You are on page 1of 11

14

ISLAM PROGRESIF KOMTEMPORER:


Telaah Pemikiran Abdullah Saeed
Ahmad Suyuthi 1

Abstract: In the 150 to 200 years mankind has tremendous changes, powerful changes are
partly linked to globalization, advances in science and technology, this incredible impact and
change patterns of thinking and religious views (religious worldview) within the Muslim
community. Looking at the problem of Islam is made Abdullah Saaed formulate how to cultivate
the spirit of Islamic teaching is always relevant to every age and place, this kind of spirit called
progressive Islam. The method used is called the progressive ijtihadi. By Abdullah Saeed, there
are 6 (six) group of Muslim thinkers of this era, which the pattern of religious thought and the
epistemology are different: (1) The Legalist-Traditionalist. (2) The Theological Purintans. (3)
The Political Islamists. (4) The Islamist extremists. (5) The Secular Muslims. And (6) The
Progressive Ijtihadis. The contemporary Muslim thinkers who have a mastery of classical
Islamic treasures (classical period) is sufficient, and attempt to reinterpret the religious
comprehension (through ijtihad) using the methodology of modern science (science, social
sicences and humanisties) in order to answer the needs of Muslim contemporary communities.
In the latter category, progessif Muslim position is located.
Keywords: Progressive Islam, progressive ijtihadi.

Pendahuluan
Tragedi 11 September 2001,2 bom Bali 2002, bom Marriot 2003, serta bom di depan
Kedutaan Besar Australia 2004, secara tidak langsung menyebabkan wajah Islam banyak
tercoreng oleh kelakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. sosok seperti Osama
bin Laden, Amrozi, dan Imam Samudra yang mengaku sebagai Muslim dan yang menjadi
idola di sebagian kaum Muslimin, secara tidak langsung meneguhkan prasangka itu. Belum
lagi, semarak kehadiran Islam militan seperti Front Pembela Islam FPI), Laskar Jihad, Laskar
Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan lainnya, semakin menambah beban wajah Islam sebagai
agama yang toleran dan terbuka.
Islam menolak segala bentuk kekerasan, mencintai perdamaian dan keadilan, dan
mengajarkan nilai-nilai keutamaan, yakni menghormati kehidupan dan martabat manusia.3

1 Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya Dpk pada Universitas Islam Lamongan.
2 Tragedi 11 September menarik perhatian para intelektual baik dari kalangan Muslim maupun non
Muslim. Banyak tulisan tersebar yang mengecam tragedi itu dan menganalisis dampak-dampak yang
tidak diinginkan bagi komunitas Muslim minoritas yang tinggal di Barat. Salah satu buku yang
diterbitkan dalam semangat itu adalah kumpulan tulisan yang diedit oleh Ian Markham dan Ibrahim
M.Abu-Rabi. Lihat Ian Markham dan Ibrahim M.Abu-Rabi’, 11 September Religious Perspectives on the
causes and consequences. (Oxford:Oneworld, 2002).
3 Pernyataan itu merupakan salah satu poin “Deklarasi Jakarta 2001” yang merupakan hasil Summit

of World Muslim Leaders, yang dibacakan oleh Mucha-Shim Q Arquisa dari Asian Muslim Action
Network, Manila, Filipina. Konferensi berlangsung di Jakarta 21-22 Desember 2001, dengan 180
peserta dari 50 negara. Deklarasi itu terdiri dari tiga butir. Religion and spirituality; civic responsibility in
political society; dan, interfaith, intercultural, and international relations. Deklarasi itu agaknya ingin
menunjukkan, Islam adalah agama moderat yang cinta damai, anti-kekerasan, dan tidak anti-
kemajuan. ditegaskan dalam konferensi itu. Kata Moderat banyak disamakan dengan kata-kata
seperti modernis, reformis, dan progresif, bahkan ada yang menyamakannya dengan Islam Liberal.

AKADEMIKA, Volume 6, Nomor 1, Juni 2012


15

Hampir semua intelektual Muslim yang ada di Barat berupaya menolak penggambaran
wajah buram Islam dan berupaya menyebarkan Islam sebagai agama yang menekankan
prinsip kasih sayang, keadilan, demokrasi dan kesetaraan, Salah satu tokoh yang ikut
menyuarakan keindahan Islam dan menentang dengan sengit segala bentuk radikalisme,
ekstermisme, dan terorisme atas nama Islam adalah Abdullah Saeed.
Dalam 150 sampai 200 tahun terakhir ini umat manusia mengalami perubahan yang
luar biasa. Menurut Abdullah Saeed Perubahan dahsyat tersebut antara lain terkait dengan
globalisasi, migrasi penduduk, kemajuan sains dan teknologi, eksplorasi ruang angkasa, penemuan-
penemuan arkeologis, evolusi dan genetika, pendidikan umum dan tingkat literasi. Diatas itu semua
adalah bertambahnya pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya harkat dan martabat
manusia (human dignity), perjumpaan yang lebih dekat antar umat beragama (greater inter-
faith interaction), munculnya konsep negara-bangsa yang berdampak pada keseteraan dan
perlakuan yang sama kepada semua warga negara (equal citizenship), belum lagi kesetaraan
gender dan begitu seterusnya. Perubahan sosial yang dahsyat tersebut berdampak luar
biasa dan mengubah pola berpikir dan pandangan keagamaan (religious worldview) baik di
lingkungan umat Islam maupun umat beragama yang lain.4
Islam agama yang membawa kemajuan. Sebagaimana manusia, melalui akalnya yang
diberkahi kemampuan untuk terus bergerak dan berkembang secara dinamis. Pun Islam
bukanlah agama statis yang senantiasa memberi tempat pada kejumudan. Abad modern
merupakan abad yang mensyaratkan sikap terbuka pada perubahan bagi setiap individu
yang hidup dizamannya, tidak terkecuali masyarakat muslim. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang mengglobal dan tanpa ada batas wilayah serta budaya,
maka masyarakat muslim tidak lagi berhenti pada wacana modernitas itu perlu atau tidak,
tetapi memikirkan cara mengisi kemajuan zaman dengan perubahan-perubahan yang
konstruktif sesuai dengan identitas diri, identitas bangsa, dan kebutuhan masyarakat
muslim.
Memasuki era modern, umat Islam mulai bersentuhan dengan perkembangan baru
dalam berbagai aspek kehidupan, seperti rasionalisme dan nasionalisme, dan perubahan
sosial budaya. Anomali semakin terasa ketika umat Islam memasuki era globaliasasi dan
informasi yang membawa berbagai gagasan seperti demokrasi, pluralisme, dan HAM.
Dalam lingkungan masyarakat global ini, umat Islam tidak bisa lagi hidup ekslusif,
monolitis, dan diskriminatif. Ajaran Islam yang dibangun atas dasar epistemologi era klasik
(teosentris, negara teologis, homogen, ekslusif) tentu banyak menghadapi persoalan ketika

