Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
1.2 Identifikasi Masalah
1. Faktor Kestabilan Lereng
2. Klasifikasi Kelongsoran
3. Metode Analisis Kestabilan Lereng
4. Faktor Keamanan (FK) Lereng Minimum
5. Geometri Jenjang (Bench Dimension)
2
2. Metode Pengolahan Data
Data yang terkumpul kemudian diolah dengan suatu teknik pengolahan
data secara Deduksi dan Induksi sebagai berikut :
a. Secara Deduksi, yaitu pembahasan yang bertitik tolak dari hal-hal yang
bersifat umum, kemudian dibahas menjadi suatu kesimpulan yang
bersifat khusus.
Secara Induksi, yaitu pembahasan yang bertitik tolak dari hal-hal yang
bersifat khusus, kemudian dibahasmenjadi suatu kesimpulan yang bersifat
umum (merupakan kebalikan dari metode deduksi).
3
BAB II
DASAR TEORI
4
merupakan perbandingan antara gaya penahan yang membuat lereng tetap
stabil, dengan gaya penggerak yang menyebabkan terjadinya longsor.
Dari keterangan diatas, dapat dipahami bahwa analisis kemantapan
lereng merupakan suatu bagian yang penting untuk mencegah terjadinya
gangguan terhadap kelancaran produksi maupun terjadinya bencana yang
fatal. Dalam keadaan tidak terganggu (alamiah), tanah atau batuan umumnya
berada dalam keadaan seimbang terhadap gaya-gaya yang timbul dari dalam.
Karena sesuatu sebab mengalami perubahan keseimbangan akibat
pengangkatan, penurunan, penggalian, penimbunan, erosi atau aktivitas lain,
maka tanah atau batuan itu akan berusaha untuk mencapai keadaaan yang
baru secara alamiah. Cara ini biasanya berupa proses degradasi atau
pengurangan beban, terutama dalam bentuk longsoran-longsoran atau
gerakan-gerakan lain sampai tercapai keadaaan keseimbangan yang baru.
Pada tanah atau batuan dalam keadaan tidak terganggu (alamiah) telah
bekerja tegangan-tegangan vertikal, horisontal dan tekanan air dari pori.
Ketiga hal di atas mempunyai peranan penting dalam membentuk kestabilan
lereng.
Sedangkan tanah atau batuan sendiri mempunyai sifat-sifat fisik asli
tertentu, seperti sudut geser dalam (angle of internal friction), gaya kohesi dan
bobot isi yang juga sangat berperan dalam menentukan kekuatan tanah dan
yang juga mempengaruhi kemantapan lereng. Oleh karena itu dalam usaha
untuk melakukan analisis kemantapan lereng harus diketahui dengan pasti
sistem tegangan yang bekerja pada tanah atau batuan dan juga sifat-sifat fisik
aslinya. Dengan pengetahuan dan data tersebut kemudian dapat dilakukan
analisis kelakuan tanah atau batuan tersebut jika digali atau “diganggu”.
Setelah itu, bisa ditentukan geometri lereng yang diperbolehkan atau
mengaplikasi cara-cara lain yang dapat membantu lereng tersebut menjadi
stabil dan mantap.
5
BAB III
PEMBAHASAN
6
Data mekanika tanah yang diambil sebaiknya dari sampel tanah yang
tidak terganggu (Undisturb soil). Kadar air tanah (ω) diperlukan terutama
dalam perhitungan yang menggunakan computer (terutama bila memerlukan
data γdry atau bobot satuan isi tanah kering, yaitu : γ dry = γ wet / ( 1 + ω).
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menganalisa kestabilan
lereng penambangan adalah sebagai berikut : (Ir. Karyono M.T, Diklat
Perencanaan Tambang Terbuka, Unisba).
