You are on page 1of 28

Penanganan Kegawatdaruratan Medis pada Asfiksia Neonatorum

Rainy Chandranata
102011192
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

Pendahuluan
Sebanyak 23% dari penyebab kematian neonatus di seluruh dunia diakibatkan oleh
terjadinya asfiksia neonatorum. Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat
segera bernapas secara spontan dan teratur setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan hipoksia,
hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke 6, yaitu sebanyak
8% sebagai penyebab kematian anak di seluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis
neonatorum, dan kelahiran prematur. Sebagian besar anak yang bertahan hidup setelah
mengalami asfiksia saat lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral
palsy, retardasi mental, dan gangguan belajar. Oleh sebab itu, asfiksia memerlukan intervensi
dan resusitasi segera untuk menimbulkan mortalitas dan morbiditas.1

Kasus

Seorang perempuan berusia 25 tahun, melahirkan seorang bayi laki-laki cukup bulan secara
spontan dengan dibantu oleh bidan di rumah sakit. Saat lahir bayi tidak menangis. Seorang
dokter jaga diminta untuk menangani bayi baru lahir tersebut.

Hipotesis

 Bayi laki-laki dari perempuan berusia 25 tahun tersebut mengalami


asfiksia neonatorum.

Pembahasan
1
Anamnesis

Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan melalui suatu percakapan antara


seorang dokter dan pasien secara langsung atau melalui perantara orang lain yang menfetahui
kondisi pasien dengan tujuan untuk mendapatkan data pasien berserta permasalahan
medisnya. Anamnesis dibagi menjadi dua yaitu autoanamnesis, bila dokter bisa menanyakan
keluhan-keluhan yang dihadapi langsung dengan si penderita, dan alloanamnesis, bila kondisi
si penderita tidak memungkinkan untuk ditanyai sehingga dokter menanyakan keluhan
kepada orang yang mengetahui kondisi pasien. Apabila anamnesis dilakukan dengan cermat
maka informasi yang didapatkan sangat berharga untuk menegakan suatu diagnosis.2
Anamnesis pasien dilakukan secara allo-anamnesis kepada orang terdekat dengan
pasien karena berkaitan dengan keadaan gawat darurat pasien. Hal yang perlu ditanyakan
adalah :
 Identitas ibu
 Riwayat penyakit sekarang ibu
 Riwayar penyakit dahulu ibu
 Riwayat penyakit keluarga
 Riwayat kehamilan ibu, seperti jumlah kehamilan ibu, gangguan saat hamil,
komplikasi pada kehamilan terdahulu, obat yang dikonsumsi saat hamil, pernah
mengalami kejadian trauma saat hamil, pernahkah mengalami keguguran pada
kehamilan sebelumnya (berapa kali dan umur kehamilan saat terjadi).
 Riwayat persalinan, seperti berapa kali melakukan persalinan, riwayat persalinan
terdahulu, apakah persalinan normal atau SC, keadaan anak setelah dilahirkan.

Pemeriksaan fisik
Setelah anak dilahirkan, hal pertama yang kita lakukan adalah memeriksa keadaan
fisik anak tersebut dengan menggunakan APGAR Skor. Skor APGAR adalah sebuah metode
yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1952 oleh Dr. Virginia Apgar sebagai sebuah
metode sederhana untuk secara cepat menilai kondisi kesehatan bayi baru lahir sesaat setelah
kelahiran. Skor APGAR dihitung dengan menilai kondisi bayi yang baru lahir menggunakan
lima kriteria sederhana dengan skala nilai nol, satu, dan dua. Kelima nilai kriteria tersebut
kemudian dijumlahkan untuk menghasilkan angka nol hingga sepuluh. Kata APGAR
kemudian dijadikan akronim dari Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration.3
Tabel 1. APGAR Skor4

Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2 Akronim

Warna seluruhnya warna kulit tubuh warna kulit tubuh, tangan, Appearance

2
normal merah
muda, tetapi
tangan dan kaki
kebiruan dan kaki normal merah
kulit biru (akrosianosis) muda, tidak ada sianosis

Denyut
jantung tidak ada <100 kali/menit >100 kali/menit Pulse

tidak ada
respons meringis/menangis
Respons terhadap lemah ketika meringis/bersin/batuk saat
reflex stimulasi distimulasi stimulasi saluran napas Grimace

lemah/tidak
Tonus otot ada sedikit gerakan bergerak aktif Activity

lemah atau tidak menangis kuat, pernapasan


Pernapasan tidak ada teratur baik dan teratur Respiration

Tes ini umumnya dilakukan pada waktu satu dan lima menit setelah kelahiran dan
dapat diulangi jika skor masih rendah. Skor yang rendah pada menit pertama dapat
menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir memerlukan perhatian medis, namun belum tentu
mengindikasikan terdapat masalah jangka panjang, terutama bila kondisi menunjukkan adnya
perkembangan setelah lima menit pertama. Jika skor apgar tetap di bawah tiga pada waktu-
waktu berikutnya, misal pada menit ke 10, 15, atau 30, terdapat resiko nahwa anak akan
mengalami kerusakan neurologis jangka panjang.3

