Professional Documents
Culture Documents
2012 Cap
2012 Cap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc
2. Dr. Ir. Etty Riany, M.Si
NIM : P062090111
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng
Anggota Anggota
Diketahui,
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan anugerah yang diberikan penulis dapat menyelesaikan disertasi ini
dengan baik. Adapun judul disertasi yang diambil sebagai penelitian untuk
memperoleh gelar doktor ini adalah : “Model Pengembangan Minapolitan
Berbasis Budidaya Laut di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur”. Terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. D. Djoko Setiyanto, DEA, Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo,
MS. dan Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng selaku Komisi
Pembimbing, atas segala bimbingan dan arahan selama penulis melakukan
penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
2. Bupati Kupang, Drs. Ayub Titu Eki, MS, PhD atas dukungannya selama
melaksanakan penelitian di Kabupaten Kupang; Rektor Universitas Nusa
Cendana, Prof. Ir. Frans Umbu Datta, MAppSc, PhD dan Dekan Fakultas
Pertanian, Ir. Marthen R. Pellokila, MP, PhD yang telah memberikan ijin
belajar untuk melanjutkan studi program doktor di IPB.
3. Ayahanda George Mc. Paulus, MAppSc dan Ibunda Dra. Hanifa Z. Joesoef,
M.Si yang tiada lelah menuntun dan memberikan petuah dalam menempuh
pendidikan dan kehidupan selama ini, serta atas kasih sayang dan kesabaran
yang tiada tara; adik-adik penulis Harry Y.P., SH, John B.M.P, dan George
Y.P. yang menjadi pengobar semangat; dan segenap keluarga besar Paulus
dan Joesoef yang berada di Kupang – Jakarta atas doa dan dukungannya.
4. Para narasumber : Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD, Prof. Frederik L. Benu,
PhD, Thomas R. Sonbait, SH, MH, Ir. Hanna Sitanala, M.Si, Drs. Bernando M.
Gamboa, Adriel S. Abineno, SH, Agus Purwanto, S.Sos, Mester Eryon Bessie,
Novita D.E F., MT dan seluruh nelayan/pembudidaya di lokasi penelitian.
5. Kantor BALITBANGDA Provinsi NTT yang telah menerima dan akan memuat
jurnal hasil penelitian ini.
6. Program COREMAP II yang telah membantu penulisan karya ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih perlu mendapat
masukan konstruktif untuk kesempurnaannya. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Bogor, Juni 2012
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xix
1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
1.3 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 5
1.4 Perumusan Masalah ....................................................................... 8
1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................... 10
1.6 Kebaruan (Novelty)......................................................................... 11
1.7 Penelitian Terdahulu ....................................................................... 11
xii
8.3.3 Uji Validasi Model .............................................................. 210
8.3.4 Uji Kestabilan dan Sensitivitas Model ................................ 212
8.4 Kesimpulan .................................................................................... 213
xiii
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Keterkaitan antara sub elemen pada teknik ISM.................................. 43
2 Jenis dan metode pengumpulan data .................................................. 49
3 Tahapan dan metode analisis model pengembangan minapolitan....... 51
4 Rata-rata curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Kupang ............... 54
5 Jumlah ibukota kecamatan dan banyak desa/kelurahan...................... 55
6 Hasil evaluasi kesesuaian lahan budidaya rumput laut ........................ 75
7 Hasil evaluasi kesesuaian lahan budidaya KJA ................................... 76
8 Hasil evaluasi kesesuaian lahan budidaya tiram mutiara ..................... 77
9 Hasil evaluasi kesesuaian lahan budidaya teripang ............................. 77
10 Hasil analisis daya dukung lahan budidaya rumput laut....................... 78
11 Hasil analisis daya dukung lahan budidaya KJA .................................. 79
12 Hasil analisis daya dukung lahan budidaya tiram mutiara .................... 79
13 Hasil analisis daya dukung lahan budidaya teripang............................ 80
14 Perkiraan biaya investasi usaha budidaya ikan kerapu........................ 94
15 Analisis rugi laba usaha budidaya ikan kerapu .................................... 94
16 Kriteria kelayakan usaha budidaya ikan kerapu ................................... 94
17 Kriteria kelayakan usaha budidaya rumput laut ................................... 96
18 Asumsi dasar usaha budidaya tiram mutiara ....................................... 97
19 Kebutuhan investasi usaha budidaya tiram mutiara ............................. 98
20 Biaya operasional usaha budidaya tiram mutiara ................................ 98
21 Kriteria kelayakan usaha budidaya tiram mutiara ................................ 99
22 Kriteria kelayakan usaha budidaya teripang ........................................ 101
23 Skala penilaian perbandingan berpasangan ........................................ 107
24 Keragaman variabel yang menggambarkan perkembangan wilayah ... 113
25 Tipologi wilayah desa berdasarkan kemiripan karakteristik.................. 116
26 Hirarki wilayah desa berdasarkan kelengkapan fasilitas ...................... 119
27 Tingkat perkembangan desa berdasarkan analisis sentralitas ............. 121
28 Prioritas lokasi industri pengolahan hasil budidaya laut ....................... 136
29 Prakiraan lokasi pasar hasil budidaya laut ........................................... 137
30 Kategori status keberlanjutan berdasarkan nilai indeks ....................... 154
31 Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan minapolitan ...... 155
32 Pengaruh antar faktor dalam pengembangan minapolitan ................... 156
xv
33 Perbedaan indeks keberlanjutan monte carlo dan Rap-MINAKU ......... 169
34 Nilai stres dan koefisien determinasi hasil analisis Rap-MINAKU ........ 170
35 Faktor-faktor kunci dalam pengembangan minapolitan........................ 171
36 Analisis kebutuhan aktor dalam pengembangan minapolitan .............. 178
37 Simulasi perkembangan pemanfaatan lahan minapolitan di
Kecamatan Semau .............................................................................. 185
38 Simulasi perkembangan pemanfaatan lahan minapolitan di
Kecamatan Kupang Barat .................................................................... 186
39 Simulasi perkembangan pemanfaatan lahan minapolitan di
Kecamatan Sulamu ............................................................................. 187
40 Simulasi lahan budidaya rumput laut di Kecamatan Semau ................ 193
41 Simulasi lahan budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat ...... 194
42 Simulasi lahan budidaya rumput laut di Kecamatan Sulamu................ 195
43 Simulasi pengembangan industri rumput laut di Semau ...................... 197
44 Simulasi pengembangan industri rumput laut di Kupang Barat ............ 198
45 Simulasi pengembangan industri rumput laut di Sulamu ..................... 199
46 Simulasi sumbangan PDRB di kawasan minapolitan Semau............... 208
47 Simulasi sumbangan PDRB di kawasan minapolitan Kupang Barat .... 209
48 Simulasi sumbangan PDRB di kawasan minapolitan Sulamu .............. 209
49 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi ................... 211
50 Hasil perhitungan nilai AME-AVE dalam uji validasi kinerja model....... 212
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran penelitian ............................................................ 8
2 Skema perumusan masalah ................................................................ 10
3 Lokasi penelitian.................................................................................. 47
4 Tahapan perencanaan pengembangan minapolitan ............................ 48
5 Tahapan dan metode analisis data dalam penelitian ........................... 52
6 Peta kesesuaian budidaya rumput laut di Kecamatan Semau ............. 81
7 Peta kesesuaian budidaya rumput laut di Kecamatan Sulamu ............ 82
8 Peta kesesuaian budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat ... 83
9 Peta kesesuaian budidaya KJA di Kecamatan Semau ........................ 84
10 Peta kesesuaian budidaya KJA di Kecamatan Sulamu........................ 85
11 Peta kesesuaian budidaya KJA di Kecamatan Kupang Barat .............. 86
12 Peta kesesuaian budidaya mutiara di Kecamatan Semau ................... 87
13 Peta kesesuaian budidaya mutiara di Kecamatan Sulamu .................. 88
14 Peta kesesuaian budidaya mutiara di Kecamatan Kupang Barat ......... 89
15 Peta kesesuaian budidaya teripang di Kecamatan Semau .................. 90
16 Peta kesesuaian budidaya teripang di Kecamatan Sulamu ................. 91
17 Peta kesesuaian budidaya teripang di Kecamatan Kupang Barat ........ 92
18 Matrik driver power- dependence ........................................................ 111
19 Dendogram koefisien korelasi variabel penciri tipologi......................... 115
20 Tingkat pendidikan responden ............................................................. 122
21 Minapolitan dapat menciptakan lapangan kerja ................................... 123
22 Minapolitan dapat memberikan keuntungan ekonomi .......................... 123
23 Kondisi jalan kecamatan di Kabupaten Kupang ................................... 124
24 Pemberdayaan masyarakat dalam minapolitan di Kabupaten Kupang 124
25 Struktur hirarki pengembangan kawasan minapolitan.......................... 126
26 Manajemen pengembangan minapolitan berbasis budidaya laut ......... 127
27 Kontribusi setiap tujuan dalam pengembangan minapolitan ................ 128
28 Kontribusi setiap faktor dalam pengembangan minapolitan ................. 130
29 Kontribusi setiap aktor dalam pengembangan minapolitan .................. 133
3 0 Matrik driver power-dependence sub elemen kendala ......................... 140
31 Struktur hirarki sub elemen kendala .................................................... 142
32 Matrik driver power-dependence Sub Elemen Kebutuhan ................... 143
xvii
33 Struktur hirarki sub elemen kebutuhan ................................................ 145
34 Matrik driver power- dependence sub elemen lembaga....................... 147
35 Struktur hirarki sub elemen lembaga ................................................... 148
36 Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan dalam skala ordinasi ............ 154
37 Penentuan elemen kunci pengembangan kawasan minapolitan .......... 156
38 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan .................... 158
39 Peran masing-masing atribut aspek ekologi dalam bentuk rms ........... 159
40 Peran masing-masing atribut aspek ekonomi dalam bentuk rms ......... 161
41 Peran masing-masing atribut aspek sosial dan budaya dalam
bentuk rms .......................................................................................... 163
42 Peran masing-masing atribut aspek infrastruktur dan teknologi
dalam bentuk rms ................................................................................ 165
43 Peran masing-masing atribut aspek hukum dan kelembagaan
dalam bentuk rms ................................................................................ 167
44 Indeks keberlanjutan multidimensi wilayah Kabupaten Kupang ........... 169
45 Hasil analisis tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh ...... 173
46 Diagram lingkar sebab akibat pengembangan minapolitan .................. 179
47 Diagram kotak gelap (black box) pengembangan minapolitan ............. 179
48 Struktur model dinamik pengembangan minapolitan ........................... 183
49 Struktur model dinamik untuk sub model pengembangan lahan .......... 184
50 Simulasi jumlah pertumbuhan penduduk Kabupaten Kupang .............. 190
51 Struktur model dinamik untuk sub model budidaya laut ....................... 191
52 Struktur model dinamik untuk sub model pengembangan industri ....... 196
53 Simulasi skenario perubahan lahan budidaya laut ............................... 202
54 Simulasi skenario produksi rumput laut ............................................... 204
55 Simulasi skenario keuntungan usaha budidaya rumput laut ................ 206
56 Simulasi skenario sumbangan PDRB Kabupaten Kupang ................... 207
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Konstruksi alat budidaya laut ............................................................... 243
2 Kriteria dan matriks kesesuaian perairan ............................................. 246
3 Luas wilayah Kabupaten Kupang per kecamatan ................................ 250
4 Pulau-pulau di Kabupaten Kupang ...................................................... 251
5 Sebaran desa/kelurahan pesisir di Kabupaten Kupang ....................... 253
6 Karakteristik pantai dan laut dan ekosistem pendukungnya................. 254
7 Sebaran potensi perikanan tangkap (ikan dan non-ikan) ..................... 255
8 Sebaran areal potensial pengembangan budidaya laut ....................... 256
9 Sebaran potensi dan produksi budidaya air tawar dan payau .............. 257
10 Sarana dan prasarana budidaya laut ................................................... 258
11 Sarana dan prasarana penunjang pembangunan perikanan .............. 259
12 Jumlah RTP, nelayan dan pembudidaya ikan ...................................... 260
13 Sebaran nelayan di Kabupaten Kupang .............................................. 261
14 Sebaran pembudidaya ikan di Kabupaten Kupang .............................. 262
15 Hasil analisis kelayakan usaha budidaya laut ...................................... 263
16 Nilai strata kawasan minapolitan pada tipologi wilayah........................ 270
17 Hasil analisis komponen utama ........................................................... 271
18 Karakteristik desa di kecamatan – Kabupaten Kupang ........................ 272
19 Tingkat perkembangan desa berdasarkan hasil analisis sentralitas..... 273
20 Nilai skor pendapat pakar kondisi eksisting dimensi keberlanjutan ...... 274
21 Nilai indeks lima dimensi keberlanjutan di Kabupaten Kupang ............ 277
22 Asumsi model pengembangan minapolitan berbasis budidaya laut ..... 280
23 Hasil olahan dodol dan pilus dari rumput laut ..................................... 284
xix
xx
1 PENDAHULUAN
berbasis budidaya laut; (4) aspek kelembagaan dan hukum yang meliputi
kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan pemerintah yang terkait; dan (5)
aspek ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu metode analisis data. Keterpaduan
aspek-aspek di atas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis
budidaya laut dapat dimodelkan dalam suatu pengembangan kawasan
minapolitan berbasis budidaya laut secara berkelanjutan di Kabupaten Kupang.
Model pengembangan kawasan minapolitan berbasis budidaya laut ini nantinya
dapat menjadi arahan kebijakan pembangunan kawasan minapolitan di wilayah
perairan Kabupaten Kupang.
Potensi budidaya laut yang dapat dikembangkan sebagai basis kegiatan
perikanan dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan di wilayah
perairan Kabupaten Kupang antara lain adalah budidaya rumput laut, tiram
mutiara, teripang dan keramba jaring apung (KJA). Produksi maupun hasil
olahan dari budidaya laut tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di Kabupaten Kupang. Model pengembangan kawasan minapolitan
berbasis budidaya laut di Kabupaten Kupang dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk kebijakan pembangunan nasional di bidang kelautan dan
perikanan untuk wilayah pesisir lainnya. Kerangka pemikiran penelitian model
pengembangan kawasan minapolitan berbasis budidaya laut di lihat pada
Gambar 1.
8
melibatkan berbagai disiplin ilmu terkait dengan pesisir dan lautan, seperti ilmu
sosial-budaya, fisika, biologi, keteknikan, ekologi, hukum dan kelembagaan; (e)
keterpaduan antar negara, yaitu kerja sama dan koordinasi antar negara dalam
mengelola sumberdaya pesisir, terutama yang menyangkut kepentingan seluruh
umat manusia (Cincin-Sain, 1993).
institusi dan keterkaitan hubungan struktur ekonomi. Hal ini didukung pendapat
Hirschman (1958), bahwa pengembangan wilayah atas suatu periphery hanya
dapat dilakukan dengan melindunginya dari pengaruh polarisasi wilayah. Ditinjau
dari sudut pandang ekonomi wilayah, usaha internalisasi yang dilakukan dalam
bentuk komponen elemen-elemen produksi (sumber daya maupun investasi)
dimaksudkan untuk memaksimalkan efek mulitiplier lokal terhadap sektor-sektor
perekonomian wilayah melalui kontrol backwash effects yang terjadi dengan
bertumpu pada karakter dasar wilayah tersebut.
Proses internalisasi potensi lokal wilayah merupakan awal bagaimana
suatu wilayah dapat berkembang. Menurut perspektif teori ini, terdapat berbagai
strategi pendekatan pengembangan wilayah, yaitu pendekatan pengembangan
territorial, fungsional, dan pendekatan minapolitan. Secara umum pendekatan-
pendekatan tersebut memfokuskan pada upaya melepaskan diri dari
ketergantungan terhadap wilayah pusat. Pendekatan-pendekatan ini sejalan
dengan kebijakan pemerintah saat ini, yakni kebijakan pengembangan ekonomi
dan pembiayaan usaha kelautan dan perikanan (Kemenko Ekonomi, 2010) yang
tertulis dalam strategi utama pembangunan 2010-2014, dimana pembangunan
harus berdimensi kewilayahan (pengklasteran) dan ditopang oleh penguatan
ekonomi lokal. Berikutnya akan dibahas mengenai pembangunan ekonomi
kelautan dan perikanan melalui sistem pengklasteran (minapolitan).
baik. Keunggulan komparatif yang kita miliki belum mampu untuk kita
transformasikan menjadi keunggulan kompetitif. Hal tersebut mengakibatkan
rendahnya kinerja sektor ekonomi berbasis perikanan serta munculnya berbagai
permasalahan yang membutuhkan sebuah penanganan yang cepat dan tepat.
Beberapa permasalahan yang sering dihadapi seperti biaya produksi
yang masih tinggi, lemahnya permodalan, lemahnya kemampuan
pembudidayaan ikan, baik benih, pakan, penyakit, pengelolaan lingkungan
budidaya dan penanganan pasca panen. Selain itu dengan semakin terbukanya
pasar pada masing-masing negara menjadi tantangan bagi pembangunan
perikanan nasional. Bila permasalahan-permasalahan tersebut tidak
ditanggulangi, maka bukan tidak mungkin dapat menghambat peningkatan daya
saing sektor perikanan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, strategi
peningkatan sektor perikanan yang dipandang relatif tepat untuk meningkatkan
daya saing adalah melalui pendekatan klaster. Di beberapa negara, industri yang
berbasis klaster telah terbukti mampu menunjukkan kemampuannya secara
berkesinambungan dalam menembus pasar. Strategi klaster menawarkan upaya
pembangunan ekonomi yang lebih efektif dan komprehensif. Strategi ini
memerlukan kepeloporan dan kerjasama yang erat antara berbagai stakeholders
yang terkait dengan sektor perikanan.
Pendekatan klaster dalam pengembangan sumberdaya perikanan
(selanjutnya disebut klaster minapolitan) dapat diartikan sebagai suatu bentuk
pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan di suatu lokasi tertentu
(Porter, 2000). Upaya ini dilakukan guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas
dengan menurunkan komponen biaya dari hulu sampai hilir dalam produksi suatu
komoditi. Bentuk pemusatan yang dilakukan adalah dimana dalam suatu
kawasan tersedia subsistem-subsistem dalam agribisnis perikanan dari
subsistem hulu hingga hilir serta jasa penunjang. Adanya pemusatan aktivitas
tersebut dapat mengurangi biaya-biaya terutama biaya transportasi antar
subsistem yang terfokus pada komoditas perikanan tersebut. Efisiensi dan
efektifitas yang diciptakan, dengan sendirinya akan mampu meningkatkan daya
saing produk perikanan baik pada skala domestik maupun internasional.
