You are on page 1of 12

Ultrasound paru dalam diagnosis pneumonia pada anak: usulan untuk sebuah

algoritma diagnosis terbaru


Giulio Iorio1, Maria Capasso2, Gieseppe De Luca1, Salvatore Prisco1, Carlo Mancusi1,
Bruno Laganà1, dan Vincenzo Comune1

ABSTRAK
Latar Belakang. Terlepas dari rekomendasi dalam panduan, radiografi dada (CR)
untuk diagnosis pneumonia komunitas (CAP) pada anak juga umumnya digunakan pada
kasus-kasus ringan dan/atau tanpa komplikasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menilai realibilitas dari ultrasonografi paru (LUS) sebagai sebuah uji alternatif untuk
kasus-kasus tersebut dan mengajukan sebuah algoritma diagnosis baru.
Metode. Kami meninjau rekam medis dari seluruh pasien yang dirawat inap di bangsal
anak dari tanggal 1 Februari 2013 hingga 31 Desember 2014 dengan tanda dan gejala
penyakit respirasi. Kami memilih hanya kasus-kasus dengan perjalanan penyakit yang
ringan/tanpa komplikasi dan yang dilakukan CR dan LUS dalam waktu 24 jam. LUS
bukan merupakan bagian dari pemeriksaan rutin yang tercatat dalam rekam medis
namun dilakukan secara independen. Diagnosis pasien saat pulang, hanya ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan tambahan,
yang meliputi CR (tanpa LUS), akan digunakan sebagai referensi pengujian untuk
membandingkan hasil dari CR dan LUS.
Hasil. Dari 52 rekam medis yagn terpilih, diagnosis CAP berhasil dikonfirmasi pada 29
(55.7%) kasus. CR ditemukan positif pada 25 kasus, sementara LUS mendeteksi adanya
pneumonia pada 28 kasus. Empat pasien dengan CR yang negatif dijumpai positif pada
pemeriksaan ultrasound. Malah, satu pasien dengan LUS yang negatif dijumpai positif
pada pemeriksaan radiografi. Sensitivitas LUS adalah sebesar 96.5% (95% CI [82.2%-
99.9%]), spesifisitasnya sebesar 95.6% (95% CI [78.0%-99.9%]), rasio kemungkinan
positif sebesar 22.2 (95% CI [3.2=151.2]), dan rasio kemungkinan negatif sebesar 0.04
(95% CI [0.01-0.25]) untuk mendiagnosis pneumonia.
Kesimpulan. LUS dapat dipertimbangkan sebagai suatu alat diagnostik alternatif yang
valid untuk CAP pada anak dan penggunaannya harus dipromosikan sebagai suatu
pendekatan awal terkait algoritma diagnosis terbaru kami.
Subyek Pediatri, Pencitraan Radiologi dan Medis, Pengobatan Respirasi

