You are on page 1of 26

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Kasus

Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman


RSUD A.W.Sjahranie Samarinda

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Disusun Oleh:
Mahyati Sari Zulfa
1610029051

Pembimbing:

dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK UNMUL
Samarinda
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tutorial Kasus dengan judul
“Chronic Kidney Disease”. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak
membantu penulis dalam pelaksanaan hingga terselesaikannya laporan kasus ini, diantaranya:

1. dr. Ika Fikriah, M. Kes , selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.

2. dr. Suhartono, Sp. TT-KL selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman selaku Ketua Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unmul

3. dr Sherly Yuniarchan, Sp.A, selaku dosen Pembimbing Tutorial Klinik yang dengan sabar
memberikan arahan, motivasi, saran dan solusi yang sangat berharga dalam penyusunan
laporan kasus ini dan juga yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan, saran, dan solusi selama penulis menjalani co.assisten di lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak.

4. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK UNMUL
dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca
untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang.

Samarinda, 30 November 2017

Penulis

2
Tutorial Kasus

Chronic Kidney Disease

Sebagai salah satu syarat untukmengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak
MAHYATI SARI ZULFA
1610029051

Menyetujui,

dr Sherly Yuniarchan, Sp. A

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
NOVEMBER 2017

3
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.........................................................................................2
KATA PENGANTAR........................................................................................3
DAFTAR ISI ...................................................................................................4
1. PENDAHULUAN.......................................................................................5
1.1 Latar Belakang....................................................................................5
1.2 Tujuan.................................................................................................6
2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................
3.1 Definisi................................................................................................9
3.2 Etiologi..............................................................................................11
3.3 Klasifikasi.........................................................................................12
3.4 Manifestasi Klinis.............................................................................14
3.5 Diagnosis..............................................................................................17
3.7 Penatalaksanaan....................................................................................17
3.8 Prognosis...........................................................................................25
3. PENUTUP.................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................27

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan
masalah kesehatan pada anak yang cukup serius dengan prevalens yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai
abnormalitas struktur atau fungsi ginjal minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan
laju filtrasi glomerulus (LFG) yaitu <60 mL/mnt/1.73 m2.1 Prevalensi CKD pada
2
populasi anak diperkirakan mencapai 18 per 1 juta anak Menurut laporan data tahun
2006, di Amerika Serikat pada populasi usia 0-19 tahun adalah 14 per satu juta. Angka
kejadian PGK pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada. Di RSCM
Jakarta antara tahun 1991-1995 ditemukan PGK sebesar 4.9% dari 668 anak penderita
penyakit ginjal yang dirawat inap, dan 2.6% dari 865 penderita penyakit ginjal yang
berobat jalan.3 Pada anak-anak, CKD dapat merupakan kelainan bawaan, didapat, atau
penyakit ginjal metabolik, dan penyebab yang berkorelasi erat dengan usia pasien pada
saat pertama kali terdeteksi. 1
Pasien CKD seringkali datang dengan berbagai keluhan yang menunjukkan bahwa
pasien datang pada stadium lanjut, karena keterlambatan diagnosis. Awal penyakit ini
biasanya tanpa gejala, atau hanya menunjukkan keluhan-keluhan yang tidak khas seperti
1
sakit kepala, lelah, letargi, nafsu makan menurun dan muntah, Selain itu dapat
ditemukan juga gangguan pertumbuhan, anemia, hipertensi, gangguan elektrolit, dan
osteodistrofi renal.2 Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfatkan faal ginjal
yang masih ada, menghilangkan berbagai factor pemberat, dan bila mungkin
memperlambat progresivitas gagal ginjal. Selain itu terdapat pengobatan pengganti
adalah melakukan dialisis dan cangkok ginjal. Pencegahan dan deteksi dini merupakan
hal yang sangat penting, karena dengan deteksi dini progresivitas penyakit dapat
dikendalikan. Untuk prognosis pada pasien CKD setelah transplantasi 5 year survival
rate adalah 96%. Biasanya kematian terjadi akibat komplikasi penyakit primer, dialisis
dan transplantasi.4

5
1.2 Tujuan
Tutorial kasus ini bertujuan untuk mempelajari dan memahami lebih dalam tentang
Cronic Kidne Disease yang meliputi definisi, klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosa,
diagnosa banding, penatalaksanaan serta prognosis dari Chronic Kidney Disease.

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

Gambar 1. Anatomi Ginjal


Sumber : Principle of Anatomy and Physiology, 2009

Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna
vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri, karena tertekan
kebawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi iga keduabelas, sedangkan kutub atas
ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas. Ginjal terletak di bagian atas belakang abdomen, di
belakang peritoneum, di depan iga 11 dan 12, dan terletak diantara tiga otot besar, yaitu
transversus abdominis, kuadratus lumborum, dan psoas mayor. Ginjal difiksasi oleh bantalan
lemak yang tebal sehingga posisinya akan tetap stabil. Ginjal dilindungi oleh iga dan otot-
otot, sedangkan di anterior bawah ginjal dilindungi oleh bantalan usus yang tebal.
Ginjal adalah organ yang berfungsi mengatur keseimbangan cairan tubuh dengan cara
membuang sisa-sisa metabolisme dan menahan zat-zat yang dibutuhkan tubuh. Fungsi ini
amat penting bagi tubuh untuk menjaga hemostasis, walupun ginjal tidak selalu bisa
mengatur keadaan cairan tubuh dalam kondisi normal. Pada keadaan minimal, ginjal harus
mengeluarkan minimal 0,5 liter air per hari untuk kebutuhan pembuangan racun. Terdapat 3