Dalam mengembangkan klaster perikanan (minapolitan), berbagai aspek
baik dari subsistem hulu, subsistem hilir maupun jasa penunjang haruslah saling
mendukung satu sama lainnya (Friedmann, 1966). Klaster Minapolitan yang baik
dicirikan oleh tingginya tingkat keterkaitan berbagai kegiatan yang saling
18
mendukung antara satu pelaku dengan pelaku yang lain. Oleh karena itu untuk
mencapai tingkat keberhasilan, beberapa faktor kunci yang harus diperhatikan
dalam klaster minapolitan antara lain : pertama, tercipta kemitraan dan jaringan
(networking) yang baik. Tercipta kemitraan dan jaringan yang ditandai adanya
kerjasama antar perusahaan merupakan hal yang sangat penting karena tidak
hanya untuk memperoleh sumber daya, namun juga dalam hal fleksibilitas, dan
proses pembelajaran bersama antar perusahaan. Fleksibilitas akan tercipta
misalnya dalam hal penentuan jumlah produksi, sedangkan proses pembelajaran
bersama, misalnya dalam transfer dan penyebaran teknologi yang dapat
meningkatkan keahlian pelaku perusahaan yang ada dalam klaster.
Kedua, adanya inovasi, riset dan pengembangan. Inovasi secara umum
berkenaan dengan pengembangan produk atau proses, sedangkan riset dan
pengembangan berkenaan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Ketiga,
tersedianya sumber daya manusia (tenaga kerja) yang handal. Produktivitas
SDM merupakan salah suatu indikator keberhasilan dari sebuah klaster. Dengan
SDM yang handal dan memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, maka
keberadaan kapital maupun kelembagaan dapat dijalankan dengan baik. Ilustrasi
tentang pentingnya peran SDM dan kewirausahaan dapat diwakili oleh Negara
Singapura dan Jepang. Negara ini mengalami keterbatasan SDA dibandingkan
Indonesia namun memiliki SDM yang berkualitas, sehingga kapital dan aturan-
aturan yang mereka ciptakan dapat menempatkan negara tersebut pada jajaran
negara-negara maju. Disamping ketiga faktor tersebut tingkat keberhasilan
klaster minapolitan juga ditentukan oleh penentuan lokasi klaster. Penentuan
lokasi merupakan keputusan yang didasarkan pada perpaduan dari berbagai
faktor yang mempengaruhi seperti ketersediaan sumberdaya (input), biaya
transportasi, harga faktor lokal, kemungkinan produksi dan substitusi, struktur
pasar, kompetisi dan informasi.
Pendekatan klaster minapolitan merupakan suatu strategi yang dapat
digunakan dalam meningkatkan daya saing sumber daya perikanan. Untuk
mendukung strategi tersebut beberapa hal yang harus diupayakan antara lain
pertama, terpenuhinya kebutuhan dasar sebuah klaster seperti terciptanya
stabilitas ekonomi makro yang mantap, iklim investasi yang kondusif, dan
terjaminnya penyelenggaraan hukum yang efisien dan dapat dipercaya. Kedua,
peningkatan kompetensi SDM dari masing-masing pelaku dalam klaster
hendaknya dilakukan dengan cara pengembangan keterampilan dan kecakapan
19
pengolah ikan yang adil dan merata; dan (c) mengembangkan kawasan
minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah. Sedangkan
karakteristik kawasan minapolitan meliputi : (a) Suatu kawasan ekonomi yang
terdiri atas sentra produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran dan kegiatan
usaha lainnya, seperti jasa dan perdagangan; (b) Mempunyai sarana dan
prasarana sebagai pendukung aktivitas ekonomi; (c) Menampung dan
mempekerjakan sumberdaya manusia di dalam kawasan dan daerah sekitarnya;
dan (d) Mempunyai dampak positif terhadap perekonomian di daerah sekitarnya.
Persyaratan kawasan minapolitan adalah : (a) kesesuaian dengan
Rencana Strategis, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan/atau Rencana
Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K)
kabupaten/kota, serta Rencana Pengembangan Investasi Jangka Menengah
Daerah (RPIJMD) yang telah ditetapkan; (b) memiliki komoditas unggulan di
bidang kelautan dan perikanan dengan nilai ekonomi tinggi; (c) letak geografi
kawasan yang strategis dan secara alami memenuhi persyaratan untuk
pengembangan produk unggulan kelautan dan perikanan; (d) terdapat unit
produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran dan jaringan usaha yang aktif
berproduksi, mengolah dan/atau memasarkan yang terkonsentrasi di suatu lokasi
dan mempunyai mata rantai produksi pengolahan, dan/atau pemasaran yang
saling terkait; (e) tersedianya fasilitas pendukung berupa aksesibilitas terhadap
pasar, permodalan, sarana dan prasarana produksi, pengolahan, dan/atau
pemasaran, keberadaan lembaga-lembaga usaha, dan fasilitas penyuluhan dan
pelatihan; (f) kelayakan lingkungan diukur berdasarkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan, potensi dampak negatif, dan potensi terjadinya kerusakan
di lokasi di masa depan; (g) komitmen daerah, berupa kontribusi pembiayaan,
personil, dan fasilitas pengelolaan dan pengembangan minapolitan; (h)
keberadaan kelembagaan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang
kelautan dan perikanan; dan (i) ketersediaan data dan informasi tentang kondisi
dan potensi kawasan.
mg/l dan pH antara 7,8–8. Perairan dengan kondisi seperti ini, pada umumnya
terdapat di perairan terumbu karang.
b. Proses Budidaya
Budidaya ikan kerapu tikus ini, dapat dilakukan dengan menggunakan
bak semen atau pun dengan menggunakan KJA. Untuk keperluan studi ini, dipilih
budidaya dengan menggunakan KJA. Budidaya ikan kerapu dalam KJA akan
berhasil dengan baik (tumbuh cepat dan kelangsungan hidup tinggi) apabila
pemilihan jenis ikan yang dibudidayakan, ukuran benih yang ditebar dan
kepadatan tebaran sesuai. Kriteria benih kerapu yang baik, adalah : ukurannya
seragam, bebas penyakit, gerakan berenang tenang serta tidak membuat
gerakan yang tidak beraturan atau gelisah tetapi akan bergerak aktif bila
ditangkap, respon terhadap pakan baik, warna sisik cerah, mata terang, sisik dan
sirip lengkap serta tidak cacat tubuh.
Proses penebaran benih sangat berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup benih. Sebelum ditebarkan, perlu diadaptasikan terlebih dahulu pada
kondisi lingkungan budidaya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
adaptasi ini, adalah : (a) waktu penebaran (sebaiknya pagi atau sore hari, atau
saat cuaca teduh), (b) sifat kanibalisme yang cenderung meningkat pada
kepadatan yang tinggi, dan (c) aklimatisasi, terutama suhu dan salinitas.
Benih ikan kerapu ukuran panjang 4–5 cm dari hasil tangkapan maupun
dari hasil pembenihan, didederkan terlebih dahulu dalam jaring nylon berukuran
1,5 m x 3 m x3 m dengan kepadatan ± 500 ekor. Sebulan kemudian, dilakuan
grading (pemilahan ukuran) dan pergantian jaring. Ukuran jaringnya tetap, hanya
kepadatannya 250 ekor per jaring sampai mencapai ukuran glondongan (20–25
cm atau 100 gr). Setelah itu dipindahkan ke jaring besar ukuran 3 m x 3 m x 3 m
dengan kepadatan optimum 500 ekor untuk kemudian dipindahkan ke dalam
keramba pembesaran sampai mencapai ukuran konsumsi (500 gr).
Biaya pakan merupakan biaya operasional terbesar dalam budidaya ikan
kerapu dalam KJA. Oleh karena itu, pemilihan jenis pakan harus benar-benar
tepat dengan mempertimbangkan kualitas nutrisi, selera ikan dan harganya.
Pemberian pakan diusahakan untuk ditebar seluas mungkin, sehingga setiap
ikan memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan pakan. Pada
tahap pendederan, pakan diberikan secara ad libitum (sampai kenyang),
sedangkan untuk pembesaran adalah 8%-10% dari total berat badan per hari.
23
Pemberian pakan sebaiknya pada pagi dan sore hari. Pakan alami dari
ikan kerapu adalah ikan rucah (potongan ikan) dari jenis ikan tembang, dan
lemuru. Benih kerapu yang baru ditebardapat diberi pakan pelet komersial. Untuk
jumlah 1000 ekor ikan dapat diberikan 100 gr pelet per hari. Setelah ± 3-4 hari,
pelet dapat dicampur dengan ikan rucah.
Jenis hama yang potensial mengganggu usaha budidaya ikan kerapu
dalam KJA adalah ikan buntal, burung, dan penyu. Sedang, jenis penyakit infeksi
yang sering menyerang ikan kerapu adalah : (a) penyakit akibat serangan
parasit, seperti : parasit crustacea dan flatworm, (b) penyakit akibat protozoa,
seperti : cryptocariniasis dan broollynelliasis, (c) penyakit akibat jamur (fungi),
seperti : saprolegniasis dan ichthyosporidosis, (d) penyakit akibat serangan
bakteri, (e) penyakit akibat serangan virus, yaitu VNN (Viral Neorotic Nerveus).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga kualitas ikan kerapu
yang dibudidayakan dengan KJA, antara lain : penentuan waktu panen,
peralatan panen, teknik panen, serta penanganan pasca panen. Watu panen,
biasanya ditentukan oleh ukuran permintaan pasar. Ukuran super biasanya
berukuran 500 gr – 1000 gr dan merupakan ukuran yang mempunyai nilai jual
tinggi. Panen sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari sehingga dapat
mengurangi stress ikan pada saat panen. Peralatan yang digunakan pada saat
panen, berupa : scoop, keranjang, timbangan, alat tulis, perahu, bak pengangkut
dan peralatan aerasi.
Teknik pemanenan yang dilakukan pada usaha budidaya ikan kerapu
dalam KJA dengan metoda panen selektif dan panen total. Panen selektif adalah
pemanenan terhadap ikan yang sudah mencapai ukuran tertentu sesuai
keinginan pasar terutama pada saat harga tinggi, sedangkan panen total adalah
pemanenan secara keseluruhan yang biasanya dilakukan bila permintaan pasar
sangat besar atau ukuran ikan seluruhnya sudah memenuhi kriteria jual.
Penanganan pasca panen yang utama adalah masalah pengangkutan
sampai di tempat tujuan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar kesegaran
ikan tetap dalam kondisi baik. Ini dilakukan dengan dua cara yaitu pengangkutan
terbuka dan pengangkutan tertutup. Pengangkutan terbuka digunakan untuk
jarak angkut dekat atau dengan jalan darat yang waktu angkutnya maksimal
hanya 7 jam. Wadah angkutnya berupa drum plastik atau fiberglass yang sudah
diisi air laut sebanyak ½ sampai ⅔ bagian wadah sesuai jumlah ikan. Suhu laut
diusahakan tetap konstan selama perjalanan yaitu 19-210C. Selama
24
pengangkutan air perlu diberi aerasi. Kepadatan ikan sekitar 50 kg per wadah.
Cara pengangkutan yang umum digunakan adalah dengan pengangkutan
tertutup dan umumnya untuk pengangkutan dengan pesawat udara. Untuk itu, 1
kemasan untuk 1 ekor ikan dengan berat rata-rata 500 gr.
d. Analisis Pasar
Potensi dan peluang pasar hasil laut dan ikan cukup baik. Pada tahun
1994, impor dunia hasil perikanan sekitar 52,49 juta ton. Indonesia termasuk
peringkat ke-9 untuk ekspor ikan dunia. Permintaan ikan pada tahun 2010
diperkirakan akan mencapai 105 juta ton. Disamping itu, peluang dan potensi
pasar dalam negeri juga masih baik. Total konsumsi ikan dalam negeri tahun
2001 sekitar 46 juta ton dengan konsumsi rata-rata 21,71 kg/kepala/tahun.
Dengan elastisitas harga 1,06 berarti permintaan akan ikan tidak akan banyak
berubah dengan adanya perubahan harga ikan. Tingkat konsumsi ikan bagi
penduduk NTT pada tahun 2004 mencapai sekitar 17,14 kg/kapita yang baru
mencapai sekitar 68,56% dari standar konsumsi ikan nasional yaitu 25 kg.
Negara yang menjadi tujuan ekspor ikan kerapu adalah Hongkong,
Taiwan, China, dan Jepang. Harga ikan kerapu di tingkat pembudidaya untuk
tujuan ekspor telah mencapai US$33 per kg. Ikan kerapu yang berukuran kecil
(4-5 cm) sebagai ikan hias laku dijual dengan harga Rp7.000,00 per ekor sedang
untuk ikan konsumsi dengan ukuran 400-600 gr/ekor laku dijual dengan harga
Rp70.000,00 per kg untuk kerapu macan dan Rp300.000,00 per kg untuk kerapu
bebek atau kerapu tikus (harga tahun 2001). Dalam analisis ini, tingkat harga jual
digunakan harga pasaran saat ini yaitu sebesar Rp317.000,00 per kg untuk
kerapu tikus. Dengan tingginya permintaan dan harga jual ikan kerapu, maka
usaha budidaya ikan kerapu ini diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan
devisa negara melalui hasil ekspor.
dikenal dengan sebutan thallus, bentuk thallus rumput laut ada bermacam-
macam ada yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong,
rambut dan lain sebagainya. Thallus ini ada yang tersusun hanya oleh satu sel
(uniseluler) atau banyak sel (multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus
dichotomus (dua-dua terus menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang
thallus utama), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan ada
juga yang sederhana tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka
ragam ada yang lunak seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau
mengandung zat kapur (calcareous), lunak bagaikan tulang rawan
(cartilagenous), berserabut (spongeous) dan sebagainya (Soegiarto et al., 1978).
Sejak tahun 1986 sampai sekarang jenis rumput laut yang banyak
dibudidayakan di Kepulauan Seribu adalah jenis Eucheuma cottonii. Rumput laut
jenis Eucheuma cottonii ini juga dikenal dengan nama Kappaphycus alvarezii.
Menurut Dawes dalam Kadi dan Atmadja (1988) bahwa secara taksonomi rumput
laut jenis Eucheuma dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisio : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottonii
Ketiga budidaya tersebut adalah metode dasar (bottom method), metode lepas
dasar (off-bottom method), dan metode apung (floating method)/longline. Namun
dalam penelitian ini, metode longline yang dipakai oleh nelayan/pembudidaya di
Kabupaten Kupang.
Metode tali panjang (long line method) pada prinsipnya hampir sama
dengan metode rakit tetapi tidak menggunakan bambu sebagai rakit, tetapi
menggunakan tali plastik dan botol aqua bekas sebagai pelampungnya. Metode
ini dimasyarakatkan karena selain lebih ekonomis juga bisa diterapkan di
perairan yang agak dalam. Keuntungan metode ini antara lain: (1) tanaman
cukup menerima sinar rnatahari, (2) tanaman lebih tahan terhadap perubahan
kualitas air, (3) terbebas dari hama yang biasanya menyerang dari dasar
perairan, (4) pertumbuhannya lebih cepat, (5) cara kerjanya lebih mudah, (6)
biayanya lebih murah, dan (7) kualitas rumput laut yang dihasilkan baik.
Saat ini para petani/nelayan di perairan NTT umumnya mengembangkan
usaha budidaya rumput laut Eucheuma sp. dengan metode tali panjang, dan
tentunya metode ini dapat diterapkan dan dikembangkan oleh petani/nelayan di
wilayah lain di Indonesia. Persiapan pembuatan kontruksinya yang meliputi
persiapan lahan dan peralatan sebagai berikut : pada budidaya rumput laut
metode tali panjang biasanya dilakukan dengan menggunakan tali PE. Ada 4
(empat) nomor jenis tali PE yang digunakan yaitu tali induk (PE 10 mm), tali
jangkar (PE 8 mm), tali bentangan (PE 5 mm) dan tali ris simpul (PE 2 mm).
Untuk metode tali panjang (longline) digunakan tali PE 10 mm sepanjang 100 m
yang pada kedua ujungnya diberi jangkar dan pelampung besar. Setiap 25 m
diberi tali PE 8 mm sebagai tali bantu jangkar pada setiap sisi dan diberi
pelampung utama yang terbuat dari drum plastik atau styrofoam. Konstruksi
rumput laut dengan sistem longline dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tali bentangan diberi floatting ball (pelampung botol aqua 600 ml) dan
pada setiap jarak 10 m. Tali bentang PE 5 mm sepanjang 30 m terdiri dari 120
titik simpul tali ris PE 2 mm dan jarak antara tali simpul ris setiap rumpun ± 25
cm. Untuk pemilihan bibit, dipilih bibit rumput laut yang bercabang banyak dan
rimbun, tidak terdapat bercak, tidak terkelupas, dan warna spesifik cerah, umur
hari dan berat bibit 200 gr per rumpun; sedangkan untuk penanganan bibit, bibit
sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi dan jumlahnya sesuai
dengan kebutuhan. Saat mengangkut bibit sebaiknya bibit tetap terendam di
dalam air laut atau dimasukkan ke dalam kotak karton berlapis plastik. Bibit
28
disusun berlapis dan berselang-seling yang dibatasi dengan lapisan kapas atau
kain yang sudah dibasahi air laut. Agar bibit tetap baik, simpan di dalam
keranjang atau jaring dengan ukuran mata jaring kecil dan harus dijaga agar
tidak terkena minyak, kehujanan maupun kekeringan.
Sebelum dilakukan penanaman, dilakukan pengikatan bibit pada tali
simpul ris PE berdiameter 2 mm yang terdapat pada tali ris bentang PE
berdiameter 5 mm. Sebaiknya pengikatan bibit dilakukan ditempat terlindung
agar bibit yang akan ditanam tetap dalam kondisi segar. Penanaman bisa
langsung dikerjakan dengan cara merentangkan tali ris bentang PE berdiameter
5 mm yang telah berisi ikatan bibit tanaman yang diikat pada tali ris utama PE
berdiameter 10 mm. Posisi tanaman sekitar 30 cm di atas dasar perairan
(perkirakan pada saat surut terendah masih tetap terendam air).
Pemeliharaan rumput laut dilakukan dengan cara membersihkan tanaman
dari tumbuhan dan lumpur yang mengganggu, sehingga tidak menghalangi
tanaman dari sinar matahari dan mendapatkan makanan. Jika ada sampah yang
menempel, angkat tali perlahan, agar sampah-sampah yang menyangkut bisa
larut kembali. Jika ada tali bentangan yang lepas ikatannya, sudah lapuk atau
putus, segera diperbaiki dengan cara megencangkan ikatan atau mengganti
dengan tali baru.
