teripang Rp650.000,00 per kg.
Atas dasar asumsi-asumsi di atas, perkiraan biaya investasi sebesar
Rp7.296.000,00 dan biaya produksi sebesar Rp53.432.000,00 untuk usaha
budidaya teripang putih dengan sistem penculture di Kabupaten Kupang,
101

selanjutnya, analisis cash flow dan kelayakan Investasi yang menggambarkan


proyeksi arus penerimaan dan arus pengeluaran dari usaha budidaya teripang
putih dengan sistem penculture selama 1 tahun usaha. Pada Lampiran 15 terlihat
bahwa investasi di bidang usaha budidaya teripang putih di Kabupaten Kupang
dengan teknologi dan kapasitas produksi yang ada, mampu memberikan adanya
surplus pendapatan bagi pihak investor. Kriteria-kriteria dan nilai kelayakan
finansial dari usaha budidaya budidaya teripang putih dengan sistem penculture
di Kabupaten Kupang dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Kriteria kelayakan usaha teripang putih dengan sistem Penculture


No Kriteria kelayakan Nilai kelayakan
1 Net present value/NPV pada DF 18% (Rp) 30.167.026,00
2 Net B/C pada DF 18% 1,22
3 Internal rate of return/IRR (%) 74
4 Payback period/PBP tahun ke-1
5 Break event point/BEP :
unit (kg) 98,18
unit (Rp/kg) 177.270,00

Dari Tabel 22 terlihat bahwa dalam jangka waktu 1 tahun atau tepatnya 1
kali produksi dana yang diinvestasikan itu dapat diperoleh kembali. Sedangkan
untuk total dana yang diinvestasikan untuk usaha budidaya teripang putih
dengan sistem penculture di Kabupaten Kupang saat ini, nilai uang yang diterima
selama masa investasi (NPV) sebesar Rp30.167.026,00 dengan Net B/C 1,22
pada tingkat diskon (DF) 18%. Angka yang ada menunjukkan bahwa kegiatan
investasi di bidang usaha budidaya teripang putih dengan sistem penculture di
Kabupaten Kupang secara finansial sangat layak atau memiliki daya keuntungan
yang tinggi.
Dari hasil analisis diperoleh IRR sebesar 74% yang bila dibandingkan
dengan tingkat suku bunga pinjaman 18% per tahun, hal ini menunjukkan bahwa
investasi di bidang budidaya teripang putih dengan sistem penculture di
Kabupaten Kupang sangat layak untuk diusahakan. Berikutnya untuk mencapai
BEP, maka jumlah hasil budidaya teripang putih ini setiap tahunnya minimum
sebanyak 98,18 kg atau Rp177.270,00 per kg.

5.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis potensi keruangan (spasial) dengan
menggunakan SIG untuk tiga kecamatan di Kabupaten Kupang, didapatkan luas
kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut sebesar 31,43 km2, 3,91 km2
102

untuk budidaya KJA, 1,91 km2 untuk budidaya tiram mutiara, dan budidaya
teripang sebesar 2,37 km2. Berdasarkan hasil analisis daya dukung lahan,
budidaya rumput laut pada kategori sangat sesuai dapat memanfaatkan 10.473
unit longline seluas 3000 m2, budidaya KJA pada kategori sangat sesuai dapat
memanfaatkan 61.001 unit keramba berukuran 64 m2, budidaya tiram mutiara
pada kategori sesuai dapat memanfaatkan 38.887 unit keramba berukuran 49
m2, dan budidaya teripang pada kategori sesuai dapat memanfaatkan 4.743 unit
penculture berukuran 500 m2.
Bidang usaha budidaya laut dalam penelitian ini yang meliputi budidaya
KJA, rumput laut, tiram mutiara dan teripang merupakan peluang usaha yang
mempunyai prospek ekonomi dan finansial yang baik dan layak untuk
dikembangkan di Kabupaten Kupang. Hasil analisis finansial menunjukkan
bahwa usaha budidaya KJA layak dengan B/C sebesar 1,65 pada DF 18% dan
PBP 1,02 tahun (1 tahun 7 hari) produksi dana yang diinvestasikan sudah dapat
dikembalikan, usaha rumput laut sangat layak dengan B/C sebesar 1,44 pada DF
18% dan PBP 0,5 tahun (5 siklus produksi) dana yang diinvestasikan sudah
dapat dikembalikan, usaha tiram mutiara layak dengan B/C sebesar 1,60 pada
DF 17% dan PBP 4 tahun modal yang diinvestasikan sudah dapat dikembalikan
(kredit dikembalikan di 3 tahun 8 bulan), dan usaha teripang sangat layak
dengan B/C sebesar 1,22 pada DF 18% dan PBP 1 tahun produksi dana yang
diinvestasikan sudah dapat dikembalikan.
6 TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN
KUPANG

Abstrak
Dalam rangka pembangunan ekonomi berbasis kelautan dan perikanan
dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan, kementerian kelautan dan
perikanan mencanangkan program minapolitan. Salah satu tujuan dari program
minapolitan adalah mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi di daerah dan sentra-sentra produksi perikanan sebagai
penggerak ekonomi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten Kupang dalam rangka
pengembangan kawasan minapolitan. Metode analisis data yang dipakai
mencakup analisis tipologi, skalogram, sentralitas, AHP, MPE, dan ISM. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa wilayah studi di Kabupaten Kupang ini termasuk
dalam strata pra kawasan minapolitan II dengan 6 desa dengan tingkat
perkembangan lebih maju, 7 desa dengan tingkat perkembangan sedang, dan 11
desa dengan tingkat perkembangan tertinggal. Jenis budidaya laut yang
dikembangkan adalah minapolitan rumput laut dimana peran
nelayan/pembudidaya sangat dibutuhkan dalam hal peningkatan sumberdaya
manusia untuk tujuan peningkatan pendapatan masyarakat. Prioritas lokasi
industri pengolahan budidaya laut adalah Desa Tablolong dan lokasi pasar
produk budidaya laut bertempat di Kota Kupang sebagai sentra pasar pusat.
Kendala yang dihadapi adalah lemahnya tanggung jawab pemerintah terhadap
potensi budidaya laut dan cara mengatasinya adalah dengan penyediaan
infrastruktur, dan sarana dan prasarana produksi budidaya laut yang memadai.

Kata kunci : perkembangan wilayah, minapolitan

6.1 Pendahuluan
Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 Bab
IV Butir G mengamanatkan arah kebijakan pembangunan daerah kawasan timur
Indonesia yaitu (1) mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif
dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi daerah, serta
memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi
pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah
dan (2) meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan
timur Indonesia dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi
daerah.
Berdasarkan komitmen pemerintah tersebut di atas, maka Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) mencanangkan program minapolitan yang
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan/pembudidaya yang adil dan
merata dan mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan
104

ekonomi daerah. Dalam rangka penetapan suatu wilayah untuk pengembangan


minapolitan, sebaiknya terlebih dahulu dikaji sejauhmana tingkat perkembangan
wilayah tersebut sehingga dapat diketahui kemajuan-kemajuan yang telah
dicapai serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten
Kupang untuk pengembangan kawasan minapolitan.
Adapun metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini seperti
analisis tipologi, skalogram, sentralitas, AHP, MPE, dan ISM. Analisis tipologi
digunakan untuk mengindentifikasi berbagai karakteristik dari masing-masing
kawasan, analisis skalogram digunakan untuk mengetahui jumlah dan jenis
sarana pelayanan (fasilitas) yang dimiliki oleh setiap wilayah, AHP dipakai dalam
menentukan elemen-elemen kunci untuk ditangani, MPE digunakan untuk
menentukan prioritas alternatif keputusan lokasi industri pengolahan dan lokasi
pasar, dan ISM digunakan untuk mengkaji alternatif-alternatif yang dapat dipilih
dalam pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang sesuai
dengan karakteristik wilayah dan kondisi masyarakat setempat.

6.2 Metode Analisis Kajian Tingkat Perkembangan Wilayah di Kabupaten


Kupang

6.2.1 Jenis dan Sumber Data


Jenis dan data yang diperlukan dalam kaitannya dengan analisis tingkat
perkembangan wilayah untuk pengembangan kawasan minapolitan berupa data
primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan berupa data persepsi
masyarakat dan pendapat pakar berkaitan dengan alternatif pengembangan
kawasan minapolitan, sedangkan data sekunder yang diperlukan berupa data
jumlah dan tingkat kepadatan penduduk, jumlah kepala keluarga (kk), jumlah
keluarga sejahtera, jumlah keluarga pra sejahtera, keluarga pemakai PLN,
banyak desa terpencil, jarak desa ke kecamatan dan Kabupaten, sarana dan
prasarana umum, sarana dan prasarana budidaya laut, sarana dan prasarana
kesejahteraan sosial, luas kawasan minapolitan, komoditas unggulan, produksi
budidaya laut, tingkat pendidikan, jumlah dan jenis sarana pelayanan (fasilitas),
keberadaan kelembagaan pasar, keberadaan kelembagaan budidaya,
kelembagaan sosial, dan kebijakan atau peraturan-peraturan yang ada. Data
primer diperoleh dari hasil wawancara dari para stakeholder yang berperan
105

dalam menyusun strategi pengembangan minapolitan, sedangkan data sekunder


diperoleh dari hasil studi kepustakaan pada berbagai instansi yang terkait.
6.2.2 Metode Pengumpulan Data
Data primer diperoleh dari hasil diskusi, kuisioner, wawancara, dan survei
lapangan dengan responden pakar dan masyarakat di wilayah studi, sedangkan
data sekunder diperoleh dari beberapa sumber kepustakaan dan dokumen dari
beberapa instansi yang terkait dengan penelitian.

6.2.3 Metode Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan dalam mengkaji tingkat
perkembangan wilayah di Kabupaten Kupang terdiri atas analisis tipologi,
skalogram, analisis hirarki proses (AHP), metode perbandingan eksponensial
(MPE), dan interpretatif struktural modeling (ISM).

a. Analisis Tipologi Kawasan


Analisis tipologi kawasan diperlukan untuk mengidentifikasi berbagai
karakteristik dari masing-masing kawasan. Dalam analisis tipologi kawasan ini
digunakan analisis berstrata, analisis komponen utama (principal component
analysis/PCA), dan analisis cluster. Dalam analisis strata (Deptan, 2002),
membagi wilayah untuk pengembangan kawasan minapolitan atas tiga strata
yaitu strata pra kawasan minapolitan I, strata pra kawasan minapolitan II, dan
strata kawasan minapolitan. Ada lima variabel penciri yang digunakan sebagai
indikator penilaian yaitu komoditas unggulan yang dikembangkan, kelembagaan
pasar, kelembagaan nelayan, kelembagaan balai penyuluh perikanan (BPP) dan
kelengkapan sarana dan prasarana wilayah yang dimiliki.
Dalam analisis komponen utama digunakan untuk menentukan peubah-
peubah yang paling dominan mempengaruhi strata kawasan minapolitan.
Penggunaan analisis komponen utama dimaksudkan untuk mendapatkan
variabel baru dalam jumlah lebih kecil dari sejumlah variabel yang dianalisis
dimana variabel baru tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
peningkatan strata kawasan. Variabel yang lebih kecil dapat 2 atau 3 atau lebih
tergantung subjektivitas analis, tetapi menurut Iriawan dan Astuti (2006), bahwa
apabila total variasi populasi sekitar 80-90% untuk jumlah variabel yang besar
dapat diterangkan oleh 2 atau 3 komponen utama (Principal Component), maka
kedua atau ketiga komponen dapat menggantikan variabel semula tanpa
menghilangkan banyak informasi dan multikolinearitas (hubungan korelasi antar
106

variabel-variabel penjelas), selanjutnya dilakukan analisis cluster untuk


mengelompokkan unit-unit wilayah ke dalam kelompok yang lebih homogen
berdasarkan kemiripan yang dimiliki. Analisis komponen utama dan analisis
cluster dilakukan dengan menggunakan software Minitab 14.

b. Analisis Skalogram - Sentralitas


Analisis skalogram digunakan untuk mengetahui jumlah dan jenis sarana
pelayanan (fasilitas) yang dimiliki oleh setiap wilayah. Dalam metode ini, seluruh
fasilitas yang dimiliki setiap wilayah didata dan disusun dalam satu tabel dimana
unit wilayah yang memiliki fasilitas lebih lengkap diletakkan paling atas, dan
selanjutnya unit wilayah yang memiliki fasilitas kurang lengkap. Secara umum,
fasilitas yang dimiliki oleh setiap unit wilayah dikelompokkan menjadi enam yaitu
fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas ibadah, fasilitas olah raga,
fasilitas keamanan, dan fasilitas ekonomi. Analisis sentralitas untuk
mengelompokkan hirarki wilayah berdasarkan kelengkapan sarana dan
prasarana yang dimiliki, seperti berikut ini :
1. Kelompok I (tingkat perkembangan tinggi) diasumsikan sebagai kelompok
desa yang memiliki jumlah jenis, jumlah unit sarana dan prasarana, serta
kepadatan penduduk yang lebih besar atau sama dengan rata-rata + 2x
standar deviasi.
2. Kelompok II (tingkat perkembangan sedang) diasumsikan sebagai kelompok
desa yang memiliki jumlah jenis, jumlah unit sarana dan prasarana, dan
kepadatan penduduk antara rata-rata sampai rata-rata + 2x standar deviasi.
3. Kelompok III (tingkat perkembangan rendah) diasumsikan sebagai kelompok
desa yang memiliki jumlah jenis, jumlah unit sarana dan prasarana, dan
kepadatan penduduk kurang dari nilai rata-rata.

c. Analisis Hirarki Proses (AHP)


AHP (analytical hierarchy process) digunakan untuk menentukan elemen-
elemen kunci untuk ditangani. Analisis ini diharapkan persoalan-persoalan yang
kompleks dapat disederhanakan dan dipercepatkan proses pengambilan
keputusannya. Dalam AHP didasarkan pada hasil pendapat pakar (expert
judgment) untuk menjaring berbagai informasi dari beberapa elemen-elemen
yang berpengaruh dalam penyelesaian suatu persoalan. Penilaian alternatif dan
kriteria ini didapatkan dari kuisioner yang diberikan dan diisi oleh para pakar dari
107

berbagai multi disiplin. Dalam analisis AHP, urutan prioritas setiap elemen
dinyatakan dalam nilai numerik atau persentasi. Elemen-elemen yang dikaji
disusun dalam lima level, yakni : fokus, faktor, aktor, tujuan, dan alternatif. Nilai
perbandingan A dengan B adalah 1 (satu) dibagi perbandingan B dengan A.
Analisis ini dilakukan untuk menentukan alternatif pengembangan kawasan
minapolitan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini adalah :
a. Menyusun struktur hirarki dari kriteria dan alternatif penyelesaian.
b. Penilaian kriteria dan alternatif, dinilai melalui perbandingan berpasangan.
Skala penilaian oleh pakar didasarkan pada skala nilai yang dikeluarkan oleh
Saaty (1993) seperti yang disajikan pada Tabel 23.
c. Penentuan prioritas untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan
perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan
relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh
alternatif.
d. Konsistensi logis semua elemen dikelompokkan secara logis dan
diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

Tabel 23 Skala penilaian perbandingan berpasangan (Saaty, 1993)


Nilai
Keterangan Penjelasan
Skor
Kriteria yang satu dengan Kedua elemen mempunyai
1
lainnya sama penting. pengaruh yang sama pentingnya.
Kriteria yang satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan
3 penting (agak kuat) dibanding sedikit menyokong satu elemen
kriteria lainnya. atas elemen lainnya.
Kriteria yang satu sifatnya lebih Pengalaman dan pertimbangan
5 penting (lebih kuat pentingnya) dengan kuat menyokong satu
dibanding kriteria lainnya. elemen atas lainnya.
Kriteria yang satu sangat Satu elemen yang kuat disokong
7 penting dibanding kriteria dan dominannya telah terlihat
lainnya. dalam praktek.
Bukti yang menyokong elemen
Kriteria yang satu ekstrim yang satu atas yang lainnya
9 pentingnya banding kriteria memiliki tingkat penegasan
lainnya. tertinggi yang mungkin
menguatkan.
Nilai tengah di antara dua nilai Nilai ini diberikan jika ada dua
2,4,6,8
skor penilaian diatas. kompromi diantara dua pilihan.

d. Analisis Metode Perbandingan Eksponensial (MPE)


Metode perbandingan eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode
untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak.
108

Teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambilan keputusan


untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik
pada tahapan proses. Tahapan yang harus dilakukan dalam MPE adalah
menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih, menentukan kriteria
atau perbandingan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi, menentukan
tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria,
melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, menghitung
skor atau nilai total setiap alternatif dan menentukan urutan prioritas keputusan
didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif (Marimin, 2005).
Adapun formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam MPE adalah:

Total Nilai (TN) = …………………………………..(15)


dimana :
TNi = Total nilai alternatif ke-i
RKij = derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i
TKKj = derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKKj > 0; bulat
j = jumlah pilihan keputusan
m = jumlah kriteria keputusan

Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara wawancara


dengan pakar atau melalui kesepakatan curah pendapat. Sedangkan penentuan
skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap
alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Keuntungan dari MPE adalah mengurangi
bias yang mungkin terjadi dalam analisa. Nilai skor yang menggambarkan urutan
prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) ini mengakibatkan urutan prioritas
alternatif keputusan lebih nyata. Penggunaan MPE dalam penelitian ini adalah
untuk menentukan prakiraan lokasi pengolahan hasil produksi dan prakiraan
pasar produk budidaya laut di Kabupaten Kupang.

e. Interpretatif Struktural Modeling (ISM)


Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem dengan metode
interpretative structural modelling (ISM). Metode ini dapat digunakan untuk
membantu suatu kelompok, dalam mengidentifikasi hubungan kontekstual antar
sub elemen dari setiap elemen yang membentuk suatu sistem berdasarkan
gagasan/ide atau struktur penentu dalam sebuah masalah yang komplek
(Saxena et al., 1992). Beberapa kategori struktur dan kategori gagasan/ide yang
mencerminkan hubungan kontekstual antar elemen dapat dikembangkan dengan
109

memakai ISM, seperti struktur pengaruh (misal “sub elemen Ei mempengaruhi


munculnya sub elemen Ej”), struktur prioritas (misal “sub elemen Ei lebih prioritas
daripada sub elemen Ej), atau gagasan/ide kategori (misal sub elemen Ei
memeiliki kategori yang sama dengan sub elemen Ej) (Kanungo dan Bhatnagar,
2002). Langkah-langkah identifikasi hubungan antar sub elemen dalam suatu
sistem yang kompleks dengan metode ISM adalah :
1. Identifikasi elemen-elemen sistem.
Elemen-elemen sistem dan sub elemennya sistem diidentifikasi dan didaftar.
Kegiatan ini dapat dilakukan melalui penelitian, brainstorming atau lainnya.
2. Penetapan hubungan kontekstual antar elemen.
Hubungan kontekstual antar elemen atau sub elemen ditetapkan sesuai
dengan tujuan dari pemodelan.
3. Pembentukan structural self interaction matrix (SSIM).
Matriks ini merupakan hasil persepsi pakar responden terhadap hubungan
kontekstual antar elemen atau antar sub elemen. Empat macam simbol untuk
menyajikan tipe hubungan yang ada adalah:
a. Simbol V untuk menyatakan adanya hubungan kontekstual yang telah
ditetapkan diatas antara elemen Ei terhadap elemen Ej, tetapi tidak
sebaliknya.
b. Simbol A untuk menyatakan adanya hubungan kontekstual yang telah
ditetapkan diatas antara elemen Ej terhadap elemen Ei, tetapi tidak
sebaliknya.
c. Simbol X untuk menyatakan adanya hubungan kontekstual yang telah
ditetapkan diatas secara timbal balik antara elemen Ei dengan elemen Ej
d. Simbol O untuk menyatakan tidak adanya hubungan kontekstual yang telah
ditetapkan diatas antara elemen Ei dan elemen Ej.
4. Pembentukan Reachability Matrix (RM).
Matriks ini adalah matriks biner hasil konversi dari SSIM. Aturan konversi dari
SSIM menjadi RM adalah:
a. Jika simbol dalam SSIM adalah V, maka nilai Eij = 1 dan nilai Eji = 0
dalam RM
b. Jika simbol dalam SSIM adalah A, maka nilai Eij = 0 dan nilai Eji = 1
dalam RM
c. Jika simbol dalam SSIM adalah X, maka nilai Eij = 1 dan nilai Eji = 1
dalam RM
110

d. Jika simbol dalam SSIM adalah O, maka nilai Eij = 0 dan nilaiEji = 0
dalam RM
Matriks RM awal perlu dimodifikasi untuk menunjukkan direct dan indirect
reachability, yaitu kondisi dimana jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1. Eij
adalah kondisi hubungan kontekstual antara elemen Ei terhadap elemen Ej.
Dari matriks RM yang telah dimodifikasi didapat nilai driver power (DP) dan
nilai dependence (D). Berdasarkan nilai DP dan D, elemen-elemen dapat
diklasifikasikan kedalam 4 sektor (Gambar 18), yaitu:
a) Sektor autonomous yaitu sektor dengan nilai DP rendah dan nilai D rendah.
Elemen-elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan
dengan sistem atau memiliki hubungan sedikit
b) Sektor dependent yaitu sektor dengan nilai DP rendah dan nilai D tinggi.
Elemen yang masuk dalam sektor ini elemen yang tidak bebas dalam
sistem dan sangat tergantung pada elemen lain.
c) Sektor linkage yaitu sektor dengan nilai DP tinggi dan nilai D tinggi. Elemen
yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati karena
perubahan pada elemen tersebut akan berdampak pada elemen lainnya
dan yang pada akhirnya akan kembali berdampak pula pada elemen
tersebut.
d) Sektor independent yaitu sektor dengan nilai DP tinggi dan nilai D rendah.
Elemen yang masuk dalam sektor ini dapat dianggap sebagai elemen
bebas. Setiap perubahan dalam elemen ini akan berimbas pada elemen
lainnya sehingga elemen-elemen dalam sektor ini juga harus dikaji secara
hati-hati.
113

banyak faktor-faktor pendukung lain yang bersifat spesifik yang menggambarkan


variabilitas kawasan yang dapat dijadikan sebagai indikator penilaian. Analisis
tipologi kawasan yang didasarkan pada variabel-variabel yang lebih spesifik
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan principal component analysis
(PCA) atau lebih dikenal dengan analisis komponen utama (AKU).
Dalam penelitian ini, variabel-variabel terpilih yang dianalisis dengan
menggunakan teknik PCA antara lain jumlah penduduk (jiwa), jarak kecamatan
ke kabupaten (km), jumlah kepala keluarga (kk), sarana dan prasarana umum
(unit), sarana dan prasarana budidaya laut (unit), jumlah komoditas budidaya laut
(jenis), keluarga pemakai PLN (kk), desa/kelurahan terpencil (desa), jumlah
keluarga prasejahtera (kk), jumlah keluarga sejahtera (kk), jumlah pembudidaya
rumput laut (jiwa), potensi lahan budidaya laut (ha), luas lahan budidaya laut
(ha), produksi rumput laut (ton). Keragaman setiap variabel disajikan pada Tabel
24.

Tabel 24 Keragaman variabel yang menggambarkan perkembangan wilayah di


Kabupaten Kupang
Kecamatan
No Variabel Kupang
Semau Sulamu
Barat
1 Jumlah penduduk (jiwa) 11.395 6.425 14.610
2 Jarak kecamatan ke kabupaten (km) 26 28 84
3 Jumlah kepala keluarga (kk) 2.473 1.632 3.193
4 Sarana dan prasarana umum (unit) 2.990 3.306 4.402
Sarana dan prasarana budidaya laut
5 137 107 242
(unit)
6 Jumlah komoditas budidaya laut (jenis) 3 2 4
7 Keluarga pemakai PLN (kk) 1.752 1.107 1.206
8 Desa/kelurahan terpencil (desa) 2 0 0
9 Jumlah keluarga prasejahtera (kk) 668 516 1.270
10 Jumlah keluarga sejahtera (kk) 1.047 678 991
11 Jumlah pembudidaya rumput laut (jiwa) 1.663 995 200
12 Potensi lahan budidaya laut (ha) 3824 952 750
Luas lahan pemanfaatan budidaya laut
13 952 121,3 750
(ha)
14 Produksi rumput laut (ton) 27.000 19.000 1.041,86
Sumber : BPS Kabupaten Kupang, 2010 dan DKP Kabupaten Kupang, 2008

Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa setiap variabel


memberikan pengaruh yang berbeda-beda antara satu variabel dengan variabel
lainnya yang menggambarkan keragaman tipologi wilayah pengembangan
114

kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang. Namun demikian, keragaman


tipologi wilayah yang disebabkan oleh keseluruhan variabel yang dapat dianalisis
dapat disederhanakan menjadi kelompok variabel yang lebih kecil yang dapat
menggambarkan keseluruhan informasi yang terkandung dalam semua variabel.
Berdasarkan ketetapan total persentasi kumulatif sebagaimana ditetapkan oleh
Iriawan dan Astuti yaitu sebesar 80–90%, maka dari 14 variabel yang dianalisis,
dapat disederhanakan menjadi 5 variabel yang menyebar dalam dua komponen
utama (PC) yaitu komponen utama 1 (PC1), dan komponen utama 2 (PC2)
dengan nilai proposi eigenvalue masing-masing 61,4% dan 38,6% atau
persentase kumulatifnya menjadi 100%. Hasil analisis komponen utama seperti
terlihat pada Lampiran 17.
Adapun variabel-variabel dari kedua komponen utama (PC1 dan PC2)
hasil penyederhanaan variabel meliputi jumlah penduduk, jumlah kepala
keluarga, jumlah sarana dan prasarana umum, jumlah komoditas budidaya laut,
dan banyaknya keluarga pra sejahtera. Ini berarti kelima variabel tersebut di atas
dapat menjelaskan variabilitas keempat belas variabel yang berpengaruh
terhadap tipologi wilayah pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten
Kupang atau dengan kata lain kelima variabel baru hasil analisis komponen
utama dapat menjelaskan sekitar 100% (totalitas variabilitas variabel).
Adanya perbedaan tipologi wilayah terhadap kecamatan di Kabupaten
Kupang sangat dipengaruhi oleh keragaman variabel-variabel spesifisik yang
dimiliki oleh setiap desa pada setiap kecamatan. Namun demikian keragaman
setiap variabel pada setiap desa dapat dikelompokkan menjadi kelompok
variabel yang lebih kecil dan homogen berdasarkan kemiripan setiap variabel
yang dimiliki oleh setiap desa. Untuk mengelompokkan desa-desa yang memiliki
kemiripan berdasarkan keragaman variabel, dapat dilakukan dengan analisis
cluster.
Tujuan dari analisis cluster terhadap desa-desa di kecamatan adalah
memaksimumkan keragaman antar kelompok desa dan meminimumkan
keragaman antar kelompok desa. Dalam analisis cluster ini, ada 24 desa di tiga
kecamatan wilayah studi masing-masing 9 desa di Kecamatan Kupang Barat, 8
desa di Kecamatan Semau, dan 7 desa di Kecamatan Sulamu, dimana 24 desa
tersebut akan dibagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil berdasarkan
kemiripan karakateristik yang dimiliki. Karakteristik setiap desa disajikan pada
Lampiran 18 dan hasil analisis cluster dapat dilihat pada Gambar 19.
117

Berdasarkan kemiripan karakteristik desa yang dimiliki setiap tipologi


wilayah kecamatan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum tipologi
wilayah I terlihat lebih berkembang dibandingkan dengan tipologi wilayah II dan
III. Namun demikian untuk tujuan pengembangan kawasan minapolitan ke depan
di Kabupaten Kupang, maka semua kelompok desa baik yang termasuk dalam
tipologi I, II dan III ini memerlukan penanganan yang serius terutama dalam
melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan, baik sarana dan prasarana
umum maupun sarana dan prasarana pendukung kegiatan perikanan budidaya.
Hasil analisis tipologi kawasan Kabupaten Kupang disajikan pada Tabel 25.
Sarana dan prasarana budidaya laut yang perlu dibenahi seperti lahan
budidaya laut (perairan yang kesesuaiannya sesuai peruntukan jenis budidaya
laut), lembaga usaha (koperasi, kelompok usaha atau usaha skala menengah
dan atas), penyuluhan dan pelatihan (lembaga dan sumberdaya manusia untuk
penyuluhan dan pelatihan), prasarana budidaya (alat dan mesin budidaya laut),
industri pengolahan, energi (jaringan listrik dan air yang memadai), dan
penerapan teknologi tepat guna yang mampu meningkatkan daya saing
budidaya laut (seperti teknologi kantung berkarbon untuk budidaya rumput laut ),
selain itu juga, dibutuhkan aksesibilitas nelayan/pembudidaya dan pengolah hasil
budidaya yang baik sehingga dapat meningkatkan produktifitas budidaya laut.
Prasarana infrastruktur seperti jalan, jembatan, sistem dan alat transportasi baik
darat maupun laut perlu dibenahi sehingga proses budidaya dari hulu ke hilir
sehingga akses terhadap jaringan pengadaan bahan baku, pengolahan, dan
pemasaran (mata rantai pemasokan-supply chains) dapat terhubung dengan
baik.
Karakteristik kawasan minapolitan salah satunya adalah mempunyai
sarana dan prasarana yang memadai sebagai pendukung keanekaragaman
aktivitas ekonomi sebagaimana layaknya sebuah kota. Dari analisis tipologi
wilayah yang telah dilakukan pada desa-desa di 3 kecamatan menunjukkan
bahwa sarana dan prasarana umum yang telah ada di masing-masing desa
dalam keadaan baik dan mencukupi kebutuhan masyarakat sekarang. Namun
demikian, hasil analisis tipologi wilayah di Kabupaten Kupang yang terbagi atas 3
kelas perlu dibenahi sarana dan prasarana umum dan budidaya laut agar dapat
dikembangkan menjadi kawasan minapolitan berbasis budidaya laut dan
mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di
Kabupaten Kupang.
118

6.3.2 Perkembangan Wilayah berdasarkan Kelengkapan Fasilitas

Tingkat perkembangan wilayah Kabupaten Kupang sangat berhubungan


dengan potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, maupun
kelengkapan fasilitas yang dimiliki. Dilihat dari potensi sumberdaya manusia,
wilayah ini memiliki jumlah penduduk yang cukup besar. Dari tiga kecamatan
yang ditetapkan sebagai kawasan pengembangan minapolitan berbasis
budidaya laut di Kabupaten Kupang telah memiliki jumlah penduduk sekitar
32.430 jiwa (BPS Kabupaten Kupang, 2010). Jumlah penduduk yang cukup
besar ini telah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai satu kawasan
pengembangan minapolitan, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian
besar penduduk bahkan seluruh penduduk di kecamatan yang berada di wilayah
pesisir mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan/pembudidaya dan
menggantungkan hidupnya dari laut. Namun permasalahan yang dihadapi
adalah bahwa kualitas sumberdaya manusia di wilayah ini masih tergolong
rendah, mereka hanya dapat mengecap pendidikan dasar bahkan sedikit yang
melanjutkan ke tingkat lanjutan (SLTP dan SLTA). Rendahnya kualitas
sumberdaya manusia di wilayah ini, disebabkan oleh minimnya sarana
pendidikan terutama sarana pendidikan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi.
Dilihat dari potensi sumberdaya alam, sektor perikanan merupakan tulang
punggung penggerak perekonomian di wilayah Kabupaten Kupang, baik sebagai
sumber konsumsi masyarakat dan penghasilan atau penyedia lapangan kerja
sebagian besar penduduknya, maupun sebagai penghasil nilai tambah dan
devisa daerah. Dari keseluruhan penduduk, sekitar 90% masyarakatnya adalah
keluarga nelayan/pembudidaya. Mereka menggantungkan hidup dan keluarga
dari kegiatan perikanan baik tangkap dan budidaya. Namun demikian fasilitas
pendukung untuk meningkatkan produksi perikanan mereka masih minim,
sehingga produksi perikanan mereka masih belum maksimal.
Dilihat dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki, wilayah ini memiliki fasilitas
yang beragam dari fasilitas yang sangat minim sampai fasilitas yang lebih
lengkap yang menyebar pada setiap desa. Untuk mengetahui tingkat
perkembangan kawasan pengembangan minapolitan di wilayah Kabupaten
Kupang dapat dilakukan dengan menggunakan analisis skalogram. Dalam
analisis skalogram, akan dihasilkan hirarki wilayah berdasarkan kelengkapan
fasilitas yang dimiliki, dimana hirarki wilayah yang paling tinggi ditentukan oleh
119

semakin banyaknya jenis dan jumlah fasilitas yang dimiliki dan demikian
sebaliknya, semakin sedikitnya fasilitas yang dimiliki terutama dari segi jenis
fasilitas, menggambarkan semakin rendahnya hirarki wilayah. Fasilitas-fasilitas
yang dapat dikaji berupa fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas sosial,
dan fasilitas penunjang lainnya seperti fasilitas pendukung budidaya laut. Hirarki
wilayah desa berdasarkan hasil analisis skalogram pada tiga kecamatan di
Kabupaten Kupang dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26 Hirarki wilayah desa dari tiga kecamatan pesisir di Kabupaten


Kupang berdasarkan kelengkapan fasilitas
Jumlah penduduk Jumlah
No Kecamatan Desa Jumlah unit
(Jiwa) jenis
Kupang
1
Barat Tablolong 1010 14 484
Lifuleo 986 12 175
Tesabela 1015 19 259
Sumlili 1492 16 346
Oematnunu 1643 20 368
Kuanheun 1336 13 229
Nitneo 1073 14 255
Bolok 2273 15 736
Oenaek 567 11 138
2 Semau Bokonusan 978 20 493
Otan 767 23 636
Uitao 745 23 473
Huilelot 699 21 331
Uiasa 1153 25 381
Hansisi 1276 24 673
Batuinan 333 14 198
Letbaun 474 14 121
3 Sulamu Sulamu 4589 26 932
Pitai 942 19 246
Pariti 3203 21 1276
Oeteta 2435 24 1030
Bipolo 1792 21 567
Pantulan 1134 16 174
Pantai
Beringin 515 14 177
Sumber : BPS Kabupaten Kupang, 2010

