You are on page 1of 7

Media Peternakan, Agustus 2008, hlm. 107-113 Vol. 31 No.

2
ISSN 0126-0472
Terakreditasi B SK Dikti No: 43/DIKTI/Kep/2008

Hubungan antara pH Susu dengan Jumlah Sel Somatik Sebagai


Parameter Mastitis Subklinik
The Relationship between pH Value of Milk and the Somatic Cell Count as a
Parameter of Sub-Clinical Mastitis Detection

M. Sudarwanto * & E. Sudarnika


Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
(Diterima 06-03-2008; disetujui 25-06-2008)

ABSTRACT

The aim of this research was to measure the relationship of the pH value to the
somatic cell count as a parameter of sub clinical mastitis detection. Two hundreds quar-
ter milk samples were used in this research and the test (the pH value, IPB-1 mastitis test
and Breed method) was done in parallel way. The results showed that 152 samples from
200 samples (76%) tested with Breed method came from the herds which suffered from
sub-clinical mastitis and with IPB-1 test showed that 145 (72.5%) of the samples had
positive reaction. Using pH meter, it showed that 44 samples (22 %) had pH > 6.75, pre-
sumed suffered from sub-clinical mastitis and 2 samples (1%) showed pH < 6.30 (6.25
and 6.28). At the same time, these two samples showed a negative reaction with IPB-1
test and had somatic cell count of 360,000/ml and 280,000/ml, each. It also showed that
there was a close relationship between pH value and IPB-1 test. The conclusion of this
research was that the measurement of pH value was not a sensitive method for detecting
sub-clinical mastitis.

Key words: sub-clinical mastitis, pH, somatic cell count, IPB-1 mastitis test

PENDAHULUAN ternak sapi perah, industri pengolah susu dan


konsumen (Sudarwanto, 1999; Fehlings &
Salah satu penghambat peningkatan Deneke, 2000).
produksi susu adalah penyakit yang dapat Mastitis merupakan peradangan yang
secara langsung maupun tidak langsung menu- bersifat kompleks dengan variasi penyebab,
runkan produksi. Penyakit radang ambing yang derajat keparahan, lama penyakit dan akibat
dikenal sebagai mastitis, merupakan masalah penyakit yang beragam. Mastitis subklinik
utama dalam tata laksana usaha peternakan adalah mastitis yang tidak menampakkan
sapi perah yang sangat merugikan, baik pe- perubahan fisik pada ambing dan susu yang
dihasilkan, tetapi menyebabkan penurunan
produksi susu, ditemukannya mikroorganisme
* Korepondensi: patogen dan terjadi perubahan komposisi susu.
Jl. Agatis Raya, Darmaga, Bogor, 16680 Kasus mastitis terutama mastitis sub-
e-mail: mwanto47@hotmail.com
klinik di Indonesia sampai akhir tahun 2006,