1
Kata kunci Radiografi dada, Pneumonia, Pneumonia komunitas, Ultrasound paru,
Ultrasonografi paru

PENDAHULUAN
Di negara maju insidensi tahunan dari pneumonia komunitas (CAP) diperkirakan terjadi
pada 34-40 per 1000 anak untuk anak usia di bawah lima tahun dan menggambarkan
salah satu dari penyebab utama morbiditas pada kelompok usia ini (Madhi et al., 2013).
Rekomendasi saat ini menyatakan bahwa diagnosis pneumonia hanya dapat
ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, laju pernapasan, demam, gejala dan tanda
gangguan pernapasan, dan meninggalkan penggunaan radiografi hanya pada kasus-
kasus berat atau dengan komplikasi (Harris et al., 2011; Bradley et al., 2011).
Meskipun indikasi radiografi dada (CR) tersebut umumnya dianggap sebagai pilihan
terbaik dalam mendiagnosis pneumonia di antara para dokter namun pelaksanaannya
juga diminta pada kasus-kasus ringan karena realibilitas dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lemah (Shah et al., 2010; Ayalon et al., 2013). Selain itu,
pertanyaan mengenai apakah CR dilakukan atau tidak pada kasus-kasus pneumonia
ringan atau tanpa komplikasi bergantung pada kenyataan bahwa pemeriksaan radiologi
bukan berarti tidak mengandung bahaya (Little,2003).
Di tahun 1986 Weinberg et al (1986) menyatakan sebuah metode baru dalam
mengevaluasi CAP melalui penggunaan ultrasonografi paru (LUS). Sejumlah penelitian
berikutnya menunjukkan bahwa pemeriksaan tersebut dapat menjadi alat diagnosis
pneumonia yang akurat, dapat diandalkan, dan bebas dari radiasi (Parlamento, Copetti
& Di Bartolomeo, 2009; Reissig et al., 2012; Iuri, De Candia & Bazzocchi, 2009;
Copetti & Cattarossi, 2008; Caiulo et al., 2013). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi akurasi dari ultrasonografi dalam mengidentifikasi pneumonia pada anak
dan untuk mempromosikan sebuah algoritma diagnosis pencitraan terbaru untuk
pneumonia dengan tujuan mengurangi “penyalahgunaan” CR.

MATERI DAN METODE


Penelitian retrospektif ini dilakukan di Departemen Pediatrik Rumah Sakit “San
Giovanni di Dio”, Frattamaggiore (NA), Italia. Total terdapat 1,458 rekam medis pasien
anak yang ditinjau dari tanggal 1 Februari 2013 hingga 31 Desember 2014. Dari data

2
tersebut, dipilih seluruh kasus rawat inap dengan tanda dan gejala gangguan pernapasan
di bangsal anak. Kami mengeksklusi seluruh pasien dengan anomali kongenital,
imunosupresi, CR eksternal, dan komorbid lain. Kami hanya mengikutsertakan kasus-
kasus dimana CR dan LUS dilakukan dalam waktu 24 jam dan dengan perjalanan
penyakit yang ringan/tanpa komplikasi.
Pada akhirnya hanya 52 rekam medis yang memenuhi seluruhi kriteria inklusi
dan eksklusi (Gambar 1). Pasien menjalani pemeriksaan CR posterior-anterior saja,
menurut panduan dari British Thoracic Society (BTS) (Harries et al., 2011) dan
diagnosis pneumonia berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO) untuk
interpretasi standar dari radiografi dada pasien pediatrik (World Health Organization
Pneumonia Vaccine Trial Investigators’ Group, 2011). Ahli radiologi tidak mengetahui
hasil dari pemeriksaan ultrasound. LUS dilakukan secara independen baik sebelum
maupun sesudah CR, kedua pemeriksaan tersebut dilakukan dengan jarak waktu selang
24 jam antara keduanya. Pemeriksaan ini bukanlah permintaan dari dokter anak yang
merawat pasien dan temuan serta gambarannya disimpan untuk mengevaluasi
reliabilitas dan akurasi dari metode ini. LUS selalu dilakukan oleh operator ahli yang
sama dengan probe linier 5-10 MHz (L38e-Sonosite MicroMaax Systems). Probe
diposisikan tegak lurus, oblik, dan parallel dengan tulang rusuk pada toraks anterior,
lateral, dan posterior seperti yang dijelaskan oleh Copetti & Cattarossi (2008) dengan
pasien pada posisi supinasi dan posisi duduk untuk memindai toraks posterior.
Ultrasound Doppler Berwarna digunakan untuk mengevaluasi vaskularisasi dari lesi
paru. Ahli sonografi tidak mengetahui hasil dari pemeriksaan radiografi. Diagnosis CAP
ditegakkan bila terdapat gambaran konsolidasi paru (daerah hipoekoik dengan berbagai
ukuran dan bentuk dan tepi yang tidak berbatas tegas), air/fluid bronchograms,
superficial fluid alveologram, dan efusi pleura (Reissig & Kroegel, 2007; Volpicelli et
al., 2012).
Diagnosis akhir pneumonia ditegakkan oleh dokter anak berdasarkan manifestasi
klinis, tanda dan gejala seperti batuk, dispnea, takipnea, ronki pada auskultasi dan/atau
suara napas yang menurun, deman dengan/tanpa menggigil, nyeri dada dan/atau
abdomen, saturasi oksigen yang abnormal, pemeriksaan laboratorium dan tambahan,
pemeriksaan CR (tanpa pemeriksaan LUS) dan perjalanan penyakit yang mengarah ke