1. Kuat Geser Tanah atau Batuan
Kekuatan yang sangat berperan dalam analisa kestabilan lereng
terdiri dari sifat fisik dan sifat mekanik dari batuan tersebut. Sifat fisik
batuan yang digunakan dalam menganalisa kemantapan lereng adalah
bobot isitanah, sedangkan sifat mekaniknya adalah kuat geser batuan yang
dinyatakan dengan parameter kohesi (c) dan sudut geser dalam. Kekuatan
geser batuan ini adalah kekuatan yang berfungsi sebagai gaya untuk
melawan atau menahan gaya penyebab kelongsoran.
a. Bobot Isi Tanah Atau Batuan
Nilai bobot isi tanah atau batuan akan menentukan besarnya
beban yang diterima pada permukaan bidang longsor, dinyatakan dalam
satuan berat per volume. Bobot isi batuan juga dipengaruhi oleh jumlah
kandungan air dalam batuan tersebut. Semakin besar bobot isi pada
suatu lereng tambang maka gaya geser penyebab kelongsoran akan
semakin besar. Bobot isi diketahui dari pengujian laboratorium. Nilai
bobot isi batuan untuk analisa kestabilan lereng terdiri dari 3 parameter
yaitu nilai Bobot isi batuan pada kondisi asli, kondisi kering dan Bobot
isi pada kondisi basah.
b. Kohesi
Kohesi adalah gaya tarik menarik antara partikel dalam batuan,
dinyatakan dalam satuan berat per satuan luas. Kohesi batuan akan
semakin besar jika kekuatan gesernya makin besar. Nilai kohesi (c)
diperoleh dari pengujian laboratorium yaitu pengujian kuat geser
7
langsung (direct shear strength test) dan pengujian triaxial (triaxial
test).
c. Sudut Geser Dalam
Sudut geser dalam merupakan sudut yang dibentuk dari
hubungan antara tegangan normal dan tegangan geser di dalam material
tanah atau batuan. Sudut geser dalam adalah sudut rekahan yang
dibentuk jika suatu material dikenai tegangan atau gaya terhadapnya
yang melebihi tegangan gesernya. Semakin besar sudut geser dalam
suatu material maka material tersebut akan lebih tahan menerima
tegangan luar yang dikenakan terhadapnya.
Untuk mengetahui nilai kohesi dan sudut geser dalam, dinyatakan
dalam persamaan berikut :
τnt = σn tan ϕ + c
Dimana :
τnt = Tegangan Geser
σn = Tegangan Normal
ϕ = Sudut Geser Dalam
C = Kohesi
Prinsip pengujian direct shear strength test atau juga dikenal
dengan shear box test adalah menggeser langsung contoh tanah atau
batuan di bawah kondisi beban normal tertentu. Pergeseran diberikan
terhadap bidang pecahnya, sementara untuk tanah dapat dilakukan
pergeseran secara langsung pada conto tanah tersebut. Beban normal yang
diberikan diupayakan mendekati kondisi sebenarnya di lapangan.
2. Struktur geologi
Keadaan struktur geologi yang harus diperhatikan pada
analisa kestabilan lereng penambangan adalah bidang-bidang lemah dalam
hal ini bidang ketidakselarasan (discontinuity).
Ada dua macam bidang ketidakselarasan yaitu :
a. Mayor discontinuity, seperti kekar dan patahan.
b. Minor discontinuity, seperti kekar dan bidang-bidang perlapisan.
8
Struktur geologi ini merupakan hal yang penting di dalam analisa
kemantapan lereng karena struktur geologi merupakan bidang lemah di
dalam suatu masa batuan dan dapat menurunkan atau memperkecil
kestabilan lereng.
3. Geometri lereng
Geometri lereng yang dapat mempengaruhi kestabilan lereng
meliputi tinggi lereng, kemiringan lereng dan lebar berm (b), baik
itu lereng tunggal (Single slope) maupun lereng keseluruhan (overall
slope). Suatu lereng disebut lereng tunggal (Single slope) jika dibentuk
oleh satu jenjang saja dan disebut keseluruhan (overall slope) jika dibentuk
oleh beberapa jenjang.
Lereng yang terlalu tinggi akan cenderung untuk lebih mudah
longsor dibanding dengan lereng yang tidak terlalu tinggi dan dengan jenis
batuan penyusun yang sama atau homogen. Demikian pula dengan sudut
lereng, semakin besar sudut kemiringan lereng, maka lereng tersebut akan
semakin tidak stabil. Sedangkan semakin besar lebar berm maka lereng
tersebut akan semakin stabil.