Tabel 2. Interpretasi Skor APGAR3

Jumlah Skor Interpretasi Catatan

7-10 Bayi Normal


4-6 Agak rendah Memerlukan tindakan medis
segera seperti penyedotan lendir
yang menyumbat jalan napas
atau pemberian oksigen untuk
membawa bernapas

3
0-3 Sangat rendah Memerlukan tindakan medis
yang lebih intensif

 Nilai 0-3 : Asfiksia Berat


 Nilai 4-6 : Asfiksia Sedang
 Nilai 7-10 : Normal
Selain itu, lakukan juga pemeriksaan pada cairan ketuban ibu apakah dapat dilihat adanya
mekonium atau tidak. Pada pasien dalam kasus ini ditemukan tanda-tanda sianosis (0), tidak
menangis (0),tidak bergerak (0), sedikit fleksi (1), denyut nadi 80x/menit (1) sehingga total
skor APGAR yang didapatkan adalah 2, yang bermakna asfiksia berat.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

Pada pasien anak yang mengalami asfiksia, disarankan dilakukan pemeriksaan


laboratorium untuk mendapatkan hasil analisis gas darah tali pusat. Pasien dapat
menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat dimana:

 PaO2 < 50 mmHg (N: 80 – 100 mmHg)

 PaCO2 > 55 mmHg (N: 35 - 45 mmHg)

 pH < 7.30 (N: 7.35 – 7.45)

Apabila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang
diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa:

 Darah perifer lengkap

 Analisis gas darah sesudah lahir

 Gula darah sewaktu

 Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)

 Ureum kreatinin

 Laktat

 Pemeriksaan radiologi/foto dada

 Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi

 Pemeriksaan USG kepala

4
 Pemeriksaan EEG.5

Working Diagnosis

Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum sebagai :

 Ikatan Dokter Anak Indonesia


Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,
hiperkarbia dan asidosis.3

 WHO (World Health Organization)


Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir.1

 ACOG dan AAP (American College of Obstetricians and Gynecologists ACOG dan
American Academy of Pediatrics)5
Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut:

Nilai Apgar menit kelima 0-3

Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)


Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)
Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan
kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner atau renal)

 Prawiro Hardjo, Sarwono, 1997


Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin
dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan, persalinan atau segera lahir.

Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan ensefalopati


hipoksik-iskemik serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemi
yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi
otak sebagai pertimbangan utama.6

Diagnosis differential (diagnosis banding)

5
 Neonatal pneumonia

Pneumonia neonatal adalah infeksi pada paru-paru, serangan mungkin terjadi dalam
beberapa jam kelahiran dan merupakan bagian yang dapat disamakan dengan kumpulan
gejala sepsis atau setelah tujuh hari dan terbatas pada paru-paru. Tanda-tandanya mungkin
terbatas pada kegagalan pernafasan atau berlanjut ke arah syok dan kematian. Infeksi dapat
ditularkan melalui plasenta, aspirasi atau diperoleh setelah kelahiran (Caserta, 2009).
Penyebab dari pneumonia neonatal adalah hampir sama dengan penyebab pneumonia pada
umumnya, yaitu:
a. Bakteri: Grup B Streptokokus, Stapilokokus Aureus, Stapilokokus Epidermidis, E. Coli,
Pseudomonas, Serratia Marcescens, Klebsiella.
b. Virus: RSV, Adenovirus, Enterovirus, CMV.
c. Jamur: Candida.
Gejala klinis tergantung pada lokasi, tipe kuman dan tingkat berat penyakit. Adanya etiologi
seperti jamur dan inhalasi mikroba ke dalam tubuh manusia melalui udara, aspirasi
organisme, hematogen dapat menyebabkan reaksi inflamasi hebat sehingga membran paru-
paru meradang dan berlobang. Dari reaksi inflamasi akan timbul panas, anoreksia, mual,
muntah serta nyeri pleuritis. Selanjutnya RBC, WBC dan cairan keluar masuk alveoli
sehingga terjadi sekresi, edema dan bronkospasme yang menimbulkan manifestasi klinis
dyspnoe, sianosis dan batuk, selain itu juga menyebabkan adanya partial oklusi yang akan
membuat daerah paru menjadi padat (konsolidasi). Konsolidasi paru menyebabkan
meluasnya permukaan membran respirasi dan penurunan rasio ventilasi perfusi, kedua hal ini
dapat menyebabkan kapasitas difusi menurun dan selanjutnya terjadi hipoksemia.7

 Meconium aspiration syndrome

Sindroma Aspirasi Mekoniuim terjadi jika janin menghirup mekonium yang tercampur
dengan cairan ketuban, baik ketika bayi masih berada di dalam rahim maupun sesaat setelah
dilahirkan. Mekonium adalah tinja janin yang pertama. Merupakan bahan yang kental,
lengket dan berwarna hitam kehijauan, mulai bisa terlihat pada kehamilan 34 minggu.
Aspirasi mekonium terjadi jika janin mengalami stres selama proses persalinan berlangsung.
Bayi seringkali merupakan bayi post-matur (lebih dari 40 minggu). Selama persalinan
berlangsung, bayi bisa mengalami kekurangan oksigen. Hal ini dapat menyebabkan
meningkatnya gerakan usus dan pengenduran otot anus, sehingga mekonium dikeluarkan ke
dalam cairan ketuban yang mengelilingi bayi di dalam rahim. 8