Hasil analisis skalogram pada Tabel 26 menunjukkan bahwa desa yang


menduduki hirarki wilayah tertinggi berdasarkan kelengkapan jenis fasilitas yang
dimiliki adalah Kelurahan Sulamu dengan jumlah jenis dan banyaknya fasilitas
120

sebanyak 26 jenis dan 932 unit. Jumlah penduduk yang bermukim di desa ini
sekitar 4589 jiwa dengan kepadatan penduduk hanya sekitar 139 jiwa/km2.
Kelurahan Sulamu merupakan ibukota Kecamatan Sulamu dengan jarak tempuh
yang dekat ke Kota Kupang jika ditempuh dengan transportasi laut seperti feri.
Desa ini lebih terlihat lebih berkembang dibandingkan desa-desa lainnya, hal ini
dicirikan dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki baik fasilitas umum maupun
fasilitas pendukung, seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas
sosial, dan fasilitas penunjang lainnya seperti fasilitas pendukung budidaya laut.
Fasilitas pendidikan cukup lengkap seperti Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah
Menengah Umum (SMU) baik negeri maupun swasta. Fasilitas kesehatan juga
tersedia cukup lengkap. Desa ini telah memiliki fasilitas kesehatan seperti
puskesmas, puskesmas pembantu, BKIA/polindes dan posyandu. Sedangkan
fasilitas sosial dan kelembagaan juga sudah tersedia seperti sarana ibadah baik
agama kristen protestan, kristen khatolik dan islam, sarana telekomunikasi,
koperasi unit desa (KUD) dan lembaga penyuluh dan pelatihan untuk
nelayan/pembudidaya.
Hirarki wilayah desa paling rendah adalah desa Oenaek di kecamatan
Kupang Barat. Jumlah penduduk yang bermukim di desa ini sekitar 567 jiwa
dengan kepadatan penduduk hanya sekitar 40 jiwa/km2. Jumlah jenis dan
banyaknya fasilitas sebanyak 11 jenis dan 138 unit yang merupakan jumlah yang
sangat minim dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Desa Oenaek cukup jauh
dari ibukota kecamatan maupun ibukota kabupaten. Untuk menuju ke wilayah ini
dibutuhkan perjalanan sejauh 32,5 km dari ibukota kabupaten. Di desa ini hanya
memiliki satu SD swasta, satu polindes dengan satu tenaga bidan, dua
posyandu, dua gereja bagi agama kristen protestan, tidak ada lembaga koperasi
dan perputaran ekonomi hanya pada sembilan kios kecil. Fasilitas lainnya tidak
tersedia pada desa ini.
Pengelompokkan hirarki wilayah desa dapat dilakukan dengan analisis
sentralitas. Dalam analisis sentralitas, parameter yang diukur adalah
kelengkapan fasilitas yang dimiliki tiap desa. Hasil analisis ini akan
menggambarkan tingkat perkembangan desa yang dapt dibagi atas tiga
kelompok yaitu :
a. Kelompok I adalah desa dengan tingkat perkembangan tinggi (maju) yaitu
apabila memiliki nilai indeks sentralitas jenis fasilitas sebesar nilai rata-rata +
2 kali standar deviasi.
131

Pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu pada kata


“empowerment” yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang
sudah dimiliki oleh masyarakat. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang
demikian tentunya diharapkan memberikan peranan kepada individu bukan
sebagai obyek, tetapi sebagai pelaku (aktor) yang menentukan hidup mereka.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang bepusat pada manusia (people-
centered development) ini kemudian melandasi wawasan pengelolaan
sumberdaya lokal (community-based management), yang merupakan
mekanisme perencanaan people-centered development yang menekankan pada
teknologi pembelajaran sosial (social learning) dan strategi perumusan program.
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya (empowerment). Pengelolaan
berbasis masyarakat atau biasa disebut community-based management
merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan
pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar
pengelolaanya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan
biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Definisi pengelolaan
berbasis masyarakat sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang
berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan keputusan mengenai
pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di
tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut.
Undang-undang No.31 tahun 2004 tentang perikanan dalam pasal 6 ayat
(2) berbunyi : Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan
pembudidayaan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal
serta memperhatikan peran-serta masyarakat. Dengan demikian sumberdaya
manusia Kabupaten Kupang haruslah menjadi tolak ukur dari faktor yang
berpengaruh terhadap pengembangan minapolitan berbasis budidaya laut.
Setelah faktor sumberdaya manusia ditingkatkan, maka faktor selanjutnya
adalah penetapan kebijakan pemerintah mengenai pengembangan kawasan
minapolitan. Pengertian dari penetapan kebijakan pemerintah ini adalah perlu
adanya suatu komitmen yang kuat dari pemerintah terhadap pengembangan
wilayah Kabupaten Kupang dalam hal budidaya laut. Hal ini telah ditegaskan
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 yang
mengamanatkan arah kebijakan pembangunan daerah kawasan timur Indonesia
yaitu (1) mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat
132

dengan memberdayakan pelaku dan potensi daerah, serta memperhatikan


penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan
pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan (2)
meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan timur
Indonesia dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
Amanat GBHN ini selanjutnya dijabarkan dalam Undang-undang No. 25
tahun 2000 tentang program pembangunan nasional (propenas) 2000-2004 yang
menekankan bahwa program peningkatan ekonomi wilayah bertujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dengan memperhatikan
keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif daerah melalui peningkatan
aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi, peningkatan
kemampuan kelembagaan ekonomi lokal dalam menunjang proses kegiatan
produksi, pengolahan, dan pemasaran serta menciptakan iklim yang mendukung
bagi investor di daerah yang menjamin berlangsungnya produktivitas dan
kegiatan usaha masyarakat dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Sasaran
yang ingin dicapai adalah berkembangnya ekonomi wilayah yang menunjang
perluasan kesempatan kerja dan berusaha, serta keterkaitan ekonomi antara
desa-kota dan antar wilayah yang saling menguntungkan.
Menyikapi konsep minapolitan oleh kementerian kelautan dan perikanan
dalam Peraturan Menteri No. 12 tahun 2010 tentang minapolitan yang bertujuan
meningkatkan produksi, produktivitas, dan kualitas produk kelautan dan
perikanan; meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah
ikan yang adil dan merata; dan mengembangkan kawasan minapolitan sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi di daerah; penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan bagi pemerintah Kabupaten Kupang dalam menetapkan kebijakan
pengembangan wilayah di sektor kelautan.
Setelah penetapan kebijakan pengembangan kawasan minapolitan, maka
faktor selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah sumberdaya alam, permodalan
dan pemasaran. Dari segi sumberdaya alam, wilayah ini sangat potensial untuk
pengembangan sektor kelautan terutama budidaya laut. Hal ini terlihat dari
kondisi kesesuaian perairan laut yang sangat mendukung bagi sektor kelautan
tersebut. Dari sisi permodalan, umumnya nelayan/pembudidaya di wilayah ini
menggunakan modal sendiri dalam kegiatan budidaya. Sedangkan dari sisi
pemasaran, wilayah Kabupaten Kupang memiliki jarak tempuh yang dapat
dijangkau dengan sarana transportasi laut maupun darat dengan pelabuhan
135

menjaga kualitas (mutu) pemenuhan kebutuhan tersebut sehingga dihasilkan


daya saing bersama untuk kepentingan bersama.
3. Penguatan kelembagaan nelayan/pembudidaya baik kelembagaan non
formal seperti pengajian/kebaktian, kelompok arisan, kelompok gotong
royong, karang taruna, paguyuban, dan pedagang pengumpul desa (PPD)
maupun kelembagaan formal seperti kelompok nelayan/pembudidaya dan
balai penyuluhan perikanan budidaya (BPPB), lembaga keuangan,
unit/pengelola kawasan budidaya, dan pusat pelatihan dan konsultasi milik
nelayan/pembudidaya yang masing-masing harus berperan sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Misalnya BPPB, bertugas memberikan
penyuluhan dan pendampingan kepada nelayan/pembudidaya dan pelaku
minabisnis lainnya, lembaga keuangan bertugas mengurus fungsi
perkreditan, unit/pengelola kawasan budidaya bertugas mensinergikan
semua program/proyek dan investasi yang masuk dalam kawasan
minapolitan, dan pusat pelatihan dan konsultasi milik nelayan/pembudidaya
berfungsi sebagai klinik konsultasi minabisnis yaitu pusat pelayanan jasa
konsultasi, pelayanan informasi pasar, dan tempat pelatihan.
Keterlibatan berbagai aktor selain nelayan/pembudidaya diharapkan untuk
lebih mengembangkan sistem dan usaha budidaya di kawasan minapolitan.
Pedagang dan perusahaan memegang peranan penting dalam menanamkan
investasinya untuk pengembangan minapolitan, penyediaan input budidaya,
pengolahan hasil budidaya, dan pemasaran hasil dan produk olahan budidaya.
Lembaga keuangan seperti perbankan diperlukan dalam permodalan usaha
nelayan/pembudidaya dan kegiatan budidaya. Sedangkan pemerintah sangat
diharapkan sebagai motivator dan fasilitator dalam pengembangan kawasan
minapolitan, baik pemerintah pusat dan terutama pemerintah daerah. Peran
pemerintah kabupaten, dalam hal ini dinas dan instansi yang terkait dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Dinas kelautan dan perikanan berperan dalam (a) memfasilitasi, melakukan
kontrol dan menjamin ketersediaan input dan teknologi budidaya, (b)
memfasilitasi ketersediaan sarana pendukung (yang dapat diakses
nelayan/pembudidaya secara tepat waktu), dan (c) memfasilitasi penyuluhan
yang partisipatif yang berparadigma self-helf.
2. Dinas pekerjaan umum (PU) dan dinas permukiman dan prasarana wilayah
(Kimpraswil) berperan dalam melaksanakan pengembangan infrastruktur
136

transportasi dan infrastruktur lainnya yang diperlukan dalam pengembangan


kawasan minapolitan.
3. Badan perencanaan pembangunan daerah (BAPPEDA) berperan dalam (a)
melakukan koordinasi penganggaran dan perencanaan pembangunan
kawasan dan (b) merumuskan kebijakan tentang pengaturan kejelasan
penggunaan lahan untuk budidaya laut dalam bentuk peraturan daerah
(Perda).

c. Alternatif Lokasi Industri Pengolahan dan Pasar


Alternatif penentuan lokasi industri pengolahan hasil budidaya laut yang
potensial atau paling cocok dijadikan lokasi pengembangan usaha pengolahan
budidaya laut. Dalam penelitian ini, terdapat 4 alternatif lokasi industri
pengolahan yaitu Desa Tablolong di Kecamatan Kupang Barat, Kelurahan
Sulamu di Kecamatan Sulamu, Desa Uiasa di Kecamatan Semau, dan Kota
Kupang yang mewakili Ibukota Kupang, sedangkan kriteria yang dipakai dalam
pemilihan lokasi industri pengolahan budidaya laut potensial adalah ketersediaan
lahan, kemudahan akses dengan sumber bahan baku, ketersediaan sarana
transportasi, ketersediaan sarana komunikasi, ketersediaan air, ketersediaan
listrik, ketersediaan tenaga kerja, dan kondisi sosial ekonomi. Kriteria yang
dipakai merupakan hasil wawancara dengan para pakar.
Penentuan lokasi ini dilakukan dengan menggunakan metode
perbandingan eksponensial (MPE), urutan prioritas lokasi terpilih ditentukan
dengan mencari total dari alternatif-alternatif lokasi pengolahan yang sudah
diinput dari nilai yang terbesar hingga terkecil. Lokasi yang dianalisis adalah
lokasi yang diharapkan memang untuk lokasi industri dan dekat dengan lokasi
produksi budidaya laut di Kabupaten Kupang, sedangkan untuk pertimbangan
pemilihan lokasi di Kota Kupang karena adanya pembangunan sarana
pelabuhan minapolitan yang akan berlokasi di Kota Kupang. Hasil perhitungan
MPE untuk prioritas lokasi industri pengolahan dapat disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28 Prioritas lokasi industri pengolahan hasil budidaya laut


Prioritas Alternatif Pilihan Nilai MPE

Lokasi Potensial 1 Desa Tablolong 522.593.505


Lokasi Potensial 2 Kota Kupang 475.612.981
Lokasi Potensial 3 Kelurahan Sulamu 405.832.098
Lokasi Potensial 4 Desa Uiasa 405.028.437
137

Dari Tabel 28 dapat disimpulkan bahwa Desa Tablolong menjadi prioritas


pertama untuk dijadikan sebagai lokasi usaha industri pengolahan yang paling
cocok, dengan nilai MPE 522.593.505. Hal ini dikarenakan desa tersebut
merupakan sentra produksi rumput laut, sehingga mudah dalam memasok bahan
baku untuk industri rumput laut. Desa Tablolong masih memiliki lahan kosong
cukup luas, dekat dengan Ibukota Kupang dan dapat ditempuh dengan
transportasi darat, dan cukup baiknya ketersediaan sarana transportasi,
komunikasi, listrik, dan tenaga kerja. Hal lain yang menjadikan Desa Tablolong
sebagai lokasi prioritas adalah sebagian besar penduduk yang bermata
pencaharian sebagai nelayan/pembudidaya, sehingga membuat desa ini sebagai
desa contoh terutama dalam hal budidaya rumput laut. Daerah yang menjadi
lokasi usaha pengolahan budidaya laut urutan kedua adalah Kota Kupang, diikuti
dengan Kelurahan Sulamu dan Desa Uiasa.
Prakiraan lokasi pasar produk budidaya laut dalam penelitian ini masih
memakai alternatif lokasi yang sama seperti lokasi industri pengolahan yaitu
Desa Tablolong, Desa Uiasa, Kelurahan Sulamu, dan Kota Kupang. Kriteria yang
dipakai dalam analisis MPE prakiraan pasar diambil dari hasil diskusi dengan
pakar. Kriteria yang digunakan dalam prakiraan pasar adalah permintaan produk,
jarak tempuh ke lokasi pasar, fasilitas pasar, jumlah pengunjung, dan
kenyamanan. Dari hasil analisis MPE untuk prakiraan pasar produk hasil
budidaya laut disajikan pada Tabel 29.

Tabel 29 Prakiraan lokasi pasar hasil budidaya laut


Prioritas Alternatif Pilihan Nilai MPE

Lokasi Potensial 1 Kota Kupang 531.466.299


Lokasi Potensial 2 Kelurahan Sulamu 175.410.631
Lokasi Potensial 3 Desa Tablolong 174.767.237
Lokasi Potensial 4 Desa Uiasa 81.002.903

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa Kota Kupang menjadi prioritas
pertama untuk dijadikan sebagai lokasi pasar hasil budidaya laut yang paling
cocok, dengan nilai MPE 531.466.299. Kenyataannya, Kota Kupang menjadi
pusat perdagangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang menjadikannya lokasi
pasar unggulan dibandingkan alternatif lokasi lainnya atau dengan kata lain
sentra pasar pusat bertempat di Kota Kupang. Kriteria-kriteria pasar yang ada
dalam analisis ini seperti permintaan produk, jarak dan fasilitas pasar di Kota
138

Kupang lebih unggul dibandingkan alternatif lokasi lainnya yang jarak tempuhnya
jauh dan sebagian besar belum memiliki fasilitas pasar yang memadai seperti
gedung, gudang, air bersih, listrik, pengelolaan limbah, sistem keamanan dan
sebagainya. Banyaknya pengunjung dari luar kota yang singgah di Kota Kupang
dapat meningkatkan permintaan produk budidaya laut.
Sedangkan untuk urutan prioritas pasar berikutnya adalah Kelurahan
Sulamu, Desa Tablolong, dan Desa Uiasa. Ketiga alternatif lokasi pasar ini dapat
menjadi sentra pasar kecamatan yang akan mengirimkan hasil produk
pengolahan budidaya laut yang ada di kecamatan ke sentra pasar pusat di Kota
Kupang. Untuk itu perlu adanya kerjasama yang baik antara wilayah kecamatan,
kabupaten dan kota. Pola kerjasama yang baik sangat mempengaruhi
keberhasilan pengembangan kawasan minapolitan. Berikutnya kerjasama ini
akan dibahas lebih lanjut dalam sub-bab pendekatan sistem dengan metode ISM
(interpretative structural modelling).
Pasar mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian.
Pasar juga dapat dijadikan sumber pendapatan pemerintah untuk membiayai
pembangunan melalui pajak dan retribusi. Banyaknya tenaga kerja yang
dibutuhkan dalam kegiatan pasar, berarti pasar turut membantu mengurangi
pengangguran, memanfaatkan sumber daya manusia, serta membuka lapangan
kerja. Pasar sebagai sarana distribusi, berfungsi memperlancar proses
penyaluran hasil olahan budidaya laut dari produsen (pembudidaya) ke
konsumen, dengan adanya pasar, produsen dapat berhubungan baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk menawarkan hasil produksinya kepada
konsumen. Pasar dikatakan berfungsi baik jika kegiatan distribusi barang dan
jasa dari produsen ke konsumen berjalan lancar. Pasar dikatakan tidak berfungsi
baik jika kegiatan distribusi seringkali macet, oleh karena itu diperlukan
prasarana dan sarana pendukung transportasi dan distribusi yang baik dalam
akses menuju pasar.
Prioritas pasar yang ada di ketiga desa/kelurahan ini merupakan pasar
tradisional yang ada dalam kelompok masyarakat, nantinya dari pasar tradisional
inilah yang akan menjadi sentra pemasaran daerah skala mikro. Dari sentra
pemasaran mikro ini yang akan dikembangkan atau ditingkatkan jumlah dan
kualitasnya menjadi skala menengah keatas (skala nasional) sehingga berdaya
saing tinggi untuk di import ke luar negeri.
149

6.4 Kesimpulan

Tingkat perkembangan wilayah termasuk dalam strata pra kawasan


minapolitan II. Untuk meningkatkan strata kawasan, variabel lain yang perlu
diperhatikan adalah jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, jumlah sarana
dan prasarana umum, jumlah komoditas budidaya laut, dan banyaknya keluarga
pra sejahtera. Dilihat dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki setiap desa, terdapat
6 desa dengan tingkat perkembangan lebih maju, 7 desa dengan tingkat
perkembangan sedang, dan 11 desa dengan tingkat perkembangan tertinggal.
Masyarakat wilayah Kabupaten Kupang setuju bila daerahnya
dikembangkan kawasan minapolitan berbasis budidaya laut. Jenis budidaya laut
yang dikembangkan adalah minapolitan rumput laut dengan tujuan untuk
peningkatan pendapatan masyarakat. Faktor yang perlu diperhatikan adalah
sumberdaya manusia dan aktor yang berperan adalah nelayan/pembudidaya.
Prioritas lokasi industri pengolahan budidaya laut adalah Desa Tablolong dan
lokasi pasar produk budidaya laut bertempat di Kota Kupang sebagai sentra
pasar pusat.
Kendala yang dihadapi dalam pengembangan kawasan minapolitan di
Kabupaten Kupang adalah tanggung jawab pemerintah terhadap potensi
budidaya laut, untuk mengatasinya dibutuhkan penyediaan infrastruktur, dan
sarana dan prasarana produksi budidaya laut yang memadai. Dalam hal ini
peran masyarakat nelayan dan industri pengolahan hasil budidaya laut sangat
diperlukan untuk menjamin kesuksesan pengembangan minapolitan di
Kabupaten Kupang.
150
7 STATUS KEBERLANJUTAN KABUPATEN KUPANG

Abstrak
Keberlanjutan merupakan dasar dalam pembangunan kelautan dan
perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan
masyarakat. Konsep keberlanjutan dalam pembangunan kelautan dan perikanan
telah dipahami saat ini, namun dalam menganalisis atau mengevaluasi
keberlanjutan pembangunan kelautan dan perikanan sering dihadapkan dengan
permasalahan mengeintegrasikan informasi/data dari keseluruhan komponen
(secara holistik), baik aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya,
infrastruktur/teknologi, serta hukum dan kelembagaan. Metode analisis
keberlanjutan pengembangan kawasan minapolitan dilakukan dengan
pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang disebut juga dengan
pendekatan Rap-MINAKU (rapid appraisal Minapolitan Kabupaten Kupang) dan
hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan. Untuk
mengetahui atribut yang sensitif berpengaruh terhadapindeks dan status
keberlanjutan dan pengaruh galat, dilakukan analisis leverage dan monte carlo.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dimensi ekologi berada pada status cukup
berkelanjutan (72,26%), dimensi ekonomi status cukup berkelanjutan (62,84%),
dimensi sosial-budaya status berkelanjutan (78,67%), dimensi
infrastruktur/teknologi status kurang berkelanjutan (46,93%), serta dimensi
hukum dan kelembagaan status kurang berkelanjutan (49,84%). Dari 48 atribut
yang dianalisis, 18 atribut yang perlu segera ditangani karena sensitif
berpengaruh terhadap peningkatan indeks dan status keberlanjutan dengan
tingkat galat (error) yang sangat kecil pada tingkat kepercayaan 95%. Dalam
rangka meningkatkan status keberlanjutan ke depan (jangka panjang), skenario
yang perlu dilakukan adalah skenario progresif-optimistik dengan melakukan
perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif dalam
peningkatan status kawasan.

Kata kunci : status keberlanjutan, MDS, Kabupaten kupang

7.1 Pendahuluan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia No.12 Tahun 2010 tentang minapolitan Bab III Pasal 5 Butir (2) yang
menyatakan bahwa pengembangan kawasan minapolitan dimulai dari
pembinaan unit produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran yang terkonsentrasi
di sentra produksi, pengolahan dan/atau pemasaran di suatu kawasan yang
diproyeksikan atau direncanakan menjadi kawasan minapolitan yang dikelola
secara terpadu. Dalam pengelolaan kawasan minapolitan terpadu perlu adanya
integrasi setiap kepentingan dalam keseimbangan (proporsionality) antar dimensi
ekologis, dimensi sosial, antar sektoral, disiplin ilmu dan segenap pelaku
pembangunan (stakeholders). Tujuan dari pengelolaan ini adalah untuk
mewujudkan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
152

Keberlanjutan merupakan dasar dalam pembangunan kelautan dan


perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan
masyarakat. Konsep keberlanjutan dalam pembangunan kelautan dan perikanan
telah dipahami saat ini, namun dalam menganalisis atau mengevaluasi
keberlanjutan pembangunan kelautan dan perikanan sering dihadapkan dengan
permasalahan mengeintegrasikan informasi/data dari keseluruhan komponen
(secara holistik), baik aspek ekologi, ekonomi, sosial, infrastruktur/teknologi,
serta hukum dan kelembagaan.
Sejauh ini, untuk mengevaluasi keberlanjutan perikanan adalah dengan
memakai pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang merupakan salah
satu alternatif pendekatan sederhana yang dapat digunakan untuk evaluasi
status keberlanjutan dari perikanan, metode yang dipakai adalah Rapfish yaitu
suatu teknik multi-diciplinary rapid appraisal untuk mengevaluasi comparative
sustainability dari perikanan berdasarkan sejumlah besar atribut yang mudah
diskoring. Rapfish akan menghasilkan gambaran yang jelas dan komprehensif
mengenai kondisi sumberdaya dari lima dimensi di lokasi penelitian, sehingga
akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk
mencapai pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan
yang berkelanjutan, perlu dikaji status keberlanjutan wilayah Kabupaten Kupang
dan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengambil
kebijakan, khususnya pemerintah Kabupaten Kupang, dalam rangka
meningkatkan status keberlanjutan wilayah Kabupaten Kupang ke depan untuk
pengembangan kawasan minapolitan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status keberlanjutan wilayah
Kabupaten Kupang dari lima dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi ekologi,
ekonomi, sosial, infrastruktur/teknologi, serta hukum dan kelembagaan.Status
keberlanjutan setiap dimensi keberlanjutan ditentukan berdasarkan hasil analisis
dari program analisis keberlanjutan (MDS) yang dinyatakan dalam bentuk nilai
indeks keberlanjutan. Dengan mengetahui status keberlanjutan wilayah dari lima
dimensi, akan memudahkan dalam melakukan perbaikan-perbaikan terhadap
atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap peningkatan status
keberlanjutan wilayah, terutama pada dimensi keberlanjutan dengan status yang
lebih rendah guna mendukung pengembangan kawasan minapolitan di
Kabupaten Kupang.
153

7.2 Metode Analisis Status Keberlanjutan Kabupaten Kupang


7.2.1 Jenis dan Sumber Data
Dalam analisis keberlanjutan Kabupaten Kupang, jenis data yang dipakai
berupa data primer yang bersumber dari para responden dan pakar terpilih, serta
hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian. Data primer meliputi atribut-
atribut yang terkait dengan lima dimensi keberlanjutan pembangunan yaitu
dimensi ekologi, ekonomi, sosial, infrastruktur/teknologi, serta hukum dan
kelembagaan.

7.2.2 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam analisis keberlanjutan pengembangan
kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang dilakukan melalui diskusi,
wawancara, kuesioner, dan survei lapangan dengan responden di wilayah studi
yang terdiri dari berbagai pakar dan stakeholder yang terkait dengan topik
penelitian.

7.2.3 Metode Analisis Data


Metode analisis data dalam analisis keberlanjutan ini terbagi atas dua
bagian yaitu analisis multidimensional scaling (MDS) dan analisis prospektif.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai kedua analisis tersebut.

a. Analisis Multidimensional Scaling (MDS)


Metode analisis keberlanjutan pengembangan kawasan minapolitan
dilakukan dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang disebut juga
dengan pendekatan Rap-MINAKU (rapid appraisal Minapolitan Kabupaten
Kupang) yang merupakan pengembangan dari metode Rapfish (rapid
assessment techniques for fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center,
University of British Colombia (Kavanagh, 2001); yang kemudian digunakan
dalam penelitian ini untuk menilai status keberlanjutan budidaya laut dan
dinyatakan dalam indeks keberlanjutan pengembangan kawasan minapolitan di
Kabupaten Kupang (IKB-MINAKU).
Pemilihan MDS dalam analisis Rap-MINAKU ini dilakukan berhubung
hasil yang diperoleh terbukti lebih stabil dari metode multivariate analysis yang
lain, seperti factor analysis dan multi-attribute utility theory (Pitcher and Preikshot,
2001). Analisis dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu (1) penentuan atribut
pengembangan kawasan minapolitan secara berkelanjutan yang mencakup lima
154

dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, infrastruktur/teknologi,


dan hukum dan kelembagaan; (2) penilaian setiap atribut dalam skala ordinal
berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi; dan (3) penyusunan indeks
dan status keberlanjutan pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten
Kupang. Setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor berdasarkan
scientific judgment dari pembuat skor. Rentang skor berkisar antara 0 – 3 atau
tergantung pada keadaan masing-masing atribut yang diartikan mulai dari buruk
(0) sampai baik (3).
Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional
untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi
keberlanjutan wilayah Kabupaten Kupang untuk pengembangan kaawasan
minapolitan yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan
titik buruk (bad). Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan
setiap dimensi dapat dilihat pada Tabel 30.

Tabel 30 Kategori status keberlanjutan pengembangan kawasan minapolitan


berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-MINAKU
Nilai Indeks Kategori Nilai indeks Kategori
0 – 24, 99 Buruk 50 – 74,99 Cukup
25 – 49,99 Kurang 75 – 100,00 Baik

Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat


divisualisasikan melalui sumbu horisontal dan sumbu vertikal. Dengan proses
rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horisontal dengan
nilai indeks keberlanjutan diberi skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem
dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50%
(50%), maka sistem dikatakan keberlanjutan (sustainable) dan tidak
berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50% (< 50%). Ilustrasi hasil ordinasi
nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 36.

Gambar 36 Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pengembangan kawasan


minapolitan dalam skala ordinasi
155

Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam


bentuk diagram layang-layang (kite diagram). Untuk melihat atribut yang paling
sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengembangan
kawasan minapolitan, dilakukan analisis sensitivitas dengan melihat bentuk
perubahan root mean square (RMS) ordinasi pada sumbu x. Semakin besar
perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif tersebut dalam pengembangan
kawasan minapolitan.
Dalam analisis tersebut di atas akan terdapat pengaruh galat yang dapat
disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena
kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang
belum sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti,
proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan input data atau ada data
yang hilang, dan tingginya nilai stres (nilai stres dapat diterima jika nilainya
<25%) (Kavanagh dan Pitcher, 2004). Untuk mengevaluasi pengaruh galat pada
pendugaan nilai ordinasi pengembangan kawasan minapolitan digunakan
analisis monte carlo.

b. Analisis Prospektif
Analisis prospektif dilakukan dalam rangka menghasilkan skenario
pengembangan kawasan minapolitan secara berkelanjutan di wilayah Kabupaten
Kupang untuk masa yang akan datang dengan menentukan faktor kunci yang
berpengaruh terhadap kinerja sistem. Pengaruh antar faktor yang diberikan skor
oleh pakar dengan menggunakan pedoman penilaian analisis prospektif pada
Tabel 31.

Tabel 31 Pedoman Penilaian Prospektif dalam Pengembangan Kawasan


Minapolitan di Kabupaten Kupang (Hardjomidjodjo, 2006)
Skor Keterangan Skor Keterangan
0 Tidak ada pengaruh 2 Berpengaruh Sedang
1 Berpengaruh Kecil 3 Berpengaruh sangat kuat

Pedoman pengisian pengaruh langsung antar faktor berdasarkan


pedoman penilaian dalam analisis prospektif adalah : (1) dilihat dahulu apakah
faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap lain, jika ya beri nilai 0, (2) jika
tidak, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya beri nilai 3,
dan (3) jika tidak, baru dilihat apakah berpengaruh kecil = 1, atau berpengaruh
156

sedang = 2. Pengaruh antar faktor, selanjutnya disusun dengan menggunakn


matriks seperti pada Tabel 32.

Tabel 32 Pengaruh antar faktor dalam pengembangan kawasan minapolitan di


Kabupaten Kupang (Godet, 1999; Bourgeois, 2007)
Dari ↓ Terhadap→ A B C D E F G

A
B

…….
N

Kemungkinan-kemungkinan masa depan yang terbaik dapat ditentukan


berdasarkan hasil penentuan elemen kunci masa depan dari beberapa faktor-
faktor atau elemen-elemen kunci masa depan dari beberapa faktor-faktor atau
elemen-elemen yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan kawasan
minapolitan di wilayah Kabupaten Kupang yang menuntut untuk segera
dilaksanakan tindakan. Adapun cara menemukan elemen kunci, dapat dilihat
seperti Gambar 37.

P
Faktor Penentu Faktor Penghubung
e
INPUT STAKE
n
g
a
r Faktor Bebas Faktor Terikat
u UNUSED OUTPUT
h
Ketergantungan

Gambar 37 Penentuan elemen kunci pengembangan kawasan minapolitan


(Bourgeois and Jesus (2004); Hardjomidjodjo (2006); Bourgeois
(2007))

Hasil analisis berbagai faktor atau variabel seperti pada Gambar 9 di atas
menunjukkan bahwa faktor-faktor atau variabel-variabel yang berada pada :
159

Gambar 39 Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam


bentuk nilai rms (root mean square)

Atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi


ekologi yaitu (1) penggunaan benih/bibit dalam usaha budidaya laut di
Kabupaten Kupang saat ini sesuai dengan daya dukung, namun masalah yang
timbul adalah ketidaktersediaan kebun bibit rumput laut di lokasi budidaya,
sehingga harus mendatangkan dari luar daerah seperti Surabaya. Kondisi perlu
diantisipasi, misalnya membuat kebun bibit, sehingga efek yang akan ditimbulkan
seperti hal di atas dapat teratasi. (2) daya dukung lahan budidaya laut pada saat
ini masih sangat sesuai dan mendukung untuk kegiatan budidaya laut. Kegiatan
budidaya laut ini berada pada wilayah pesisir dan lokasi budidaya ini tidak
berbentuk teluk, sehingga daya dukung lingkungan yang memakai kapasitas
limbah sehingga memerlukan perhitungan flushing time tidak dipakai dalam
analisis ini; namun sangatlah penting untuk diingat nelayan/pembudidaya bahwa
daya dukung lahan ini harus dijaga agar ekosistem wilayah pesisir tetap lestari
dan komoditas budidaya laut dapat berkembang secara maksimal. (3)
kesesuaian perairan untuk budidaya laut pada saat ini dalam keadaan sesuai
untuk kegiatan budidaya laut. Namun, melihat kondisi lokasi penelitian di Desa
Tablolong yang tidak tertata rapi kegiatan perikanan/kelautan maka diperlukan
penataan ulang kegiatan perikanan/kelautan di wilayah pesisir ini sehingga
dapat dihindari terjadinya degradasi lingkungan yang sudah sesuai ini. Dengan
demikian jika setiap atribut tersebut dikelola dengan baik, maka indeks
160

keberlanjutan dimensi ekologi di masa yang akan datang akan meningkatkan


statusnya.
Untuk lebih meningkatkan status keberlanjutan Kabupaten Kupang, maka
upaya perbaikan tidak hanya dilakukan terhadap atribut yang sensitif
memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi,
namun atribut-atribut lain yang tidak sensitif berdasarkan analisis leverage juga
perlu mendapatkan perhatian yang serius untuk ditangani. Upaya yang perlu
dilakukan adalah dengan mempertahankan atau meningkatkan atribut-atribut
yang berdampak positif terhadap peningkatan keberlanjutan dimensi ekologi
kawasan. Di sisi lain juga berupaya menekan sekecil mungkin atribut-atribut yang
memberikan dampak negatif terhadap penurunan tingkat keberlanjutan dimensi
ekologi kawasan. Adapun atribut-atribut yang perlu dipertahankan atau
ditingkatkan antara lain : (1) mutu bibit/benih budidaya laut, (2) kondisi sarana
jalan desa, (3) produktivitas usaha budidaya laut, (4) kondisi prasarana jalan
usaha budidaya laut, dan (5) ketersediaan benih/bibit budidaya laut.

b. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi


Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari sepuluh atribut, yaitu (1) jumlah
pasar, (2) pemasaran produk perikanan, (3) persentase penduduk miskin, (4)
harga komoditas unggulan, (5) jumlah tenaga kerja pembudidaya, (6) kelayakan
usaha budidaya laut, (7) jenis komoditas unggulan, (8) kontribusi sektor
perikanan budidaya laut terhadap PDRB, (9) tingkat ketergantungan konsumen,
dan (10) keuntungan usaha budidaya laut. Berdasarkan hasil analisis leverage
diperoleh lima atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan ekonomi
yaitu (1) jumlah pasar, (2) pemasaran produk perikanan, (3) kelayakan usaha
budidaya laut, (4) jenis komoditas unggulan, dan (5) kontribusi sektor perikanan
budidaya laut terhadap PDRB. Hasil analisis leverage dimensi keberlanjutan
ekonomi dapat dilihat pada Gambar 40.
Atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi
ekonomi yaitu 1) jumlah pasar produk budidaya laut terbatas dan masih bersifat
lokal dan individual serta kolektif dibeli oleh para pengumpul. Untuk hasil rumput
laut olahan seperti dodol, puding, keripik, permen dijual ke Kota Kupang (kasus:
Kelurahan Sulamu dan Desa Tablolong). Hal ini disebabkan oleh ketersediaan
industri pengolahan skala kecil atau skala rumah tangga (home industry) dari
anggota pembudidaya/kelompok nelayan. Kondisi ini harus diperbaiki dan
161

ditingkatkan, dengan cara membangun beberapa industri pengolahan hasil


budidaya laut dan menciptakan kondisi yang mendukung serta meningkatkan
penyediaan sarana dan prasarana minabisnis/infrastruktur penunjang yang lebih
baik sehingga pembeli dari beberapa daerah datang ke Kabupaten Kupang untuk
membeli produk bahan baku atau olahan dari budidaya laut. (2) pemasaran
produk perikanan budidaya laut di Kabupaten Kupang hanya terbatas di wilayah
tertentu, sehingga nelayan/pembudidaya kesulitan dalam memasarkan produk
budidaya laut. Nelayan/pembudidaya dalam memasarkan produk budidaya laut
masih banyak menjual lewat pegumpul atau pedagang perantara. Hal ini
mengakibatkan keuntungan yang diperoleh dalam usaha budidaya laut sedikit
berkurang, karena nelayan/pembudidaya tidak bisa menentukan harga yang
lebih layak dan umumnya pedagang perantara membeli di bawah harga pasar.
Keadaan ini harus diperbaiki dengan cara menambah pasar produk budidaya
laut di daerah-daerah penghasil produk tersebut dan membuka industri
pengolahan produk budidaya laut olahan serta sistem penjualannya sebaiknya
dikelola oleh kelompok nelayan/pembudidaya, sehingga nelayan/pembudidaya
dapat lebih mudah menjual dengan harga yang layak dan keuntungan yang
diperoleh lebih optimal.