3
pneumonia sesuai dengan yang telah didefinisikan dalam panduan BTS (Harris et al.,
2011).
Terakhir, gambaran radiologi yang berlawanan dengan gambaran ultrasound
akan dievaluasi ulang oleh ahli radiologi senior selama persiapan penelitian ini.
Seluruh analisis statistik dilakukan menggunakan software PSPP (Free Software
Foundation, Inc.) dan software online MedCalc (http://www.medcalc.org/). Protokol
penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Rumah Sakit San Giovanni di Dio (“Campania
Centro”) dengan nomor persetujuan 99/2015. Seluruh rekam medis dan informasi
pasien bersifat rahasia sebelum dilakukan analisis.

Gambar 1 Diagram pemilihan rekam medis. *Penyakit ringan: tanpa atau terdapat
peningkatan ringan dari upaya bernapas, suhu <38.5oC, laju pernapasan <50 kali/menit,
dispnea ringan, tidak ada gangguan makan, tidak muntah, saturasi oksigen ≥95% pada
udara ruangan berdasarkan kriteria panduan dari British Thoracic Society (Harris et al.,
2011). CR, radiografi dada; LUS, ultrasound paru.

HASIL
Dari total 52 rekam medis, ditemukan diagnosis akhir pneumonia pada 29 (55.7%)
kasus. Usia berkisar antara 2 bulan hingga 12.5 tahun (rata-rata 3.5 tahun, standar
deviasi ±3.1, median 2.6, interkwartil 1.0-4.3). Rata-rata durasi rawat inap adalah 5.9 ±

4
2.5 hari dan tidak ada pasien yang dirawat di unit rawat intensif karena komplikasi dari
penyakitnya.
Dari 29 pasien dengan pneumonia, radiografi dada berhasil mendeteksi 25
(86.2%) pasien dan LUS menemukan 28 (96.5%) pasien. Malah, dari 23 kasus tanpa
pneumonia baik CR maupun LUS mengkonfirmasi gambaran yang negatif pada 22
(spesifisitas 95.6%) kasus. CR tidak mengidentifikasi pneumonia pada empat pasien.
Satu pasien dengan gambaran negatif pada pemeriksaan LUS ditemukan positif pada
pemeriksaan CR. Gambaran air bronchogram (daerah hiperekoik multipel di sekitar lesi
pneumonik) dijumpai pada 26 dari 28 kasus pneumonia. Malah, gambaran fluid
bronchogram, yang ditandai dengan struktur berlubang anekoik/hipoekoik di
percabangan bronkus, dijumpai pada 8 dari 28 kasus pneumonia.
Tabel 1 merangkum perbandingan antara hasil pemeriksaan CR dengan LUS
dalam diagnosis pneumonia.
Pada akhirnya, kami menghitung sensitivitas, spesifisitas, rasio kemungkinan
positif dan negatif, nilai prediktif positif dan negatif dari CR dan LUS (Tabel 2).
Tabel 1 Perbandingan hasil radiografi dada dan ultrasonografi paru. Diagnosis
pneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan tambahan, yang meliputi radiografi dada (tanpa adanya pemeriksaan
ultrasound paru).
Pneumonia + Pneumonia -
CR+ CR- Total CR+ CR- Total
LUS+ 24 4 28 0 1 1
LUS- 1 0 1 1 21 22
Total 25 4 29 1 22 23
Catatan.
CR, radiografi dada; LUS, ultrasound paru; +, positif; -, negatif.

