You are on page 1of 43

CASE REPORT

FRAKTUR COLLUM FEMUR

Pembimbing:
dr. Tito Sulaksito. Sp. B, Sp. OT

Disusun Oleh:
Anggara Aprinata Widyawan
030.10.030

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 27 FEBRUARI – 7 MARET 2017
LEMBAR PENGESAHAN

Case Report dengan Judul “Fraktur collum femur”. Telah diterima dan
disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik ilmu Bedah di RSAL dr. Mintohardjo periode 27
Februari – 7 Maret 2017

Jakarta, 22 Maret 2017

(dr. Tito Sulaksito, Sp. B, Sp. OT)

II
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Berkat rahmat dan
hidayah-Nya, penulisan tugas presentasi kasus yang berjudul “Fraktur collum
femur” telah dapat diselesaikan. Salawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun karya ilmiah ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik pada Bagian Bedah RSAL dr. Mintohardjo Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Tito Sulaksito Sp. B,
Sp. OT yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis untuk
penulisan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para
sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil
sehingga tugas ini dapat selesai.

Jakarta, 22 Maret 2017

Anggara Aprinata Widyawan

III
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………...... II


KATA PENGANTAR .................................................................................. III
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… IV
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………… 1
BAB II. LAPORAN KASUS
2.1. Identitas Pasien ............................................................... 2
2.2. Primary Survey .......................................................... 2
2.3. Secondary Survey............................................................... 3
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Anatomi Tulang.......................................................................13
3.2. Struktur dan Komposisi Tulang ..............................................13
3.3. Mekanisme Resorbsi Tulang....................................................15
3.4. Regulasi Tulang dan Material..................................................15
3.5. Anatomi Femur........................................................................16
3.6. Proses Penyembuhan Fraktur...................................................25
3.7. Definisi Fraktur........................................................................27
3.8. Klasifikasi Fraktur Femur........................................................27
3.9. Fraktur Kolum Femur..............................................................28
3.10. Diagnosa..................................................................................31
3.11. Penatalaksanaan................................................………...........32
3.12. Komplikasi..............................................................................34
BAB IV. PEMBAHASAN ……………………………………………..35
DAFTAR PUSTAKA………………………......………........................…….37

IV
BAB I
PENDAHULUAN

Fraktur tidak selalu disebabkan oleh trauma yang berat, trauma ringan juga dapat
menimbulkan fraktur bila terdapat kelainan pada tulang tersebut, termasuk trauma ringan yang
terus menerus. Trauma tersebut dapat bersifat eksternal seperti tertabrak, jatuh; internal seperti
kontraksi otot yang kuat dan mendadak seperti pada serangan epilepsi, tetanus, renjatan listrik,
keracunan striktin.(1)
Prevalensi trauma/cedera di Indonesia berdasarkan hasil riskesdas 2013 adalah 8,2% ,
dibandingkan dengan hasil riskesdas 2007 didapatkan kenaikan prevalensi cedera 0,7%.
Penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%).
Proporsi jatuh terbanyak terjadi pada penduduk berumur < 1 tahun, wanita, tidak sekolah, tidak
bekerja, di pedesaan.(2)
Fraktur collum femur adalah tempat yang paling sering terkena fraktur pada wanita
usia lanjut. Ada beberapa variasi insidens terhadap rasial. Fraktur collum femur lebih banyak
pada population orang putih di Eropa dan Amerika Utara. Insidensi meningkat dengan usia.
Sebagian besar pasien adalah wanita berusia delapan puluh atau sembilan puluhan, dan
kaitannya dengan osteoporosis demikian nyata sehingga insidensi fraktur leher femur
digunakan sebagai ukuran osteoporosis yang berkaitan dengan umur dalam pengkajian
kependudukan.1
Namun hal ini bukan semata-mata akibat penuaan; fraktur cenderung terjadi pada
penderita osteopenia diatas rata-rata, banyak diantaranya mengalami kelainan yang
menyebabkan kehilangan jaringan tulang dan kelemahan tulang misalnya osteomalsia,
diabetes, stroke, alkoholisme dan penyakit kronis lain. Beberapa keadaan tadi juga
menyebabkan meningkatnya kecenderungan jatuh. Fraktur collum femur juga dapat terjadi
pada usia dewasa muda yang memiliki aktivitas fisik yang berat. Sebaliknya, fraktur collum
femur jarang terjadi pada orang-orang negroid.2

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


 Nama : Tn. S
 Umur : 72 tahun
 Pekerjaan : Wiraswasta
 Pendidikan : SMA
 Status Pernikahan : Menikah
 No. RM : 16.02.03
 Asuransi : KJS
 Alamat : Jl. Tidore 22C RT 09/05 Cideng. Gambir. Jakarta Pusat
 Kebangsaan : Indonesia
 Suku : Jawa
 Agama : Islam
Tanggal masuk bangsal P.Salawati : 14 Maret 2017

2.2 Primay Survey


A. Airway : tidak terdapat sumbatan berupa sekret, darah ataupun benda asing dari
hidung maupun mulut
B. Breathing : terdapat pergerakan kedua dinding dada, simetris, terdapat dan terdengar
hembusan udara dari kedua lubang hidung, respirasi rate = 20x/menit, pulse oxymetri
PO2 = 96%, auskultasi suara nafas vesikuler pada kedua lapang paru
C. Circulation : CRT < 2 detik, teraba nadi pada a. radialis dextra, nadi : 84x/ menit,
tekanan darah : 120/70 mmHg
D. Disabillity : E 4 M 6 V 5 GCS 15, Pupil isokor
E. Exposure and avoidance of hypothermia: tidak terdapat luka robek ataupun luka lecet,
pemberian cairan Ringer Laktat 20 tpm, dan selimut.

2
2.3 Secondary Survey
Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 14 Maret 2017 di ruang salawati
RSAL Mintohardjo
Keluhan utama
Pasien mengeluh nyeri pada pangkal paha kanan sejak 1 bulan SMRS.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poli RSAL mintohardjo 1 hari sebelum dilakukan anamnesis
dengan keluhan nyeri pada panggul kanan sejak 1 bulan SMRS. Sebelumnya pasien tiba-tiba
terpeleset di kamar mandi. Pasien mengaku kepala dan bagian tubuh pasien lain tidak ada yang
terkena benturan benda apapun. Pasien mengeluh sulit untuk menggerakan tungkai kanan
setelah terjatuh sehingga setelah kejadian terjatuh tidak pernah jalan maupun bergerak. Pasien
mengeluh terdapat nyeri pada seluruh tungkai kanan, namun pasien mengaku pada panggul
nyeri dirasa paling hebat, nyeri juga dirasa menjalar ke tungkai bagian bawah namun nyeri
tidak sehebat pada pangkal paha, nyeri dirasa terus menerus, dan semakin berat. Nyeri
diperberat apabila pasien dibantu berdiri, nyeri berkurang disaat pasien dalam posisi tidur atau
saat diposisikan duduk. Pasien mengaku tidak terdapat luka robek maupun luka lecet pada
tungkai yang cedera. Pasien mengeluh terdapat bengkak dan sedikit hangat pada pangkal paha.
Lumpuh, kebas, mengompol, mual, muntah, pingsan, serta demam disangkal oleh pasien.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien memiliki riwayat TB paru sejak 7 bulan yang lalu dan tidak teratur minum OAT.
Pasien juga mengaku memiliki riwayat diabetes melitus dan tidak teratur minum obat. Riwayat
penyakit jantung, penyakit ginjal, asam urat, radang sendi, gastritis, dan alergi disangkal.
Pasien tidak pernah mengalami kecelakaan sebelumnya, dan tidak ada riwayat operasi
sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga


Riwayat DM, hipertensi, penyakit jantung, alergi, dan keganasan dalam keluarga
disangkal.

Riwayat pengobatan
Pasien mengaku sedang dalam pengobatan OAT dan DM (Metformin 3x1 dan
Glucodex 3x1) namun tidak teratur.
3
Lingkungan dan Kebiasaan
Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.

Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis
Kesan sakit : tampak sakit sedang

 Tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 84x/menit
Suhu : 36,7 °C
Pernafasan : 18x/menit

 Status Gizi
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI :

 Status generalis
1. Kepala : normocephali, rambut berwarna hitam, distribusi merata,
2. Wajah : wajah simetris, warna kulit sawo matang, tidak ada kelainan kulit
bermakna, serta tidak ada kelainan bentuk.
3. Mata : tidak ada edema palpebra. Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
pupil bulat, isokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+, ptosis (-),
enfotalmus dan eksoftalmus (-), strabismus (-), nystagmus (-), lapang pandang
dalam batas normal, diplopia (-)
4. Hidung : bentuk hidung normal, tidak ada deformitas, tidak ada sumbatan, tidak
ada nafas cuping hidung. Tidak tampak adanya sekret maupun darah yang keluar
dari hidung.

4
5. Telinga : daun telinga normotia, tidak ada deformitas, simetris, tidak ada
benjolan, bengkak, dan hiperemis. Tidak ada nyeri tekan pada telinga. Tidak ada
sekret maupun darah yang keluar dari telinga. Tidak ada gangguan pendengaran,
6. Mulut : Tidak terdapat gigi yang tanggal, tidak sianosis, gusi normal, lidah
normoglosi, tonsil T1/T1, faring tidak hiperemis, bentuk bibir dalam batas normal.
7. Leher : tidak terdapat jejas, memar (-), tidak terdapat pembesaran kelenjar
getah bening dan kelenjar tiroid. Trakea dalam batas normal, JVP tidak mengalami
peningkatan ( 53 cm)
8. Thorax :
Inspeksi: Jejas (-), bentuk thorax normal, warna kulit sawo matang, kelainan kulit
bermakna bermakna (-), spidernervi (-), gerakan nafas simetris, retraksi sela iga (-)
Palapasi: Nyeri tekan (-), gerakan dinding dada simetris, tidak ada bagian dada yang
tertinggal, vocal fremitus kiri dan kanan simetris, ictus cordis teraba pada 5 2 cm
lateral line midklavikularis ICS V.
Perkusi: jantung :
• Batas kanan : ICS III- V Linea sternalis kanan
• Batas kiri : ICS V ± 1 cm lateral Linea MidClavicularis
Sinistra
• Batas atas : ICS III linea parasternalis kiri
Paru : Redup di ICS 4,5,6 kiri
Auskultasi: suara nafas vesikuler +/+, rhonki +/+ di dada dan punggung , wh -/-.
S1 S2 regular, murmur (-), gallop (-).
9. Punggung ( Log Roll)
Inspeksi: jejas (-), memar (-), edema (-)
Palpasi: prosesus spinosus vertebra berurutan, tidak terdapat space antara prosesus
spinosus vertebra.
10. Abdomen :
Inspeksi: jejas (-), abdomen simetris, datar, warna kulit sawo matang, spider nevi (-
), smiling umbilicus (-), tidak terdapat kelainan kulit yang bermakna.
Auskultasi: bising usus 3x/menit.
Perkusi: timpani pada keempat kuadran abdomen, shifting dullness (-)
Palpasi: supel, massa (-), nyeri tekan (-), murphy sign (-), lien dan hepar tidak
teraba.

5
 Status Lokalis
Ekstremitas atas:
1. Look: simetris, tidak terlihat oedem, haematom, maupun deformitas, kulit intak,
tidak terdapat scars, tidak terdapat luka robek maupun lecet, warna kulit sawo
matang dan tidak ada sianosis maupun kemerahan pada ekstremitas atas kanan
dan kiri.
2. Feel: lembab, akral hangat, CRT < 2 detik, teraba nadi pada a. Radialis dan tidak
teraba nyeri tekan, tidak teraba krepitasi.
3. Move: Tidak terdapat hambatan gerak aktif maupun pasif, tidak terdengar
krepitasi.

Ekstremitas bawah
1. Look: tidak terlihat oedem, tidak simetris, terlihat deformitas pada tungkai kanan,
tidak terdapat luka robek maupun lecet, kulit intak, tidak terdapat scars, warna
kulit sawo matang, tidak ada sianosis maupun kemerahan.
2. Feel: lembab, akral hangat, CRT < 2 detik, teraba nadi pada a. Dorsalis pedis,
Pemeriksaan sensorik tidak dapat dinilai , pemeriksaan kekuatan motorik tidak
dapat dinilai. Dilakukan pengukuran panjang pada tungkai bawah : Real Length,
sinistra dan dextra : tidak dapat dinilai. Apparent length, sinistra dan dextra : tidak
dapat dinilai.
3. Move: Tidak dapat melakukan gerakan aktif gerakan flexi, extensi, abduksi,
adduksi, rotasi pada sendi panggul dextra, dan terdapat hambatan gerak pasif
serta nyeri, tidak terdengar krepitasi.

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 30 Oktober 2016, 22:49 WIB

Pemeriksaan Hasil Nilai normal


HEMATOLOGI
Hemoglobin 10,6 g/dl 14 – 18 g/dl
Hematokrit 33 % 42 – 48 %
Eritrosit 3,64 juta / µL 4,6 – 6,2 juta / µL
Leukosit 9.100 /µL 5000 – 10000 /µL

6
Trombosit 374.000 /mm3 150.000 – 400.000
/mm3
HEMOSTASIS
Bleeding time 2’00” 1 – 3 menit
Clotting time 10’.00” 5 – 15 menit
KIMIA KLINIK
Gula darah sewaktu 312 mg/dL < 200 mg/Dl
FUNGSI HATI
AST (SGOT) 13 U/I <35
ALT (SGPT) 12 U/I <55
FUNGSI GINJAL
Ureum 92 mg/dL 17-43
Kreatinin 1,0 mg/dL 0,7-1,3

Hasil Pemeriksaan Rontgen

a. Foto Femur

Diskontinuitas di collum femur kanan, aposisi baik, aligment baik, tidak tampak kalus
Kesan : Fraktur Collum femur kanan
7
b. Foto Thorax PA

Cor : CTR < 50%


Pulmo : tampak bercak kesuraman di apex paru bilateral. tampak perselubungan homogen
hemthoraks kiri
Trakea tidak ada pergeseran
Densitas tulang costae baik
Kesan : TB paru dupleks aktif dengan efusi pleura kiri

8
2.5 Resume

Pasien datang ke poli RSAL mintohardjo 1 hari sebelum dilakukan anamnesis dengan
keluhan nyeri pada panggul kanan sejak 1 bulan SMRS. Sebelumnya pasien tiba-tiba
terpeleset di kamar mandi. Pasien mengaku kepala dan bagian tubuh pasien lain tidak ada
yang terkena benturan benda apapun. Pasien mengeluh sulit untuk menggerakan tungkai
kanan setelah terjatuh sehingga setelah kejadian terjatuh tidak pernah jalan maupun
bergerak. Pasien mengeluh terdapat nyeri pada seluruh tungkai kanan, namun pasien
mengaku pada panggul nyeri dirasa paling hebat, nyeri juga dirasa menjalar ke tungkai
bagian bawah namun nyeri tidak sehebat pada pangkal paha, nyeri dirasa terus menerus,
dan semakin berat. Nyeri diperberat apabila pasien dibantu berdiri, nyeri berkurang disaat
pasien dalam posisi tidur atau saat diposisikan duduk. Pasien mengaku tidak terdapat luka
robek maupun luka lecet pada tungkai yang cedera. Pasien mengeluh terdapat bengkak dan
sedikit hangat pada pangkal paha. Pada riwayat penyakit dahulu, pasien memiliki riwayat
TB paru sejak 7 bulan yang lalu dan tidak teratur minum OAT. Pasien juga mengaku
memiliki riwayat diabetes melitus dan tidak teratur minum obat. Pada riwayat pengobatan,
pasien mengaku sedang dalam pengobatan OAT dan DM (Metformin 3x1 dan Glucodex
3x1) namun tidak teratur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan perkusi redup pada ICS 4,5,6
kiri dan pada auskultasi didapatkan rhonki basah pada kedua lapang paru. Pada
pemeriksaan status lokalis didapatkan dari inspeksi terlihat oedem pada region femur
dextra, pada palpasi terdapat nyeri tekan pada pangkal paha kanan dan pada pergerakan
Tidak dapat melakukan gerakan aktif gerakan flexi, extensi, abduksi, adduksi, rotasi pada
sendi panggul dextra, dan terdapat hambatan gerak pasif serta nyeri, terdengar krepitasi.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan leukosit 9100 /uL, Hb 10,6 g/dL, Ht
33%, eritrosit 3,64 juta u/L, GDS 312 mg/dL, dan ureum 92 mg/dL. Pada hasil
pemeriksaan rontgen os. Femur didapatkan diskontinuitas di collum femur kanan, aposisi
baik, aligment baik, tidak tampak kalus dan pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan
tampak bercak kesuraman di apex paru bilateral. tampak perselubungan homogen
hemthoraks kiri.

