You are on page 1of 534
Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 wl aa ue we rr 0 Oa Sco a ee nee a aes is ee "Sebuah buku yang penting, tidak hanya bagi eC MI Uule(el- 1c maa ele Boel perbandingan tentang perubahan ideologi. Berbicara tentang periode awal dalam transisi Pau CRC Camel UE Peace mr SOuC uma) radikalisme sosial, buku ini seyogyanya menarik | perhatian para sejarawan tentang perubahan ’ PMR CURL R Ue MCL Ce Pc ee occu kee CLC) Ce se TM eae ena al ca dengan Co Rs Cauca cel.e)2 ) een ch a A ROREUMac eum tae Erna) Fea TaReL- 0° 1a aCe baie SYei one ale eee ee } Ry ee ILs Ale lel ; “Studi politik dan intelektual yang,sangat baik let Mae er Mma (ole) i SENN I) i PE Teh cto UM MR Ce Murs ICL acl) 2 See SL CUCU RCCL . CEnN cy ee MCUe mCi mu coe . SE RM AeA eu eee eee u , University of Washington, Set SSC Wa eae RES CC dari Se ese eRe Pm ol LA) co Ph, D. dari Universitas Cornell, 1986. Takashi Ca nee Reng PSCC eerie Man eit ecole Mie ae OEM Cul ccm) ore Te eee ome CMR MU LCL od PS Ee eh) s5-ge 2 ZAMAN BERGERAK = Radikalisme Rakyat dl Jawa he ——<- ee oa m4 989.8022 Shr Z col Takashi Shiraishi ZAMAN BERCERAK Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 BUKU: . KOLEKS! CADANGAN eusie © Perpustakaan Nasional RI: katalog dalam terbitan (KDT) ‘SHIRAISHI, Takashi Zaman bergerak: radikalisme rakyat di Jawa, 1912-19264 Takashi Shiraishi; penerjemah, Hilmar Farid, — Jakayta: Pustaka Utama Grafiti, 1997 xxviii, 504 him. ; 21 cm. Judul Asli: An age in motion: popular radicalism in Java, 1912-1926 Bibliografi Indeks) ISBN 979°444-388-9 1 Indonesia - Sejarah - Kebangkitan Nasional LJudul. IL Farid, Hilmar 959-802 2 (aaa sy Ui CE ea ie Dae (Kina, | 999- ao ea z ays Sy 3S. KE} = 7 sie aes | Salve! } to ee ZAMAN BERGERAK Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912 - 1926 Takashi Shiraishi Dari judul asli An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912 - 1926 (New York: Cornell University Press, 1990) © Cornell University 1990 Hak Terjemahan Bahasa Indonesia pada PT Pustaka Utama Grafiti No. 398/97 Penerjemah Hilmar Farid Editor Naskah Eka N. Pertiwi ilustrasi Kulit Muka Toto Jatmiko Rancangan Kulit Muka Joko Sudarsono Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti JI. Utan Kayu No. 68 E Jakarta 13120 Anggota Ikapi Cetakan Pertama 1997 Percetakan PT Midas Surya Grafindo. Buku ini hasil kerja sama antara PT Pustaka Utama Grafiti (jakarta, Indonesia) dan Forum (Petaling Jaya, Malaysia). Penerbitannya dimungkinkan berkat bantuan dari Toyota Foundation (Tokyo, Jepang), dan untuk itu kami ucapkan terima kasih ; Ay Geo be Nes eo = r wn aed — oe _s ” : Pengantar Penerbit arya Takashi Shiraishi yang diangkat dari disertasi- K nya ini mengupas kemunculan pergerakan rakyat Indonesia selama seperempat pertama abad kedua puluh. Aksi pergerakan tersebut — yang diekspresikan melalui - pelbagai cara seperti surat kabar, rapat umum, serikat buruh, pemberontakan, karya sastra, ataupun lagu-lagu — menandai momen saat orang Indonesia mulai memandang dunia mereka dengan cara yang baru. Politik Indonesia modern berawal dari pergerakan itu, dan cikal bakal nasionalisme Indonesia, Islam- isme, serta komunisme, sebagai gerakan politik, dapat dirunut hingga periode ini Lewat studi kepustakaan yang luas dan mendalam, Shiraishi mengkaji asal-muasal dan evolusi pergerakan di panggung na- sional dan lokal. Selain membahas Sarekat Islam secara kritis, ia juga menyuguhkan gambaran yang memukau tentang pergerak- an di wilayah Surakarta dengan menyoroti kemunculan dan ke- hancuran sejumlah partai berikut perhimpunan