6
Cairan ketuban dan mekoniuim becampur membentuk cairan berwarna hijau dengan
kekentalan yang bervariasi. Jika selama masih berada di dalam rahim janin bernafas atau jika
bayi menghirup nafasnya yang pertama, maka campuran air ketuban dan mekonium bisa
terhirup ke dalam paru-paru. Mekonium yang terhirup bisa menyebabkan penyumbatan
parsial ataupun total pada saluran pernafasan, sehingga terjadi gangguan pernafasan dan
gangguan pertukaran udara di paru-paru.8
Selain itu, mekonium juga menyebabkan iritasi dan peradangan pada saluran udara,
menyebabkan suatu pneumonia kimiawi. Cairan ketuban yang berwarna kehijauan disertai
kemungkinan terhirupnya cairan ini terjadi pada 5-10% kelahiran. Sekitar sepertiga bayi yang
menderita sindroma ini memerlukan bantuan alat pernafasan. Aspirasi mekonium merupakan
penyebab utama dari penyakit yang berat dan kematian pada bayi baru lahir. Gejalanya
berupa:
o Cairan ketuban yang berwarna kehijauan atau jelas terlihat adanya mekonium di
dalam cairan ketuban
o Kulit bayi tampak kehijauan (terjadi jika mekonium telah dikeluarkan lama sebelum
persalinan)
o Ketika lahir, bayi tampak lemas/lemah
o Kulit bayi tampak kebiruan (sianosis)
o Takipneu (laju pernafasan yang cepat)
o Apneu (henti nafas)
o Tampak tanda-tanda post-maturitas (berat badannya kurang, kulitnya mengelupas).8
 Respiratory Distress Syndrome

Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease


(HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada
bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Faktor2 yang memudahkan terjadinya RDS pada
bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang,
pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan
kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-
paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya
pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi berat,
shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang
menyebabkan asidosis respiratorik.9

7
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna
kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang
tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara
bagian distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi
alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis
yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan
kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan
eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli
dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan
mulai dibentuk pada 36-72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada
bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).9

Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel
dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga
menghambat fungsi surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi
prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan
cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada,dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96
jam pertama setelah lahir.9

Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :

Stadium 1. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara,

Stadium 2. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan
jantung dengan penurunan aerasi paru.

Stadium 3. Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat
lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.

Stadium 4. Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.9

Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah :


8
a. Takipnea diatas 60x/menit
b. Grunting ekspiratoar
c. Subcostal dan interkostal retraksi
d. Cyanosis
e. Nasal flaring9

Manifestasi Klinik

Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat dalam
periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut
jantung juga menurun, sedangkan tonus neuromuskular berkurang secara barangsur-angsur
dan memasuki periode apnue primer. Gejala dan tanda asfiksia neonatorum yang khas antara
lain meliputi :

 Bayi pucat dan kebiruan

 Usaha bernafas minimal atau tidak ada

 Hipoksia

 Asidosis metabolik atau respiratori

 Perubahan fungsi jantung

 Kegagalan sistem multiorgan

 Jika sudah megalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik: kejang,
nistagmus dan menangis kurang baik atau tidak menangis.3

Patofisiologi

CARA MEMPEROLEH OKSIGEN SEBELUM DAN SETELAH LAHIR

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk
mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam
keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (PO 2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari
jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga
darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus
kemudian masuk ke aorta.10

Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama
oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan
9
berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam
pembuluh darah di sekitar alveoli. Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga
menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik.
Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.

Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan


tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran
darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang
diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak
mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh
bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk
menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan
pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit.10

Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan
mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. Pada akhir masa
transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan
oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan
napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh
darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.

KESULITAN SELAMA MASA TRANSISI

Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah lahir.
Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama persalinan, biasanya akan
menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat
berupa deselerasi frekuensi jantung janin. Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih
banyak berkaitan dengan jalan nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan
atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk
ke dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan
menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu kekurangan oksigen,
kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-paru
tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke
jaringan. Pada beberapa kasus, arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi walaupun paru-
10
paru sudah terisi dengan udara atau oksigen (Persisten Pulmonary Hypertension Newborn,
disingkat menjadi PPHN).10

MEKANISME YANG TERJADI PADA NEONATUS YANG MENGALAMI GANGGUAN


DI DALAM KANDUNGAN ATAU PADA MASA PERINATAL

Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama


yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal pernapasan
yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer.8 Rangsangan seperti mengeringkan
atau menepuk telapak kaki akan menimbulkan pernapasan. Walaupun demikian bila
kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha bernapas
megap-megap dan kemudian terjadi apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan
kembali usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan harus diberikan untuk
mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen.10

Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apneu primer. Tekanan
darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apneu sekunder (kecuali jika terjadi kehilangan
darah pada saat memasuki periode hipotensi). Bayi dapat berada pada fase antara apneu
primer dan apneu sekunder dan seringkali keadaan yang membahayakan ini dimulai sebelum
atau selama persalinan. Akibatnya, saat lahir sulit untuk menilai berapa lama bayi telah
berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan antara
apnu primer dan sekunder, namun respon pernapasan yang ditunjukkan akan dapat
memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan yang membahayakan itu.