9
2.6 Diagnosis Kerja

 Fraktur tertutup collum femur dextra


 TB paru on OAT
 DM tipe 2

2.7 Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 tpm
- Konsul dokter bedah orthopedic, dr, Nurrobi Sp. BOT :
o Rencana operasi pemasangan Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada
hari Rabu, 15/03/2017
o Siapkan PRC 500 cc
o Konsul anestesi, penyakit dalam, jantung
o Ceftriaxon inj. 2gr
o Ketorolac drip 3x1 amp
2.8 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungtionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

10
FOLLOW UP Pre-Op

14 Maret 2017
S Nyeri pada tungkai kanan, demam (-), batuk (+), lemas (+), Sesak (-),
mual(-), muntah (-).

O Keadaan umum: tampak sakit sedang


Kesadaran: compos mentis
TD: 120/70 mmHg; HR: 84 x/menit; RR: 20x/menit; S: 36,7°C
Mata: CA -/-, SI -/-
Thoraks : SNV +/+ Rh +/+ Wh -/-
S1 S2 Reg, M – G-
Abdomen: supel, bising usus (+), NT (-)
Ekstremitas: akral hangat (+) pada keempat ekstremitas, oedem pada
pangkal paha tungkai kanan, nadi distal lengan dan tungkai kanan (+),
terdapat hambatan dan nyeri pada gerak pasif pada tungkai kanan
bawah, tidak dapat menggerakan tungkai kanan bawah pada gerak aktif.

A Fraktur tertutup collum femur dextra


TB paru om OAT
DM tipe 2

P IVFD RL 20 tpm
Ketorolac drip 3X1 amp
Rencana pemasangan ORIF , 15/03/2017

11
FOLLOW UP Pre-Op

15 Maret 2017
S (-) keluarga tidak kontak

O Keadaan umum: (-)


Kesadaran: Somnolent
TD: 100/70 mmHg; HR: 64x/menit; RR: 16 x/menit; S: 36,4°C
Mata: CA -/-, SI -/-
Thoraks : SNV +/+ Rh +/+ Wh -/-
S1 S2 Reg, M – G-
Abdomen: supel, bising usus (+), NT (-)

A Fraktur tertutup collum femur dextra


TB paru om OAT
DM tipe 2

P Pasien masuk ICU

16 Maret 2017
S Pasien dinyatakan meninggal

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Tulang


Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses osteogenesis
menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut osteoblast. Proses mengerasnya
tulang akibat penimbunan garam kalsium. Dalam tubuh manusia terdapat 206 tulang yang
dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya, antara lain: (i) tulang
panjang (Femur, Humerus) yang terdiri dari batang tebal panjang yang disebut diafisis dan dua
ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara
epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis
atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di
lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas,
dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari
spongy bone(cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja, tulang rawan habis,
lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan
testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron,
merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut
kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang. (ii) tulang pendek (carpals) dengan
bentuk yang tidak teratur, dan inti dari cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari
tulang yang padat. (iii) tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat
dengan tulang concellous sebagai lapisan luarnya. (iv) tulang yang tidak beraturan (vertebrata)
sama seperti dengan tulang pendek. (v) tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak
di sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan
fasial, misalnya patella (kap lutut).3
3.2 Struktur dan Komposisi Tulang
Sebagaimana jaringan ikat lainnya, tulang terdiri dari matriks dan sel. Matriks tulang
terdiri serat-serat kolagen dan protein non kolagen, sedangkan sel tulang terdiri dari osteoblas,
osteoklas, dan osteosit. Matriks tulang terbagi menjadi matriks inorganic dan organic. Matriks
inorganic mengandung mineral dan garam. Kalsium dan fosfat memiliki kadar tertinggi dan
disimpan dalam bentuk Hydroxipatite Crystale [Ca10(PO4)6(OH)2]. Sedangkan matriks
organic ditempati oleh Kolagen tipe I di dalam tulang mencapai 80%-90% komposisi matriks
tulang. Selain itu matriks tulang juga mengandung suatu proteoglikan yang merupakan
komponen dari glikosaminoglikan sulfat yang terdiri dari kondroitine sulfat dan keratin sulfat.4
13
Sel-sel yang membentuk tulang terdiri dari : osteoprogenitor, osteoblast, osteoklast dan
osteosit. Osteoprogenitor terletak di lapisan dalam periosteum, kanal harves dan endosteum.
Sel ini berperan penting dalam mitosis pertumbuhan tuang. Osteoblast merupakan hasil
diferensiasi dari osteoprogenitor . Osteoblas adalah sel tulang yang bertanggung jawab
terhadap proses formasi tulang yang berfungsi dalam sintesis matriks tulang organic : Kolagen
tipe I, proteoglikan dan glikoprotien. Jarak yang terbentuk antar osteoblast disebut lacuna.
Osteoblast dilindungi oleh sebuah membrane yang dipengaruhi oleh beberapa factor salah
satunya memiliki reseptor Hormon Parathyroid. Ketika reseptor menempel dengan Hormon
Parathyroid, osteoblast akan mengeluarkan Osteoclast Stimulating Factor yang akan
mengaktifkan osteoclast untuk resorbsi tulang. Osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung
jawab untuk resorpsi tulang. Osteoclast terbentuk di sum-sum tulang. Oseoklast adalah sel yang
dapat bergerak dan muti-nuclear. Osteosit merupakan sel tulang matang hasil dari osteoblast
yang terletak di Lakuna. Jumahnya 2.000-3.000 /mm3 volume tulang. Osteosit membentuk
saluran yang mengarah keluar disebut Kanalikuli. yang terbenam dalam matriks tulang. Fungsi
osteosit diduga berperan pada transmisi sinyal dan stimuli dari satu sel ke sel lainnya.4
Menurut bentuknya, tulang terbagi menjadi beberapa jenis : tulang panjnag, tulang
pendek, tulang pipih, tulang irregular dan tulang sesamoid. Jika tulang panjang di potong
longitudinal akan tampak dua tipe struktur tulang. Bagian luar merupakan struktur tulang
kompak sedangkan bagian pusat merupakan struktur tulang spongiosa. Tulang kompak bersifat
keras, fungsinya melapisi bagian luar dari badan tulang panjang dan lepeng subkondral untuk
menunjang tulang rawan persendian. Tulang kompak merupakan kumpulan dari Sistem Harves
yang masing-masing memiliki Kanalis Sentralis atau Kanal Harves (berisi pembuluh darah,
pembuluh lifatik dan serabut saraf , dikelilingi oleh Lamela kosentrik) yang dihubungkan oleh
Kanal Volkmann dengan kanalis sentralis lainnya.4