Edisi Agustus 2008 107


SUDARWANTO & SUDARNIKA Media Peternakan

tercatat sekitar 75%–83% (Sudarwanto et al., kelebihan, antara lain mudah digunakan, cepat,
2006). Kerugian ekonomis yang diakibatkan memiliki kepekaan (sensitivity) dan kekhasan
mastitis antara lain: a). Penurunan produksi (specificity) yang tinggi. Selain itu juga dapat
susu per kwartir per hari antara 9%–45,5% digunakan langsung di kandang oleh pemerah,
(Sudarwanto et al., 1993; Sudarwanto, 1999). tukang kandang, paramedis dan dokter hewan.
b). Penurunan kualitas susu yang mengaki- Parameter lain yang dapat digunakan
batkan penolakan susu mencapai 30%-40% untuk mendiagnosa mastitis subklinik adalah
(Sudarwanto, 1999) dan penurunan kualitas perubahan pH dan perubahan kandungan
hasil olahan susu (Hamman & Fehlings, 2002; elektrolit dalam susu (Kloppert et al., 1999).
Hamann 2004, 2005). c). Peningkatan biaya Umumnya pH susu segar berkisar antara 6,3
perawatan dan pengobatan serta pengafkiran – 6,75, sedangkan pH susu yang berasal dari
ternak lebih awal (Seegers et al. 2003; Shim et ambing penderita mastitis subklinik di atas
al., 2004). 6,75 (Wiesner, 1985; Wendt et al., 1998).
Tindakan pencegahan menjadi alternatif Beberapa pengecualian ditemukan, antara lain
terbaik dalam upaya penanggulangan penyakit apabila mikroorganisme penyebab mastitis
ini. Salah satu metode pencegahan yang efek- adalah Streptococcus agalactiae atau S. dysga-
tif, terutama untuk mastitis subklinik adalah lactiae, maka pH susu sedikit turun (Wiesner,
melalui pemeriksaan rutin setiap bulan pada 1985; Kielwein, 1994). Pemeriksaan pH susu
periode laktasi normal. Meningkatnya jumlah menggunakan kertas/kartu ambing (Udder
sel somatik (JSS) pada kasus mastitis subklinik Card) banyak digunakan di masa lalu. Dewasa
menjadi parameter penting untuk mendiagnosa ini penggunaannya agak jarang karena pada
mastitis (Sudarwanto, 1999). proses penyimpanan, indikator warna pada
Peradangan atau perlukaan pada ambing kartu tersebut seringkali berubah, sehingga
menyebabkan pelepasan sel somatik dalam pembacaan hasil pemeriksaan berdasarkan
susu. Secara kasar, 50% dari sapi-sapi yang perubahan warna meragukan, sementara indi-
memiliki JSS di atas 400.000 sel per mililiter kator warna pada kartu tersebut memiliki pH
dan 80% dari sapi dengan JSS di atas 600.000 di atas 6,5 – 6,7.
sel per mililiter menderita mastitis pada satu Metode Brabanter Mastitis test adalah
kwartir atau lebih (McQueen, 1980 dalam pemeriksaan mastitis subklinik berdasarkan
Sudarwanto et al., 2006). Penghitungan JSS perubahan pH, pada saat ini jarang digunakan
dipilih karena merupakan indikator terbaik ter- karena sensitivitas dan spesifisitasnya rendah
jadinya proses peradangan dalam kelenjar susu jika dibandingkan dengan pemeriksaan meng-
(Griffin et al., 1987; Walte & Ubben, 2005). gunakan perhitungan JSS dalam susu. Uji alko-
Jumlah sel somatik dalam susu dapat hol (70%) masih sering digunakan di Indonesia
dihitung secara langsung menggunakan bebe- untuk pemeriksaan mastitis subklinik. Prinsip
rapa metode dan alat, seperti metode Breed, uji alkohol adalah perubahan keasaman susu
alat Coulter Counter dan Fosomatic. Metode (pH) yang disebabkan terbentuknya asam
langsung biasa digunakan untuk studi ekspe- laktat sebagai akibat daya kerja bakteri asam
rimen dan observasi, sedangkan metode tidak laktat yang banyak ditemukan dalam susu yang
langsung biasa digunakan untuk survei dan pemerahannya dilakukan secara tidak higienis
program pengendalian mastitis (Redetzky et (Sudarwanto, 1999).
al., 2005). Beberapa metode tidak langsung Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
yang sering digunakan di lapang, adalah hubungan pH susu dengan jumlah sel somatik
California Mastitis test/CMT, Whiteside yang digunakan sebagai parameter mastitis
test/WST (Schalm et al., 1971) dan tes IPB-1 subklinik, baik menggunakan penghitungan se-
(Sudarwanto et al., 1993, 1994; Sudarwanto, cara langsung (metode Breed) maupun secara
1998). Metode tersebut dianggap mempunyai tidak langsung (tes IPB-1).