Jika bayi tidak menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, merupakan
apneu primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan apnu sekunder.
Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam keadaan apnu sekunder, semakin
lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai pernapasan. Walau demikian, segera setelah
ventilasi yang adekuat, hampir sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran
reaksi yang sangat cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung. Jika setelah pemberian
ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak memberikan respons peningkatan
frekuensi jantung maka keadaan yang membahayakan ini seperti gangguan fungsi
miokardium dan tekanan darah, telah jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini,
pemberian kompresi dada dan obat-obatan mungkin diperlukan untuk resusitasi.10

Etiologi
11
Pengembangan paru-paru neonatus terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan
kemudian disusul dengan pernapasan teratur. Apabila terjadi gangguan pertukaran gas atau
gangguan pengangkutan oksigen dari ibu ke janin maka akan terjadi asfiksia neonatorum .
Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Towell
(1996) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernapasan pada bayi terdiri dari: 11,12

o Faktor ibu

- Hipoksia

- Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih 35 tahun

- Gravida empat atau lebih

- Social ekonomi rendah

- Setiap penyakit pembuluh darah yang mengganggu pertukaran gas janin.


(kolesterol, hipertensi, hipotensi, jantung, paru-paru/tbc, ginjal, gangguan
kontraksi uterus)

- Malnutrisi

- Asidosis dan dehidrasi

- Anemia maternal

o Faktor plasenta

Degenerasi vaskularnya

Solution plasenta

Perdarahan plasenta

Plasenta kecil

Plasenta tipis plasenta tidak menempel pada tempatnya

o Faktor neonatus

- Kompresi tali pusat

- Simpul mati, lilitan tali pusat

Hilangnya Jelly Wharton

- Infeksi
12
- Anemia janin

- Perdarahan

- Malformasi atau kelainan kongenital

- Prematur

- IUGR

- Gemeli

o Faktor persalinan

- Partus lama

- Patus dengan tindakan

- Lain-lain

Epidemiologi

Asfiksia merupakan penyebab utama kematian pada neonatus. Di negara maju,


asfiksia menyebabkan kematian neonatus sebanyak 8 -35%. Di daerah perdesaan Indonesia
sebanyak 31 – 56.5 %. Insiden asfiksia pada menit pertama adalah sebanyak 47 dari 1000
kelahiran hidup dan pada minit kelima adalah 15.7 daripada 1000 kelahiran hidup.

Penatalaksanaan

Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam mengatasi
transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil membutuhkan berbagai derajat
resusitasi.

ALAT RESUSITASI

Semua peralatan yang diperlukan untuk tindakan resusitasi harus tersedia di dalam kamar
bersalin dan dipastikan dapat berfungsi baik. Pada saat bayi memerlukan resusitasi maka
peralatan harus siap untuk digunakan. Peralatan yang diperlukan pada resusitasi neonatus
adalah sebagai berikut:3

 Perlengkapan penghisap
13
 Balon penghisap (bulb syringe)

 Penghisap mekanik dan tabung

 Kateter penghisap

 Pipa lambung

 Peralatan balon dan sungkup

 Balon resusitasi neonatus yang dapat memberikan oksigen 90% sampai


100%, dengan volume balon resusitasi ± 250 ml

 Sungkup ukuran bayi cukup bulan dan bayi kurang bulan (dianjurkan yang
memiliki bantalan pada pinggirnya)

 Sumber oksigen dengan pengatur aliran (ukuran sampai 10 L/m) dan tabung.

 Peralatan intubasi

 Laringoskop

 Selang endotrakeal (endotracheal tube) dan stilet (bila tersedia) yang cocok
dengan pipa endotrakeal yang ada

 Obat-obatan

 Epinefrin 1:10.000 (0,1 mg/ml) : 3 ml atau ampul 10 ml

 Kristaloid isotonik (NaCl 0.9% atau Ringer Laktat) untuk penambah


volume : 100 atau 250 ml.

 Natrium bikarbonat 4,2% (5 mEq/10 ml) : ampul 10 ml.

 Naloxon hidroklorida 0,4 mg/ml atau 1,0 mg/ml

 Dextrose 10%, 250 ml

 Kateter umbilikal

 Lain-lain

 Alat pemancar panas (radiant warmer) atau sumber panas lainnya

 Monitor jantung dengan probe serta elektrodanya (bila tersedia di kamar


bersalin)
14
 Oropharyngeal airways

 Selang orogastrik

 Untuk bayi sangat prematur

 Sumber udara tekan (CPAP, neopuff)

 Blender oksigen

 Oksimeter

 Kantung plastik makanan (ukuran 1 galon) atau pembungkus plastik yang


dapat ditutup

 Alas pemanas

 Inkubator transport untuk mempertahankan suhu bayi bila dipindahkan ke


ruang perawatan

RESUSITASI NEONATUS

Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritma resusitasi neonatal.


Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 4 pertanyaan yaitu:

 apakah bayi cukup bulan?

 apakah air ketuban jernih?

 apakah bayi bernapas atau menangis?

 apakah tonus otot bayi baik atau kuat?

Bila semua jawaban ‘ya’ maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur perawatan
rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan
diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari
salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi
berikut ini secara berurutan: 3,5,6

Langkah awal dalam stabilisasi

a) Memberikan kehangatan

15
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan telanjang
agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh. Bayi
dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi dan harus mendapat
perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan merekomendasikan pemberian teknik penghangatan
tambahan seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah pemancar
panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan adalah alas
penghangat. 3,5,6

16
Bagan 1. Algoritma Resusitasi Asfiksia Neonatorum

17
a) Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya

Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi menghidu agar
posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya
udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup
dan/atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.

b) Membersihkan jalan napas sesuai keperluan

Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia aspirasi.


Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah aspirasi adalah dengan
melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya bahu (intrapartum suctioning), namun
bukti penelitian dari beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek
yang bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium. Cara yang tepat untuk membersihkan
jalan napas adalah bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila terdapat
mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan,
tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan
penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium.
Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah pemasangan laringoskop dan selang
endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan
daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis. Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion
namun bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi
tanpa mekoneum.5,11

c) Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang benar

Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret dan mengeringkan akan memberi
rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar,
penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil
dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok
punggung, tubuh atau ekstremitas bayi. Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi
pada hampir semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder,
rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau

18
dua tepukan pada telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan membuang waktu yang
berharga dengan terus menerus memberikan rangsangan taktil.

Penilaian

Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu tidaknya resusitasi lanjutan.
Tanda vital yang perlu dinilai adalah sebagai berikut: 10

a) Pernapasan

Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi dan dalamnya
pernapasan bertambah setelah rangsang taktil. Pernapasan yang megap-megap adalah
pernapasan yang tidak efektif dan memerlukan intervensi lanjutan.

b) Frekuensi jantung

Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan bunyi jantung dilakukan dengan
stetoskop selama 6 detik kemudian dikalikan 10 sehingga akan dapat diketahui frekuensi
jantung permenit.

c) Warna kulit

Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh. Setelah frekuensi jantung
normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada sianosis sentral yang menandakan hipoksemia.
Warna kulit bayi yang berubah dari biru menjadi kemerahan adalah petanda yang paling cepat
akan adanya pernapasan dan sirkulasi yang adekuat. Sianosis akral tanpa sianosis sentral
belum tentu menandakan kadar oksigen rendah sehingga tidak perlu diberikan terapi oksigen.
Hanya sianosis sentral yang memerlukan intervensi

Pemberian oksigen

Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen.
Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan sungkup oksigen,
sungkup dengan balon tidak mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan selang/pipa
oksigen. Pada bayi cukup bulan dianjurkan untuk menggunakan oksigen 100%. Namun
beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa penggunaan oksigen ruangan dengan
konsentrasi 21% menurunkan risiko mortalitas dan kejadian ensefalopati hipoksik iskemik
(EHI) dibanding dengan oksigen 100%. Pemberian oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi
kurang bulan karena dapat merusak jaringan.
19
Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara bertahap bila tidak terdapat sianosis sentral
lagi yaitu bayi tetap merah atau saturasi oksigen tetap baik walaupun konsentrasi oksigen
sama dengan konsentrasi oksigen ruangan. Bila bayi kembali sianosis, maka pemberian
oksigen perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral hilang. Kemudian secepatnya dilakukan
pemeriksaan gas darah arteri dan oksimetri untuk menyesuaikan kadar oksigen mencapai
normal.13

Ventilasi Tekanan Positif

Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah resusitasi lanjutan bila
semua tindakan diatas tidak menyebabkan bayi bernapas atau frekuensi jantungnya tetap
kurang dari 100x/menit. Sebelum melakukan VTP harus dipastikan tidak ada kelainan
kongenital seperti hernia diafragmatika, karena bayi dengan hernia diafragmatika harus
diintubasi terlebih dahulu sebelum mendapat VTP. Bila bayi diperkirakan akan mendapat
VTP dalam waktu yang cukup lama, intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau pemasangan
selang orogastrik untuk menghindari distensi abdomen. Kontra indikasi penggunaan ventilasi
tekanan positif adalah hernia diafragma.13

Kompresi dada

Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi dada (cardiac
massage) terdiri dari kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu menekan jantung ke arah
tulang belakang, meningkatkan tekanan intratorakal, dan memperbaiki sirkulasi darah ke
seluruh organ vital tubuh. Kompresi dada hanya bermakna jika paru-paru diberi oksigen,
sehingga diperlukan 2 orang untuk melakukan kompresi dada yang efektif. Satu orang
menekan dada dan yang lainnya melanjutkan ventilasi. Orang kedua juga bisa melakukan
pemantauan frekuensi jantung dan suara napas selama ventilasi tekanan positif. Ventilasi dan
kompresi harus dilakukan secara bergantian.