7
proses dasar yang mendasari, yaitu Filtrasi Glomerulus, Reabsorbsi Tubulus, dan Sekresi
Tubulus.
a. Filtrasi Glomerulus
Darah mengalir melalui glomerulus, terjadi yang namanya filtrasi plasmabebas protein
menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula bowman. Setiaphari kira-kira 180 liter
filtrat glomerulus , dengan menganggap bahwa volumeplasma rata-rata orang dewasa
sekitar 2, 75 liter, berarti seluruh plasma yang difiltrasi enam puluh lima kali oleh ginjal
setiap harinya. Oleh karena itu, jikasemua volume cairan dikeluarkan melalui urin, maka
volume plasma total akanhabis dalam waktu setengah jam setelah berkemih.
b. Reabsorbsi Tubulus
Hasil filtrasi berupa zat-zat yang masih bermanfaat bagi tubuh akandikembalikan ke
plasma kapiler peritubulus. Zat-zat yang direabsorbsi tadinantinya tidak akan dikeluarkan
melalui urin, tapi diangkut ke sistem vena dan kejantung untuk kembali diedarkan. Dari
180 liter plasma yang difiltrasi, rata-rata178,5 liter yang diserap kembali, dengan sisa 1,5
liter terus mengalir ke pelvisginjal untuk dikeluarkan sebagai urin.
c. Sekresi Tubulus
Dalam proses ini terjadi perpindahan selektif zat-zat dari darah kapilerperitubulus ke
dalam lumen tubuus. Dimana hanya sekitar 20 % dari plasmamengalir melalui kapiler
glomerulus disaring ke dalam kapsul bowman,sedangkan sisanya 80 % mengalir melalui
arteriol eferen ke dalam kapilerperitubulus
2.2.2. Pengaruh Gangguan Fungsi Ginjal
Ada beberapa kelainan yang umum terjadi pada beberapa penyakit ginjal,seperti
ditemukan adanya protein dalam urin, leukosit, sel darah merah, dansilinder, yaitu potongan
protein yang mengendap dalam tubulus dan didorong olehurin ke dalam kandung kemih.
Akibat lain yang muncul dan penting untukdiketahui, seperti uremia dan asidosis dapat juga
terjadi.
a. Proteinuria
Proteinuria dapat terjadi pada beberapa penyakit ginjal dan pada satu kelainan ginjal
yang tidak bahaya, permeabilitas kapiler glomeulus meningkat,dan protein dapat
ditemukan di urin dalam jumlah yang lebih besar daripada normal.
Pada kelainan seperti albuminuria ortostatik, dapat juga terjadi proteinuria,namun
kelainan yang timbul tidaklah membahayakan, karena protein pada urin ditemukan
bila mereka dalam posisi berdiri pada orang sehat. Mekanisme yang terjadi belum
sepenuhnya dimengerti(Ganong, 2008).
b. Uremia
Uremia dapat terjadi bila pemecahan metabolisme protein menumpuk di dalam darah.
Gejala yang muncul seperti letargi, anoreksia, mual, dan muntah, deteriorasi mental,

8
kedutan otot, dan akhirnya kejang.Ada kemungkinan bahwa bukan ureum dan
kreatinin saja yang menimbulkan gejala-gejala ini, namun juga karena penumpukan
zat-zat toksik. Zat toksik tersebut dapat dihilangkan dengan melakukan hemodialisa
darah (Ganong, 2008).
c. Asidosis
Asidosis dapat terjadi pada penyakit ginjal menahun akibat kegagalan ginjal untuk
mengekskresikan asam-asam hasil pencernaan dan metabolisme. Sebagai contoh,
pada asidosis tubulus ginjal, terjadi gangguan spesifik pada kemampuan pembentukan
urin yang asam, dan biasanya fungsi ginjal lainnya normal (Ganong, 2008). Pada
kasus seperti acute kidney injury, gangguan fungsi ginjal seperti yang sudah
disebutkan diatas rentan terjadi, oleh karena pengawasan akan status hemodinamik
dan faal ginjal tidak dimonitor secara ketat, sehingga dapat menimbulkan prognosis
yang buruk apabila tidak ditangani dengan segera.

2.2 CHRONIC KIDNEY DISEASE


2.2.1 DEFINISI
Definisi yang tercantum dalam clinical practise guidelines on CKD
menyebutkan bahwa seorang anak dikatakan menderita CKD bila terdapat salah
satu dari criteria dibawah ini : 1,4
Tabel 2.1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
dengan manifestasi :
- Kelainan Patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,
atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal
Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium Nefrologi
Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
2.2.2. EPIDEMIOLOGI
2
Prevalensi CKD pada populasi anak diperkirakan mencapai 18 per 1 juta anak
Menurut laporan 2006, kejadian Gagal Ginjal Terminal (GGT) / End-Stage Renal
Disease (ESRD) di Amerika Serikat pada populasi usia 0-19 tahun adalah 14 per
satu juta. Studi kohort yang dilakukan dari Chronic Renal Insufficiency arm of the

9
North American Pediatric Renal Transplant Cooperative Study (NAPRTCS)
menunjukkan persentase 19% pada kelompok usia 0-1 tahun,17% pada kelompok
usia 2-5tahun, 33% pada kelompok usia 6-12tahun, 31% pada kelompok usia diatas
12 tahun.2
Angka kejadian CKD pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada.
Pada penelitian di 7 rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia
didapatkan 2% dari 2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal (tahun 1984-
1988) menderita CKD. Di RSCM Jakarta antara tahun 1991-1995 ditemukan PGK
sebesar 4.9% dari 668 anak penderita penyakit ginjal yang dirawat inap, dan2.6%
dari 865 penderita penyakit ginjal yang berobat jalan 3. CKD pada anak umumnya
disebabkan oleh karena penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal kongenital.
Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya selama 5
tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari seluruh penderita rawat tinggal di bangsal
anak dibandingkan di RSCM Jakarta dalam periode 5 tahun (1984-1988) sebesar
0,17% 1.
2.2.3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Penyebab CKD pada anak usia < 5 tahun paling sering adalah kelainan
congenital misalnya displasia ginjal dan uropati obstruktif. Sedangkan pada usia >
5 tahun sering disebabkan oleh penyakit yang diturunkan (penyakit ginjal
polikistik) dan penyakit didapat (glomerulonefritis kronis). 1,4
Tabel 2.2 Kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD

 Riwayat keluarga dengan penyakit polistik ginjal atau penyakit ginjal genetic
 Bayi berat lahir rendah
 Anak dengan riwayat gagal ginjal akut
 Hipoplasia atau displasia ginjal
 Penyakit urologi terutama uropati obstruktif
 Refluks verikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan parut ginjal
 Riwayat menderita sindrom nefrotik atau sindrom nefritis akut
 Riwayat menderita sindrom hemolitik uremik
 Riwayat menderita Henoch Schoenlein Purpura
 Diabetes mellitus
 Lupus Eritematosus Sistemik
 Riwayat menderita tekanan darah tinggi
Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium Nefrologi
Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. 3
2.2.4. KLASIFIKASI

10
Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan,
identifikasi awal kerusakan ginjal dan tatalaksana serta untuk pencegahan
komplikasi CKD. Klasifikasi stadium ini ditentukan oleh nilai laju filtrasi
glomerulus, yaitu stadium lebih tinggi menunjukan nilai laju filtrasi glomerulus
yang lebih rendah. 1,4

Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium N efrologi
Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.4
Nilai LFG digunakan sebagai fokus utama dalam pedoman ini karena LFG dapat
menggambarkan fungsi ginjal secara menyeluruh. Nilai LFG dapat dihitung
berdasarkan rumus berikut: 5

LFG (mL/menit/1,73 m2) = K X TB (cm)


Kreatinin serum (mg/dL)

 K adalah konstanta (K= 0,33 untuk bayi berat lahir rendah di bawah usia 1
tahun, K= 0,45 untuk bayi berat lahir cukup bulan sampai 1 tahun, K= 0,55
untuk anak sampai umur 13 tahun, K= 0,57 untuk perempuan 13-21 tahun, dan
0,70 untuk anak laki-laki 13 – 21 tahun).
 TB=tinggi badan

11
Meskipun filtrasi glomerulus dimulai kira-kira pada umur janin 9 minggu, fungsi
ginjal nampaknya tidak perlu untuk homeostasis intra uterin normal, plasenta
berfungsi sebagai alat ekskresi utama. Setelah lahir laju filtrasi glomerulus meningkat
sampai pertumbuhan berakhir diusia dekade kedua. Untuk memudahkan dalam
membandingkan LFG pada anak dan dewasa, maka LFG tersebut distandarisasi pada
luas permukaan seorang dewasa yang mempunyai berat 70 kg. LFG pada anak akan
sama dengan nilai pada orang dewasa umur 2 tahun.
Nilai normal LFG pada berbagai usia :
Umur LFG (ml/men/1.73 m2)
Lahir 20.8 ± 1.9
1 minggu 46.6 ± 5.2
3-5 minggu 60.1 ± 4.6
6-9 minggu 67.5 ± 6.5
3-6 bulan 73.8 ± 7.2
6-12 bulan 93.7 ± 14.0
1-2 tahun 99.1 ±18.7
2-5 tahun 126.5 ± 24.0
5-15 tahun 116.7 ± 2-.3

2.2.5. PATOGENESIS
Chronic Kidney Disease (CKD), kerusakan atau cedera pada ginjal oleh sebab
struktural maupun penyakit metabolik genetik masih tetap berlanjut meskipun
penyebab utamanya telah dihilangkan 2. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme
adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung
pada CKD. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut ialah adanya
gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan
oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah
kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat, dan
kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut
menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal (GGT) atau
Kidney Failure atau End-Stage Renal Disease (ESRD) 3.
Hyperfiltration injury / cedera hiperfiltrasi adalah perjalanan umum dari
kerusakan glomerulus,dan tidak bergantung pada penyebab yang mendasari
kerusakan ginjal. Dengan hilangnya nefron , sisa nefron yang lain mengalami
hipertrofi struktural dan fungsional ditandai dengan peningkatan aliran darah

12
glomerular. Kekuatan pendorong untuk filtrasi glomerulus meningkat pada nefron
yang masih hidup. Meskipun mekanisme hiperfiltrasi ini sementara dapat
memelihara fungsi ginjal , hal ini dapat menimbulkan kerusakan progresif pada
glomeruli yang masih hidup,disebabkan efek langsung dari peningkatan tekanan
hidrostatik pada intergritas dinding kapiler dan atau efek beracun dari peningkatan
protein yang melintasi dinding kapiler. Seiring waktu, dengan populasi nefron yang
mengalami sclerosing meningkat, nefron yang masih hidup akan mengalami
peningkatan beban ekskresi yang bertambah,sehingga akan menyebabkan lingkaran
setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus 2.
Proteinuria sendiri dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, sebagaimana
dibuktikan oleh penelitian bahwa pengurangan proteinuria dapat menunjukan efek
yang menguntungkan. Protein yang melintasi dinding kapiler glomerulus dapat
memberikan efek toksik langsung dan mendatangkan monosit atau makrofag, hal itu
meningkatkan proses glomerular sclerosis dan tubulointerstitial fibrosis 2,3.
Hipertensi yang tidak terkontrol dapat memperburuk perkembangan penyakit
dengan menyebabkan arteriolar nephrosclerosis disebabkan proses hiperfiltrasi.
Hiperfosfatemia dapat meningkatkan perkembangan penyakit karena deposisi
kalsium-fosfat di intersitium ginjal dan pembuluh darah . Hiperlipidemia, sebuah
kondisi umum pada pasien PGK, dapat merusak fungsi glomerular melalui oxidant-
mediated injury 2, 6.
2.2.6. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang timbul pada CKD merupakan manifestasi:3
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksis uremik.
3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D.
4. Abnormalitas respon end organ terhadap hormon endogen (hormon
pertumbuhan).
Pasien CKD menunjukan keluhan non spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi,
kurang nafsu makan, muntah, dan gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan anak tampak pucat, lemah dan hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung
bertahun-tahun. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan
keadaan-keadaan seperti:1,2
- Gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan : hiperkalemia /hipokalemia,
hipernatremia/hiponatremia, dehidrasi.
- Gangguan asam basa: asidosis metabolic.