108 Edisi Agustus 2008


Vol. 31 No. 2 HUBUNGAN ANTARA

MATERI DAN METODE massa yang mengental) dan positif 3 (ditandai


dengan terbentuknya massa yang menyerupai
Penelitian ini menggunakan 200 sampel gelatin dan sulit digerakkan). Uji ini dapat di-
susu kwartir berasal dari sapi-sapi laktasi lakukan langsung di kandang atau di samping
di Kunak, Bogor dan peternakan sapi perah sapi.
di Kebon Pedes, Bogor. Pengujian terhadap Semua data yang diperoleh diolah dan
200 sampel susu dilakukan secara paralel dianalisa menggunakan uji asosiasi χ2, pengu-
dengan menghitung susu menggunakan pH kuran kesesuaian kappa. Pengukuran sensiti-
meter (TOA DKK: GST-2739C, S992 No. vitas dan spesifitas pH susu dilakukan dengan
206F0015), penghitungan jumlah sel somatik membandingkannya terhadap JSS sebagai uji
secara langsung menggunakan metode Breed baku (gold standard).
(Schalm et al., 1971) dan secara tidak langsung
menggunakan tes IPB-1 (Sudarwanto et al., HASIL DAN PEMBAHASAN
1993).
Perhitungan JSS dengan metode Breed Sejumlah 200 sampel kwartir diukur pH
dilakukan dengan mengambil 0,01 ml sampel dan dihitung JSS-nya secara langsung (metode
susu (menggunakan pipet Breed), disebarluas- Breed) dan secara tidak langsung (tes IPB-1).
kan di atas bidang 1 cm2 (di atas gelas objek Parameter yang dipakai dalam penentuan mas-
bebas lemak). Preparat ditunggu kering, lalu titis subklinik berdasarkan perhitungan JSS
difiksasi di atas nyala api. Selanjutnya diwarnai secara langsung yakni ≥ 400.000 sel/ml (IDF,
dengan pewarnaan Breed. Setelah dikeringkan, 1994 dalam Sudarwanto, 1999). Hasil pengu-
JSS/ml dapat dihitung dengan bantuan mikros- jian JSS terdapat pada Tabel 1.
kop dengan pembesaran 1000 x. Berdasarkan Tabel 1 di atas terlihat 145
Perhitungan JSS secara tidak langsung sampel (72,5%) dengan menggunakaan metode
dengan tes IPB menggunakan pereaksi IPB- tidak langsung (tes IPB-1) berasal dari kwartir
1 dan pedel. Pengujian dilakukan dengan menderita mastitis subklinik. Selanjutnya ada
cara mencampur sampel susu dan pereaksi 152 sampel (76%) dengan menggunakan meto-
IPB-1 dalam pedel dengan perbandingan 1:1. de Breed memiliki JSS di atas batas maksimum
Selanjutnya pedel digerakkan secara hor- JSS dalam SNI, 01-3141-1998, dan hanya 48
isontal selama 15–30 detik. Hasil pengujian sampel (24%) yang diperiksa memiliki JSS <
berupa: negatif (ditandai campuran sampel dan 400.000 sel/ml. Jumlah sel somatik < 400.000
pereaksi tetap homogen), positif 1 (ditandai sel/ml adalah indikasi di dalam suatu peter-
dengan timbulnya massa yang sedikit mengen- nakan yang menjalankan tata laksana dengan
tal), positif 2 (ditandai dengan terbentuknya baik, akan tetapi belum melaksanakan program

Tabel 1. Penentuan mastitis subklinik berdasarkan JSS (n=200)

JSS
IPB-1 + - Jumlah
(≥ 400.000 sel/ml) (< 400.000 sel/ml)
+ 144 (72%) 1 (27,5%) 145 (72,5%)
- 8 (76%) 47 (23,5%) 55 (27,5%)
Jumlah 152 (76%) 48 (24%)
Keterangan: χ2 = 157,075 (signifikan pada tingkat kepercayaan 95%)
Sensitivitas = 94,7%
Spesifisitas = 97,9%
Measure of agreement kappa = 0,883