politik, terma- suk Sarekat Islam Surakarta, Insulinde, National-Indische Partij, Partai Komunis Indonesia, dan Sarekat Ra’jat. Dan yang tidak ku- x Zaman Bergerak rang menarik adalah ulasannya mengenai "kata dan perbuatan” tiga pemimpin pergerakan terkemuka, yakni Marco Kartodikro- mo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Haji Mohammad Misbach. Secara keseluruhan, kajian yang kaya informasi berharga ini memperlihatkan bagaimana ekspresi politik modern yang mem- beri sumbangan pada wacana nasionalis yang sedang tumbuh dipakai oleh figur-figur yang berbeda. Dengan kata lain, Shirai- shi telah memberi gambaran yang jelas mengenai situasi yang terjadi di Jawa tatkala para pemikir dan aktor politik mulai menggunakan penjelasan modern dalam perjuangan mereka. Zaman Bergerak, oleh karenanya, niscaya memperdalam pe- mahaman kita tentang bagaimana sebenarnya kehidupan politik di Indonesia pada seperempat pertama abad ini. Pada saat meng- upas subjek itu, Shiraishi sudah tentu tidak bisa mengelakkan pembicaraan mengenai pergulatan antara kelompok-kelompok komunis dan Islam di dalam tubuh Sarekat Islam — satu topik yang belum banyak disingkap oleh para sejarawan. Jakarta, Februari 1997 Prakata erakan rakyat yang tampil dalam bentuk-bentuk G seperti surat kabar dan jurnal, rapat dan pertemu- an, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian, teater, dan pemberontakan, merupakan fenomena yang paling mencolok bagi orang Belanda untuk me- lihat kebangkitan “bumiputra™ pada awal abad XX. Fenomena tersebut sampai saat ini masih menyandang sebutan “pergerak- an’, di mana “bumiputra” bergerak mencari bentuk untuk me- nampilkan kesadaran politik mereka yang baru, menggerakkan pikiran dan gagasan, dan menghadapi kenyataan di Hindia dalam dunia dan zaman yang mereka rasakan bergerak. Dalam historiografi ortodoks yang diyakini bersama_ baik oleh orang-orang Indonesia maupun para ahli tentang Indonesia, pergerakan sering dilihat sebagai gerakan di mana sebuah bang- sa yang belum bernama sedang mencari namanya, Indonesia, dan cita-cita nasionalnya, Indonesia Merdeka. Dalam pandangan er fon ini, pergerakan dimulai dengan surat-surat R.A. Kartini dan pem- \c, rh bentukan Boedi Oetomo, ketika kebangkitan nasional pertama t kali ditampilkan dalam bentuk organisasi, dan berakhir dengan , xit Zaman Bergerak didirikannya Perhimpoenan indonesia dan Partai Nasional Indo- nesia serta Sumpah Pemuda, ketika para pemuda menyatakan diri bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu Indo- nesia. Dengan begitu, dalam dua setengah dekade pertama abad XX, pergerakan dipandang sebagai sebuah transisi, dengan pengertian bahwa telah ada gagasan nasional sekalipun belum benar-benar nasionalis. Arti pentingnya dalam sejarah hanya da- pat dipahami melalui hasil yang kemudian dicapai, yaitu ditemu- kannya cita-cita nasional, Indonesia Merdeka. Hasil lain adalah tradisi yang terbentuk dalam pergerakan, yakni sistem pemba- gian berdasarkan ideologi dan organisasi menjadi nasionalisme, Islam, dan komunisme. Dalam perspeRtif seperti ini, semua indi- vidu dan organisasi yang bergerak dipahami sebagai pendahulu dari'apa yang terjadi sesudahnya. Oleh sebab itu; Kartini dilihat sebagai ibu yang melahirkan kebangkitan nasional Indonesia; BO dan Indische Partij (IP) sebagai pendahulu gerakan nasionalis; Sarekat Islam dan Muhammadijah sebagai pendahulu gerakan Islam; dan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging dan PKI (Perserikatan Kommunist di India yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia) sebagai pendahulu gerakan komunis. Apa