Gambar 1. Struktur Tulang3

14
Lapisan tulang bagian dalam berupa Tulang Trabekula yang berbentuk seperti
honeycomb . Dua per tiga permukaan tulang merupakan trabekula. Lapisan keras yang melapisi
tulang disebut periosteum. Sedangkan bagian dalam endosteum dilapisi oleh membrane
endosteum. 4
3.3 Mekanisme Resorbsi Tulang
Proses resorbsi tulang dilakukan oleh osteoklast beserta factor sistemik lainnya yang
paling berperan antara lain adalah Hormon Parathyroid (PTH). PTH tidak bekerja langsung
pada osteoklast, namun PTH mengaktifkan Osteoblast untuk menghasilkan osteoclast
stimulating factor untuk mengaktifkan osteoklast. Dengan bantuan enzim Karbonik Anhidrase,
Karbondioksida dan Air akan di katalisasi menjadi Asam Karbonat di dalam sel. Asam
karbonat akan berubah menjadi Asam Bikarbonat yang semakin lama semakin banyak di dalam
sel, hal ini menyebabkan hancurnya matrik anorganik karena suasana di dalam sel menjadi
asam. 5
3.4 Regulasi Tulang dan Mineral
a. Kalsium
Kalsium sangat penting untuk metabolism dan fungsi sel. Kebutuhan kalsium normal
adalah 800-100 mg (20-25 mmol) per hari. 50% konsumsi kalsium dari makanan akan
terabsorbsi di usus halus namun hanya 200 mg yang akan masuk ke system sirkulasi darah.
Kalsium akan berikatan dengan protein, ada yang terionisasi dan digunakan untuk metabolism
serta homeostasis. Absorbs kalsium di mediasi oleh metabolit Vitamin D sedangkan
absorbsinya akan dihambat oleh kadar Fosfat yang tinggi. 5
b. Vitamin D
Vitamin D dapat berasal dari 2 sumber. Sumber langsung yaitu makanan sedangkan
sumber tidak langsung adalah aktivasi 7-dihidrokolesterol oleh sinar ultraviolet. Rekomendasi
kebutuhan vitamin D adalah 400 IU per hari. Vitamin D sendiri merupakan bentuk yang tidak
aktif . Melewati aktivasi dari enzyme hepar dan ginjal maka akan terbentuk metabolit aktif
berupa 25-Hidrocholecalciferol ( Calcitriol ). Calcitriol akan bekerja pada dinding usus halus
untuk membantu absorbs kalsium dan fosfat. 5
c. Parathyoid Hormone
Hormon Paratiroid dikeluarkan oleh kelenjar Paratiroid. Fungsinya adalah untuk
mempertahankan kadar kalsium dalam sirkulasi. Target organ hormone PTH adalah ginjal,
usus halus dan tulang. Di ginjal, PTH akan mnekan reabsorbsi fosfat di tubulus ginja serta
meningkatkan reabsorbsi kalsium. Di parenkim ginjal, PTH akan meningkatkan hidroksilasi
Vitamin D menjadi metabolit aktif untuk meningkatkan absorbsi kalsium. Di usus halus, PTH
15
akan membantu meningkatkan absorbs kalsium, sedangkan di tulang , PTH akan meaktivasi
osteoklast untuk melepaskan Kalsium ke sirkulasi.5
d. Calcitonin
Hormone yang disekresi oleh sel C kelenjar Tiroid. Kerjanya bertolak belakang denga
PTH.5
e. Estrogen
Hormon estrogen di teliti dapat meningkatkan absorbsi kalsium. Jika terdapat malfungsi
dan defisiensi hormone estrogen kuat kaitannya untuk terjadi osteoporosis. 5
f. Stress Mekanik
Hal yang meningkatkan dan membantu pertumbuhan tulang antara lain : weight-
bearing, kerja otot, pulsasi prmbuluh darah dan gravitasi. Sedangkan hal yang dapat
menyebabkan pembentukan tulang terhambat yakni tirah baring yang lama, kurang aktivitas
fisik dan imobilisasi tungkai.5
3.5 Anatomi Femur
Disebelah atas, femur bersendi dengan acetabulum untuk membentuk articulation
coxae dan di bawah dengan tibia dan patella untuk membentuk articulatio genu.3

Gambar 2. Anatomi Ekstremitas Bawah3


Ujung atas femur memiliki caput, kolum, trochanter mayor, dan trochanter minor. Caput
membentuk kira-kira dua per tiga dari bulatan dan bersendi dengan acetabulum os coxae
untuk membentuk articulatio coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut
fovea capitis, untuk tempat melekatnya ligamentum capitis femoris. Sebagian suplai darah
untuk caput femoris dari arteri obturatoria dihantarkan melalui ligamentum ini dan memasuki
tulang melalui fovea capitis. Kolum, yang menghubungkan caput dengan corpus, berjalan ke
bawah, belakang dan lateral serta membentuk sekitar 125 (pada perempuan lebih kecil)
16
dengan sumbu panjang corpus femoris. Besarnya sudut ini dapat berubah akibat adanya
penyakit. Trochanter mayor dan minor merupakan tonjolan besar pada taut antara kolum dan
corpus. Linea intertrochanterica menghubungkan kedua trochanter ini di bagian anterior,
temoat melekatnya ligamentum iliofemorale, dan di bagian posterior oleh crista
intertrochanter yang menonjol, pada critsta ini terdapat tuberculum quadratum. Caput femoris
permukaan anterirornya licin dan bulat, sedangkan permukaan posterior mempunyai rigi,
disebut linea aspera. Pada linea ini melekat otot-otot dan septa intermuskularis, pinggir-
pinggir linea melebar ke atas dan bawah. Pinggir medial berlanjut ke distal sebagai crista
supracondylaris medialis yang menuju ke tuberculum adductorum pada condyles medialis.
Pinggir lateral melanjutkan diri ke distal sebagai crista supracondylaris lateralis. Pada
permukaan posterior corpus, di bawah trochanter mayor terdapat tuberositas glutea untuk
tempat melekatnya musculus glutea maximus. Corpus melebar kea rah ujung distalnya dan
membentuk daerah segita datar pada permukaan posteriornya, yang disebut fascies popliteal.
Ujung bawah femur mempunyai condyli medialis dan lateralis, yang dibagian posterior
dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior condyles bersatu dengan fascies
articularis patella. Kedua condyli ikut serta dalam pembentukan articulation genu. Diatas
condyli terdapat epicondylus lateralis dan medialis. Tuberculum adductorum dilanjutkan oleh
epicondylus medialis.3

Gambar 3. Anatomi Os. Femur6


Sendi adalah hubungan antara dua tulang atau lebih dari sistem sendi, disini meliputi
sistem sendi panggul dan sendi lutut.6
1. Sendi panggul3

17
Sendi panggul dibentuk oleh facies lunata acetabullum dan caput femoris. Facies
lunata rongga sendi atau cavum articularis merupakan cekungan bentuk simetris terbentang
melampaui equator labium acetabuli, labium acetabuli mengandung zat rawan fibrosa. Facies
lunata dan labium menjadi dua pertiga caput femoris lekuk tulang tidak lengkap dan bagian
interior ditutup oleh lig trasuersum, acetabuli, dimana terdapat bantalan lemak menuju caput
femoris. Kapsul sendi melekat pada tulang panggul sebelah luar labium acetabuli sehingga
labium aetabuli dengan bebas masuk ke rongga kapsul. Sendi panggul diperkuat oleh
ligamentum-ligamentum yang diantaranya:
a) Ligamentum Iliofemorale
Berbentuk Y, dasarnya melekat pada spinailiaca anterium dan interior
berfungsi mencegah gerakan extensi dan exirotasi tungkai atas yang
berlebihan pada sendi pangkal paha.
b) Ligamentum pubofemorale
Berbentuk segitiga, dasarnya ligamen pada ramus superior pubis, berfungsi
mencegah gerakan abduksi tungkai atas yang berlebihan.
c) Ligamentum ischiofemorale
Berbentuk spiral, melekat pada corpus ischium dekat tepi aetabulum.
d) Ligamentum transferum acetabuli
Dibentuk oleh labium acetabulare. Berfungsi mencegah keluarnya caput
femoris dari acetabuli.
e) Ligamentum cepitis femoris
Berbentuk gepeng dan segitiga melekat pada caput femoris. Berfungsi
sebagai tempat berjalan vasa dan saraf, meratakan sinovial pada permukaan
sendi.3

Gambar 4. Sendi panggul6

18
2. Sendi Lutut3
Sendi lutut dibentuk oleh tiga sendi yang berbeda dan dilindungi oleh kapsul sendi.
Sendi tersebut dibentuk oleh tulang femur dan patella yang mana pada facet sendi terdiri dari
tiga permukaan pada bagian lateral, yang mana pada satu permukaan bagian medial otot vastus
lateralis menarik patella ke arah proximal sedangkan otot vastus medialis menarik patela ke
arah medial, sehingga patella stabil. Pada posisi 30o, 40o dari ekstansi, patellah tertarik oleh
mekanisme gaya kerja otot sangat kuat.3
Otot yang akan dibahas adalah otot yang berfungsi ke segala arah seperti regio hip
untuk gerakan fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi dan eksternal rotasi-internal rotasi.
Untuk lebih terperincinya menyertakan otot-otot yang berhubungan dengan kondisi tersebut,
yaitu sebagai berikut:
Tabel 1
Otot Tungkai Atas Bagian Anterior 3
No Otot Regio Insertio Fungsi Inervasi
1 Sartorius Spina iliace Permukaan Fleksi N. femoralis
anterior medial tibia abduis,
superior rotasi, lateral
(SIAS) arc coxae
2 Iliacus Fossa Throcantor Flexi N. femoralis
illiaca di femur
dalam
abdomen
3 Quadricep
Femoralis SIAS Tendon m. Flexi arc N. femoralis
a. Rectus quadriceps coxae
femoris pada patela,
vialigamentum
patellae ke
dalam
Ujung atas tuberositas Extansi lutut N. femoralis
b. Vatus dan batang tibia
lateralis femur,
septum N. femoralis