Istilah tersebut secara luas digunakan dalam diskursus pemikiran Islam. Khaleed Abou el-Fadhl lebih
cenderung menggunakan istilah moderat, meskipun dalam buku progressive Moslems; on Justice,
Gender and Pluralisme ia dimasukkan ke dalam kubu muslim progresif. Ia bahkan menyumbang
sebuah tulisan dalam buku itu. Muslim moderat ”didefinisikan oleh Khaleed sebagai; Orang-orang
yang yakin pada Islam sebagai keyakinan yang benar, yang mengamalkan dan mengimani lima
rukun Islam, menerima warisan tradisi Islam, namun sekaligus memodifikasi aspek-aspek tertentu
darinya demi mewujudkan tujuan-tujuan moral utama dari keyakinan itu di era modern. Lihat
Khaleed Abou el-Fadhl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Terj. Helmi Mustafa, Edisi I, (Jakarta:
Serambi; 2007), 130.
4 lihat M. Amin Abdullah, Reaktualisasi Islam yang Berkemajuan, Agenda Strategi Muhammadiyah ditengah

Gerakan Keagamaan Kontemporer, Makalah disampaikan dalam Pengajian Ramadlan PP


Muhammadiyah 1432H di UM Yogyakarta, 5 Agustus 2011, 1. Lihat juga Abdullah Saeed, Interpretig
the Qur’an: Towards a contemporary approach, (New York: Routledge, 2006), 2.

AKADEMIKA, Volume 6, Nomor 1, Juni 2012


16

dihadapkan pada kasus atau gagasan baru yang dibangun atas dasar epistemologi modern.
Apalagi saat pemikiran tersebut lebih didominasi pola pikir pragmatis yang tegak di atas
fondasi positivisme yang anti metafisis. Di sini nilai-nilai ajaran Islam ditantang untuk
memberikan solusi yang logis-rasional namun tetap orisinal, sehingga Islam tidak dituding
sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, teror dan diskriminatif.
Kebangkitan Islam di abad ke-19 hingga 21 adalah sebuah fenomena global. Seiring
dengan adanya interaksi dengan peradaban Barat, umat Islam menyadari ketebelakangan
peradabannya dibandingkan Barat. Modernisasi pada awalnya merupakan gerakan yang
pertama kali muncul di Barat5, terutama melalui industrialisasi, kemudian banyak ditiru di
negara-negara Islam setelah mengalami masa kemunduran.
Islam secara normatif dan empirik adalah agama yang selalu memandang postif setiap
usaha-usaha untuk kemajuan, sehingga pada masa awal keberadaannya, Islam berhasil
membumikan pandangan yang modern tentang dunia dan nilai-nilai kemanusiaan, di saat
Barat tenggelam dalam alam kegelapannya dalam waktu yang lama. Abdullah Saeed adalah
salah satu pemikir kontemporer yang memilik perhatian besar untuk menjembani antara
Islam dan Barat.
Kegelisahan akademik Abdullah Saaed melihat problematika Islam di era modernitas
tersebut maka Abdullah Saeed merumuskan dan menumbuhkan spirit agar ajaran Islam
senantiasa relevan disetiap zaman dan tempat, dalam paham minoritas Muslim yang tinggal
di negara Barat. Spirit semacam ini disebut dengan Islam progressif.6 Metode yang digunakan
disebut dengan istilah progressive ijtihadi. Dan Islam Progresif sangat signifikan untuk
diwacanakan dan dibumikan.

Biografi Abdullah Saeed


Abdullah Seed adalah Direktur pada Asia Institute, University of Melbourne, Direktur
Centre for the Study of Contemporary Islam, University of Melbourne, Sultan of Oman
Professor of Arab and Islamic Studies, University of Melbourne, Adjunct Professor pada
Faculty of Law, University of Melbourne. Riwayat pendidikan Abdullah Saeed adalah
sebagai berikut: Arabic Language Study, Institute of Arabic Language, Sudi Arabia, 1977-79,