13
- Gangguan metabolisme karbohidrat (hiperglikemi) dan lemak
(hiperlipidemia).
- Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat: hiperparatiroid sekunder,
osteodistrofi ginjal, rickets/osteomalasia, kalsifikasi jaringan lunak.
- Gangguan metabolisme hormon: anemia normokrom normositer hipertensi.
- Gangguan perdarahan.
- Gangguan fungsi kardiovaskular: perikarditis, toleransi miokard terhadap
latihan rendah.
- Gangguan jantung : kardiomiopati uremik, hipertrofi ventrikel kiri dan
penebalan septum interventrikular.
- Gangguan neurologi: neuropati perifer, ensefalopati hipertensif dan retardasi
mental.
- Gangguan perkembangan seksual : keterlambatan pubertas.
Gangguan ekskresi air, Ginjal adalah pengatur volume cairan tubuh yang
utama. Karena ginjal memiliki kapasitas untuk mengencerkan dan memekatkan
urin. Pada CKD ,kapasitas ini terganggu sehingga dapat menyebabkan retensi dari
zat sisa maupun overload cairan pada tubuh
Ganguan ekskresi natrium, dalam perjalanan PGK kemampuan nefron untuk
mengatur keseimbangan natrium menjadi terganggu, pada pasien dengan CKD yang
stabil jumlah total natrium dan cairan pada tubuh menigkat,walau kadang tidak
begitu terlihat pada pemeriksaan fisik.Pada berbagai bentuk gangguan ginjal
(cth,Glomerulonefritis),terjadi gangguan pada glomerulotubular sehingga tidak
dapat menjaga keseimbangan dari intake natrium yang berlebih terhadap jumlah
yang diekskresikan,hal ini menyebabkan retensi natrium dan ekspansi dari cairan
ekstraselular sehingga terjadi hipertensi,yang dapat semakin menambah kerusakan
pada ginjal 6.Hiponatremia (dilutional hyponatremia) kadang ditemukan pada
penderita CKD,hal ini disebabkan retensi dari air yang berlebihan,sehingga
menyebabkan dilusi pada cairan intravascular 6,7.
Gangguan ekskresi kalium, ginjal mempunyai kapasitas untuk ekskresi
kalium,dan biasanya hiperkalemia yang berat terjadi saat LFG
<10mL/menit/1.73m2. apabila hiperkalemia terjadi pada LFG >10mL/menit/1.73m2
,harus dicari penyebab dari hiperkalemia, termasuk diantaranya : intake kalium yang
berlebih, hyporeninemic hypoaldosteronism, asidosis metabolic yang berat,tranfusi
darah, hemolisis, katabolisme protein, penggunaan obat-obatan seperti ACE
inhibitor ,B-blocker, dan aldosteron antagonist3,6,7. Hipokalemia juga dapat terjadi
namun jarang ditemukan, hal ini terjadi biasanya karena intake kalium yang
rendah,penggunaan diuretic yang berlebihan, kehilangan kalium dari GIT.

14
Asidosis metabolik berkembang di hampir semua anak-anak dengan CKD
sebagai akibat penurunan ekskresi asam oleh ginjal dan produksi ammonia 3,6,7.
Uremia , walaupun konsentrasi urea serum dan kreatinin digunakan sebagai ukuran
kapasitas ekskresi dari ginjal . akumulasi hanya dari kedua molekul ini tidak
bertanggung jawab atas gejala dan tanda yang karakteristik pada uremic syndrome
pada gagal ginjal yang berat. Ratusan toksin yang berakumulasi pada penderita
gagal ginjal berperan dalam uremic syndrome. Hal ini meliputi water-soluble,
hydrophobic, protein-bound, charged, dan uncharged compound. Sebagai
tambahan,produk ekskresi nitrogen termasuk diantaranya guanido, urat, hippurat,
produk dari metabolism asam nukleat, polyamines, mioinositol, fenol, benzoate, dan
indol. Uremia sendiri menyebabkan gangguan fungsi dari setiap sistem organ.
Dialisis kronik dapat mengurangi insiden dan tingkat keparahan dari gangguan
ini .Kadar urea yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada mulut,yaitu kadar
urea yang tinggi pada saliva dan menyebabkan rasa yang tidak enak (seperti
ammonia), fetor uremikum (bau nafas seperti ammonia),dan uremic frost .Gangguan
pada serebral terjadi pada kadar ureum yang sangat tinggi,dan dapat menyebabkan
coma uremicum.Pada jantung dapat mengakibatkan uremic pericarditis maupun
uremic cardiomyopathy 6.
Hipertensi, Anak-anak dengan CKD mungkin memiliki hipertensi
berkelanjutan yang berkaitan dengan kelebihan beban volume intravascular dan atau
produksi renin yang berlebihan berkaitan dengan penyakit glomerular.
Anemia ,hal ini umum terjadi pada pasien dengan CKD ,terutama disebabkan
karena produksi eritropoietin tidak memadai (dibentuk di korteks ginjal, pada
interstitial, tubular atau sel endotelial). Faktor lain yang mungkin menyebabkan
anemia termasuk kekurangan zat besi, asam folat atau vitamin B12, dan penurunan
survival-time dari eritrosit 2,3,6,7.
Abnormal hemostasis, pada pasien PGK terjadi waktu perdarahan yang
memanjang, karena menurunnya aktivitas dari platelet factor III, agregasi platelet
yang abnormal, dan gangguan konsumsi protrombin, dan meningkatnya aktivitas
fibrinolitik karena fibrinolisin tidak tereliminir pada ginjal.
Gangguan Pertumbuhan, perawakan yang pendek adalah sekuel jangka
panjang dari CKD yang terjadi di masa kanak-kanak. Anak-anak dengan CKD
berada dalam keadaan resisten terhadap growth hormon (GH) walaupun terjadi