20
Tabel 3. Perbandingan Jenis Alat untuk Ventilasi Tekanan Positif13

JENIS ALAT KELEBIHAN KELEMAHAN

Belon mengembang sendiri  Selalu terisi setelah diremas  Tetap bertekanan walaupun
walaupun tanpa sumber gas tidak terdapat lekatan antara
bertekanan sungkup dan wajah bayi
 Katup pelepas tekanan  Membutuhkan reservoar
berfungsi untuk menjaga oksigen untuk mendapatkan
tidak terjadi pengembang- oksigen kadar tinggi
an balon berlebihan  Tidak dapat digunakan
dengan baik untuk berikan O2
aliran bebas melalui sungkup

 Tidak dapat digunakan untuk


memberikan CPAP dan baru
dapat memberikan TPAE bila
ditambahkan katup TPAE
Belon tidak mengembang  Memberikan O2 21%-100%  Membutuhkan lekatan rapat

sendiri tergantung sumber antara sungkup dan wajah


 Mudah menentukan apakah untuk dapat mengembang
sungkup telah melekat pada  Membuutuhkan sumber gas
wajah bayi untuk dapat mengembang
 Dapat memberikan O2  Umumnya tidak mempunyai
aliran bebas 21%-100% katup pelepas tekanan untuk
pengaman

T-piece resuscitator  Tekanan konsisten  Membutuhkan aliran gas


 Pengatur tekanan puncak  Kekakuan/compliance paru
inspirasi dan TPAE yang tidak dapat dirasakan
dapat diandalkan  Membutuhkan tekanan untuk
 Operator tidak menjadi memasang/mengatur alat
lelah karena memompa sebelum dipakai
 Mengubah tekanan inflasi
selama resusitasi akan lebih
sulit
21
CPAP = Continuous Positive Airway Pressure

TPAE = Tekanan Positif Akhir Ekspirasi

Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru lahir karena akan
menghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih besar. Prinsip dasar pada
kompresi dada adalah:

1. Posisi bayi: Topangan yang keras pada bagian belakang bayi dengan leher sedikit
tengadah.

2. Kompresi:

 Lokasi ibu jari atau dua jari: Pada bayi baru lahir tekanan diberikan pada 1/3 bawah
tulang dada yang terletak antara processus xiphoideus dan garis khayal yang
menghubungkan kedua puting susu.

Gambar 2. Lokasi Kompresi

 Kedalaman : diberikan tekanan yang cukup untuk menekan tulang dada sedalam
kurang lebih 1/3 diameter anteroposterior dada, kemudian tekanan dilepaskan untuk
memberi kesempatan jantung terisi. Satu kompresi terdiri dari satu tekanan ke bawah
dan satu pelepasan. Lamanya tekanan ke bawah harus lebih singkat daripada lamanya
pelepasan untuk memberi curah jantung yang maksimal. Ibu jari atau ujung-ujung jari
harus tetap bersentuhan dengan dada selama penekanan dan pelepasan.

 Frekuensi : kompresi dada dan ventilasi harus terkoordinasi baik, dengan aturan satu
ventilasi diberikan tiap selesai tiga kompresi, dengan frekuensi 30 ventilasi dan 90
kompresi permenit. Satu siklus yang berlangsung selama 2 detik, terdiri dari satu
ventilasi dan tiga kompresi.

22
 Penghentian kompresi:

Setelah 30 detik, untuk menilai kembali frekuensi jantung ventilasi dihentikan


selama 6 detik. Penghitungan frekuensi jantung selama ventilasi dihentikan.

Frekuensi jantung dihitung dalam waktu 6 detik kemudian dikalikan 10. Jika
frekuensi jantung telah diatas 60 x/menit kompresi dada dihentikan, namun
ventilasi diteruskan dengan kecepatan 40-60 x/menit. Jika frekuensi jantung
tetap kurang dari 60 x/menit, maka pemasangan kateter umbilikal untuk
memasukkan obat dan pemberian epinefrin harus dilakukan.

