You are on page 1of 14

BERCANDA MENURUT PANDANGAN ISLAM (muslim.or.

id)
Rasulullah SAW senang bercanda dengan istri, sahabat, maupun sanak saudaranya di waktu
senggang beliau. Tujuannya adalah untuk membuat hati mereka gembira. Candaan Rasulullah
SAW tidak berlebihan, bahkan walaupun dalam keadaan bercanda, beliau selalu berkata
benar.

Dituturkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha:


‫ضا ِح ًكا َحتهى ت ُ َرى ِم ْنهُ لَ َه َواتُهُ ِإنَ َما َكانَ يَتَبَ ه‬
‫س ُم‬ َ ُّ َ‫صلىاّلل عليه وسلم ُمستَجْ ِمعًا ق‬
‫ط‬ ‫ه‬ ‫َّللا‬ ُ ‫َما َرأَيْتُ َر‬
‫سو َل ه‬

"Aku belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa terbahak-bahak
hingga kelihatan lidahnya, namun beliau hanya tersenyum." (Bukhari Muslim)
"Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ’Wahai, Rasulullah! Apakah engkau juga bersenda gurau
bersama kami?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Betul, hanya saja aku
selalu berkata benar." (Ahmad)

Kisah Rasulullah SAW


Diriwayatkan dari Al-Hasan radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Seorang nenek tua mendatangi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nenek itu pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Berdoalah kepada
Allah agar Dia memasukkanku ke dalam surga!’ kemudian beliau pun mengatakan, ‘Wahai
Ibu si Anu! Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek tua.’ sontak nenek tua itu pun
pergi meninggalkan Rasulullah sambil menangis. Beliau pun mengatakan, ‘Kabarkanlah
kepadanya bahwasanya wanita tersebut tidak akan masuk surga dalam keadaan seperti nenek
tua. Sesungguhnya Allah ta’ala mengatakan: Sesungguhnya kami menciptakan mereka
(bidadari-bidadari) dengan langsung. Dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. Penuh
cinta lagi sebaya umurnya.' (QS. Al-Waqi'ah: 35-37)." (HR. At-Tirmidzi)
Kalau kita perhatikan kisah di atas, sebenarnya maksud Rasulullah adalah untuk bercanda
kepada si nenek tua tersebut. Tapi, beliau melontarkan candaan dengan kata-kata yang
mengandung doa. Ini yang patut kita tiru! Kenapa tidak kita coba ganti gaya candaan kita
dengan menggunakan kalimat yang positif?
CANDAANMU DOSAMU (wahdah.or.id)
Istihza’, secara bahasa berarti melecehkan. Al-Ashfahani rahimahullah berkata, “Al-Huzu’
(asal kata dari istihza’) adalah senda-gurau tersembunyi. Kadangkala disebut juga senda-
gurau atau kelakar.” Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istihza’ artinya pelecehan
dan penghinaan dalam bentuk olok-olokan dan kelakar.
Allah Haramkan Istihza’
Kisah istihza’ pernah terjadi di masa Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Ketika itu Rasulullah telah hijrah dan tinggal di Madinah. Berbeda dengan di Makkah, di
Madinah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dihadapkan dengan orang-orang munafik.
Mereka adalah orang-orang yang zhahirnya beriman tapi hatinya menyembunyikan
kebencian pada Allah dan Rasul-Nya.
Pada Perang Tabuk, seorang munafik melecehkan para penghafal Al-Qur’an dari kalangan
sahabat dalam suatu majelis. Ia berkata, “Tidak pernah aku melihat orang yang lebih buncit
perutnya, lebih dusta lisannya, dan lebih pengecut ketika bertemu musuh dibanding dengan
ahli baca Al-Qur’an ini.”
Sampailah berita tersebut kepada Rasulullah. Orang munafik itu lalu menemui beliau,
sedangkan beliau telah berada di atas ontanya bersiap-siap hendak berangkat. Ia berkata,
“Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”
Maka turunlah firman Allah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika
Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab
golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS.
At-Taubah: 65-66).
Bahaya Istihza’
Istihza’ ini sangat bahaya bagi pelakunya. Para ulama telah menjelaskan dan menyatakan
bahwa orang yang menghina Allah, Rasul-Nya, dan agama-Nya dapat mengeluarkan
pelakunya dari Islam alias murtad.
Syakhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengomentari surat At-Taubah ayat 64-66 yang
telah disebutkan sebelumnya, “Ayat ini merupakan nash bahwasanya memperolok-olok
Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya hukumnya kafir.”
Al-Fakhrurrazi rahimahullah dalam Tafsirnya mengatakan, “Sesungguhnya memperolok-olok
agama bagaimanapun bentuknya hukumnya kafir. Karena olok-olokan itu menunjukkan
penghinaan, sementara keimanan dibangun atas pondasi pengagungan terhadap Allah dengan
sebenar-benar pengagungan. Dan mustahil keduanya bisa berkumpul.”
Ibnul Arabi menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut, “Apa yang dikatakan oleh orang-orang
munafik tersebut tidak terlepas dari dua kemungkinan, sungguh-sungguh atau cuma
berkelakar saja. Dan apapun kemungkinannya, konsekuensi hukumnya hanya satu, yaitu
kufur. Tidak ada perselisihan diantara umat dalam masalah ini.”
Ibnul Jauzi berkata, “Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam
mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah sama.” Imamnya orang Andalusia,
Ibnu Hazm mengatakan, “Nash yang shahih telah menyatakan bahwa siapa saja yang
memperolok-olok Allah setelah sampai kepadanya hujjah, maka ia telah kafir.”
Ulama kontemporer dari Arab Saudi, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, turut memberi
komentar. Beliau menjelaskan dalam tafsirnya, “Sesungguhnya, memperolok-olok Allah dan
Rasul-Nya hukumnya kafir, dan dapat mengeluarkan pelakunya dari agama.”