Pemanenan rumput laut sangat tergantung dari tujuannya. Jika tujuan
memanen untuk mendapatkan rumput laut kering kualitas tinggi dengan
kandungan karaginan banyak, panen dilakukan pada umur 45 hari (umur ideal),
sedangkan untuk tujuan mendapatkan bibit yang baik, pemanenan rumput laut
dilakukan pada umur 25–35 hari. Pemanenan budidaya rumput laut dapat
dilakukan dengan dua cara : (1) memotong sebagian tanaman. Cara ini bisa
menghemat tali pengikat bibit, namun perlu waktu lama, dan (2) mengangkat
seluruh tanaman. Cara ini memerlukan waktu kerja yang singkat. Pelepasan
tanaman dari tali dilakukan di darat dengan cara memotong tali.
kebutuhan di pasar dunia, dan angka ini masih dapat untuk ditingkatkan sampai
50%. Sumber daya kelautan Indonesia masih memungkinkan untuk
dikembangkan, baik dilihat dari ketersediaan areal budidaya, tenaga kerja yang
dibutuhkan, maupun kebutuhan akan peralatan pendukung budidaya mutiara.
Mutiara yang dibudidayakan di Indonesia, terutama di Nusa Tenggara
Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Lampung, Irian Jaya, Sulawesi, dan
Halmahera merupakan jenis kerang Pinctada Maxima atau di pasaran
internasional dikenal dengan Mutiara Laut Selatan (MLS) atau south sea pearl.
Tiram muda jenis Pinctada Maxima mempunyai warna cangkang
bervariasi dengan warna dasar kuning pucat, kuning tua, cokelat kemerahan,
merah anggur, dan kehijauan. Pada cangkang bagian luar, terdapat garis-garis
radier yang menonjol seperti sisik yang berwarna lebih terang daripada warna
dasar cangkang. Perusahaan pembudidayaan mutiara di NTT adalah PT. Timor
Outsuki Mutiara (TOM) yang bertempat di Kupang.
Hal yang terpenting dalam usaha budidaya mutiara adalah ketepatan
dalam pemilihan lokasi. Lokasi budidaya kerang mutiara hendaknya berada di
perairan atau pantai yang memiliki arus tenang dan terlindung dari pengaruh
angin musim, selain itu kualitas air disekitar budidaya kerang mutiara harus
terbebas dari polusi atau pencemaran serta jauh dari perumahan penduduk,
karena polusi dan pencemaran dapat mengakibatkan kegagalan usaha. Lokasi
yang sesuai adalah berupa teluk dan pulau-pulau kecil yang tenang. Dasar
perairan yang memiliki karang atau berpasir merupakan lokasi yang baik untuk
melakukan budidaya kerang. Kondisi suhu yang baik untuk kerang adalah
berkisar antara 25-30oC dan suhu air berkisar antara 27-31oC. Perubahan kondisi
suhu yang drastis dapat mengakibatkan kematian spat karena suhu air
menentukan pola metabolisme.
Untuk memulai usaha budidaya kerang mutiara memang dibutuhkan
investasi yang relatif besar, paling tidak 750 juta rupiah sampai 1 miliar rupiah
untuk 10.000 jumlah tiram yang dibudidayakan. Bank memberikan kredit untuk
perusahaan (misalnya PT), dan tidak untuk kelompok, apalagi secara individu.
Kredit yang diberikan oleh bank biasanya digunakan untuk investasi sebesar
70% dan untuk modal kerja sebesar 30%. Selain itu biasanya bank tidak
mensyaratkan adanya bantuan teknis yang berkaitan dengan usaha budidaya
mutiara dari dinas terkait, misalnya DKP. Fasilitas produksi dan peralatan utama
yang dibutuhkan untuk budidaya tiram mutiara (Lampiran 1) ini adalah :
30
1. Rakit Pemeliharaan
Rakit apung selain sebagai tempat pemeliharaan induk, pendederan, dan
pembesaran, juga berfungsi sebagai tempat aklimatisasi (beradaptasi) induk
pasca pengangkutan. Bahan rakit dapat dibuat dari kayu berukuran 7 m x 7
m. selain kayu, bahan rakit dapat pula terbuat dari bambu, pipa paralon, besi,
ataupun alumunium. Bahan pembuat ini disesuaikan dengan anggaran,
ketersediaan bahan, dan umur ekonomis.
Untuk menjaga agar rakit tetap terapung, digunakan pelampung seperti
pelampung yang terbuat dari styrofoam, drum plastik, dan drum besi. Agar rakit
tetap kokoh, maka sambungan sambungan kayu diikat dengan kawat galvanizir.
Apabila kayu berbentuk persegi, maka sambungan dapat menggunakan baut.
Pemasangan rakit hendaknya dilakukan pada saat air pasang tertinggi dan
diusahakan searah dengan arus air atau sejajar dengan garis pantai. Hal ini
bertujuan untuk menghindari kerusakan rakit apabila terjadi gelombang besar.
Agar rakit tetap berada pada posisi semula, maka rakit diberi jangkar berupa
pemberat yang terbuat dari semen seberat 50-60 kg. Tali jangkar yang
digunakan antara 4-5 kali kedalaman tempat.
3. Spat Kolektor
Bahan yang digunakan untuk tempat penempelan spat atau sebagai
substrat disebut kolektor. Spat kolektor dapat terbuat dari berbagai jenis bahan,
31
misalnya serabut tali PE, senar plastik, paranet, asbes gelombang, genteng fiber,
atau bilah pipa paralon. Jika terbuat dari bahan paranet, serabut tali, atau bahan
lain berbentuk serabut, maka harus digunakan kantong untuk meletakkan bahan
tersebut. Keranjang jaring dengan kerangka besi atau kawat ukuran 40 cm x 60
cm juga dapat digunakan sebagai wadah kolektor. Potongan paranet atau
serabut tali dimasukkan ke dalam kantong-kantong jaring dan diikat erat. Pipa
paralon juga dapat digunakan sebagai kolektor. Caranya pipa paralon
berdiameter 2-3 inci dipotong sepanjang 30-50 cm, lalu dibelah menjadi dua.
Selanjutnya belahan pipa tersebut dijalin dengan tali PE (berdiameter 3-5 mm)
sepanjang 40-50 cm.
4. Bak Pencucian
Bak pencucian digunakan untuk membersihkan tiram mutiara dari
organisma dan parasit lain yang menempel pada tiram mutiara. Organisma dan
parasit yang menempel di kulit tiram akan mengakibatkan lambatnya
pertumbuhan tiram mutiara. Bak pencucian biasanya terbuat dari fiberglass,
tetapi ada juga bak pencucian ini terbuat dari bahan lain yang awet, seperti dari
semen, plastik dan bahan lainnya.
Bila dilihat dari umur ekonomisnya, masing-masing peralatan memiliki
umur ekonomi relatif pendek, terutama untuk keranjang jaring, keranjang kawat,
tali tambang, pelampung jalur tambang, dan spat kolektor. Hal ini dikarenakan
peralatan dan fasilitas tersebut rentan terhadap korosi air laut. Bahan baku yang
dibutuhkan untuk budidaya mutiara ini ada dua macam, yaitu : (1) spat (benih)
tiram mutiara jenis Pinctada maxima; dan (2) inti bundar (nukleus) . Kedua jenis
bahan baku ini merupakan bahan baku utama yang harus ada dalam proses
budidaya tiram mutiara. Inti bundar atau nukleus merupakan benda yang
disuntikkan kedalam tiram untuk menghasilkan mutiara.
Tenaga kerja untuk budidaya mutiara ini harus memiliki keahlian khusus,
terutama untuk melakukan operasi penyuntikan nukleus kedalam tiram mutiara.
Ketidaktepatan dalam penempatan nukleus akan mengakibatkan kegagalan
panen karena nukleus yang sudah dimasukkan akan dimuntahkan kembali.
Untuk tenaga kerja lain, seperti tenaga kerja untuk perawatan tiram mutiara dan
tenaga kerja untuk keamanan tidak memerlukan keahlian khusus. Jumlah tenaga
kerja untuk keamanan relatif banyak karena budidaya ini rentan terhadap
perampokan dan pencurian.
32
bentuknya setengah bundar, jantung atau tetes air. Diameter inti mutiara blister
berkisar 1-2 cm. Setelah itu sibakkan mantel yang menutupi cangkang dengan
spatula, sehingga cangkang bagian dalam (nacre) terlihat jelas. Inti mutiara
blister yang telah diberi lem/perekat dengan alat blister carrier ditempatkan pada
posisi yang dikehendaki; minimal 3 mm di atas otot adducator.
Setelah cangkang bagian atas diisi inti mutiara blister, kemudian tiram
mutiara dibalik untuk pemasangan inti cangkang yang satunya. Diusahakan
pemasangan inti ini tidak saling bersinggungan bila cangkang menutup. Satu
ekor tiram mutiara dapat dipasangi inti mutiara blister sebanyak 8-12 buah,
dimana setiap belahan cangkang dipasangi 4-6 buah, setelah pemasangan inti
mutiara blister selesai, tiram mutiara dipelihara dalam keranjang pemeliharaan di
laut.
(3) Panen
Waktu yang dibutuhkan dari setelah dioperasi (nukleus dimasukkan
kedalam kerang) sampai dengan masa panen adalah 1,5 tahun. Jadi jangka
waktu dari mulai spat sampai dengan panen dibutuhkan waktu kurang lebih tiga
tahun. Dalam satu tahun dapat dilakukan 2-3 kali operasi sehingga dalam satu
tahun dapat dipanen lebih dari satu kali. Setelah kerang menghasilkan mutiara,
maka kerang dewasa tersebut dapat dioperasi lagi sebanyak 2-3 kali, dengan
setiap masa panen menunggu jangka waktu 1 tahun.
Jumlah produksi mutiara tergantung pada jumlah kerang yang sudah
dioperasi. Setiap kerang akan menghasilkan satu butir mutiara seberat antara
2,5-3 gr. Risiko kegagalan dari budidaya ini cukup tinggi, yaitu rata-rata 30%.
Artinya dari 10.000 kerang yang dipelihara dan dioperasi, 3.000 diantaranya
34
akan mati atau gagal panen. Dengan cara pembudidayaan yang benar, maka
jenis mutiara yang dihasilkan dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu : round
(bundar sempurna), semi round (agak bundar), drop (bentuk tetesan air), oval
(lonjong), dan barok (bentuk tidak beraturan). Mutiara yang dihasilkan sangat
tergantung dari teknik menyuntik dan kondisi alam selama proses penyuntikan
sampai dengan panen.
Kapasitas produksi optimum tergantung pada jumlah blok yang dimiliki,
setiap blok biasanya berukuran lebar 10 m dan panjang rentang tali 100 m.
Untuk setiap blok terdapat 11 buah rentang tali yang berjarak masing-masing 1
m. Rata-rata jarak antar blok 10-15 m dan sangat tergantung pada ketersediaan
lokasi. Jumlah kerang berukuran 10 cm yang siap dioperasi sekitar 10% dari
jumlah seluruh kerang yang dimiliki. Kerang besar dimasukkan ke dalam kantung
jaring berbingkai besi dengan ukuran 40 cm x 70 cm untuk 8-12 kerang.
Pengusaha mutiara mengalami kesulitan karena mutiara yang dihasilkan
pada satu musim panen tidak seragam baik keseragaman bentuk maupun
keseragaman kualitas. Selain itu risiko keamanan dari pencurian dan
perampokan merupakan kendala produksi yang seringkali mengakibatkan
kerugian sampai miliaran rupiah, bahkan kebangkrutan.
kering sedimen setiap harinya (Rustam, 2006). Beberapa spesies teripang yang
mempunyai nilai ekonomis penting diantaranya: teripang putih (Holothuria
scabra), teripang koro (Microthele nobelis), teripang pandan (Theenota ananas),
teripang dongnga (Stichopu ssp) dan beberapa jenis teripang lainnya (DKP,
2006).
Filum : Echinodermata
Sub-filum : Echinozoa
Kelas : Rhodophyceae
Sub-kelas : Aspidochirotacea
Ordo : Aspidochirotda
Famili : Holothuridae
Genus : Holothuria
Spesies : Holothuria scabra
Pemilihan Lokasi
Untuk mendapatkan lokasi budidaya teripang yang baik diperlukan
pemilihan lokasi budidaya. Kegiatan tersebut merupakan salah satu syarat yang
cukup menentukan untuk mencapai keberhasilan suatu usaha budidaya teripang.
Hal ini disebabkah lokasi atau tempat pemeliharaan teripang adalah tempat yang
secara langsung mempengaruhi kehidupannya.
Adapun kriteria pemilihan lokasi budidaya teripang (DKP, 2006; Rustam,
2006) adalah sebagai berikut : (1) tempat terlindung bagi budidaya teripang
diperlukan tempat yang cukup terlindung dari guncangan angin dan ombak, (2)
kondisi dasar perairan hendaknya berpasir, atau pasir berlumpur bercampur
dengan pecahan-pecahan karang dan banyak terdapat tanaman air semacam
rumput laut atau alang-alang laut, (3) salinitas dengan kemampuan yang terbatas
dalam pengaturan esmatik, teripang tidak dapat bertahan terhadap perubahah
drastis atas salinitas (kadar garam). Salinitas yang cocok adalah antara 30–33
gr/kg, (4) kedalaman air untuk teripang hidup pada kedalaman yang berbeda
menurut besarnya. Teripang muda tersebar di daerah pasang surut, setelah
tambah besar pindah ke perairan yang dalam. Lokasi yang cocok bagi budidaya
sebaliknya pada kedalaman air laut 0,40-1,50 m pada air surut terendah, (5)
ketersediaan benih di lokasi budidaya sebaiknya tidak jauh dari tempat hidup
benih secara alamiah. Terdapatnya benih alamiah adalah indikator yang baik
bagi lokasi budidaya teripang, dan (6) kondisi lingkungan perairan sebaiknya
harus memenuhi standard kualitas air laut yang baik bagi kehidupan teripang
seperti : pH 6,5–8,5, kecerahan air laut 50 cm, kadar oksigen terlarut 4–8 mg/l,
36
dan suhu air laut 20–25°C. Disamping itu, lokasi harus bebas dari pencemaran
seperti bahan organik, logam, minyak dan bahan-bahan beracun lainnya.
Metode Budidaya
Metode yang digunakan untuk membudidayakan teripang (ketimun laut)
yaitu dengan menggunakan metode penculture. Metode penculture adalah suatu
usaha memelihara jenis hewan laut yang bersifat melata dengan cara memagari
suatu areal perairan pantai seluas kemampuan atau seluas yang diinginkan
sehingga seolah-olah terisolasi dari wilayah pantai lainnya (DKP, 2006).
Bahan yang digunakan ialah jaring (super-net) dengan mata jaring
sebesar 0,5–1 inchi atau dapat juga dengan bahan bambu (kisi-kisi). Dengan
metode ini maka lokasi/areal yang dipagari tersebut akan terhindar dari hewan-
hewan pemangsa (predator) dan sebaliknya hewan laut yang dipelihara tidak
dapat keluar dari areal yang telah dipagari tersebut (Rustam, 2006).
Pemasangan pagar untuk memelihara teripang, baik pagar bambu (kisi-
kisi) ataupun jaring super net cukup setinggi 50-100 cm dari dasar perairan. Luas
lokasi yang ideal penculture ini antara 500-1.000 m2 (DKP, 2006). Teripang yang
dijadikan induk ialah yang sudah dewasa atau diperkirakan sudah dapat
melakukan reproduksi dengan ukuran berkisar antara 20–25 cm, sedangkan
benih teripang alam yang baik untuk dibudidayakan dengan metoda penculture
adalah yang memiliki berat antara 30-50 gr per ekor atau kira-kira memiliki
panjang badan 5-7 cm. Pada ukuran tersebut benih teripang diperkirakan sudah
lebih tahan melakukan adaptasi terhadap lingkungan yang baru. Konstruksi
penculture dapat dilihat pada Lampiran 1.
Faktor makanan dalam pemeliharaan (budidaya teripang tidak menjadi
masalah sebagaimana halnya hewan-hewan laut lainnya. Teripang dapat
memperoleh makanannya dari alam, berupa plankton dan sisa-sisa endapan
karang yang berada di dasar laut. Namun demikian untuk lebih mempercepat
pertumbuhan teripang dapat diberikan makanan tambahan berupa campuran
dedak dan pupuk kandang (kotoran ayam).
Teripang dapat hidup bergerombol ditempat yang terbatas. Oleh karena
itu dalam usaha budidayanya dapat diperlakukan dengan padat penebaran yang
tinggi. Untuk ukuran benih teripang sebesar 20–30 gr per ekor, padat penebaran
berkisar antara 15–20 ekor per m2, sedangkan untuk benih teripang sebesar 40-
50 gr per ekor, padat penebarannya berkisar antara 10–15 ekor per m2.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya dilakukan pada sore hari, hal ini
37
disesuaikan dengan sifat hidup atau kebiasaan hidup dari teripang. Pada waktu
siang hari teripang tidak begitu aktif bila dibandingkan dengan pada malam hari,
karena pada waktu siang hari ia akan membenamkan dirinya dibawah dasar
pasir/karang pasir untuk beristirahat dan untuk menghindari/melindungi dirinya
dari pemangsa/predator, sedangkan pada waktu malam hari akan lebih aktif
mencari makanan, baik berupa plankton maupun sisa-sisa endapan karang yang
berada di dasar perairan tempat hidupnya.
Waktu yang tepat untuk memulai usaha budidaya teripang disuatu lokasi
tertentu ialah 2-3 bulan setelah waktu pemijahan teripang di alam (apabila
menggunakan benih dari alam). Benih alam yang berumur 2-3 bulan diperkirakan
sudah mencapai berat 20–50 gr per ekor. Pemungutan hasil panen dapat
dilakukan setelah ukuran teripang berkisar antara 4-6 ekor per kg (market size).
Untuk mendapatkan ukuran ini biasanya teripang dipelihara selama 6-7 bulan,
dengan survival yang dicapai kurang lebih 80% dari total penebaran awal. Panen
dilakukan pada pagi hari sewaktu air sedang surut dan sebelum teripang
membenamkan diri. Panen dapat dilakukan secara bertahap yaitu dengan
memilih teripang yang berukuran besar atau juga dapat dilakukan secara total,
kemudian dilakukan seleksi menurut golongan ukuran. Pemeliharaan teripang
diseluruh lokasi dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa memperhatikan musim
angin. Oleh karena teripang dipelihara pada perairan yang dangkal (0,5-1,5 m
pada surut terendah), maka pengaruh musim angin termasuk musim utara tidak
menjadi permasalahan. Dengan demikian pemeliharaan teripang dapat dilakukan
sepanjang tahun.
tinggi, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan manusia kecuali penelitian
ilmiah atau seremoni keagamaan/budaya oleh masyarakat lokal dan harus dapat
diterima dan didukung oleh masyarakat lokal; sedangkan kawasan budidaya
dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukkan sesuai dengan kemampuan
lahannya (Dacles et al., 2000). Aktifitas budidaya laut untuk masing-masing
kriteria kesesuaian budidaya laut menurut DKP, 2002 disajikan dalam bentuk
tabel pada Lampiran 2.