4. Tinggi muka air tanah
Muka air tanah yang dangkal menjadikan lereng sebagian besar
basah dan batuannya mempunyai kandungan air yang tinggi, kondisi ini
menjadikan kekuatan batuan menjadi rendah dan batuan juga akan
menerima tambahan beban air yang dikandung, sehingga menjadikan
lereng lebih mudah longsor.
5. Iklim
Iklim berpengaruh terhadap kestabilan lereng karena iklim
mempengaruhi perubahan temperatur. Temperatur yang cepat sekali
berubah dalam waktu yang singkat akan mempercepat proses pelapukan
batuan. Untuk daerah tropis pelapukan lebih cepat dibandingkan dengan
daerah dingin, oleh karena itu singkapan batuan pada lereng di daerah
tropis akan lebih cepat lapuk dan ini akan mengakibatkan lereng
mudah tererosi dan terjadi kelongsoran.
9
6. Gaya luar
Gaya luar yang mempengaruhi kestabilan lereng penambangan
adalah beban alat mekanis yang beroperasi diatas lereng,
getaran yang diakibatkan oleh kegiatan peledakan, dll.
10
b. Sudut garis potong kedua bidang tersebut terhadap horizontal ( i) lebih
besar dari pada sudut geser dalam (ϕ) dan lebih kecil dari pada sudut
kemiringan lereng (i).
c. Longsoran terjadi menurut garis potong kedua bidang tersebut.
3. Longsoran Guling (toppling failure)
Longsoran guling terjadi pada lereng terjal untuk batuan yang keras
dengan bidang-bidang lemah tegak atau hampir tegak dan arahnya
berlawanan dengan arah kemiringan lereng. Kondisi untuk
menggelincir atau mengguling ditentukan oleh sudut geser dalam dan
kemiringan sudut bidang gelincirnya.
4. Longsoran Busur (circular failure)
Longsoran busur merupakan longsoran yang paling umum terjadi
di alam, terutama pada tanah dan batuan yang telah mengalami pelapukan
sehingga hampir menyerupai tanah. Pada batuan yang keras longsoran
busur hanya dapat terjadi jika batuan tersebut sudah mengalami pelapukan
dan mempunyai bidan-bidang lemah (rekahan) dengan jarak yang sangat
rapat kedudukannya.
Dengan demikian longsoran busur juga terjadi pada batuan yang
rapuh atau lunak serta banyak mengandung bidang lemah, maupun pada
tumpukan batuan yang hancur.
Pada dasarnya longsoran akan terjadi karena dua sebab, yaitu naiknya
tegangan geser (shear stress) dan menurunnya kekuatan geser (shear
strenght). Adapun faktor yang dapat menaikkan tegangan geser adalah :
1. Pengurangan penyanggaan lateral, antara lain karena erosi, longsoran
terdahulu yang menghasilkan lereng baru dan kegiatan manusia.
2. Pertambahan tegangan, antara lain karena penambahan beban, tekanan air
rembesan, dan penumpukan.
3. Gaya dinamik, yang disebabkan oleh gempa dan getaran lainnya.
4. Pengangkatan atau penurunan regional, yang disebabkan oleh gerakan
pembentukan pegunungan dan perubahan sudut kemiringan lereng.
11
5. Pemindahan penyangga, yang disebabkan oleh pemotongan tebing oleh
sungai, pelapukan dan erosi di bawah permukaan, kegiatan pertambangan
dan terowongan, berkurangnya/hancurnya material dibagian dasar.
6. Tegangan lateral, yang ditimbulkan oleh adanya air di rekahan serta
pembekuan air, penggembungan lapisan lempung dan perpindahan sisa
tegangan.
Sedangkan faktor yang mengurangi kekuatan geser adalah :
1. Keadaan atau rona awal, memang sudah rendah dari awal disebabkan oleh
komposisi, tekstur, struktur dan geometri lereng.
2. Perubahan karena pelapukan dan reaksi kimia fisik, yang menyebabkan
lempung berposi menjadi lunak, disinteggrasi batuan granular, turunnya
kohesi, pengggembungan lapisan lempung, pelarutan material penyemen
batuan.