Akibat yang mereka terima: azab di dunia dan akhirat


Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah yang lebih buruk,
karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya. (QS.
Ar-Ruum [30]: 10)
Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan
disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. (QS. Al-
Kahfi [18]: 106)
Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-
olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, maka pada hari ini mereka tidak
dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat. (QS. Al-
Jaatsiyah [45]: 35)
Oleh karena itu, barangsiapa melakukan perbuatan tersebut, hendaknya bertaubat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala atas apa yang telah diperbuatnya, karena perbuatan ini termasuk
kemunafikan, dari itu hendaknya ia bertaubat kepada Allah, memohon ampunan dan
memperbaiki perbuatannya, serta menumbuhkan di dalam hatinya rasa takut terhadap
Allah Subhanahu wa Ta’ala, pengagungan terhadap-Nya, rasa takut dan cinta terhadap-Nya.
Hanya Allah-lah yang kuasa memberi hidayah. (Majmu Fatawa wa Rasa`il Ibnu Utsaimin,
Juz 2, hlm. 156)
Menjaga Lisan
Jika sahabat sekalian telah mengetahui bahaya dari istihza’ maka wajib untuk menjaga lisan
kita dari menghina dan merendahkan muslim lainnya. Seorang muslim hendaknya tidak
mudah mencela, menghina, dan menyakiti saudaranya sesama muslim dengan kata-kata yang
dapat menyakiti perasaan saudaranya meskipun hal itu terkesan becanda. Kita simak firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain,
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-
olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita lain, (karena) boleh jadi wanita-
wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan)…” (QS.
Al-Hujurat: 11).

RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM JUGA


BERCANDA
Bagaimana di dalam Islam apakah boleh seorang muslimin dan muslimat bercanda???.
Tentu Boleh…Ada kalanya kita mengalami kelesuan dan ketegangan setelah menjalani
kesibukan. Atau muncul rasa jenuh dengan berbagai rutinitas dan kesibukan sehari-hari.
Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan penyegaran dan bercanda. Kadang kala kita
bercanda dengan keluarga atau dengan sahabat. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat
manusiawi dan dibolehkan. Begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
melakukannya. Sebagai manusia biasa, kadang kala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bercanda. Beliau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengajak istri, dan para
sahabatnya bercanda dan bersenda gurau, untuk mengambil hati, dan membuat mereka
gembira. Namun canda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berlebih-lebihan, tetap ada
batasannya. Bila tertawa, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melampaui batas tetapi
hanya tersenyum. Begitu pula, meski dalam keadaan bercanda, beliau tidak berkata kecuali
yang benar.
Dituturkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
Aku belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa terbahak-bahak
hingga kelihatan lidahnya, namun beliau hanya tersenyum (HR Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai, Rasulullah! Apakah engkau juga bersenda gurau
bersama kami?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Betul, hanya saja aku
selalu berkata benar. (HR. Ahmad dengan sanad yang shahîh)
Itulah cara Rasulullah SAW dalam bercanda.