15
peningkatan kadar GH namun terjadi penurunan kadar insulin like growth factor
1(IGF-1) dan abnormalitas dari insulin like growth factor–binding proteins 2,3,6.
Renal Osteodystrophy atau osteodistrofi ginjal merupakan istilah yang
digunakan untuk menunjukkan suatu spektrum kelainan tulang yang ditemui pada
pasien dengan CKD. Kondisi yang umum ditemukan pada anak-anak dengan CKD
adalah gangguan berupa tingginya turnover pada tulang yang disebabkan oleh
hiperparatiroidisme sekunder. Temuan patologik ini disebut osteitis fibrosa cystica.
Patofisiologi osteodistrofi ginjal sangat kompleks. Pada awal perjalanan CKD
ketika LFG menurun kira-kira 50% dari normal, penurunan massa ginjal secara
fungsional menyebabkan penurunan aktivitas hidroksilase-1α ginjal, dengan
penurunan produksi vitamin D aktif (1,25 dihydroxycholecalciferol). Kekurangan
bentuk aktif vitamin D ini mengakibatkan penurunan penyerapan kalsium di usus
halus, sehingga terjadi hipokalsemia, dan peningkatan aktivitas kelenjar paratiroid.
Peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH) sebagai upaya untuk memperbaiki
hipokalsemia,dengan meningkatan resorpsi tulang. Kemudian dalam perjalanan
CKD, ketika LFG menurun 20-25% dari normal, mekanisme kompensasi untuk
meningkatkan ekskresi fosfat menjadi tidak memadai, sehingga mengakibatkan
hiperfosfatemia yang kemudian lebih lanjut akan mengakibatkan hipokalsemia dan
peningkatan sekresi PTH. 3,6,7
2.2.7.DIAGNOSIS
Diagnosis CKD dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.4
 Anamnesis
Penderita CKD menunjukan keluhan tidak spesifik seperti sakit kepala,
lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah, dan gangguan pertumbuhan.
Keadaan ini dapat berlangsung secara bertahun-tahun.4
 Pemeriksaan Fisik
Gangguan pertumbuhan, anemia, hipertensi, osteodistrofi ginjal, tanda
pembesaran jantung, dan keterlambatan seksual.4
 Pemeriksaan Penunjang
o
Darah: hemoglobin, elektrolit, analisa gas darah, gula, profil lipid, kadar
vitamin D, factor pembekuan. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan
kadar ureum dan kreatinin dan penurunan LFG.Kelainan biokimiawi darah

16
meliputi anemia, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia,
hiperfosfatemia,dan asidosis metabolic. 4,7
o
Radiologi: USG ginjal dapat memperlihatkan gambaran ukuran ginjal yang
mengecil dan korteks yang menipis dan foto toraks untuk melihat
pembesaran jantung.4,7
o
Foto tulang jika terdapat osteodistrofi ginjal.
2.2.8. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan konservatif
Pada umumnya pengobatan konservatif masig mungkin dilakukan bila klirens
protein >10 mL/menit/1,73m2 . Dengan tujuan untuk memanfaatkan faal ginjal
yang masih ada, menghilangkan berbgai factor pemberat, dan bila mungkin
memperlambat progresivitas gagal ginjal.1,4
a. Diet
Pada prinsipnya diet yang diberikan pada penderita CKD adalah: 1,4
 Mencukupi semua nutrin esensial yang adekuat termasuk vitamin.
 Mencukupi kalori yang adekuat dalam bentuk karbohidrat dan lemak.
 Mencukupi protein berkualitas tinggi untuk mempertahankan keseimbangan
nitrogen (+) dan mendorong kecepatan pertumbuhan.
 Mengurangi terjadinya akumulasi nitrogen sampai seminimal – minimalnya
untuk menghindari akibat uremia, misalnya kelainan hematologis dan
neurologis serta mencegah osteodistrofi.
 Mengurangi beban asam yang harus diekskresikan oleh ginjal.
 Menghindari masukan elektrolit yang berlebihan.
Pembatasan masukan protein harus dimulai bila LFG 15-20 mL/menit/1,73m2.
. Jumlah kalori yang diberikan harus cukup untuk anabolisme dan pertumbuhan,
jadi harus disesuaikan dengan kebutuhan menurut usia. Untuk bayi diberikan 100
kkal.kgBB/hari sedangkan jumlah protein diberikan sesuai dengan usia dan
tingkat penurunan LFG. Retriksi protein dilakukan bila kadar ureum darah > 30
mmol/L atau terdapat gejala uremia. Umum diberikan 1,4 g/kgBB/hari untuk bayi
dan 0,8-1,1 g/kgBB/hari untuk anak yang terdiri atas protein yang nilai biologis
tinggi ( paling sedikit mengandung 70% asam amino esensial). Bila retriksi
protein terlalu ketat akan mengakibatkan malnutrisi, sehingga jumlah protein yang
harus diberikan paling sedikit 4% dari jumlah total kalori atau 1g/kgBB/hari.
Maksud pembatasan protein adalah mencegah katabolisme protein endogen,
mengurangi akumulasi sisa nitrogen, serta membatasi toksisitas sistemik. 1,4

17
Tabel.2.4 Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan Untuk
Anak dengan CKD
Usia Tinggi (cm) Energi (kkal) Minimal Kalsium Fosfor
Protein (g) (g)
(g)

0-2 bulan 55 120/kgBB 2,2/kgBB 0,4 0,2

2-6 bulan 63 110/kgBB 2,0/kgBB 0,5 0,4

6-12 bulan 72 100/kgBB 1,8/kgBB 0,6 0,5

1-2 tahun 81 1.000 18 0,7 0,7

2-4 tahun 96 1.300 22 0,8 0,8

4-6 tahun 110 1.600 29 0,9 0,9

6-8 tahun 121 2.000 29 0,9 0,9

8-10 tahun 131 2.200 31 1,0 1,0

10-12 tahun 141 2.450 36 1,2 1,2

12-14 tahun

Laki-laki 151 2.700 40 1,4 1,4

Perempuan 154 2.300 34 1,3 1,3

14-18 tahun

Laki-laki 170 3.000 45 1,4 1,4

Perempuan 159 2.350 35 1,3 1,3

18-20 tahun

Laki-laki 175 2.800 42 0,8 0,8

Perempuan 163 2.300 33 0,8 0,8

Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium


Nefrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
b. Natrium
Pada CKD akibat kelainan anatomi ginjal biasanya terjadi pengeluaran natrium
yang banyak sehingga terjadi hiponatremia dan dehidrasi berat. Pada keadaan ini
dibutuhkan suplai natrium dalam makanan. Sebaliknya, ada penderita yang disertai