Edisi Agustus 2008 109


SUDARWANTO & SUDARNIKA Media Peternakan

pengendalian mastitis yang baik. JSS >500.000 yang tidak higienis, sehingga terjadi pening-
sel/ml mengindikasikan bahwa 1/3 dari kwartir katan kontaminasi bakteri pemecah laktosa,
sapi-sapi dalam peternakan itu menderita mas- antara lain Streptococcus sp. dan Coliform.
titis subklinik (Foss Analytical A/S, 2002). Selanjutnya dijelaskan kenaikan pH susu segar
Tes IPB-1 menunjukkan hasil pengujian di atas 6,75, antara lain disebabkan oleh ternak
yang hampir sama dengan JSS (Breed) yang yang menderita penyakit, terutama radang
bisa dilihat dari nilai sensitivitasnya yang ambing (mastitis) dan kandungan protein yang
tinggi, yaitu sebesar 94,7% dan nilai spesifisi- sangat rendah. Sesuai dengan ketentuan yang
tasnya sebesar 97,9%. Sensitivitas menunjuk- dikemukakan oleh Wiesner (1985), dari hasil
kan kemampuan alat uji untuk menunjukkan pengukuran pH tersebut diduga 22% sampel
hasil positif pada sapi yang menderita mastitis yang diperiksa berasal dari kwartir yang men-
subklinik. Spesifisitas menunjukkan kemam- derita peradangan (mastitis subklinik).
puan alat uji untuk menunjukkan hasil yang Hasil penelitian Sudarwanto et al. (2006),
negatif pada sapi yang tidak menderita mastitis dari 100 contoh susu kandang yang diuji,
subklinik. Hasil uji kappa juga menunjukkan diperoleh 75% sampel memiliki nilai kisaran
nilai 0,883; yang artinya uji IPB-1 dan JSS me- pH 6,3 – 6,75. Kisaran ini merupakan nilai pH
miliki kesesuaian yang sangat baik. Thrusfield normal susu segar. Sisanya, 25% memiliki pH
(2006) memberi makna nilai kappa sebagai di luar kisaran tersebut (20% di bawah pH 6,3
berikut: ≥ 0,75 menunjukkan kesesuaian yang dan 5% di atas pH 6,75).
sangat baik dan ≤ 0,40 menunjukkan ketidak- Hubungan antara pH susu dengan JSS
sesuaian (lemah). Nilai uji kappa antara uji (metode Breed) terdapat pada Gambar 1 dan
IPB-1 terhadap gold standard-nya yaitu JSS 2, sedangkan sebaran datanya secara terperinci
(Breed) adalah 0,883 yang menunjukkan ada- terdapat pada Tabel 2. Sebagai parameter
nya kesesuaian hasil pengujian yang sangat digunakan JSS ≥ 400.000 sel/ml adalah positif
baik (hampir sempurna) antara kedua uji mastitis subklinik dan < 400.000 sel/ml adalah
tersebut. negatif. Gambar 1 menunjukkan bahwa sampel
Selanjutnya dari 200 sampel kwartir yang susu dinyatakan berasal dari kwartir yang men-
diukur pH-nya diperoleh 44 sampel (22%) derita mastitis subklinik berada pada rentangan
memiliki pH di atas 6,75 dan hanya 2 sampel pH 6,3 (6,25) sampai 7,2 (7,17). Gambar 2
(1%) memiliki pH di bawah 6,3 (6,25 dan memperlihatkan sebaran JSS (metode Breed)
6,28). Menurut Wiesner (1985), pH susu segar yang dihubungkan dengan pH susu. Sebagian
di bawah 6,3 menandakan penanganan susu besar sebaran terlihat pada pH 6,4 sampai

Tabel 2 Hubungan antara nilai pH terhadap JSS

JSS
pH + - Jumlah
(≥ 400.000 sel/ml) (< 400.000 sel/ml)
+
44 (22%) 2 (1%) 46 (23%)
(pH < 6,3 atau pH > 6,75)
-
108 (54%) 46 (23%) 154 (77%)
(6,3 ≤ pH ≤ 6,75)
Jumlah 152 (76%) 48 (24%) 200
Keterangan: χ2 = 12,649 (signifikan pada tingkat kepercayaan 95%)
Sensitivitas = 28,9%
Spesifisitas = 95,8%
Measure of Agreement Kappa = 0,141

110 Edisi Agustus 2008


Vol. 31 No. 2 HUBUNGAN ANTARA

2 105
100
95
Hasil uji (0=negatif, 1=positif)

Jumlah sel somatik (x 100,000)


90
85
80
75
70
65
60
1 55
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0 0
6,2 6,3 6,4 6,5 6,6 6,7 6,8 6,9 7 7,1 7,2 7,3 6,2 6,3 6,4 6,5 6,6 6,7 6,8 6,9 7 7,1 7,2 7,3
pH Susu pH

Gambar 1. Hubungan antara nilai pH susu dan JSS Gambar 2. Hubungan antara nilai pH susu dan JSS
(metode Breed) (metode Breed)

dengan 6,8 dengan jumlah sel somatik < tetapi sensitivitasnya rendah yaitu hanya 28,9%
400.000 sel/ml. Gambar 2 juga memperlihat- yang berarti bahwa kemampuan pengukuran
kan bahwa kasus mastitis subklinik ditemukan pH untuk menyatakan positif pada sapi pende-
pada kisaran pH 6,7 dan 7,1 dengan JSS ≥ rita mastitis subklinik hanya 28,9%. Hasil uji
400.000 sel/ml. Hal ini sesuai dengan pendapat kappa menunjukkan nilai 0,141 yang artinya
Wiesner (1985). kesesuaian nilai pH dengan JSS adalah sangat
Tabel 2 menampilkan sebaran data yang rendah (Thrusfield, 2006).
menunjukkan hubungan antara pH dengan Hubungan antara pH susu dan tes IPB-1
perhitungan JSS. Tampak bahwa dari persen- terdapat pada Gambar 3 dan 4. Gambar 3 me-
tase secara keseluruhan hasil pengujian kedua nunjukkan bahwa pH susu berkisar antara 6,3
metode jauh berbeda, yaitu mastitis subklinik dan 7,2 pada reaksi positif mastitis subklinik
76% dengan perhitungan JSS dan 24% dengan (tes IPB-1), sedangkan Gambar 4 memperli-
pengukuran pH. Meskipun pengukuran pH hatkan adanya kenaikan pH susu sesuai dengan
memiliki spesifisitas yang tinggi, yaitu 95,8%; kenaikan tingkat reaksi tes IPB-1 (positif 1,