Analisis Leverage Atribut dari Dimensi Ekonomi

Keuntungan usaha budidaya 2.13

Tingkat ketergantungan konsumen 0.35

Kontribusi sektor perikanan budidaya laut terhadap PDRB 3.36

Jenis komoditas unggulan 2.42


Atribut

Kelayakan usaha budidaya laut


3.84
Jumlah tenaga kerja pembudidaya 0.89

Harga komoditas unggulan 1.01

Presentasi penduduk miskin 1.26

Pemasaran produk perikanan 2.50

Jumlah pasar 2.21

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute


Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 40 Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam


bentuk nilai rms (root mean square)
162

Kelayakan usaha budidaya laut (3) di Kabupaten Kupang secara ekonomi


layak untuk dikembangkan karena memberikan keuntungan yang memadai bagi
nelayan/pembudidaya. Namun sistem penjualan lewat pengumpul/pedagang
perantara harus berubah karena merugikan nelayan/pembudidaya. Hal yang
harus dilakukan adalah kerjasama pemerintah dan masyarakat
nelayan/pembudidaya di bidang pemasaran usaha budidaya laut, dimana ada
jaminan yang pasti bahwa produk budidaya yang dihasilkan dapat dipasarkan
dan ketersediaan pasar budidaya laut agar sistem penjualan lewat kolektor dapat
dibekukan. Untuk itu diperlukan penyediaan sarana produksi dan peningkatan
ketrampilan dalam kegiatan budidaya laut agar keuntungan usaha budidaya laut
masyarakat dapat meningkat. (4) jenis komoditas unggulan di Kabupaten
Kupang adalah rumput laut. Salah satu syarat kawasan minapolitan adalah
adanya komoditas unggulan yang dikembangkan. Adapun komoditas unggulan
lainnya seperti ikan kerapu, teripang dan tiram mutiara. Namun ketiga komoditas
ini memerlukan penanganan khusus sehingga masyarakat lebih memilih rumput
laut yang lebih mudah penanganan dan masa panen yang lebih pendek
dibandingkan dengan komoditas lainnya. Produktivitas rumput laut belum
optimal, karena penggunaan sarana produksi, alat dan mesin budidaya, dan
sentuhan teknologi yang memadai yang masih tergolong minim. Untuk itu
dibutuhkan keterlibatan pemerintah terutama pemerintah setempat baik dalam
hal penyediaan sarana produksi budidaya dan peningkatan ketrampilan
nelayan/pembudidaya dalam kegiatan budidaya laut dari awal proses produksi,
penanganan panen, pasca panen, dan pengolahan produk. (5) kontribusi sektor
perikanan budidaya laut terhadap PDRB terhadap Kabupaten Kupang belum
optimal karena jumlah industri budidaya laut yang belum berkembang. Kondisi ini
harus segera diperbaiki dengan cara membangun beberapa industri budidaya
laut (misal: dodol, keripik, permen, ikan asap, ikan kering, dendeng, dll) di
beberapa tempat agar wilayah ini cepat berkembang dan maju dengan sub
sektor perikanan budidaya laut sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi.

c. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya


Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi sosial-budaya terdiri dari sembilan atribut, yaitu (1)
tingkat pendidikan formal masyarakat, (2) tingkat penyerapan tenaga kerja di
sektor perikanan, (3) jarak pemukiman ke kawasan budidaya, (4) pemberdayaan
163

masyarakat dalam kegiatan budidaya laut, (5) jumlah desa dan penduduk yang
bekerja di sektor budidaya laut, (6) peran masyarakat adat dalam kegiatan
budidaya laut, (7) pola hubungan masyarakat dalam kegiatan budidaya laut, (8)
akses masyarakat dalam kegiatan budidaya laut, dan (9) persentase desa yang
tidak memiliki akses penghubung. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh
tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan sosial-budaya yaitu
(1) pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan budidaya laut, (2) jumlah desa
dan penduduk yang bekerja di sektor budidaya laut, dan (3) persentasi desa
yang tidak memiliki akses penghubung. Hasil analisis leverage dimensi
keberlanjutan sosial-budaya dapat dilihat pada Gambar 41.

Analisis Leverage Atribut dari Dimensi Sosial-Budaya

Presentasi desa yang tidak memiliki akses penghubung 5.95

Akses masyarakat dalam kegiatan budidaya laut


13.37
Pola hubungan masyarakat dalam kegiatan budidaya laut 3.91

Peran masyarakat adat dalam kegiatan budidaya laut 3.76


Atribut

Jumlah desa dan penduduk yang bekerja di sektor budidaya laut 8.97

Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan budidaya laut 11.39

Jarak permukiman ke kawasan budidaya 4.68

Tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan budidaya 3.99

Tingkat pendidikan formal 3.71

0 2 4 6 8 10 12 14

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed


(on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 41 Peran masing-masing atribut aspek sosial-budaya yang dinyatakan


dalam bentuk nilai rms (root mean square)

Atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi


sosial-budaya yaitu (1) pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan budidaya laut
sangatlah penting, mengingat masyarakat sebagai aktor utama dalam kegiatan
usaha budidaya laut. Beberapa prinsip pemberdayaan yang perlu diperhatikan
adalah mengutamakan kesejahteraan masyarakat nelayan/pembudidaya,
adanya keswadayaan dan kemandirian, kemitraan dengan pelaku minabisnis,
164

dan pengembangan usaha budidaya laut ini dilaksanakan bertahap dan


berkelanjutan. (2) jumlah desa dan penduduk yang bekerja di sektor budidaya
laut masih sedikit. Dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja di
bidang budidaya laut, ketersediaan industri budidaya laut sangat mutlak
diperlukan. Dengan adanya industri budidaya laut nilai tambah dari produk
budidaya laut akan menjadi maksimal. (3) persentase desa yang tidak memiliki
akses penghubung dapat dikatakan hampir tidak ada. Semua desa memiliki
akses penghubung ke desa dan kecamatan lain juga ke Kota Kupang walaupun
jarak tempuh yang tidak dekat melalui darat maupun laut. Oleh karena itu, pola
pengklasteran dibutuhkan untuk membentuk kawasan produksi budidaya dan
industri di wilayah pesisir yang mempunyai potensi komoditas tertentu.

d. Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi


Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi infrastruktur dan teknologi terdiri dari sepuluh atribut,
yaitu (1) ketersediaan basis data budidaya laut, (2) tingkat penguasaan teknologi
budidaya laut, (3) dukungan sarana dan prasarana umum (kesehatan,
pendidikan, tempat ibadah, dll), (4) dukungan sarana dan prasarana jalan, (5)
standarisasi mutu produk budidaya laut, (6) penggunaan alat dan mesin
budidaya laut (perahu, jaring, sampan, dll), (7) ketersediaan industri pengolahan
hasil budidaya laut, (8) ketersediaan teknologi informasi budidaya laut, (9)
penerapan sertifikasi produk budidaya laut, dan (10) teknologi pakan/benih/ bibit
budidaya laut. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh empat atribut yang
sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan infrastruktur dan teknologi yaitu (1)
penggunaan alat dan mesin budidaya laut (perahu, jaring, sampan, dll), (2)
ketersediaan industri pengolahan hasil budidaya laut, (3) penerapan sertifikasi
produk budidaya laut, dan (4) teknologi pakan/benih/ bibit budidaya laut. Hasil
analisis leverage dimensi keberlanjutan infrastruktur dan teknologi dapat dilihat
pada Gambar 42.
165

Analisis Leverage Atribut dari Dimensi Infrastruktur dan Teknologi

Teknologi pakan/bibit/benih 2.56

Penerapan sertifikasi produk 3.72


budidaya laut

Ketersediaan teknologi informasi 0.38


budidaya laut

Ketersediaan industri pengolahan 4.96


hasil budidaya laut

Penggunaan alat & mesin budidaya 6.08


laut (perahu, sampan, jaring, dll)
Atribut

Standarisasi mutu produk budidaya 1.03


laut

Dukungan sarana & prasarana jalan 0.80

Dukungan sarana & prasarana umum 1.21


(kesehatan, pendidikan, dll)

Tingkat penguasaan teknologi 1.28


budidaya laut

Ketersediaan basis data budidaya laut 2.26

0 1 2 3 4 5 6 7
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 42 Peran masing-masing atribut aspek infrastruktur dan teknologi yang


dinyatakan dalam bentuk nilai rms (root mean square)

Atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi


infrastruktur dan teknologi yaitu (1) tingkat penggunaan alat dan mesin budidaya
laut (perahu, jaring, sampan, dll) di Kabupaten Kupang masih memakai alat-alat
budidaya yang sederhana atau tradisional. Minimnya penggunaan alat dan mesin
budidaya laut menyebabkan produktivitas budidaya cukup rendah baik dari segi
kualitas maupun kuantitas; oleh karena itu untuk memenuhi permintaan pasar,
upaya-upaya peningkatan produktivitas budidaya laut perlu terus dilakukan dan
tentunya didukung oleh (2) kebijakan penerapan standarisasi mutu produksi
budidaya laut, sehingga produk yang dihasilkan dapat bersaing di pasar nasional
dan internasional. (3) ketersediaan industri pengolahan hasil budidaya laut masih
dalam skala home industry padahal usaha pengolahan ini sangat
menguntungkan, apalagi dengan adanya label dari FAO untuk produk olahan
rumput laut yang diberikan pada kelompok home industry di Kelurahan Sulamu
merupakan nilai tambah sendiri.
166

Dengan tersedianya industri pengolahan, dapat menambah penghasilan


bagi masyarakat setempat, dengan demikian masyarakat mendapat penghasilan
tambahan di saat musim hujan dan produksi budidaya tidak berjalan. (4)
teknologi pakan/benih/ bibit budidaya laut merupakan hal penting yang perlu
mendapat perhatian serius dalam pengembangan kawasan minapolitan di
Kabupaten Kupang. Hal ini penting karena pakan/benih/ bibit merupakan bahan
baku utama yang perlu ditangani khusus, agar produktivitas budidaya dapat
berlanjut dan menguntungkan. Informasi mengenai teknologi budidaya didapat
dari instansi terkait seperti departemen kelautan dan perikanan, perguruan tinggi
maupun lembaga sosial lainnya. Untuk itu peran pemerintah adalah menjamin
keberadaan kelompok nelayan mendapat informasi teknologi ini dan tentunya
perlu pendampingan didalam praktik di lokasi budidaya.

e. Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan


Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari sembilan atribut,
yaitu (1) keberadaan balai penyuluh perikanan (BPP), (2) keberadaan lembaga
sosial, (3) keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM), (4) keberadaan lembaga
kelompok nelayan (LKN), (5) mekanisme kerjasama lintas sektoral dalam
pengembangan kawasan minapolitan, (6) ketersediaan peraturan perundang-
undang pengembangan kawasan minapolitan, (7) sinkronisasi antara kebijakan
pusat dan daerah, (8) ketersediaan perangkat hukum adat/agama, dan (9) badan
pengelola usaha budidaya laut. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh
tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan hukum dan
kelembagaan yaitu (1) sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah, (2)
mekanisme kerjasama lintas sektoral dalam pengembangan kawasan
minapolitan, dan (3) keberadaan lembaga kelompok nelayan (LKN). Hasil
analisis leverage dimensi keberlanjutan hukum dan kelembagaan dapat dilihat
pada Gambar 43.
167

Analisis Leverage Atribut dari Dimensi Hukum dan Lembaga

Badan pengelola usaha budidaya laut 1.33

Ketersediaan perangkat hukum adat/agama 0.78

Sinkronisasi antara kebijakan pusat & daerah 4.25

Ketersediaan peraturan pperundang-undang 0.73


pengembangan kaw asan minapolitan

Mekanisme kerjasama lintas sektoral dalam pengembangan 5.37


Atribut

kaw asan minapolitan

Keberadaan Lembaga Kelompok Nelayan (LKN) 5.09

Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) 0.44

Keberadaan lembaga sosial 0.22

Keberadaan Balai Penyuluh Perikanan (BPP) 0.09

0 1 2 3 4 5 6

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Gambar 43 Peran masing-masing atribut aspek hukum dan kelembagaan yang


dinyatakan dalam bentuk nilai rms (root mean square)

Atribut-atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi


hukum dan kelembagaan yaitu (1) sinkronisasi antara kebijakan pusat dan
daerah sangat diperlukan dalam pengembangan minapolitan Kabupaten Kupang.
Kebijakan pembangunan antara pusat dan daerah, khususnya di wilayah
Kabupaten Kupang masih dirasakan belum sinkron. Ini terlihat dari kebijakan
minapolitan dari pemerintah pusat yang mengutamakan penggaraman daripada
budidaya laut, padahal wilayah pesisir Kabupaten Kupang sesuai dengan
budidaya laut salah satunya rumput laut. Di sisi lain, penyusunan kebijakan
pembangunan secara top down dari pusat sering tidak sinkron dengan
pembangunan atau kenyataan didaerah. Hal ini disebabkan kebijakan
pembangunan dari pusat yang diberlakukan secara menyeluruh semua wilayah
di Indonesia, sementara kondisi wilayah setiap daerah berbeda-beda antara
daerah satu dengan daerah lainnya, sehingga seringkali kebijakan tersebut tidak
sesuai dengan kondisi wilayah setempat. Walaupun program pengklasteran
melalui program minapolitan ini dapat menjadi solusi, namun basis penggaraman
yang menjadi unggulan dalam program minapolitan untuk Kabupaten Kupang
168

sangat disayangkan karena tidak sesuai dengan kondisi wilayah Kabupaten


Kupang. (2) mekanisme kerjasama lintas sektoral dalam pengembangan
kawasan minapolitan sangat penting dalam menentukan keberhasilan
pengembangan kawasan, terutama pada penyusunan dan pelaksanaan
program-program pengembangan kawasan. Namun perlu diingat bahwa
penyusunan dan pelaksanaan program tidak diarahkan pada pelaksanaan
proyak semata, melainkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
berkelanjutan. (3) keberadaan lembaga kelompok nelayan dibutuhkan agar
mendukung program pengembangan kawasan minapolitan, dimana LKN ini
merupakan sarana penghubung masyarakat dengan pelaku mina bisnis lainnya
seperti lembaga keuangan, pemerintah, dan pengusaha. Demikian status
masyarakat nelayan/pembudidaya menjadi jelas dan mudah untuk difasilitasi.

f. Status Keberlanjutan Multidimensi


Hasil analisis Rap-MINAKU multidimensi keberlanjutan Kabupaten
Kupang untuk pengembangan kawasan minapolitan berdasarkan kondisi
existing, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 59,36% dan termasuk
dalam status cukup berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian 48
atribut dari lima dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial-
budaya, infrastruktur dan teknologi, dan hukum dan kelembagaan. Hasil analisis
multidimensi dengan Rap-MINAKU mengenai keberlanjutan Kabupaten Kupang
untuk pengembangan kawasan minapolitan dapat dilihat pada Gambar 44.
Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks
keberlanjutan multidimensi berdasarkan analisis leverage masing-masing
dimensi sebanyak 20 atribut. Atribut-atribut ini perlu dilakukan perbaikan ke
depan untuk meningkatkan status keberlanjutan Kabupaten Kupang untuk
pengembangan kawasan minapolitan. Perbaikan yang dimaksudkan adalah
meningkatkan kapasitas atribut yang mempunyai dampak positif terhadap
peningkatan nilai indeks keberlanjutan dan sebaliknya menekan sekecil mungkin
atribut yang berpeluang menimbulkan dampak negatif atau menurunkan nilai
indeks keberlanjutan kawasan.
169

RAPMINAKU Ordination
60
UP

40
Other Distingishing Features

20

BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120

-20

Real Index
-40
References
Anchors
DOWN
-60
Status Keberlanjutan Multidimensi (59.36% )
Gambar 44 Indeks keberlanjutan multidimensi Kabupaten Kupang

Hasil analisis monte carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan


pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang pada taraf 95%,
memperlihatkan hasil yang tidak banyak mengalami perubahan dengan hasil
analisis Rap-MINAKU. Ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis dapat
diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian
skoring karena perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang
dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data
dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis
MDS dan monte carlo disajikan pada Tabel 33.

Tabel 33 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis monte carlo dengan


analisis Rap-MINAKU
Nilai indeks keberlanjutan (%)
Dimensi keberlanjutan Perbedaan
MDS Monte carlo
Ekologi 72,26 70,44 1,82
Ekonomi 62,84 61,90 0,94
Sosial-budaya 78,67 77,03 1,64
Infrastruktur dan teknologi 46,93 46,71 0,22
Hukum dan kelembagaan 49,84 49,12 0,72
Multi dimensi 59,36 56,93 2,43
170

Hasil analisis Rap-MINAKU menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji


terhadap status keberlanjutan Kabupaten Kupang untuk pengembangan kawasan
minapolitan, cukup akurat sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik
dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat dari nilai stres yang hanya berkisar
antara 13 sampai 14 % dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh berkisar
antara 0,94 dan 0,98. Hal ini sesuai dengan Fisheries (1999), yang menyatakan
bahwa hasil analisis memadai apabila nilai stres lebih kecil dari 0,25 (25%) dan nilai
koefisien determinasi (R2) mendekati nilai 1,0. Adapun nilai stres dan koefisien
determinasi (R2) disajikan pada Tabel 34.

Tabel 34 Hasil analisis nilai stress dan koefisien determinasi (R2) Rap-MINAKU
Dimensi keberlanjutan
Parameter
A B C D E F
Stress 0,14 0,14 0,13 0,14 0,14 0,13
R2 0,95 0,95 0,94 0,95 0,95 0,98
Iterasi 2 2 3 2 2 2
Keterangan : A = Dimensi ekologi, B = Dimensi ekonomi, C = Dimensi sosial-budaya, D = Dimensi
infrastruktur-teknologi, E = Dimensi hukum-kelembagaan, dan F = Multidimensi

7.3.2 Skenario Strategi Pengembangan Minapolitan Kabupaten Kupang


Strategi pengembangan wilayah Kabupaten Kupang untuk
pengembangan kawasan minapolitan secara berkelanjutan dilakukan dengan
menggunakan analisis prospektif yang mempunyai tujuan untuk memprediksi
kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai. Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahap yaitu (1)
mengidentifikasi faktor kunci di masa depan, (2) menentukan tujuan strategis dan
kepentingan pelaku, dan (3) mendefinisikan dan memprediksi evolusi
kemungkinan di masa depan sekaligus menentukan strategi pengembangan
kawasan minapolitan secara berkelanjutan sesuai dengan sumberdaya yang
dimiliki.
Penentuan faktor-faktor kunci dalam analisis ini dilakukan dengan
menggabungkan faktor-faktor kunci yang sensitif berpengaruh yang diperoleh
dari analisis kebutuhan (need analysis) hasil interpretative structural modeling
(ISM). Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan diperoleh 18 faktor (atribut) yang
sensitif (Tabel 35) dan selanjutnya diajukan kepada pakar untuk dinilai dan
selanjutnya dianalisis prospektif. Hasil analisis prospektif diperoleh 5 (lima) faktor
kunci seperti yang disajikan pada Gambar 45.
171

Tabel 35 Faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan


minapolitan di Kabupaten Kupang
No Faktor analisis dimensi keberlanjutan
Dimensi Ekologi (5 faktor kunci) :
1 Penggunaan benih/bibit
2 Daya dukung lahan budidaya laut
3 Kesesuaian perairan untuk budidaya laut
Dimensi Ekonomi (5 faktor kunci) :
4 Jumlah pasar
5 Pemasaran produk perikanan
6 Kelayakan usaha budidaya laut
7 Jenis komoditas unggulan
8 Kontribusi sektor perikanan budidaya laut terhadap PDRB
Dimensi Sosial-budaya (3 faktor kunci) :
9 Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan budidaya laut
10 Jumlah Desa dan penduduk yang bekerja di sektor budidaya laut
11 Akses masyarakat dalam kegiatan budidaya laut
Dimensi infrastruktur dan teknologi (4 faktor kunci) :
12 Penggunaan alat dan mesin budidaya laut (perahu, keramba, jaring, dll)
13 Ketersediaan industri pengolahan hasil budidaya laut
14 Penerapan sertifikasi produk budidaya laut
15 Teknologi pakan/bibit/benih
Dimensi hukum dan kelembagaan (3 faktor kunci) :
16 Keberadaan lembaga kelompok nelayan (LKN)
17 Mekanisme kerjasama lintas sektoral dalam pengembangan minapolitan
18 Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah

Berdasarkan hasil analisis tingkat kepentingan faktor diperoleh 5 (lima)


faktor kunci/penentu yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan antar
faktor tidak terlalu kuat, yaitu : (1) daya dukung lahan budidaya laut, (2)
penggunaan benih/bibit, (3) kesesuaian perairan untuk budidaya laut, (4) jenis
komoditas unggulan, dan (5) pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan
budidaya laut. Dengan demikian kelima faktor tersebut perlu dikelola dengan baik
dan diprediksi berbagai keadaan (state) yang mungkin terjadi di masa yang akan
datang agar terwujud pengembangan kawasan minapolitan berbasis budidaya
laut di Kabupaten Kupang untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
Dalam rangka pengembangan minapolitan berbasis budidaya laut di
Kabupaten Kupang, kepastian kesesuaian perairan dan daya dukung lahan
untuk budidaya laut sangat diperlukan untuk menjamin hasil produksi budidaya
laut. Analisis kesesuaian dan daya dukung lahan yang digunakan dalam menilai
kesesuaian peruntukan dan daya dukung lahan untuk aktivitas tertentu
didasarkan pada kriteria hasil studi literatur yang telah disesuaikan dengan
karakteristik kondisi alam dan lingkungan di wilayah studi. Hasil analisis evaluasi
kesesuaian dan daya dukung lahan yang dilakukan dalam studi ini merupakan
172

kesesuaian dan daya dukung lahan pada saat ini, dimana kelas kesesuaian dan
daya dukung lahan yang dihasilkan berdasarkan pada data yang tersedia dan
belum mempertimbangkan asumsi/usaha perbaikan bagi tingkat pengelolaan
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala fisik atau faktor-faktor
penghambat yang ada. Selain itu, penggunaan benih/bibit perlu diperhitungkan
agar tidak mencemari perairan budidaya laut yang berdampak terhadap
penurunan kualitas perairan.
Faktor pembatas yang juga merupakan faktor kunci dari budidaya laut ini
adalah parameter/faktor/kriteria fisik perairan itu sendiri seperti luas lahan dan
jumlah unit kegiatan budidaya laut yang dapat mendukung dalam kawasan ini
untuk diusahakan. Ketiga faktor kunci ini menjadi dasar bagi pengembangan
minapolitan berbasis budidaya laut di Kabupaten Kupang, sehingga perlu adanya
perhatian khusus terhadap status berkelanjutan dari dimensi ekologi ini.
Dilihat dari hasil analisis kelayakan usaha budidaya laut jenis komoditas
unggulan rumput laut yang menjadi primadona di Kabupaten Kupang dan
komoditas budidaya laut lainnya seperti ikan kerapu, teripang dan tiram mutiara,
secara ekonomi layak untuk dikembangkan karena memberikan keuntungan
yang memadai bagi nelayan/pembudidaya, ini terlihat dari hasil analisis R/C
terhadap beberapa komoditas budidaya laut memberikan nilai >1. Namun jika
keuntungan budidaya laut ini dikaitkan dengan penggunaan biaya dalam
kegiatan budidaya laut yang seharusnya dikeluarkan untuk mendukung
peningkatan produksi, dapat dikatakan keuntungan ekonomi ini masih tergolong
cukup rendah. Ini disebabkan masih banyaknya biaya-biaya lain yang harus
dikeluarkan untuk industri pengolahan dalam rangka peningkatan usaha
budidaya laut ini.
Demikian pula dalam hal biaya pemeliharaan dan biaya tenaga kerja
penanganan panen dan pasca panen, termasuk biaya pengangkutan hasil panen
ke tempat penyimpanan dan konsumen belum banyak diperhitungkan. Apabila
biaya-biaya produksi tersebut di atas diperhitungkan tentunya akan berpengaruh
terhadap keuntungan budidaya laut yang diperolehnya. Namun demikian,
penggunaan biaya yang lebih besar dalam kegiatan budidaya laut diharapkan
produksi budidaya laut yang diperoleh juga lebih tinggi.
Beberapa program dari pemerintah daerah telah dilakukan dalam rangka
lebih memberdayakan masyarakat dalam kegiatan perikanan dan kelautan,
seperti peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui penyuluhan, pelatihan;
8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI
KABUPATEN KUPANG

Abstrak
Strategi peningkatan sektor perikanan yang dipandang relatif tepat untuk
meningkatkan daya saing adalah melalui pendekatan klaster. Di beberapa
negara, industri yang berbasis klaster telah terbukti mampu menunjukkan
kemampuannya secara berkesinambungan dalam menembus pasar. Strategi
klaster menawarkan upaya pembangunan ekonomi yang lebih efektif dan
komprehensif. Strategi ini yang dikenal dengan minapolitan. Kebijakan
minapolitan ini bertujuan untuk pengembangan daerah. Untuk mendukung
pengembangan kawasan tersebut, perlu dibangun model pengembangan
kawasan minapolitan untuk menggambarkan kondisi yang terjadi saat ini dan
akan terjadi di masa depan dalam bentuk data simulasi berdasarkan kondisi
nyata. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model pengembangan
minapolitan berbasis budidaya rumput laut di Kabupaten Kupang. Dalam
membangun model ini digunakan metode analisis sistem dinamik dengan
software Powersim. Model ini terdiri atas tiga sub model yaitu sub model lahan,
budidaya dan industri pengolahan. Hasil simulasi setiap komponen menunjukkan
kecenderungan kurva pertumbuhan positif naik mengikuti kurva eksponensial.
Namun pada komponen pertambahan penduduk dan peningkatan lahan
permukiman selalu diimbangi oleh laju pengurangan jumlah penduduk akibat
kematian dan migrasi keluar sehingga dalam model ini terjadi hubungan timbal
balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif
(negative feedback) melalui proses balancing. Adapun komponen lahan
budidaya yang telah ditentukan kesesuaian dan daya dukung lahan berdasarkan
parameter untuk budidaya rumput laut sehingga pertambahan luas lahan
budidaya rumput laut pada suatu saat akan sampai pada titik keseimbangan
tertentu (stable equilibirium) yaitu luas lahan budidaya dengan tingkat kesesuain
sangat sesuai, bentuk model seperti ini dalam sistem dinamik mengikuti pola
dasar archtype “limits to growth”.

Kata kunci : model, pengembangan, rumput laut, sistem dinamik

8.1 Pendahuluan
Wilayah Kabupaten Kupang memiliki potensi sumberdaya alam yang
cukup besar untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, salah satu potensi yang dimiliki sesuai dengan karakteristik
wilayahnya adalah sektor kelautan dan perikanan. Melihat potensi yang besar ini,
maka pengembangan kawasan minapolitan merupakan pilihan tepat sebagai
konsep pembangunan wilayah dengan menyesuaikan potensi dan karakteristik
wilayah yang bersangkutan. Pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten
Kupang dimaksudkan agar terjadi peningkatan efisiensi dan efektifitas dengan
menurunkan komponen biaya dari hulu sampai hilir dalam produksi suatu
komoditi.
176

Bentuk pemusatan yang dilakukan adalah dimana dalam suatu kawasan


tersedia subsistem-subsistem dalam agribisnis perikanan dari subsistem hulu
hingga hilir serta jasa penunjang. Adanya pemusatan aktifitas tersebut dapat
mengurangi biaya-biaya terutama biaya transportasi antar subsistem yang
terfokus pada komoditas perikanan tersebut. Efisiensi dan efektifitas yang
diciptakan, dengan sendirinya akan mampu meningkatkan daya saing produk
perikanan baik pada skala domestik maupun internasional.
Banyak permasalahan yang kompleks yang dihadapi dalam
pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang, yang sulit
diselesaikan dengan hanya menggunakan suatu metode spesifik saja. Salah
satu metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
yang kompleks tersebut adalah dengan pendekatan sistem (system approach).
Pendekatan sistem dapat menyelesaikan masalah dengan baik bagi
permasalahan multidisiplin yang kompleks (Manestch dan Park, 1977). Eriyatno,
1998 menyatakan bahwa pendekatan sistem didefinisikan sebagai suatu
metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan secara tentatif
mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem
operasi yang secara efektif dapat dipergunakan untuk menyelesaikan
permasalahan. Pendekatan sistem dalam rangka pengembangan kawasan
minapolitan di Kabupaten Kupang, perlu diketahui hubungan antar beberapa
komponen yang saling berpengaruh satu sama lain baik pada usaha on farm
maupun off farm. Untuk melihat hubungan antar komponen dalam
pengembangan kawasan minapolitan tersebut perlu dibangun model yang
merupakan simplikasi dari sistem. Sebagaimana diketahui bahwa model dapat
dibedakan atas dua jenis yaitu model statik dan model dinamik, namun yang
banyak digunakan adalah model dinamik karena memiliki variabel yang dapat
berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi
antar elemen-elemen sistem. Melalui model dinamik dalam pengembangan
kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang ini, dapat menggambarkan dunia
nyata yang terjadi selama ini sekaligus sebagai proses peramalan dari suatu
keadaan untuk masa yang akan datang. Melihat besarnya peran permodelan
dalam pengembangan kawasan, dilakukan penelitian permodelan di Kabupaten
Kupang dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan. Penelitian ini
bertujuan untuk membangun model pengembangan kawasan minapolitan
berbasis budidaya laut di Kabupaten Kupang.
177

8.2 Metode Analisis Model Pengembangan Kawasan Minapolitan di


Kabupaten Kupang

8.2.1 Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang diperlukan dalam menyusun model pengembangan
kawasan minapolitan berupa data primer dan data sekunder yang diperoleh dari
responden dan pakar yang terpilih, serta dari berbagai instansi yang terkait
dengan topik penelitian. Data primer yang diperlukan berupa faktor-faktor atau
variabel penting yang berpengaruh dalam pengembangan minapolitan. Variabel
tersebut diperoleh dari wawancara terhadap responden di lokasi penelitian. Data
primer yang diperlukan berupa data yang berkaitan dengan kendala, kebutuhan,
dan lembaga yang terlibat dalam pengembangan kawasan minapolitan di
Kabupaten Kupang, sedangkan data sekunder yang diperlukan adalah data
jumlah penduduk, luas lahan budidaya, rata-rata pendapatan penduduk, produksi
komoditas unggulan, input produksi (bibit), dan harga produk.

8.2.2 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam penyusunan model pengembangan
kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang dilakukan melalui diskusi,
wawancara, kuesioner, dan survei lapangan dengan responden di wilayah studi
yang terdiri dari berbagai pakar dan stakeholder yang terkait dengan kegiatan
pengembangan kawasan minapolitan untuk pengumpulan data primer, dan
beberapa kepustakaan dan dokumen dari beberapa instansi yang terkait dengan
penelitian untuk pengumpulan data sekunder.

8.2.3 Metode Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan pengembangan kawasan
minapolitan secara berkelanjutan di Kabupaten Kupang adalah sistem dinamik
dengan bantuan software powersim constructor version 2.5d. Tahapan-tahapan
dalam sistem dinamik meliputi analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi
sistem, simulasi model, dan validasi model. Dalam analisis sistem dinamik ini
akan dikaji tiga sub model yaitu sub model lahan, sub model budidaya laut, dan
sub model industri pengolahan dan pemasaran.

a. Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap
pelaku yang terlibat dalam pengembangan minapolitan. Berdasarkan kajian
178

pustaka, stakeholder yang terlibat dalam pengembangan kawasan minapolitan


ini dapat dilihat dalam Tabel 36.

Tabel 36 Analisis kebutuhan aktor dalam pengembangan kawasan minapolitan


di Kabupaten Kupang
No. Aktor / stakeholder Kebutuhan
1. Masyarakat/nelayan 1.1 Terbukanya lapangan kerja
1.2 Produksi perikanan meningkat
1.3 Tersedianya modal usaha
1.4 Pemasaran yang baik dan tinggi
1.5 Peningkatan pendapatan nelayan
1.6 Tersedianya sarana produksi
1.7 Harga jual yang tinggi
1.8 Tersedianya sarana informasi
2. Pemerintah 2.1 Kebijakan kawasan minapolitan
2.2 Pendapatan daerah meningkat
2.3 Peningkatan kesejahteraan masyarakat
2.4 Pengembangan potensi unggulan
2.5 Pengembangan wilayah
2.6 Kemitraan nelayan dengan pihak terkait
3. Lembaga keuangan 3.1 Profitabilitas usaha
3.2 Pengembalian pinjaman modal tepat waktu
4. Pedagang pengumpul & 4.1 Kualitas hasil perikanan terjamin
pedagang besar 4.2 Harga beli yang rasional
4.3 Kontinuitas hasil kelautan/perikanan
4.4 Margin keuntungan tinggi
4.5 Akses modal yang mudah
4.6 Jaringan pemasaran yang kondusif
5. Industri pengolahan 5.1 Kontuinitas produksi & mutu yang terjamin
5.2 Harga beli rasional
5.3 Terjaminnya persediaan bahan baku
5.4 Keamanan berusaha
6. LSM 6.1 Lingkungan sehat
6.2 Tidak terjadi konflik sosial
6.3 Transportasi
6.4 Good governance
7. Perguruan tinggi 7.1 Kemitraan dengan perguruan tinggi
7.2 Hasil kajian yang aplikatif
7.3 Kualitas dan kuantitas hasil perikanan terjamin

b. Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem merupakan suatu rangkaian hubungan antara
pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus
dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan identifikasi
sistem adalah untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-
faktor yang saling mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu
sistem. Hubungan antar faktor digambarkan dalam bentuk diagram lingkar
sebab-akibat (causal loop), kemudian dilanjutkan dengan interpretasi diagram
lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box). Dalam menyusun kotak gelap,
179

jenis informasi dikategorikan menjadi tiga golongan yaitu peubah input, peubah
output, dan parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. Gambaran
diagram lingkar sebab-akibat dapat dilihat pada Gambar 46 dan diagram kotak
gelap pada Gambar 47.