Kesesuaian suatu ruang untuk kegiatan tertentu akan dapat berkurang
bahkan menjadi tidak sesuai jika kemampuan sistem yang ada didalamnya tidak
mampu lagi untuk menanggung beban kegiatan yang dilakukan diatasnya. Oleh
karena setiap sistem memiliki ambang batas atau kemampuan untuk mendukung
aktifitas didalamnya. Kemampuan dimaksud disebut sebagai kemampuan
mendukung atau daya dukung yang ada di suatu sistem tertentu.
elemen seperti dikemukakan atas atau hanya sebagian elemen saja tergantung
tujuan yang ingin dicapai dalam kajian yang dilakukan. Apabila hanya sebagian
elemen yang dikaji, maka penentuan elemen-elemennya didasarkan pada hasil
pendapat pakar termasuk penyusunan sub elemen pada setiap elemen yang
terpilih. Setelah ditetapkan elemen dan sub elemen, selanjutnya ditetapkan
hubungan kontekstual antar sub elemen yang terkandung adanya suatu
pengarahan (direction) dalam terminologi sub ordinat yang menuju pada
perbandingan berpasangan seperti apakah tujuan A lebih penting dari tujuan B.
perbandingan berpasangan yang menggambarkan keterkaitan antara sub
elemen atau tidaknya hubungan kontekstual dilakukan oleh pakar. Beberapa
keterkaitan antara sub elemen dengan teknik ISM dapat dilihat seperti Tabel 1.
Tabel 1 Keterkaitan antara sub elemen pada teknik ISM (Marimin, 2004)
No. Jenis Keterkaitan Sub Elemen Interpretasi
1. Perbandingan (comparative) A lebih penting/besar/indah daripada B
2. Pernyataan (definitive) A adalah atribut B
A termasuk di dalam B
A mengartikan B
3. Pengaruh (influence) A menyebabkan B
A adalah sebagian penyebab B
A mengembangkan B
A menggerakan B
A meningkatkan B
4. Keruangan (spatial) A adalah selatan/utara B
A di atas B
A sebelah kiri B
5. Kewaktuan (time scale) A mendahului B
A mengikuti B
A mempunyai prioritas lebih dari B
Hubungan sebab akibat ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu hubungan
positif dan hubungan negatif. Hubungan positif adalah hubungan sebab akibat
dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar pula nilai faktor
akibatnya, sedangkan hubungan negatif adalah hubungan sebab akibat dimana
makin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil nilai faktor akibat. Akibat
yang ada dapat juga mempengaruhi balik penyebab sehingga terdapat hubungan
sebab akibat yang memiliki arah yang berlawanan dengan hubungan sebab
akibat yang lain atau dikenal dengan feedback. Pemodelan dengan sistem
dinamik dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak powersim
construtor 2.5d. Kelebihannya adalah mudah menghubungkan suatu sistem yang
lain sepanjang ada hubungan matematis atau asumsi-asumsi yang dapat
menghubungkan berbagai sistem tersebut, sedangkan kelemahan pemodelan
dengan sistem dinamik terletak pada pendefinisian dan penggunaan asumsi-
asumsi, penentuan hubungan variabel dengan variabel yang lain (Eriyatno dan
Sofyar, 2007). Tahapan yang dilakukan dalam pendekatan sistem dinamik
meliputi :
1. Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian suatu sistem. Pada
tahap ini dicari kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing aktor dalam
kaitannya dengan tujuan sistem. Tujuan analisis kebutuhan ini adalah untuk
mendefinisikan kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam suatu kegiatan.
2. Formulasi masalah merupakan rincian dari kebutuhan aktor yang saling
bertentangan yang memerlukan solusi pemecahan. Munculnya pertentangan
dapat disebabkan oleh adanya konflik kepentingan dari para stakeholder dan
keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan yang
menimbulkan masalah dalam sistem.
3. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari
kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan
dalam rangka memenuhi kebutuhan. Identifikasi sistem ini bertujuan untuk
mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Identifikasi
sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram input-output (black box)
dan diagram lingkar sebab akibat (causal loop).
4. Pemodelan sistem merupakan simplifikasi dari sistem yang dihadapi. Model
juga didefinisikan sebagai suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia
nyata (real) yang akan bertindak seperti dunia nyata terhadap aspek-aspek
tertentu.
46
5. Simulasi model adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses tersebut.
Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat
analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses di masa depan. Untuk
membuat simulasi diperlukan tahapan berikut : (a) penyusunan konsep, (b)
pembuatan model, (c) simulasi, dan (d) validasi hasil simulasi.
6. Validasi model merupakan salah satu kriteria penilaian keobjektifan dari
suatu pekerjaan ilmiah. Validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian
antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Dalam
validasi model dapat dilakukan dua pengujian yaitu uji validasi struktur dan
uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan
pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja
lebih menekankan pemeriksaan kebenaran yang taat data empiris. Model
yang baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris
(logico-empirical).
49
x = ………………………………………(1)
Pada tahun 2009 jumlah curah hujan setahun tertinggi pada Bulan
Desember dan terendah pada Bulan Mei. Rata-rata kelembaban udara di
Kabupaten Kupang tahun 2009 sebesar 76,5%, tekanan udara 1.010,42 mb, dan
o
rata-rata suhu udara di atas 27,26 C.
Tabel 4 Rata-rata curah hujan dan hari hujan di Kabupaten Kupang menurut
bulan, tahun 2008-2009 (stasiun meteorologi klas II Kupang)
Curah hujan (mm) Hari hujan (hh)
Bulan
2008 2009 2008 2009
Januari 235,4 420,7 20 23
Februari 851,4 408,3 26 21
Maret 149,8 117,4 25 18
April 50,0 108,0 6 4
Mei 0 22,8 0 5
Juni 8,6 0 5 0
Juli 0 0 0 0
Agustus 0 0 0 0
September Ttu* Ttu* 1 1
Oktober 3,0 0 2 0
November 130,8 72,1 19 7
Desember 481,0 469,8 24 19
* Ttu : Tidak terukur
antara lain mengenai penduduk buta huruf, penduduk usia sekolah (7 sampai 24
tahun), status sekolah. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat
keberhasilan bidang pendidikan adalah tingkat buta huruf. Makin rendah
persentase penduduk yang buta huruf menunjukkan keberhasilan program
persentase penduduk yang buta huruf mengindikasikan kurang berhasilnya
program pendidikan.
Hasil Susenas 2009 menunjukkan bahwa persentase penduduk berusia
10 tahun keatas yang buta huruf mengalami penurunan dibandingkan tahun
2008. Penduduk yang berumur 10 tahun keatas pada tahun 2009 dengan status
masih sekolah sebesar 22,13% dan yang tidak bersekolah lagi sebesar 66,51%
sedang untuk yang tidak/belum pernah bersekolah sebesar 11,36%. Hasil
Susenas juga menunjukkan bahwa penduduk yang masih bersekolah pada
kelompok umur 7 sampai 12 tahun mempunyai persentase paling tinggi.
Sementara itu, untuk penduduk yang belum atau tidak pernah sekolah paling
tinggi persentasenya pada kelompok umur 19 sampai 24 tahun.
Pada tahun ajaran 2009/2010 di tingkat sekolah dasar (SD) terjadi
peningkatan jumlah murid dan jumlah sekolah dibandingkan tahun ajaran
sebelumnya, sedangkan jumlah guru mengalami penurunan. Berbeda dengan
tingkat SD, pada tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) jumlah murid
dan guru mengalami peningkatan sedangkan jumlah sekolah berkurang.
Pembangunan bidang kesehatan meliputi seluruh siklus atau tahapan kehidupan
manusia. Bila pembangunan kesehatan berhasil dengan baik maka secara
langsung atau tidak langsung akan terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Mempertimbangkan bahwa pembangunan bidang kesehatan merupakan bagian
yang sangat penting dari ajang peningkatan SDM penduduk Indonesia pada
umumnya dan Kabupaten Kupang pada khususnya, maka program-program
kesehatan telah dimulai atau bahkan lebih diprioritaskan pada calon generasi
penerus, khusus calon bayi dan anak usia dibawah lima tahun (balita).
Pentingnya pembangunan bidang kesehatan ini paling tidak tercermin dari
deklarasi millenium development goals (MDGs) yang mana lebih dari sepertiga
indikatornya menyangkut bidang kesehatan.
Agama mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam
meletakkan landasan moral, etika dan spiritual yang kuat. Sebagian besar
penduduk Kabupaten Kupang memeluk agama kristen protestan (85,65%), diikuti
oleh pemeluk agama Katolik sebesar 11,19%. Dalam hidupnya, manusia
57
pantai yang cukup panjang, maka wilayah pesisir dan laut Kabupaten Kupang
tentunya memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar pula. Potensi
penangkapan ikan dan non ikan sudah menjadi andalan daerah ini sejak lama,
dan menjadi salah satu penyuplai bahan pangan protein dari sumber ikan ke
Kota Kupang maupun diantar pulaukan ke Pulau Jawa, Bali dan Sulawesi, dan
sebagian lagi diekspor.
Tengah, Fatuleu dan Takari. Gambaran jumlah RTP, nelayan dan pembudidaya
ikan sebagaimana dilihat pada Lampiran 12 sampai 14.
Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan
melalui bantuan sarana prasarana perikanan membutuhkan
pembimbingan/pendampingan oleh aparat teknis terkait dalam rangka alih
teknologi guna mampu memberi nilai tambah dan meningkatkan hasil produksi
dan pendapatan masyarakat. Keberhasilannya, tentu perlu pula didukung oleh
SDM aparatur bidang perikanan yang memiliki keahlian dan kompetensi yang
memadai. Sampai saat ini SDM aparatur dinas umumnya dapat dikatakan sudah
relatif memadai jika dilihat dari sisi pendidikan formal yang dicapai. Pendidikan
setingkat sarjana (S1), pascasarjana (S2) dan jenjang doktoral (S3) sudah cukup
tersedia. Namun demikian dari sisi pendidikan non formal semacam pelatihan
ketrampilan/keahlian dalam penanganan produksi maupun pascapanen relatif
belum maksimal, kalaupun ada baru sebagian kecil saja. Jenis-jenis
ketrampilan/keahlian seperti penguasaan teknologi dan teknik penangkapan
ikan, budidaya perikanan, pengolahan dan pemasaran hasilnya, merupakan
keahlian yang harus dimiliki aparatur dinas guna mendorong makin baiknya
kompetensi dan profesionalitas dalam pelayanan bidang perikanan.
sisanya di bawah wewenang daerah tingkat II sebanyak 814,29 km. Pada tahun
tersebut, ternyata jalan yang diaspal sebesar 52,26%, 22,97% jalan kerikil dan
22,77% untuk jalan tanah dari total panjang jalan yang ada. Untuk angkutan
darat di Kabupaten Kupang, jumlah kendaraan bermotor wajib uji tercatat
sebanyak 828 unit pada tahun 2009. Komposisi jenis kendaraan wajib uji pada
tahun 2009 terdiri atas: 276 unit bis mini, 14 unit bis midi, 33 unit truk, 360 unit
truk mini, 145 unit pick up.
Sarana angkutan sungai dan penyeberangan (ASDP), terjadi peningkatan
arus kunjungan angkutan penyeberangan ferry pada Pelabuhan Laut Bolok di
Kabupaten Kupang selama tahun 2009 sebanyak 1.799 kunjungan atau turun
35,50% dari tahun 2008. Penumpang yang naik di pelabuhan laut pada tahun
2009 sebanyak 223.229 penumpang. Penumpang yang turun sebanyak 223.297
penumpang. Pembangunan pos dan telekomunikasi mencakup jangkauan baik
pelayanan jasa telekomunikasi ataupun informasi. Berbagai usaha telah
dilakukan pemerintah untuk memperlancar pelayanan-pelayanan berkenaan
semakin meningkatnya permintaan akan jasa komunikasi. Salah satunya dengan
memperbanyak jumlah kantor pos. Tahun 2009 jumlah kantor pos pembantu di
Kabupaten Kupang 3 buah. Pada tahun 2009 surat yang paling banyak dikirim di
3 kantor pos pembantu di Kabupaten Kupang adalah sebanyak 18.377 lembar
surat dengan jenis surat biasa sebanyak 9.273 lembar, dan 7.466 lembar surat
kilat khusus.
Abstrak
Dalam pengembangan kawasan minapolitan, pendekatan potensi
kelautan yang ada di perairan Kabupaten Kupang sangat diperlukan untuk
nantinya dikembangkan agar dapat menambah pendapatan daerah. Penelitian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi kelautan dan perikanan di Kabupaten
Kupang dalam rangka pengembangan kawasan minapolitan. Metode analisis
data yang dipakai mencakup analisis spasial (kesesuaian lahan), daya dukung
lahan, dan kelayakan usaha budidaya laut. Hasil penelitian dari hasil analisis
spasial didapatkan luas kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut sebesar
31,43 km2, 3,91 km2 untuk budidaya KJA, 1,91 km2 untuk budidaya tiram mutiara,
dan budidaya teripang sebesar 2,37 km2. Hasil analisis daya dukung lahan,
budidaya rumput laut pada kategori sangat sesuai dapat memanfaatkan 10.473
unit longline, budidaya KJA pada kategori sangat sesuai dapat memanfaatkan
61.001 unit keramba, budidaya tiram mutiara pada kategori sesuai dapat
memanfaatkan 38.887 unit keramba, dan budidaya teripang pada kategori sesuai
dapat memanfaatkan 4.743 unit penculture. Bidang usaha budidaya laut dalam
penelitian ini yang meliputi budidaya KJA, rumput laut, tiram mutiara dan teripang
merupakan peluang usaha yang mempunyai prospek ekonomi dan finansial yang
baik dan layak untuk dikembangkan di Kabupaten Kupang.
5.1 Pendahuluan
Potensi kelautan di perairan Kabupaten Kupang sangat beragam, hal ini
dikarenakan wilayah perairan laut yang subur dan kaya akan unsur hara. Secara
khusus dalam bidang budidaya laut ada lima budidaya yang pernah/sedang
berjalan seperti rumput laut, keramba jarring apung, tiram mutiara, dan teripang.
Penentuan potensi unggulan untuk dikembangkan dalam kawasan minapolitan
melalui beberapa tahapan pengidentifikasian potensi.
Adapun metode analisis data yang dipakai dalam mengidentifikasi
potensi Kabupaten Kupang seperti analisis spasial (kesesuaian lahan), daya
dukung lahan, dan kelayakan usaha budidaya laut. Analisis spasial digunakan
untuk melihat kesesuaian perairan untuk budidaya laut, analisis daya dukung
lahan digunakan untuk mengetahui kemampuan lahan dalam menampung suatu
kegiatan budidaya laut, dan kelayakan usaha dipakai dalam mengkaji
pengembangan usaha budidaya laut dalam pengembangan kawasan minapolitan
di Kabupaten Kupang sesuai dengan karakteristik wilayah dan kondisi
masyarakat setempat.
66
overlay harus berdasarkan urutan tingkat kepentingan atau pengaruh yang paling
besar ke tingkat yang paling kecil. Model matematis disajikan sebagai berikut :
………………………………………(2)
KL =
= ……………………………(3)
Kapasitas lahan ditentukan dari selisih antara luas lahan yang sesuai
dengan luas unit budidaya dibagi dengan luas lahan yang sesuai kali 100%. Luas
unit budidaya (L1) ditentukan berdasarkan luas rata-rata unit budidaya yang ada
di Kabupaten Kupang. Luas yang sesuai untuk satu unit budidaya (L2) ditentukan
berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan.
Untuk menghitung berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh
lahan berdasarkan daya dukung yang diperoleh, dapat dianalisis dengan
persamaan sebagai berikut :
JUBRL = ……………………..………………..…………(5)
Untuk menghitung berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh
lahan berdasarkan daya dukung yang diperoleh, dapat dianalisis dengan
persamaan sebagai berikut :
JUBKJA = ……………………..…..………………..…………(7)
RC = TR -TC……………………..…..………………..…………(8)
dimana : RC = Keuntungan
TR = Total penerimaan usaha (Rp/ha/tahun)
TC = Total pengeluaran (Rp/ha/tahun)
Sementara itu untuk mengetahui sejauh mana hasil yang diperoleh usaha
tersebut telah layak dilanjutkan atau tidak, digunakan analisis perimbangan
antara penerimaan dan biaya yang dirumuskan sebagai berikut :
………………..…..………………..…………(9)
– ………………..…..………………..……(10)
73
………………..………..…………(11)
………………..………..…………(12)
a. Rumput Laut
Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya rumput
laut di Kecamatan Semau, Sulamu, dan Kupang Barat disajikan pada Tabel 6,
sedangkan peta kesesuaian untuk masing-masing kecamatan dapat dilihat pada
Gambar 6 sampai 8.
Tabel 6 Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut
Kesesuaian lahan (km2) Jumlah total perairan
Kecamatan
Sangat sesuai Sesuai Tidak sesuai yang sesuai (km2)
Semau 5,94 0,32 0,63 6,26
Sulamu 3,20 0,28 0,17 3,48
Kupang Barat 22,29 3,96 4,16 26,25
Sumber : Hasil analisis 2011
c. Tiram Mutiara
Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya tiram
mutiara di Kecamatan Semau, Sulamu, dan Kupang Barat disajikan pada Tabel
8, sedangkan peta kesesuaian untuk masing-masing kecamatan dapat dilihat
pada Gambar 12 sampai 14.
Tabel 8 Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya tiram mutiara
Kesesuaian lahan (km2) Jumlah total perairan
Kecamatan
Sesuai Tidak sesuai yang sesuai (km2)
Semau 0,72 6,18 0,72
Sulamu 0,15 3,51 0,15
Kupang Barat 1,04 29,36 1,04
Sumber : Hasil analisis 2011
d. Teripang
Hasil analisis evaluasi kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya
teripang di Kecamatan Semau, Sulamu, dan Kupang Barat disajikan pada Tabel
9, sedangkan peta kesesuaian untuk masing-masing kecamatan dapat dilihat
pada Gambar 15 sampai 17.
Keterangan Tabel :
Kapasitas lahan perairan adalah 99,95% dari luas lahan yang sesuai (sangat sesuai dan sesuai)
2 2
Luas satu unit budidaya dengan metode longline = 3000 m atau 0,003 km
DD lahan (jumlah unit) = kapasitas lahan/luas unit budidaya rumput laut
Keterangan Tabel :
Kapasitas lahan perairan adalah 99,99% dari luas lahan yang sesuai (sangat sesuai dan sesuai)
2 2 2
Luas satu unit budidaya dengan metode KJA = (8 x 8) m = 64 m atau 0,000064 km
DD lahan (jumlah unit) = kapasitas lahan/luas unit budidaya KJA
c. Tiram Mutiara
Analisis daya dukung lahan perairan di Kabupaten Kupang untuk kegiatan
budidaya tiram mutiara dilakukan dengan pendekatan luas areal kegiatan
budidaya yang sesuai (kategori sesuai) dan kapasitas lahan. Hasil analisis daya
dukung lahan untuk pengembangan kegiatan budidaya tiram mutiara di
Kabupaten Kupang disajikan pada Tabel 12.
d. Teripang
Analisis daya dukung lahan perairan di Kabupaten Kupang untuk kegiatan
budidaya teripang dengan sistem penculture dilakukan dengan pendekatan luas
areal kegiatan budidaya yang sesuai (kategori sesuai) dan kapasitas lahan. Hasil
analisis daya dukung lahan ketiga kecamatan di Kabupaten Kupang untuk
pengembangan kegiatan budidaya teripang dengan sistem penculture di
Kabupaten Kupang disajikan pada Tabel 13. Berdasarkan hasil analisis daya
dukung lahan tersebut diperoleh luas kapasitas lahan untuk kategori sesuai
sebesar 2,37 km2 sedangkan jumlah unit penculture teripang yang dapat
didukung untuk kegiatan budidaya tersebut pada kategori sesuai sebanyak 4.743
unit.