Tabel 2 Akurasi diagnostik dari ultrasonografi paru dan radiografi dada dalam
mendeteksi pneumonia komunitas (95% confidence interval).
Se% Sp% LR+ LR- PPV NPV
(95% CI) (95% CI) (95% CI) (95% CI) (95% CI) (95% CI)
LUS 96.5 95.6 22.2 (3.2- 0.04 96.5 95.6
(82.2- (78.0- 151.2) (0.01- (82.2- (78.0-
99.9) 99.9) 0.25) 99.9) 99.9)
CR 86.2 95.6 19.8 (2.9- 0.14 96.1 84.6
(68.3- (78.0- 135.5) (0.06- (80.3- (65.1-
96.1) 99.9) 0.36) 99.9) 95.6)
Catatan.

5
Se, sensitivitas; Sp, spesifisitas; LR+, rasio kemungkinan positif; LR-, rasio
kemungkinan negatif; PPV, nilai prediktif positif; NPV, nilai prediktif negatif; CI,
confidence interval; CR, radiografi dada; LUS, ultrasound paru.

DISKUSI
Diagnosis pneumonia juga dapat ditegakkan tanpa melakukan pemeriksaan x-ray dada
(Harris et al., 2011; Bradley et al., 2011). Batasan utama dari pemeriksaan radiografi
adalah risiko kerusakan akibat radiasi ion dengan risiko yang lebih besar pada orang
dewasa karena anak-anak memiliki kemampuan sel yang cepat membelah dan
meningkatkan angka harapan hidup (Ait-Ali et al., 2011; Miller, 1995), variasi yang luas
terhadap interpretasi pemeriksaan (Johnson & Kline, 2010; Williams et al., 2013), tidak
ada dampak pada keluaran klinis (Swingler, Hussey & Zwarenstein, 1998; Swingler,
2009; Levinsky et al., 2013).
Meskipun telah lama dianggap bahwa ultrasound paru mustahil untuk dilakukan
karena kandungan udara dalam dinding dada, sejumlah penelitian dalam literatur
terhadap pasien dewasa (Parlemento, Copetti & Di Bartolomeo, 2009; Reissig et al.,
2012; Lichtenstein et al., 2004; Blaivas, 2012; Xirouchaki et al., 2011) dan kemudian
terhadap pasien anak menunjukkan efektivitasnya dalam diagnosis pneumonia dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang melebihi pemeriksaan x-ray dada (Iuri, De Candia &
Bazzocchi, 2009; Copetti & Cattarossi, 2008; Caiulo et al., 2013; Reali et al., 2014;
Kurian et al., 2009). Validitas dari metode tersebut juga telah dikonfirmasi pada periode
neonatus dan tidak hanya untuk diagnosis pneumonia (Liu et al., 2014; Raimondi et al.,
2012; Piastra et al., 2014; Raimondi et al., 2014).
Tanda sonografi dari pneumonia adalah adanya daerah hipoekoik subpleura
dengan bercak hiperekoik berbagai ukuran (air bronchogram), fluid bronchogram,
garis-B konfluens, superficial fluid alveologram, pembuluh darah yang membentuk pola
seperti-pohon (Reissig & Kroegel, 2007; Volpicelli et al., 2012). Pada penelitian kami
adanya berbagai tanda-tanda sonografi memiliki angka insidensi yang serupa dengan
data dalam literatur (Reissig et al., 2012; Reissig & Kroegel, 2007). Air bronchogram,
yang terjadi akibat adanya udara yang terjebak di jalan napas, dijumpai pada 92.8%
kasus. Fluid bronchogram dijumpai pada 28.5% kasus, sebuah persentase yang tinggi
yang diakibatkan oleh kenyataan bahwa pada usia anak yang sering dialami adalah
pneumonia pasca-obstruksi, sementara superficial fluid alveologram dijumpai pada
75.0% kasus.