dasar sejarah dari historiografi ini? Kelihatannya pan- dangan ini lahir dari perkawinan antara arsip-arsip negata Hin dia Belanda dan perspektif Indonesia-sentris yang berkembang pada masa kemerdekaan. Dasarnya diletakkan oleh J. Th. Petrus Blumberger dalam triloginya De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indte, (Gerakan Komunis di Hindia Belanda), De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie, (Gerakan Na- stonalis di Hindia Belanda), dan De Indo-Europeesche Beweging In Nederlandsch-Indie, (Gerakan Indo-Eropa di Hindia Belanda)! Petrus Blumberger, mantan pejabat pemerintah Hindia Belanda diangkat sebagai pelopor pandangan ini, karena aksesnya ter- hadap arsip-arsip kolonial Belanda yang jarang dimiliki orang |. J. Th Petrus Blumberger, De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indie. Haarlem: Tjeenk Willink, 1928; De Nationalistische in Nederlandsch-Indie, Haar- lem: Tjeenk Willink, 1931, De Indo-Europeesch Indie, Haarlem Tjeenk Willink, 1939 Prakata xiii) lain, Melalui arsip-arsip inilah, ia dapat mengamati pergerakan dt Hindia bagaikan mengamati ikan dalam akuarium. Ketika menu- lis triloginya, ia tidak sekadar memperoleh data-data saja, tetapt terutama juga mewarisi sistem-sistem klasifikast yang diguna+ kan oleh pemerintah kolonial: Sistem pertama: bersifat jrasial, yang mencerminkan prinsip dasar, penggolongam yang 'sekaligus berarti pengkotak-kotakan, masyarakat Hindia menjadi’ "Eropa’, “Indo Eropa’,,"Timur/Asing", dan “Bumiputra. Sistem lainnya ada- lah klasifikasi berdasarkan, organisasi karena negara jauh lebih khawatir terhadap organisasi ketimbang individu, dan juga kare- na partai politik yang terorganisasi telah: menjadi sesuatu yang wajar ketika Petrus Blumberger memulai penelitiannya tentang pergerakan. BO; SI, dan.kaum komunis (ISDV dan PKI) disejajar- kan dengan serikat buruh, gerakan keagamaan (Muhammadijah dan Ahmadijah), dan gerakan etnis dalam De Nationalistische Beweging in Nederlandsch Indie. Sementara itu, IP dan para pe- nerusnya seperti Insulinde dan Nationaal Indische Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH), disejajarkan dengan Indo Europeesch Verbond dalam De Indo-Europeesch Beweging, dengan alasan yang sa- ngat sederhana: IP adalah hasil pemikiran E. F E. Douwes Dekker, seorang Indo-Eropa. Sesudah kemerdekaan, ada dua perubahan yang terjadi. Yang pertama bersifat nominal, dengan digantinya berbagai nama un- tuk menampilkan perspektif Indonesia-sentris. Hindia Belanda berubah menjadi Indonesia, kebangkitan "bumiputra" menjadi kebangkitan nasional Indonesia, dan Inlanders (bumiputra) beru- bah menjadi "orang Indonesia’. Perubahan kedua yang lebih pen- ting adalah disatukannya dua sistem klasifikasi tersebut di atas menjadi sistem klasifikasi yang berdasarkan organisasi dan ideologi: nasionalisme, Islam, dan komunisme. Perubahan ini ter- jadi karena kategori rasial jelas bersifat kolonial, jadi jelas harus ditolak, dan juga karena sistem klasifikasi nasionalisme, Islam, dan komunisme sudah menjadi sesuatu yang diterima umum se- jak pertengahan dekade 1920-an dalam wacana politik Indonesia. Ditempatkannya kembali IP sebagai pendahulu gerakan nasio- nalis berasal dari revisi ini Dengan revisi inilah kemudian mun- cul sebuah historiografi cangkokan. Sejak lahirnya, historiografi ortodoks cangkokan ini tidak xiv Zaman Bergerak pernah mendapat perlawanan secara mendasar, dan tetap men- jadi pedoman bagi penelitian selanjutnya, yang sekadar mengisi "kekurangan” yang ditinggalkan Petrus Blumberger dan pengi- kut-pengikutnya tentang gerakan "Indo-Eropa", BO. dan Moe- hammadijah? Satu-satunya perkecualian adalah karya klasik dari Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism. Dengan menyelidiki perubahan-perubahan garis partai di PKI dan hu- bungannya dengan Komintern, ia memperlihatkan bahwa ge- rakan komunis di Hindia tidak mengikuti pemisahan rasial dan bukan semata-mata alat dari Komintern3 Meskipun demikian, karyanya tetap hanya menjadi revisi parsial dari historiografi or- todoks karena, dengan sepenuhnya mengarahkan perhatiannya pada perkembangan komunisme di Indonesia (ISDV dan PKI), ia tidak mempertanyakan keabsahan sistem klasifikasi nasionalis- me, Islam, dan komunisme. Ada dua kelemahan mendasar dalam penulisan sejarah orto- doks. Pertama, kenyataan bahwa negara Hindia mengatur ber- kas-berkas arsipnya tentang pergerakan berdasarkan organisasi tidak berarti bahwa organisasi merupakan hal yang paling pen- ting untuk memahami pergerakan. Bagaimana pandangan yang ortodoks itu dapat dibenarkan, jika dilihat bahwa mereka yang bergerak pada masa itu berpikir, berbicara, dan bertindak seba- gai orang pertama, dan baru pada dekade 1920-an partai-partai mulai mengambil alih suara orang pertama ini atas nama orga- nisasi dan disiplin? Kedua, dengan melihat pergerakan pada de- kade 1910-an dan paro pertama 1920-an sebagai transisi, historio- 2. Meskipun demikian, saya tidak mengecilkan’ sumbangan penelitian seperti itu untuk memahami pergerakan. Kenyataannya beberapa di antaranya justru sa- ngat berharga Lihat misalnya, Alfian, “Islamic Modernism in Indonesian Poli- tics: The Muhammadijah Movement during the Dutch Colonial Period (i912: 1942)," tesis PhD, University of Wisconsin. 1969 Akira Nagazumi. The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of the Budi Utomo, Tokyo: Institute of Developing Economies, 1972; Paul van der Veur, "Introduction to a Social-Poli- tical Study of the Eurasians in Indonesia.” tesis Ph.D. Cornell University, 1955, Sumio Fukami, “Shoki Islam Domei (1911-1916) ni kansuru Kenkyu” Nampo- Bunka 3, Okt. 1976, him. 117-145; 4 (uli 1977), him. 151-182. Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism, ithaca: Cornell University Press, 1965, Hal ini berarti bahwa tesis Petrus Blumberger (dan juga Kepala Algemeene Recherche Dienst. Van der Lely) ditolak mentah-mentah. wo Prakata xv grafi ortodoks tidak menghadirkan satu tangkaian pertanyaan yang penting: Bagaimana orang saat itu berhadapan dengan rea- litas? ‘Seperti apa realitas itu? Pikiran dan gagasan apa yang me- nuntun mereka? Dan yang paling penting: bentuk dan bahasa se- perti apa yang digunakan untuk menampilkan kesadaran baru mereka? Zaman pergerakan di Indonesia dari segi arti pentingnya, da- pat dibandingkan dengan munculnya gerakan rakyat di Cina pada dekade 1910 dan 1920-an, lalu dengan Filipina pada dekade 1880 dan 1890-an, dan dengan Malaya pada tahun-tahun setelah perang. Dalam tahun-tahun itulah rakyat — semula sebagian dari kelompok sosial dan latar belakang tertentu dan kemudian dari segmen-segmen yang lebih luas ~ mulai melihat dunia dengan cara baru, (yang memang mau tidak mau erat dihubungkan de- ngan cara-cara lama) dan merasa dapat mengubahnya. Mereka menampilkan kesadaran baru ini dalam bentuk dan bahasa yang modern dan akrab dengan kita saat ini, seperti surat kabar, ra- pat, pemogokan, serikat, partai, dan ideologi Kesadaran baru dan kekayaan bentuk serta bahasa yang digunakan inilah yang men- jadi arti penting utama dari pergerakan. Lalu, bagaimana kita dapat memahami pergerakan dari ke- anekaragaman dan pertumbuhannya yang dinamis dan subur? Siapa yang