Gambar 46 Diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) pengembangan


kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang

Gambar 47 Diagram kotak gelap (black box) pengembangan minapolitan


180

c. Simulasi Model
Simulasi model merupakan cara untuk menirukan keadaan yang
sesungguhnya (Robert, 1983), sedangkan menurut Muhammadi et al., 2001,
simulasi model merupakan peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Tujuan
simulasi adalah untuk memahami gejala atau proses, membuat analisis, dan
peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Dengan
menggunakan perangkat lunak powersim, variabel-variabel akan saling
dihubungkan membentuk suatu sistem yang dapat menirukan kondisi
sebenarnya. Hubungan antar variabel dinamakan diagram alir (flow diagram),
dimana variabel ini digambarkan dalam bentuk simbol yaitu simbol aliran (flow
symbol) yang dihubungkan dengan level (level symbol). Penghubung antara flow
dan level disebut proses aliran yang digambarkan melalui panah aliran. Hasil
simulasi model berupa gambar atau grafik yang menggambarkan perilaku dari
sistem. Kelebihan dilakukannya simulasi dalam analisis kesisteman adalah
bahwa permasalahan yang penuh dengan ketidakpastian dan sulit dipecahkan
dengan metode analisis lainnya, dapat diselesaikan dengan simulasi model.

d. Validasi Model
Terdapat dua pengujian dalam validasi model yaitu uji validasi struktur
dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan
pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja
lebih menekankan pemeriksaan yang taat data empiris. Model yang baik adalah
yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logico-empirical).
Uji validasi struktur bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana
keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Uji ini dibedakan atas dua
jenis yaitu validasi konstruksi dan kestabilan struktur. Validasi konstruksi adalah
keyakinan terhadap konstruksi model diterima secara akademis, sedangkan
kestabilan struktur adalah keberlakuan atau kekuatan (robustness) struktur
dalam dimensi waktu (Muhammadi et al., 2001). Uji validasi kinerja bertujuan
untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai (compatible)
dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah
dengan yang taat fakta, yaitu dengan melihat apakah perilaku output model
sesuai dengan perilaku data empiris. Penyimpangan terhadap output model
dengan data empiris dapat diketahui dengan uji statistik yaitu menguji
penyimpangan rata-rata absolutnya (AME : Absolute Means Error) dan
penyimpangan variasi absolutnya (AVE : Absolute Variation Error). Batas
181

penyimpangan yang dapat diterima berkisar antara 5 – 10% (Muhammadi et al.,


2001). Adapun rumus untuk menghitung nilai AME dan AVE seperti di bawah ini :

Rumus AME (Absolute Means Error) = (Si – Ai) / Ai x 100% …….……(16)


Si = Si / N dan Ai = Ai / N

dimana : S = Nilai simulasi


A = Nilai aktual
N = Interval waktu pengamatan

Rumus AVE (Absolute Variation Error) = (Ss – Sa) / Sa x 100% …….…….(17)


Ss = ((Si - Si)2) / N dan Sa = ((Ai - Ai)2) / N

dimana : Sa = Deviasi nilai aktual


Ss = Deviasi nilai simulasi
N = Interval waktu pengamatan

e. Uji Kestabilan Model


Uji kestabilan model pada dasarnya merupakan bagian dari uji validasi
struktur. Uji ini dilakukan untuk melihat kestabilan atau kekuatan (robustness)
model dalam dimensi waktu. Model dikatakan stabil apabila struktur model
agregat dan disagregat memiliki kemiripan. Caranya adalah dengan menguji
struktur model agregat yang diwakili oleh sub-sub model yang ada.

f. Uji Sensitivitas Model


Uji sensitivitas merupakan respon model terhadap suatu stimulus.
Respon ini ditunjukkan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model.
Stimulus diberikan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau
struktur model.

8.3 Hasil dan Pembahasan Model Pengembangan Kawasan Minapolitan


di Kabupaten Kupang

8.3.1 Simulasi Model Pengembangan Kawasan Minapolitan


Model dinamik pengembangan kawasan minapolitan di wilayah
Kabupaten Kupang dibangun melalui logika hubungan antara komponen yang
terkait dan interaksinya. Komponen-komponen yang terkait adalah pertumbuhan
penduduk, luas lahan kawasan minapolitan, luas lahan permukiman, luas lahan
industri, luas lahan budidaya, produksi dan keuntungan usaha nelayan,
pendapatan pemanfaatan industri, biaya industri pengolahan, keuntungan, dan
sumbangan pengembangan minapolitan terhadap produk domestik regional
182

bruto (PDRB) Kabupaten Kupang. Model dinamik yang dibangun terdiri atas tiga
sub model yang mewakili dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial yaitu (1) sub
model lahan minapolitan yang menggambarkan perkembangan kebutuhan lahan
untuk permukiman, budidaya, fasilitas, dan lahan untuk industri pengolahan serta
dinamika pertumbuhan penduduk; (2) sub model budidaya laut yang
menggambarkan perkembangan produksi, jumlah rumput laut yang dipakai pada
kebun bibit, penjualan bibit, keuntungan dari pembibitan keuntungan usaha
nelayan minapolitan; dan (3) sub model industri pengolahan rumput laut yang
menggambarkan biaya pengolahan, keuntungan yang diperoleh dari hasil
pengolahan serta PDRB.
Perilaku model dinamik pengembangan kawasan minapolitan di wilayah
perbatasan Kabupaten Kupang dianalisis dengan menggunakan program
powersim constructor version 2.5d. Struktur model minapolitan ini dapat dilihat
pada Gambar 48 dan persamaan model dinamis pada Lampiran 22. Analisis
dilakukan untuk 30 tahun yang akan datang, dimulai pada tahun 2007 dan
berakhir pada tahun 2037. Waktu 30 tahun ini diharapkan dapat memberikan
gambaran perkembangan kawasan minapolitan di wilayah Kabupaten Kupang
untuk masa jangka panjang. Beberapa data awal dan asumsi-asumsi yang
digunakan dalam pemodelan ini antara lain :
1. Simulasi model minapolitan berbasis budidaya laut ini merupakan simulasi
dari tiga kecamatan pesisir di Kabupaten Kupang yaitu Kecamatan Semau,
Kupang Barat dan Sulamu. Luas lahan minapolitan terdiri atas dua lahan yaitu
lahan minapolitan darat dan lahan minapolitan laut.
2. Jumlah penduduk kecamatan Semau, Kupang Barat dan Sulamu masing-
masing sebesar 6.280 jiwa, 14.234 jiwa dan 14.457 jiwa pada tahun 2007
(BPS Kabupaten Kupang, 2008). Pertumbuhan penduduk di Kabupaten
Kupang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kelahiran dan kematian, namun
saat ini faktor perpindahan penduduk juga mempunyai pengaruh yang cukup
besar. Luas lahan perairan untuk pengembangan minapolitan budidaya laut
masing-masing kecamatan sekitar 689,22 ha untuk Kecamatan Semau,
3040,47 ha untuk Kecamatan Kupang Barat, dan 365,34 ha untuk Kecamatan
Sulamu.
3. Komoditas budidaya yang dimodelkan meliputi komoditas rumput laut yang
merupakan komoditas unggulan di lokasi studi. Produksi budidaya rumput laut
untuk Kecamatan Semau sebesar 600 ton dan Kecamatan Kupang Barat
183

sebesar 1.100 ton tahun 2007 sedangkan untuk Kecamatan Sulamu data
tidak tersedia.
4. Hasil rumput laut akan diolah menjadi dodol dan pilus. Untuk mengolah
tersebut dibutuhkan industri pengolahan dengan tenaga kerja. Pembudidaya
rumput laut tahun 2007 di Kecamatan Semau sejumlah 995 jiwa dan
Kecamatan Kupang Barat sejumlah 1650 orang.
5. Lahan budidaya adalah lahan dengan kelas sangat sesuai, sedangkan untuk
lahan dengan kelas sesuai dan tidak sesuai dipakai sebagai lahan konservasi.
6. Sumbangan pengembangan minapolitan terhadap produk domestik regional
bruto (PDRB) Kabupaten Kupang dihitung dari PDRB perikanan yang meliputi
komoditas rumput laut.

Gambar 48 Struktur model dinamik pengembangan kawasan minapolitan


berbasis rumput laut di Kabupaten Kupang

a. Sub Model Pengembangan Lahan Minapolitan


Sub model pengembangan lahan minapolitan di Kabupaten Kupang terdiri
atas tiga kecamatan yaitu Kecamatan Semau, Kupang Barat dan Sulamu.
Komponen-komponen yang saling berhubungan dan memberikan pengaruh
pada sub model pengembangan lahan minapolitan adalah lahan budidaya, lahan
184

industri, dan lahan permukiman. Lahan minapolitan terdiri atas lahan minapolitan
darat dan lahan minapolitan laut. Adapun pengaruh dari setiap komponen-
komponen tersebut seperti pada Gambar 49.

Gambar 49 Struktur model dinamik sub model pengembangan lahan


minapolitan di Kabupaten Kupang

Simulasi model dinamik untuk lahan minapolitan (Gambar 50) berawal


dari luas perairan laut dengan kelas kesesuaian sangat sesuai untuk budidaya
rumput laut dan luas lahan daratan yang terbagi atas dua bagian, yaitu (1) lahan
industri adalah lahan yang dibutuhkan dari industri rumah tangga dan (2) lahan
permukiman yang diasumsikan pemakaiannya sebesar 20 m2 per jiwa. Untuk
pemodelan dinamis minapolitan laut hanya akan dimodelkan lahan budidaya
rumput laut (perairan dengan tingkat kesesuaian sangat sesuai) saja, sehingga
untuk pertimbangan lingkungan seperti kawasan konservasi laut diambil dari luas
perairan dengan tingkat kesesuaian sesuai dan tidak sesuai tidak dimodelkan.
Pemodelan dinamis minapolitan darat diasumsikan alokasi penggunaan lahan
untuk kawasan industri pengolahan dan permukiman. Luas lahan industri
pengolahan di dapat dari kebutuhan industri dodol dan pilus per rumah tangga
(asumsi 100 m2 per industri rumah tangga).
Pengembangan lahan minapolitan di Kabupaten Kupang berada di tiga
kecamatan yaitu Semau, Kupang Barat, dan Sulamu. Simulasi model dinamik
alokasi penggunaan lahan Kecamatan Semau berawal dari luas lahan darat
143,42 km2 dan 6,89 km2 lahan di laut. Di lahan minapolitan laut digunakan untuk
lahan budidaya rumput laut 5,94 km2 (diambil dari kelas kesesuaian sangat
185

sesuai), sedangkan untuk kondisi eksisting luas lahan budidaya adalah 1,21 km2.
Laju pengurangan dari alokasi fasilitas budidaya sebesar 2% per tahun dan laju
pertumbuhan lahan budidaya rumput laut sebesar 10%. Jumlah penduduk
eksisting (tahun 2007) sebanyak 6.280 jiwa dengan tingkat kelahiran 1,13%,
tingkat kematian 0,53%, imigrasi 1,84% dan emigrasi 1,04%. Asumsi pemakaian
lahan pemukiman per jiwa sebesar 20 m2 (2.10-5 km2). Lahan industri pengolahan
di tahun 2007 belum tersedia. Berdasarkan asumsi-asumsi ini dihasilkan simulasi
model penggunaan lahan di kawasan minapolitan Kecamatan Semau seperti
pada Tabel 37.

Tabel 37 Simulasi perkembangan pemanfaatan lahan minapolitan rumput laut


(km2) di Kecamatan Semau

Alokasi penggunaan lahan kawasan minapolitan budidaya rumput laut


Kecamatan Semau dari Tabel 37 menunjukkan terjadi penambahan luas lahan
budidaya rumput laut dari 1,21 km2 pada tahun 2007 menjadi 3,41 km2 pada
tahun 2022 dengan laju pertambahan luas sebesar 15% per tahun. Demikian
pula yang terjadi pada luas lahan permukiman, pada tahun 2007 luas lahan
sebesar 0,13 km2 naik menjadi 4,77 km2 pada tahun 2037, sementara luas lahan
industri pengolahan rumput laut naik menjadi 1,94 km2 di tahun 2037.
Dengan asumsi pertambahan pemanfaatan lahan budidaya 10% per
tahun, maka pada tahun 2037 pemanfaatan lahan belum terpakai secara
keseluruhan dari total alokasi penggunaan lahan budidaya sebesar 5,94 km2. Hal
ini memungkinkan untuk dilakukannya kegiatan ekstensifikasi dalam rangka
186

meningkatkan produksi rumput laut di Kecamatan Semau. Apabila simulasi ini


dilakukan untuk jangka waktu 30 tahun dengan asumsi laju pertambahan
pemanfaatan lahan budidaya sebesar 20%, maka pada tahun 2034 luas lahan
budidaya rumput laut akan maksimal dibudidayakan dengan luas 5,94 km2
dengan jumlah petakan rumput laut sebesar 1.930 unit dan lahan industri rumah
tangga membutuhkan luas industri 2,65 km2.
Simulasi lahan minapolitan Kecamatan Kupang Barat berawal dari luas
lahan minapolitan darat 149,72 km2 dan 30,40 km2 lahan minapolitan laut. Di
lahan minapolitan laut digunakan untuk lahan budidaya rumput laut 22,29 km2
(diambil dari kelas kesesuaian sangat sesuai). Kondisi eksisting luas lahan
budidaya adalah 3,23 km2. Laju pengurangan dari alokasi fasilitas budidaya
sebesar 2% per tahun dan Laju pertumbuhan lahan budidaya rumput laut
sebesar 10%. Jumlah penduduk eksisting (tahun 2007) sebanyak 14.342 jiwa
dengan tingkat kelahiran 1,70%, tingkat kematian 0,47%, imigrasi 2,86% dan
emigrasi 1,65%. Asumsi pemakaian lahan pemukiman per jiwa sebesar 20 m2
(2.10-5 km2). Berdasarkan asumsi-asumsi ini dihasilkan simulasi model
penggunaan lahan di kawasan minapolitan Kecamatan Kupang Barat yang
disajikan pada Tabel 38.

Tabel 38 Simulasi perkembangan pemanfaatan lahan minapolitan rumput laut


(km2) di Kecamatan Kupang Barat

Alokasi penggunaan lahan kawasan minapolitan budidaya rumput laut


Kecamatan Kupang Barat dari Tabel 38 menunjukkan terjadi penambahan luas
187

lahan budidaya rumput laut dari 3,23 km2 pada tahun 2007 menjadi 9,10 km2
pada tahun 2037 dengan laju pertambahan luas sebesar 10% per tahun.
Demikian pula yang terjadi pada luas lahan permukiman, pada tahun 2007 luas
lahan sebesar 0,29 km2 naik menjadi 12,76 km2 pada tahun 2037 dengan laju
pertumbuhan 1% per tahun. Sementara luas lahan industri pengolahan rumput
laut naik menjadi 5,17 km2 pada tahun 2037. Dengan asumsi pertambahan
pemanfaatan lahan budidaya 10% per tahun, maka pada tahun 2037
pemanfaatan lahan belum terpakai secara keseluruhan dari total alokasi
penggunaan lahan budidaya sebesar 22,29 km2. Hal ini memungkinkan untuk
dilakukannya kegiatan ekstensifikasi dalam rangka meningkatkan produksi
rumput laut di Kecamatan Kupang Barat, agar dapat memperoleh luas lahan
budidaya maksimal dalam jangka waktu 30 tahun adalah menaikkan laju
pertumbuhan lahan budidaya rumput laut sebesar 30% sehingga didapat lahan
budidaya maksimal sebesar 22,24 km2 pada tahun 2034. Jika laju pertumbuhan
luas lahan budidaya ditambah 30% per tahun maka akan terdapat penambahan
unit longline rumput laut sebesar 7.414 unit petakan per 3000 m2 setiap tahun.

Tabel 39 Simulasi perkembangan pemanfaatan lahan minapolitan rumput laut


(km2) di Kecamatan Sulamu

Simulasi lahan minapolitan Kecamatan Sulamu berawal dari luas lahan


minapolitan darat sebesar 270,12 km2 dan 3,65 km2 lahan minapolitan laut. Di
lahan minapolitan laut digunakan untuk lahan budidaya rumput laut 3,20 km2
(diambil dari kelas kesesuaian sangat sesuai). Kondisi eksisting luas lahan
188

budidaya adalah 0,10 km2. Laju pengurangan dari alokasi fasilitas budidaya
sebesar 2% per tahun dan laju pertumbuhan lahan budidaya rumput laut sebesar
10%. Jumlah penduduk eksisting (tahun 2007) sebanyak 14.457 jiwa dengan
tingkat kelahiran 1,57%, tingkat kematian 0,80%, imigrasi 2,96% dan emigrasi
1,90%. Asumsi pemakaian lahan pemukiman per jiwa sebesar 20 m2 (2.10-5
km2). Lahan industri pengolahan di tahun 2007 belum tersedia. Berdasarkan
asumsi-asumsi ini dihasilkan simulasi model penggunaan lahan di kawasan
minapolitan Kecamatan Sulamu yang disajikan pada Tabel 39.
Alokasi penggunaan lahan kawasan minapolitan budidaya rumput laut
Kecamatan Sulamu dari Tabel 39 menunjukkan terjadi penambahan luas lahan
budidaya rumput laut dari 0,10 km2 pada tahun 2007 menjadi 0,29 km2 pada
tahun 2037 dengan laju pertambahan luas sebesar 10% per tahun. Demikian
pula yang terjadi pada luas lahan permukiman, pada tahun 2007 luas lahan
sebesar 0,29 km2 naik menjadi 11,71 km2 pada tahun 2037 dengan laju
pertumbuhan 1% per tahun, sementara luas lahan industri pengolahan rumput
laut naik menjadi 0,16 km2 pada tahun 2037.
Dengan asumsi pertambahan pemanfaatan lahan budidaya 10% per
tahun, maka pada tahun 2037 pemanfaatan lahan belum terpakai secara
keseluruhan dari total alokasi penggunaan lahan budidaya sebesar 3,20 km2. Hal
ini memungkinkan untuk dilakukannya kegiatan ekstensifikasi dalam rangka
meningkatkan produksi rumput laut di Kecamatan Sulamu. Berbeda dengan
Kecamatan Semau dan Kecamatan Kupang Barat, pada Kecamatan Sulamu ini
perlu dilakukan pengembangan rumput laut sebesar-besarnya agar dapat
memaksimalkan lahan budidaya rumput laut yang tersedia. Dalam rangka
memaksimalkan lahan budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan cara
menaikkan laju pertumbuhan sebesar 140% untuk jangka waktu 30 tahun
sehingga pada tahun 2036 didapatkan luas lahan budidaya rumput laut yang
maksimal sebesar 3,16 km2 untuk jumlah petakan rumput laut sebesar 1.053 unit
dan membutuhkan lahan industri sebesar 1,44 km2. Namun hal ini tidak mungkin
dilakukan di Kecamatan Sulamu yang masih mengalami banyak kendala dan
masalah dalam budidaya laut khususnya rumput laut, salah satu diantaranya
adalah jumlah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pembudidaya
rumput laut tidak cukup untuk menggarap lahan budidaya tersebut, sehingga hal
yang paling memungkinkan dilakukan adalah melibatkan masyarakat Kecamatan
Sulamu dalam pelatihan budidaya rumput laut sehingga kegiatan ekstensifikasi
191

b. Sub Model Budidaya Rumput Laut di Kawasan Minapolitan


Sub model budidaya rumput laut menggambarkan hubungan beberapa
komponen seperti luas lahan budidaya sebagai komponen utama dan
selanjutnya diikuti oleh komponen lainnya seperti jumlah petakan rumput laut,
kebutuhan bibit rumput laut, produksi rumput laut, dan keuntungan budidaya
rumput laut. Stock flow diagram (SFD) sub model budidaya rumput laut disajikan
pada Gambar 51.

Gambar 51 Struktur model dinamik sub model budidaya rumput laut


di Kabupaten Kupang

Peningkatan luas lahan khususnya lahan budidaya rumput laut akan


memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi rumput laut. Dalam
hal ini, peningkatan luas lahan untuk budidaya rumput laut akan berpengaruh
terhadap peningkatan produksi rumput laut yang kemudian akan berpengaruh
terhadap peningkatan pendapatan pembudidaya. Hubungan antar komponen ini
merupakan hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui proses
reinforcing. Tabel 40 sampai 42 masing-masing untuk Kecamatan Semau,
Kupang Barat, dan Sulamu menunjukkan peningkatan produksi rumput laut
periode 2007–2037.
Untuk sub model budidaya ini, simulasi berawal dari luas lahan budidaya
rumput laut yang terbagi atas dua faktor utama yaitu jumlah unit longline rumput
laut (selanjutnya disebut petakan) per 3000 m2 dan kebutuhan bibit rumput laut
yang akan ditanam di pada petakan. Untuk jumlah petakan membutuhkan tenaga
kerja yaitu 5 orang per petakan. Kebutuhan bibit rumput laut, dibutuhkan bibit
192

2400 kg per 3000 m2 (800 ton per km2), kemudian laju pengurangan panen
rumput laut dipengaruhi oleh persen kematian rumput laut sebesar 10%,
sedangkan laju pertambahan panen rumput laut dipengaruhi oleh kenaikan berat
rumput laut yaitu 6 kali berat semula (200 gr) dan jumlah panen normal dalam 1
tahun sebanyak 6 kali panen. Setelah pemanenan dilakukan, proses berikutnya
adalah penjemuran rumput laut untuk mendapatkan rumput laut kering. Dalam
proses pengeringan ini, diasumsikan rendemen rumput laut sebesar 12,5% dari
berat rumput laut basah sebelum dijual.
Dalam sub model budidaya ini juga terdapat biaya operasional sebesar
Rp63.312.000,00 per petak per tahun dan kenaikan modal sebesar 6% per
tahun, kedua faktor ini yang mempengaruhi besarnya pengeluaran dalam
produksi budidaya rumput laut ini. Biaya operasional merupakan biaya dari
analisis kelayakan usaha (finansial) yang telah dibahas pada bab 5 pada
disertasi ini. Penerimaan usaha budidaya rumput laut ini diperoleh dari hasil
penjualan rumput laut kering dengan harga Rp10.000,00 per kg.
Tabel 40 menyajikan hasil simulasi lahan budidaya (km2), jumlah petakan
(unit), kebutuhan bibit (ton), panen kering (ton), pengeluaran, penerimaan dan
keuntungan (Rp) usaha budidaya rumput laut di Kecamatan Semau tahun 2007-
2037. Dengan asumsi laju pertambahan lahan budidaya 10% dan perhitungan
produksi budidaya yang telah dibuat, pada tahun 2037 didapatkan peningkatan
hasil panen kering rumput laut sebesar 10.707 ton dari 3.799 ton pada tahun
2007. Untuk mendapatkan 3.799 ton pada tahun 2007 dibutuhkan bibit rumput
laut sebesar 968 ton yang akan ditanam pada luas lahan budidaya 1,21 km2
dengan jumlah petakan 403 unit.
Keuntungan usaha budidaya laut ini mengalami peningkatan dari
Rp10.926.009.600,00 pada tahun 2007 menjadi Rp30.790.180.359,00 pada
tahun 2037. Dilihat dari keuntungan yang diperoleh jika hasil panen rumput laut
kering terjual semuanya tanpa diolah terlebih dahulu dapat meningkatkan
pendapatan para pembudidaya rumput laut di Kecamatan Semau.
193

Tabel 40 Simulasi lahan budidaya (km2), jumlah petakan (unit), kebutuhan bibit
(ton), panen kering (ton), pengeluaran, penerimaan dan keuntungan
(Rp) usaha budidaya rumput laut di Kecamatan Semau

Tabel 41 menyajikan hasil simulasi lahan budidaya (km2), jumlah petakan


(unit), kebutuhan bibit (ton), panen kering (ton), pengeluaran, penerimaan dan
keuntungan (Rp) usaha budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat tahun
2007-2037. Dengan asumsi laju pertambahan lahan budidaya 10% dan
perhitungan produksi budidaya yang telah dibuat, pada tahun 2037 didapatkan
peningkatan hasil panen kering rumput laut sebesar 28.581 ton dari 10.142 ton
pada tahun 2007. Untuk mendapatkan 10,142 ton pada tahun 2007 dibutuhkan
bibit rumput laut sebesar 2.584 ton yang akan ditanam pada luas lahan budidaya
3,23 km2 dengan jumlah petakan 1.077 unit. Keuntungan usaha budidaya laut ini
mengalami peningkatan dari Rp29.166.124.800,00 pada tahun 2007 menjadi
Rp82.191.969.058,00 pada tahun 2037. Dilihat dari keuntungan yang diperoleh
jika hasil panen rumput laut kering terjual semuanya tanpa diolah terlebih dahulu
dapat meningkatkan pendapatan para pembudidaya rumput laut di Kecamatan
Kupang Barat.
194

Tabel 41 Simulasi lahan budidaya (km2), jumlah petakan (unit), kebutuhan bibit
(ton), panen kering (ton), pengeluaran, penerimaan dan keuntungan
(Rp) usaha budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat

Tabel 42 menyajikan hasil simulasi lahan budidaya (km2), jumlah petakan


(unit), kebutuhan bibit (ton), panen kering (ton), pengeluaran, penerimaan dan
keuntungan (Rp) usaha budidaya rumput laut di Kecamatan Sulamu Tahun
2007-2037. Dengan asumsi laju pertambahan lahan budidaya 10% dan
perhitungan produksi budidaya yang telah dibuat, pada tahun 2037 didapatkan
peningkatan hasil panen kering rumput laut sebesar 885 ton dari 314 ton pada
tahun 2007.
Untuk mendapatkan 314 ton pada tahun 2007 dibutuhkan bibit rumput
laut sebesar 80 ton yang akan ditanam pada luas lahan budidaya 0,10 km2
dengan jumlah petakan 33 unit. Keuntungan usaha budidaya laut ini mengalami
peningkatan dari Rp902.976.000,00 pada tahun 2007 menjadi
Rp2.544.643.005,00 pada tahun 2037. Dilihat dari keuntungan yang diperoleh
jika hasil panen rumput laut kering terjual semuanya tanpa diolah terlebih dahulu
dapat meningkatkan pendapatan para pembudidaya rumput laut di Kecamatan
Sulamu.
195

Tabel 42 Simulasi lahan budidaya (km2), jumlah petakan (unit), kebutuhan bibit
(ton), panen kering (ton), pengeluaran, penerimaan dan keuntungan
(Rp) usaha budidaya rumput laut di Kecamatan Sulamu

Peningkatan produksi usaha rumput laut ini akan berdampak pada


peningkatan keuntungan usaha rumput laut yang diterima oleh pembudidaya.
Hasil simulasi model dinamik menunjukkan peningkatan keuntungan usaha
rumput laut mengikuti pertumbuhan yang cukup tajam dan membentuk pola
pertumbuhan dari kurva sigmoid, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan
menjual hasil panen rumput laut kering saja dapat meningkatkan pendapatan
pembudidaya rumput laut di Kabupaten Kupang, sehingga diperlukan suatu
kontinuitas produksi rumput laut karena menguntungkan dan dapat
mensejahterakan masyarakat sekitar pesisir.

c. Sub Model Pengembangan Industri Pengolahan Rumput Laut


Sub model pengembangan industri pengolahan rumput laut kering
merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh komponen-
196

komponen dalam pengembangan usaha rumput laut di Kabupaten Kupang.


Dalam simulasi sub model ini terdapat beberapa komponen yang saling
berpengaruh seperti jenis olahan rumput laut, kapasitas produksi, tenaga kerja,
industri rumah tangga, biaya produksi, keuntungan penjualan hasil olahan, dan
PDRB di Kabupaten Kupang. Pengaruh antar komponen dalam sub model ini
disajikan dalam stock flow diagram (SFD) seperti terlihat pada Gambar 52.

Gambar 52 Struktur model dinamik sub model industri pengolahan dan


pemasaran rumput laut di Kabupaten Kupang

Berbeda dengan sub model budidaya, pada pemodelan industri


pengolahan ini hasil panen rumput laut tidak dijual seluruhnya melainkan dibagi
10% untuk diolah menjadi makanan dan sisanya 90% dijual kering tanpa diolah
terlebih dahulu. Untuk rumput laut yang diolah, dibagi menjadi dua hasil olahan
yaitu dodol dan pilus. Contoh hasil pengolahan dodol dan pilus yang telah
dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 23. Untuk pengolahan rumput laut saat ini
berupa industri rumah tangga dengan tenaga kerja 5 orang per olahan pilus dan
5 orang per olahan dodol. Kapasitas produksi masing-masing dodol dan pilus
sebesar 960 kg per tahun per industri rumah tangga. Untuk harga jual dodol
Rp65.000,00 per kg dan harga jual pilus Rp55.000,00 per kg. Produk domestik
regional bruto (PDRB) merupakan hasil sumbangan dari keuntungan penjualan
dodol, pilus dan rumput laut kering.
197

Simulasi panen kering (ton), keuntungan jual kering, dodol dan pilus (rp)
dari industri pengolahan rumput laut di Kecamatan Semau Tahun 2007-2037
disajikan pada Tabel 43. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dari hasil panen
kering 3.779 ton pada tahun 2007 didapatkan PDRB sebesar
Rp33.427.311.170,00 dari hasil penjualan 90% rumput laut kering dan 10% hasil
olahan dodol dan pilus. Peningkatan industri rumput laut olahan dodol meningkat
dari Rp10.589.022.785,00 pada tahun 2007 menjadi Rp29.840.530.378,00 pada
tahun 2037 sedangkan untuk olahan pilus meningkat dari Rp8.689.322.785,00
pada tahun 2007 menjadi Rp24.487.056.624,00 pada tahun 2037. PDRB
Kecamatan Semau dari rumput laut mencapai Rp94.200.259.521,00 pada tahun
2037.

Tabel 43 Simulasi panen kering (ton), keuntungan jual kering, dodol dan pilus
(Rp) dari industri pengolahan rumput laut di Kecamatan Semau

Tabel 44 menyajikan hasil simulasi panen kering (ton), keuntungan jual


kering, dodol dan pilus (Rp) dari industri pengolahan rumput laut di Kecamatan
Kupang Barat tahun 2007-2037. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dari hasil
198

panen kering 10.142 ton pada tahun 2007 didapatkan PDRB sebesar
Rp89.231.582.710,00 dari hasil penjualan 90% rumput laut kering dan 10% hasil
olahan dodol dan pilus. Peningkatan industri rumput laut olahan dodol meningkat
dari Rp28.266.564.955,00 pada tahun 2007 menjadi Rp79.656.952.992,00 pada
tahun 2037 sedangkan untuk olahan pilus meningkat dari Rp23.195.464.955,00
pada tahun 2007 menjadi Rp65.366.275.120,00 pada tahun 2037. PDRB
Kecamatan Kupang Barat dari rumput laut mencapai Rp251.460.196.902,00
pada tahun 2037.

Tabel 44 Simulasi panen kering (ton), keuntungan jual kering, dodol dan pilus
(Rp) dari industri pengolahan rumput laut di Kecamatan Kupang Barat

Simulasi panen kering (ton), keuntungan jual kering, dodol dan pilus (rp)
dari industri pengolahan rumput laut di Kecamatan Sulamu tahun 2007-2037
disajikan pada Tabel 45. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dari hasil panen
kering 314 ton pada tahun 2007 didapatkan PDRB sebesar Rp2.762.587.700,00
199

dari hasil penjualan 90% rumput laut kering dan 10% hasil olahan dodol dan
pilus. Peningkatan industri rumput laut olahan dodol meningkat dari
Rp875.125.850,00 pada tahun 2007 menjadi Rp2.466.159.535,00 pada tahun
2037 sedangkan untuk olahan pilus meningkat dari Rp718.125.850,00 pada
tahun 2007 menjadi Rp2.023.723.688,00 pada tahun 2037. PDRB Kecamatan
Sulamu dari rumput laut mencapai Rp7.785.145.415,00 pada tahun 2037.