6
Pada penelitian kami pemeriksaan CR tidak berhasil mengidentifikasi empat
kasus pneumonia yang kemudian terdeteksi oleh pemeriksaan ultrasonografi (Gambar
2). Kegagalan diagnosis radiologis dihubungkan dengan posisi dari lesi, seperti daerah
retro-kardiak (2 kasus) atau daerah juksta-diafragmatika (1 kasus), dan radiolusensi
pada stadium awal perjalanan penyakit pneumonia (1 kasus). Alasan lainnya mungkin
berupa beragamnya interpretasi (Johnson & Kline, 2010; Williams et al., 2013) dan
batasan dari resolusi radiografi yang kurang dari 1 cm (Raoof et al., 2012) (Gambar 2).

Gambar 2 Satu kasus gambaran negatif pada x-ray dada dan gambaran positif
pada ultrasound paru. Hasil negatif pada gambaran x-ray dada pasien anak perempuan
berusia 4 tahun (A) dan bukti adanya pneumonia pada daerah retrokardiak basal
posterior paru kiri dari ultrasound paru (B).

Satu kasus pneumonia yang tidak berhasil dideteksi oleh pemeriksaan LUS
malah berhasil diidentifikasi oleh pemeriksaan CR. Pada kasus ini pemeriksaan CR
menunjukkan hasil yang negatif setelah evaluasi lanjutan dari ahli radiologi senior
selama persiapan penelitian ini. Namun, kegagalan diagnosis pneumonia dengan
ultrasound dapat dikaitkan dengan kegagalan untuk mencapai daerah lesi di garis
pleura atau akibat kesulitan dalam mengeksplorasi daerah supraklavikula da/atau daerah
yang tertutup oleh skapula. Pada kasus tersebut posisi pemeriksaan pasien harus diubah
untuk dapat mencapai daerah yang tertutup oleh skapula. Lichtenstein & Mezière (2008)
mengkonfirmasi bahwa konsolidasi alveolus akut pada pasien dewasa mencapai pleura
pada 98.5% kasus. Pneumonia lobaris harus dipertimbangkan pada anak karena
kemungkinan cedera yang terjadi tidak meluas ke pleura. Prevalensinya pada orang
dewasa kurang dari 1% sementara pada anak prevalensinya lebih besar karena jalur

7
ventilasi kolateral yang masih belum berkembang (pori-pori Kohn, saluran Lambert)
(Celebi & Hacimustafaoglu, 2008). Selain itu, lesi-lesi ini paling sering terjadi pada
daerah perifer paru yang lebih mudah mengalami kontak dengan garis pleura (Kim &
Donnelly, 2007). Penelitian awal terbaru oleh Corradi et al (2015) menunjukkan bahwa
ultrasonogrofi paru kuantitatif dapat menjadi alat diagnosis terbaru untuk CAP yang
terjadi jauh dari garis pleura. Pada penelitian ini dua kasus pneumonia lobaris berhasil
terdeteksi dengan pemeriksaan LUS (Gambar 3).

Gambar 3. Pneumonia lobaris. Kasus anak laki-laki berusia 1.5 tahun dengan bukti
adanya pneumonia lobaris pada pemeriksaan x-ray dada di daerah tengah paru kiri (A)
terdeteksi pada pemeriksaan ultrasound paru (B) Kasus anak laki-laki berusia 2.8 tahun
dengan pneumonia lobaris di daerah tengah/atas paru kanan pada pemeriksaan x-ray
dada (C) dan gambaran ultrasound terkait (D).