5 Kendatipun modernisasi pertamakali muncul di Barat, namun dalam melakukan modernisasi di


negara Islam banyak melakukan modifikasi-modifikasi disesuaikan dengan lingkungannya, sebagian
mereka melakukan dengan cara westernisasi, akan tetapi sebagian yang lain tidak setuju dengan
westernisasi. Bahkan dalam perjalanan sejarah umat Islam, westernisasi ini mendapatkan banyak
tantangan, bahkan ditolak, oleh mayoritas umat Islam. lihat Yunan Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran
dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam (Jakarta: LSIK, 1996), 3. Nurcholish Madjid, Tradisi Islam,
Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1997), 79. Ada beberapa hal
yang telah mengakibatkan mengapa sebagian masyarakat Islam melakukan modernisasi dengan
mencontoh Barat ini. Pertama, arah modernisasi merupakan proses membuat up to date atau
kontemporer, dalam artian bahwa modernisasi dirasa penting untuk merubah tatanan masyarakat
yang tradisional kemodern. Kedua, modernisasi secara implikatif cenderung merupakan sebuah
proses yang didalamnya terkandung pengikisan terhadap tradisi lama dan kemudian menyuguhkan
pola-pola baru yang disebut dengan pola modern yang ilmiah. Pandoyo, Sekularisasi dalam Polemik
(Jakarta: Pusataka Utama Grafiti, 1993), 40. Lihat juga Bustami Muhammad Sa'id, Gerakan Pembaruan
Agama: antara Modernisasi dan Tajdiduddin (Jakarta: Wacana Lazuardi Amanah, 1995), 323.
6 Gerakan Islam Progresif telah dilembagakan dan di-“proklamirkan” untuk pertama kalinya oleh

para intelektual dan aktivis Muslim yang hidup di Amerika Utara pada tanggal 15 November 2004
dengan nama Progressive Muslim Union (PMU; Persatuan Muslim Progresif). Mereka yang tergabung
dalam organisasi ini memiliki keahlian keilmuan yang beragam.

AKADEMIKA, Volume 6, Nomor 1, Juni 2012


17

High School Certificate, Secondary Institute, Sudi Arabia, 1979-82, Bachelor of Arts, Arabia
literature and Islamic Studies, Islamic University, Sudi Arabia, 1982-86, Master of Arts
Preliminary, Middle Eastern Studies, University of Melbourne, Australia, Master of Arts,
Applied Lingustics, University of Melbourne, Australia (1992-94), Doctor of Pholosophy,
Islamic Studies, University of Melbourne, Australia (1988-1992).
Karya tulis baik yang berupa buku, makalah ataupun tulisan lepas banyak sekali
dalam berbagai bidang yang bervariasi. Kecenderungan tema yang ditulis adalah tentang
Islam dan Barat, al-Qur’an, dan tafsir, serta tentang Tren Kontemporer Dunia Islam
termasuk ekonomi Islam dan Jihad/Terorisme. karyanya, di antaranya; Interpreting the
Qur’an: Toward a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006); “Muslims in the West
and their Attitudes to Full Participating in Western Societies: Some Reflections” dalam
Geoffrey Levey (ed). Religion and Multicultural Citizenship (Cambridge: Cambridge University
Press, 2006); ”Muslims in the West Choose Between Isolationism and Participation” dalam
Sang Seng vol 16. Seoul: Asia-Pasific Centre for Education and International
Understamding/UNESCO, 2006); “Jihad and Violence: Changing Understanding of Jihad
among Muslims” dalam Tony Coady and Michael O’Keefe (eds). Terrorism and Violence
(Melbourne: Melbourne University Press, 2002); dan risetny6a yang berjudul Reconfiguration
of Islam among Muslims in Australia (2004-2006).7
Abdullah Saeed8 adalah cendekiawan yang berlatar belakang pendidikan bahasa dan
sastra Arab serta studi Timur Tengah yang sangat baik. Kombinasi institusi pendidikan yang
diikuti, yaitu pendidikan di Saudi Arabia dan Australia menjadikanya kompeten untuk
menilai dua dunia, Barat dan Timur, secara obyektif. Abdullah Saeed sangat concern dengan
dunia Islam kontemporer. Pada dirinya ada spirit bagaimana ajaran-ajaran Islam itu bisa
shalih li kulli zaman wa makan, dalam minoritas Muslim yang tinggal di negara Barat. Spirit
semacam inilah yang ia sebut dengan Islam progressif, subyeknya dikenal dengan Muslim
Progressif, upaya untuk mengaktifkan kembali dimensi progressifitas Islam yang dalam
kurun waktu yang cukup lama mati suri ditindas oleh dominasi teks yang dibaca secara
literer tanpa pemahaman kontekstual. Metode berfikir yang digunakan oleh muslim
progresif inilah yang disebutnya dengan istilah progressive ijtihadi.

Islam Progressif

7 Mawardi, Ahmad Imam. Islam Progresif dan Ijtihadi Progresif dalam Pandangan Abdullah Saeed, Protret
Kegelisahan Islam Menghadapi Modernitas, dalam dalam Abdul Basith Junaidi dkk, Islam dalam berbagai
Pebacaan Kontemorer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 530-532.
8 Abdullah Saeed Pemikir Kontemporer dari Australia, hidup di tengah-tengah era kontemporer dan

tengah-tengah arus deras era perubahan sosial yang mengglobal, menguasai khazanah intelektual
Islam klasik-tengah-modern-posmodern dan mempunyai basis pendidikan Islam di Timur Tengah,
mewakili suara intelektual minoritas Muslim yang hidup di dunia baru, di wilayah mayoritas non-
Muslim. Dunia baru tempat mereka tinggal dan hidup sehari-hari bekerja, berpikir, melakukan
penelitian, berkontemplasi, berkomunitas, bergaul, berinteraksi, berperilaku, bertindak, mengambil
keputusan. Mereka hidup ditempat yang sama sekali berbeda dari tempat mayoritas Muslim
dimanapun mereka berada. Mengalami sendiri bagaimana mereka harus berpikir, mencari
penghidupan, berijtihad, berinteraksi dengan negara dan warga setempat, bertindak dan berperilaku
dalam dunia global, tanpa harus menunggu petunjuk dan fatwa-fatwa keagamaan dari dunia
mayoritas Muslim. pemikir, penulis, dan peneliti tersebut yang mempunyai kemampuan untuk
mendialogkan dan mempertautkan antara paradigma Ulum al-Din, al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat
Islamiyyah kontemporer dengan baik. lihat M. Amin Abdullah, Reaktualisasi Islam yang Berkemajuan, 6.