19
facialis lat Extensi lutut,
c. Vatus ke dalam menstabilkan
medialis Ujung atas patela N. femoralis
dan batang Extensi lutut
femur
d. Vatus
intermedius Permukaan
anterior dan
lateral
batang
femur

Tabel 2
Otot Tungkai Atas Bagian Posterior 3
No Otot Regio Insertio Fungsi Inervasi
1 Biceps Caput longum Permukaan Flexi abduksi, Ramus
femoralis (tuber medial rotasi lateral tibialis N.
isciadoleum) tibia arc.Co xae ischiadicum
caput breve
(linea aspera)
crista supra
Semi condilair Flexi, rotasi,
tendonisosis lateral batang Medial medial sendi Ramus
femur) tibia lutut serta Arc. tibialis
Tuber Coxae N.ischiadic
ischiadikum um
2 Semi Tuber Condylus Flex dan rotasi, Ramus
membranosus ischiadikum medialis medial sendi tibialis N.
tibia lutut serta ischiadicum
extensi serta
extensi Arc.
Coxae

20
3 Adduktor Tuber Tiberculum Extensi Arc Ramus
magnus ischiadicum adduktor Coxae tibialis
femur N.
Ischiadicum

Tabel 3
Otot tungkai atas Regio Glutealis 3
No Otot Regio Insertio Fungsi Inervasi
1 Gluteus Permukaan Tractus Extensi dan N.
maximus luar ilium, illiotibialis rotasi laterale gluteus
sacrum, dan Arc. Coxae interior
ligamen duterositas
sacrotuberale gluteo femoris
2 Gluteus Medius Permukana Lateral Extensi dan N.
luar ilium throchantor rotasi gluteus
mayor femoris superior
3 Gluteus Permukaan Anterior Abduksi Arc. N.
minimus luar ilium throchantor Coxae gluteus
mayor femoris superior
4 Piriformis Permukaan Throchantor Rotasi lateral N.
anterior sacrum mayor femoris Sacralis I
dan II
5 Obturatorius Permukaan Tepian atas Rotasi lateral Plexus
internus dalam throchantor sacralis
membrana mayor femoris
abturatoria

21
Tabel 4
Otot Tuang Medial Paha3
No Otot Regio Insertio Fungsi Inervasi
1 M. Gracilis Ramus Tuberositas Adduktor Ramus
interior ossis tibia flexor, hip anterior N.
pubis dan dibelakang flexor dan obturatoria
ossis ischi internal L2-4
rotator
tungkai
bawah
2 M. adduktor Dataran M. sartorius Ramus Adduktor,
langus anterior labium anterior N. flexor hip
ramus medial linea Abtoratorium
superior aspera 1/3 L2-3
ossis pubis medial
3 M. adduktor Lateral Labium Adduktor Ramus
brevis ramus medial linea flexor, anterior
interior ossis aspera internal dan
pubis rotasi hip posterior
N.
abturatoria
L2-4
4 M. adduktor Dataran Labium Adduktor Ramus
magnus anterior medial linea dan extensor posterior
ramus aspera hip dan N.
interfior ossi tibialis
ischii dan dan L2-5
tuber dan S1
ischiadicum
5 M. Datarna Fossa External Ramus
Obturatorius anterior throhantorica rotator hip muscularis
externus membrana femoris membantu plexus
abturatoria, extensor hip

22
foramen sacralis
abturatroium S1-3

Sistem persyarafan pada tungkai atas (paha) dibagi menjadi 4 yaitu3:


1) Nervus femoralis
Merupakan cabang terbesar dari pleksus lumbalis. Nervus ini berisi dari tiga
bagian pleksus anterior yang berasal dari nervus lumbalis (L2, L3 dan L4).
Nervus ini muncul dari tepi lateral psoas di dalam abdomen dan berjalan ke
bawah melewati m. psoas dan m.iliacus ia terletak di sebelah fasia illiaca dan
memasuki paha lateral terhadap anterior femoralis dan selubung femoral di
belakang ligament inguinal dan pecah menjadi devisi anterior dan posterior
nervus femoralis mensyarafi semua otot anterior paha. 3
2) Nervus obturatorius
Berasal dari plexus lumbalis (L2, L3 dan L4) dan muncul pada bagian tepi m.
psoas di dalam abdomen, nervus ini berjalan ke bawah dan depan pada lateral
pelvis untuk mencapai bagian atas foramen abturatorium, yang mana tempat ini
pecah menjadi devisi anterior dan posterior. Devisi anterior memberi cabang-
cabang muscular pada m. gracilis, m. adduktor brevis dan longus. Sedangkan
devisi posterior mensyarafi articularis guna memberi cabang-cabang muscular
kepada m.obturatorius esternus, dan adduktor magnus.3
3) Nervus gluteus superior dan inferior
Cabang nervus sacralis meninggalkan pelvis melalui bagian atas, dan bawah
foramen ischiadicus majus di atas m. piriformis dan mensyarafi m.gluteus
medius dan minimus serta maximus.3
Sistem peredaran darah tungkai atas (paha) disini akan dibahas sistem peredaran darah dari
sepanjang tungkai atas atau paha yaitu pembuluh darah arteri dan vena.3
1. Pembuluh darah arteri3
Arteri membawa darah dari jantung menuju saluran tubuh dan arteri ini selalu
membawa darah segar berisi oksigen, kecuali arteri pulmonale yang membawa darah kotor
yang memerlukan oksigenisasi. Pembuluh darah arteri pada tungkai antara lain yaitu:
a) Arteri femoralis
Arteri femoralis memasuki paha melalui bagian belakang ligament
inguinale dan merupakan lanjutan arteria illiace externa, yang terletak
dipertengahan antara SIAS (spina illiaca anterior superior) dan sympiphis
23
pubis. Arteria femoralis merupakan pemasok darah utama bagian tungkai,
berjalan menurun hampir bertemu ke tuberculum adductor femoralis dan
berakhir pada lubang otot magnus dengan memasuki spatica poplitea
sebagai arteria poplitea.
b) Arteria profunda femoralis
Merupakan arteri besar yang timbul dari sisi lateral arteri femoralis dari
trigonum femorale. Ia keluar dari anterior paha melalui bagian belakang otot
adductor, ia berjalan turun diantara otot adductor brevis dan kemudian
teletak pada otot adduktor magnus.
c) Arteria obturatoria
Merupakan cabang arteri illiaca interna, ia berjalan ke bawah dan ke depan
pada dinding lateral pelvis dan mengiringi nervus obturatoria melalui
canalis obturatorius, yaitu bagian atas foramen obturatum.
d) Arteri poplitea
Arteri poplitea berjalan melalui canalis adduktorius masuk ke fossa
bercabang menjadi arteri tibialis posterior terletak dalam fossa poplitea dari
fossa lateral ke medial adalah nervus tibialis, vena poplitea, arteri poplitea.
2. Pembuluh darah vena3
Pembuluh darah vena pada tungkai antara lain:
i. Vena femoralis
Vena femoralis memasuki paha melalui lubang pada otot adduktor magnus
sebagai lanjutan dari vena poplitea, ia menaiki paha mula-mula pada sisi
lateral dari arteri. Kemudian posterior darinya, dan akhirnya pada sisi
medialnya. Ia meninggalkan paha dalam ruang medial dari selubung
femoral dan berjalan dibelakang ligamentum inguinale menjadi vena iliaca
externa.
ii. Vena profunda femoralis
Vena profunda femoris menampung cabang yang dapat disamakan dengan
cabang-cabang arterinya, ia mengalir ke dalam vena femoralis.
iii. Vena obturatoria
Vena obturatoria menampung cabang-cabang yang dapat disamakan
dengan cabang-cabang arterinya, dimana mencurahkan isinya ke dalam
vena illiaca internal.
iv. Vena saphena magna
24
Mengangkut perjalanan darah dari ujung medial arcus venosum dorsalis
pedis dan berjalan naik tepat di dalam malleolus medialis, venosum dorsalin
vena ini berjalan di belakang lutut, melengkung ke depan melalui sisi medial
paha. Ia bejalan melalui bagian bawah n. saphensus pada fascia profunda
dan bergabung dengan vena femoralis.
3.6 Proses Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu7 :
1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur dan
akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi
oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan
hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan
kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang
yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.7
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang
berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah
endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis.
Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari
diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada
tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel
osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang
sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler tidak terbentuk dari
organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus
dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik. Pada
pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga merupakan suatu
daerah radiolusen.7
3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar
yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan.
Tempat osteoblast diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlengketan
25
polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk
tulang ini disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven bone
sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan
fraktur.7
4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)
Woven bone atau kalus akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur
lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap.7
5. Fase remodelling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang
menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase
remodelling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses
osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang. Kalus
intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus
bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.7