18
hipertensi, edema, atau gagal jantung, harus dilakukan retriksi natrium dan
pemberian diuretic seperti furosemid (1-4 mg/kgBB/hari). Umumnya diet rendah
garam pada CKD tanpa hipertensi atau sembab adalah 2 g/kgBB/hari (80
mEq/kgBB/hari). Bila disertai sembab dikurangi menjadi 1 mEq/kgBB/hari dan bila
ditemukan oligouria atau anuria harus diperketat menjadi 0,2 mEq/kgBB/hari.
Catatan 1 g garam dapur sebandung dengan 400 mg natrium atau 17 mEq natrium.
1,4

c. Asidosis
Penderita CKD sering mengalami asidosis kronis yang menyebabkan kerusakan
tulang dan gagal tumbuh. NaHCO3 aman digunakan dengan dosis 1-5
mEq//kgBB/hari disesuaikan dengan beratnya asidosis. Untuk mempertahankan
pertumbuhan anak secara adekuat maka kadar bikarbonat plasma harus
dipertahankan anatara 23-25 mEq/L. Bila asidosis berat (HCO3 < 8 mEq/L) koreksi
dengan dosis 0,3 x kgBB x (12- HCO3 serum) mEq/L i.v. Tablet NaHCO3 325 mg
= 4 mEq HCO3.1,4
d. Hipertensi
Langkah pertama untuk mengendalikan hipertensi adalah tindakan
nonfarmakologis yaitu diet rendah garam , penurunan berat badan, dan berolah raga.
Bila dengan cara ini tidak berhasil diberikan obat farmakologis. Pengobatan
farmakologis dapat langsung diberikan bila hipertensi disertai gejala kerusakan
organ atau peninfkatan tekanan darah sangat cepat. Yang sering dipakai adalah :1,4
 Diuretika
 Beta –Bloker adrenergic (propanolol atau etanolol)
 Agonis adrenergic alfa
 Vasodilator perifer (hidrolazid)
 Calsium channel blocker dan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor
Tindakan farmakologi dimulai dengan pemberian diuretic, bila tidak berhasil
atau hipertensi makin berat dapat diberikan beta-bloker adrenergic (propanolol atau
etanolol) dan atau vasodilator perifer (hidralazid). Bila gabungan obat-obatan
tersebut masih tidak memberikan hasil dapat diberikan Calsium channel blocker
( nifedipin) atau ACE inhibitor (kaptopril/enalapril). Pada hipertensi krisis akut
dapat diberikan nifedipin sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgBB. Furosemid
diberikan dengan dosis 1-5 mg/kgBB i.v diulang tiap 6-12 jam kecepatan maks. 4
mg/kgBB/menit atau dapat diberikan klonidin drip dengan dosis 0,002
mg/kgBB/8jam + 100 mL dekstrose 5%, tetesan awal 12 tetes mikrodrip/menit, bila
tekanan darah belum turun tetesan dinaikan 6 tetes/mikridrip/menit tiap 30 menit

19
(maksimal 36 tetes mikrodrip/menit). Bila 30 menit setelah tetesan maksimal
tekanan darah belum turun, ditambah kaptopril dengan dosis 0,3 mg/kgBB/kali,
diberikan 2-3 kali sehari (maksimal 2 mg/kgBB/kali). Pemberian kaptopril harus
hati-hati pada pasien kelainan ginjal bilateral atau steosis arteri renalis bilateral
karena dapat mempercepat kerusakan ginjal.1,4
e. Anemia
Pengobatan anemia dilakukan sesuai penyebabnya. Bila ditemukan defisiensi zat
besi diberikan zat besi oral dengan dosis 2-3 mg besi elemental/kgBB/kali diberikan
3 kali sehari selama 3 bulan. Bila terjadi defesiensi asam folat, diberikan asam folat
dengan dosis 1-5 mg.hari selama 3-4 minggu, pasien yang menjalani dialisis secara
teratur diberi asam folat oral 1 mg/hari. Anemia pada CKD dapat diobati dengan
androgen karena dapat meningkatkan produksi eritropoietin oleh hepatosit.
Penelitian terakhir mengemukakan bahwa pemberian recombinan human
erythropoietin (rhuEPO) dengan dosis antara 50-150 IU/kgBB/kali subkutan (pada
sedang yang menjalani dialisis dapet diberikan intravena), diberikan 3 kali
seminggu. Pemberian rhuEPO dapat mengurangi atau menghindarkan transfuse
darah pada CKD. Bila ditemukan pasien anemia disertai mengancam jiwa perlu
diberikan transfuse darah PRC 10-20 ml/kgBB. Biasanya transfuse PRC diberikan
bila kadar Hb < 6 mg/dL. Kalau ditemukan hipersplenisme dan usaha untuk
menaikan Hb tidak berhasil, harus dilakukan splenektomi. 1,4
f. Gagal jantung
Terjadinya gagal jantung biasanya akibat kelebihan cairan dan atau hipertensi
berat. Pengobatan langsung ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan
nifedipin sublingual dan mengeluarakan cairan dengan diuretic seperti furosemid
baik secara oral maupun intravena. Bila terjadi perikarditis pada uremia yang berat,
merupakan indikasi untuk dilakukan dialisis dan dalam keadaan akut mungkin perlu
tindakan perikardiosintesis. Adanya cairan pericardium yang persisten atau terjadi
rekurensi mungkin membutuhkan pemberian steroid non –adsorber (triamnisolon)
setalah tindakan perikardiosentesis. 1,4
g. Gagal Pertumbuhan
Dapat dihambat dengan mencegah terjadinya asidosis, osteodistrofi ginjal dan
konsultasi gizi. Akhir-akhir ini dicoba memberikan human recombinan hormon
dosis 0,35 mg/kg atau 30 U/m2 perminggu, memberikan hasil yang efektif untuk
mempercepat pertumbuhan anak.
h. Osteodistrofi Renal