2 4
Hasil uji (0=negatif; 1,2,3=positif)
Hasil uji (0=negatif, 1=positif)

1 2

0 0
6,2 6,4 6,6 6,8 7 7,2 7,4 6,2 6,3 6,4 6,5 6,6 6,7 6,8 6,9 7 7,1 7,2 7,3
pH Susu pH Susu

Gambar 3. Hubungan antara pH susu dan hasil pe- Gambar 4. Hubungan antara pH susu dan hasil pe-
ngujian IPB-1 ngujian IPB-1

Edisi Agustus 2008 111


SUDARWANTO & SUDARNIKA Media Peternakan

Tabel 3. Hubungan antara pH dan tes IPB-1 dalam menentukan mastitis subklinik

pH
Besaran Rentangan di
Tes IPB-1
sampel < 6,30 6,30 – 6,75 > 6,75 luar pH normal

Negatif 55 2 (1%)* 53 (26.5%) - *


6,25 – 6,28
Positif 1 51 - 47 (23.5%) 4 (2%)* *
6,76 – 6,79
Positif 2 49 - 36 (18%) 13 (6,5%)* *
6,76 – 7,06
Positif 3 45 - 18 (9%) 27 (13,5%)* *
6,79 – 7,17
Keterangan: χ2 = 53.390 (signifikan pada tingkat kepercayaan 95%)

2 dan 3). Tabel 3 memperlihatkan hubungan subklinik dengan menggunakan nilai pH ha-
antara pH dan tes IPB-1 dalam menentukan rus dilanjutkan dengan pemeriksaan mikrobio-
mastitis subklinik. logik, khususnya bila memperoleh nilai pH <
Tabel 3 memperlihatkan bahwa dari 6,30, untuk mengantisipasi kontaminasi bakteri
200 sampel yang diuji nilai pH dan tes IPB-1, patogen pemecah laktosa.
ternyata ada 44 sampel (22 %) yang memiliki
pH > 6,75 dan 2 sampel (1%) memiliki pH < DAFTAR PUSTAKA
6,3 (6,25 dan 6,28) dengan JSS masing-ma-
sing 360.000/ml dan 280.000/ml. Tabel 3 juga Foss Analytical A/S. 2002. Somatic Cell Counting
memperlihatkan adanya hubungan yang signifi- the Way to Control Mastitis and Improve
Dairy Product Quality. Foss Analytical A/S,
kan (χ2 = 53,390) antara tingkat reaksi positif Denmark.
pada tes IPB-1 (+, ++, +++) dengan nilai pH. Fehlings, K. & J. Deneke. 2000. Mastitis
Beberapa pustaka menyatakan bahwa nilai pH problematik in Betrieben mit Oekologischer
susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara Rinderhaltung. Tieraerztl Praxia (G) 28:
lain pakan, sanitasi lingkungan dan penyakit, 104-109.
Griffin, T.K., S.V. Morant & F.H. Dodd. 1987.
terutama radang ambing, serta nilai pH sangat Diagnosing infectious sub clinical mastitis
dipengaruhi intensitas radang (Wiesner, 1985; in surveys or large scale experiments. The
Wendt et al., 1998). analysis and interpretation of the results of
an international trial organized by the IDF
KESIMPULAN Mastitis Expert Group (A2). Bull.Int.Dairy
Fed. 211: 9-24.
Hamann, J. & K. Fehlings. 2002. Leitlinien zur
Pengujian mastistis subklinik dengan Bekaempfung der Mastitis des Rindes als
menggunakan nilai pH memiliki nilai sensitivi- Bestandsproben. 4. Auflage, DVG-Verlag,
tas 28,9% dan spesifisitas 95,8%, dengan nilai Giessen.
uji kappa sebesar 0,141. Hal ini menunjukkan Hamman, J. 2004. Nur gesunde Kuehe
bahwa pengujian mastitis subklinik meng- produzieren „gesunde“ Milch. DMZ 25:
36-39.
gunakan nilai pH memiliki sensitivitas yang Hamman, J. 2005. Diagnosis of mastitis and
rendah dan tingkat kesesuaian yang rendah indicators of milk quality. In: Proceeding
terhadap gold standard test (JSS) meskipun of IDF Congress on MASTITIS in Dairy
nilai spesifisitasnya tinggi. Production: Current knowledge and future
Ada hubungan yang erat antara kenaikan solutions. H. Hogeveen (Ed.). Wageningen
Academic Publishers, The Netherlands p.
nilai pH susu dengan tingkat reaksi positif
89-90.
menggunakan tes IPB-1. Makin tinggi nilai Kielwein, G. 1994. Leitfaden der Milchkunde und
pH semakin tinggi tingkat reaksi positif (tes Milchhygiene. Verlag Paul Parey, Berlin und
IPB-1). Penggunaan metode deteksi mastitis Hamburg.