Gambar 5. Proses penyembuhan fraktur7


Penilaian penyembuhan fraktur (union) didasarkan atas union secara klinis dan union
secara radiologis. Penilaian secara klinis dilakukan dengan pemeriksaan daerah fraktur dengan
melakukan pembengkokan pada daerah fraktur, pemutaran dan kompresi untuk mengetahui
adanya gerakan atau perasaan nyeri pada penderita. Keadaan ini dapat dirasakan oleh
pemeriksa atau oleh penderita sendiri. Apabila tidak ditemukan adanya gerakan, maka secara
klinis telah terjadi union dari fraktur.7
26
Union secara radiologis dinilai dengan pemeriksaan rontgen pada daerah fraktur dan
dilihat adanya garis fraktur atau kalus dan mungkin dapat ditemukan adanya trabekulasi yang
sudah menyambung pada kedua fragmen. Pada tingkat lanjut dapat dilihat adanya medulla atau
ruangan dalam daerah fraktur. 7

3.7 Definisi Fraktur


Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang, penyebab
terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif juga dapat
berpengaruh terhadap kejadian fraktur. 8
Fraktur kolum femur adalah fraktur intrakapsuler yang terjadi di femur proksimal pada
daerah yang berawal dari distal permukaan artikuler caput femur hingga berakhir di proksimal
daerah intertrochanter13
Fraktur tertutup adalah fraktur dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar atau struktur jaringan kulit diatas atau disekitar fraktur masih utuh/ intak(2).
3.8 Klasifikasi Fraktur femur:
Fraktur femur secara umum dibedakan atas tiga kategori besar, yaitu: fraktur femur
proksimal, fraktur batang femur, dan fraktur suprakondilar femur. Fraktur femur proksimal
meliputi fraktur collum femur dan fraktur intertrokanter femur. Fraktur shaft femur dikenal
sebagai fraktur diafisis femur dan fraktur suprakondiler femur merupakan fraktur yang terjadi
pada daerah antara batas proksimal kondilus femur dan batas metafisis dengan diafisis femur.9
Klasifikasi fraktur femur proksimal9:
1. Fraktur intrakapsular, fraktur ini terjadi di kapsul sendi panggul.
a. Fraktur kapital : fraktur pada kaput femur.
b. Fraktur subkapital : fraktur yang terletak di bawah kaput femur
c. Fraktur transervikal : fraktur pada kolum femur.
2. Fraktur ekstrakapsular, fraktur yang terjadi di luar kapsul sendi panggul
27
a. Fraktur sepanjang trokanter mayor dan minor.
b. Fraktur intertrokanter.
c. Fraktur subtrokanter.
3.9 Fraktur Kolum Femur

Fraktur kolum femur terjadi pada proksimal hingga garis intertrokanter pada regio
intrakapsular tulang panggul.7 Fraktur ini sering terjadi pada usia tua. Mayoritas kejadian
fraktur ini pada populasi pasien wanita dengan ras caucasia di usia 70 sampai dengan 80 tahun
dan biasanya berhubungan dengan osteoporosis.8 Faktor risiko lainnya meliputi kerapuhan
tulang, diakibatkan suatu kelainan seperti osteomalacia, diabetes, stroke, alkoholisme, dan
penyakit kronis lainnya. Pada orang tua biasanya memiliki kelemahan pada otot dan
keseimbangan yang buruk yang dapat meningkatkan risiko untuk terjatuh. Adanya hubungan
antara fraktur kolum femur dengan kehilangan kepadatan tulang pasca menopause, memacu
dilakukannya tindakan pencegahan dan skrining osteoporosis pada kelompok berisiko. Pada
kelompok populasi yang memiliki masa tulang diatas rata-rata jarang terjadi fraktur ini,
misalnya pada pasien dengan osteoartritis panggul. Fraktur kolum femur ini juga jarang terjadi
pada ras kulit hitam (negroid) dibandingan ras kulit putih dan asia. Namun, alesan untuk hal
tersebut belum sepenuhnya dimengerti. Perbedaan dari struktur tulang mempengaruhi insiden
terjadi nya fraktur ini walaupun memiliki masa tulang yang sama.13
Trauma akibat daya yang rendah sering terjadi pada orang tua, pada pasien dengan
osteoporosis. Dapat terjadi langsung artinya terjatuh menyebabkan fraktur misalnya jatuh dari
tempat yang tidak terlalu tinggi, terpeleset di kamar mandi di mana panggul dalam keadaan
fleksi dan rotasi dapat menyebabkan fraktur leher femur. Dapat juga terjadi secara tidak
langsung, dimana fraktur yang terjadi menyebabkan terjatuh hal ini diakibatkan kontraksi otot
melebihi kekuatan tulang. Trauma akibat daya yang tinggi sering terjadi pada usia muda,
biasanya disebabkan kecalakan berkendara, terjatuh dari tempat yang cukup tinggi dan
biasanya disertai fraktur pada tempat lain. Fraktur juga dapat terjadi akibat regangan yang
berlebih biasanya terjadi pada atlet, militer, penari balet, pasien dengan osteoporosis dan
osteopenia. Ada beberapa klasifikasi dari fraktur kolum femur, dimana klasifikasi yang sering
dipakai adalah berdasakan :13
1. Lokasi anatomi fraktur:
a. Intrakaspular : Tipe subcapital dan trascervical
b. Extrakapsular : Tipe basecervical
2. Sudut Fraktur (Pauwel):

28
a. Tipe I, yaitu fraktur dengan garis fraktur 30 dari horisontal.
b. Tipe II, yaitu fraktur dengan garis fraktur 50 dari horisontal.
c. Tipe III, yaitu fraktur dengan garis fraktur 70 dari horisontal.

Gambar 6. Klasifikasi fraktur kolum femur menurut Pauwel14


3. Displacement fragmen fraktur :
a. Stadium I adalah fraktur inkomplit atau impacted
b. Stadium II adalah fraktur komplit tanpa displacement
c. Stadium III adalah fraktur komplit dengan partial displacement..
d. Stadium IV adalah fraktur komplit dengan displacement lengkap.

Gambar 7. Klasifikasi fraktur leher femur menurut Garden16


A. Stadium I C. Stadium III
B. Stadium II D. Stadium IV
Fraktur leher femur harus ditatalaksana dengan cepat dan tepat sekalipun merupakan
fraktur leher femur stadium I. jika tidak, maka akan berkembang dengan cepat menjadi fraktur
leher femur stadium IV14
Anamnesis biasanya menunjukkan adanya riwayat jatuh dari ketinggian disertai nyeri
panggul terutama daerah inguinal depan. Tungkai pasien dalam posisi rotasi lateral dan anggota
gerak bawah tampak pendek. Pada foto polos penting dinilai pergeseran melalui bentuk
bayangan yang tulang yang abnormal dan tingkat ketidakcocokan garis trabekular pada kaput
femoris dan ujung leher femur. Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tak