“BERDUSTA SAAT BERCANDA TETAP HARAM SEBAGAIMANA BERDUSTA


DALAM KEADAAN LAINNYA” Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah (34: 208)
(rumaysho.com)

Ada sebuah hadits menyebutkan,

َ‫ِب فِى ْال ُمزَ ا َح ِة َويَتْ ُر َك ْال ِم َرا َء َو ِإ ْن َكان‬


َ ‫اإلي َمانَ ُكلَّهُ َحتَّى يَتْ ُر َك ْال َكذ‬
ِ ُ ‫الَ يُؤْ ِم ُن ْالعَ ْبد‬
‫صادِقا‬
َ
“Seseorang tidak dikatakan beriman seluruhnya sampai ia meninggalkan dusta saat bercanda
dan ia meninggalkan debat walau itu benar.” (HR. Ahmad 2: 352. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َوال أَقُو ُل ِإال َحقًّا‬, ‫ِإنِي أل َ ْمزَ ُح‬


“Aku juga bercanda namun aku tetap berkata yang benar.” (HR. Thobroni dalam Al Kabir
12: 391. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih dalam Shahih Al Jaami’
no. 2494).”

Berdusta yang tujuannya hanya ingin membuat orang tertawa termasuk kena ancama ‘wail’.

Dari Bahz bin Hakim, ia berkata bahwa ayahnya, Hakim telah menceritakan bahwa ia pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫ِب ِليُض ِْح َك بِ ِه ْالقَ ْو َم َو ْي ٌل لَهُ َو ْي ٌل لَه‬ ُ ‫َو ْي ٌل ِللَّذِى يُ َحد‬


ُ ‫ِث فَيَ ْكذ‬
“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum
tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Daud no. 4990 dan Tirmidzi no. 3315. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Boleh saja membuat candaan namun sekadar garam yang dibutuhkan pada makanan. Terlalu
berlebih dalam bercanda jadi tidak enak, malah keasinan.

َ ‫ض َح ِك ت ُ ِميْتُ القَ ْل‬


‫ب‬ َّ ‫ض َح َك فَإِ َّن َكثْ َرة َ ال‬
َّ ‫الَ ت ُ ْكثِ ُر ال‬
“Janganlah banyak tertawa karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (Shahih Al Jami’
no. 7435, dari Abu Hurairah)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.


ADAB
Adab yang harus diperhatikan pada saat kita akan memulai candaan dengan orang lain. Di
antaranya sebagai berikut:
1. Luruskan Niat

Mengapa kita harus meluruskan niat? Niat akan sangat berpengaruh pada perbuatan yang
akan kita lakukan sebelum benar-benar terjadi. Kalau niat kita baik untuk membuat orang lain
senang dan merasa nyaman dengan kita, hasilnya pun akan baik. Tapi sebaliknya, kalau kita
hanya menyimpan dendam dan berencana untuk menyakiti orang lain lewat candaan kita,
dampaknya akan menjadi buruk. Bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain yang
mendengarkannya.
2. Tidak Berbohong
3. tidak menyakiti orang lain
4. jangan melewati batas
Tertawa tapi tidak memperlihatkan gigi sudah menjadi tawa khas Rasulullah yang disenangi
para sahabatnya. Tapi masih banyak dari kita yang tertawa sampai jungkir balik, sakit perut,
dan melakukan hal-hal ekstrim lainnya. Selain itu, kita juga harus memperhatikan dengan
siapa kita bercanda, bagaimana karakternya, obrolan apa saja yang cocok untuk dijadikan
candaan, dan semacamnya. Jangan sampai kita keasyikan bercanda sampai ada pihak lain
yang merasa dirugikan.
5. Hindari Candaan yang Bersifat Menuduh, Meremehkan dan Menghina