Pada akhirnya, pemeriksaan dengan hasil ultrasound positif-palsu terjadi karena


adanya konsolidasi kecil di subpleura (<1 cm) yang tidak tampak dalam pemeriksaan x-
ray. Malah, hasil radiografi yang positif-palsu terjadi karena tidak dapat membedakan
timus dengan opasitas paru.
Pada kasus lain yang tidak dilaporkan dalam penelitian ini karena pemeriksaan
ultrasound dilakukan 3 hari setelah pemeriksaan x-ray dada yang negatif, LUS berhasil
mendiagnosis adanya konsolidasi segmental paru pada daerah aksila basal kanan.
Kesempatan untuk mengulang pemeriksaan dalam waktu singkat merupakan

8
keunggulan dari pemeriksaan ultrasound. Keunggulan lain dari ultrasound adalah
sebagai pemeriksaan follow-up untuk pneumonia dan terutama untuk memantau
perkembangan perbaikan pasca terapi.
Terdapat beberapa batasan dalam penelitian ini yang cukup jelas. Pertama,
penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dan jumlah kasusnya cukup rendah.
Pasien melakukan pemeriksaan radiologis dan ultrasound pada waktu yang berbeda dan
dengan selang waktu 24 jam antara keduanya sementara beberapa cedera mungkin
menjadi semakin baik atau malah semakin memberat seiring dengan berjalannya waktu.
Kedua, yang menjadi operator radiologi adalah petugas yang sedang dinas pada saat itu
sementara ultrasound paru dilakukan oleh operator yang sama (bias yang membuat LUS
lebih baik). Baik radiologis maupun sonographer mengetahui latar belakang penyakit
pasien namun tidak mengetahui hasil pemeriksaan dari pemeriksaan yang lainnya.
Ketiga, kami mempertimbangkan pemeriksaan klinis dan tambahan yang meliputi CR
sebagai referensi dalam penegakkan diagnosis pneumonia. Computed tomography harus
digunakan sebagai baku emas namun pada kasus-kasus yang diperiksa, computed
tomography tidak pernah diminta sebagai suatu alat diagnostik. Meskipun demikian,
hasil dari penelitian kami serupa dengan data dari penelitian-penelitian prospektif
sebelumnya (Caiulo et al., 2013; Reali et al., 2014).
Bahkan dengan batasan-batasan yang telah disebutkan di atas, LUS
menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mendeteksi pneumonia pada anak.
Berdasarkan penelitian ini dan literatur ilmiah mengenai reliabilitas pemeriksaan
ultrasound (Nazerian et al., 2015; Shah, Tunik & Tsung, 2013), meta-analisis terbaru
(Chavez et al., 2014; Pereda et al., 2015), terkait terbatasnya penggunaan x-ray hanya
pada pasien-pasien dengan kondisi yang berat, kami menyarankan penggunaan
ultrasound paru sebagai pemeriksaan pertama bila mengikuti algoritma terbaru yang
ditampilkan dalam Gambar 4.
Pada kasus-kasus dimana dicurigai pneumonia klinis, bila kondisinya baik,
selanjutnya dilakukan ultrasound paru sebagai langkah awal. Bila pemeriksaan
ultrasound tidak mengkonfirmasi pneumonia, setelah 24-48 jam LUS dapat diulang
kembali atau dinilai apakah terdapat perbaikan pasca terapi atau dipertimbangkan untuk
dilakukan CR. Bila kondisi pasien buruk, LUS dan CR dapat diminta untuk dilakukan,
dan, bila kedua hasilnya negatif, maka dapat dipertimbangkan diagnosis lainnya.

9
Kemudian, setelah diagnosis pneumonia ditegakkan, LUS dapat dilakukan sebagai
pilihan pada seluruh kasus atau pada kasus-kasus dengan pemeriksaan CR yang
dilakukan menurut panduan. Dapat dicatat dari algoritma tersebut bahwa bila LUS tidak
dilakukan, maka langkah selanjutnya merujuk pada apa yang terdapat dalam panduan.
Kami hanya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi paru sebagai
langkah pertama tanpa mengubah rekomendasi yang ada dalam panduan.