3. Perubahan gaya antara butiran karena pengaruh kandungan air dan tekanan
air pori.
4. Perubahan struktur, seperti terbentuknya rekahan pada lempung yang
terdapat di tebing / lereng.
12
keseimbangan momen dari masing-masing potongan. Metode Bishop
mengasumsikan bidang longsor berbentuk busur lingkaran atau circular.
Pertama yang harus diketahui adalah geometri dari lereng dan juga
titik pusat busur lingkaran bidang luncur. Tahap selanjutnya dalam proses
analisis adalah membagi massa material di atas bidang longsor menjadi
beberapa elemen atau potongan.
Pada umumnya jumlah potongan minimum yang digunakan adalah
lima potongan untuk menganalisis kasus yang sederhana. Untuk profil
lereng yang kompleks atau yang terdiri dari banyak material yang berbeda,
jumlah elemen harus lebih besar.
Parameter yang mutlak dimiliki untuk tiap-tiap elemen adalah
kemiringan dari dasar elemen yaitu sebesar θ, tegangan vertikal yang
merupakan perkalian antara tinggi h dan berat jenis tanah atau batuan ( ),
tekanan air yang dihasilkan dari perkalian antara tinggi muka air tanah dari
dasar elemen (hw) dan berat jenis air (w) dan kemudian lebar elemen (b).
Disamping parameter tersebut kuat geser dan kohesi juga diperlukan di
dalam perhitungan.
Proses selanjutnya adalah interasi faktor keamanan. Masukkan
asumsi faktor keamanan = 1.00 untuk memecahkan persamaan faktor
keamanan. Seandainya nilai faktor keamanan yang didapat dari
perhitungan mempunyai selisih lebih besar dari 0,001 terhadap faktor
keamanan yang diasumsikan, maka perhitungan diulang dengan memakai
faktor keamanan hasil perhitungan sebagai asumsi kedua dari F. Demikian
seterusnya hingga perbedaan antara ke dua F kurang dari 0,001, dan F
yang terakhir tersebut adalah faktor keamanan yang paling tepat dari
bidang longsor yang telah dibuat.
13
bekerja pada bidang gelincir tersebut. Gaya penahan (resisting force) adalah
gaya yang menahan agar tidak terjadi kelongsoran, sedangkan gaya
penggerak (driving force) adalah gaya yang menyebabkan terjadinya
kelongsoran. Perbandingan antara gaya-gaya penahan terhadap gaya-gaya
yang menggerakkan tanah inilah yang disebut dengan faktor keamanan (FK)
lereng penambangan. Dimana :
FK > 1,0 : Lereng dalam kondisi stabil.
FK < 1,0 : Lereng tidak stabil.
FK = 1,0 : Lereng dalam kondisi kritis.
Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat kestabilan
lereng penambangan maka hasil analisa dengan FK = 1.00 belum dapat
menjamin bahwa lereng tersebut dalam keadaan stabil. Hal ini disebabkan
karena ada beberapa faktor yang perlu diperhitungkan dalam analisa faktor
keamanan lereng penambangan, seperti kekurangan dalam pengujian conto di
laboratorium serta conto batuan yang diambil belum mewakili keadaan
sebenarnya di lapangan, tinggi muka air tanah pada lereng tersebut, getaran
akibat kegiatan peledakan di lokasi penambangan, beban alat mekanis yang
beroperasi.
Dengan demikian, diperlukan suatu nilai faktor keamanan minimum
dengan suatu nilai tertentu yang disarankan sebagai batas faktor keamanan
terendah yang masih aman sehingga lereng dapat dinyatakan stabil atau
tidak. Sehingga pada penelitian ini, faktor keamanan minimum yang
digunakan adalah FK ≥ (sama dengan atau lebih besar) dari1.25, sesuai
prosedur dari Joseph E. Bowles (2000), Dengan ketentuan :
FK ≥ 1,25 : Lereng dalam kondisi Aman.
FK < 1,07 : Lereng dalam kondisi Tidak Aman.