29
bergeser (stadium I dan stadium II berdasarkan Garden) dapat membaik setelah fiksasi internal,
sementara fraktur yang bergeser sering mengalami non-union dan nekrosis avaskular.15
Terapi fraktur kolum femur 15
 Garden I : internal fiksasi dengan multiple pins atau screwing
 Garden II : internal fiksasi dengan pinning/screwing, konservatif dapat
mengakibatkan displacement.
 Garden III dan IV (displaced)
Non operatif :
 raksi dilanjutkan spica cast
 Pinning perkutan dengan lokal anestesi
 Reduksi tertutup dan spica cast dalam abduksi
Operatif :
Dilakukan operasi urgent namun penderita statusnya seoptimal mungkin, pada orang muda
dengan osteomuscular pedicale graft, pada orang tua dengan hemiarthroplasty dengan
Austin Moore Prothesis (AMP) atau bipolar prosthesis. Komplikasi tergantung dari
beberapa faktor, yaitu:15
 Komplikasi yang bersifat umum: trombosis vena, emboli paru, pneumonia,
dekubitus
 Nekrosis avaskuler kaput femur
Komplikasi ini biasanya terjadi pada 30% pasien fraktur leher femur dengan
pergeseran dan 10% pada fraktur tanpa pergeseran. Apabila lokasilisasi fraktur
lebih ke proksimal maka kemungkinan untuk terjadi nekrosis avaskuler menjadi
lebih besar.
 Nonunion
Lebih dari 1/3 pasien fraktur leher femur tidak dapat mengalami union terutama
pada fraktur yang bergeser. Komplikasi lebih sering pada fraktur dengan lokasi
yang lebih ke proksimal. Ini disebabkan karena vaskularisasi yang jelek, reduksi
yang tidak akurat, fiksasi yang tidak adekuat, dan lokasi fraktur adalah
intraartikuler. Metode pengobatan tergantung pada penyebab terjadinya nonunion
dan umur penderita.
 Osteoartritis sekunder dapat terjadi karena kolaps kaput femur atau nekrosis
avaskuler
 Anggota gerak memendek

30
 Malunion
 Malrotasi berupa rotasi eksterna

Gambar 8. Hemiarthroplasty
3.10 Anatomi vaskularisasi collum femur
Aspek femoral pinggul terdiri dari kepala femoral dengan tulang rawan
artikular dan leher femoralis, yang menghubungkan kepala untuk poros di wilayah
tersebut trochanters lebih rendah dan lebih besar. Membran sinovial menggabungkan
seluruh kepala femoral dan leher anterior, tetapi hanya proksimal setengah dari leher
posterior. Bentuk dan ukuran leher femoralis bervariasi. Crock standar nomenklatur
pembuluh sekitar pangkal leher femoralis. Suplai darah ke ujung proksimal femur
dibagi menjadi 3 kelompok besar. Yang pertama adalah cincin arteri ekstrakapsular
terletak di dasar leher femoralis. Yang kedua adalah cabang serviks naik dari cincin
arteri pada permukaan leher femoralis. Yang ketiga adalah arteri dari ligamentum
teres. Sebuah cabang besar dari medial arteri sirkumfleksa femoralis membentuk
cincin arteri ekstrakapsular posterior dan anterior oleh cabang dari lateral arteri
sirkumfleksa femoralis. Cabang-cabang serviks naik naik pada permukaan pada leher
femoralis anterior sepanjang garis intertrochanteric. Posterior, cabang-cabang serviks
berjalan di bawah refleksi sinovial menuju tepi tulang rawan artikular, yang
demarcates leher femoralis dari kepalanya. Pembuluh lateral yang paling rentan
terhadap cedera patah tulang leher femur.

31
Gambar 9. Vaskularisasi kolum femur anterior dan postreior
3.11 Etiologi
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya
fraktur diantaranya peristiwa trauma (kekerasan) dan peristiwa patologis.10
1. Peristiwa Trauma (kekerasan)
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya
kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan
patah tepat di tempat terjadinya benturan.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam hantaran vektor kekerasan..
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang
akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan
otot adalah patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps
mendadak berkontraksi.
2. Peristiwa Patologis
a) Kelelahan atau stres fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas berulang – ulang pada
suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang lebih berat dari biasanya.
Tulang akan mengalami perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada

32
tempat yang sama, atau peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah
tulang maka akan terjadi retak tulang.
b) Kelemahan Tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu tulang
akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang misalnya osteoporosis, dan
tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh maka akan
terjadi fraktur.
3.12 Diagnosis fraktur
Gejala klasik fraktur secara umum adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan
bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan
fungsi mukuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang dan gangguan neurovaskuler.
Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnosa fraktur dapat ditegakkan walaupun
jenis konfigurasinya belum dapat ditentukan. 10
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. Pada pemeriksaan fisik
dilakukan 3 hal penting; yakni inspeksi/look: deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan,
pemanjangan), bengkak. Palpasi/feel (nyeri tekan, krepitasi). Status neurologi dan vaskuler di
bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur
tersebut, meliputi persendian di atas dan di bawah cedera, daerah yang mengalami nyeri dan
krepitasi9
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi: pulsasi arteri, warna kulit, CRT,
sensasi. Pemeriksaan gerakan/moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan
sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur. Pemeriksaan trauma di tempat lain meliputi
kepala, toraks, abdomen, pelvis. 10
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium meliputi darah rutin,
faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan urinalisa. Pemeriksaan radiologis
untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two: dua gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral,
memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur, memuat gambaran foto dua ekstremitas,
yaitu ekstremitas yang cedera dan yang tidak cedera (pada anak) dan dua kali, yaitu sebelum
dan sesudah tindakan.10
Pemeriksaan fisik dan radiologik pasien dengan fraktur intertrokanter femur
mempunyai persamaan dengan fraktur kolum femur. Nyeri tekan di daerah trokanter mayor
lebih dirasakan oleh pasien dengan fraktur intertrokanter dibandingkan fraktur kolum femur.
Pada usia lanjut dengan riwayat trauma pada daerah femur proksimal. Pada pemeriksaan
33
didapatkan pemendekan anggota gerak bawah disertai rotasi eksterna(5). Selain itu setelah jatuh
pasien tidak bisa berdiri, kaki lebih pendek dan lebih berotasi keluar dibandingkan pada fraktur
servikal (karena fraktur bersifat ekstrakapsular) dan pasien tidak dapat mengangkat kakinya.10
3.13 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan fraktur ada 4 R yaitu :

1. Recognition : diagnosa dan penilaian fraktur
 Prinsip pertama adalah mengetahui dan

menilai keadaan fraktur dengan anannesis, pemeriksaan klinis dan radiologi. Pada
awal pengobatan perlu diperhatikan : lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan
tehnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama
pengobatan.
2. Reduction : tujuannya untuk mengembalikan panjang & kesegarisan tulang. Dapat
dicapai yang manipulasi tertutup/reduksi terbuka progresi. Reduksi tertutup terdiri
dari penggunaan traksimoval untuk menarik fraktur kemudian memanupulasi untuk
mengembalikan kesegarisan normal/dengan traksi mekanis.
3. Retention, imobilisasi fraktur tujuannya mencegah pengeseran fregmen dan mencegah
pergerakan yang dapat mengancam union. Untuk mempertahankan reduksi (ektrimitas
yang mengalami fraktur) adalah dengan traksi. Traksi merupakan salah satu
pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada bagian tulang-tulang sebagai kekuatan
dngan kontrol dan tahanan beban keduanya untuk menyokong tulang dengan tujuan
mencegah reposisi deformitas, mengurangi fraktur dan dislokasi, mempertahankan
ligamen tubuh/mengurangi spasme otot, mengurangi nyeri, mempertahankan anatomi
tubuh dan mengimobilisasi area spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan traksi yaitu : skin
traksi dan skeletal traksi.
4. Rehabilitation, mengembalikan aktiftas fungsional seoptimal mungkin

Tindakan Pembedahan merupakan hal penting untuk menstabilkan patah tulang


sesegera mungkin untuk mencegah kerusakan jaringan yang lebih lunak. Tulang patah dalam
fraktur terbuka biasanya digunakan metode fiksasi eksternal atau internal. Metode ini
memerlukan operasi.11
a. Fiksasi Internal
Selama operasi, fragmen tulang yang pertama direposisi (dikurangi) ke posisi
normal kemudian diikat dengan sekrup khusus atau dengan melampirkan pelat
logam ke permukaan luar tulang. Fragmen juga dapat diselenggarakan bersama-