Tabel 45 Simulasi panen kering (ton), keuntungan jual kering, dodol dan pilus
(Rp) dari industri pengolahan rumput laut di Kecamatan Sulamu

Peningkatan setiap komponen yang ada dalam sub model industri ini
mengikuti pertumbuhan kurva sigmoid sampai batas tertentu. Akibat
keterbatasan lahan budidaya akan mengalami suatu titik kesetimbangan tertentu
(stable equilibirium) dimana keuntungan dan peningkatan PDRB tidak dapat
ditingkatkan lagi di kawasan minapolitan budidaya rumput laut ini, dan sub model
pengolahan ini dapat dikatakan mengikuti pola (archetype) limit to growth dalam
sistem dinamik.
200

8.3.2 Simulasi Skenario Model Pengembangan Kawasan Minapolitan


Kinerja model yang digambarkan dalam struktur sistem menggambarkan
kondisi saat ini. Seiring dengan perjalanan waktu, maka akan terjadi perubahan
kinerja sistem sesuai dengan dinamika waktu yang akan terjadi pada masa yang
akan datang, berdasarkan hal tersebut, disusun berbagai skenario pada model
yang telah dibangun sebagai strategi yang dapat dilakukan ke depan dalam
rangka pengembangan kawasan minapolitan di wilayah Kabupaten Kupang.
Skenario yang dibangun terdiri atas tiga skenario antara lain (1) skenario pesimis
(2) skenario moderat, dan (3) skenario optimis.
Skenario pesimis dapat diartikan bahwa variabel-variabel yang
berpengaruh pada kinerja sistem mengalami kemunduran atau terjadi perubahan
dari keadaan eksisting yang mengarah pada tercapainya kinerja sistem atau
terjadi perubahan yang sangat cepat dari keadaan yang perlu dihambat
perkembangannya. Skenario moderat diartikan sebagai perubahan beberapa
variabel yang berpengaruh pada kinerja sistem dimana perubahan tersebut lebih
baik daripada skenario pesimis, sedangkan skenario optimis diartikan bahwa
terjadi perubahan yang lebih besar dari variabel-variabel yang berpengaruh pada
kinerja sistem dimana perubahan ini lebih baik dari skenario pertama dan kedua.
Adapun variabel-variabel tersebut sebagai variabel kunci yang sangat
berpengaruh pada kinerja sistem meliputi laju pertumbuhan lahan budidaya,
persen kematian rumput laut, harga jual, kenaikan berat rumput laut dari berat
semula (waktu ditanam), waktu panen dalam 1 tahun, dan persen olahan rumput
laut. Variabel-variabel ini akan berpengaruh terhadap perubahan penggunaan
lahan di kawasan minapolitan, peningkatan produksi, tingkat keuntungan usaha
nelayan, dan sumbangan terhadap PDRB. Hasil simulasi skenario model
perubahan penggunaan lahan budidaya rumput laut di Kabupaten Kupang dapat
dilihat pada Gambar 54.
Model yang diskenariokan pada penggunaan lahan ini adalah lahan
budidaya yang mengambil tempat di wilayah perairan Kecamatan Semau,
Kecamatan Kupang Barat dan Kecamatan Sulamu. Pada Gambar 54 terlihat
bahwa perubahan tiga skenario dalam model ini menunjukkan perubahan yang
berbeda-beda dimana perubahan yang lebih nyata terlihat dengan semakin
bertambahnya tahun simulasi. Pada skenario optimis, peningkatan luas lahan
budidaya sangat cepat sebagai akibat dari laju pertumbuhan sebesar 10% setiap
tahun, sedangkan untuk skenario moderat 5% dan pesimis 3%.
209

Tabel 47 Simulasi skenario sumbangan PDRB (Rp) di Kecamatan Kupang Barat

Tabel 48 Simulasi skenario sumbangan PDRB (Rp) di Kecamatan Sulamu


210

8.3.3 Uji Validasi Model


Secara garis besar uji validasi model dapat dilakukan dalam dua bentuk
yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja.

a. Uji Validasi Struktur


Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pemeriksaan
kebenaran logika pemikiran atau dengan kata lain apakah struktur model yang
dibangun sudah sesuai dengan teori. Secara logika, terlihat bahwa pertumbuhan
penduduk yang semakin meningkat akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan
lahan. Pertumbuhan penduduk ini dipengaruhi oleh pertambahan jumlah
penduduk yang berasal dari kelahiran (natalitas) dan penduduk yang datang
(imigrasi), serta pengurangan jumlah penduduk akibat kematian (mortalitas) dan
perpindahan penduduk keluar wilayah (emigrasi). Pertumbuhan penduduk dan
peningkatan kebutuhan luas lahan minapolitan (darat) mengikuti pola
pertumbuhan kurva sigmoid dimana pada suatu waktu tertentu akan menemui
titik keseimbangan (stable equilibrium) sesuai dengan konsep limits to growth
(Meadows, 1985). Dalam hal ini terjadi proses reinforcing yang diimbangi oleh
proses balancing. Kondisi ini terjadi karena keterbatasan ketersediaan lahan
yang dapat menjadi faktor pembatas dan menekan pertumbuhan penduduk.
Lahan daratan yang tersedia akan dimanfaatkan untuk alokasi
permukiman penduduk, ruang fasilitas, penyediaan ruang terbuka hijau dan
kawasan lindung, serta lahan untuk kegiatan industri pengolahan hasil budidaya
laut; sedangkan lahan perairan yang tersedia akan dimanfaatkan untuk
pengembangan produksi budidaya laut dan kegiatan pemanfaatan lain seperti
arus lalu lintas/tempat parkir perahu/kapal, jarak antar rakit dan perlindungan
ekosistem lainnya. Karena keterbatasan luas lahan, maka semakin luas
penggunaan lahan untuk tujuan tertentu akan berpengaruh terhadap luas lahan
untuk tujuan penggunaan lain. Dalam hal ini akan terjadi konversi lahan untuk
memenuhi kebutuhan penggunaan lahan.
Berkaitan dengan dengan lahan budidaya laut (perairan), terlihat bahwa
semakin luas ketersediaan lahan budidaya akan berdampak pada semakin
meningkatnya produksi usaha budidaya laut yang dihasilkan oleh
nelayan/pembudidaya. Hal ini juga berdampak terhadap peningkatan keuntungan
yang diperoleh. Namun demikian semakin tinggi intensitas penggunaan lahan
budidaya akan menyebabkan tekanan terhadap lahan sehingga kualitasnya
dapat menurun. Akibatnya produksi usaha budidaya laut juga akan menurunnya
211

keuntungan yang diperoleh petani. Ini berarti konsep Limits to Growth juga terjadi
terhadap produksi dan keuntungan usaha budidaya laut minapolitan. Dengan
melihat hasil simulasi model dinamik berdasarkan struktur model yang telah
dibangun yang sesuai dengan konsep teori empirik seperti diuraikan di atas,
maka model pengembangan kawasan minapolitan berbasis budidaya laut di
Kabupaten Kupang dapat dikatakan valid secara empirik.

b. Uji Validasi Kinerja


Uji validasi kinerja merupakan aspek pelengkap dalam metode berpikir
sistem. Tujuan dari validasi ini untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja
model sesuai (compatible) dengan kinerja sistem nyata, sehingga model yang
dibuat memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta (Muhammadi et al.,
2001). Uji validasi kinerja dilakukan dengan cara menvalidasi kinerja model
dengan data empiris. Uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji statistik
seperti uji penyimpangan antara nilai rata-rata simulasi terhadap aktual (absolute
means error = AME) dan uji penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap aktual
(absolute variation error = AVE), dengan batas penyimpangan yang dapat
diterima maksimal 10%.
Dalam uji validasi kinerja, dapat digunakan satu atau beberapa komponen
(variabel) baik pada komponen utama (main model) maupun komponen yang
terkait (co-model) (Barlas, 1996). Dalam penelitian ini digunakan uji validasi
kinerja AME dengan menggunakan data aktual pertumbuhan jumlah penduduk
periode empat tahunan yaitu tahun 2006 sampai tahun 2009. Adapun jumlah
penduduk aktual dan hasil simulasi di Kabupaten Kupang seperti pada Tabel 49.

Tabel 49 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi model


di Kabupaten Kupang
Jumlah penduduk Kabupaten Kupang (jiwa)
Aktual Simulasi
No Tahun
Semau Sulamu Kupang Semau Sulamu Kupang
Barat Barat
1 2007 6.230 14.350 14.212 6.280 14.457 14.342
2 2008 6.430 15.206 14.972 6.368 14.722 14.692
3 2009 6.435 15.610 14.981 6.457 14.991 15.050

Berdasarkan hasil perhitungan uji validasi kinerja pada model ini,


diperoleh nilai AME dan AVE lebih kecil dari 10% yaitu sekitar 0,49% - 3,97%
(AME) dan 1% - 7,77% (AVE), sehingga dapat disimpulkan bahwa model ini
212

memiliki kinerja yang baik, relatif tepat dan dapat diterima secara ilmiah. Adapun
hasil perhitungan uji validasi kinerja AME dan AVE seperti pada Tabel 50.

Tabel 50 Hasil perhitungan nilai AME dan AVE dalam uji validasi kinerja model

(a) Kecamatan Semau (b) Kecamatan Kupang Barat

(c) Kecamatan Sulamu

8.3.4 Uji Kestabilan dan Uji Sensitivitas Model


Sebagaimana diketahui bahwa uji kestabilan model dilakukan untuk
melihat kestabilan atau kekuatan (robustness) model dalam dimensi waktu.
Model dikatakan stabil apabila struktur model agregat dan disagregat memiliki
kemiripan. Caranya adalah dengan menguji struktur model terhadap perilaku
agregat dan disagregat harus memiliki kemiripan. Adapun uji kestabilan model
berdasarkan struktur model agregat dan disagregat dapat dilihat pada Gambar
49 (agregat) dan Gambar 50, 52 dan 53 (disagregat). Hasil simulasi pada
struktur model disagregat memperlihatkan kemiripan dengan struktur model
agregatnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa model tersebut dapat dikatakan
stabil.
Uji sensitivitas dilakukan untuk melihat respon model terhadap suatu
stimulus (Muhammadi et al., 2001). Respon ini ditunjukkan dengan perubahan
perilaku dan/atau kinerja model. Stimulus diberikan dengan memberikan
intervensi tertentu pada unsur atau struktur model. Hasil uji sensitivitas ini adalah
dalam bentuk perubahan perilaku dan/atau kinerja model sehingga dapat
diketahui efek intervensi yang diberikan terhadap satu atau lebih unsur atau
model tersebut. Adapun perubahan perilaku kinerja model berdasarkan
intervensi yang diberikan dapat dilihat pada Gambar 54 sampai 57 dimana pada
gambar-gambar tersebut terlihat besarnya perubahan dari setiap perubahan satu
213

atau lebih unsur di dalam model tersebut. Pada Gambar 55 misalnya, dengan
memberikan intervensi dengan meningkatkan input produksi dalam suatu
kegiatan usaha budidaya, maka produksi budidaya laut yang diharapkan juga
akan semakin besar. Hal ini terlihat dengan semakin tajamnya perubahan kurva
dari skenario pesimis ke skenario moderat dan optimis. Dengan adanya
perubahan nilai produksi pada setiap pertambahan tahun dapat disimpulkan
bahwa model sangat sensitif terhadap intervensi yang diberikan.

8.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemodelan sistem dinamis yang telah dilakukan, hasil
simulasi setiap komponen menunjukkan kecenderungan kurva pertumbuhan
positif naik mengikuti kurva eksponensial. Namun pada komponen pertambahan
penduduk dan peningkatan lahan permukiman selalu diimbangi oleh laju
pengurangan jumlah penduduk akibat kematian dan migrasi keluar sehingga
dalam model ini terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui
proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses
balancing. Adapun komponen lahan budidaya yang telah ditentukan kesesuaian
dan daya dukung lahan berdasarkan parameter untuk budidaya rumput laut
sehingga pertambahan luas lahan budidaya rumput laut pada suatu saat akan
sampai pada titik keseimbangan tertentu (stable equilibirium) yaitu luas lahan
budidaya dengan tingkat kesesuain sangat sesuai, bentuk model seperti ini
dalam sistem dinamik mengikuti pola dasar archtype “limits to growth”. Untuk
meningkatkan perubahan kinerja model maka skenario yang perlu dilakukan
adalah skenario optimis dengan melakukan intervensi yang lebih besar terhadap
variabel kunci yang berpengaruh dalam model.
214
9 PEMBAHASAN UMUM

Pembangunan wilayah pesisir selama ini masih dilihat seperti


pembangunan wilayah terestrial lainnya dengan kondisi yang analogi dengan
wilayah perdesaan. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena wilayah pesisir
memiliki beberapa karakteristik yang khas, yaitu: (1) wilayah pertemuan antara
berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan udara, sehingga bentuk
wilayah pesisir merupakan hasil keseimbangan dinamis dari proses pelapukan
(weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; (2) berfungsi sebagai
habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk tempat
pembesaran, pemijahan, dan mencari makan; (3) wilayahnya sempit, tetapi
memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam
rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; (4) memiliki gradian perubahan
sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi
ekologi yang berlainan; dan (5) tempat bertemunya berbagai kepentingan
pembangunan baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai
dimensi internasional.
Perbedaan yang mendasar secara ekologis sangat berpengaruh pada
aktivitas masyarakatnya. Kerentanan perubahan secara ekologis berpengaruh
secara signifikan terhadap usaha perekonomian yang ada di wilayah tersebut,
karena ketergantungan yang tinggi dari aktivitas ekonomi masyarakat dengan
sumberdaya ekologis tersebut. Jika sifat kerentanan wilayah tidak diperhatikan,
maka akan muncul konflik antara kepentingan memanfaatkan sumber daya
pesisir untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan pembangunan ekonomi dalam
jangka pendek dengan kebutuhan generasi akan datang terhadap sumber daya
pesisir.
Dalam banyak kasus, pendekatan pembangunan ekonomi yang parsial,
tidak kondusif dalam mendorong pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
Kegiatan yang parsial hanya memperhatikan kepentingan sektornya dan
mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain, sehingga
berkembang konflik pemanfaatan dan kewenangan. Dari berbagai studi, terdapat
kecenderungan bahwa hampir semua kawasan pesisir Indonesia mengalami
konflik tersebut. Jika konflik ini dibiarkan berlangsung terus akan mengurangi
keinginan pihak yang bertikai untuk melestarikan sumberdayanya.
216

Di era otonomi daerah, pembangunan wilayah pesisir dan laut sebagai


salah satu sumberdaya potensial kerap pula memunculkan beberapa
permasalahan, antara lain hubungan antara daerah dan pusat, pembangunan
ekonomi (yang berkait dengan kemiskinan), serta eksploitasi sumberdaya alam
tanpa memperhatikan kelestariannya.
Permasalahan umum yang banyak terjadi dalam hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah adalah kurang selarasnya pemenuhan
kepentingan pusat dan daerah. Kondisi ini terjadi antara lain karena : (a) instansi
dinas (kelautan dan perikanan) yang ada di tingkat kabupaten/kota pada era
otonomi daerah ini sangat beragam baik dalam struktur organisasi dan
kewenangannya. Perubahan ini berpengaruh pada intensitas komunikasi antara
instansi yang berada di pusat dan daerah; (b) seringkali instansi dinas di
kabupaten dan kota telah memiliki tugas pokok dan fungsi organisasi, namun
belum memiliki kewenangan teknis karena belum ada penyerahan kewenangan
dari pusat dan Provinsi; dan (c) UU Pemerintahan Daerah No.32/2004 belum
dapat berjalan selaras dengan UU Perikanan No.45/2009 dan sebagian
peraturan daerah lainnya, sehingga kewenangan dalam dinas kabupaten/kota
belum efektif. Hasil analisis ISM (Gambar 34) menunjukkan bahwa pemerintah
Provinsi NTT dan Kabupaten Kupang berada pada sektor linkages yang berarti
bahwa keduanya memiliki ketergantungan hubungan sektoral yang erat dalam
rangka mendorong pembangunan minapolitan sehingga diharapkan dapat
menjalin kerjasama yang baik terutama dalam pengaturan kebijakan minapolitan,
sedangkan pemerintah pusat dalam hal ini KKP sebagai sektor dependent yang
memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen lembaga
lainnya (pemerintah daerah) namun tidak memiliki kekuatan di dalam mendorong
program minapolitan sehingga kunci keberhasilan program minapolitan ini berada
pada tangan pemerintah provinsi maupun kabupaten.
Permasalahan dalam pembangunan ekonomi di daerah menyangkut
pada kebijakan ekonomi makro, kesenjangan, dan kemiskinan. Kebijakan
ekonomi makro selama ini (terutama yang berada di luar Pulau Jawa) lebih
difokuskan pada usaha ekstraksi hasil bumi (sumberdaya alam) seperti
pemberian konsesi pada perusahaan-perusahaan asing dan berskala besar. Ini
berarti kurangnya perhatian terhadap usaha masyarkat lokal yang cenderung
berskala kecil. Kesenjangan yang terjadi antar kelompok pendapatan antara
daerah perkotaan dan perdesaan telah memburuk sejak dibukanya
217

perekonomian perdesaan ke arah ekonomi pasar, karena hanya mereka yang


memiliki akses terhadap modal, kredit, informasi dan kekuasaan yang dapat
mengambil manfaat dari program-program pembangunan.
Dalam konteks wilayah pesisir dan laut, keuntungan ekonomi dari
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut baru dinikmati oleh kelompok
masyarakat tertentu seperti juragan kapal dan pengusaha perikanan, namun
belum oleh masyarakat pesisir dan nelayan. Selain kesenjangan dalam
pendapatan, kesenjangan dalam kepemilikan justru menjadi permasalahan yang
lebih serius. Akumulasi sumberdaya pada pihak-pihak tertentu mengarah pada
de-aksesasi oleh masyarakat, misalnya saja dalam usaha penangkapan hanya
yang memiliki kapal lebih besar dan teknologi yang lebih maju yang dapat
menguasai sumberdaya laut. Nelayan kecil dengan teknologi sederhana menjadi
terpinggirkan dan kalah sehingga semakin sulit dalam berusaha. Kondisi seperti
ini yang terus berlanjut mengakibatkan permasalahan baru yaitu kemiskinan.
Nelayan kecil semakin sulit untuk bergerak keluar dari kemiskinan yang menjerat
mereka.
Eksploitasi sumberdaya laut dan pesisir menjadi salah satu permasalahan
dalam pembangunan daerah. Di satu sisi, upaya tersebut dilakukan oleh
masyarakat dan daerah untuk menggerakkan roda perekonomian, namun di sisi
lain sumberdaya perikanan semakin berkurang karena dieksploitasi secara
berlebihan serta mengalami kerusakan. Upaya pengelolaan yang selama ini
dilakukan belum menunjukkan hasil yang positif.
Ketertinggalan pembangunan wilayah pesisir dan laut sebagai sumber
daya ekonomi, merupakan indikator bahwa sektor kelautan selama 43 tahun
belum menjadi sektor prioritas dalam pembangunan yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi. Begitu sumberdaya alam lainnya (seperti hutan dan
minyak bumi) sudah mengarah pada beban pembangunan karena tidak dapat
diperbaharui (unrenewable) sebagai akibat pengelolaan yang kurang bijaksana,
maka sumberdaya pesisir dan laut merupakan pilihan berikutnya karena
keberlimpahan sumberdaya yang ada serta belum dikelola secara optimal dan
profesional.
Agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama, maka dalam pengelolaan
sumberdaya laut dan pesisir harus memperhatikan tiga hal utama, yaitu: 1)
apapun persepsi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, maka sebagai
sumber ekonomi baru yang kompetitif haruslah bermuara pada pengurangan
218

kemiskinan masyarakat, 2) fokus kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan


laut sebagai sumber ekonomi baru harus berangkat pada pemikiran untuk
meningkatkan pembangunan kegiatan ekonomi yang berbasis pada sumber
daya lokal yang ada, dan 3) sedini mungkin membuat rambu-rambu pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut dengan melibatkan masyarakat.
Dalam menghadapi peluang dan tantangan pembangunan dalam era
globalisasi, maka pembangunan perikanan serta pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut harus mampu mentransformasikan berbagai usaha perikanan
masyarakat ke arah bisnis dan swasembada secara menyeluruh dan terpadu.
Pendekatan menyeluruh (holistik) dan terpadu ini berarti melihat usaha perikanan
sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling terkait,
yaitu:
1. Sumberdaya perikanan, yaitu sumberdaya alam (baik yang berada di laut,
pesisir, perairan tawar), dan SDM.
2. Sarana dan prasarana, meliputi perencanaan dan penyediaan prasarana
perikanan seperti pelabuhan, pabrik es, cold storage, infrastruktur pada
sentra industri, pengadaan dan penyaluran sarana produksi (seperti BBM,
benih, mesin dan alat tangkap), serta sistem informasi tentang teknologi
baru dan sistem pengelolaan usaha yang efisien.
3. Produksi perikanan, meliputi usaha budidaya dan penangkapan yang
menyangkut usaha perikanan skala kecil maupun besar.
4. Pengolahan hasil perikanan, meliputi kegiatan pengolahan sederhana
yang dilakukan oleh petani dan nelayan tradisional hingga pengolahan
dengan teknologi maju di pabrik yang mencakup penanganan pasca
panen sampai produk siap dipasarkan.
5. Pemasaran hasil perikanan, meliputi kegiatan distribusi dan pemasaran
hasil-hasil perikanan atau olahannya untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Termasuk pula di dalamnya kegiatan pemantauan distribusi informasi
pasar (market development) dan pengembangan produk (product
development).
6. Pembinaan, mencakup kegiatan pembinaan institusi, iklim usaha yang
kondusif, iklim poleksosbud yang mendukung, peraturan dan
perundangan yang kondusif, pembinaan SDM, serta kepemimpinan yang
baik agar kegiatan yang dilaksanakan dapat dicapai seefektif mungkin.
219

Melihat kondisi masyarakat dan wilayah pesisir yang ada di Kabupaten


Kupang, maka perlu suatu kebijakan pembangunan yang lebih memprioritaskan
pembangunan wilayah Kabupaten Kupang sesuai dengan potensi kelautan dan
perikanan yang dimilikinya. Melihat potensi dan permasalahan yang ada di
Kabupaten Kupang, maka perlu perencanaan terpadu dan komprehensif
merupakan salah satu jawaban untuk mempercepat pembangunan di wilayah ini.
Langkah awal dan strategis yang perlu dilakukan adalah dengan terlebih dahulu
mengetahui karakteristik wilayah secara utuh baik dilihat dari potensi kelautan
yang dimiliki, perkembangan wilayah yang terjadi selama ini maupun kendala-
kendala yang dihadapi dalam pengembangannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah perairan Kabupaten Kupang
sangat potensial untuk pengembangan di sektor kelautan. Hal ini dilihat dari
kondisi iklim dan ekologis perairan yang sangat mendukung untuk
pengembangan sektor ini. Di sisi lain, produksi rumput laut mengalami
peningkatan, dan yang terdata secara total mencapai sekitar 3.757,16 ton pada
tahun 2007 (DKP Kabupaten Kupang, 2008). Jenis budidaya laut dari sektor
kelautan yang potensial untuk dikembangkan antara lain teripang, mutiara,
keramba jaring apung dan rumput laut. Namun demikian, dalam
pengembangannya sangat dibatasi oleh faktor kesesuaian dan daya dukung
lahan dimana dari keempat komoditas tersebut budidaya rumput laut berada
pada kelas kesesuaian sangat sesuai dan layak (Tabel 6) untuk dikembangkan
baik dari sisi ekologi maupun ekonomi (Tabel 17).
Melihat potensi yang dimiliki Kabupaten Kupang, maka kebijakan
pembangunan di wilayah ini diarahkan pada pembangunan sektor kelautan
melalui pengembangan minabisnis yang didukung oleh kelengkapan sarana dan
prasarana yang memadai baik dari sarana dan prasarana umum maupun sarana
dan prasarana pengembangan minabisnis, hal ini sesuai dengan hasil analisis
keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi (Tabel 35) dimana sarana dan
prasarana minabisnis dalam hal ini penggunaan alat dan mesin budidaya laut
untuk produksi dan industri pengolahan rumput laut.
Salah satu konsep pembangunan ekonomi wilayah yang berbasis pada
potensi kelautan dan perikanan adalah pengembangan kawasan minapolitan
atau dikenal dengan kota perikanan. Konsep ini sebenarnya berawal dari konsep
agropolitan yang digagas oleh pemerintah dalam hal ini departemen pertanian
bekerjasama dengan departemen pekerjaan umum pada tahun 2002 dalam
220

rangka membangun desa-kota berimbang melalui pengembangan kota pertanian


di perdesaan. Keberhasilan dari agropolitan ini kemudian menjadi contoh yang
diambil oleh departemen kelautan dan perikanan selanjutnya oleh menteri
kelautan dan perikanan Republik Indonesia menetapkan peraturan menteri
No.12/Men/2010 tentang minapolitan. Dasar hukum minapolitan ini sejalan
dengan program pemerintah daerah Provinsi NTT yaitu gemala, sehingga
pengembangan minapolitan ini perlu dilakukan dalam rangka pembangunan
ekonomi wilayah berbasis potensi kelautan. Walaupun dalam penetapan
kawasan minapolitan Kabupaten Kupang ditetapkan sebagai kawsan minapolitan
penggaraman namun tidak menutupi kemungkinan bagi sektor budidaya laut
yang sangat potensial di Kabupaten Kupang. Penelitian ini dapat dijadikan
rekomendasi bagi pemerintah daerah agar Kabupaten Kupang juga dapat
dijadikan minapolitan berbasis budidaya laut dalam hal ini rumput laut.
Berkaitan dengan hal tersebut, sekitar 98% masyarakat pesisir setuju jika
wilayah ini dijadikan sebagai wilayah pengembangan kawasan minapolitan
karena mereka yakin bahwa dengan pengembangan kawasan minapolitan dapat
menciptakan lapangan kerja. Namun demikian, kondisi eksisting kawasan masih
berada pada strata pra kawasan minapolitan II. Untuk meningkatkan strata
kawasan, variabel lain yang perlu diperhatikan adalah jumlah penduduk, jumlah
rumah tangga nelayan, jumlah sarana dan prasarana umum, jumlah komoditas
budidaya laut, dan banyaknya keluarga pra sejahtera.
Dilihat dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki setiap desa, terdapat 6
desa dengan tingkat perkembangan lebih maju, 7 desa dengan tingkat
perkembangan sedang, dan 11 desa dengan tingkat perkembangan tertinggal.
Jenis budidaya laut yang dikembangkan adalah minapolitan rumput laut dengan
tujuan untuk peningkatan pendapatan masyarakat. Faktor yang perlu
diperhatikan adalah sumberdaya manusia dan aktor yang berperan adalah
nelayan/pembudidaya.
Prioritas lokasi industri pengolahan budidaya laut adalah Desa Tablolong
dan lokasi pasar produk budidaya laut bertempat di Kota Kupang sebagai sentra
pasar pusat. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan kawasan
minapolitan di Kabupaten Kupang adalah tanggung jawab pemerintah terhadap
potensi budidaya laut, untuk mengatasinya dibutuhkan penyediaan infrastruktur,
dan sarana dan prasarana produksi budidaya laut yang memadai.
221

Hasil simulasi setiap komponen penyusun sub model menunjukkan


kecenderungan kurva pertumbuhan positif naik mengikuti kurva eksponensial.
Namun pada komponen pertambahan penduduk dan peningkatan lahan
permukiman selalu diimbangi oleh laju pengurangan jumlah penduduk akibat
kematian dan migrasi keluar sehingga dalam model ini terjadi hubungan timbal
balik positif melalui proses reinforcing dan timbal balik melalui proses balancing.
Adapun komponen lahan budidaya yang telah ditentukan kesesuaian dan
daya dukung lahan berdasarkan parameter untuk budidaya rumput laut sehingga
pertambahan luas lahan budidaya rumput laut pada suatu saat akan sampai
pada titik keseimbangan tertentu (stable equilibirium) yaitu luas lahan budidaya
dengan tingkat kesesuaian sangat sesuai, bentuk model seperti ini dalam sistem
dinamik mengikuti pola dasar archtype “limits to growth”. Untuk meningkatkan
perubahan kinerja model maka skenario yang perlu dilakukan adalah skenario
optimis dengan melakukan intervensi yang lebih besar terhadap variabel kunci
yang berpengaruh dalam model.
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam kerangka
pengembangan wilayah, akan lebih efektif bila dilaksanakan secara bersama-
sama dari seluruh stakeholder yang terkait baik di tingkat pusat maupun daerah.
Otonomi daerah telah membuka peluang desentralisasi pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut, hal ini penting karena Indonesia merupakan negara kepulauan
yang sangat luas dan banyak memiliki daerah terisolasi, miskin alat transportasi
dan komunikasi, masih lemah sistem administrasi pemerintahannya, masih
kurangnya kapasitas SDM, serta begitu banyaknya masyarakat yang
menggantungkan kehidupan dan nafkahnya pada sumberdaya pesisir dan laut.
Dengan demikian, antara pemerintah dan masyarakat akan semakin dekat dan
terpetakan berbagai masalah yang dihadapi sebagian besar masyarakat.
Pembangunan perekonomian daerah, terutama yang didasarkan pada
sumberdaya wilayah pesisir dan laut dapat dilakukan dengan lebih baik dan
memperhatikan kelestarian lingkungan, sehingga didapat konsep pembangunan
yang berkelanjutan yaitu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
222
10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10.1 Kebijakan Umum


Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar
dan belum tergali secara optimal, karenanya diperlukan langkah strategis yang
mampu mengatasi permasalahan yang begitu lama membelit sektor ini. Salah
satu upaya mungkin dengan revolusi biru yang berarti melakukan perubahan
yang signifikan dengan mengangkat konsep pembangunan berkelanjutan
dengan program nasional minapolitan yang intensif. Konsep pembangunan ini
sejalan dengan Arah Umum Pembangunan Nasional dan Arah Kebijakan
Pembangunan Kewilayahan dan Pengembangan Kawasan sebagaimana
tertuang di dalam Buku I RPJM Tahun 2010-2014.
Dengan konsep minapolitan pembangunan sektor kelautan dan perikanan
diharapkan dapat dipercepat. Kemudahan atau peluang yang biasanya ada di
daerah perkotaan perlu dikembangkan di daerah-daerah pedesaan, seperti
prasarana, sistem pelayanan umum, jaringan distribusi bahan baku dan hasil
produksi di sentra-sentra produksi. Sebagai sentra produksi, daerah pedesaan
diharapkan dapat berkembang sebagaimana daerah perkotaan dengan
dukungan prasarana, energi, jaringan distribusi bahan baku dan hasil produksi,
transportasi, pelayanan publik, akses permodalan, dan sumberdaya manusia
yang memadai.
Konseptual minapolitan mempunyai dua unsur utama yaitu, minapolitan
sebagai konsep pembangunan sektor kelautan dan perikanan berbasis wilayah
dan minapolitan sebagai kawasan ekonomi unggulan dengan komoditas utama
produk kelautan dan perikanan. Secara ringkas minapolitan dapat didefinisikan
sebagai konsep pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis
wilayah dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan berdasarkan
prinsip integrasi, efisiensi dan kualitas serta akselerasi tinggi. Kawasan
minapolitan adalah kawasan ekonomi berbasis kelautan dan perikanan yang
terdiri dari sentra-sentra produksi dan perdagangan, jasa, permukiman, dan
kegiatan lainnya yang saling terkait. Dalam rangka mempertahankan eksistensi
dari budidaya rumput laut maupun budidaya laut lainnya diperlukan suatu
manajemen pengembangan minapolitan yang baik seperti yang terlihat pada
Gambar 26.
224

Konsep minapolitan didasarkan pada tiga azas yaitu demokratisasi


ekonomi kelautan dan perikanan pro rakyat, pemberdayaan masyarakat dan
keberpihakan dengan intervensi negara secara terbatas (limited state
intervention), serta penguatan daerah dengan prinsip : daerah kuat – bangsa dan
negara kuat. Ketiga prinsip tersebut menjadi landasan perumusan kebijakan dan
kegiatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan agar pemanfaatan
sumberdayanya benar-benar untuk kesejahteraan rakyat dengan menempatkan
daerah pada posisi sentral dalam pembangunan.
Dengan konsep ini, diharapkan pembangunan sektor kelautan dan
perikanan dapat dilaksanakan secara terintegrasi, efisien, berkualitas, dan
berakselerasi tinggi. Pertama, prinsip integrasi diharapkan dapat mendorong
agar pengalokasian sumberdaya pembangunan direncanakan dan dilaksanakan
secara menyeluruh atau holistik dengan mempertimbangkan kepentingan dan
dukungan stakeholders, baik instansi sektoral, pemerintahan di tingkat pusat dan
daerah, kalangan dunia usaha maupun masyarakat. Kepentingan dan dukungan
tersebut dibutuhkan agar program dan kegiatan percepatan peningkatan
produksi didukung dengan sarana produksi, permodalan, teknologi, sumberdaya
manusia, prasarana yang memadai, dan sistem manajemen yang baik.
Kedua, dengan konsep minapolitan pembangunan infrastruktur dapat
dilakukan secara efisien dan pemanfaatannya diharapkan akan lebih optimal,
selain itu prinsip efisiensi diterapkan untuk mendorong agar sistem produksi
dapat berjalan dengan biaya murah, seperti memperpendek mata rantai
produksi, efisiensi, dan didukung keberadaan faktor-faktor produksi sesuai
kebutuhan, sehingga menghasilkan produk-produk ekonomi kompetitif.
Ketiga, pelaksanaan pembangunan sektor kelautan dan perikanan harus
berorientasi pada kualitas, baik sistem produksi secara keseluruhan, hasil
produksi, teknologi maupun sumberdaya manusia. Dengan konsep minapolitan
pembinaan kualitas sistem produksi dan produknya dapat dilakukan secara lebih
intensif. Keempat, prinsip percepatan diperlukan untuk mendorong agar target
produksi dapat dicapai dalam waktu cepat, melalui inovasi dan kebijakan
terobosan. Prinsip percepatan juga diperlukan untuk mengejar ketertinggalan
dari negara-negara kompetitor, melalui peningkatan market share produk-produk
kelautan dan perikanan Indonesia tingkat dunia. Konsep minapolitan akan
dilaksanakan melalui pengembangan kawasan minapolitan di daerah-daerah
potensial unggulan.
225

Kawasan-kawasan minapolitan akan dikembangkan melalui pembinaan


sentra-sentra produksi yang berbasis pada sumberdaya kelautan dan perikanan.
Pada setiap kawasan minapolitan akan beroperasi beberapa sentra produksi
berskala ekonomi relatif besar, baik tingkat produksinya maupun tenaga kerja
yang terlibat dengan jenis komoditas unggulan tertentu. Agar kawasan
minapolitan dapat berkembang sebagai kawasan ekonomi yang sehat, maka
diperlukan keanekaragaman kegiatan ekonomi, yaitu kegiatan produksi dan
perdagangan lainnya yang saling mendukung. Keanekaragaman kegiatan
produksi dan usaha di kawasan minapolitan akan memberikan dampak positif
(multiplier effect) bagi perkembangan perekonomian setempat dan akan
berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Dengan pendekatan kawasan dan sentra produksi, diharapkan
pembinaan unit-unit produksi dan usaha dapat lebih fokus dan tepat sasaran.
Walaupun demikian, pembinaan unit-unit produksi di luar kawasan harus tetap
dilaksanakan sebagaimana yang selama ini dijalankan, namun dengan konsep
minapolitan pembinaan unit-unit produksi di masa depan dapat diarahkan
dengan menggunakan prinsip-prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselerasi
tinggi.
Penggerak utama ekonomi di kawasan minapolitan Kabupaten Kupang
dapat berupa sentra produksi dan perdagangan perikanan tangkap, perikanan
budidaya, pengolahan ikan, atau pun kombinasi kedua hal tersebut. Sentra
produksi dan perdagangan rumput laut yang dapat dijadikan penggerak utama
ekonomi di kawasan minapolitan adalah pelabuhan perikanan yang bertempat di
Kelurahan Namosain.
Penggerak utama minapolitan di bidang budidaya rumput laut adalah
sentra produksi dan perdagangan di lahan-lahan budidaya produktif yaitu
Kecamatan Semau, Kecamatan Kupang Barat dan Kecamatan Sulamu. Sentra
produksi pengolahan dan perdagangan rumput laut yang berada di sekitar
pelabuhan perikanan, juga dapat dijadikan penggerak utama ekonomi di
kawasan minapolitan. Untuk dapat mengakomodasi kebutuhan pembangunan,
“pengembangan minapolitan berbasis budidaya rumput laut” dapat
dipadukan dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan pengembangan
minapolitan yang telah dilaksanakan secara bertahap dari tahun 2010 sampai
dengan 2015.
226