Total besarnya biaya investasi, biaya variabel dan biaya tetap sebesar
Rp109.288.000,00 di mana biaya terbesar adalah biaya variabel mencapai 63%
diikuti oleh biaya investasi 26,2% dari total biaya. Rincian biaya investasi, biaya
variabel, dan biaya tetap yang diperlukan untuk usaha budidaya ikan kerapu
tikus dengan sistem KJA di Kabupaten Kupang disajikan pada Lampiran 15.
Sedangkan perhitungan/analisis rugi laba dari usaha budidaya ikan kerapu tikus
dengan sistem KJA di Kabupaten Kupang ini didasarkan pada asumsi-asumsi
seperti yang telah dikemukan terdahulu. Hasil analisis rugi laba seperti
ditunjukkan pada Tabel 15.
Dari Tabel 15, terlihat bahwa usaha budidaya ikan kerapu tikus selama 5
tahun atau 5 kali siklus produksi memberikan pendapatan memberikan
pendapatan bersih setelah pajak sebesar Rp405.134.000,00 untuk rinciannya
dapat dilihat pada Lampiran 15. Berikutnya adalah analisis cash flow dan
kelayakan Investasi yang menggambarkan proyeksi arus penerimaan dan arus
pengeluaran dari usaha budidaya ikan kerapu tikus dengan sistem KJA selama 5
tahun usaha (Lampiran 15).
Tabel 16 Kriteria kelayakan usaha budidaya ikan kerapu dengan sistem KJA
No Kriteria kelayakan Nilai kelayakan
1 Net present value/NPV pada DF 18% (Rp) 247.506.000,00
2 Net B/C pada DF 18% 1,65
3 Internal rate of return/IRR (%) 46,6
4 Payback period/PBP tahun ke-1
5 Break event point/BEP :
unit (kg) 333
unit (Rp/kg) 138.000,00
95
rumput laut 6 kali berat semula, dan (8) harga jual rumput laut kering
Rp10.000,00 per kg. Atas dasar asumsi-asumsi di atas, perkiraan biaya investasi
sebesar Rp11.800.000,00 dan biaya produksi sebesar Rp63.312.000,00 untuk
usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Kupang.
Analisis cash flow dan kelayakan Investasi yang menggambarkan
proyeksi arus penerimaan dan arus pengeluaran dari usaha budidaya rumput
laut dengan sistem longline selama 1 periode usaha atau 6 kali siklus panen.
Pada Lampiran 15 terlihat bahwa investasi di bidang usaha budidaya ikan kerapu
di Kabupaten Kupang dengan teknologi dan kapasitas produksi yang ada,
mampu memberikan adanya surplus pendapatan bagi pihak investor. Kriteria-
kriteria dan nilai kelayakan finansial dari usaha budidaya rumput laut dengan
sistem longline di Kabupaten Kupang dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Kriteria kelayakan usaha rumput laut dengan sistem long line
No Kriteria kelayakan Nilai kelayakan
1 Net present value/NPV pada DF 18% (Rp) 26.071.186,00
2 Net B/C pada DF 18% 1,44
3 Internal rate of return/IRR (%) 46,6
4 Payback period/PBP 0,5 tahun
(1 siklus panen = 45 hari) (5 kali siklus panen)
5 Break event point/BEP :
unit (kg) 7.511
unit (Rp/kg) 6.955,00
Dari Tabel 17 terlihat bahwa dalam jangka waktu 0,5 tahun lebih atau
tepatnya 5 kali siklus produksi dana yang diinvestasikan itu dapat diperoleh
kembali. Sedangkan untuk total dana yang diinvestasikan untuk usaha budidaya
rumput laut dengan sistem longline di Kabupaten Kupang saat ini, nilai uang
yang diterima selama masa investasi (NPV) sebesar Rp26.071.186,00 dengan
Net B/C 1,44 pada tingkat diskon (DF) 18%. Angka yang ada menunjukkan
bahwa kegiatan investasi di bidang usaha budidaya rumput laut dengan sistem
longline di Kabupaten Kupang secara finansial sangat layak atau memiliki daya
keuntungan yang tinggi.
Dari hasil analisis diperoleh IRR sebesar 98,6% yang bila dibandingkan
dengan tingkat suku bunga pinjaman 18% per tahun, hal ini menunjukkan bahwa
investasi di bidang budidaya rumput laut dengan sistem longline di Kabupaten
Kupang sangat layak untuk diusahakan, dan untuk mencapai BEP, maka jumlah
hasil budidaya rumput laut ini setiap tahunnya minimum sebanyak 7.511 kg atau
Rp6.955,00 per kg.
97
d. Budidaya Teripang
Usaha budidaya teripang putih dengan sistem penculture dibutuhkan
sejumlah dana untuk membiayai investasi dan modal kerja. Komponen-
komponen biaya investasi ini meliputi : a) pembuatan unit penculture berukuran
50 m x 10 m, b) jaring (net), dan c) Tali PE. Sedangkan untuk modal kerja
meliputi : biaya pengadaan bibit, pakan tambahan, tenaga kerja, perawatan
penculture, dan biaya pengeringan.
Adapun jumlah dana untuk membiayai berbagai komponen biaya di atas,
dihitung berdasarkan tingkat harga di lokasi penelitian dan beberapa asumsi
sebagai berikut : (1) umur investasi 1 tahun dan lama pemeliharaan 7 bulan, (2)
ukuran penculture seluas 500 m2, (3) padat tebar 15 ekor setiap m2, (4)
kebutuhan bibit 7.500 ekor, (5) mortalitas 20%, (6) berat rata-rata panen 200 gr,
(7) produksi basah 1200 kg dan produksi kering 120 kg, dan (8) harga jual
teripang Rp650.000,00 per kg.
Atas dasar asumsi-asumsi di atas, perkiraan biaya investasi sebesar
Rp7.296.000,00 dan biaya produksi sebesar Rp53.432.000,00 untuk usaha
budidaya teripang putih dengan sistem penculture di Kabupaten Kupang,
101
Dari Tabel 22 terlihat bahwa dalam jangka waktu 1 tahun atau tepatnya 1
kali produksi dana yang diinvestasikan itu dapat diperoleh kembali. Sedangkan
untuk total dana yang diinvestasikan untuk usaha budidaya teripang putih
dengan sistem penculture di Kabupaten Kupang saat ini, nilai uang yang diterima
selama masa investasi (NPV) sebesar Rp30.167.026,00 dengan Net B/C 1,22
pada tingkat diskon (DF) 18%. Angka yang ada menunjukkan bahwa kegiatan
investasi di bidang usaha budidaya teripang putih dengan sistem penculture di
Kabupaten Kupang secara finansial sangat layak atau memiliki daya keuntungan
yang tinggi.
Dari hasil analisis diperoleh IRR sebesar 74% yang bila dibandingkan
dengan tingkat suku bunga pinjaman 18% per tahun, hal ini menunjukkan bahwa
investasi di bidang budidaya teripang putih dengan sistem penculture di
Kabupaten Kupang sangat layak untuk diusahakan. Berikutnya untuk mencapai
BEP, maka jumlah hasil budidaya teripang putih ini setiap tahunnya minimum
sebanyak 98,18 kg atau Rp177.270,00 per kg.
5.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis potensi keruangan (spasial) dengan
menggunakan SIG untuk tiga kecamatan di Kabupaten Kupang, didapatkan luas
kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut sebesar 31,43 km2, 3,91 km2
102
untuk budidaya KJA, 1,91 km2 untuk budidaya tiram mutiara, dan budidaya
teripang sebesar 2,37 km2. Berdasarkan hasil analisis daya dukung lahan,
budidaya rumput laut pada kategori sangat sesuai dapat memanfaatkan 10.473
unit longline seluas 3000 m2, budidaya KJA pada kategori sangat sesuai dapat
memanfaatkan 61.001 unit keramba berukuran 64 m2, budidaya tiram mutiara
pada kategori sesuai dapat memanfaatkan 38.887 unit keramba berukuran 49
m2, dan budidaya teripang pada kategori sesuai dapat memanfaatkan 4.743 unit
penculture berukuran 500 m2.
Bidang usaha budidaya laut dalam penelitian ini yang meliputi budidaya
KJA, rumput laut, tiram mutiara dan teripang merupakan peluang usaha yang
mempunyai prospek ekonomi dan finansial yang baik dan layak untuk
dikembangkan di Kabupaten Kupang. Hasil analisis finansial menunjukkan
bahwa usaha budidaya KJA layak dengan B/C sebesar 1,65 pada DF 18% dan
PBP 1,02 tahun (1 tahun 7 hari) produksi dana yang diinvestasikan sudah dapat
dikembalikan, usaha rumput laut sangat layak dengan B/C sebesar 1,44 pada DF
18% dan PBP 0,5 tahun (5 siklus produksi) dana yang diinvestasikan sudah
dapat dikembalikan, usaha tiram mutiara layak dengan B/C sebesar 1,60 pada
DF 17% dan PBP 4 tahun modal yang diinvestasikan sudah dapat dikembalikan
(kredit dikembalikan di 3 tahun 8 bulan), dan usaha teripang sangat layak
dengan B/C sebesar 1,22 pada DF 18% dan PBP 1 tahun produksi dana yang
diinvestasikan sudah dapat dikembalikan.
6 TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN
KUPANG
Abstrak
Dalam rangka pembangunan ekonomi berbasis kelautan dan perikanan
dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan, kementerian kelautan dan
perikanan mencanangkan program minapolitan. Salah satu tujuan dari program
minapolitan adalah mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi di daerah dan sentra-sentra produksi perikanan sebagai
penggerak ekonomi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten Kupang dalam rangka
pengembangan kawasan minapolitan. Metode analisis data yang dipakai
mencakup analisis tipologi, skalogram, sentralitas, AHP, MPE, dan ISM. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa wilayah studi di Kabupaten Kupang ini termasuk
dalam strata pra kawasan minapolitan II dengan 6 desa dengan tingkat
perkembangan lebih maju, 7 desa dengan tingkat perkembangan sedang, dan 11
desa dengan tingkat perkembangan tertinggal. Jenis budidaya laut yang
dikembangkan adalah minapolitan rumput laut dimana peran
nelayan/pembudidaya sangat dibutuhkan dalam hal peningkatan sumberdaya
manusia untuk tujuan peningkatan pendapatan masyarakat. Prioritas lokasi
industri pengolahan budidaya laut adalah Desa Tablolong dan lokasi pasar
produk budidaya laut bertempat di Kota Kupang sebagai sentra pasar pusat.
Kendala yang dihadapi adalah lemahnya tanggung jawab pemerintah terhadap
potensi budidaya laut dan cara mengatasinya adalah dengan penyediaan
infrastruktur, dan sarana dan prasarana produksi budidaya laut yang memadai.
6.1 Pendahuluan
Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 Bab
IV Butir G mengamanatkan arah kebijakan pembangunan daerah kawasan timur
Indonesia yaitu (1) mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif
dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi daerah, serta
memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi
pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah
dan (2) meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di kawasan
timur Indonesia dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi
daerah.
Berdasarkan komitmen pemerintah tersebut di atas, maka Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) mencanangkan program minapolitan yang
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan/pembudidaya yang adil dan
merata dan mengembangkan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan
104
berbagai multi disiplin. Dalam analisis AHP, urutan prioritas setiap elemen
dinyatakan dalam nilai numerik atau persentasi. Elemen-elemen yang dikaji
disusun dalam lima level, yakni : fokus, faktor, aktor, tujuan, dan alternatif. Nilai
perbandingan A dengan B adalah 1 (satu) dibagi perbandingan B dengan A.
Analisis ini dilakukan untuk menentukan alternatif pengembangan kawasan
minapolitan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini adalah :
a. Menyusun struktur hirarki dari kriteria dan alternatif penyelesaian.
b. Penilaian kriteria dan alternatif, dinilai melalui perbandingan berpasangan.
Skala penilaian oleh pakar didasarkan pada skala nilai yang dikeluarkan oleh
Saaty (1993) seperti yang disajikan pada Tabel 23.
c. Penentuan prioritas untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan
perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan
relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh
alternatif.
d. Konsistensi logis semua elemen dikelompokkan secara logis dan
diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
d. Jika simbol dalam SSIM adalah O, maka nilai Eij = 0 dan nilaiEji = 0
dalam RM
Matriks RM awal perlu dimodifikasi untuk menunjukkan direct dan indirect
reachability, yaitu kondisi dimana jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1. Eij
adalah kondisi hubungan kontekstual antara elemen Ei terhadap elemen Ej.
Dari matriks RM yang telah dimodifikasi didapat nilai driver power (DP) dan
nilai dependence (D). Berdasarkan nilai DP dan D, elemen-elemen dapat
diklasifikasikan kedalam 4 sektor (Gambar 18), yaitu:
a) Sektor autonomous yaitu sektor dengan nilai DP rendah dan nilai D rendah.
Elemen-elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan
dengan sistem atau memiliki hubungan sedikit
b) Sektor dependent yaitu sektor dengan nilai DP rendah dan nilai D tinggi.
Elemen yang masuk dalam sektor ini elemen yang tidak bebas dalam
sistem dan sangat tergantung pada elemen lain.
c) Sektor linkage yaitu sektor dengan nilai DP tinggi dan nilai D tinggi. Elemen
yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati karena
perubahan pada elemen tersebut akan berdampak pada elemen lainnya
dan yang pada akhirnya akan kembali berdampak pula pada elemen
tersebut.
d) Sektor independent yaitu sektor dengan nilai DP tinggi dan nilai D rendah.
Elemen yang masuk dalam sektor ini dapat dianggap sebagai elemen
bebas. Setiap perubahan dalam elemen ini akan berimbas pada elemen
lainnya sehingga elemen-elemen dalam sektor ini juga harus dikaji secara
hati-hati.
113
semakin banyaknya jenis dan jumlah fasilitas yang dimiliki dan demikian
sebaliknya, semakin sedikitnya fasilitas yang dimiliki terutama dari segi jenis
fasilitas, menggambarkan semakin rendahnya hirarki wilayah. Fasilitas-fasilitas
yang dapat dikaji berupa fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas sosial,
dan fasilitas penunjang lainnya seperti fasilitas pendukung budidaya laut. Hirarki
wilayah desa berdasarkan hasil analisis skalogram pada tiga kecamatan di
Kabupaten Kupang dapat dilihat pada Tabel 26.
sebanyak 26 jenis dan 932 unit. Jumlah penduduk yang bermukim di desa ini
sekitar 4589 jiwa dengan kepadatan penduduk hanya sekitar 139 jiwa/km2.
Kelurahan Sulamu merupakan ibukota Kecamatan Sulamu dengan jarak tempuh
yang dekat ke Kota Kupang jika ditempuh dengan transportasi laut seperti feri.
Desa ini lebih terlihat lebih berkembang dibandingkan desa-desa lainnya, hal ini
dicirikan dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki baik fasilitas umum maupun
fasilitas pendukung, seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas
sosial, dan fasilitas penunjang lainnya seperti fasilitas pendukung budidaya laut.
Fasilitas pendidikan cukup lengkap seperti Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah
Menengah Umum (SMU) baik negeri maupun swasta. Fasilitas kesehatan juga
tersedia cukup lengkap. Desa ini telah memiliki fasilitas kesehatan seperti
puskesmas, puskesmas pembantu, BKIA/polindes dan posyandu. Sedangkan
fasilitas sosial dan kelembagaan juga sudah tersedia seperti sarana ibadah baik
agama kristen protestan, kristen khatolik dan islam, sarana telekomunikasi,
koperasi unit desa (KUD) dan lembaga penyuluh dan pelatihan untuk
nelayan/pembudidaya.
Hirarki wilayah desa paling rendah adalah desa Oenaek di kecamatan
Kupang Barat. Jumlah penduduk yang bermukim di desa ini sekitar 567 jiwa
dengan kepadatan penduduk hanya sekitar 40 jiwa/km2. Jumlah jenis dan
banyaknya fasilitas sebanyak 11 jenis dan 138 unit yang merupakan jumlah yang
sangat minim dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Desa Oenaek cukup jauh
dari ibukota kecamatan maupun ibukota kabupaten. Untuk menuju ke wilayah ini
dibutuhkan perjalanan sejauh 32,5 km dari ibukota kabupaten. Di desa ini hanya
memiliki satu SD swasta, satu polindes dengan satu tenaga bidan, dua
posyandu, dua gereja bagi agama kristen protestan, tidak ada lembaga koperasi
dan perputaran ekonomi hanya pada sembilan kios kecil. Fasilitas lainnya tidak
tersedia pada desa ini.
Pengelompokkan hirarki wilayah desa dapat dilakukan dengan analisis
sentralitas. Dalam analisis sentralitas, parameter yang diukur adalah
kelengkapan fasilitas yang dimiliki tiap desa. Hasil analisis ini akan
menggambarkan tingkat perkembangan desa yang dapt dibagi atas tiga
kelompok yaitu :
a. Kelompok I adalah desa dengan tingkat perkembangan tinggi (maju) yaitu
apabila memiliki nilai indeks sentralitas jenis fasilitas sebesar nilai rata-rata +
2 kali standar deviasi.
131
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa Kota Kupang menjadi prioritas
pertama untuk dijadikan sebagai lokasi pasar hasil budidaya laut yang paling
cocok, dengan nilai MPE 531.466.299. Kenyataannya, Kota Kupang menjadi
pusat perdagangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang menjadikannya lokasi
pasar unggulan dibandingkan alternatif lokasi lainnya atau dengan kata lain
sentra pasar pusat bertempat di Kota Kupang. Kriteria-kriteria pasar yang ada
dalam analisis ini seperti permintaan produk, jarak dan fasilitas pasar di Kota
138
Kupang lebih unggul dibandingkan alternatif lokasi lainnya yang jarak tempuhnya
jauh dan sebagian besar belum memiliki fasilitas pasar yang memadai seperti
gedung, gudang, air bersih, listrik, pengelolaan limbah, sistem keamanan dan
sebagainya. Banyaknya pengunjung dari luar kota yang singgah di Kota Kupang
dapat meningkatkan permintaan produk budidaya laut.