AKADEMIKA, Volume 6, Nomor 1, Juni 2012


18

Istilah “Islam Progresif”9 (Progressive Islam) merupakan istilah baru dalam kajian Islam
kontemporer yang digunakan oleh para akademisi dan aktivis sejak beberapa tahun ini
untuk memberikan label kepada pemahaman-pemahaman dan aksi-aksi umat Islam yang
memperjuangkan penegakan nilai-nilai humanis, seperti pengembangan civil society,
demokrasi, keadilan, kesetaraan jender, pembelaan terhadap kaum tertindas dan pluralisme.
Di satu sisi pandangan dan aksi Islam Progresif, menurut Omid Safi, merupakan kelanjutan
dan kepanjangan dari gerakan Islam Liberal yang muncul sejak kurang lebih seratus lima
puluh tahun yang lalu. Namun, di sisi lain ia muncul sebagai bentuk ungkapan
ketidakpuasan terhadap gerakan Islam Liberal yang lebih menekankan pada kitik-kritik
internal terhadap pandangan dan prilaku umat Islam yang tidak atau kurang sesuai dengan
nilai-nilai humanis. Sementara itu, kiritik terhadap modernitas, kolonialisme dan
imprialisme justru tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari gerakan Islam Liberal. 10
Kenyataan inilah yang memberikan inspirasi terhadap munculnya pemahaman dan
aksi Islam Progresif, yang memberikan perhatian yang seimbang antara kritik internal dan
kritik eksternal. Kritik internal terhadap tradisi pemikiran sebagian umat Islam yang tidak
menitikberatkan pada aspek-aspek kehidupan humanis memposisikan gerakan Islam
Progresif pada gerakan modernis, namun pada waktu yang bersamaan ia juga merupakan
gerakan “postmodernis”, karena ia juga bersikap kritis terhadap modernitas yang
bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sejati dan kemanusiaan. Cara pandang, kritis dan
aksi Islam Progresif semuanya hendaknya berorientasi kepada kemajuan. Atas dasar inilah
ia disebut dengan istilah ‘progresif’.11
Menurut Abdullah Saeed, ada 6 (enam) kelompok pemikir Muslim era sekarang, yang
corak pemikiran keagamaan berikut epistimologinya berbeda: (1) The Legalist-traditionalist
(Hukum (fiqh) Tradisional). yang titik tekannya ada pada hukum-hukum fiqh yang
ditafsairkan dan dikembangkan oleh para ulama periode pra modern; (2) The Theological
Purintans (Teologi Islam Puritan).12 yang fokus pemikirannya ada pada dimesi etika dan

9 Islam progresif adalah Islam yang menawarkan sebuah kontekstualisasi penafsiran Islam yang
terbuka, ramah, segar, serta responsif terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Hal ini tentu
berbeda dengan Islam militan dan ekstrimis yang tetap berusaha menghadirkan wacana penafsiran
masa lalu serta menutup diri terhadap ide-ide baru yang berasal dari luar kelompoknya. Bahkan,
seringkali untuk meneguhkan keyakinannya, mereka bertindak dengan mengklaim diri sebagai
pemilik otoritas kebenaran untuk bertindak secara otoriter terhadap paham dan agama lain. Lihat
dalam M. Nur Khalis Setiawan, Akar-akar Pemikiran Islam Progresif dalam Kajian al-Qur’an, (Yogyakarta,
elSAQ Press, 2008).
10 Lihat Omid Safi “What is Progressive Islam,” dalam The International Institute for the Study of Islam in

the Modern World (ISIM) News Letter, No. 13, Desember 2003:1
11 Farish A. Noor. Islam Progresif: Peluang, Tantangan, das Masa Depannya di Asia Tenggara. (Yogyakarta:

SAMHA, 2006), 23
12 Puritan menurut Khaleed Abou El-Fadhl merupakan lawan konsep modern. Pemakaian istilah

tersebut untuk melabeli kaum yang radikal dan ekstrem berbaju agama, menurutunya lebih tepat
daripada istilah fundamentalis, militant ekstrimis, radikal, fanatic, jahidis, ataupun islamis. Khaleed
cenderung menggunakan istilah puritan untuk menggambarkan gerakan di atas. Alasannya, menurut
Khaleed, ciri khas pemikiran mereka itu menganut absolutisme dan menuntut adanya kejelasan
dalam menafsir teks, bukan watak fanatik, radikal atau ekstremis, Gerakan yang disebut puritan itu,
menurut Khaleed, bisa dilacak konteks historisnya pada 1970an, yang dalam tahun itu, umat Islam
menyaksikan kebangkitan Islam yang mengambil bentuk gerakan puritan berorientasi-kekuasaan
yang menyerukan kembali kepada identitas Islam otentik melalui penerapan syari’at Islam. Khaleed
Abou el-Fadhl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Terj. Helmi Mustafa, Edisi I, (Jakarta: Serambi;