10.2 Kebijakan Operasional


Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa alternatif kebijakan dalam
rangka pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang adalah
pengembangan minapolitan berbasis budidaya rumput laut. Konsep keterpaduan
dalam pengembangan kawasan ini harus didukung oleh keterpaduan lainnya
baik dalam hal keterpaduan antar wilayah, keterpaduan antar sektor,
keterpaduan antar stakeholder, dan keterpaduan antar disiplin ilmu.
Keterpaduan antar wilayah dapat dilihat dari wilayah pengembangan
bahwa tidak saja dilaksanakan pada satu wilayah atau kecamatan namun
dilaksanakan pada tiga kecamatan yaitu Kecamatan Semau, Kecamatan Kupang
Barat dan Kecamatan Sulamu. Keterpaduan antar sektor dapat dilihat dari
banyaknya sektor yang terkait dan terlibat dalam pengembangan kawasan
minapolitan ini dengan mengintegrasikan semua kepentingan sektor-sektor
tersebut, sedangkan keterpaduan antar stakeholder dapat dilihat dari banyaknya
stakeholder yang terlibat dalam pengembangan kawasan minapolitan (hasil
analisis ISM untuk sub elemen kendala) ini baik pemerintah, masyarakat,
perguruan tinggi, LSM, dan pihak swasta yang menjadi aktor dalam memajukan
kawasan minapolitan ini. Keterpaduan disiplin ilmu menekankan bahwa untuk
memajukan kawasan perlu melibatkan berbagai disiplin ilmu mengingat
Kabupaten Kupang memiliki karakteristik wilayah dan sosial yang cukup
beragam. Dalam rangka menjamin keterpaduan antar stakeholder maupun dalam
kelembagaan dalam program pengembangan minapolitan, perlu dilakukan
tahapan keterlibatan setiap lembaga yang mengacu pada hasil analisis ISM
untuk sub elemen lembaga (Gambar 35).
Dalam rangka mendukung keterpaduan pengembangan kawasan
minapolitan di wilayah Kabupaten Kupang, maka beberapa rumusan arahan
kebijakan yang perlu dikembangkan sebagai kebijakan operasional antara lain :
1. Menetapkan Kelurahan Sulamu, Desa Hansisi, dan Desa Tablolong sebagai
sentra produksi budidaya rumput laut dan desa-desa lainnya sebagai
hinterland. Hal ini terkait dengan wilayah perairan yang peruntukkannya untuk
budidaya rumput laut (Gambar 6 sampai 8) dan menurut tingkat
perkembangan desa tersebut lebih maju dibandingkan dengan
desa/kelurahan lainnya. Penetapan wilayah ini juga berdasarkan hasil analisis
prospektif untuk tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada
sistem pengembangan minapolitan (Gambar 45).
227

2. Membangun sarana dan prasarana budidaya rumput laut (minabisnis) yang


dibutuhkan (hasil analisis ISM untuk sub elemen kebutuhan) baik pada sentra
produksi maupun pada daerah hinterland yang didukung oleh sarana dan
prasarana umum yang memadai terutama sarana dan prasarana transportasi
dan telekomunikasi di seluruh desa di kawasan minapolitan (Gambar 33). Hal
ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas usaha budidaya,
memudahkan akses antar wilayah dalam pengadaan sarana produksi rumput
laut, dan pemasaran hasil budidaya.
3. Menggerakkan diversifikasi komoditas rumput laut dalam industri olahan
rumah tangga pembudidaya untuk menggerakkan perekonomian masyarakat.
Hal ini dimaksudkan agar menjaga kontinuitas pasar dan memberikan nilai
tambah yang tinggi kepada pembudidaya (petani rumput laut). Diversifikasi
komoditas rumput laut dapat dilakukan dengan mengintroduksi komoditas
rumput laut menjadi berbagai macam olahan makanan selain dodol dan pilus,
terutama yang diminta oleh pasar.
4. Meningkatkan produksi rumput laut di kawasan minapolitan melalui
ekstensifikasi sampai pada batas maksimal ketersediaan lahan budidaya
rumput laut. Penggunaan teknologi yang ramah lingkungan seperti kantung
karbon rumput laut dan mesin pengering dapat diterapkan agar mencapai
produksi rumput laut yang maksimal (hasil analisis dimensi keberlanjutan
teknologi). Selanjutnya berdasarkan hasil simulasi model dinamik (Tabel 37
sampai 39) dengan laju pertumbuhan lahan budidaya 10% setiap tahun, lahan
budidaya eksisting (tahun 2007) adalah 1,21 km2 maka lahan budidaya yang
terpakai sampai pada tahun 2037 baru mencapai 3,41 km2 dari 5,94 km2 total
lahan budidaya yang tersedia di Kecamatan Semau. Total lahan budidaya
yang tersedia di Kecamatan Kupang Barat sebesar 22,29 km2, lahan budidaya
eksisting 3,23 km2 akan meningkat menjadi 9,10 km2 pada tahun 2037,
sedangkan untuk Kecamatan Sulamu, total lahan budidaya yang tersedia
sebesar 3,20 km2 dengan lahan budidaya eksisting 0,10 km2 akan meningkat
menjadi 0,29 km2 pada tahun 2037. Dengan demikian peluang kegiatan
ekstensifikasi masih besar.
5. Meningkatkan kapasitas pembudidaya dengan memberikan pendidikan baik
pendidikan formal maupun informal seperti pelatihan-pelatihan, lokakarya, dan
kursus (Gambar 45). Hal ini penting dilakukan mengingat pembudidaya
sebagai penggerak utama kawasan minapolitan diharapkan mampu
228

berprakarsa secara mandiri dan kreatif untuk mencari langkah-langkah yang


harus dilakukan dalam kegiatan budidaya termasuk dalam pengolahan hasil
budidaya dan pemasarannya.
6. Menumbuhkembangkan kelembagaan ekonomi masyarakat pembudidaya
baik pada on farm maupun off farm yang tumbuh dari, oleh, dan untuk
kepentingan masyarakat itu sendiri dan bukan kelembagaan yang dibentuk
untuk kepentingan instansi pembina tetapi membutuhkan pembinaan dari
instansi/lembaga yang terkait karena pada umumnya pembudidaya berusaha
sendiri-sendiri dengan ketrampilan dan modal seadanya. Langkah yang dapat
dilakukan adalah memberi dorongan dan bimbingan agar mereka mampu
bekerjasama di bidang ekonomi secara berkelompok, selanjutnya membentuk
gabungan kelompok atau asosiasi. Apabila kelompok ini sudah berjalan
dengan baik dan lancar, bimbingan selanjutnya diarahkan agar mereka
mampu menjadi salah satu lembaga ekonomi formal.
7. Meningkatkan koordinasi dan menjalin kemitraan yang baik pada semua
stakeholder yang terkait. Dalam hal ini koordinasi dan kemitraan antara
pemerintah, masyarakat (pembudidaya) dan dunia usaha menjadi sangat
penting dalam pengembangan kawasan minapolitan sesuai dengan
kewenangan masing-masing. Peran pemerintah diharapkan dalam hal
penyediaan sarana dan prasarana publik yang strategis dan kegiatan-kegiatan
riset budidaya. Peran dunia usaha seperti lembaga swasta dan perbankan
adalah dalam hal penyediaan input budidaya dan dalam pengolahan hasil
budidaya, sedangkan masyarakat sebagai pelaku utama memberikan
kontribusi dalam pemanfaatan sarana dan prasarana yang telah disiapkan
oleh pemerintah dna dunia usaha untuk meningkatkan pendapatannya.
8. Meningkatkan status keberlanjutan Kabupaten Kupang untuk pengembangan
kawasan minapolitan ke depan baik jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan
perbaikan-perbaikan secara menyeluruh dan terpadu terhadap atribut-atribut
yang sensitif berpengaruh terhadap peningkatan status kawasan.
Berdasarkan hasil MDS (Gambar 38) dan analisis prospektif (Gambar 45),
terdapat 18 atribut (Tabel 35) yang perlu ditangani dengan baik untuk
meningkatkan status keberlanjutan mencapai 80%. Namun demikian agar
status keberlanjutan kawasan ke depan dapat lebih meningkat, maka
perbaikan terhadap atribut tidak sensitif juga perlu dilakukan.
11 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan


bahwa :
1. Potensi, daya dukung, tingkat perkembangan, persepsi, dan status
keberlanjutan Kabupaten Kupang dalam pengembangan minapolitan
berbasis budidaya laut sebagai berikut :
a. Berdasarkan hasil analisis potensi keruangan (spasial) dengan
menggunakan SIG untuk tiga kecamatan di Kabupaten Kupang,
didapatkan luas kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut sebesar
31,43 km2 dengan daya dukung lahan untuk budidaya rumput laut pada
kategori sangat sesuai dapat memanfaatkan 10.473 unit longline seluas
3000 m2. Peluang usaha rumput laut mempunyai prospek ekonomi dan
finansial yang baik dan layak untuk dikembangkan di Kabupaten Kupang.
b. Tingkat perkembangan wilayah termasuk dalam strata pra kawasan
minapolitan II. Dilihat dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki setiap desa,
terdapat 6 desa dengan tingkat perkembangan lebih maju, 7 desa dengan
tingkat perkembangan sedang, dan 11 desa dengan tingkat
perkembangan tertinggal.
c. Masyarakat wilayah Kabupaten Kupang setuju bila daerahnya
dikembangkan kawasan minapolitan berbasis budidaya laut. Jenis
budidaya laut yang dikembangkan adalah minapolitan rumput laut dengan
tujuan untuk peningkatan pendapatan masyarakat. Faktor yang perlu
diperhatikan adalah sumberdaya manusia dan aktor yang berperan
adalah nelayan/pembudidaya. Prioritas lokasi industri pengolahan
budidaya laut adalah Desa Tablolong dan lokasi pasar produk budidaya
laut bertempat di Kota Kupang sebagai sentra pasar pusat.
d. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan kawasan minapolitan di
Kabupaten Kupang adalah tanggung jawab pemerintah terhadap potensi
budidaya laut. Untuk mengatasinya dibutuhkan penyediaan infrastruktur,
dan sarana dan prasarana produksi budidaya laut yang memadai. Dalam
hal ini peran masyarakat nelayan dan industri pengolahan hasil budidaya
laut sangat diperlukan untuk menjamin kesuksesan pengembangan
minapolitan di Kabupaten Kupang.
230

e. Berdasarkan kondisi eksisting di lokasi penelitian berbasis budidaya laut


di Kabupaten Kupang, dimensi ekologi dan sosial-budaya berkelanjutan,
dimensi infrastruktur dan teknologi serta dimensi hukum dan
kelembagaan kurang berkelanjutan, sedangkan dimensi ekonomi cukup
berkelanjutan. Secara multidimensi wilayah budidaya laut di Kabupaten
Kupang cukup berkelanjutan dengan 18 atribut yang sensitif berpengaruh
dalam meningkatkan indeks keberlanjutan. Atribut-atribut tersebut terbagi
atas 3 atribut pada dimensi ekologi, 5 atribut pada dimensi ekonomi, 3
atribut pada dimensi sosial dan budaya, 4 atribut pada dimensi
infrastruktur dan teknologi, dan 3 atribut pada dimensi hukum dan
kelembagaan. Untuk meningkatkan status keberlanjutan ke depan (jangka
panjang), skenario yang perlu dilakukan untuk meningkatkan status
pengembangan kawasan minapolitan berbasis budidaya laut di
Kabupaten Kupang adalah skenario progesif-optimistik dengan
melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang
sensitif, minimal 5 atribut faktor kunci yang dihasilkan dalam analisis
prospektif, sehingga semua dimensi menjadi berkelanjutan untuk
pengembangan kawasan minapolitan berbasis budidaya laut di
Kabupaten Kupang.
2. Model pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Kupang dibangun
dari tiga sub model berdasarkan hasil analisis sistem dinamik. Ketiga sub
model tersebut meliputi sub model lahan, sub model budidaya laut, dan sub
model industri pengolahan dan pemasaran produk. Hasil simulasi setiap
komponen menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan
positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Namun pada
komponen pertambahan penduduk dan peningkatan lahan permukiman
selalu diimbangi oleh laju pengurangan jumlah penduduk akibat kematian
dan migrasi keluar sehingga dalam model ini terjadi hubungan timbal balik
positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif
(negative feedback) melalui proses balancing. Adapun komponen lahan
budidaya yang telah ditentukan kesesuaian dan daya dukung lahan
berdasarkan parameter untuk budidaya rumput laut sehingga pertambahan
luas lahan budidaya rumput laut pada suatu saat akan sampai pada titik
keseimbangan tertentu (stable equilibirium) yaitu luas lahan budidaya
dengan tingkat kesesuaian sangat sesuai, bentuk model seperti ini dalam
231

sistem dinamik mengikuti pola dasar (archtype) “limits to growth”. Untuk


meningkatkan perubahan kinerja model maka skenario yang perlu dilakukan
adalah skenario optimis dengan melakukan intervensi yang lebih besar
terhadap variabel kunci yang berpengaruh dalam model.

Arahan kebijakan dalam pengembangan budidaya laut di Kabupaten Kupang


adalah sebagai berikut :
a. Hasil identifikasi potensi budidaya laut di Kabupaten Kupang
menunjukkan bahwa wilayah ini sangat potensial untuk pengembangan
kawasan minapolitan berbasis rumput laut.
b. Rumusan kebijakan yang dapat dilakukan antara lain :
(1) Menetapkan Kelurahan Sulamu, Desa Hansisi, dan Desa Tablolong
sebagai sentra produksi budidaya rumput laut dan desa-desa
lainnya sebagai hinterland.
(2) Membangun sarana dan prasarana budidaya rumput laut
(minabisnis) yang dibutuhkan baik pada sentra produksi maupun
pada daerah hinterland.
(3) Menggerakkan diversifikasi komoditas rumput laut dalam industri
olahan rumah tangga pembudidaya untuk menggerakkan
perekonomian masyarakat.
(4) Meningkatkan produksi rumput laut di kawasan minapolitan melalui
ekstensifikasi sampai pada batas maksimal ketersediaan lahan
budidaya rumput laut.
(5) Meningkatkan kapasitas pembudidaya.
(6) Menumbuhkembangkan kelembagaan ekonomi masyarakat
pembudidaya baik pada on farm maupun off farm.
(7) Meningkatkan koordinasi dan menjalin kemitraan yang baik pada
semua stakeholder yang terkait.
(8) Meningkatkan status keberlanjutan Kabupaten Kupang untuk
pengembangan kawasan minapolitan ke depan baik jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang.
232
DAFTAR PUSTAKA

Abelson, P. 1979. Cost Benefit Analysis and Environmental Problems. Macquire


University, New South Wales. Printed by Itchen Printers Limited,
Suthampton, England. p 41-43.

Anggoro, S,. 2004, Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah, MSDP,


UNDIP, Semarang.

Bakosurtanal. 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine,


Kupang-Nusa Tenggara Timur. Pusat Bina Aplikasi Inderaja dan Sistem
Informasi Geografis, Cibinong.

Barlas, Y. 1996. Formal Aspects of Model Validity and Validation of System


Dynamics. System Dynamics Review, Vol. 12, No. 3 (Fall), pp. 183-210.
John Wiley & Sons, Ltd. US.

Basmi, J. 2000. Planktonologi : Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan.


Makalah, Fakultas Perikanan Instistut Pertanian Bogor, Bogor.

Baveridge, M.C.M. 1987. Cage and Open Farming: Carrying Capacity Models
and Environmental Impact. FAO Fish Tech. Paper. 225. FIRT/T255, 131p.
Experiment Station, Auburn University. Alabama. 482p.

Baveridge, M.C.M. 1996. Cage Aquaculture 2nd Edition. Fishing News Book Ltd.
Farnham, Surrey, England. 352p.

Beatley, T., D.J. Brower, & A.K. Scwab. 1994. Understanding The Coastal
Environment, The Special Nature Of Coastal Areas. An Introduction to
Coastal Zone Management. Island Press, Washington, D.C., pp. 11-31.

Bengen, D.G. 2004. Ragam Pemikiran : Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut
Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiosistem. Pusat Pembelajaran dan
Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor. 106hal.

Bourgeois, R. 2007. Bahan Pelatihan Analisis Prospektif Partisipatif. Training of


Trainer ICASEPS. Bogor. 37 hal.

Bourgeois, R. and F. Jesus. 2004. Participatory Prospective Analysis, Exploring


and Anticipating Challenges with Stakeholders. Center for Allevation of
Poverty through Secondary Crops Development in Asia and The Pasific and
French Agricultural Research Centre for International Development.
Monograph (46). 91p.

Budiharsono, S. 2001. Teknik Analsis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.


Pradyna Paramita. Jakarta. 159hal.

Burrough, P.A. 1986. Principles Of Geographycal Information System for Land


Resources Assesment. Monograph on Soil and Resources Surveys . No. 12.
UK: Oxford Science Publication.
234

Burrough, P. A., and R.A. McDonnel. 1998. Principles Of Geographycal


Information Systems. Oxford University Press. 327p.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang. 2008. Kabupaten Kupang


dalam Angka (Kupang Regency in Figures) 2008. Kupang. Nusa Tenggara
Timur. 424hal.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang. 2010. Kabupaten Kupang


Dalam Angka. No. Katalog : 1403.5303. Kupang. NTT.

Chrisman. 1996. Exploring Geographic Information Systems. University of


Washington.

Cincin-Sain, B. 1993. Sustainable Development and Integrated Coastal Zone


Management. Ocean and Coastal Management. Island Press. California.

Clark, W.A.V. and P.L. Hosking. 1986. Statistical Method for Geographers. John
Wiley and Sons, Inc. 513p.

Dacles, T., Beger,M., Ledesma, G.L. 2000. Southern Negros Coastal


Development Programme Recommendations for Location and Level of
Protection of Marine Protected Areas in Municipality of Sipalay. Phillipine
Reef and Rainforest Conservation Foundation Inc. and Coral Cay
Conservation Ltd.

Dawes, C.J. 1985. Marine Botany. New York: John Wiley and Son Inc. 229 hal.

DeMers, M. 1997. Fundamentals of Geographic Information System. New York:


John Wiley and Son Inc.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pengembangan


Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan
Kawasan Agropolitan. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

[Ditjenkan Budidaya] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2004. Petunjuk


Teknis Budidaya Laut : Rumput Laut Euchema cottonii spp. Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta. 40 hal.

[Ditjenkan Budidaya] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2005. Profil


Rumput Laut Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Djojomartono, M. 2000. Dasar-dasar Analisis Sistem Dinamik. Program


Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 55hal.

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2002. Laporan Tahunan Dinas Kelautan
dan Perikanan Tahun 2002. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Modul Sosialisasi dan


Orientasi Penataan Ruang, Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ditjen
235

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Jakarta.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Panduan Mata Pencaharian


Alternatif. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 64 hal.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Indonesian Fisheries Book


2009. Departemen Kelautan dan Perikanan dan JICA. Jakarta.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Kep.45/dj-pb/2009.


Keputusan Dirjen Budidaya mengenai Pengembangan Sentra Budidaya.
Jakarta.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2010. Kebijakan Pengembangan


Kawasan Minapolitan sebagai Langkah DKP Dalam Mendukung
Pengembangan Wilayah. Makalah Presentasi. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Jakarta. DKI Jakarta.

[DKP NTT] Dinas Kelautan dan Perikanan NTT. 2008. Data Base Perikanan
Kabupaten Kupang. Kupang. NTT.

[DKP NTT] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang. 2010. Potensi
Sumberdaya Perikanan dan Pemanfaatannya. Kupang. NTT.

Doty, M.S. 1985. Biotechnological and Economic Approaches to Industrial


Development Based on Marine Algae in Indonesian - Papers. Workshop on
Marine Algae in Biotechnology. Jakarta.

Effendi. H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan


Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid
1. Edisi Ketiga IPB Press. Bogor.

Eryatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan, Metode Penelitian untuk


Pascasarjana. IPB Press. Bogor. 79hal.

ESRI. 1990. Understanding GIS. The Arc/Info Method Environmental System


Research Institute. Redlands, CA. USA.

FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bull No.32. Rome, 72
pp and ILRI Publication No.22. Wageningen. 87p.

FAO. 2003. A Guide to The Seaweed Industry. FAO Fisheries Technical Paper
No. 441.

FAO. 2009. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008. Food And
Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.

Fisheries. 1999. Rapfish Software for Excel. Fisheries Center Research Reports.
75pages.
236

Friedmann, J. 1966. Regional Development Policy: a case study of Venezuela.


Cambridge: MIT Press.

FWA. 1998. Planning for the Further Development of Aquaculture and Marine
Farming Industry at Jurien Bay. Fisheries Management Report No. 4.
Fisheries Western Australia. Australia.

Ghofar, A., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan


Berkelanjutan, Cipayung-Bogor.

Ghufron. M, dan H. Kordi. 2005. Budidaya Ikan Laut di Keramba Jaring Apung.
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Godet, M. 1999. Scenarios and Strategies. A Toolbox for Scenario Planning.


Librairie des Arts et Meteirs. Paris. France.

Godschalk, D. R, Park FH. 1978. Carrying capacity: a key to environmental


planning. J. Soil Water Conserv. 30, 160 –165.

Hall, C.A.S and J.W. Day.1977. Ecosystem Modelling in Theory and Practise an
Introduction with Case Historie. John Wiley and Son. New York.

Hardjomidjojo, H. 2006. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Materi Kuliah


Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. 23hal.

Haumau, S. 2005. Distribusi Spatial Fitoplankton di Perairan Teluk Haria


Saparua, Maluku Tengah. Ilmu Kelautan Indonesian Journal Of Marine
Science, UNDIP. Vol 10. No 3. hal 126 – 136.

Hirschman, A. O. 1958. The Strategy of Economic Development. New Haven :


Yale University Press.

Iriawan. N, dan Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah
menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: Penerbit Andi.

JICA. 2009. Indonesian Fisheries Statistic Indeks 2009. Departemen Kelautan


dan Perikanan. Jakarta.

Jones, R.R, Wigley T. 1989. Ozone Depletion: Health and Environmental


Consequences. John Wiley & Sons, New York.

Jurana, J.M. 1996. Problems Related to GIS Application and Geographic


Database Development in Developing Countries. International Conference
on The Role of GIS for the Enhancement of National Spasial Planning.
Jakarta 21-22 October 1996.

Kadariah et al. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Universitas Indonesia. Jakarta.

Kadi, A dan W.S. Atmajaya. 1988. Rumput Laut (Algae). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jakarta. 71 hal.
237

Kanungo, S and V.V.Bhatnagar. 2002. Beyond Generic Models for Information


System Quality: The Use of Interpretive Structural Modeling (ISM). System
Research and Behavioral Science. Syst. Res. 19, 531-549.

Kapestky, J.M., L. Mc Gregor, and H. Nanne. 1987. A Geographical kinformation


System and Satellite Remote Sensing to Plan for Aquaculture Development:
A FAO – UNEP/GRID Cooperative Study in Costa Rica. FAO Fish. Tech.
Pap. (287):51p.

Kavanagh, P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish


Software Description (for Microsoft Excel). Vancouver: University of British
Colombia, Fisheries Center. Canada. 10(2): 352-370.

Kavanagh P. and T.J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software for
Rapfish: A Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. University
of British Columbia. Fisheries Centre Research Reports 12(2) ISSN: 1198-
672. Canada. 75p.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikaan. 2010. Kelautan dan Perikanan


Dalam Angka 2009. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republuk
Indonesia. Jakarta.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Rencana Strategis


Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010-2014. Jakarta.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Per.12/Men/2010 mengenai


Minapolitan. Jakarta.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kep.41/Men/2009 mengenai
Penetapan Kawasan Minapolitan. Jakarta.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Kep.32/Men/2010 mengenai


Penetapan Kawasan Minapolitan. Jakarta.

[Kemenko Ekonomi] Kementerian Koordinator Perekonomian RI. 2010. Kebijakan


Pengembangan Ekonomi dan Pembiayaan Usaha Kelautan dan Perikanan.
Disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional KKP. Jakarta.

[Kemeneg LH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri


Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Tentang Baku Mutu Air
Laut. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup. Jakarta.

Maguire DJ, Dangermond J. 1991. The Fungtionality of GIS, p. 319 -335. In


Maguire DJ, Goodchild MF, dan Rhind DW, editor. Geographycal Information
Systems. New York: Longman Scientific and Technical. John Wiley.

Manetsch, T.J and G.L. Park. 1979. System Analysis and Simulation with
Application to Economic and Social System (terjemahan). Part I 3rd edition.
Departement of Electrical Enginering and System Science. Michigan State
University East Lansing. Michigan. 64p.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.


PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo). Jakarta. 197hal.
238

Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.


Grasindo. Jakarta.

Meadows, D.H. 1985. The Electronic Oracle: Computer Model and Social
Decision, Chichester, John Wiley. New York.

Muhammadi, E. Aminullah, dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis,


Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta.
414hal.

Myrdal, G. 1975. Economic Theory and Under-development Regions. London:


Duckworth.

Pitcher and Priekshot. 2001. Rapfish: A Rapid Appraisal Technique to Evaluate


The Sustainability Status of Fisheries Research 49(3): 225-270.

Porter, M. 2000. Location, Competition, and Economic Development: Local


Clusters in a Global Economy. Economic Development Quarterly, 14(1): 15-
34, February 2000. Harvard Bussiness School Press. Boston, MA.

Postel, S. 1989. Halting land degradation. Pages 21 -40 in L. Brown, A. Durning,


C. Flavin, L. Heise, J. Jacobson, S. Postel, M. Renner, C. P. Shea, and L.
Starke, eds. State of the World 1989. Norton, New York.

Pranoto, Sugimin. 2005. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui Model


Pengembangan Agropolitan. (Disertasi) Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 293hal.

Price, D.1999. Carrying Capacity Reconsidered. Populat. Environ. 21 (1), 5–26.


Program Pascasarjana IPB.

Purwanto, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Direktorat Jendral


Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Radarwati, Siti. 2010. Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Di Perairan


Jakarta, Provinsi DKI Jakarta. (Ringkasan Disertasi Sidang Terbuka)
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Radiarta, I. Ny., S. E. Wardoyo., B. Priyono dan O. Praseno. 2003. Aplikasi


Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan
Budidaya Laut di Teluk Ekas, NTB. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.
Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta. Vol 9 No.1,
hal 67 – 71.

Rauf, A. 2008. Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang Kepulauan


Tanakeke Berbasis Daya Dukung. (Disertasi) Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 211hal.

Robert, N. 1983. Introduction for Computer Simulation: A System Dinamics


Modelling Approach. Addison-Wesley Publishing Company. Massachusetts.
239

Romimohtarto, K. 2003. Kualitas Air dalam Budidaya Laut.


[www.fao.org/docrep/field/003]

Roughgarden, J. 1979. Theory of Population Genetics and Evolutionary Ecology:


An Introduction. Macmillan, New York.

Rustam. 2006. Budidaya Teripang. Pelatihan Budidaya Laut. Coremap Fase II


Kabupaten Selayar. Yayasan Mattirotasi. Makassar.

Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks
(terjemahan). Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. 270 hal.

Saksono, H. 2008. Kajian Pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan


Seribu Berbasis Industri Perikanan. (Disertasi) Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Saxena J.J.P, Sushil and Vrat, P. 1992. Hierarchy and Classification of Program
Plan Elements using Interpretative Structural Modelling. System Practice,
Vol. 5 (6), 651:670.

Soegiarto, A; W.S Sulistijo; dan H. Mubarak. 1978. Rumput Laut (Alga) : Manfaat,
Potensi dan Usaha Budidaya. PT Pustaka Binaman Presindo. Jakarta.

Soegiarto, A. 1984. Oseannologi di Indonesia : Prospek dan Problem Usaha


Pengembangan Sumberdaya Alam Lautan dan Wilayah Pesisir. Lembaga
Oseanologi Nasional – LIPI. Jakarta.

Soekartawai. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani
Kecil. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Subandar, A. 1999. Potensi Teknik Evaluasi Multi Kriteria dalam Pengelolaan


Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Jurnal Sains dan Teknologi Vol.1
No.5 (Agustus 1999).

Sunyoto, P. 2000. Pembesaran Kerapu dengan Keramba Jaring Terapung. PT.


Penebar Swadaya. Depok.

Supriharyono, 2000, Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, Pn. Djambatan,


Jakarta.

Susilo, S. B. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil (Studi Kasus


Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta).
(Disertasi) Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. 211hal.

Thamrin. 2009. Model Pengembangan Kawasan Agropolitan Secara


Berkelanjutan Di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat – Malaysia.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 289hal.

Undang-undang RI No. 25 Tahun 2000. Program Pembangunan Nasional


(Propenas). 143 Hal. [http://legislasi.mahkamahagung.go.id/]

Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.


240

Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir


Dan Pulau-Pulau Kecil.

Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup.

Undang-Undang RI No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika Edisi Ke-3. Gramedia Pustaka Utama.


Jakarta. 515hal.

Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kalautan. Penerbit PT. Gramedia


Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Winanto, Tj. 2004. Memproduksi Benih Tiram Mutiara. Penebar Swadaya,


Jakarta.
LAMPIRAN
247

Lampiran 2 (lanjutan) Kriteria dan matriks kesesuaian perairan untuk kegiatan


budidaya keramba jaring apung (DKP, 2002)
Angka
Bobot Skor Sumber
Variabel Kisaran penilaian
(B) (A×B) Penilaian
(A)
1 2 3 4 5 6
20 – 50 5 15 Gufron & Kordi
Kecepatan
10 – 19 & 51 – 75 3 3 9 (2005); DKP
Arus (cm/dt) <10 & >75 1 3 (2002)
<25 5 15
KepMen LH
MPT (mg/l) 25 – 50 3 3 9
>50 No. 51/2004
1 3
15 – 25 5 15 DKP (2002);
Kedalaman
5 – 15 & 26 – 50 3 3 9 Radiarta et al.
Perairan (m) <5 & > 35 1 3 (2003)
Material Berpasir & Pecahan 5 10
Karang Radiarta et al.
Dasar Pasir Berlumpur
3 2 6
(2003)
Perairan Lumpur 1 2
Bakosurtanal
Oksigen >6 5 10
(1996);
Terlarut 4–6 3 2 6
<4 Wibisono
(mg/l) 1 2
(2005)
>5 5 10 DKP (2002);
Kecerahan
3–5 3 2 6 Radiarta et al.
Perairan (m) <3 1 2 (2003)
28 – 30 5 10 DKP (2002);
0
Suhu ( C) 25 – 27 & 31 – 32 3 2 6 Romimohtarto
<25 & >32 1 2 (2003)
30 – 25 5 10 Radiarta et al.
Salinitas
20 – 29 3 2 6 (2003); SNI 01-
(g/kg) <20 & >35 1 2 6487.3-2000
5
>15.000 & <5.10 Basmi (2000);
Kepadatan 5 5
2000 – 15.000 & Wiadnyana
Fitoplankton 5
5.10 -10
6 3 1 3
(1998) dalam
(sel/l) <2000 & >10
6 1 1
Haumau (2005)
>10 5 5
Klorofil-a
4 – 10 3 1 3 Effendi (2003)
(mg/l) <4 1 1
6,5 – 8,5 5 5
Romimohtarto
pH 4 – 6,4 & 8,5 – 9 3 1 3
<4 & >9,5 (2003)
1 1
Bakosurtanal
0,2 – 0,5 5 5
(1996);
Fosfat (mg/l) 0,6 – 0,7 3 1 3
<0,2 & >0,8 Romimohtarto
1 1
(2003)
0,9 – 3,2 5 5 DKP (2002);
Nitrat (mg/l) 0,7 – 0,8 & 3,3 – 3,4 3 1 3 KepMen LH
<0,7 & >3,4 1 1 No. 51/2004
Total Skor 120
Keterangan :
1. Angka penilaian berdasarkan petunjuk DKP (2002), yaitu :
5 : baik, 3 : sedang, 1 : kurang
2. Bobot berdasarkan pertimbangan pengaruh variabel dominan
3. Skor adalah
248

Lampiran 2 (lanjutan) Kriteria dan matriks kesesuaian perairan untuk kegiatan


budidaya tiram mutiara (DKP, 2002)
Angka
Bobot Skor Sumber
Variabel Kisaran penilaian
(B) (A×B) Penilaian
(A)
1 2 3 4 5 6
15 – 25 5 15
Kecepatan
10 – 15 & 25 – 30 3 3 9 DKP (2002)
Arus (cm/dt) <10 & >30 1 3
<25 5 15
KepMen LH
MPT (mg/l) 25 – 50 3 3 9
>50 No. 51/2004
1 3
10 – 20 5 15
Kedalaman Radiarta et al.
21 – 30 3 3 9
Perairan (m) <10 & > 30 (2003)
1 3
5
>15.000 & <5.10 Basmi (2000);
Kepadatan 5 15
2000 – 15.000 & Wiadnyana
Fitoplankton 5
5.10 -10
6 3 3 9
(1998) dalam
(sel/l) <2000 & >10
6 1 3
Haumau (2005)
Material Berkarang 5 10
DKP (2002);
Dasar Pasir 3 2 6
Pasir Berlumpur Winanto (2004)
Perairan 1 2
Bakosurtanal
Oksigen >6 5 10
(1996);
Terlarut 4–6 3 2 6
<4 Wibisono
(mg/l) 1 2
(2005)
4,5 – 6,5 5 10 DKP (2002);
Kecerahan
3,5 – 4,4 & 6,6 – 7,7 3 2 6 Romimohtarto
Perairan (m) <3,5 & .7,7 1 2 (2003)
32 – 35 5 10 Radiarta et al.
Salinitas
28 – 31 & 36 - 38 3 2 6 (2003);
(g/kg) <25 & >32 1 2 DKP (2002)
28 – 30 5 10
0 DKP (2002);
Suhu ( C) 25 – 27 & 31 – 32 3 2 6
<25 & >32 Winanto (2004)
1 2
>10 5 5
Klorofil-a
4 – 10 3 1 3 Effendi (2003)
(mg/l) <4 1 1
Bakosurtanal
7-8 5 5
(1996);
pH 5-6&8–9 3 1 3
<5 & >9 DKP (2002);
1 1
Winanto (2004)
Bakosurtanal
0,2 – 0,5 5 5
(1996);
Fosfat (mg/l) 0,6 – 0,7 3 1 3
<0,2 & >0,8 Romimohtarto
1 1
(2003)
0,25 – 0,66 5 5
DKP (2002);
Nitrat (mg/l) 0,9 – 3 3 1 3
<0,25 & >3,0 Winanto (2004)
1 1
Total Skor 130
Keterangan :
1. Angka Penilaian berdasarkan petunjuk DKP (2002), yaitu :
5 : baik, 3 : sedang, 1 : kurang
2. Bobot berdasarkan pertimbangan pengaruh variabel dominan
3. Skor adalah
249

Lampiran 2 (lanjutan) Kriteria dan matriks kesesuaian perairan untuk kegiatan


budidaya teripang (DKP, 2002)
Angka
Bobot Skor Sumber
Variabel Kisaran penilaian
(B) (A×B) Penilaian
(A)
1 2 3 4 5 6
Terlindung 5 15
Keterlindungan
Kurang Terlindung 3 3 9
Perairan Terbuka 1 3
20 – 30 5 15
Kecepatan Arus
10 – 20 & 30 – 40 3 3 9
(cm/dt) <10 & >40 1 3
0,5 – 1 5 15
Kedalaman
>1 – 1,5 3 3 9
Perairan (m) > 1,5 1 3
0,5 – 1 5 15
Kecerahan
>1 – 1,5 3 3 9
Perairan (m) > 1,5 1 3
Landai, P/B/PK 5 15
Material Dasar Agak Landai,
P/B/PK
3 3 9
Perairan
Terjal, P/B/PK 1 3
28 – 30 5 10 Sutaman
Salinitas (g/kg) 30 – 33 3 2 6 (2003)
<28 & >33 1 2 dalam
24 – 30 5 10 Coremap
0
Suhu ( C) 31 –33 3 2 6 (2008)
<24 & >33 1 2
4–6 5 10
Oksigen Terlarut
7 –8 3 2 6
(mg/l) >8 1 2
6,5 – 7,0 5 10
pH 7,1 – 8,5 3 2 6
<6,5 & >8,5 1 2
Banyak 5 5
Keberadaan
Sedikit 3 1 3
Lamun Tidak ada 1 1
Nol 5 5
Tingkat
Sedikit 3 1 3
Pencemaran Banyak 1 1
Ada dan Dekat 5 5
Ketersediaan
Ada dan Jauh 3 1 3
Benih Alami Tidak Ada 1 1
Total Skor 130
Keterangan : P/B/PK = Pasir/Berlumpur/Pecahan Karang