Sedangkan untuk urutan prioritas pasar berikutnya adalah Kelurahan
Sulamu, Desa Tablolong, dan Desa Uiasa. Ketiga alternatif lokasi pasar ini dapat
menjadi sentra pasar kecamatan yang akan mengirimkan hasil produk
pengolahan budidaya laut yang ada di kecamatan ke sentra pasar pusat di Kota
Kupang. Untuk itu perlu adanya kerjasama yang baik antara wilayah kecamatan,
kabupaten dan kota. Pola kerjasama yang baik sangat mempengaruhi
keberhasilan pengembangan kawasan minapolitan. Berikutnya kerjasama ini
akan dibahas lebih lanjut dalam sub-bab pendekatan sistem dengan metode ISM
(interpretative structural modelling).
Pasar mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian.
Pasar juga dapat dijadikan sumber pendapatan pemerintah untuk membiayai
pembangunan melalui pajak dan retribusi. Banyaknya tenaga kerja yang
dibutuhkan dalam kegiatan pasar, berarti pasar turut membantu mengurangi
pengangguran, memanfaatkan sumber daya manusia, serta membuka lapangan
kerja. Pasar sebagai sarana distribusi, berfungsi memperlancar proses
penyaluran hasil olahan budidaya laut dari produsen (pembudidaya) ke
konsumen, dengan adanya pasar, produsen dapat berhubungan baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk menawarkan hasil produksinya kepada
konsumen. Pasar dikatakan berfungsi baik jika kegiatan distribusi barang dan
jasa dari produsen ke konsumen berjalan lancar. Pasar dikatakan tidak berfungsi
baik jika kegiatan distribusi seringkali macet, oleh karena itu diperlukan
prasarana dan sarana pendukung transportasi dan distribusi yang baik dalam
akses menuju pasar.
Prioritas pasar yang ada di ketiga desa/kelurahan ini merupakan pasar
tradisional yang ada dalam kelompok masyarakat, nantinya dari pasar tradisional
inilah yang akan menjadi sentra pemasaran daerah skala mikro. Dari sentra
pemasaran mikro ini yang akan dikembangkan atau ditingkatkan jumlah dan
kualitasnya menjadi skala menengah keatas (skala nasional) sehingga berdaya
saing tinggi untuk di import ke luar negeri.
149
6.4 Kesimpulan
Abstrak
Keberlanjutan merupakan dasar dalam pembangunan kelautan dan
perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan
masyarakat. Konsep keberlanjutan dalam pembangunan kelautan dan perikanan
telah dipahami saat ini, namun dalam menganalisis atau mengevaluasi
keberlanjutan pembangunan kelautan dan perikanan sering dihadapkan dengan
permasalahan mengeintegrasikan informasi/data dari keseluruhan komponen
(secara holistik), baik aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya,
infrastruktur/teknologi, serta hukum dan kelembagaan. Metode analisis
keberlanjutan pengembangan kawasan minapolitan dilakukan dengan
pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang disebut juga dengan
pendekatan Rap-MINAKU (rapid appraisal Minapolitan Kabupaten Kupang) dan
hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan. Untuk
mengetahui atribut yang sensitif berpengaruh terhadapindeks dan status
keberlanjutan dan pengaruh galat, dilakukan analisis leverage dan monte carlo.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dimensi ekologi berada pada status cukup
berkelanjutan (72,26%), dimensi ekonomi status cukup berkelanjutan (62,84%),
dimensi sosial-budaya status berkelanjutan (78,67%), dimensi
infrastruktur/teknologi status kurang berkelanjutan (46,93%), serta dimensi
hukum dan kelembagaan status kurang berkelanjutan (49,84%). Dari 48 atribut
yang dianalisis, 18 atribut yang perlu segera ditangani karena sensitif
berpengaruh terhadap peningkatan indeks dan status keberlanjutan dengan
tingkat galat (error) yang sangat kecil pada tingkat kepercayaan 95%. Dalam
rangka meningkatkan status keberlanjutan ke depan (jangka panjang), skenario
yang perlu dilakukan adalah skenario progresif-optimistik dengan melakukan
perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif dalam
peningkatan status kawasan.
7.1 Pendahuluan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia No.12 Tahun 2010 tentang minapolitan Bab III Pasal 5 Butir (2) yang
menyatakan bahwa pengembangan kawasan minapolitan dimulai dari
pembinaan unit produksi, pengolahan, dan/atau pemasaran yang terkonsentrasi
di sentra produksi, pengolahan dan/atau pemasaran di suatu kawasan yang
diproyeksikan atau direncanakan menjadi kawasan minapolitan yang dikelola
secara terpadu. Dalam pengelolaan kawasan minapolitan terpadu perlu adanya
integrasi setiap kepentingan dalam keseimbangan (proporsionality) antar dimensi
ekologis, dimensi sosial, antar sektoral, disiplin ilmu dan segenap pelaku
pembangunan (stakeholders). Tujuan dari pengelolaan ini adalah untuk
mewujudkan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
152
b. Analisis Prospektif
Analisis prospektif dilakukan dalam rangka menghasilkan skenario
pengembangan kawasan minapolitan secara berkelanjutan di wilayah Kabupaten
Kupang untuk masa yang akan datang dengan menentukan faktor kunci yang
berpengaruh terhadap kinerja sistem. Pengaruh antar faktor yang diberikan skor
oleh pakar dengan menggunakan pedoman penilaian analisis prospektif pada
Tabel 31.
A
B
…….
N
P
Faktor Penentu Faktor Penghubung
e
INPUT STAKE
n
g
a
r Faktor Bebas Faktor Terikat
u UNUSED OUTPUT
h
Ketergantungan
Hasil analisis berbagai faktor atau variabel seperti pada Gambar 9 di atas
menunjukkan bahwa faktor-faktor atau variabel-variabel yang berada pada :
159
masyarakat dalam kegiatan budidaya laut, (5) jumlah desa dan penduduk yang
bekerja di sektor budidaya laut, (6) peran masyarakat adat dalam kegiatan
budidaya laut, (7) pola hubungan masyarakat dalam kegiatan budidaya laut, (8)
akses masyarakat dalam kegiatan budidaya laut, dan (9) persentase desa yang
tidak memiliki akses penghubung. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh
tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan sosial-budaya yaitu
(1) pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan budidaya laut, (2) jumlah desa
dan penduduk yang bekerja di sektor budidaya laut, dan (3) persentasi desa
yang tidak memiliki akses penghubung. Hasil analisis leverage dimensi
keberlanjutan sosial-budaya dapat dilihat pada Gambar 41.
Jumlah desa dan penduduk yang bekerja di sektor budidaya laut 8.97
0 2 4 6 8 10 12 14
0 1 2 3 4 5 6 7
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Sustainability scale 0 to 100)
0 1 2 3 4 5 6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
RAPMINAKU Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
Real Index
-40
References
Anchors
DOWN
-60
Status Keberlanjutan Multidimensi (59.36% )
Gambar 44 Indeks keberlanjutan multidimensi Kabupaten Kupang
Tabel 34 Hasil analisis nilai stress dan koefisien determinasi (R2) Rap-MINAKU
Dimensi keberlanjutan
Parameter
A B C D E F
Stress 0,14 0,14 0,13 0,14 0,14 0,13
R2 0,95 0,95 0,94 0,95 0,95 0,98
Iterasi 2 2 3 2 2 2
Keterangan : A = Dimensi ekologi, B = Dimensi ekonomi, C = Dimensi sosial-budaya, D = Dimensi
infrastruktur-teknologi, E = Dimensi hukum-kelembagaan, dan F = Multidimensi
kesesuaian dan daya dukung lahan pada saat ini, dimana kelas kesesuaian dan
daya dukung lahan yang dihasilkan berdasarkan pada data yang tersedia dan
belum mempertimbangkan asumsi/usaha perbaikan bagi tingkat pengelolaan
yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala fisik atau faktor-faktor
penghambat yang ada. Selain itu, penggunaan benih/bibit perlu diperhitungkan
agar tidak mencemari perairan budidaya laut yang berdampak terhadap
penurunan kualitas perairan.
Faktor pembatas yang juga merupakan faktor kunci dari budidaya laut ini
adalah parameter/faktor/kriteria fisik perairan itu sendiri seperti luas lahan dan
jumlah unit kegiatan budidaya laut yang dapat mendukung dalam kawasan ini
untuk diusahakan. Ketiga faktor kunci ini menjadi dasar bagi pengembangan
minapolitan berbasis budidaya laut di Kabupaten Kupang, sehingga perlu adanya
perhatian khusus terhadap status berkelanjutan dari dimensi ekologi ini.
Dilihat dari hasil analisis kelayakan usaha budidaya laut jenis komoditas
unggulan rumput laut yang menjadi primadona di Kabupaten Kupang dan
komoditas budidaya laut lainnya seperti ikan kerapu, teripang dan tiram mutiara,
secara ekonomi layak untuk dikembangkan karena memberikan keuntungan
yang memadai bagi nelayan/pembudidaya, ini terlihat dari hasil analisis R/C
terhadap beberapa komoditas budidaya laut memberikan nilai >1. Namun jika
keuntungan budidaya laut ini dikaitkan dengan penggunaan biaya dalam
kegiatan budidaya laut yang seharusnya dikeluarkan untuk mendukung
peningkatan produksi, dapat dikatakan keuntungan ekonomi ini masih tergolong
cukup rendah. Ini disebabkan masih banyaknya biaya-biaya lain yang harus
dikeluarkan untuk industri pengolahan dalam rangka peningkatan usaha
budidaya laut ini.
Demikian pula dalam hal biaya pemeliharaan dan biaya tenaga kerja
penanganan panen dan pasca panen, termasuk biaya pengangkutan hasil panen
ke tempat penyimpanan dan konsumen belum banyak diperhitungkan. Apabila
biaya-biaya produksi tersebut di atas diperhitungkan tentunya akan berpengaruh
terhadap keuntungan budidaya laut yang diperolehnya. Namun demikian,
penggunaan biaya yang lebih besar dalam kegiatan budidaya laut diharapkan
produksi budidaya laut yang diperoleh juga lebih tinggi.
Beberapa program dari pemerintah daerah telah dilakukan dalam rangka
lebih memberdayakan masyarakat dalam kegiatan perikanan dan kelautan,
seperti peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui penyuluhan, pelatihan;
8 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI
KABUPATEN KUPANG
Abstrak
Strategi peningkatan sektor perikanan yang dipandang relatif tepat untuk
meningkatkan daya saing adalah melalui pendekatan klaster. Di beberapa
negara, industri yang berbasis klaster telah terbukti mampu menunjukkan
kemampuannya secara berkesinambungan dalam menembus pasar. Strategi
klaster menawarkan upaya pembangunan ekonomi yang lebih efektif dan
komprehensif. Strategi ini yang dikenal dengan minapolitan. Kebijakan
minapolitan ini bertujuan untuk pengembangan daerah. Untuk mendukung
pengembangan kawasan tersebut, perlu dibangun model pengembangan
kawasan minapolitan untuk menggambarkan kondisi yang terjadi saat ini dan
akan terjadi di masa depan dalam bentuk data simulasi berdasarkan kondisi
nyata. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model pengembangan
minapolitan berbasis budidaya rumput laut di Kabupaten Kupang. Dalam
membangun model ini digunakan metode analisis sistem dinamik dengan
software Powersim. Model ini terdiri atas tiga sub model yaitu sub model lahan,
budidaya dan industri pengolahan. Hasil simulasi setiap komponen menunjukkan
kecenderungan kurva pertumbuhan positif naik mengikuti kurva eksponensial.
Namun pada komponen pertambahan penduduk dan peningkatan lahan
permukiman selalu diimbangi oleh laju pengurangan jumlah penduduk akibat
kematian dan migrasi keluar sehingga dalam model ini terjadi hubungan timbal
balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif
(negative feedback) melalui proses balancing. Adapun komponen lahan
budidaya yang telah ditentukan kesesuaian dan daya dukung lahan berdasarkan
parameter untuk budidaya rumput laut sehingga pertambahan luas lahan
budidaya rumput laut pada suatu saat akan sampai pada titik keseimbangan
tertentu (stable equilibirium) yaitu luas lahan budidaya dengan tingkat kesesuain
sangat sesuai, bentuk model seperti ini dalam sistem dinamik mengikuti pola
dasar archtype “limits to growth”.
8.1 Pendahuluan
Wilayah Kabupaten Kupang memiliki potensi sumberdaya alam yang
cukup besar untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, salah satu potensi yang dimiliki sesuai dengan karakteristik
wilayahnya adalah sektor kelautan dan perikanan. Melihat potensi yang besar ini,
maka pengembangan kawasan minapolitan merupakan pilihan tepat sebagai
konsep pembangunan wilayah dengan menyesuaikan potensi dan karakteristik
wilayah yang bersangkutan. Pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten
Kupang dimaksudkan agar terjadi peningkatan efisiensi dan efektifitas dengan
menurunkan komponen biaya dari hulu sampai hilir dalam produksi suatu
komoditi.
176
a. Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap
pelaku yang terlibat dalam pengembangan minapolitan. Berdasarkan kajian
178
b. Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem merupakan suatu rangkaian hubungan antara
pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus
dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan identifikasi
sistem adalah untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-
faktor yang saling mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu
sistem. Hubungan antar faktor digambarkan dalam bentuk diagram lingkar
sebab-akibat (causal loop), kemudian dilanjutkan dengan interpretasi diagram
lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box). Dalam menyusun kotak gelap,
179
jenis informasi dikategorikan menjadi tiga golongan yaitu peubah input, peubah
output, dan parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. Gambaran
diagram lingkar sebab-akibat dapat dilihat pada Gambar 46 dan diagram kotak
gelap pada Gambar 47.
c. Simulasi Model
Simulasi model merupakan cara untuk menirukan keadaan yang
sesungguhnya (Robert, 1983), sedangkan menurut Muhammadi et al., 2001,
simulasi model merupakan peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Tujuan
simulasi adalah untuk memahami gejala atau proses, membuat analisis, dan
peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Dengan
menggunakan perangkat lunak powersim, variabel-variabel akan saling
dihubungkan membentuk suatu sistem yang dapat menirukan kondisi
sebenarnya. Hubungan antar variabel dinamakan diagram alir (flow diagram),
dimana variabel ini digambarkan dalam bentuk simbol yaitu simbol aliran (flow
symbol) yang dihubungkan dengan level (level symbol). Penghubung antara flow
dan level disebut proses aliran yang digambarkan melalui panah aliran. Hasil
simulasi model berupa gambar atau grafik yang menggambarkan perilaku dari
sistem. Kelebihan dilakukannya simulasi dalam analisis kesisteman adalah
bahwa permasalahan yang penuh dengan ketidakpastian dan sulit dipecahkan
dengan metode analisis lainnya, dapat diselesaikan dengan simulasi model.
d. Validasi Model
Terdapat dua pengujian dalam validasi model yaitu uji validasi struktur
dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan
pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja
lebih menekankan pemeriksaan yang taat data empiris. Model yang baik adalah
yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logico-empirical).
Uji validasi struktur bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana
keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Uji ini dibedakan atas dua
jenis yaitu validasi konstruksi dan kestabilan struktur. Validasi konstruksi adalah
keyakinan terhadap konstruksi model diterima secara akademis, sedangkan
kestabilan struktur adalah keberlakuan atau kekuatan (robustness) struktur
dalam dimensi waktu (Muhammadi et al., 2001). Uji validasi kinerja bertujuan
untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai (compatible)
dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah
dengan yang taat fakta, yaitu dengan melihat apakah perilaku output model
sesuai dengan perilaku data empiris. Penyimpangan terhadap output model
dengan data empiris dapat diketahui dengan uji statistik yaitu menguji
penyimpangan rata-rata absolutnya (AME : Absolute Means Error) dan
penyimpangan variasi absolutnya (AVE : Absolute Variation Error). Batas
181
bruto (PDRB) Kabupaten Kupang. Model dinamik yang dibangun terdiri atas tiga
sub model yang mewakili dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial yaitu (1) sub
model lahan minapolitan yang menggambarkan perkembangan kebutuhan lahan
untuk permukiman, budidaya, fasilitas, dan lahan untuk industri pengolahan serta
dinamika pertumbuhan penduduk; (2) sub model budidaya laut yang
menggambarkan perkembangan produksi, jumlah rumput laut yang dipakai pada
kebun bibit, penjualan bibit, keuntungan dari pembibitan keuntungan usaha
nelayan minapolitan; dan (3) sub model industri pengolahan rumput laut yang
menggambarkan biaya pengolahan, keuntungan yang diperoleh dari hasil
pengolahan serta PDRB.
Perilaku model dinamik pengembangan kawasan minapolitan di wilayah
perbatasan Kabupaten Kupang dianalisis dengan menggunakan program
powersim constructor version 2.5d. Struktur model minapolitan ini dapat dilihat
pada Gambar 48 dan persamaan model dinamis pada Lampiran 22. Analisis
dilakukan untuk 30 tahun yang akan datang, dimulai pada tahun 2007 dan
berakhir pada tahun 2037. Waktu 30 tahun ini diharapkan dapat memberikan
gambaran perkembangan kawasan minapolitan di wilayah Kabupaten Kupang
untuk masa jangka panjang. Beberapa data awal dan asumsi-asumsi yang
digunakan dalam pemodelan ini antara lain :
1. Simulasi model minapolitan berbasis budidaya laut ini merupakan simulasi
dari tiga kecamatan pesisir di Kabupaten Kupang yaitu Kecamatan Semau,
Kupang Barat dan Sulamu. Luas lahan minapolitan terdiri atas dua lahan yaitu
lahan minapolitan darat dan lahan minapolitan laut.
2. Jumlah penduduk kecamatan Semau, Kupang Barat dan Sulamu masing-
masing sebesar 6.280 jiwa, 14.234 jiwa dan 14.457 jiwa pada tahun 2007
(BPS Kabupaten Kupang, 2008). Pertumbuhan penduduk di Kabupaten
Kupang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kelahiran dan kematian, namun
saat ini faktor perpindahan penduduk juga mempunyai pengaruh yang cukup
besar. Luas lahan perairan untuk pengembangan minapolitan budidaya laut
masing-masing kecamatan sekitar 689,22 ha untuk Kecamatan Semau,
3040,47 ha untuk Kecamatan Kupang Barat, dan 365,34 ha untuk Kecamatan
Sulamu.
3. Komoditas budidaya yang dimodelkan meliputi komoditas rumput laut yang
merupakan komoditas unggulan di lokasi studi. Produksi budidaya rumput laut
untuk Kecamatan Semau sebesar 600 ton dan Kecamatan Kupang Barat
183
sebesar 1.100 ton tahun 2007 sedangkan untuk Kecamatan Sulamu data
tidak tersedia.
4. Hasil rumput laut akan diolah menjadi dodol dan pilus. Untuk mengolah
tersebut dibutuhkan industri pengolahan dengan tenaga kerja. Pembudidaya
rumput laut tahun 2007 di Kecamatan Semau sejumlah 995 jiwa dan
Kecamatan Kupang Barat sejumlah 1650 orang.