112 Edisi Agustus 2008


Vol. 31 No. 2 HUBUNGAN ANTARA

Kloppert, B., R. Labohm., S. Postupka & W. Perbandingan beberapa uji mastitis subklinik
Wolter. 1999. Elektrische Leitfaehigkeit als dengan metode Breed sebagai uji baku untuk
Mastitisparameter-Einsatzmoglichkeiten, menentukan keterandalannya. Kongres XII
eigene Erfahrungen und Vergleich mit & Konferensi Ilmiah Nasional VI PDHI.
anderen Mastitisparameter. Vortrag Surabaya 21-23 Nopember 1994.
anlaesslich der DVG Tagung des Sudarwanto, M. 1998. Pereaksi IPB-1 sebagai
Arbeitkreises :Eutergesundheit“ Hannover. pereaksi alternatif untuk mendeteksi mastitis
Redetzky, R., J. Hamman, N. Th. Grabowsky subklinik. Media Veteriner Vol. 5, No. 1.
& G. Klein. 2005. Diagnostic value of the Sudarwanto, M. 1999. Usaha peningkatan
California Mastitis Test in comparison to produksi susu melalui program pengendalian
electronically counted somatic cell in bovine mastitis subklinik. Orasi Ilmiah, 22 Mei
milk. In: Proceeding of IDF Congress on 1999.
MASTITIS in Dairy Production: Current Sudarwanto, M., H. Latif & M. Noordin. 2006.
knowledge and future solutions. H. Hogeveen The relationship of the somatic cell counting
(Ed.). Wageningen Academic Publishers, The to sub-clinical mastitis and to improve milk
Netherlands p. 487-494. Quality. 1st International AAVS Scientific
Schalm, O. W., E. J. Carroll & N. C. Jain. Conference. Jakarta, July 12-13, 2006.
1971. Bovine Mastitis. Lea & Febiger, Thrusfield M. 2006. Veterinary Epidemiology 3rd
Philadelphia. edition. Blackwell Publishing, Oxford.
Seegers, H., C. Fourichon & F. Beaudeau. 2003. Walte, H-G. & E. H. Ubben. 2005. Counting of
Production effects related to mastitis and somatic cells: Results of an inter-comparison
mastitis economics in dairy cattle herds. Vet. study. In: Proceeding of IDF Congress on
Res. 34: 475-491. MASTITIS in Dairy Production: Current
Shim, E. H., R. D. Shanks & D. E. Morin. 2004. knowledge and future solutions. H. Hogeveen
Milk loss and treatment costs associated (Ed.). Wageningen Academic Publishers, The
with two treatment protocols for clinical Netherlands p. 909-913.
mastitis in dairy cows. J. Dairy Science 87: Wendt, K., K-H. Lottheimer, K. Fehlings & M.
2702-2708. Spohr. 1998. Handbuch Mastitis Kamlage
Sudarwanto, M., C. S. Leksmono, D. W. Lukman Verlag. GmbH & Co., 49082 Osnabruck.
& M. Fahrudin. 1993. Pengembangan Wiesner, H.U. 1985. Anleitung zur Untersuchung
metode dan pereaksi untuk deteksi mastitis und Beurteilung von Milch sowie
subklinik. Seminar Hasil Penelitian PAU Biotechnik des maschinellen Milchentzuges.
Biotek IPB – Bogor, 11 Desember 1993. Zentrumsabteilung Fuer Hygiene und
Sudarwanto, M., C. S. Leksmono, M. Fahrudin, Technologie Der Milch Der Tieraerztlichen
D.W. Lukman & E. Sudarnika. 1994. Hochschule Hannover.

Edisi Agustus 2008 113

You might also like