34
sama dengan memasukkan batang bawah melalui ruang sumsum di tengah tulang.
Karena fraktur terbuka mungkin termasuk kerusakan jaringan dan disertai dengan
cedera tambahan, mungkin diperlukan waktu sebelum operasi fiksasi internal
dapat dilakukan dengan aman.
b. Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal tergantung pada cedera yang terjadi. Fiksasi ini digunakan untuk
menahan tulang tetap dalam garis lurus. Dalam fiksasi eksternal, pin atau sekrup
ditempatkan ke dalam tulang yang patah di atas dan di bawah tempat fraktur.
Kemudian fragmen tulang direposisi. Pin atau sekrup dihubungkan ke sebuah
lempengan logam di luar kulit. Perangkat ini merupakan suatu kerangka
stabilisasi yang menyangga tulang dalam posisi yang tepat11.
Untuk mempertahankan posisi fragmen fraktur, dapat dilakukan fiksasi internal
maupun eksternal. Terapi fraktur intertrokanter pada umunya dilakukan fiksasi internal dini
dengan tujuan memperoleh posisi sebaik mungkin, agar pasien dapat bangun dan berjalan
sehingga mengurangi komplikasi akibat terlalu lama berbaring11.
3.14 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur intertrokanter femur antara lain:
a. Pasien dengan fraktur kolum femur mempunyai risiko menderita penyakit
tromboemboli dan mempunyai risiko kematian karena suplai darah yang baik pada
region femur maka risiko osteonekrosis dan nonunion minimal12.
b. Deformitas bentuk varus pada bagian proksimal dari fragmen fraktur. Biasanya
berhubungan dengan fraktur tidak stabil akibat kurangnya bantalan pada bagian
posteromedial12.
c. Malrotasi, malrotasi umumnya terjadi karena rotasi internal dari bagian distal fragmen
fraktur yang tidak stabil pada saat pemasangan implant12.
d. Nonunion, jarang terjadi, tetapi bila fraktur tidak menyatu dengan kuat selam 6
bulan, fraktur ini mungkin tidak akan mnyambung dan sebaiknya dilakukan operasi
lanjutan, fraktur direposisi, alat fiksasi dipasang lebih kuat dan cangkokan tulang
ditempelkan di sekitar fraktur.

35
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada identitas pasien diketahui bahwa pasien berusia 72 tahun, berjenis kelamin laki -
laki dimana usia berpengaruh pada pembentukan tulang, semakin lanjut usia, aktivitas semakin
berkurang, mobilisasi juga semakin berkurang, hal ini dapat mengurangi pertumbuhan tulang.
Sebagaimana diketahui juga, apabila komposisi dari tulang tidak baik, adanya pengurangan
densitas dan massa tulang seperti pada osteoporosis memungkinkan untuk terjadinya fraktur
patologis. Dari keluhan yang dikeluhkan pasien dimana terdapatnya nyeri pada panggul kanan,
terus menerus, semakin memberat, menjalar ke kaki, berkurang saat posisi tidur, bertambah
saat duduk 1 bulan SMRS, perlu dipikirkan beberapa kemungkinan yang terjadi, apakah nyeri
tersebut disebabkan oleh trauma, infeksi, inflamasi, penyakit metabolik, ataupun keganasan,
karena nyeri merupakan keluhan yang umum pada kasus musculoskeletal sehingga perlu dicari
lebih lagi penyebabnya dan komplikasi yang sudah terjadi karena pasien baru dating berobat
setelah 1 bulan terjadi fraktur.
Dari anamnesis lebih lanjut pasien menceritakan bahwa terjadi trauma, dimana
mekanisme dari trauma ini adalah, pasien terpeleset di kamar mandi. Dari hal ini dapat
diketahui bahwa ada suatu trauma yang disebabkan oleh energi yang tidak terlalu besar.
Dimana posisi jatuh dalam keadaan duduk, kepala dan tubuh lainnya tidak terdapat luka lecet
ataupun robek serta tidak terbentur, tidak terdapat penurunan kesadaran, mual, muntah,
mengompol spontan, kemungkinan tidak terdapat cedera pada sistem saraf dan tulang
belakang. Demam disangkal pasien berarti kemungkinan akibat terjadinya infeksi dapat
disingkirkan.
Dari riwayat penyakit dahulu dimana pasien terdapat riwayat TB on OAT dan DM tipe
2. Tidak ditemukan riwayat operasi sebelumnya dan tidak ada riwayat kecelakaan sebelumnya
membantu dalam memikirkan prognosis dari tindakan yang dilakukan. Penggunaan
kortikosteroid jangka panjang juga disangkal oleh pasien dapat menyingkirkan kemungkinan
dampak obat-obatan terhadap tulang. Untuk dari kebiasaan pasien dimana tidak pernah
berolahraga dan tidak mengkonsumsi susu, merupakan salah satu faktor risiko menurunkan
densitas dari tulang. Pasien hanya tinggal dengan istri yang sudah usia lanjut, dapat dipikirkan
untuk penatalaksanaan dan prognosis pasien lebih lanjut, serta lingkungan tempat tinggal
pasien, pasien memiliki kamar dan tempat aktivitas di lantai dasar, berdampak pada
penatalaksanaan dan waktu penyembuhan pada pasien.
Dari hasil pemeriksaan fisik tanda vital dalam batas normal, pada status generalis
didapatkan perkusi paru redup pada ICS 4, 5, 6. Pada auskultasi didapatkan ronki pada kedua
36
lapang paru, dari pemeriksaan status lokalis ditemukan tanda-tanda fraktur. Dari hasil
pemeriksaan penunjang laboratorium leukosit dalam batas normal, namun hemoglobin,
hematocrit dan eritrosit sedikit menurun kemungkinan pasien mengalami anemia. dari foto
rontgen femur didapatkan fraktur collum dextra, pada fptp thorax juga didapatkan
perselubungan homogan di basal paru kiri dan bercak kesuraman pada apex paru, Tatalaksana
awal diberikan anti nyeri, lalu dikonsulkan ke dokter spesialis orthopedic untuk direncanakan
tindakan ORIF, yang merupakan indikasi dari fraktur collum femur, dan sudah dikonsulkan ke
dokter speliasis penyakit dalam, jantung, dan anestesi untuk persiapan operasi, dan diberikan
medikamentosa sesuai dengan diagnosis pasien.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Sutarto AS, Abdullah AA, Boer A, Budyatmoko B, Makes D, Ilyas G, Ekayuda I, et


all. Radiologi Diagnostik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1995. Hal: 31-61
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar 2013, Available at:
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_Riskesdas2013.PD
F
3. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AW. Grays Anatomy for Students. Edisi 2.
Philadelphia: Churchill Livingstone; 2010.
4. Gunawijaya FA. Kartawiguna E. Histologi. Penerbit Universitas Trisakti. 2012
5. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta. 2012
6. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. Saunders. Pennsylvania. 2003
7. Rasjad C. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone; 2009. p. 325-6;
355-420.
8. Nayagam S, Injuries of the Hip and Femur. Apley’s System of Orthopedic and
Fractures. Hodder Arnold, London, United Kingdom 2010. p. 843-74
9. Alderson D, Allen GM, Anderson JR, Armitage NCM, Ashraf S, Back DL, Barton SJ,
et all. Bailey & Love’s Short Practice of Surgery. Edisi25. London: Hodder Arnold;
2008. P 354-77
10. Chapman MW. Chapman’s orthopaedic surgery. 3rd ed. Boston: Lippincott
Williams&wilkins; 2001. p 756-804.
11.Leighton RK, Fractures of the Neck of the Femur. Rockwood and Green’s Fracture in
Adults. 6th Ed. Lippincot William and Wilkins. 2006. p. 1754-88
12. Ozturk I, Toker S, Erturer E, Aksoy B, Seckin F. HAnalysis of risk factors affecting
mortality in elderly patients (aged over 65 years) operated on for hip fractures.H Acta
Orthop Traumatol Turc 2008; 42: 16-21.
13. Cluett J. Femur fracture. [online]. 2005. [cited 2015 july 20]; Available from:
http://orthopedics.about.com/od/brokenbones/a/femur.htm
14. Karni M, Kulkarni S. Intertrochanteric fractures. Indian J Orthop 2006;40:16-23.
15. Perry CR, Elstrom JA. Handbooks of fracture. Ed 2nd. United State of America:
McGraw-Hill; 2000.

38
16. Kirby MW, Spritzer C. Radiographic detection of hip and pelvic fractures in the
emergency department. AJR Am J Roentgenol. 2010;194 (4): 1054-60.

39

You might also like