5. Lahan budidaya adalah lahan dengan kelas sangat sesuai, sedangkan untuk
lahan dengan kelas sesuai dan tidak sesuai dipakai sebagai lahan konservasi.
6. Sumbangan pengembangan minapolitan terhadap produk domestik regional
bruto (PDRB) Kabupaten Kupang dihitung dari PDRB perikanan yang meliputi
komoditas rumput laut.
industri, dan lahan permukiman. Lahan minapolitan terdiri atas lahan minapolitan
darat dan lahan minapolitan laut. Adapun pengaruh dari setiap komponen-
komponen tersebut seperti pada Gambar 49.
sesuai), sedangkan untuk kondisi eksisting luas lahan budidaya adalah 1,21 km2.
Laju pengurangan dari alokasi fasilitas budidaya sebesar 2% per tahun dan laju
pertumbuhan lahan budidaya rumput laut sebesar 10%. Jumlah penduduk
eksisting (tahun 2007) sebanyak 6.280 jiwa dengan tingkat kelahiran 1,13%,
tingkat kematian 0,53%, imigrasi 1,84% dan emigrasi 1,04%. Asumsi pemakaian
lahan pemukiman per jiwa sebesar 20 m2 (2.10-5 km2). Lahan industri pengolahan
di tahun 2007 belum tersedia. Berdasarkan asumsi-asumsi ini dihasilkan simulasi
model penggunaan lahan di kawasan minapolitan Kecamatan Semau seperti
pada Tabel 37.
lahan budidaya rumput laut dari 3,23 km2 pada tahun 2007 menjadi 9,10 km2
pada tahun 2037 dengan laju pertambahan luas sebesar 10% per tahun.
Demikian pula yang terjadi pada luas lahan permukiman, pada tahun 2007 luas
lahan sebesar 0,29 km2 naik menjadi 12,76 km2 pada tahun 2037 dengan laju
pertumbuhan 1% per tahun. Sementara luas lahan industri pengolahan rumput
laut naik menjadi 5,17 km2 pada tahun 2037. Dengan asumsi pertambahan
pemanfaatan lahan budidaya 10% per tahun, maka pada tahun 2037
pemanfaatan lahan belum terpakai secara keseluruhan dari total alokasi
penggunaan lahan budidaya sebesar 22,29 km2. Hal ini memungkinkan untuk
dilakukannya kegiatan ekstensifikasi dalam rangka meningkatkan produksi
rumput laut di Kecamatan Kupang Barat, agar dapat memperoleh luas lahan
budidaya maksimal dalam jangka waktu 30 tahun adalah menaikkan laju
pertumbuhan lahan budidaya rumput laut sebesar 30% sehingga didapat lahan
budidaya maksimal sebesar 22,24 km2 pada tahun 2034. Jika laju pertumbuhan
luas lahan budidaya ditambah 30% per tahun maka akan terdapat penambahan
unit longline rumput laut sebesar 7.414 unit petakan per 3000 m2 setiap tahun.
budidaya adalah 0,10 km2. Laju pengurangan dari alokasi fasilitas budidaya
sebesar 2% per tahun dan laju pertumbuhan lahan budidaya rumput laut sebesar
10%. Jumlah penduduk eksisting (tahun 2007) sebanyak 14.457 jiwa dengan
tingkat kelahiran 1,57%, tingkat kematian 0,80%, imigrasi 2,96% dan emigrasi
1,90%. Asumsi pemakaian lahan pemukiman per jiwa sebesar 20 m2 (2.10-5
km2). Lahan industri pengolahan di tahun 2007 belum tersedia. Berdasarkan
asumsi-asumsi ini dihasilkan simulasi model penggunaan lahan di kawasan
minapolitan Kecamatan Sulamu yang disajikan pada Tabel 39.
Alokasi penggunaan lahan kawasan minapolitan budidaya rumput laut
Kecamatan Sulamu dari Tabel 39 menunjukkan terjadi penambahan luas lahan
budidaya rumput laut dari 0,10 km2 pada tahun 2007 menjadi 0,29 km2 pada
tahun 2037 dengan laju pertambahan luas sebesar 10% per tahun. Demikian
pula yang terjadi pada luas lahan permukiman, pada tahun 2007 luas lahan
sebesar 0,29 km2 naik menjadi 11,71 km2 pada tahun 2037 dengan laju
pertumbuhan 1% per tahun, sementara luas lahan industri pengolahan rumput
laut naik menjadi 0,16 km2 pada tahun 2037.
Dengan asumsi pertambahan pemanfaatan lahan budidaya 10% per
tahun, maka pada tahun 2037 pemanfaatan lahan belum terpakai secara
keseluruhan dari total alokasi penggunaan lahan budidaya sebesar 3,20 km2. Hal
ini memungkinkan untuk dilakukannya kegiatan ekstensifikasi dalam rangka
meningkatkan produksi rumput laut di Kecamatan Sulamu. Berbeda dengan
Kecamatan Semau dan Kecamatan Kupang Barat, pada Kecamatan Sulamu ini
perlu dilakukan pengembangan rumput laut sebesar-besarnya agar dapat
memaksimalkan lahan budidaya rumput laut yang tersedia. Dalam rangka
memaksimalkan lahan budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan cara
menaikkan laju pertumbuhan sebesar 140% untuk jangka waktu 30 tahun
sehingga pada tahun 2036 didapatkan luas lahan budidaya rumput laut yang
maksimal sebesar 3,16 km2 untuk jumlah petakan rumput laut sebesar 1.053 unit
dan membutuhkan lahan industri sebesar 1,44 km2. Namun hal ini tidak mungkin
dilakukan di Kecamatan Sulamu yang masih mengalami banyak kendala dan
masalah dalam budidaya laut khususnya rumput laut, salah satu diantaranya
adalah jumlah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pembudidaya
rumput laut tidak cukup untuk menggarap lahan budidaya tersebut, sehingga hal
yang paling memungkinkan dilakukan adalah melibatkan masyarakat Kecamatan
Sulamu dalam pelatihan budidaya rumput laut sehingga kegiatan ekstensifikasi
191
2400 kg per 3000 m2 (800 ton per km2), kemudian laju pengurangan panen
rumput laut dipengaruhi oleh persen kematian rumput laut sebesar 10%,
sedangkan laju pertambahan panen rumput laut dipengaruhi oleh kenaikan berat
rumput laut yaitu 6 kali berat semula (200 gr) dan jumlah panen normal dalam 1
tahun sebanyak 6 kali panen. Setelah pemanenan dilakukan, proses berikutnya
adalah penjemuran rumput laut untuk mendapatkan rumput laut kering. Dalam
proses pengeringan ini, diasumsikan rendemen rumput laut sebesar 12,5% dari
berat rumput laut basah sebelum dijual.
Dalam sub model budidaya ini juga terdapat biaya operasional sebesar
Rp63.312.000,00 per petak per tahun dan kenaikan modal sebesar 6% per
tahun, kedua faktor ini yang mempengaruhi besarnya pengeluaran dalam
produksi budidaya rumput laut ini. Biaya operasional merupakan biaya dari
analisis kelayakan usaha (finansial) yang telah dibahas pada bab 5 pada
disertasi ini. Penerimaan usaha budidaya rumput laut ini diperoleh dari hasil
penjualan rumput laut kering dengan harga Rp10.000,00 per kg.
Tabel 40 menyajikan hasil simulasi lahan budidaya (km2), jumlah petakan
(unit), kebutuhan bibit (ton), panen kering (ton), pengeluaran, penerimaan dan
keuntungan (Rp) usaha budidaya rumput laut di Kecamatan Semau tahun 2007-
2037. Dengan asumsi laju pertambahan lahan budidaya 10% dan perhitungan
produksi budidaya yang telah dibuat, pada tahun 2037 didapatkan peningkatan
hasil panen kering rumput laut sebesar 10.707 ton dari 3.799 ton pada tahun
2007. Untuk mendapatkan 3.799 ton pada tahun 2007 dibutuhkan bibit rumput
laut sebesar 968 ton yang akan ditanam pada luas lahan budidaya 1,21 km2
dengan jumlah petakan 403 unit.
Keuntungan usaha budidaya laut ini mengalami peningkatan dari
Rp10.926.009.600,00 pada tahun 2007 menjadi Rp30.790.180.359,00 pada
tahun 2037. Dilihat dari keuntungan yang diperoleh jika hasil panen rumput laut
kering terjual semuanya tanpa diolah terlebih dahulu dapat meningkatkan
pendapatan para pembudidaya rumput laut di Kecamatan Semau.
193
Tabel 40 Simulasi lahan budidaya (km2), jumlah petakan (unit), kebutuhan bibit
(ton), panen kering (ton), pengeluaran, penerimaan dan keuntungan
(Rp) usaha budidaya rumput laut di Kecamatan Semau
Tabel 41 Simulasi lahan budidaya (km2), jumlah petakan (unit), kebutuhan bibit
(ton), panen kering (ton), pengeluaran, penerimaan dan keuntungan
(Rp) usaha budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat
Tabel 42 Simulasi lahan budidaya (km2), jumlah petakan (unit), kebutuhan bibit
(ton), panen kering (ton), pengeluaran, penerimaan dan keuntungan
(Rp) usaha budidaya rumput laut di Kecamatan Sulamu
Simulasi panen kering (ton), keuntungan jual kering, dodol dan pilus (rp)
dari industri pengolahan rumput laut di Kecamatan Semau Tahun 2007-2037
disajikan pada Tabel 43. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dari hasil panen
kering 3.779 ton pada tahun 2007 didapatkan PDRB sebesar
Rp33.427.311.170,00 dari hasil penjualan 90% rumput laut kering dan 10% hasil
olahan dodol dan pilus. Peningkatan industri rumput laut olahan dodol meningkat
dari Rp10.589.022.785,00 pada tahun 2007 menjadi Rp29.840.530.378,00 pada
tahun 2037 sedangkan untuk olahan pilus meningkat dari Rp8.689.322.785,00
pada tahun 2007 menjadi Rp24.487.056.624,00 pada tahun 2037. PDRB
Kecamatan Semau dari rumput laut mencapai Rp94.200.259.521,00 pada tahun
2037.
Tabel 43 Simulasi panen kering (ton), keuntungan jual kering, dodol dan pilus
(Rp) dari industri pengolahan rumput laut di Kecamatan Semau
panen kering 10.142 ton pada tahun 2007 didapatkan PDRB sebesar
Rp89.231.582.710,00 dari hasil penjualan 90% rumput laut kering dan 10% hasil
olahan dodol dan pilus. Peningkatan industri rumput laut olahan dodol meningkat
dari Rp28.266.564.955,00 pada tahun 2007 menjadi Rp79.656.952.992,00 pada
tahun 2037 sedangkan untuk olahan pilus meningkat dari Rp23.195.464.955,00
pada tahun 2007 menjadi Rp65.366.275.120,00 pada tahun 2037. PDRB
Kecamatan Kupang Barat dari rumput laut mencapai Rp251.460.196.902,00
pada tahun 2037.
Tabel 44 Simulasi panen kering (ton), keuntungan jual kering, dodol dan pilus
(Rp) dari industri pengolahan rumput laut di Kecamatan Kupang Barat
Simulasi panen kering (ton), keuntungan jual kering, dodol dan pilus (rp)
dari industri pengolahan rumput laut di Kecamatan Sulamu tahun 2007-2037
disajikan pada Tabel 45. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dari hasil panen
kering 314 ton pada tahun 2007 didapatkan PDRB sebesar Rp2.762.587.700,00
199
dari hasil penjualan 90% rumput laut kering dan 10% hasil olahan dodol dan
pilus. Peningkatan industri rumput laut olahan dodol meningkat dari
Rp875.125.850,00 pada tahun 2007 menjadi Rp2.466.159.535,00 pada tahun
2037 sedangkan untuk olahan pilus meningkat dari Rp718.125.850,00 pada
tahun 2007 menjadi Rp2.023.723.688,00 pada tahun 2037. PDRB Kecamatan
Sulamu dari rumput laut mencapai Rp7.785.145.415,00 pada tahun 2037.
Tabel 45 Simulasi panen kering (ton), keuntungan jual kering, dodol dan pilus
(Rp) dari industri pengolahan rumput laut di Kecamatan Sulamu
Peningkatan setiap komponen yang ada dalam sub model industri ini
mengikuti pertumbuhan kurva sigmoid sampai batas tertentu. Akibat
keterbatasan lahan budidaya akan mengalami suatu titik kesetimbangan tertentu
(stable equilibirium) dimana keuntungan dan peningkatan PDRB tidak dapat
ditingkatkan lagi di kawasan minapolitan budidaya rumput laut ini, dan sub model
pengolahan ini dapat dikatakan mengikuti pola (archetype) limit to growth dalam
sistem dinamik.
200
keuntungan yang diperoleh petani. Ini berarti konsep Limits to Growth juga terjadi
terhadap produksi dan keuntungan usaha budidaya laut minapolitan. Dengan
melihat hasil simulasi model dinamik berdasarkan struktur model yang telah
dibangun yang sesuai dengan konsep teori empirik seperti diuraikan di atas,
maka model pengembangan kawasan minapolitan berbasis budidaya laut di
Kabupaten Kupang dapat dikatakan valid secara empirik.
memiliki kinerja yang baik, relatif tepat dan dapat diterima secara ilmiah. Adapun
hasil perhitungan uji validasi kinerja AME dan AVE seperti pada Tabel 50.
Tabel 50 Hasil perhitungan nilai AME dan AVE dalam uji validasi kinerja model
atau lebih unsur di dalam model tersebut. Pada Gambar 55 misalnya, dengan
memberikan intervensi dengan meningkatkan input produksi dalam suatu
kegiatan usaha budidaya, maka produksi budidaya laut yang diharapkan juga
akan semakin besar. Hal ini terlihat dengan semakin tajamnya perubahan kurva
dari skenario pesimis ke skenario moderat dan optimis. Dengan adanya
perubahan nilai produksi pada setiap pertambahan tahun dapat disimpulkan
bahwa model sangat sensitif terhadap intervensi yang diberikan.
8.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemodelan sistem dinamis yang telah dilakukan, hasil
simulasi setiap komponen menunjukkan kecenderungan kurva pertumbuhan
positif naik mengikuti kurva eksponensial. Namun pada komponen pertambahan
penduduk dan peningkatan lahan permukiman selalu diimbangi oleh laju
pengurangan jumlah penduduk akibat kematian dan migrasi keluar sehingga
dalam model ini terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui
proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses
balancing. Adapun komponen lahan budidaya yang telah ditentukan kesesuaian
dan daya dukung lahan berdasarkan parameter untuk budidaya rumput laut
sehingga pertambahan luas lahan budidaya rumput laut pada suatu saat akan
sampai pada titik keseimbangan tertentu (stable equilibirium) yaitu luas lahan
budidaya dengan tingkat kesesuain sangat sesuai, bentuk model seperti ini
dalam sistem dinamik mengikuti pola dasar archtype “limits to growth”. Untuk
meningkatkan perubahan kinerja model maka skenario yang perlu dilakukan
adalah skenario optimis dengan melakukan intervensi yang lebih besar terhadap
variabel kunci yang berpengaruh dalam model.
214
9 PEMBAHASAN UMUM
Baveridge, M.C.M. 1987. Cage and Open Farming: Carrying Capacity Models
and Environmental Impact. FAO Fish Tech. Paper. 225. FIRT/T255, 131p.
Experiment Station, Auburn University. Alabama. 482p.
Baveridge, M.C.M. 1996. Cage Aquaculture 2nd Edition. Fishing News Book Ltd.
Farnham, Surrey, England. 352p.
Beatley, T., D.J. Brower, & A.K. Scwab. 1994. Understanding The Coastal
Environment, The Special Nature Of Coastal Areas. An Introduction to
Coastal Zone Management. Island Press, Washington, D.C., pp. 11-31.
Bengen, D.G. 2004. Ragam Pemikiran : Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut
Berkelanjutan Berbasis Eko-Sosiosistem. Pusat Pembelajaran dan
Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor. 106hal.
Clark, W.A.V. and P.L. Hosking. 1986. Statistical Method for Geographers. John
Wiley and Sons, Inc. 513p.
Dawes, C.J. 1985. Marine Botany. New York: John Wiley and Son Inc. 229 hal.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2002. Laporan Tahunan Dinas Kelautan
dan Perikanan Tahun 2002. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Jakarta.
[DKP NTT] Dinas Kelautan dan Perikanan NTT. 2008. Data Base Perikanan
Kabupaten Kupang. Kupang. NTT.
[DKP NTT] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang. 2010. Potensi
Sumberdaya Perikanan dan Pemanfaatannya. Kupang. NTT.
Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid
1. Edisi Ketiga IPB Press. Bogor.
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bull No.32. Rome, 72
pp and ILRI Publication No.22. Wageningen. 87p.
FAO. 2003. A Guide to The Seaweed Industry. FAO Fisheries Technical Paper
No. 441.
FAO. 2009. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008. Food And
Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.
Fisheries. 1999. Rapfish Software for Excel. Fisheries Center Research Reports.
75pages.
236
FWA. 1998. Planning for the Further Development of Aquaculture and Marine
Farming Industry at Jurien Bay. Fisheries Management Report No. 4.
Fisheries Western Australia. Australia.
Ghufron. M, dan H. Kordi. 2005. Budidaya Ikan Laut di Keramba Jaring Apung.
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Hall, C.A.S and J.W. Day.1977. Ecosystem Modelling in Theory and Practise an
Introduction with Case Historie. John Wiley and Son. New York.
Iriawan. N, dan Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah
menggunakan Minitab 14. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Kadi, A dan W.S. Atmajaya. 1988. Rumput Laut (Algae). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jakarta. 71 hal.
237
Kavanagh P. and T.J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software for
Rapfish: A Technique for The Rapid Appraisal of Fisheries Status. University
of British Columbia. Fisheries Centre Research Reports 12(2) ISSN: 1198-
672. Canada. 75p.
Manetsch, T.J and G.L. Park. 1979. System Analysis and Simulation with
Application to Economic and Social System (terjemahan). Part I 3rd edition.
Departement of Electrical Enginering and System Science. Michigan State
University East Lansing. Michigan. 64p.
Meadows, D.H. 1985. The Electronic Oracle: Computer Model and Social
Decision, Chichester, John Wiley. New York.
Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks
(terjemahan). Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. 270 hal.
Saxena J.J.P, Sushil and Vrat, P. 1992. Hierarchy and Classification of Program
Plan Elements using Interpretative Structural Modelling. System Practice,
Vol. 5 (6), 651:670.
Soegiarto, A; W.S Sulistijo; dan H. Mubarak. 1978. Rumput Laut (Alga) : Manfaat,
Potensi dan Usaha Budidaya. PT Pustaka Binaman Presindo. Jakarta.