AKADEMIKA, Volume 6, Nomor 1, Juni 2012


19

doktrin Islam; (3) The Political Islamist (Politik Islam). yang kecendurungan pemikirannya
adalah pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam; (4) The
Islamist Extremists (Islam Garis Keras) yang memiliki kecenderungan menggunakan
kekerasan untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan,
baik muslim ataupun non-Muslim; (5) The Secular Muslims (Muslim Sekuler). yang
beranggapan bahwa agama merupakan urusan pribadi (private matter); dan (6) The
Progressive Ijtihadis (Muslim Progressif-ijtihadi). yaitu para pemikir muslim kontemporer
yang mempunyai penguasaan khazanah Islam klasik (clasical period) yang cukup, dan
berupaya menafsir ulang pemahaman agama (lewat ijtihad) dengan menggunakan perangkat
metodologi ilmu-ilmu modern (sains, social sicences dan humanisties) agar dapat menjawab
kebutuhan masyarakat muslim kontemporer. Pada katagori yang terakhir inilah posisi
Muslim progessif berada. 13
Secara sederhana, Islam Progresif adalah Islam yang menawarkan sebuah
kontekstualisasi penafsiran Islam yang terbuka, ramah, segar, serta responsif terhadap
persoalan-persoalan kemanusiaan. Hal ini tentu berbeda dengan Islam militan dan ekstrimis
yang tetap berusaha menghadirkan wacana penafsiran masa lalu serta menutup diri
terhadap ide-ide baru yang berasal dari luar kelompoknya. Bahkan, seringkali untuk
meneguhkan keyakinannya, mereka bertindak dengan mengklaim diri sebagai pemilik
otoritas kebenaran untuk bertindak secara otoriter terhadap paham dan agama lain.
Menurut Omid Safi, Islam Progresif menawarkan sebuah metode ber-Islam yang
menekankan pada terciptanya keadilan sosial, kesetaraan gender, dan pluralisme
keagamaan.14 Maka, seorang Muslim yang progresif haruslah mau untuk berjuang untuk
menegakkan keadilan sosial di muka bumi ini. Perjuangan itu bisa berwujud pada advokasi
hak-hak orang yang termarjinalisasi, orang yang tertindas, orang yang terkena polusi
lingkungan, serta orang yang ''yatim''secara sosial dan politik.15
Oleh karenanya, untuk menjembatani jurang wacana antara masyarakat bawah
(grassroots) dan masyarakat kelas menengah dan atas (the middle and high class)itu, perlu
adanya sebuah keterlibatan sosial. Keterlibatan ini sangat penting untuk mensinergikan visi
tentang keadilan sosial dan perdamaian dengan transformasi jiwa untuk membentuk
komunitas sosial yang berkeadilan. mereka dapat bersinergi untuk mengkampanyekan
wajah Islam yang ramah, terbuka, dan anti kekerasan. Dengan wajah Islam yang seperti
itulah, maka umat agama lain dapat merasa aman dan umat Islam sendiri dapat
memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kemajuan bangsa dan dunia. Wacana
Islam yang terbuka terhadap ide-ide segar seperti HAM, keadilan gender pluralisme,

2007), 30-31. Sebelumnya benih-benih awal gerakan yang berorientasi puritan dapat dilacak pula
akarnya pada golongan Khawarij, bekas pengikut ‘Ali bin Abî Tâlib, yang pada abad pertama Islam
telah banyak membunuh orang Islam dan non Muslim dan bertanggung jawab dalam menghabisi
nyawa ‘Ali bin Abî bin Tâlib sendiri. Setelah terlibat dalam pertumpahan darah yang panjang dan sia-
sia, sisa-sisa kaum khawarij masih dijumpai sedikit di Oman dan al-Jazair, tetapi mereka sudah
berubah menjadi moderat, bahkan pasifis (suka damai), lihat Khaleed Abou el-Fadhl, The Place of
Tolenrance in Islam. (Boston: Beacon Press. 2002), 6.
13 Abdullah Saeed, Islamic Thought An Introduction (London and New York: Routledge, 2006), 142-150.
14 Omid Safi, (ed) “Introduction,” dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism (Oxford:

Oneworld, 2003), 2
15 Lihat dalam M. Nur Khalis Setiawan, Akar-akar Pemikiran Islam Progresif dalam Kajian al-Qur’an,

(Yogyakarta, elSAQ Press, 2008). 38

AKADEMIKA, Volume 6, Nomor 1, Juni 2012


20

demokrasi, serta keadilan sosial, sangat relevan dengan masyarakat Indonesia yang pada
dasarnya sangat terbuka dan menginginkan kehidupan yang adil, aman, dan sejahtera.

Metode Progressif-Ijtihadis Perspektif Abdullah Saeed


Terdapat pertanyaan besar yang ingin dicarikan jawabannya terhadap kondisi ummat
Islam beberapa abad belakangan. Pertanyaan itu ialah limadza taakhkhor al muslimun wa
taqaddama ghairuhum? (mengapa ummat Islam terbelakang dan yang selain Islam (Barat)
maju?). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemuduran ummat Islam salah
satunya ialah isu pintu ijtihad16 tertutup.
Menurut Thariq Ramadan17 untuk dunia Islam dalam merespon zaman modern, perlu
sedemikian kuat memberikan pembacaan ulang terhadap Islam. Hal tersebut dilakukan
secara sadar dan bertanggung jawab, tidak mengajak kaum muslim untuk melakukan
adaptasi buta dengan sistem modern yang sedang mendominasi sekarang, melainkan
melakukan interprestasi ulang dari internal kaum muslim terhadap bangunan keyakinannya
dalam melihat dunia dewasa ini, serta keluar dari tembok yang memisahkan muslim dari
dunia luarnya. Oleh karena itu, salah satu terma penting dalam Islam, yang kemudian harus
dilakukan pembacaan ulang untuk menjawab tantangan modernitas adalah Syariah. ia
dengan tegas mengatakan bahwa Syariah, yang berasal dari dua sumber yang absolut; Al
Quran dan Sunnah, harus dibedakan dengan Fikh; yang merupakan kodifikasi hukum oleh
para sarjana. Disini kemudian untuk memahami kedua sumber itu harus adanya ijtihad,
yang dianggap sebagai sumber ke tiga, setelah Quran dan Sunnah. Dan baginya, memaknai
syariah bukanlah sebagai kumpulan larangan, melainkan sebagai pemberi kebebasan bagi
manusia, bukan malah menjadi sebaliknya.18
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, menuntut para
ulama Islam untuk melakukan upaya rekonstruksi terhadap khasanah hukum Islam secara