FK > 1,07 ; <1,25 : Lereng dalam kondisi kritis.
14
3.5 Geometri Jenjang (Bench Dimension)
Sebelum mengetahui beberapa pendapat mengenai dimensi jenjang,
perlu diketahui istilah pada jenjang seperti terlihat di bawah ini.
15
5. Laju produksi
6. Iklim.
Tinggi jenjang adalah jarak vertikal diantara level horisontal pada
pit; lebar jenjang adalah jarak horisontal lantai tempat di mana seluruh
aktifitas penggalian, pemuatan dan pengeboran-peledakan dilaksanakan; dan
kemiringan jenjang adalah sudut lereng jenjang. Batas ketinggian jenjang
diupayakan sesuai dertgan tipe alat muat yang dipakai agar bagian puncaknya
terjangkau oleh boom alat muat.
16
lainnya adalah faktor kunci untuk menganalisis lereng tambang. Akibat dari
perbedaan karakteristik batuan dan informasi geologi, maka tidak heran
apabila di dalam wilayah penambangan akan terjadi kemiringan lereng yang
berbeda. Kemiringan dinding permuka kerja (individual slope) pada tambang
bijih dan quarry batuan kompak berkisar antara 720 – 850. Penentuan lebar
jenjang akan dipengaruhi oleh laju produksi yang diinginkan, dimensi serta
jumlah alat angkut dan alat muat, aktifitas pengeboran-peledakan dan kondisi
geologi di sekitar pit.
Tidak ada rumus baku untuk menentukan lebar jenjang; namun,
beberapa parameter penting di bawah ini harus dipertimbangkan, meliputi:
1. Radius manuver alat angkut saat akan dimuat material oleh alat muat, rm;
2. Cukup leluasa untuk berpapasan minimal dua alat angkut, 2 lt +c ;
3. Lebar maksimum tumpukan hasil peledakan (muckpile), mp ;
4. Lebar areal yang akan dibor, Ld.
Berdasarkan parameter di atas, maka dapat dibuat rumus empiris
lebar jenjang (LB) sebagai berikut:
LB = Rm+(2Lt+c)+Mp+Ld
Wmin = Y +Wt + Ls + G + Wb
Dimana :
W min : Lebar jenjang minimum (m)
Y : Lebar yang disediakan untuk pengeboran (m)
Wt : Lebar yang disediakan untuk alat -alat (m)
Ls : Panjang power shovel tanpa boom (m)
G : Radius lantai kerja yang terpotong oleh shovel (m)
Wb : Lebar untuk broken material (m)
17
Beberapa pihak yang mengeluarkan pendapat mengenai dimensi
jenjang, antara lain :
1. Lewis (Elements of Mining)
Tinggi jenjang sebagai berikut :
a. Untuk hidraulicking yang baik adalah 20 ft dan maksimum 60 ft
b. Untuk dredging kedalaman ideal antara 50 ft – 80 ft, tetapi ada yang
sampai 130 m
c. Untuk Open-cut antara 12 ft – 75 ft; yang baik 30 ft. Sedangkan untuk
tambang bijih dapat mencapai 225 ft. Lebar jenjang disesuaikan dengan
loading track, daerah operasi power shovel serta untuk peledakan.
Lebarnya antara 20 ft – 75 ft, umumnya 50 ft dan idealnya 30 ft .
18
Dimana :
B : Lebar jenjang (m)
R : Digging radius dari alat muat (m)
C : Jarak sisi jenjang atau broken material ke garis tengah rel (m)
L : lebar yang disediakan untuk faktor keamanan, biasanya sebesar
dump-truck (m)
b. Untuk Lapisan yang lunak (soft strata)
B = a + C + C1 + L + A
Dimana :
B : Lebar jenjang (m)
a : Lebar untuk broken material (m)
A : Lebar pemotongan pert ama (m)
19
A : Lebar untuk broken material (m)
C : Jarak sisi timbunan ke sisi tengah rel (m)
C1 : Setengah lebar lori ( m)
B : Lebar endapan yang diledakkan (6 – 12 m)
L : Lebar yang disediakan untuk menjamin ekstraksi endapan pada
jenjang di bawahnya
20
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam menentukan kestabilan atau kemantapan lereng dikenal istilah
faktor keamanan (safety factor) yang merupakan perbandingan antara gaya-
gaya yang menahan gerakan terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah
tersebut dianggap stabil, bila dirumuskan sebagai berikut :
21
kelongsoran. Perbandingan antara gaya-gaya penahan terhadap gaya-gaya
yang menggerakkan tanah inilah yang disebut dengan faktor keamanan (FK)
lereng penambangan. Dimana :