20
Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25
dihydroxycholecalciferol menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan,
yaitu pada GRF 50-80 ml/menit/1.73m2. Kadar fosfat plasma merupakan sebab
utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel paratiroid secara
independen pada kadar calcium serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol
endogen. Oleh karenanya kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting
sebagai prevensi dan terapi hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut
paling sulit dicapai dalam jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan
akan diet rendah fosfat yang ketat and pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi
absorbsinya. Diet rendah fosfat berarti membatasi intake susu sapi dan produknya.
3,6

Bila kadar fosfat plasma tetap diatas harga rata-rata untuk umur, pengikat fosfat
misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari diberikan bersama makanan, dosis
disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara harga rata-rata dan -2SD
sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer (non-calcium/non-
aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat yang bermanfaat. 3,6
Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-
dihydroxycholecalciferol endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan
kadar PTH. Namun, bila kadar PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma normal,
perlu ditambahkan vitamin D3 hidroksilasi. Tipe,
dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi
osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi.
Dianjurkan pemberian dosis rendah 1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30
ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat kurang dari 20 kg, dan 250-500
ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk menaikkan kadar kalsium
plasma sampai batas normal atas: bila kadar
PTH telah normal, 1,25-dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara.
Pemberian 1,25-dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih efektif untuk
menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan adynamic bone, oleh karena
1,25-dihydroxycholecalciferol pada dosis tinggi mempunyai efek antiproliferatif
pada osteoblast. 3,6
Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap
kunjungan. Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak
melakukan kunjungan yang lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak

21
asimtomatik dan parameter biokimia normal, hanya perlu dilakukan pemeriksaan
radiologi manus kiri dan pergelangan tangan setiap tahun untuk menilai usia tulang.
3,6

2. Pengobatan pengganti
Prinsip pengobatan pengganti adalah melakukan dialisis (dialysis peritoneal
maupun hemodialisis) dan cangkok ginjal. 1,4
 Tindakan Dialisis
Indikasi dialisis pada bayi, anak, dan remaja sangat bervariasi dan tergantung dari
status klinis pasien. Tindakan dialisis baik peritoneal maupun hemodialisis harus
dilakukan sebelum LFG <10 mL/ menit/1,73m2. Indikasi absolut untuk tindakan awal
dialisis kronik pada anak dengan gagal ginjal:
a. Hipertensi tidak terkendali, hipertensiensefalopati.
b. Gagal jantung : kardiomiopati
c. Perikarditis tamponade
d. Neuropati perifer: parestesis, disfungi motorik.
e. Osteodistrofi ginjal: kalsifikasi tersebar, deformitas tulang.
f. Depresi sumsum tulang: anemia berat, leucopenia.
Keuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan hemodialisis dapat dilihat pada
tabel di bawah ini. Di Inggeris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain,
dialysis peritoneal lebih banyak dilakukan pada anak-anak. Hemodialisis adalah suatu
teknik untuk memindahkan atau membersihkan solute dengan berat molekul kecil dari
darah secara difusi melalui membran semipermeabel. Hemodialisis membutuhkan
akses sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V pada vasa radial atau
brachial dari lengan yang tidak dominan. 8
Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-
permeabel untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat.
Untuk memasukkan cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter
peritoneal dari Tenckhoff. Ada 2 cara pelaksanaan dialysis peritoneal, yaitu: 8
1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialysis dilakukan malam hari
dengan mesin dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari
dialisis.
2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialysis berlangsung 24 jam
sehari dengan rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam sekali.
Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan terapi pengganti ginjal
yang efektif, angka mortalitas dialysis lebih tinggi daripada transplantasi untuk semua

22
kelompok umur. Keuntungan dari Perionial dialysis dan hemodialisis dapat dilihat
pada tabel dibawah ini : 8
Tabel 2.4 Kelebihan masing-masing Peritonial dialysis dan hemodialisis .
Peritoneal dialysis Haemodialysis
 Secara teknik, lebih mudah dikerjakan  Pemindahan metabolit dapat meliputi
 Menghindari pemindahan cairan,
molekul yang lebih kecil
elektrolit dan metabolit lain secara  Hanya tersedia di beberapa fasilitas
mendadak pelayanan kesehatan
 Meminimalisasi restriksi kebutuhan  Membutuhkan pengaturan restriksi
cairan dan dietetic cairan
 Membutuhkan tanggung jawab yang  Dapat dilakukan 3x/minggu dengan
lebih dari orangtua/pengasuh lama hemodialisis 3-5 jam tergantung
 Mengurangi komplikasi anemia,
dengan kebutuhan
mengontrol hipertensi lebih baik.
 Dapat membosankan karena menjadi
rutinitas harian
Sumber: Rachmadi Dedi, Meliyana Fina. Hemodialisa Pada Anak dengan Chronic
Kidney Disease. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RS Dr.HAsan Sadikin Bandung; 2009
 Transplantasi Ginjal
Trasplantasi ginjal merupakan pilihan ideal untuk pengobatan gagal ginkal
tahap akhir. Indijasi transplantasi ginjal adalah pasien gagal ginjal tahap akhir
dengan gagal tumbuh berat atau mengalami kemunduran klinis setelah mendapat
pengobatan yang optimal. Pemerikasaan imunologi yang penting untuk
keberhasilan transplantasi adalah golongan darah ABO dan antigen HLA 3.
Transplantasi dapat berasal dari kadaver (jenazah) atau donor hidup keluarga.
Transplantasi merupakan pengobatan yang paling optimal untuk bayi, anak dan
remaja karena merupakan usaha yang paling baik yang dilakukan untuk
mengembalikan anak ke kehidupan normal. Dialisis hanya merupakan usaha
untuk memelihara dan mempertahankan keadaan pasien sampai saat pasien akan
dilakukan transplantasi.1,4
3. Mengatasi Faktor yang Reversibel
Meskipun kerusakan akibat penyakit glomerulus berlangsung terus menerus,
namun hal ini dapat diperlambat atau dihentikan sebelum mencapai gagal ginjal
terminal, sehingga perlu dilakukan usaha pengobatan terhadap factor-faktor yang
reversible seperti kehilangan garam, air, hipertensi, infeksi traktus urinarius,