Jika frekuensi jantung lebih dari 100 x/menit dan bayi dapat bernapas spontan,
ventilasi tekanan positif dapat dihentikan, tetapi bayi masih mendapat oksigen
alir bebas yang kemudian secara bertahap dihentikan. Setelah observasi
beberapa lama di kamar bersalin bayi dapat dipindahkan ke ruang perawatan.10

Intubasi Endotrakeal

Intubasi endotrakeal dapat dilakukan pada setiap tahapan resusitasi sesuatu dengan
keadaan, antara lain beberapa keadaan berikut saat resusitasi: 10

a. Jika terdapat mekoneum dan bayi mengalami depresi pernapasan, maka intubasi
dilakukan sebagai langkah pertama sebelum melakukan tindakan resusitasi yang
lain, untuk membersihkan mekoneum dari jalan napas.

b. Jika ventilasi tekanan positif tidak cukup menghasilkan perbaikan kondisi,


pengembangan dada, atau jika ventilasi tekanan positif berlangsung lebih dari
beberapa menit, dapat dilakukan intubasi untuk membantu memudahkan
ventilasi.

c. Jika diperlukan kompresi dada, intubasi dapat membantu koordinasi antara


kompresi dada dan ventilasi, serta memaksimalkan efisiensi ventilasi tekanan
positif.

d. Jika epinefrin diperlukan untuk menstimulasi frekuensi jantung maka cara yang
umum adalah memberikan epinefrin langsung ke trakea melalui pipa endotrakeal
sambil menunggu akses intravena.

23
e. Jika dicurigai ada hernia diafragmatika, mutlak dilakukan pemasangan selang
endotrakeal. Cara pemasangan selang endotrakeal perlu dikuasai diantaranya
melalui pelatihan khusus.

Pemberian obat-obatan

Obat-obatan jarang diberikan pada resusitasi bayi baru lahir. Bradikardi pada bayi baru
lahir biasanya disebabkan oleh ketidaksempurnaan pengembangan dada atau hipoksemia,
dimana kedua hal tersebut harus dikoreksi dengan pemberian ventilasi yang adekuat. Namun
bila bradikardi tetap terjadi setelah VTP dan kompresi dada yang adekuat, obat-obatan seperti
epinefrin atau volume ekspander dapat diberikan. Obat yang diberikan pada fase akut
resusitasi adalah epinefrin. Obat-obat lain digunakan pada pasca resusitasi atau pada keadaan
khusus lainnya. 10

 Epinefrin

Indikasi pemakaian epinefrin adalah frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan VTP dan kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik. Epinefrin tidak
boleh diberikan sebelum melakukan ventilasi adekuat karena epinefrin akan meningkatkan
beban dan konsumsi oksigen otot jantung. Dosis yang diberikan 0,3 ml/kgBB larutan1:10.000
(setara dengan 0,01-0,03 mg/kgBB) intravena atau melalui selang endotrakeal. Dosis dapat
diulang 3-5 menit secara intravena bila frekuensi jantung tidak meningkat. Dosis maksimal
diberikan jika pemberian dilakukan melalui selang endotrakeal.16

 Volume Ekspander

Volume ekspander diberikan dengan indikasi sebagai berikut: bayi baru lahir yang dilakukan
resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi, hipovolemia
kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya pucat, perfusi
buruk, nadi kecil atau lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat.
Dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan
respon klinis. Jenis cairan yang diberikan dapat berupa larutan kristaloid isotonis (NaCl
0,9%, Ringer Laktat) atau tranfusi golongan darah O negatif jika diduga kehilangan darah
banyak.

 Bikarbonat

24
Indikasi penggunaan bikarbonat adalah asidosis metabolik pada bayi baru lahir yang
mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik. Penggunaan
bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi. Dosis yang digunakan adalah 2 mEq/kg BB atau
4 ml/kg BB BicNat yang konsentrasinya 4,2 %. Bila hanya terdapat BicNat dengan konsetrasi
7,4 % maka diencerkan dengan aquabides atau dekstrosa 5% sama banyak. Pemberian secara
intra vena dengan kecepatan tidak melebihi dari 1 mEq/kgBB/menit.

 Nalokson

Nalokson hidroklorida adalah antagonis narkotik diberikan dengan indikasi depresi


pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik dalam waktu 4 jam
sebelum melahirkan. Sebelum diberikan nalokson ventilasi harus adekuat dan stabil. Jangan
diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya dicurigai sebagai pecandu obat narkotika, sebab
akan menyebabkan gejala putus obat pada sebagian bayi. Cara pemberian intravena atau
melalui selang endotrakeal. Bila perfusi baik dapat diberikan melalui intramuskuler atau
subkutan. Dosis yang diberikan 0,1 mg/kg BB, perlu diperhatikan bahwa obat ini tersedia
dalam 2 konsentrasi yaitu 0,4 mg/ml dan 1 mg/ml.

Komplikasi

Hampir 90 % bayi yang memerlukan resusitasi akan membaik setelah diberikan VTP
yang adekuat, sementara 10 % bayi memerlukan kompresi dada dan obat-obatan, atau
meninggal. Pada sebagian bayi yang tetap tidak membaik walau telah dilakukan resusitasi
mungkin mengalami komplikasi kelahiran atau komplikasi resusitasi seperti tercantum di
tabel 3.