16 Kata ijtihad berasal dari kata jahada, kata ini beserta derivasinya berarti “pencurahan segala
kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai urusan.” Perkataan ini menunjukkan pekerjaan
yang sulit dilakukan atau lebih dari biasa. Secara ringkas, ijtihad berarti sungguh-sungguh atau kerja
keras untuk mendapatkan sesuatu. Lihat Muhammad Musa Towana, al-Ijtihad: Madha Hajatina Ilaihi fi
Hadha al-‘Asr. (Dar al-Kutub al-Hadithah),97. Pencurahan segala kemampuan secara maksimal untuk
memperoleh suatu hukum Syara’ yang amali melalui penggunaan sumber syara’ yang diakui. Lihat
Al-Amidi al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. (Kairo: Muassasah al-Halabi, juz 3), 204. Ijtihad adalah pengerahan
segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang
hukum-hukum syara. Lihat Muhammad Khudari Bik, Usul al-Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr), 367. Menurut
Fazlur Rahman, ijtihad refers to the striving of the jurists to the point of mental exhaustion to derive principle
and rules of law from evidence found in the sacred texts of sources. Fazlur Rahman, Post Formative
Developments in Islam. (Karachi: Islamic Studies), 12.
17 Tariq Ramadan dilahirkan di Jenewa, Swiss tahun 1962. Dia menamatkan Ph.D Kajian Arab dan

Islamic Studies di Geneva University. Selain itu, juga mengikuti kajian-kajian singkat tentang Islam
klasik di Al Azhar University. Pengajar di Departement Teologi Oxford University dan aktif
melakukan kampanye tentang perlunya dialog antar agama dan peradaban dan mengajar topik-topik
penting tentang Islam, keadilan sosial, filsafat dan etika. memiliki beberapa karya penting yang
sangat mempengaruhi dunia intelektual di Barat, terutama dalam isu-isu Islam, Barat dan
Modernitas. Beberapa di antaranya; The Quest for Meaning: Developing a Philosophy of Pluralism, What I
believe, Radical Reform, Islamic Ethics and Liberation.
http://www.tariqramadan.com/biography,11.html, di akses pada tanggal 20 Nopember 2011.
18 Thariq Ramadan, Menjadi Modern Bersama Islam; Islam, Barat, dan Tantangan Modernitas, (Jakarta

Teraju, 2003), 55-57.

AKADEMIKA, Volume 6, Nomor 1, Juni 2012


21

inovatif. Termasuk yang cukup urgen, adalah upaya para ulama tersebut untuk secara terus
menerus melakukan ijtihad secara benar dan dapat dipertanggung-jawabkan.19
Suatu hal yang berlebihan terhadap realita di era modern ini, bila dikatakan bahwa
buku-buku karya ulama terdahulu sudah cukup memadai untuk memberikan jawaban
terhadap setiap persoalan baru yang muncul. Padahal setiap zaman itu memiliki
problematika sendiri, dan berbagai kebutuhan yang senantiasa muncul. Apalagi bumi
senantiasa berputar, semua cakrawalapun bergerak, dunia tetap berjalan dan jarum jam
tidak pernah berhenti.
Dengan demikian, kebutuhan kita terhadap ijtihad merupakan kebutuhan yang bersifat
kontinyu, dimana realita kehidupan ini senantiasa berubah, begitupun kondisi
masyarakatnya yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Terutama pada masa
seperti sekarang ini, kita sangat memerlukan ijtihad melebihi masa-masa sebelumnya,
mengingat telah terjadi perbahan cukup besar dalam corak kehidupan masyarakat di era
modernisasi ini, setelah lahirnya revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Jadi apabila kita terus menerus berpegang kepada pendapat ulama terdahulu,
memandang hasil ijtihad mereka, ijtihad yang tidak boleh diusik-usik sedikit juga, tentulah
golongan yang menghendaki kemoderenan itu, memandang Islam ini, telah habis masanya.
Jika kita biarkan, akibatnya akan keislaman itu beransur-ansur hilang dalam masyarakat
kita.20 Oleh karena itu, kedudukan ijtihad sebagai hal yang mesti ada secara terus menerus
sampai hari kiamat. 21
Kemudian menurut Wahbah Suhaili, bahwa ijtihad adalah nafasnya hukum Islam.
Oleh karena itu, kalau kegiatan ijtihad terhenti, maka hukum Islampun akan terhenti
perkembangannya dan akan terus tertinggal oleh dinamika kemajuan masyarakat.
Sebaliknya kalau kegiatan ijtihad itu selalu dinamis, maka produk-produk hukumnya akan
jauh lebih maju dari dinamika masyarakatnya.22
Jadi untuk menjawab problematika yang timbul di tengah-tengah masyarakat di era
modernisasi ini, maka sangat dibutuhkan ijtihadi pregressif kontemporer. Dan ajaran Islam
akan selalu relevan dengan zaman. Karena tanpa ijtihad, Islam tidak akan selalu relevan
disetiap zaman dan tempat. Ia akan membuat manusia merasa sempit dan akan
menimbulkan kekeliruan manusia memandang agamanya. Allah Swt. berfirman dalam
surah Al-Haj ayat 78. “.. Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan …” (Al-Haj: 78).23
Pergulatan Islam dan modernitas, sebagai pintu masuk untuk membangun hubungan
yang harmonis dengan peradaban modern, tentunya akan terus mencari bentuk yang ideal.
Gelombang intelektual di dunia Islam pun semakin hari semakin menunjukkan cara
pandang positifnya terhadap modernitas, salah satu pemikir yang sangat concern dengan
dunia Islam kontemporer adalah Abdullah Saeed.

19 Yusuf Al-Qardawi, Ijtihad Kontemporer; Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan (Surabaya: Risalah
Gusti, 2000), 5.
20 TM. Hasbi As-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam (Cet. I Edisi II; Semarang: PT. Pustaka Riski Putra,

1997), 551.
21 Abd. Halim ‘Uways, Al-Fiqh Al-Islami Bayn Ath-Thwwur wa Ats-Tsabut, diterjemahkan oleh; A.