23
obstruksi, hiperkalemia dan gagal jantung. Hindari pemberian obat-obatan
nefrotoksis dan pemeriksaan radiologic yang menggunakan zat kontras.1,4
4. Mencari dan Mengatasi Faktor yang Memperberat
Bila ditemukan adanya kemunduran klinis ataupun biokimiawi, harus dicari factor-
faktor reversible dan segera diobati. Pada masa ini dilakukan tindakan konservatif
seperti retriksi makanan , obat, antihipertensi, pengikat fosfat, dan vitamin D. 1,4
5. Penggunaan obat pada CKD
Adanya gangguan pada fungsi ginjal akan terjadi akumulasi obat-obatan atau
metabolitnya yang eliminasinya terutama melalui ginjal dan pada gilirannya dapt
menimbulkan efek toksik atau memperburuk gungsi ginjal. Para peneliti umumnya
sependapat bahwa prinsip penyesuain dosis dapat dilakukan dengan 1,4:
· Dosis tiap kali pemberian diperkecil, sedangkan intervalpemberiannya tetap.
· Dosis tetap, interval pemberiannya diperpanjang.
· Gabungan 1 dan 2.
2.2. 9. PROGNOSIS
Untuk prognosis pada pasien CKD setelah transplantasi 5 year survival rate
adalah 96%. Biasanya kematian terjadi akibat komplikasi penyakit primer, dialisis dan
transplantasi. Angka mortalitas pada anak dengan PGK lebih rendah daripada
penderita dewasa. Bayi yang menjalani dialysis memiliki angka mortalitas yang lebih
buruk dibanding anak yang usianya lebih tua. Sebuah studi pada 5.961 pasien dengan
usia ≤18 tahun, yang berada dalam daftar tunggu transplantasi ginjal di USA
ditemukan bahwa anak yang telah menjalani transplantasi memiliki angka mortalitas
yang lebih rendah (13,1 kematian/1.000 pasien per tahun) dibanding anak yang masih
berada dalam daftar tunggu (17,6 kematian/1.000 pasien per tahun). Pada tahun 2005
Annual Data report (ADR) menunjukkan bahwa 92% anak-anak yang menjalani
transplantasi ginjal dapat bertahan selama 5 tahun kedepan dibanding 81% dari anak-
anak yang menjalani hemodialisis maupun peritoneal dialysis. Akhirnya, Usia harapan
hidup untuk anak berusia 0– 14 tahun dan sedang menjalani dialisis hanya 18.3 tahun,
dimana populasi usia yang sama dan menjalani transplantasi ginjal dapat mencapai 50
tahun. 1,10

BAB 3
PENUTUP

24
1.1 KESIMPULAN

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit ginjal kronik (PGK)) adalah suatu
kerusakan parenkim ginjal yang dapat / tidak disertai menurunnya laju filtrasi
glomerulus (LFG) ,dimana kerusakan ini bersifat tidak reversibel dan terbagi dalam 5
stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi. Jumlah penderita CKD pada
anak lebih sedikit dibanding pada dewasa.Pada anak-anak CKD dapat disebabkan oleh
berbagai hal, terutama karena kelainan kongenital, glomerulonefritis, penyakit
multisistem, dan lain-lain. Gejala klinis CKD merupakan manifestasi dari penurunan
fungsi filtrasi glomerulus yang mengakibatkan terjadinya uremia, gangguan
keseimbangan cairan-elektrolit dan asam-basa, serta gangguan fungsi endokrin berupa
berkurangnya kadar eritropoietin dan vitamin D3.Pada anak juga sering disertai
gangguan pertumbuhan karena metabolism kalsium-fosfat yang terganggu. Penanganan
CKD disesuaikan dengan tahap penurunan laju filtrasi glomerulus, yang secara prinsip
dibagi menjadi terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal (TPG). Selain itu juga
dibutuhkan terapi multidisipliner yang mencakup bidang medik,sosial,psikologi,gizi, dan
cakupan lain untuk membantu sisi kesehatan dan tumbuh kembang anak, Angka
mortalitas pada penderita CKD bergantung pada penyebab yang mendasari dan juga
tatalaksana yang didapat. Anak dengan CKD yang mendapat transplantasi ginjal
memiliki angka mortalitas dan usia harapan hidup yang lebih tinggi dibanding mereka
yang menjalani TPG (seperti hemodialisis atau peritoneal dialisis).

DAFTAR PUSTAKA
1. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia. Kompendium Nefrologi
Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
25
2. Robert M. Kliegman, MD. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Chapter 535.2
Chronic Kidney Disease 2007 Saunders, An Imprint of Elsevier
3. Sjaifullah M,Noer, Gagal ginjal kronik pada anak (Chronic Renal Failure in
Children).Divisi Nefrologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR:RSU Dr.
Soetomo.2005.Surabaya
4. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-
RSUP Dr.HAsan Sadikin Bandung. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ed.. 4 . Bandung:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran:
2012
5. Sudung O. Pardede, Swanty Chunnaedy. Sari Pediatri Vol. 11, No. 3. Penyakit Ginjal
Kronis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jakarta; 2009
6. Bangga Arvin Srivastava RN. Pediatric Nephrology. 5th ed. Jaypee Brothers Medical
Publisher. Indiaa;2011
7. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification,
and Stratification .National Kidney Foundation (NKF) NKDOQI.2002.
8. Rachmadi Dedi, Meliyana Fina. Hemodialisa Pada Anak dengan Chronic Kidney
Disease. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RS Dr.HAsan Sadikin Bandung; 2009
9. Bradley A. Warady, Chronic kidney disease in children: the global perspective.
Pediatric Nephrology,Berlin,Germany.2007.
10. Bradley A. Warady, Chronic kidney disease in children: the global perspective.
Pediatric Nephrology,Berlin,Germany.2007.

26

You might also like