Tingkat
No Kisaran Nilai (Skor) 1) Evaluasi/Kesimpulan
Kesesuaian 2)
1 85 – 100 % S1 Sangat sesuai
2 75 – 84 % S2 Sesuai
3 65 – 74 % S3 Sesuai bersyarat
4 < 65 % N Tidak sesuai
Keterangan :
1)
: Rekomendasi DKP (2002)
2)
: Bakosurtanal (1996)
250

Lampiran 3 Luas wilayah kabupaten kupang per kecamatan tahun 2009


(BPS Kabupaten Kupang, 2010)
Kecamatan Luas wilayah (Km2) Persentase
(1) (2) (3)
01. Semau 122,98 2,26
02. Semau Selatan 100,85 1,86
03. Kupang Barat 136,50 2,51
04. Nekamese 133,18 2,45
05. Kupang Tengah 96,64 1,78
06. Taebenu 125,69 2,31
07. Amarasi 164,78 3,03
08. Amarasi Barat 189,11 3,48
09. Amarasi Selatan 156,61 2,88
10. Amarasi Timur 175,00 3,22
11. Kupang Timur 207,69 3,82
12. Amabi Oefeto Timur 246,38 4,54
13. Amabi Oefeto 150,12 2,76
14. Sulamu 304,63 5,61
15. Fatuleu 346,26 6,38
16. Fatuleu Barat 457,25 8,42
17. Fatuleu Tengah 92,48 1,70
18. Takari 545,60 10,05
19. Amfoang Selatan 575,70 10,60
20. Amfoang Barat Daya 202,84 3,74
21. Amfoang Utara 129,64 2,39
22. Amfoang Barat Laut 318,59 5,87
23. Amfoang Timur 452,71 8,34
24. Amfoang Tengah - -
Jumlah 5.431,23 100,00
Sumber data : Badan pertanahan nasional Kabupaten Kupang.
Data Amfoang Tengah masih tergabung dengan Amfoang Selatan.
247

Lampiran 4 Nama dan arti pulau-pulau kecil di Kabupaten Kupang (DKP Kabupaten Kupang, 2008)
Nama Di Nama yang Bahasa Letak
Kecamatan Arti Nama Sejarah Nama Keterangan
Daerah Disepakati Daerah Lintang Bujur
**)
terdapat 2 kec: Semau dan
Semau Selatan
Se=satu,
1.Semau 1.Semau - Helong 10o14’00’’ 123o23’30” BP, Potensi mutiara, rumput
mau=kemauan
laut, jambu mente, perikanan
tangkap

TBP, bervegetasi rumput,


2. Kambing 2. Kambing - - - 10o14’24’’ 123o26’10”
1. Semau kering

Dulu ada perahu tenggelam,


Sejenis timba yg BP, 46 KK
alat timba (kera/haik)
3. Kera 3. Kera terbuat dari daun Rote 10o05’22’’ 123o32’23” Potensi pariwisata, berpantai
terdampar di pulau itu &
lontar pasir, Luas 48 Ha
dinamai kera
TBP, bervegetasi rumput,
4. Batu Ina 4. Batu Ina Inang=induk - Helong 10o14’06’’ 123o24’42”
kering
TBP, bervegetasi rumput,
5. Tabui 5. Tabui Tampak/kelihatan - Helong 10o18’41’’ 123o16’42”
kering
2. Semau Selatan
Pulaunya ber- TBP, bervegetasi rumput,
6. Merah 6. Merah - Helong 10o19’33’’ 123o20’36”
warna merah kering

Fatu=batu,
Saat surut tempat
- 7. Fatumeo Meo=kucing/ Timor 10o21’28’’ 123o35’59” TBP, Batu
mengintip ikan
pengintai ikan

Fatu=batu, Tempat melihat orang


- 8 .Fatupene Timor 10o22’20’’ 123o36’42” TBP, Batu
Pene=melihat berlayar
Fatu=batu,
Tempat persinggahan
3. Nekamese - 9. Fatusnasat Snasat=pemberhe Timor 10o20’33’’ 123o34’23” TBP, Batu
nelayan
ntian

7. Fatunai 10. Fatunai Batu laki-laki - Timor 10o20’12’’ 123o34’12” TBP, Karang
Fatu=batu, o o
8. Fatufeu 11. Fatufeu - Timor 10 20’39’’ 123 34’30” TBP, Karang
feu=baru
Fatu=batu,
9. Fatuatoni 12. Fatuatoni - Timor 10o20’50’’ 123o35’19” TBP, Karang
atoni=manusia

251
248

252
Pan=ujung
10. Pan Apot 13. Pan Apot - Timor 10o20’52’’ 123o35’24” TBP, Karang
Apot=bunyi
14. Fatu
Fatu=batu, Batu yg terletak di
- Tanjung Timor 10o21’23’’ 123o40’44” TBP, Batu
Tanjung Perahu
perahu
Tubu=gunung
4. Amarasi Barat 11.Tubuafu 15.Tubuafu - - 10o21’40’’ 123o41’18” TBP, Batu
Afu=abu
Tempat
TBP, tempat penangkapan
12. Burung 16. Burung berkumpulnya - - 10o01’30’’ 123o39’07”
ikan
5. Sulamu burung
TBP, karang bervegetasi,
13. Tikus 17. Tikus Mirip tikus Dulu banyak dihuni tikus - 10o03’06’’ 123o36’45”
tempat penangkapan ikan
Dulu, saat perang ada
kapal rusak disitu dan
Fatu=batu TBP, karang
6. Fatuleu Barat - 18. Fatubnao untuk mengenang peris- - 09o42’32’’ 123o40’52”
Bnao=kapal Luas 0,4 Ha
tiwa itu, batu itu dinamai
batu kapal
19. Batu Tan- Batu di dekat
- - Sabu 09o37’39’’ 123o40’35” TBP, karang
jung mas Tanjung mas
7. Amfoang B. Daya
20. Batu Batu berwarna
- - Sabu 09o36’14’’ 123o42’10” TBP, karang
Hitam hitam
Pulau terluar, BP tidak tetap,
Luas 14,5 Ha, ada mercusuar,
8. Amfoang Timur 14. Batek 21. Batek - - Timor 10o15’25’’ 123o59’37” helipad, pos TNI. Dulu
bernama Fatusinai artinya
batu sedih
253

Lampiran 5 Sebaran desa/kelurahan pesisir di Kabupaten Kupang


No Kecamatan Desa/Kelurahan Pesisir
Uitao, Bokonusan, Otan, Hansisi, Huilelot,
1 Semau
Letbaun, Batuinan
Akle, Uitiuhana, Onansila, Uitiuhtuan,
2 Semau Selatan
Nalekan, Uiboa
Lifuleo, Tesabela, Kuanheum, Nitneo,
3 Kupang Barat Bolok, Tablolong, Oematnunu, Sumlili,
Oenaek
4 Nekamese Tasikona, Bone, Oepaha
Tarus, Tanah Merah, Mata Air, Oebelo,
5 Kupang Tengah
Noelbaki
Nunkurus, Merdeka, Babau, Tuapukan,
6 Kupang Timur
Oelatimo
Sulamu, Pitai, Panti, Bantulan, Pantai
7 Sulamu
Beringin, Oeteta, Bipolo
8 Amarasi Selatan Sahraen, Buraen, Retraen
9 Amarasi Timur Pakubaun, Enoraen
10 Amarasi Barat Merbaun, Erbaun
11 Fatuleu Barat Poto, Nuataus
12 Amfoang Barat daya Manubelon, Bioba Baru
13 Amfoang Barat Laut Soliu
14 Amfoang Utara Afoan, Naikliu, Bakuin, Kolabe, Lilmus
Nunuanah, Kifu, Netemnanu Utara,
15 Amfoang Timur
Netemnanu Selatan
Jumlah 15 kecamatan 64 desa/kelurahan pesisir
254

Lampiran 6 Karakteristik pantai dan laut, serta luasan ekosistemnya


(DKP, Kabupaten Kupang, 2008)
Panjang Ekosistem Pantai dan Laut
Grs Karakteristik Trmb Keterangan
No Kecamatan Lamun Mangrove
Pantai Perairan Krg (Pulau Kecil, dll)
(ha) (ha)
(km) (ha)
- P.Kera
1 Semau 98,25 Pasir, karang 50 - 220
- P.Kambing
Semau - P.Merah
2 **) Pasir, karang **) **) **)
Selatan - P.Tabui
Kupang
3 25,00 Pasir, karang 600 640 153,1 -
Barat
- pulau kecil
4 Nekamese 12,50 Pasir, kerikil 22 223 -
(8 pulau)
Pasir
Kupang
5 14,50 berkerikil, - - 4,7 -
Tengah
lumpur
Amarasi
6 23,00 Karang, pasir *) *) *) - P.Tubuafu
Barat
Amarasi
7 *) Pasir, karang *) *) *) -
Selatan
Amarasi
8 *) Pasir, lumpur *) *) *) -
Timur
Lumpur
Kupang
9 4,50 berpasir, - - 3.839,5 -
Timur
lumpur
Berpasir, - P.Burung
10 Sulamu 95,00 lumpur, dan - 27 470
berkarang - P.Tikus

Fatuleu - Pulau Kecil


11 25,50 Pasir, karang *) *) *)
Barat (1 pulau)
Amfoang B. Pasir, lumpur, - Pulau Kecil
12 *) *) *) -
Daya karang (2 pulau)
Amfoang
13 *) Pasir, Karang *) *) - -
Utara
Amfoang B. Pasir, lumpur,
14 *) *) *) - -
Laut karang
Amfoang Pasir, lumpur,
15 *) *) *) - - P. Batek
Timur karang

Keterangan : *) data tidak tersedia


**) data masih digabung Kecamatan Semau
255

Lampiran 7 Potensi dan sebaran jenis ikan dan non ikan dominan yang
tertangkap (DKP Kabupaten Kupang, 2008)
Potensi dan Jenis Ikan/non ikan Dominan
No Kecamatan Pelagis
Pelagis Kecil Demersal Non ikan
Besar
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Cumi-cumi,
Tongkol, Tembang, kembung,
1 Semau - Ubur-ubur,
tuna peperek, ikan terbang
teripang
Cumi-cumi,
Semau Tongkol, Tembang, kembung,
2 Kakap Ubur-ubur,
Selatan tuna peperek, ikan terbang
teripang
Udang,
Tembang, julung- Ek.kuning, Lobster, Cumi-
3 Kupang Barat Tongkol
julung, peperek kpl.batu cumi, Ubur-
ubur, teripang
Ek.kuning,
4 Nekamese Cakalang Selar, layang -
kepala batu
Udang,
Kupang Teri, selar, tembang,
5 - - teripang,
Tengah layang, julung-julung
kepiting
Cucut, Udang, lobster,
6 Amarasi Barat Tembang, Ekor kuning
cakalang teripang
Amarasi Tembang, ikan
7 Cucut - Lobster
Selatan terbang
Amarasi Tembang, teri, ikan Udang,
8 Cucut -
Timur terbang kepiting
Udang,
Teri, belanak,
9 Kupang Timur - - teripang,
tembang
kepiting
Tembang, teri, Ekor kuning, Udang,
10 Sulamu Tongkol
peperek kepala batu kepiting
Tembang, teri, ikan
11 Fatuleu Barat - - -
terbang
Amfoang B. Tembang, teri, ikan
12 - - -
Daya terbang
Amfoang Tembang, teri, ikan
13 Cakalang - -
Utara terbang
Amfoang B. Tembang, teri, ikan
14 Cakalang - -
Laut terbang
Amfoang Tembang, teri, ikan
15 Cakalang - Kepiting
Timur terbang
256

Lampiran 8 Potensi dan pemanfaatan areal budidaya laut s/d tahun 2005
(DKP Kabupaten Kupang, 2008)
Potensi Dimanfaatkan Produksi
No. Kecamatan Jenis Budidaya
(ha) (ha) (ton)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
630,0 - Rumput laut
1 Semau 3.824,0 121,30
20.825,0 - Mutiara (gr)
2) 2) 2)
2 Semau Selatan Rumput Laut
952,0 323,22 1.006,0 - Rumput laut
3 Kupang Barat 122,5 0,25 - - KJA
460,0 60,40 38.674,0 - Mutiara (gr)
4 Nekamese 20,0 2,0 5,0 Rumput laut
3,0 2 9 - Kepiting
5 Amarasi Barat
100,0 1,50 2 - Rumput laut
750,0 - - - Rumput laut
88,0 - - - KJA
6 Sulamu
49,0 - - - Kepiting
25,0 - - - Teripang
1) 1)
7 Fatuleu Barat 1.050,0 Rumput laut
8 Amfoang B. Laut 250,0 - - -
1.643 - Rumput Laut
Jumlah 7.693,5 510,67
59.499 - Mutiara (gr)
1)
Keterangan : data tidak tersedia
2)
data digabung dengan kecamatan Semau
257

Lampiran 9 Potensi dan produksi budidaya air tawar/payau


(DKP Kabupaten Kupang, 2008)
1) Jenis- jeins
Potensi Dimanfaatkan Produksi
No. Kecamatan budidaya/ Keterangan
(ha) (ha) (ton)
usaha
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (6)
1)
1 Kupang 10,00 8,00 3,20 Kolam ikan data s/d
Barat tawes Thn 2007
2)
2 Kupang 56,50 5,65 - Bandeng, data tidak
Tengah garam tersedia
2) 2) 2)
3 Taebenu -
2) 2) 2) 3)
4 Amarasi - data masih
5 Amarasi 5,00 0,90 0,15 Tawes,Nila,K gabung
Barat arper Kec.Kupang
Timur
6 Amarasi 100,00 - - -
Timur
7 Kupang 44,00 8,00 500,00 - Bandeng
**)
Timur 1.750,00 350,00 - garam
8 Amabi O. 9,50 0,80 0,40 Nila,Karper
Timur
3) 3) 3) 3)
9 Amabi
Oefeto
10 Sulamu 410,00 106,00 423,00 - Bandeng
290,00 - - - Udang
3,00 0,50 - - Artemia
11 Fatuleu 0,70 0,55 300,00 Nila, Karper
12 Takari 12,00 2,00 0,70 Nila, Karper
Jumlah 2.748,70 489,10 1.227,93
258

Lampiran 10 Sarana prasarana budidaya laut s/d tahun 2005


(DKP Kabupaten Kupang, 2008)
Sarana Budidaya RL
No Kecamatan KJA (unit)
Jenis bantuan Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5)
- tali PE (m) 46.200
1 Semau 3
- pelampung (bh) 23.100
Semau - tali PE (m) 19.800
2 Selatan -
- pelampung (bh) 9.900
- tali PE (m) 133.320
3 Kupang Barat 4
- pelampung (bh) 66.660
- tali PE (m)
4 Sulamu -
- waring (kg) 2.000
- tali PE (m) 199.320
Jumlah 7 - pelampung (bh) 99.660
- waring 2.000
Lampiran 11 Sebaran bantuan sarana dan prasarana perikanan s/d tahun 2007 (DKP Kabupaten Kupang, 2008)
Budidaya Rumput Laut
Armada Tangkap (unit) Alat Tangkap (unit)
No Kecamatan Desa/Kelurahan (meter, buah) Ket
Ketinting Mtr Tempel Kapal Ikan Pukat Ikan Pukat Udang Tali Pelampung
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
Ds.Bokonusan,Hansisi,
1 Semau 16 10 - 135 - 35.000 70.000
Uiasa, Otan, Uitao, Letbaun
2 Semau Selatan Ds.Uiboa - 2 - 78 - 15.000 30.000
Ds. Tesabela,Lifuleo,
3 Kupang Barat Oenaek, Kuanheum, 1 3 6 291 - 101.000 202.000
Tablolong
4 Nekamese Ds.Tasikona, Oepaha 11 - - 88 - - -
Ds.Tanah Merah, Oebelo,
5 Kupang Tengah 8 5 5 165 40 - -
Mata Air
6 Amarasi Barat Ds. Erbaun, Merbaun 2 - - 93 60 - -
7 Amarasi Selatan Kel.Buraen 3 - - 55 48 - -
8 Amarasi Timur Ds.Pakubaun 2 - - 62 40 - -
9 Kupang Timur Kel.Merdeka 4 - - 107 60 - -
Kel.Sulamu, Pitai, Oeteta,
10 Sulamu 10 - 9 261 70 - -
Pantai Beringin, Pariti
11 Fatuleu Barat Ds.Nuataus 1 - - 35 - - -
12 Amfoang B. Daya Ds.Manubelon 1 - - 28 - - -
Kel.Naikliu, Afoan, Bakuin,
13 Amfoang Utara 2 - 5 72 - - -
Lilmus
14 Amfoang B. Laut Ds.Soliu 3 - 1 44 - - -
15 Amfoang Timur Ds.Netem.Utara 4 - 2 35 - - -
Jumlah 68 20 28 1.549 318 151.000 302.000

259
260
Lampiran 12 Jumlah RTP, nelayan dan pembudidaya ikan di Kabupaten Kupang (DKP Kabupaten Kupang, 2008)
Nelayan (orang) Pembudidaya (orang)
No Kecamatan
RTP Penuh S. Utama S. Tambahan Jumlah R_Laut Ikan Tambak Jumlah
1 Semau 183 160 199 77 436 995 2 13 1.010
2 Semau Selatan 115 80 83 145 308 678 - - 678
3 Kupang Barat 467 419 215 140 774 1.633 - 5 1.638
4 Nekamese 112 78 68 44 190 25 - - 25
5 Kupang Tengah 149 150 155 123 428 - 41 14 55
6 Amarasi Barat 64 17 45 80 142 - 20 - 20
7 Amarasi Selatan 50 - 40 43 83 10 - - 10
8 Amarasi Timur 77 - 83 69 152 - - - -
9 Kupang Timur 64 95 130 37 262 - 154 51 205
10 Amabi O. Timur - - - - - - 11 - 11
11 Sulamu 607 461 401 230 1.092 - 11 174 185
12 Fatuleu - - - - - - 56 - 56
13 Fatuleu Barat 17 30 41 16 87 - - - -
14 Takari - - - - - - 55 - 55
15 Amfoang Selatan - - 15 33 48 - - - -
16 Amfoang B. Daya 64 35 132 59 226 - - - -
17 Amfoang Utara 125 32 55 81 168 - - - -
18 Amfoang B. Laut 41 90 170 77 337 - - - -
19 Amfoang Timur 122 30 89 62 181 - - - -
Jumlah 2.257 1.677 1.921 1.371 4.969 3.341 350 257 3.948
263

Lampiran 15 Hasil analisis kelayakan usaha budidaya laut di Kabupaten Kupang

A. Keramba jaring apung (ikan kerapu tikus)

(1) Perkiraan biaya investasi KJA


Komponen Volume Satuan Harga Satuan (Rp) Harga Total (Rp)
I. Pembuatan Rakit 1 unit
1. Pelampung Styrofoam 12 buah 250.000 3.000.000
2. Kayu Balok 15 batang 125.000 1.875.000
3. Papan Pijakan 24 lembar 40.000 960.000
4. Tali PE Pengikat Pelampung 1 gulung 75.000 75.000
5. Tali P12 mm 50 kg 20.000 1.000.000
6. Paku 10 kg 15.000 150.000
7. Baut 36 buah 7.500 270.000
8. Jangkar Besi 4 buah 150.000 600.000
9. Upah Kerja 1 unit 350.000 350.000
Jumlah I 8.280.000
II. Pembuatan Waring 16 unit
1. Waring 200 meter 5.000 1.000.000
2. Tali PE Diameter 0,6 cm 3 gulung 50.000 150.000
3. Upah Kerja 16 unit 25.000 400.000
Jumlah II 1.550.000
III. Pembuatan Jaring 8 unit
1. Jaring PE 1,25 - 1,5 Inchi 50 kg 75.000 3.750.000
2. Tali PE Diameter 0,8 cm 3 gulung 75.000 225.000
3. Upah Kerja 8 unit 35.000 280.000
Jumlah III 4.255.000
IV. Rumah Jaga 1 unit
1. Kayu Balok 20 batang 50.000 1.000.000
2. Papan 5 batang 15.000 75.000
3. Sesek Bambu (Dinding) 10 lembar 15.000 150.000
4. Paku 5 kg 15.000 75.000
5. Baut 15 buah 7.500 112.500
6.Upah Kerja 1 unit 350.000 350.000
Jumlah IV 1.762.500
V. Sarana Kerja
1. Perahu Motor 1 unit 7.500.000 7.500.000
2. Bak Penampung 3 buah 1.500.000 4.500.000
3. Peralatan Lapangan/Kerja 1 paket 750.000 750.000
Jumlah V 12.750.000
Total Biaya Investasi 28.597.500
KOMPONEN BIAYA INVESTASI : KOMPONEN BIAYA MODAL KERJA :
1. Pembuatan rakit berukuran 8 x 8 m 1. Pengadaan benih
2. Pembuatan waring 1 x 1 x 1.5 m 2. Pengadaan pakan
3. Pembuatan jaring 3 x 3 x 3 m 3. Bahan bakar
4. Pembuatan rumah jaga 4. Upah/gaji, dll
5. Pembuatan sarana kerja
264

(2) Perkiraan biaya operasional KJA


Komponen Volume Satuan Harga Satuan (Rp) Harga Total (Rp)
I. Biaya Variabel
1. Benih 2.500 ekor 7.500 18.750.000
2. Pakan Ikan Segar 4.000 kg 3.000 12.000.000
3. bahan Bakar + Lampu 1 paket 7.500.000 7.500.000
4. Es Balok 175 balok 7.500 1.312.500
5. Gaji dan Upah :
Pekerja = 2 orang x 12 bulan 24 OB 450.000 10.800.000
Teknisi = 1 orang x 12 bulan 12 OB 900.000 10.800.000
6. Perawatan (5% dari biaya investasi) 1 paket 1.429.875 1.429.875
7. Biaya lain-lain (10% dari biaya investasi) 1 paket 6.259.238 6.259.238
Total Biaya Variabel 68.851.613
II. Biaya Tetap
1. Penyusutan (kurun waktu 5 tahun) 5.719.500
2. Angsuran 3.000.000
3. Bunga Pinjaman (18% per tahun) 2.700.000
Total Biaya Tetap 11.419.500
Total Biaya Operasional 80.271.113

(3) Perkiraan biaya dan penerimaan KJA (Rp. 000,-)


Tahun Ke-
Uraian
0 1 2 3 4 5
BIAYA INVESTASI
1. Pembuatan Rakit 8.280
2. Pembuatan Waring 1.550
3. Pembuatan Jaring 4.255
4. Pembuatan Rumah Jaga 1.762,5
5. Sarana Kerja 12.750
Total Biaya Investasi 28.597,5 2.625 2.756 2.894 3.039 3.191
BIAYA VARIABEL
1. Benih 18.750 19.688 20.672 21.705 22.791 23.930
2. Pakan Ikan Segar 12.000 12.600 13.230 13.892 14.586 15.315
3. Bahan Bakar + Lampu 7.500 7.875 8.269 8.682 9.116 9.572
4. Es Balok 1.312,5 1.378 1.447 1.519 1.595 1.675
5. Gaji dan Upah 21.600 22.680 23.814 25.005 26.255 27.568
6. Perawatan 1.430 1.502 1.577 1.655 1.738 1.825
7. Lain-lain 6.259 6.572 6.901 7.246 7.608 7.988
Total Biaya Variabel 68.851,5 72.295 75.910 79.704 83.689 87.873
BIAYA TETAP
1. Penyusutan 6.139 6.139 6.139 6.139 6.139
2. Angsuran 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000
3. Bunga Pinjaman 2.700 2.700 2.700 2.700 2.700
Total Biaya Tetap 11.839 11.839 11.839 11.839 11.839
Total Biaya 97.449 84.134 87.749 91.543 95.528 99.712
PENERIMAAN
Produksi (kg) 675 675 675 900 900
Harga per Kg 317 317 317 317 317
Penerimaan 213.975 213.975 213.975 285.300 285.300
265

(4) Proyeksi arus kas/cash flow KJA (Rp. 000,-)


Tahun Ke-
Uraian
- 1 2 3 4 5
CASH IN FLOW
Produksi (Kg) 675 675 675 900 900
Harga (Rp/Kg) 317 317 317 317 317
Penerimaan 213.975 213.975 213.975 285.300 285.300
CASH OUT FLOW
Biaya Investasi 28.597,5
Biaya Variabel 68.851,5 72.295 75.910 79.704 83.689 87.873
Penyusutan 5.719,5 5.719,5 5.719,5 5.719,5 5.719,5
Angsuran 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000
Bunga Pinjaman 2.700 2.700 2.700 2.700 2.700
Pajak (15%) 32.096 32.096 32.096 42.795 42.795
Total Biaya 97.449 115.811 119.426 123.220 137.904 142.088

SURPLUS/DEFISIT (97.449) 98.164 94.549 90.755 147.397 143.213


(97.449) 715 95.265 186.020 333.416 476.629

r rendah (15%) (97.449,00) 85.360,22 71.492,82 59.673,05 84.274,43 71.201,92


r (18%) (97.449,00) 83.190,04 67.903,80 55.236,45 76.025,47 62.599,50
r tinggi (20%) (97.449,00) 81.803,54 65.659,20 52.520,40 71.082,42 57.553,89
KESIMPULAN
NET B/C DF 18% 1,65 PBP 1,02 thn BEP (Kg) 333
NPV DF 18% 247.506
IRR 0,466 ROI (%) 64,77 BEP (Rp/Kg) 138

B. Rumput laut (metode longline)

(1) Perkiraan biaya investasi rumput laut


Uraian Volume Satuan Harga Satuan (Rp)Jumlah Biaya (Rp)
Biaya Investasi
1. Tali PE No. 10 (Tali Induk) 14 kg 32.000 448.000
2. Tali PE No. 8 (Tali Jangkar) 3 kg 32.000 96.000
3. Tali PE No. 5 (Tali Bentangan) 35 kg 32.000 1.120.000
4. Tali Rafia (Tali Ikatan Rumput Laut) 6 bantal 75.000 450.000
5. Perahu Sampan 1 unit 4.000.000 4.000.000
6. Timbangan Gantung (50Kg) 1 unit 200.000 200.000
7. Para-para 2 unit
a) Terpal/Tenda Penjemuran 8 x 10 m 2 lembar 168.000 336.000
b) Bambu 100 batang 15.000 1.500.000
c) Waring Hitam 2 pish 400.000 800.000
d) Balok 5 x 10 cm 30 batang 85.000 2.550.000
e) Upah kerja 2 unit 250.000 500.000
Total Biaya Investasi 11.800.000
266

(2) Perkiraan biaya operasional rumput laut


Komponen Volume Satuan Harga Satuan (Rp) Harga Total (Rp)
Biaya Produksi
1. Bibit Rumput Laut (bibit awal) 2.400 kg 4.000 9.600.000
2. Karung Jangkar 16 lembar 2.000 32.000
3. Botol Pelampung Aqua 1.000 buah 400 400.000
4. Pelampung Jergen (Induk dan Penunjang) 8 buah 15.000 120.000
5. Gaji dan Upah :
a). Jasa untuk pembibit 100 bentangan 2.000 200.000
b). Jasa tali bentangan 100 bentangan 2.000 200.000
Total Biaya Operasional 10.552.000

(3) Perkiraan panen dan penjualan rumput laut kering


Kegiatan Budidaya Tidak Melakukan Budidaya
Produksi
Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3 Siklus 4 Siklus 5 Siklus 6 Siklus 7Siklus 8 Siklus 9Siklus 10Siklus 11Siklus 12
Jumlah Ikatan 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 0 0 0 0 0 0
Berat per Ikat (kg) 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10 0,10
Jumlah Tali Bentangan 100 100 100 100 100 100 0 0 0 0 0 0
Jumlah Bibit (kg) 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 0 0 0 0 0 0
Kelipatan Panen (kali) 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
Hasil Budidaya 14.400 14.400 14.400 14.400 14.400 14.400 - - - - - -
Rendemen 12,50% 12,50% 12,50% 12,50% 12,50% 12,50% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
Hasil Produksi Kering (kg) 1.800 1.800 1.800 1.800 1.800 1.800 - - - - - -
Harga 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 0 0 0 0 0 0
Hasil Penjualan 18.000.000 18.000.000 18.000.000 18.000.000 18.000.000 18.000.000 - - - - - -
Total Biaya Produksi 10.552.000 10.552.000 10.552.000 10.552.000 10.552.000 10.552.000 - - - - - -
Surplus/Defisit 7.448.000 7.448.000 7.448.000 7.448.000 7.448.000 7.448.000 - - - - - -
267

(4) Proyeksi arus kas/cash flow rumput laut


Tahun Ke-
Uraian
0 1
CASH IN FLOW
Produksi Rumpu Laut Kering (kg) 10.800
Harga (Rp/kg) 10.000
Penerimaan 108.000.000
CASH OUT FLOW
Biaya Investasi 11.800.000
Biaya Produksi 63.312.000
Total Biaya 11.800.000 63.312.000

Surplus/Defisit (11.800.000) 44.688.000

r rendah (15%) (11.800.000) 38.859.130


r (18%) (11.800.000) 37.871.186
r tinggi (20%) (11.800.000) 37.240.000
KESIMPULAN
NET B/C DF 18% 1,44 PBP (Thn) 0,5 BEP (Kg) 7.511
NPV DF 18% 26.071.186
IRR 0,986 ROI (%) 43,79 BEP (Rp/Kg) 6.955
C. Tiram mutiara (Pinctada maxima)

(1) Perkiraan biaya operasional tiram mutiara


Komponen Volume Satuan Harga Satuan (Rp) Harga Total (Rp)
BIAYA PRODUKSI
I. Pembelian Bahan Baku
1. Kerang anakan (spat ) 5.000 ekor 2.500 12.500.000
2. Inti bundar (nukleus ) 10 kg 4.000.000 40.000.000
Total Biaya Pembelian Bhn Baku 52.500.000
II. Tenaga Kerja
1. Tenaga Kerja Tetap
a) Jumlah 5 orang
b) Bulan kerja 12 bulan
c) Gaji 1.500.000 Rp/bln
Jumlah Gaji Tenaga Kerja Tetap 90.000.000
2. Tenaga Kerja TidakTetap/panen
a) Jumlah 3 orang
b) Jumlah Hari 365 hari
c) Upah 15.000 Rp/hari
Jumlah Gaji Tenaga Kerja Tak Tetap 16.425.000
3. Tenaga Keamanan
a) Jumlah 9 orang
b) Jumlah Hari 12 bulan
c) Upah 1.200.000 Rp/bln
Jumlah Gaji Tenaga Keamanan 129.600.000
Total Biaya Tenaga Kerja Per Tahun 236.025.000
III. Bola Lampu Sorot 2 unit 150.000 300.000
Total Biaya Produksi per Tahun 288.825.000
IV. Penyuntikan/Operasi Tiram Mutiara
1. Tiram Mutiara 5.000 tiram
2. Periode Operasi (1,5thn : 1thn : 1thn) 1 kali
3. Harga per operasi 10.000
Total Biaya Operasi PenyuntikanPer Tahun 50.000.000
Total Biaya Operasional Per Tahun 338.825.000
268

(2) Total aliran kas tiram mutiara


No Pendapatan & Pengeluaran Nilai (Rp)
1 Pendapatan
Penjualan mutiara 5.250.000.000
2 Pengeluaran
a) Investasi
1. Perijinan 25.000.000
2. Sewa tanah & bangunan 75.000.000
3. Konstruksi tambak 59.700.000
4. Peralatan budidaya mutiara 110.100.000
5. Bangunan 156.000.000
Jlh biaya investasi 425.800.000
b) Biaya operasional dll
1. Biaya pembelian spat 12.500.000
2. Biaya pembelian nukleus 40.000.000
3. Perawatan benih sampai operasi -
4. Biaya tng kerja tetap 450.000.000
5. Biaya tng kerja tdk tetap 82.125.000
6. Biaya tng keamanan 648.000.000
7. Biaya bola lampu sorot 1.500.000
8. Biaya operasional dll 150.000.000
Jlh biaya operasional 1.384.125.000
3 Surplus/Defisit 3.440.075.000
(3) Proyeksi arus kas/cash flow tiram mutiara
Tahun Ke-
Uraian
0 1 2 3 4 5
CASH IN FLOW
Produksi (gr) 0 0 0 5833,33 5833,33 5833,33
Harga (Rp/gr) 300.000 300.000 300.000
Penerimaan 1.750.000.000 1.750.000.000 1.750.000.000
CASH OUT FLOW
Biaya Investasi 425.800.000
Biaya Produksi 288.825.000 288.825.000 288.825.000 288.825.000 288.825.000 288.825.000
Penyusutan 84.960.000 84.960.000 84.960.000 84.960.000 84.960.000
Biaya Penyuntikan 50.000.000 50.000.000 50.000.000
Angsuran (17%) 110.282.200 110.282.200 110.282.200 110.282.200 110.282.200
Total Biaya 714.625.000 484.067.200 534.067.200 534.067.200 534.067.200 484.067.200

SURPLUS/DEFISIT per tahun (714.625.000) (484.067.200) (534.067.200) 1.215.932.800 1.215.932.800 1.265.932.800


Kumulatrif Surplus/defisit (714.625.000) (1.198.692.200) (1.732.759.400) (516.826.600) 699.106.200 1.965.039.000

r15% (714.625.000) (420.928.000) (403.831.531) 799.495.554 695.213.525 629.392.337


r17% (714.625.000) (413.732.650) (390.143.327) 759.192.639 648.882.597 577.406.068
r20% (714.625.000) (403.389.333) (370.880.000) 703.664.815 586.387.346 508.750.000
KESIMPULAN
NET B/C DF 17% 1,60 PBP Usaha 4,0 thn BEP (gram) 3.650
NPV DF 17% 466.980.328 PBP Kredit 3,7 thn
IRR 25,639% BEP (Rp/gram) 37.542
269

D. Teripang putih/susu (metode penculture)

(1) Perkiraan biaya investasi teripang putih/susu


Uraian Volume Satuan Harga Satuan (Rp) Jumlah Biaya (Rp) Penyusutan (3Thn)
Biaya Investasi
1. Kayu 30 batang 20.000 600.000 200.000
2. Jaring 120 kg 55.000 6.600.000 2.200.000
3. Tali PE 3 kg 32.000 96.000 32.000
Total Investasi 7.296.000 2.432.000