Zarkasyi dengan judul, Fiqh Statis dan Fiqh Dinamis (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), 7.
22 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Cet. V; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999),

133.
23 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), 523.

AKADEMIKA, Volume 6, Nomor 1, Juni 2012


22

Abdullah Saeed dalam bukunya, Islamic Thought, menjelaskan karakteristik pemikiran


Muslim progressif-ijtihadis adalah sebagai berikut : (1) mereka mengadopsi pendangan
bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional memelurkan perubahan dan reformasi
subtansial dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat muslim saat ini; (2)
mereka cenderung mendukung perlunya fresh ijtihad24 dan mentodologi baru dalam ijtihad
untuk menjawab permasalahan-permasalahn kontemporer; (3) Beberapa diantara mereka
juga mengkombinasikan kesarjanaan Islam tradisional dengan pemikiran dan pendidikan
Barat modern; (4) mereka secara teguh berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada
ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi, harus direflesikan dalam hukum
Islam; (5) mereka tidak mengikutkan dirinya pada dogmatism atau madzhab hukum dan
teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya; (6) mereka meletakkan titik tekan
pemikirannya pada keadilan sosial, keadilan gender, HAM dan relasi yang harmonis antar
Muslim dan non-Muslim.25
Tampak jelas bahwa corak epistemologi keilmuan Islam kontemporer, dalam
pandangan Abdullah Saeed, adalah berbeda dari corak epistemologi keilmuan Islam
tradisional. Penggunaan metode kesarjanaan dan epistemologi tradisional masih ada,
dimana nash-nash al-Qur’an menjadi titik sentral berangkatnya, tetapi metode
penafsirannya telah didialogkan, dikawinkan dan diintegrasikan dengan penggunaan
epistemologi baru, yang melibatkan social sciences dan humanities kontemporer dan filsafat
kritis (Critical Philosophy). Abdullah Saeed memang tidak menyebut penggunaaan metode
dan pendekatan tersebut secara eksplisit disitu, tetapi pencantuman dan penggunaaan
istilah ‘pendidikan Barat modern’ adalah salah satu indikasi pintu masuk yang dapat
mengantarkan para pecinta studi Islam kontemporer. Juga isu-isu dan persoalan-persoalan
Humanities kontemporer terlihat nyata ketika Saeed menyebut Keadilan sosial, lebih-lebih
keadilan Gender, HAM dan hubungan yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim.
Persoalan humanities kontemporer tidak akan dapat dipahami, dikunyah dan disimpulkan
dengan baik, jika epistemologi keilmuan Islam masih menggunakan metode dan pendekatan
Ulum al-Din lama. Abdullah Saeed mengkritik terhadap ilmu-ilmu Syari’ah (lama), yang
terdiri dari hadits, usul al fiqh dan tafsir jika hanya berhenti dan puas dengan menggunakan
metode, cara kerja dan paradigma yang lama. Dalam hal tafsir Abdullah Saeed mengajukan
metode alternatif untuk dapat memahami teks-teks al-Qur’an sesuai dengan perkembangan
dan tuntutan tingkat pendidikan umat manusia era sekarang ini. Abdullah Saeed
mengembangkan metode tafsir al-Qur’an, yang lebih bernuansa hermeneutis dari Fazlur
Rahman.26
Dalam Islam Progresif, posisi al-Qur'an sebagai wahyu memiliki fungsi sosial dengan
tidak mengabaikan sakralitas yang dimiliki. Mengajak al-Qur'an berdialektika dalam ruang
aktual-sosial bermasyarakat. Tidak semata-mata menempatkan wahyu dalam 'sangkar'
teologis-episteme.27

24 Abdullah Saeed menambahnya dengan kata-kata “fresh” ijtihad. Apakah ada ijtihad yang tidak fresh?
Bisa jadi memang ada. Ijtihad dilakukan, tetapi jalan di tempat. Karena biasanya memang ada ijtihad
tetapi tidak fresh, tidak bisa merubah pola pikir dan mind set, maka perlu ditekankan perlunya kata
fresh. Lhat M. Amin Abdullah, Reaktualisasi Islam yang Berkemajuan...,11
25 Abdullah Saeed, Islamic Thought An Introduction (London and New York: Routledge, 2006), 150-151.
26 M. Amin Abdullah, Reaktualisasi Islam yang Berkemajuan...,10-11. Lihat Abdullah Saeed, Interpretig the

Qur’an: Towards a contemporary approach, (New York: Routledge, 2006), 142-154.