Gambar 4 Algoritma diagnosis pencitraan terbaru untuk diagnosis pneumonia.


#
tanpa atau terdapat peningkatan ringan dari upaya bernapas, suhu <38.5oC, laju
pernapasan <50 kali/menit, dispnea ringan, tidak ada gangguan makan, tidak muntah,
saturasi oksigen ≥95% pada udara ruangan. ##suhu >38.5oC, laju pernapasan >70
kali/menit, dispnea sedang hingga berat, napas cuping hidung, sianosis, apnu intermiten,
napas mendengkur, gangguan makan, takikardia, waktu pengisian kapiler >2 detik,
saturasi oksigen ≤95% pada udara ruangan. *Bila kondisi pasien baik setelah 24-48 jam,
ultrasound paru dapat diulangi atau dinilai adanya perbaikan pasca terapi. **Pada
seluruh kasus. *** Pada kasus-kasus yang mengikuti panduan. CR, rontgen dada; LUS,
ultrasound paru.

KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, ultrasound paru menunjukkan reliabilitas dan akurasi yang tinggi
dalam mendeteksi pneumonia, kemungkinan untuk follow-up hingga perbaikan
sempurna dari cedera paru, tanpa adanya paparan radiasi. Pemeriksaan ini tidak
memerlukan sedasi dan dapat diulang kapanpun. Bila diperlukan, pemeriksaan CR
selalu dapat dilakukan namun kami meyakini penggunaan LUS dalam praktek rutin

10
(pendekatan awal) untuk anak dengan kecurigaan pneumonia terkait algoritma diagnosis
kami dengan tujuan membatasi penggunaan CR hanya pada kasus-kasus berat sesuai
dengan panduan dan mempertahankan penggunaan pencitraan diagnostik tanpa risiko
seperti ultrasound paru pada kasus lainnya.

INFORMASI TAMBAHAN DAN PERNYATAAN


Pendanaan
Penulis tidak menerima pendanaan untuk penelitian ini.
Konflik kepentingan
Penulis menyatakan bahwa tidak terdapat konflik kepentingan dan kerjasama dengan
pihak non-akademik. Kami mengklarifikasi bahwa Maria Capasso merupakan Dokter
Anak di Azienda Sanitaria Locale Caserta – Distrik 18.
Kontribusi Penulis
 Giulio Iorio memikirkan dan merancang eksperimen, melakukan eksperimen,
menganalisis data, menyumbang reagen/materi/alat analisis, menulis artikel,
mempersiapkan gambar dan/atau tabel, meninjau kerangka artikel.
 Maria Capasso memikirkan dan merancang eksperimen, menulis artikel,
mempersiapkan gambar dan/atau tabel, meninjau kerangka artikel.
 Giuseppe De Luca dan Salvatore Prisco menganalisis data, menyumbang
reagen/materi/alat analisis, meninjau kerangka artikel.
 Carlo Mancusi dan Vincenzo Comune menganalisis data.
 Bruno Laganà menganalisis data, menyumbang reagen/materi/alat analisis.
Etika humaniora
Informasi berikut diberikan terkait persetujuan etik (yaitu, nomor persetujuan isi dan
rujukan):
Protokol penelitian disetujui oleh Komite Etik Rumah Sakit San Giovanni di
DIO (“Campania Centro”) dengan nomor persetujuan 99/2015. Seluruh rekam medis
dan informasi klinis pasien bersifat anonym dan dirahasiakan sebelum analisis.
Informasi Tambahan
Informasi tambahan untuk artikel ini dapat ditemukan online di
http://dx.doi.org/10.7717/peerj.1374#supplemental-information.

11
Diterjemahkan dari
Sumber: Iorio et al. 2015. Lung ultrasound in the diagnosis of pneumonia in children:
proposal for a new diagnostic algorithm. PeerJ 3:e1374.

12

You might also like