Bayi yang memerlukan VTP berkepanjangan, intubasi dan atau kompresi dada sangat
mungkin mengalami stress berat dan berisiko mengalami kerusakan fungsi organ multipel
yang tidak segera tampak. Bila diperlukan resusitasi lebih lanjut, bayi dirawat di ruang rawat
lanjutan, dengan pemantauan suhu, tanda vital, dan antisipasi terhadap komplikasi.16 Bayi
juga memerlukan nutrisi baik dengan cara pemberian oral atau parenteral tergantung
kondisinya. Bila bayi menderita asfiksia berat dapat diberikan nutrisi parenteral dengan
dextrosa 10%. Pemantauan terhadap saturasi oksigen, dan pemeriksaan laboratorium seperti
darah rutin, kadar gula darah, elektrolit dan analisa gas darah juga perlu dilakukan.10

Tabel 4. Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang dilakukan 10
25
Sistem organ Komplikasi yang mungkin Tindakan pasca resusitasi
Otak Apnu Pemantauan apnu
Kejang Bantuan ventilasi kalau perlu
Pantau gula darah, elektrolit
Pencegahan hipotermia
Pertimbang terapi anti kejang
Paru-paru hipertensi pulmoner Pertahankan ventilasi dan
pneumonia
oksigenasi
pneumotoraks
Pertimbangkan antibiotika
takipnu transien
Foto toraks bila sesak napas
sindrom aspirasi
Pemberian oksigen alir bebas
mekonium
Tunda minum bila sesak
defisiensi surfaktan
Pertimbangkan pemberian
surfaktan
Kardiovaskular Hipotensi Pemantauan tekanan darah dan
frekuensi jantung
Pertimbangkan inotropik (misal
dopamin) dan/atau cairan
penambah volume darah
Ginjal nekrosis tubuler akut Pemantauan produksi urin
Batasi masukan cairan bila ada
oliguria dan volume vaskuler
adekuat
Pemantauan kadar elektrolit
Gastrointestinal Ileus Tunda pemberian minum
enterokolitis Berikan cairan intravena
nekrotikans Pertimbangkn nutrisi parenteral
Metabolik/ Hipoglikemia Pemantauan gula darah
hematologik hipokalsemia Pemantauan elektrolit
hiponatremia Pemantauan hematokrit
anemia Pemantauan trombosit
trombositopenia

Prognosis

Pada kasus apabila segera ditangani dengan baik akan memberikan hasil ad bonam.
Namun, prognosis kepada asfiksia neonatorum ini sangat tergantung kepada lama bayi
tersebut tidak dapat bernafas sehingga tidak menimbulkan komplikasi pada organ lain.

26
Penutup

Permasalahan asfiksia neonatorum terletak pada penegakan diagnosis yang bersumber


dari belum adanya kesamaan persepsi tentang definisi dan penatalaksanaan asfiksia
neonatorum. Secara umum definisi asfiksia neonatorum yang digunakan mengacu pada
definisi WHO. Hal dikarenakan adanya keterbatasan sarana dan prasarana di Indonesia serta
data bahwa lebih dari 90% kasus asfiksia cukup ditangani dengan resusitasi dasar.

Pencegahan, eliminasi dan antisipasi terhadap faktor-faktor risiko asfiksia neonatorum


menjadi prioritas utama. Bila ibu memiliki faktor risiko yang memungkinkan bayi lahir
dengan asfiksia, maka langkah-langkah antisipasi harus dilakukan. Pemeriksaan antenatal
dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan seperti anjuran WHO untuk mencari dan
mengeliminasi faktor-faktor risiko.

Daftar Pustaka

1. World Health Organization. Basic newborn resuscitation : a pracitcal guide


revision. Diunduh dari www.who.int/reproductive-
health/publications/newborn_resus_citation/index.html, 15 November 2011.

2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;


2005.h.7,26-7.
3. IDAI. Asfiksia neonatorum. Dalam : Standar pelayanan medis kesehatan anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI;2004.h.272-6.

4. Gambar Apgar Skor. Skor apgar. Diunduh dari http://bastari-


corner.blogspot.com/2009/08/skor-apgar.html , 8 Agustus 2009.

5. American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and


Gynaecologists. Care of the neonate. Guidelines for perinatal care. Gilstrap LC,
Oh W, editors. Elk Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics;
2002.h.196-7.

6. Lee, et.al. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in Southern
Nepal: A Prospective, Community-Based Cohort Study. Pediatrics 2008;
121:e1381-e1390 (doi:10.1542/peds.2007-1966)

7. Corwin EJ.Buku saku patofisiologi. Jakarta: Penerbit EGC;2000.

27
8. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM.Ilmu kesehatan anak Nelson vol. 1.
Jakarta: EGC;2000.h.600-1.

9. Farrell PM. Lung development: biological and clinical perspectives vol.2.New


York: Academic Press;1985.h.294-6.

10. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan
resusitasi neonatus. Edisi ke-5. Jakarta: Perinasia; 2006.

11. McGuire W. Perinatal asphyxia. Clin Evid 2006;15:1–2.

12. 12 Parer JT. Fetal Brain Metabolism Under Stress Oxygenation, Acid-Base and
Glucose. 2008. Diunduh dari:
http://www.nichd.nih.gov/publications/pubs/acute/acute.cfm, 15 November 2011.

13. Allwood AC, Madar RJ, Baumer JH, Readdy L, Wright D. Changes in
resuscitation practice at birth. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2003; 88:F375 –
F379.

28

You might also like