Soekartawai. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani
Kecil. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Tingkat
No Kisaran Nilai (Skor) 1) Evaluasi/Kesimpulan
Kesesuaian 2)
1 85 – 100 % S1 Sangat sesuai
2 75 – 84 % S2 Sesuai
3 65 – 74 % S3 Sesuai bersyarat
4 < 65 % N Tidak sesuai
Keterangan :
1)
: Rekomendasi DKP (2002)
2)
: Bakosurtanal (1996)
250
Lampiran 4 Nama dan arti pulau-pulau kecil di Kabupaten Kupang (DKP Kabupaten Kupang, 2008)
Nama Di Nama yang Bahasa Letak
Kecamatan Arti Nama Sejarah Nama Keterangan
Daerah Disepakati Daerah Lintang Bujur
**)
terdapat 2 kec: Semau dan
Semau Selatan
Se=satu,
1.Semau 1.Semau - Helong 10o14’00’’ 123o23’30” BP, Potensi mutiara, rumput
mau=kemauan
laut, jambu mente, perikanan
tangkap
Fatu=batu,
Saat surut tempat
- 7. Fatumeo Meo=kucing/ Timor 10o21’28’’ 123o35’59” TBP, Batu
mengintip ikan
pengintai ikan
7. Fatunai 10. Fatunai Batu laki-laki - Timor 10o20’12’’ 123o34’12” TBP, Karang
Fatu=batu, o o
8. Fatufeu 11. Fatufeu - Timor 10 20’39’’ 123 34’30” TBP, Karang
feu=baru
Fatu=batu,
9. Fatuatoni 12. Fatuatoni - Timor 10o20’50’’ 123o35’19” TBP, Karang
atoni=manusia
251
248
252
Pan=ujung
10. Pan Apot 13. Pan Apot - Timor 10o20’52’’ 123o35’24” TBP, Karang
Apot=bunyi
14. Fatu
Fatu=batu, Batu yg terletak di
- Tanjung Timor 10o21’23’’ 123o40’44” TBP, Batu
Tanjung Perahu
perahu
Tubu=gunung
4. Amarasi Barat 11.Tubuafu 15.Tubuafu - - 10o21’40’’ 123o41’18” TBP, Batu
Afu=abu
Tempat
TBP, tempat penangkapan
12. Burung 16. Burung berkumpulnya - - 10o01’30’’ 123o39’07”
ikan
5. Sulamu burung
TBP, karang bervegetasi,
13. Tikus 17. Tikus Mirip tikus Dulu banyak dihuni tikus - 10o03’06’’ 123o36’45”
tempat penangkapan ikan
Dulu, saat perang ada
kapal rusak disitu dan
Fatu=batu TBP, karang
6. Fatuleu Barat - 18. Fatubnao untuk mengenang peris- - 09o42’32’’ 123o40’52”
Bnao=kapal Luas 0,4 Ha
tiwa itu, batu itu dinamai
batu kapal
19. Batu Tan- Batu di dekat
- - Sabu 09o37’39’’ 123o40’35” TBP, karang
jung mas Tanjung mas
7. Amfoang B. Daya
20. Batu Batu berwarna
- - Sabu 09o36’14’’ 123o42’10” TBP, karang
Hitam hitam
Pulau terluar, BP tidak tetap,
Luas 14,5 Ha, ada mercusuar,
8. Amfoang Timur 14. Batek 21. Batek - - Timor 10o15’25’’ 123o59’37” helipad, pos TNI. Dulu
bernama Fatusinai artinya
batu sedih
253
Lampiran 7 Potensi dan sebaran jenis ikan dan non ikan dominan yang
tertangkap (DKP Kabupaten Kupang, 2008)
Potensi dan Jenis Ikan/non ikan Dominan
No Kecamatan Pelagis
Pelagis Kecil Demersal Non ikan
Besar
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Cumi-cumi,
Tongkol, Tembang, kembung,
1 Semau - Ubur-ubur,
tuna peperek, ikan terbang
teripang
Cumi-cumi,
Semau Tongkol, Tembang, kembung,
2 Kakap Ubur-ubur,
Selatan tuna peperek, ikan terbang
teripang
Udang,
Tembang, julung- Ek.kuning, Lobster, Cumi-
3 Kupang Barat Tongkol
julung, peperek kpl.batu cumi, Ubur-
ubur, teripang
Ek.kuning,
4 Nekamese Cakalang Selar, layang -
kepala batu
Udang,
Kupang Teri, selar, tembang,
5 - - teripang,
Tengah layang, julung-julung
kepiting
Cucut, Udang, lobster,
6 Amarasi Barat Tembang, Ekor kuning
cakalang teripang
Amarasi Tembang, ikan
7 Cucut - Lobster
Selatan terbang
Amarasi Tembang, teri, ikan Udang,
8 Cucut -
Timur terbang kepiting
Udang,
Teri, belanak,
9 Kupang Timur - - teripang,
tembang
kepiting
Tembang, teri, Ekor kuning, Udang,
10 Sulamu Tongkol
peperek kepala batu kepiting
Tembang, teri, ikan
11 Fatuleu Barat - - -
terbang
Amfoang B. Tembang, teri, ikan
12 - - -
Daya terbang
Amfoang Tembang, teri, ikan
13 Cakalang - -
Utara terbang
Amfoang B. Tembang, teri, ikan
14 Cakalang - -
Laut terbang
Amfoang Tembang, teri, ikan
15 Cakalang - Kepiting
Timur terbang
256
Lampiran 8 Potensi dan pemanfaatan areal budidaya laut s/d tahun 2005
(DKP Kabupaten Kupang, 2008)
Potensi Dimanfaatkan Produksi
No. Kecamatan Jenis Budidaya
(ha) (ha) (ton)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
630,0 - Rumput laut
1 Semau 3.824,0 121,30
20.825,0 - Mutiara (gr)
2) 2) 2)
2 Semau Selatan Rumput Laut
952,0 323,22 1.006,0 - Rumput laut
3 Kupang Barat 122,5 0,25 - - KJA
460,0 60,40 38.674,0 - Mutiara (gr)
4 Nekamese 20,0 2,0 5,0 Rumput laut
3,0 2 9 - Kepiting
5 Amarasi Barat
100,0 1,50 2 - Rumput laut
750,0 - - - Rumput laut
88,0 - - - KJA
6 Sulamu
49,0 - - - Kepiting
25,0 - - - Teripang
1) 1)
7 Fatuleu Barat 1.050,0 Rumput laut
8 Amfoang B. Laut 250,0 - - -
1.643 - Rumput Laut
Jumlah 7.693,5 510,67
59.499 - Mutiara (gr)
1)
Keterangan : data tidak tersedia
2)
data digabung dengan kecamatan Semau
257
259
260
Lampiran 12 Jumlah RTP, nelayan dan pembudidaya ikan di Kabupaten Kupang (DKP Kabupaten Kupang, 2008)
Nelayan (orang) Pembudidaya (orang)
No Kecamatan
RTP Penuh S. Utama S. Tambahan Jumlah R_Laut Ikan Tambak Jumlah
1 Semau 183 160 199 77 436 995 2 13 1.010
2 Semau Selatan 115 80 83 145 308 678 - - 678
3 Kupang Barat 467 419 215 140 774 1.633 - 5 1.638
4 Nekamese 112 78 68 44 190 25 - - 25
5 Kupang Tengah 149 150 155 123 428 - 41 14 55
6 Amarasi Barat 64 17 45 80 142 - 20 - 20
7 Amarasi Selatan 50 - 40 43 83 10 - - 10
8 Amarasi Timur 77 - 83 69 152 - - - -
9 Kupang Timur 64 95 130 37 262 - 154 51 205
10 Amabi O. Timur - - - - - - 11 - 11
11 Sulamu 607 461 401 230 1.092 - 11 174 185
12 Fatuleu - - - - - - 56 - 56
13 Fatuleu Barat 17 30 41 16 87 - - - -
14 Takari - - - - - - 55 - 55
15 Amfoang Selatan - - 15 33 48 - - - -
16 Amfoang B. Daya 64 35 132 59 226 - - - -
17 Amfoang Utara 125 32 55 81 168 - - - -
18 Amfoang B. Laut 41 90 170 77 337 - - - -
19 Amfoang Timur 122 30 89 62 181 - - - -
Jumlah 2.257 1.677 1.921 1.371 4.969 3.341 350 257 3.948
263
Penilaian
No Indikator Skor
Kupang Barat Semau Sulamu
1 Komoditas Unggulan
a) Satu jenis komoditas 1
1 1 3
b) Lebih dari satu jenis komoditas 2
c) Komoditas unggulan dan produk olahannya 3
2 Kelembagaan Pasar
a) Menampung hasil dari sebagian kecil kawasan 1
b) Menampung hasil dari sebagian besar kawasan 2 1 1 1
c) Menampung hasil dari kawasan minapolitan dan luar kawasan 3
3 Kelembagaan Nelayan/Pembudidaya
a) Kelompok nelayan/pembudidaya 1
b) Gabungan kelompok nelayan/pembudidaya 2 3 1 1
c) Koperasi (Credit Union / CU) 3
4 Kelembagaan Balai Penyuluh Perikanan (BPP)
a) BPP sebagai Balai Penyuluh Perikanan 1
b) BPP sebagai Balai Penyuluh Minabisnis 2 1 1 1
c) BPP sebagai Balai Penyuluh Pembangunan 3
5 Sarana dan Prasarana
1. Aksesbilitas ke/di sentra produksi
a) Kurang 1
b) Sedang 2 3 3 3
c) Baik 3
2. Sarana dan prasarana umum
a) Kurang 1
b) Sedang 2 2 1 1
c) Baik 3
3. Sarana dan prasarana kesejahteraan sosial
a) Kurang 1
b) Sedang 2 1 1 1
c) Baik 3
Jumlah Skor Maksimal : 12 9 11
Sumber : Deptan, 2002 dan Data Olahan
Keterangan :
Skor 1 -7 = Strata Pra Kawasan Minapolitan I
Skor 8 -14 = Strata Pra Kawasan Minapolitan II
Skor 15 -21 = Strata Pra Kawasan Minapolitan
271
Variabel
No Desa
a b c d e f
Kecamatan Kupang Barat
1 Tablolong 9,01 1010 201 484 14,5 35,5
2 Lifuleo 6,8 986 90 175 15,5 32,5
3 Tesabela 21,48 1015 122 259 10,5 28,5
4 Sumlili 14,4 1492 210 346 5 29
5 Oematnunu 20,89 1643 215 368 6,5 30,5
6 Kuanheun 21,46 1336 195 229 6,5 20,5
7 Nitneo 5,86 1073 218 255 6 24,5
8 Bolok 12,76 2273 405 736 6,5 19
9 Oenaek 14,32 567 96 138 8,5 32,5
Kecamatan Semau
1 Bokonusan 21,25 978 78 493 9 36
2 Otan 14,81 767 146 636 4 32
3 Uitao 12,26 745 307 473 1 28
4 Huilelot 23,56 699 122 331 4 17
5 Uiasa 23,58 1153 258 381 10 14
6 Hansisi 19,76 1276 196 673 12 12
7 Batuinan 5,13 333 0 198 8 36
8 Letbaun 23,07 474 0 121 8 28
Kecamatan Sulamu
1 Sulamu 33,03 4589 463 932 2 84
2 Pitai 30,49 942 82 246 9 73
3 Pariti 59,28 3203 245 1276 24 58
4 Oeteta 42,34 2435 202 1030 27 55
5 Bipolo 41,47 1792 214 567 33 49
6 Pantulan 33,03 1134 0 174 17 101
7 Pantai Beringin 30,48 515 0 177 15 67
Sumber : Kecamatan Kupang Barat, Semau, Sulamu dalam angka 2010 serta data diolah
Keterangan :
a. Luas desa (km 2 )
b. Jumlah penduduk (jiwa)
c. Jumlah keluarga memakai PLN (KK)
d. Jumlah sarana & prasarana umum (unit)
e. Jarak ke ibukota kecamatan (km)
f. Jarak ke ibukota kabupaten (km)
273
DIMENSI EKOLOGI
No ATRIBUT KETERANGAN SKOR BAIK BURUK
1 Status kepemilikan usaha budidaya laut (0) menyewa lahan, (1) menggarap, (2) milik sendiri 1 2 0
2 Frekuensi kejadian kekeringan (0) sering, (1) kadang-kadang, (2) tidak pernah terjadi kekeringan 2 2 0
3 Frekuensi kejadian banjir (0) sering, (1) kadang-kadang, (2) tidak pernah terjadi kekeringan 2 2 0
4 Kondisi sarana jalan desa (0) sangat jelek, (1) jelek, (2) agak baik, (3) baik 2 3 0
5 Produktivitas usaha budidaya laut (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 2 3 0
6 Penggunaan benih/bibit (0) tidak pernah, (1) kadang-kadang, (2) sering 2 2 0
7 Daya dukung lahan budidaya laut (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi 2 2 0
8 Kondisi prasarana jalan usaha budidaya laut (0) sangat jelek, (1) jelek, (2) agak baik, (3) baik 2 3 0
9 Kesesuaian perairan untuk budidaya laut (0) tidak sesuai, (1) sesuai bersyarat, (2) sesuai, (3) sangat sesuai 2 3 0
10 Ketersediaan benih/bibit budidaya laut (0) tidak tersedia, (1) tersedia 0 1 0
DIMENSI EKONOMI
No ATRIBUT KETERANGAN SKOR BAIK BURUK
1 Jumlah pasar (0) tidak ada, (1) ada pada desa tertentu, (2) tersedia di setiap desa 1 2 0
2 Pemasaran produk perikanan (0) pasar lokal, (1) pasar nasional, (2) pasar internasional 1 2 0
3 Persentase penduduk miskin (0) sangat tinggi, (1) tinggi, (2) sedang, (3) rendah 2 3 0
4 Harga komoditas unggulan (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 2 3 0
5 Jumlah tenaga kerja pembudidaya (0) sedikit, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 2 3 0
6 Kelayakan usaha budidaya laut (0) tidak layak, (1) agak layak, (2) layak 2 2 0
7 Jenis komoditas unggulan (0) hanya satu, (1) lebih dari satu, (2) banyak 1 2 0
Kontribusi sektor perikanan budidaya laut
8 (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi 2 2 0
terhadap PDRB
9 Tingkat ketergantungan konsumen (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 2 3 0
10 Keuntungan usaha budidaya (0) tidak untung, (1) agak untung, (2) untung 2 2 0
……bersambung ke halaman berikut
DIMENSI SOSIAL-BUDAYA
No ATRIBUT KETERANGAN SKOR BAIK BURUK
(0) dibawah rata-rata nasional, (1) sama dengan rata-rata nasional , (2)
1 Tingkat pendidikan formal masyarakat 0 2 0
diatas rata-rata nasional
Tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor
2 (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 2 3 0
perikanan
3 Jarak permukiman ke kawasan budidaya (0) jauh, (1) sedang, (2) dekat 2 2 0
Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) kurang optimal, (3) berjalan
4 1 3 0
budidaya laut optimal
Jumlah desa dan penduduk yang bekerja di
5 (0) tidak ada, (1) desa tertentu saja, (2) semua desa 1 2 0
sektor budidaya laut
Peran masyarakat adat dalam kegiatan
6 (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 3 3 0
budidaya laut
Pola hubungan masyarakat dalam kegiatan
7 (0) tidak saling menguntungkan, (1) saling menguntungkan 1 1 0
budidaya laut
Akses masyarakat dalam kegiatan budidaya
8 (0) tidak punya akses, (1) rendah, (2) sedang, (3) tinggi 3 2 0
laut
Presentasi desa yang tidak memiliki akses
9 (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 0 3 0
penghubung
DIMENSI INFRASTRUKTUR DAN TEKNOLOGI
No ATRIBUT KETERANGAN SKOR BAIK BURUK
1 Ketersediaan basis data budidaya laut (0) tidak tersedia, (1) tersedia 1 1 0
2 Tingkat penguasaan teknologi budidaya laut (0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi 1 3 0
Dukungan sarana & prasarana umum
3 (0) tidak lengkap, (1) cukup lengkap, (2) lengkap 1 2 0
(kesehatan, pendidikan, tempat ibadah, dll)
4 Dukungan sarana & prasarana jalan (0) tidak memadai, (1) cukup memadai, (2) sangat memadai 1 2 0
(0) belum diterapkan, (1) diterapkan pada produk tertentu, (2) diterapkan
5 Standarisasi mutu produk budidaya laut 1 2 0
untuk semua produk
Penggunaan alat & mesin budidaya laut
6 (0) tidak ada, (1) sebagian kecil, (2) umumnya menggunakan 2 2 0
(perahu, sampan, jaring, dll)
Ketersediaan industri pengolahan hasil
7 (0) tidak tersedia, (1) tersedia 0 1 0
budidaya laut
275
276
8 Ketersediaan teknologi informasi budidaya (0) tidak tersedia, (1) tersedia tapi tidak optimal, (2) tersedia optimal 1 2 0
(0) belum diterapkan, (1) diterapkan pada produk tertentu, (2) diterapkan
9 Penerapan sertifikasi produk budidaya laut 0 2 0
pada semua produk
10 Teknologi pakan/bibit/benih (0) tidak tersedia, (1) tersedia 0 1 0
DIMENSI HUKUM DAN KELEMBAGAAN
No ATRIBUT KETERANGAN SKOR BAIK BURUK
1 Keberadaan Balai Penyuluh Perikanan (BPP) (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) ada dan berjalan 1 2 0
2 Keberadaan lembaga sosial (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) ada dan berjalan 1 2 0
3 Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) ada dan berjalan 1 2 0
Keberadaan Lembaga Kelompok Nelayan
4 (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) ada dan berjalan 2 2 0
(LKN)
Mekanisme kerjasama lintas sektoral dalam
5 (0) tidak ada, (1) ada 0 1 0
pengembangan kawasan minapolitan
Ketersediaan peraturan perundang-undang
6 (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) ada dan berjalan 1 2 0
pengembangan kawasan minapolitan
7 Sinkronisasi antara kebijakan pusat & daerah (0) tidak sinkron, (1) kurang sinkron, (2) sinkron 2 2 0
8 Ketersediaan perangkat hukum adat/agama (0) tidak ada, (1) cukup tersedia, (2) sangat lengkap 1 2 0
9 Badan pengelola usaha budidaya laut (0) tidak ada, (1) ada tetapi tidak berjalan, (2) ada dan berjalan 0 2 0
277
A. Dimensi ekologi
60
UP
40
20
BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
Real Index
-40
References
Anchors
DOWN
-60
Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi (72.26%)
B. Dimensi ekonomi
60
UP
40
20
BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
40
20
BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
40
20
BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
References
Anchors
DOWN
-60
Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi (46.93%)
279
40
20
BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
F. Multidimensi
RAPMINAKU Ordination
60
UP
40
Other Distingishing Features
20
BAD GOOD
0
0 20 40 60 80 100 120
-20
Real Index
-40
References
Anchors
DOWN
-60
Status Keberlanjutan Multidimensi (59.36% )
280