(2) Perkiraan biaya operasional dan penerimaan teripang putih/susu


Komponen Volume Satuan Harga Satuan (Rp) Harga Total (Rp)
Biaya Produksi
1. Bibit 7.500 ekor 6.000 45.000.000
2. Pakan tambahan 2.000 kg 1.500 3.000.000
3. Tenaga kerja 1 orang 1.500.000 1.500.000
4. Penyusutan investasi 2.432.000
5. Perawatan penkultur 1 paket 500.000 500.000
6. Biaya pengeringan 1 paket 1.000.000 1.000.000
Total Biaya Produksi 53.432.000
Perkiraan Biaya dan Penerimaan
Uraian Volume Satuan Harga Satuan (Rp) Harga Total (Rp)
Hasil Penjualan 120 kg 650.000 78.000.000
(4) Proyeksi arus kas/cash flow teripang putih/susu
Tahun Ke-
Uraian
0 1 2 3
CASH IN FLOW
Produksi Teripang (kg) 120 120 120
Harga (Rp/kg) 650.000 650.000 650.000
Penerimaan 78.000.000 78.000.000 78.000.000
CASH OUT FLOW
Biaya Investasi 7.296.000
Biaya Produksi 53.432.000 58.775.200 64.652.720
Penyusutan 2.432.000 2.432.000 2.432.000
Total Biaya 7.296.000 55.864.000 61.207.200 67.084.720

SURPLUS/DEFISIT (7.296.000) 22.136.000 16.792.800 10.915.280


(7.296.000) 14.840.000 31.632.800 42.548.080

r rendah (15%) (7.296.000) 19.248.696 12.697.769 7.176.974


r (18%) (7.296.000) 18.759.322 12.060.327 6.643.376
r tinggi (20%) (7.296.000) 18.446.667 11.661.667 6.316.713
KESIMPULAN
NET B/C DF 18% 1,22 PBP Tahun ke- 1 BEP (Kg) 98,18
NPV DF 18% 30.167.026
IRR 0,740 ROI (%) 22,22 BEP (Rp/Kg) 177.270,30
270

Lampiran 16 Nilai strata masing-masing kecamatan di Kabupaten Kupang


berdasarkan hasil analisis tipologi

Penilaian
No Indikator Skor
Kupang Barat Semau Sulamu
1 Komoditas Unggulan
a) Satu jenis komoditas 1
1 1 3
b) Lebih dari satu jenis komoditas 2
c) Komoditas unggulan dan produk olahannya 3
2 Kelembagaan Pasar
a) Menampung hasil dari sebagian kecil kawasan 1
b) Menampung hasil dari sebagian besar kawasan 2 1 1 1
c) Menampung hasil dari kawasan minapolitan dan luar kawasan 3
3 Kelembagaan Nelayan/Pembudidaya
a) Kelompok nelayan/pembudidaya 1
b) Gabungan kelompok nelayan/pembudidaya 2 3 1 1
c) Koperasi (Credit Union / CU) 3
4 Kelembagaan Balai Penyuluh Perikanan (BPP)
a) BPP sebagai Balai Penyuluh Perikanan 1
b) BPP sebagai Balai Penyuluh Minabisnis 2 1 1 1
c) BPP sebagai Balai Penyuluh Pembangunan 3
5 Sarana dan Prasarana
1. Aksesbilitas ke/di sentra produksi
a) Kurang 1
b) Sedang 2 3 3 3
c) Baik 3
2. Sarana dan prasarana umum
a) Kurang 1
b) Sedang 2 2 1 1
c) Baik 3
3. Sarana dan prasarana kesejahteraan sosial
a) Kurang 1
b) Sedang 2 1 1 1
c) Baik 3
Jumlah Skor Maksimal : 12 9 11
Sumber : Deptan, 2002 dan Data Olahan
Keterangan :
Skor 1 -7 = Strata Pra Kawasan Minapolitan I
Skor 8 -14 = Strata Pra Kawasan Minapolitan II
Skor 15 -21 = Strata Pra Kawasan Minapolitan
271

Lampiran 17 Hasil analisis komponen utama (aku) terhadap variabel yang


berpengaruh pada tipologi Kabupaten Kupang

Eigenanalysis of the Correlation Matrix

Eigenvalue 8.5958 5.4042 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000


Proportion 0.614 0.386 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Cumulative 0.614 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Eigenvalue 0.0000 -0.0000 -0.0000 -0.0000 -0.0000 -0.0000


Proportion 0.000 -0.000 -0.000 -0.000 -0.000 -0.000
Cumulative 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6


Jumlah penduduk (jiwa) 0.285 -0.236 0.154 0.156 -0.129 0.222
Jarak kec ke kab (km) 0.339 0.042 -0.161 -0.217 -0.376 -0.367
Jumlah kepala keluarga (KK) 0.299 -0.207 0.085 -0.014 0.240 0.380
Sarana & prasrna umum (unit)0.328 0.119 0.482 0.404 -0.152 -0.387
Sarana & prasrna bud (unit) 0.337 -0.063 -0.108 -0.207 0.161 -0.255
Jumlah komoditas bud laut 0.306 -0.190 0.114 -0.243 0.317 0.052
Keluarga pemakai PLN (KK) -0.105 -0.409 0.211 0.207 0.482 -0.290
Desa/kel terpencil (desa) -0.151 -0.386 -0.322 0.474 -0.043 -0.322
Jumlah kel prasehtra (KK) 0.338 -0.054 -0.110 0.419 0.018 0.375
Jumlah keluarga sjhtra (KK) 0.148 -0.388 0.271 -0.151 -0.534 0.073
Jumlah pembudidya rl (jiwa)-0.293 -0.221 0.157 -0.007 -0.184 0.301
Potensi Lahan Bud Laut (Ha)-0.168 -0.374 0.273 -0.415 0.072 -0.169
Luas Lhn Pmanfaatn bl (Ha) 0.118 -0.403 -0.582 -0.079 -0.112 -0.003
Produksi Rumput Laut (ton) -0.318 -0.156 0.124 0.136 -0.252 0.038

Variable PC7 PC8 PC9 PC10 PC11 PC12


Jumlah penduduk (jiwa) 0.717 -0.275 -0.058 -0.057 0.322 -0.213
Jarak kec ke kab (km) 0.188 0.032 0.461 -0.332 -0.345 0.069
Jumlah kepala keluarga (KK)-0.328 -0.236 0.375 -0.022 0.156 0.396
Sarana & prsrna umum (unit)-0.203 -0.190 0.049 0.198 -0.064 -0.013
Sarana & prasrna bud (unit)-0.392 -0.187 -0.197 -0.151 0.287 -0.584
Jumlah komoditas bud laut 0.101 -0.075 0.108 0.483 -0.361 -0.007
Keluarga pemakai PLN (KK) 0.074 0.125 0.017 -0.572 -0.033 0.143
Desa/kel terpencil (desa) -0.005 0.138 0.216 0.434 0.144 -0.040
Jumlah kel prasejhtra (KK) -0.089 0.359 -0.254 -0.127 -0.498 -0.236
Jumlah kel sejhtra (KK) -0.231 0.367 -0.237 -0.018 0.239 0.244
Jumlah pembudidy rl (jiwa) -0.180 0.031 0.565 -0.090 -0.039 -0.528
Potensi Lahan Bud Laut (Ha) 0.117 0.126 -0.167 0.197 -0.249 -0.144
Luas Lhn Pmanfaatn bl (Ha) -0.070 -0.251 -0.142 -0.027 -0.067 0.112
Produksi Rumput Laut (ton) -0.141 -0.643 -0.236 -0.109 -0.376 0.052

Variable PC13 PC14


Jumlah penduduk (jiwa) -0.063 0.020
Jarak kec ke kab (km) -0.134 0.183
Jumlah kepala keluarga (KK) -0.413 0.043
Sarana & prasarana umum (unit) 0.040 -0.430
Sarana & prasarana bud (unit) -0.060 0.242
Jumlah komoditas budidaya laut 0.496 0.240
Keluarga pemakai PLN (KK) 0.219 -0.002
Desa/kel terpencil (desa) -0.174 0.296
Jumlah kel prasejahtera (KK) -0.179 0.030
Jumlah keluarga sejahtera (KK) 0.220 0.179
Jumlah pembudidaya rl (jiwa) 0.203 -0.186
Potensi Lahan Bud Laut (Ha) -0.562 -0.238
Luas Lhn Pmanfaatn bl (Ha) 0.199 -0.567
Produksi Rumput Laut (ton) -0.026 0.360

———Data diolah dengan Minitab 15 pada tanggal 9/19/2011 10:57:57 PM——


272

Lampiran 18 Karakteristik desa-desa pesisir di Kabupaten Kupang

Variabel
No Desa
a b c d e f
Kecamatan Kupang Barat
1 Tablolong 9,01 1010 201 484 14,5 35,5
2 Lifuleo 6,8 986 90 175 15,5 32,5
3 Tesabela 21,48 1015 122 259 10,5 28,5
4 Sumlili 14,4 1492 210 346 5 29
5 Oematnunu 20,89 1643 215 368 6,5 30,5
6 Kuanheun 21,46 1336 195 229 6,5 20,5
7 Nitneo 5,86 1073 218 255 6 24,5
8 Bolok 12,76 2273 405 736 6,5 19
9 Oenaek 14,32 567 96 138 8,5 32,5
Kecamatan Semau
1 Bokonusan 21,25 978 78 493 9 36
2 Otan 14,81 767 146 636 4 32
3 Uitao 12,26 745 307 473 1 28
4 Huilelot 23,56 699 122 331 4 17
5 Uiasa 23,58 1153 258 381 10 14
6 Hansisi 19,76 1276 196 673 12 12
7 Batuinan 5,13 333 0 198 8 36
8 Letbaun 23,07 474 0 121 8 28
Kecamatan Sulamu
1 Sulamu 33,03 4589 463 932 2 84
2 Pitai 30,49 942 82 246 9 73
3 Pariti 59,28 3203 245 1276 24 58
4 Oeteta 42,34 2435 202 1030 27 55
5 Bipolo 41,47 1792 214 567 33 49
6 Pantulan 33,03 1134 0 174 17 101
7 Pantai Beringin 30,48 515 0 177 15 67
Sumber : Kecamatan Kupang Barat, Semau, Sulamu dalam angka 2010 serta data diolah
Keterangan :
a. Luas desa (km 2 )
b. Jumlah penduduk (jiwa)
c. Jumlah keluarga memakai PLN (KK)
d. Jumlah sarana & prasarana umum (unit)
e. Jarak ke ibukota kecamatan (km)
f. Jarak ke ibukota kabupaten (km)
273

Lampiran 19 Tingkat perkembangan desa di Kabupaten Kupang berdasarkan


hasil analisis sentralitas

Sumber : Data olahan tahun 2009


274
Lampiran 20 Nilai skor pendapat pakar existing condition dimensi keberlanjutan budidaya Laut di Kabupaten Kupang

DIMENSI EKOLOGI
No ATRIBUT KETERANGAN SKOR BAIK BURUK
1 Status kepemilikan usaha budidaya laut (0) menyewa lahan, (1) menggarap, (2) milik sendiri 1 2 0
2 Frekuensi kejadian kekeringan (0) sering, (1) kadang-kadang, (2) tidak pernah terjadi kekeringan 2 2 0
3 Frekuensi kejadian banjir (0) sering, (1) kadang-kadang, (2) tidak pernah terjadi kekeringan 2 2 0
4 Kondisi sarana jalan desa (0) sangat jelek, (1) jelek, (2) agak baik, (3) baik 2 3 0
5 Produktivitas usaha budidaya laut (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 2 3 0
6 Penggunaan benih/bibit (0) tidak pernah, (1) kadang-kadang, (2) sering 2 2 0
7 Daya dukung lahan budidaya laut (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi 2 2 0
8 Kondisi prasarana jalan usaha budidaya laut (0) sangat jelek, (1) jelek, (2) agak baik, (3) baik 2 3 0
9 Kesesuaian perairan untuk budidaya laut (0) tidak sesuai, (1) sesuai bersyarat, (2) sesuai, (3) sangat sesuai 2 3 0
10 Ketersediaan benih/bibit budidaya laut (0) tidak tersedia, (1) tersedia 0 1 0

DIMENSI EKONOMI
No ATRIBUT KETERANGAN SKOR BAIK BURUK
1 Jumlah pasar (0) tidak ada, (1) ada pada desa tertentu, (2) tersedia di setiap desa 1 2 0
2 Pemasaran produk perikanan (0) pasar lokal, (1) pasar nasional, (2) pasar internasional 1 2 0
3 Persentase penduduk miskin (0) sangat tinggi, (1) tinggi, (2) sedang, (3) rendah 2 3 0
4 Harga komoditas unggulan (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 2 3 0

5 Jumlah tenaga kerja pembudidaya (0) sedikit, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 2 3 0
6 Kelayakan usaha budidaya laut (0) tidak layak, (1) agak layak, (2) layak 2 2 0
7 Jenis komoditas unggulan (0) hanya satu, (1) lebih dari satu, (2) banyak 1 2 0
Kontribusi sektor perikanan budidaya laut
8 (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi 2 2 0
terhadap PDRB
9 Tingkat ketergantungan konsumen (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 2 3 0
10 Keuntungan usaha budidaya (0) tidak untung, (1) agak untung, (2) untung 2 2 0
……bersambung ke halaman berikut
DIMENSI SOSIAL-BUDAYA
No ATRIBUT KETERANGAN SKOR BAIK BURUK
(0) dibawah rata-rata nasional, (1) sama dengan rata-rata nasional , (2)
1 Tingkat pendidikan formal masyarakat 0 2 0
diatas rata-rata nasional
Tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor
2 (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 2 3 0
perikanan
3 Jarak permukiman ke kawasan budidaya (0) jauh, (1) sedang, (2) dekat 2 2 0
Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) kurang optimal, (3) berjalan
4 1 3 0
budidaya laut optimal
Jumlah desa dan penduduk yang bekerja di
5 (0) tidak ada, (1) desa tertentu saja, (2) semua desa 1 2 0
sektor budidaya laut
Peran masyarakat adat dalam kegiatan
6 (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 3 3 0
budidaya laut
Pola hubungan masyarakat dalam kegiatan
7 (0) tidak saling menguntungkan, (1) saling menguntungkan 1 1 0
budidaya laut
Akses masyarakat dalam kegiatan budidaya
8 (0) tidak punya akses, (1) rendah, (2) sedang, (3) tinggi 3 2 0
laut
Presentasi desa yang tidak memiliki akses
9 (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 0 3 0
penghubung
DIMENSI INFRASTRUKTUR DAN TEKNOLOGI
No ATRIBUT KETERANGAN SKOR BAIK BURUK
1 Ketersediaan basis data budidaya laut (0) tidak tersedia, (1) tersedia 1 1 0
2 Tingkat penguasaan teknologi budidaya laut (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 1 3 0
Dukungan sarana & prasarana umum
3 (0) tidak lengkap, (1) cukup lengkap, (2) lengkap 1 2 0
(kesehatan, pendidikan, tempat ibadah, dll)
4 Dukungan sarana & prasarana jalan (0) tidak memadai, (1) cukup memadai, (2) sangat memadai 1 2 0
(0) belum diterapkan, (1) diterapkan pada produk tertentu, (2) diterapkan
5 Standarisasi mutu produk budidaya laut 1 2 0
untuk semua produk
Penggunaan alat & mesin budidaya laut
6 (0) tidak ada, (1) sebagian kecil, (2) umumnya menggunakan 2 2 0
(perahu, sampan, jaring, dll)
Ketersediaan industri pengolahan hasil
7 (0) tidak tersedia, (1) tersedia 0 1 0
budidaya laut

275
276
8 Ketersediaan teknologi informasi budidaya (0) tidak tersedia, (1) tersedia tapi tidak optimal, (2) tersedia optimal 1 2 0
(0) belum diterapkan, (1) diterapkan pada produk tertentu, (2) diterapkan
9 Penerapan sertifikasi produk budidaya laut 0 2 0
pada semua produk
10 Teknologi pakan/bibit/benih (0) tidak tersedia, (1) tersedia 0 1 0
DIMENSI HUKUM DAN KELEMBAGAAN
No ATRIBUT KETERANGAN SKOR BAIK BURUK
1 Keberadaan Balai Penyuluh Perikanan (BPP) (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) ada dan berjalan 1 2 0
2 Keberadaan lembaga sosial (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) ada dan berjalan 1 2 0
3 Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) ada dan berjalan 1 2 0
Keberadaan Lembaga Kelompok Nelayan
4 (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) ada dan berjalan 2 2 0
(LKN)
Mekanisme kerjasama lintas sektoral dalam
5 (0) tidak ada, (1) ada 0 1 0
pengembangan kawasan minapolitan
Ketersediaan peraturan perundang-undang
6 (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) ada dan berjalan 1 2 0
pengembangan kawasan minapolitan
7 Sinkronisasi antara kebijakan pusat & daerah (0) tidak sinkron, (1) kurang sinkron, (2) sinkron 2 2 0
8 Ketersediaan perangkat hukum adat/agama (0) tidak ada, (1) cukup tersedia, (2) sangat lengkap 1 2 0
9 Badan pengelola usaha budidaya laut (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) ada dan berjalan 0 2 0
277

Lampiran 21 Nilai indeks lima dimensi keberlanjutan wilayah Kabupaten Kupang

A. Dimensi ekologi
60
UP

40

20

BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120

-20

Real Index
-40
References

Anchors
DOWN
-60
Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi (72.26%)

B. Dimensi ekonomi
60
UP

40

20

BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40 Real Index


References
Anchors
DOWN
-60
Dimensi Keberlanjutan Dimensi Ekonomi (62.84% )
278

C. Dimensi sosial – budaya


60
UP

40

20

BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40 Real Index


References
Anchors
DOWN
-60
Status Keberlannjutan Dimensi Sosial dan Budaya (78.67%)

D. Dimensi infrastruktur dan teknologi


60
UP

40

20

BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40 Real Fisheries

References

Anchors
DOWN
-60
Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi (46.93%)
279

E. Dimensi hukum dan kelembagaan


60
UP

40

20

BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40 Real Index


References
Anchors
DOWN
-60
Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan (49.84% )

F. Multidimensi
RAPMINAKU Ordination
60
UP

40
Other Distingishing Features

20

BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120

-20

Real Index
-40
References
Anchors
DOWN
-60
Status Keberlanjutan Multidimensi (59.36% )
280

Lampiran 22 Persamaan model dinamis pengembangan minapolitan berbasis


budidaya rumput laut di Kabupaten Kupang

init L_Budidaya = 3.23 aux Laju_Emigrasi = PDDK*F_Emigrasi


flow L_Budidaya = - aux Laju_Imigrasi = PDDK*F_Imigrasi
dt*Lj_Pngurngn_LBd+dt*L_lhn_Budidaya aux Laju_Peng_Pddk = PDDK*F_Kematian
doc L_Budidaya = Luas Lahan Budidaya aux Laju_Pert_Pddk = PDDK*F_Kelahiran
Rumput Laut per Tahun di Kecamatan aux Lj_Pngurngn_LBd =
Kupang Barat IF(L_lhn_Budidaya>0,
init L_Budidaya_Moderat = 3.23 L_Budidaya*L_fasilitas, 0)
flow L_Budidaya_Moderat = - aux Lj_Pngurngn_LBd_1 =
dt*Rate_38+dt*L_lhn_Budidaya_2 IF(L_lhn_Budidaya_3>0,
doc L_Budidaya_Moderat = Luas Lahan L_Budidaya_Pesimis*L_fasilitas_3, 0)
Budidaya Rumput Laut per Tahun di aux Rate_37 = IF(L_lhn_Budidaya_1>0,
Kecamatan Kupang Barat L_Budidaya_Optimis*L_fasilitas_1, 0)
init L_Budidaya_Optimis = 3.23 aux Rate_38= IF(L_lhn_Budidaya_2>0,
flow L_Budidaya_Optimis = - L_Budidaya_Moderat*L_fasilitas_2, 0)
dt*Rate_37+dt*L_lhn_Budidaya_1 aux Diolah = Panen_kering*persen_di_olah
doc L_Budidaya_Optimis = Luas Lahan aux Diolah_1 =
Budidaya Rumput Laut per Tahun di Panen_kering_Optimis*persen_di_olah_1
Kecamatan Kupang Barat aux Diolah_2 =
init L_Budidaya_Pesimis = 3.23 Panen_kering_Moderat*persen_di_olah_2
flow L_Budidaya_Pesimis = aux Diolah_3 =
+dt*L_lhn_Budidaya_3- Panen_kering_Pesimis*persen_di_olah_3
dt*Lj_Pngurngn_LBd_1 aux jlh_petakan =
doc L_Budidaya_Pesimis = Luas Lahan L_Budidaya/luas_per_petakan
Budidaya Rumput Laut per Tahun di aux Jual_Kering =
Kecamatan Kupang Barat Panen_kering*persen_jual_kering
init L_Industri = 0 aux Jual_Kering_1 =
flow L_Industri = +dt*L_pert_Lhn_Ind Panen_kering_Optimis*persen_jual_kerin
doc L_Industri = Pertambahan Lahan Industri g_1
Pengolahan per Tahun aux Jual_Kering_2 =
init L_Permukiman = 14342*20/1000000 Panen_kering_Moderat*persen_jual_kerin
flow L_Permukiman = +dt*L_lhn_Permukiman g_2
doc L_Permukiman = Pertambahan Lahan aux Jual_Kering_3 =
Permukiman per Tahun Panen_kering_Pesimis*persen_jual_kerin
init PDDK = 14342 g_3
flow PDDK = +dt*Laju_Pert_Pddk aux jumlah_petakan_1 =
+dt*Laju_Imigrasi-dt*Laju_Emigrasi L_Budidaya_Optimis/luas_per_petakan_1
-dt*Laju_Peng_Pddk aux jumlah_petakan_2 =
doc PDDK = Jumlah Penduduk Kecamatan L_Budidaya_Moderat/luas_per_petakan_2
Kupang Barat Tahun 2007 aux jumlah_petakan_3 =
aux L_lhn_Budidaya = L_Budidaya_Pesimis/luas_per_petakan_3
IF(L_Budidaya<Total_lahan_BD, aux ke_ten_kerja_RT_pillus =
FLBud*BD_existing, 0/L_Budidaya) Keb_industri_RT_Pillus*ten_kerja_per_RT
aux L_lhn_Budidaya_1 = _Pillus
IF(L_Budidaya_Optimis<Total_lahan_BD_ aux ke_ten_kerja_RT_pillus_1 =
1, FLBud_1*BD_existing_1, Keb_industri_RT_Pillus_1*ten_kerja_per_
0/L_Budidaya_Optimis) RT_Pillus_1
aux L_lhn_Budidaya_2 = aux ke_ten_kerja_RT_pillus_2 =
IF(L_Budidaya_Moderat<Total_lahan_BD Keb_industri_RT_Pillus_2*ten_kerja_per_
_2, FLBud_2*BD_existing_2, RT_Pillus_2
0/L_Budidaya_Moderat) aux ke_ten_kerja_RT_pillus_3 =
aux L_lhn_Budidaya_3 = Keb_industri_RT_Pillus_3*ten_kerja_per_
IF(L_Budidaya_Pesimis<Total_lahan_BD_ RT_Pillus_3
3, FLBud_3*BD_existing_3, aux keb_ind_RT_dodol =
0/L_Budidaya_Pesimis) (RL_utk_dodol*1000)/kap_prod_industri_
aux L_lhn_Permukiman = RT_dodol
Faktor_permukiman*PDDK*pengali_perm aux keb_ind_RT_dodol_1 =
ukiman (RL_utk_dodol_1*1000)/kap_prod_industri
aux L_pert_Lhn_Ind = _RT_dodol_1
((keb_ind_RT_dodol+Keb_industri_RT_Pil
lus)*luas_RT_Industri)
281

aux keb_ind_RT_dodol_2 = per_kg_1)-


(RL_utk_dodol_2*1000)/kap_prod_industri (RL_utk_dodol_1*1000*Biaya_prod_dodol
_RT_dodol_2 _per_Kg_1)
aux keb_ind_RT_dodol_3 = aux Keuntungan_Dodol_2 =
(RL_utk_dodol_3*1000)/kap_prod_industri (RL_utk_dodol_2*1000*harga_jual_dodol_
_RT_dodol_3 per_kg_2)-
aux Keb_industri_RT_Pillus = (RL_utk_dodol_2*1000*Biaya_prod_dodol
(RL_utk_pillus*1000)/kap_prod_industri_R _per_Kg_2)
T_Pillus aux Keuntungan_Dodol_3 =
aux Keb_industri_RT_Pillus_1 = (RL_utk_dodol_3*1000*harga_jual_dodol_
(RL_utk_pillus_1*1000)/kap_prod_industri per_kg_3)-
_RT_Pillus_1 (RL_utk_dodol_3*1000*Biaya_prod_dodol
aux Keb_industri_RT_Pillus_2 = _per_Kg_3)
(RL_utk_pillus_2*1000)/kap_prod_industri aux Keuntungan_jual_kering =
_RT_Pillus_2 (Jual_Kering*1000*harga_RL_kering/1000
aux Keb_industri_RT_Pillus_3 = )-
(RL_utk_pillus_3*1000)/kap_prod_industri (Jual_Kering*1000*biaya_prod_RL_kering
_RT_Pillus_3 _per_Kg)
aux keb_ten_kerja_RT_dodol = aux keuntungan_jual_kering_moderat =
keb_ind_RT_dodol*ten_kerja_per_RT_do (Jual_Kering_2*1000*harga_RL_kering/10
dol 00)-
aux keb_ten_kerja_RT_dodol_1 = (Jual_Kering_2*1000*biaya_prod_RL_keri
keb_ind_RT_dodol_1*ten_kerja_per_RT_ ng_per_Kg_2)
dodol_1 aux keuntungan_jual_kering_Optimis =
aux keb_ten_kerja_RT_dodol_2 = (Jual_Kering_1*1000*harga_RL_kering/10
keb_ind_RT_dodol_2*ten_kerja_per_RT_ 00)-
dodol_2 (Jual_Kering_1*1000*biaya_prod_RL_keri
aux keb_ten_kerja_RT_dodol_3 = ng_per_Kg_1)
keb_ind_RT_dodol_3*ten_kerja_per_RT_ aux keuntungan_jual_kering_pesimis =
dodol_3 (Jual_Kering_3*1000*harga_RL_kering/10
aux keb_tenaga_kerja_BD = 00)-
jlh_petakan*tenaga_per_petak (Jual_Kering_3*1000*biaya_prod_RL_keri
aux keb_tenaga_kerja_BD_1 = ng_per_Kg_3)
jumlah_petakan_1*tenaga_per_petak_1 aux Keuntungan_Pillus =
aux keb_tenaga_kerja_BD_2 = (RL_utk_pillus*1000*harga_jual_pillus_per
jumlah_petakan_2*tenaga_per_petak_2 _KG)-
aux keb_tenaga_kerja_BD_3 = (RL_utk_pillus*1000*biaya_prod_Pilus_pe
jumlah_petakan_3*tenaga_per_petak_3 r_Kg)
aux Kebutuhan_bibit_RL = aux keuntungan_pillus_1 =
L_Budidaya*bibit_per_km2 (RL_utk_pillus_1*1000*harga_jual_pillus_
aux Kebutuhan_bibit_RL_1 = per_KG_1)-
L_Budidaya_Optimis*bibit_per_km2_1 (RL_utk_pillus_1*1000*biaya_prod_Pilus_
aux Kebutuhan_bibit_RL_2 = per_Kg_1)
L_Budidaya_Moderat*bibit_per_km2_2 aux keuntungan_pillus_2 =
aux Kebutuhan_bibit_RL_3 = (RL_utk_pillus_2*1000*harga_jual_pillus_
L_Budidaya_Pesimis*bibit_per_km2_3 per_KG_2)-
aux Keuntungan_BD = Penerimaan_BD_RL- (RL_utk_pillus_2*1000*biaya_prod_Pilus_
Pengeluaran_BD_RL per_Kg_2)
aux keuntungan_BD_Moderat = aux keuntungan_pillus_3 =
Penerimaan_BD_RL_2- (RL_utk_pillus_3*1000*harga_jual_pillus_
Pengeluaran_BD_RL_2 per_KG_3)-
aux keuntungan_BD_Optimis = (RL_utk_pillus_3*1000*biaya_prod_Pilus_
Penerimaan_BD_RL_1- per_Kg_3)
Pengeluaran_BD_RL_1 aux L_Minapolitan = L_Budidaya+L_Industri
aux keuntungan_BD_Pesimis = aux lj_pengurangan_panen =
Penerimaan_BD_RL_3- (lj_pert_panen*persen_kematian)+Kebutu
Pengeluaran_BD_RL_3 han_bibit_RL
aux Keuntungan_Dodol = aux lj_pengurangan_panen_1 =
(RL_utk_dodol*1000*harga_jual_dodol_pe (lj_pert_panen_1*persen_kematian_1)+Ke
r_kg)- butuhan_bibit_RL_1
(RL_utk_dodol*1000*Biaya_prod_dodol_p aux lj_pengurangan_panen_2 =
er_Kg) (lj_pert_panen_2*persen_kematian_2)+Ke
aux Keuntungan_Dodol_1 = butuhan_bibit_RL_2
(RL_utk_dodol_1*1000*harga_jual_dodol_
282

aux lj_pengurangan_panen_3 = n_2*kenaikan_modal_2)+(jumlah_petakan


(lj_pert_panen_3*persen_kematian_3)+Ke _2*biaya_opr_per_petakan_2)
butuhan_bibit_RL_3 aux Pengeluaran_BD_RL_3 =
aux lj_pert_panen = (biaya_opr_per_petakan_3*jumlah_petaka
Kebutuhan_bibit_RL*jlh_panen_per_thn*k n_3*kenaikan_modal_3)+(jumlah_petakan
enaikan_berat _3*biaya_opr_per_petakan_3)
aux lj_pert_panen_1 = aux persen_jual_kering = 1-persen_di_olah
Kebutuhan_bibit_RL_1*jlh_panen_per_thn aux persen_jual_kering_1 = 1-
_1*kenaikan_berat_1 persen_di_olah_1
aux lj_pert_panen_2 = aux persen_jual_kering_2 = 1-
Kebutuhan_bibit_RL_2*jlh_panen_per_thn persen_di_olah_2
_2*kenaikan_berat_2 aux persen_jual_kering_3 = 1-
aux lj_pert_panen_3 = persen_di_olah_3
Kebutuhan_bibit_RL_3*jlh_panen_per_thn aux persen_pillus = 1-persen_dodol
_3*kenaikan_berat_3 aux persen_pillus_1 = 1-persen_dodol_1
aux Panen_kering = aux persen_pillus_2 = 1-persen_dodol_2
total_panen_per_thn*rendemen aux persen_pillus_3 = 1-persen_dodol_3
aux Panen_kering_Moderat = aux RL_utk_dodol = Diolah*persen_dodol
total_panen_per_thn_2*rendemen_2 aux RL_utk_dodol_1 =
aux Panen_kering_Optimis = Diolah_1*persen_dodol_1
total_panen_per_thn_1*rendemen_1 aux RL_utk_dodol_2 =
aux Panen_kering_Pesimis = Diolah_2*persen_dodol_2
total_panen_per_thn_3*rendemen_3 aux RL_utk_dodol_3 =
aux PDRB = Diolah_3*persen_dodol_3
Keuntungan_Dodol+Keuntungan_jual_keri aux RL_utk_pillus = Diolah*persen_pillus
ng+Keuntungan_Pillus aux RL_utk_pillus_1 =
aux PDRB_Moderat = Diolah_1*persen_pillus_1
Keuntungan_Dodol_2+keuntungan_jual_k aux RL_utk_pillus_2 =
ering_moderat+keuntungan_pillus_2 Diolah_2*persen_pillus_2
aux PDRB_Optimis = aux RL_utk_pillus_3 =
Keuntungan_Dodol_1+keuntungan_jual_k Diolah_3*persen_pillus_3
ering_Optimis+keuntungan_pillus_1 aux total_panen_per_thn = lj_pert_panen-
aux PDRB_Pesimis = lj_pengurangan_panen
Keuntungan_Dodol_3+keuntungan_jual_k aux total_panen_per_thn_1 =
ering_pesimis+keuntungan_pillus_3 lj_pert_panen_1-lj_pengurangan_panen_1
aux Penerimaan_BD_RL = aux total_panen_per_thn_2 =
Panen_kering*harga_RL_kering lj_pert_panen_2-lj_pengurangan_panen_2
doc Penerimaan_BD_RL = Penerimaan Panen aux total_panen_per_thn_3 =
RL Kering lj_pert_panen_3-lj_pengurangan_panen_3
aux Penerimaan_BD_RL_1 = const BD_existing = 3.23
Panen_kering_Optimis*harga_RL_kering_ doc BD_existing = Luas Eksisting Lahan
1 Budidaya di Kecamatan Kupang Barat
doc Penerimaan_BD_RL_1 = Penerimaan const BD_existing_1 = 3.23
Panen RL Kering doc BD_existing_1 = Luas Eksisting Lahan
aux Penerimaan_BD_RL_2 = Budidaya di Kecamatan Kupang Barat
Panen_kering_Moderat*harga_RL_kering const BD_existing_2 = 3.23
_2 doc BD_existing_2 = Luas Eksisting Lahan
doc Penerimaan_BD_RL_2 = Penerimaan Budidaya di Kecamatan Kupang Barat
Panen RL Kering const BD_existing_3 = 3.23
aux Penerimaan_BD_RL_3 = doc BD_existing_3 = Luas Eksisting Lahan
Panen_kering_Pesimis*harga_RL_kering_ Budidaya di Kecamatan Kupang Barat
3 const biaya_opr_per_petakan = 63312000
doc Penerimaan_BD_RL_3 = Penerimaan const biaya_opr_per_petakan_1 = 63312000
Panen RL Kering const biaya_opr_per_petakan_2 = 63312000
aux Pengeluaran_BD_RL = const biaya_opr_per_petakan_3 = 63312000
(biaya_opr_per_petakan*jlh_petakan*ken const Biaya_prod_dodol_per_Kg = 9259.5
aikan_modal)+(jlh_petakan*biaya_opr_per const Biaya_prod_dodol_per_Kg_1 = 9259.5
_petakan) const Biaya_prod_dodol_per_Kg_2 = 9259.5
aux Pengeluaran_BD_RL_1 = const Biaya_prod_dodol_per_Kg_3 = 9259.5
(biaya_opr_per_petakan_1*jumlah_petaka const biaya_prod_Pilus_per_Kg = 9259.5
n_1*kenaikan_modal_1)+(jumlah_petakan const biaya_prod_Pilus_per_Kg_1 = 9259.5
_1*biaya_opr_per_petakan_1) const biaya_prod_Pilus_per_Kg_2 = 9259.5
aux Pengeluaran_BD_RL_2 = const biaya_prod_Pilus_per_Kg_3 = 9259.5
(biaya_opr_per_petakan_2*jumlah_petaka

You might also like