27 Shalahuddin Jursyi, Membumikan Islam Progresif (Jakarta: Paramadina, 2004), 200-2020.

AKADEMIKA, Volume 6, Nomor 1, Juni 2012


23

Penutup.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Kegelisahan akademik Abdullah Saaed
melihat problematika Islam di era modernitas yaitu dengan menumbuhkan spirit agar ajaran
Islam senantiasa relevan disetiap zaman dan tempat, dalam paham minoritas Muslim yang
tinggal di negara Barat. Spirit semacam ini disebut dengan Islam progressif dalam dunia
akademik kajian keislaman kontemporer. subyeknya dikenal dengan Muslim Progressif,
Metode yang digunakan disebut dengan istilah progressive ijtihadi.
Menurut Abdullah Saeed, ada 6 (enam) kelompok pemikir Muslim era sekarang, yang
corak pemikiran keagamaan berikut epistimologinya berbeda: (1) The Legalist-traditionalist
(Hukum (fiqh) Tradisional). yang titik tekannya ada pada hukum-hukum fiqh yang
ditafsairkan dan dikembangkan oleh para ulama periode pra modern; (2) The Theological
Purintans (Teologi Islam Puritan). yang fokus pemikirannya ada pada dimesi etika dan
doktrin Islam; (3) The Political Islamist (Politik Islam). yang kecendurungan pemikirannya
adalah pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam; (4) The
Islamist Extremists (Islam Garis Keras) yang memiliki kecenderungan menggunakan
kekerasan untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan,
baik muslim ataupun non-Muslim; (5) The Secular Muslims (Muslim Sekuler). yang
beranggapan bahwa agama merupakan urusan pribadi (private matter); dan (6) The
Progressive Ijtihadis (Muslim Progressif-ijtihadi). yaitu para pemikir muslim kontemporer
yang mempunyai penguasaan khazanah Islam klasik (clasical period) yang cukup, dan
berupaya menafsir ulang pemahaman agama (lewat ijtihad) dengan menggunakan perangkat
metodologi ilmu-ilmu modern (sains, social sicences dan humanisties) agar dapat menjawab
kebutuhan masyarakat muslim kontemporer. Pada katagori yang terakhir inilah posisi
Muslim progessif berada
Abdullah Saeed menjelaskan setidaknya ada 6 (enam) trend karakteristik pemikiran
Muslim progressif-ijtihadis: (1) mereka mengadopsi pendangan bahwa beberapa bidang
hukum Islam tradisional memelurkan perubahan dan reformasi subtansial dalam rangka
menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat muslim saat ini; (2) mereka cenderung
mendukung perlunya fresh ijtihad dan mentodologi baru dalam ijtihad untuk menjawab
permasalahan-permasalahn kontemporer; (3) Beberapa diantara mereka juga
mengkombinasikan kesarjanaan Islam tradisional dengan pemikiran dan pendidikan Barat
modern; (4) mereka secara teguh berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah
intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi, harus direflesikan dalam hukum Islam;
(5) mereka tidak mengikutkan dirinya pada dogmatism atau madzhab hukum dan teologi
tertentu dalam pendekatan kajiannya; (6) mereka meletakkan titik tekan pemikirannya pada
keadilan sosial, keadilan gender, HAM dan relasi yang harmonis antar Muslim dan non-
Muslim.
Wallahu a’lam bi al-shawab.

Daftar Rujukan
Abdullah, M. Amin. Reaktualisasi Islam yang Berkemajuan, Agenda Strategi Muhammadiyah
ditengah Gerakan Keagamaan Kontemporer, Makalah disampaikan dalam Pengajian
Ramadlan PP Muhammadiyah 1432H di UM Yogyakarta, 5 Agustus 2011.
Al-Qardawi, Yusuf. Ijtihad Kontemporer; Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan (Surabaya:
Risalah Gusti, 2000).
Asmuni, Yunan. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam,
Jakarta: LSIK, 1996.

AKADEMIKA, Volume 6, Nomor 1, Juni 2012


24

As-Shiddiqy, TM Hasbi. Pengantar Hukum Islam, Cet. I Edisi II; Semarang: PT. Pustaka Riski
Putra, 1997.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989.
El-Fadl, Khaled Abou. Speking in God’s Name : Islamic Law, Authority and Women, Oxford:
Oneworld, 2001.
........, The Place of Tolenrance in Islam, Boston: Beacon Press. 2002.
........, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Terj. Helmi Mustafa, Edisi I, Jakarta: Serambi;
2007.
http://www.tariqramadan.com/biography,11.html, di akses pada tanggal 20 Nopember
2011.
Jursyi, Shalahuddin. Membumikan Islam Progresif, Jakarta: Paramadina, 2004.
Noor, Farish A. Islam Progresif: Peluang, Tantangan, das Masa Depannya di Asia Tenggara,
Yogyakarta: SAMHA, 2006.
Madjid, Nurcholis. Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Jakarta:
Paramadina, 1997.
Mawardi, Ahmad Imam. Islam Progresid dan Ijtihad Progresif dalam Pandangan Abdullah Saeed,
Protret Kegelisahan Islam Menghadapi Modernitas, dalam Junaidi, Abdul Basith dkk, Islam
dalam berbagai Pebacaan Kontemorer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Pandoyo, Sekularisasi dalam Polemik, Jakarta: Pusataka Utama Grafiti, 1993.
Ramadan, Thariq, Western Muslims and the Future of Islam, New York: Oxford University
Press, 2004.
........, Menjadi Modern Bersama Islam; Islam, Barat, dan Tantangan Modernitas, Jakarta: Teraju,
2003.
Saeed, Abdullah. Islamic Thought An Introduction, London and New York: Routlegde, 2006.
......., Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach, London: Routlegde, 2006.
........, ‘Jihad and Violence: Changing Inderstanding of Jihad among Muslim’s dalam Tony
Coady and Michael O’Keefe (eds). Terrorism and Justice, Melbourne: Melbourne
Univesity Press, 2002.
Safi, Omid (ed), “Intriduction,” dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism
(Oxford: Oneworld, 2003).
........, “What is Progressive Islam,” dalam The International Institute for the Study of Islam in the
Modern World (ISIM) News Letter, No. 13, Desember 2003.
Sa’id, Bustami Muhammad, Gerakan Pembaruan Agama: antara Modernisasi dan Tajdiduddin,
Jakarta: Wacana Lazuardi Amanah, 1995.
Setiawan, M. Nur Khalis. Akar-akar Pemikiran Islam Progresif dalam Kajian al-Qur’an,
Yogyakarta, elSAQ Press, 2008
‘Uways, Abd. Halim, Al-Fiqh Al-Islami Bayn Ath-Thwwur wa Ats-Tsabut, diterjemahkan oleh;
A. Zarkasyi dengan judul, Fiqh Statis dan Fiqh Dinamis, Bandung: Pustaka Hidayah,
1998.

AKADEMIKA, Volume 6, Nomor 1, Juni 2012

You might also like