GAMBAR TENTANG CANDAAN


KISAH UWAIS AL-QARNI
Di Yaman, tinggallah seorang pemuda bernama Uwais Al Qarni yang berpenyakit sopak.
Karena penyakit itu tubuhnya menjadi belang-belang. Walaupun cacat tapi ia adalah pemuda
yang saleh dan sangat berbakti kepada ibunya, seorang perempuan wanita tua yang lumpuh.
Uwais senantiasa merawat dan memenuhi semua permintaan ibunya. Hanya satu permintaan
yang sulit ia kabulkan.
“Anakku, mungkin Ibu tak lama lagi akan bersamamu. Ikhtiarkan agar ibu dapat mengerjakan
haji,” pinta sang ibu.
Mendengar ucapan sang ibu, Uwais termenung. Perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh,
melewati padang tandus yang panas. Orang-orang biasanya menggunakan unta dan
membawa banyak perbekalan. Lantas bagaimana hal itu dilakukan Uwais yang sangat miskin
dan tidak memiliki kendaraan?
Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian, dibelilah seekor anak lembu,
kira-kira untuk apa anak lembu itu? Tidak mungkin pergi haji naik lembu. Uwais
membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi ia bolak-balik menggendong anak lembu
itu naik turun bukit. “Uwais gila... Uwais gila..” kata orang-orang yang melihat tingkah laku
Uwais. Ya, banyak orang yang menganggap aneh apa yang dilakukannya tersebut.
Tak pernah ada hari yang terlewatkan ia menggendong lembu naik-turun bukit. Makin
hari anak lembu itu makin besar, dan makin besar pula tenaga yang diperlukan Uwais. Tetapi
karena latihan tiap hari, anak lembu yang membesar itu tak terasa lagi.
Setelah 8 bulan berlalu, sampailah pada musim haji. Lembu Uwais telah mencapai
100 kilogram, begitu juga otot Uwais yang makin kuat. Ia menjadi bertenaga untuk
mengangkat barang. Tahukah sekarang orang-orang, apa maksud Uwais menggendong lembu
setiap hari? Ternyata ia sedang latihan untuk menggendong ibunya.
Uwais menggendong Ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Makkah! Maa Syaa Allah,
alangkah besar cinta Uwais pada ibunya itu. Ia rela menempuh perjalanan jauh dan sulit,
demi memenuhi keinginan ibunya.
Uwais berjalan tegap menggendong ibunya wukuf di Ka’bah. Ibunya terharu dan bercucuran
air mata telah melihat Baitullah. Di hadapan Ka’bah, ibu dan anak itu berdoa.
“Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,” kata Uwais.
“Bagaimana dengan dosamu?” tanya sang Ibu keheranan.
Uwais menjawab, “Dengan terampuninya dosa ibu, maka ibu akan masuk surga.
Cukuplah ridha dari ibu yang akan membawaku ke surga.”
Itulah keinginan Uwais yang tulus dan penuh cinta. Allah subhanahu wata’ala pun
memberikan karunia untuknya. Uwais seketika itu juga sembuh dari penyakit sopaknya.
Hanya tertinggal bulatan putih ditengkuknya. Ituah tanda untuk Umar bin Khaththab dan Ali
bin Abi Thalib, dua sahabat Rasulullah untuk mengenali Uwais.
Beliau berdua sengaja mencari di sekitar Ka’bah karena Rasulullah berpesan, “Di
zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kalian berdua,
pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman.”
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu durhaka pada ibu dan menolak
kewajiban, dan meminta yang bukan haknya, dan membunuh anak hidup-hidup, dan Allah,
membenci padamu banyak bicara, dan banyak bertanya, demikian pula memboroskan harta
(menghamburkan kekayaan).” (HR Bukhari dan Muslim)
Uwais Al Qarni pergi ke Madinah
Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al Qarni sampai juga di kota
Madinah. Segera ia mencari rumah Nabi Muhammad. Setelah ia menemukan rumah Nabi,
diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya
membalas salamnya. Segera saja Uwais Al Qarni menyakan Nabi yang ingin dijumpainya.
Namun ternyata Nabi tidak berada di rumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran.
Uwais Al Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah r.a., istri Nabi. Betapa kecewanya
hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi, tetapi Nabi tidak
dapat dijumpainya.
Dalam hati Uwais Al Qarni bergejolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi
dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terniang di telinganya
pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu,agar ia cepat pulang ke Yaman, “Engkau
harus lepas pulang.”
Akhirnya, karena ketaatanya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati
dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi. Karena hal itu tidak mungkin,
Uwais Al Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah r.a., untuk segera pulang kembali
ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi. Setelah itu, Uwais pun segera
berangkat pulang mengayunkan lengkahnya dengan perasaan amat sedih dan terharu.