1. FK > 1,0 : Lereng dalam kondisi stabil.
2. FK < 1,0 : Lereng tidak stabil.
3. FK = 1,0 : Lereng dalam kondisi kritis.
Dalam penentuan gometri jenjang, beberapa hal yang
dipertimbangkan, antara lain :
1. Sasaran produksi harian dan tahunan
2. Ukuran alat mekanis yang digunakan
3. Sesuai dengan ultimate pit slope
4. Sesuai dengan kriteria slope stability
Elemen-elemen suatu jenjang terdiri dari tinggi, lebar dan
kemiringan yang penentuan dimensinya dipengaruhi oleh:
1. Alat-alat berat yang dipakai (terutama alat gali dan angkut)
2. Kondisi geologi
3. Sifat fisik batuan
4. Selektifitas pemisahan yang diharapkan antara bijih dan buangan
5. Laju produksi
6. Iklim.
Tidak ada rumus baku untuk menentukan lebar jenjang; namun,
beberapa parameter penting di bawah ini harus dipertimbangkan, meliputi:
1. Radius manuver alat angkut saat akan dimuat material oleh alat muat, rm;
2. Cukup leluasa untuk berpapasan minimal dua alat angkut, 2 lt +c ;
3. Lebar maksimum tumpukan hasil peledakan (muckpile), mp ;
4. Lebar areal yang akan dibor, Ld.
Berdasarkan parameter di atas, maka dapat dibuat rumus empiris
lebar jenjang (LB) sebagai berikut:
LB = Rm+(2Lt+c)+Mp+Ld
22
4.2 Saran
Dalam hal ini penulis menyarankan dalam makalah karya ilmiah
Parameter Geoteknik Untuk Kestabilan Lereng Pada Tambang Terbuka
bahwa dalam kegiatan tersebut dapat menyajikan secara grafis
(rencana/bagian dari rencana) masalah pengukuran, pemecahan masalah dari
data geotek dengan menggunakan software tambang yang sudah ada sehingga
kedepannya mampu mengaplikasikan pada dunia tambang dan dalam mata
kuliah ini juga penulis menyarankan agar diadakannya praktikum langsung
kelapangan yang mampu mengembang ilmu dari mahasiswa yang telah
didapat di perkuliahan.
23
DAFTAR PUSTAKA
https://fileq.wordpress.com/2012/03/17/stabilitas-lereng/
http://blogs.unpad.ac.id/zufialdizakaria/files/2009/11/geomekanik.pdf
http://eprints.unsri.ac.id/140/1/Pages_from_PROSIDING_AVOER_2011-
34.pdf
http://repository.upnyk.ac.id/3719/1/3._Paper_Masagus.pdf
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-25233-3106100118-paper-fandy.pdf
http://facefairfuture.blogspot.com/2014/11/falsafah-kemantapan-
lereng_96.html
http://lerengtambang.blogspot.com/2013/08/kestabilan-lereng-tambang-
slope.html
https://1902miner.wordpress.com/bfiabhfcbafhueceaj/geoteknik-tambang/
https://fileq.wordpress.com/2012/10/05/geoteknik-tambang/
http://eprints.unsri.ac.id/140/
http://abangunp.blogspot.com/2012/07/pengantar-ilmu-geoteknik-
tambang.html
https://fileq.wordpress.com/2012/09/19/faktor-faktor-stabilitas-lereng-2/
http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/620/jbptitbpp-gdl-tonnylesma-30965-4-
2008ts-3.pdf
http://duniatambang2012.blogspot.com/2012/04/beberapa-aspek-teknis-dalam-
penambangan.html
24