Peperangan telah usai dan Nabi pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi
menanyakan kepada Siti Aisyah r.a., tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan
bahwa Uwais anak yang taat kepada orang ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar
perkataan Nabi, Siti Aisyah r.a. dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah
r.a. memang benar ada yang mencari Nabi dan segera pulang ke Yaman, karena ibunya sudah
tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi
Muhammad melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al Qarni, penghuni langit itu, kepada
sahabatnya, “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda
putih di tengah telapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi memandang kepada Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khaththab
seraya berkata, “Suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan
istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”
Waktu terus berganti, dan Nabi kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah
digantikan pula oleh Umar bin Khaththab. suatu ketika Khalifah Umar teringat akan sabda
Nabi tentang Uwais Al Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda
Nabi itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari
Yaman, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan tentang Uwais Al Qarni, si
fakir yang tak punya apa-apa itu. yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta
setiap hari? Mengapa Khalifah Umar dan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib selalu
menanyakan dia?
Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang
dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah
itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang baru datang dari Yaman,
segera Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib mendatangi mereka dan menanyakan apakah
Uwais Al Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais ada
bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar
jawaban itu, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib segera pergi menjumpai Uwais Al Qarni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib
memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang salat. Setelah mengakhiri salatnya dengan salam,
Uwais menjawab salam Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib sambil mendekati kedua
sahabat Nabi tersebut dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan,
Khalifah dengan segera membalikan telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan
Nabi. Memang benar! Tampaklah tanda putihdi telapak tangan Uwais Al Qarni.

Wajah Uwais nampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi. Bahwa ia adalah penghuni
langit. Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib menanyakan namanya, dan dijawab,
“Abdullah”. Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga
Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian
berkata, “Nama saya Uwais Al Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia.
Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. akhirnya
Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memohon agar Uwais membacakan doa dan Istighfar
untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “Saya lah yang harus meminta
do’a pada kalian”.
Mendengar perkataan Uwais, “Khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon
doa dan istighfar dari Anda”. Seperti dikatakan Rasulullah sebelum wafatnya. Karena
desakan kedua sahabat ini, Uwais Al Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan
membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan uang
negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik
dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari
selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Fenomena ketika Uwais Al Qarni Wafat
Beberapa tahun kemudian, Uwais Al Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada
saat dia akan di mandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang ingin berebutan ingin
memandikannya. Dan ketika di bawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun
sudah ada orang-orang yang sudah menunggu untuk mengafaninya. Demikian pula ketika
orang pergi hendak menggali kuburannya, di sana ternyata sudah ada orang-orang yang
menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa ke pekuburannya, luar biasa
banyaknya orang yang berebutan untuk menusungnya.
Meninggalnya Uwais Al Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman.
Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak
kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al Qarni
adalah seorang yang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika
jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap
melaksanakannya terlebih dahulu.
Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “Siapakah
sebenarnya engkau Wahai Uwais Al Qarni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah
seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai
pengembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatnya, engkau menggemparkan penduduk
Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal.mereka datang
dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan
ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya.”
Berita meninggalnya Uwais Al Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika
wafatnya telah tersebar kemana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya,
siapa sebenarnya Uwais Al Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa
sebenarnya Uwais Al Qarni disebabkan permintaan Uwais Al Qarni sendiri kepada Khalifah
Umar dan Ali bin Abi Thalib agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya
mereka mendengar sebagaimana yang telah di sabdakan oleh Nabi, bahwa Uwais Al Qarni
adalah penghuni langit.
Begitulah Uwais Al Qarni, sosok yang sangat berbakti kepada orang tua, dan itu
sesuai dengan sabda Rasulullah ketika beliau ditanya tentang peranan kedua orang tua. Beliau
menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR Ibnu Majah).
M. Haromain, Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri; Berdomisili di Pondok
Pesantren Nurun ala Nur Bogangan Utara Wonosobo.

You might also like