bergerak, dan dalam kenyataan seperti apa? Siapa yang ditentang? Apa yang menjadi pikiran dan gagasannya? Se- perti apa bentuk serta bahasa yang digunakan untuk menampil- kannya? Dan bagaimana bentuk serta bahasa ini dibaca? Sing- katnya, seperti apa sesungguhnya pergerakan itu? Tentu saja ada sejumlah cara untuk mendekati rangkaian pertanyaan itu: Kita dapat memusatkan perhatian pada pemikiran masing-masing pemimpin pergerakan, dan mencoba memahami bagaimana pi- kiran mereka bergumul dengan kenyataan di Hindia pada dekade 1910 dan-1920-an4 Kita dapat menempatkan diri di tempat ter- 4 Lihat misainya Ben Anderson, "A Time of Darkness and a Time of Light: Transposition in Early Indonesian Nationalist Thought” Anthony Reid dan David Mart, eds. Perceptions of the Past in Southeast Asia, Singapore: Heine mann Educational Books, 1980, hal. 219-248; Kenji Tsuchiya, Indonesia Minzoku- ‘shugi Kenkyu: Taman Siswa no Seiritsu to Tenkat. Tokyo: Sobunsha, 1982. xvi Zaman Bergerak tentu, lalu melihat-dan menilai dinamika pergerakan dari sana. Kita juga dapat melihat pergerakan dari pusat negara Hindia di Buitenzorg, lalu coba memahami bagaimana pergerakan ditem- patkan dalam "Rumah Kaca", diawasi, dibentuk, dan akhirnya di- hancurkan oleh negara Hindia Belanda5 Pendekatan yang dipakai dalam buku ini bersifat eklektis de- ngan pengertian berikut: panggungnya adalah Surakarta, Jawa Tengah. Pikiran dan tindakan para pemimpin serta pengikut per- gerakan akan dibaca dalam konteks sosial, budaya, Gan) politik- nya, tentu tanpa mengabaikan apa yang berlangsung di luar Surakarta — di Jawa, Hindia, dan luar negeri — seperti yang dibaca dalam surat kabar dan dibicarakan dalam pertemuan Serta’ ver- gadering. Pendekatan ini dapat dibenarkan berdasarkan dua alasan. Jika mengamati pergerakan dari pusat, dengan mudah kita terhenti melihatnya dari balik Rumah Kaca, lalu 'mengang- gap gambaran samar tanpa darah dan daging yang dipancarkan oleh berkas-berkas arsip serta dokumen itu sebagai sesuatu yang nyata; jika kita memusatkan perhatian pada tempat atau orang tertentu, maka historiografi cangkokan di atas akan tetap berco- kol. Dalam pengertian tersebut, buku ini tidak hanya menjadi studi tentang pergerakan di Surakarta. Namun, Surakarta’ seba- gal arena tetap ‘saja strategis bagi tujuan kita karena kota itu adalah satu-satunya pusat pergerakan di mana semua kekuatan sosial — pangeran dan bangsawan Jawa, pegawai bumiputra, borjuasi bumiputra, intelektual bumiputra yang berpendidikan Barat, orang-orang Islam dengan pendidikan pesantren, tukang, buruh, tani, orang-orang Indo, Cina, pegawai administrasi Belan- da, dan pengelola perkebunan Belanda — bergabung dalam per- gerakan atau menjadi musuhnya; dan karena ketiga tokoh yang melenyapkan klasifikasi nasionalisme, Islam, dan komunisme — Tjipto Mangoenkoesoemo, Marco Kartodikromo; dan Hadji Mo- hammad Misbach — menjelaskan pergerakan di Surakarta de- ngan caranya masing-masing. Bab-bab dalam buku ini dibagi secara kronologis menjadi §. Pramoedya Ananta Toer. Rumah Kaca, Jakarta: Hasta Mitra; 1988 Prakata xvii empat bagian. Setelah menggambarkan Surakarta sebagai arena, saya akan membicarakan pergerakan pada masa awal_ pemben- tukannya (1912-1917) dalam Bab 2 dan transformasinya ke dalam zaman mogok (1918-1920) dalam Bab 3-5. Kemudian, saya akan beranjak pada zaman partal pada masa pergerakan dalam Bab 6 dan 7. palam bab terakhir saya akan membicarakan masa akhir pergerakan yang bergerak menuju pemberontakan komunis yang gagal pada akhir 1926 dan awal 1927. Saya tidak menemukan jalan keluar yang memuaskan untuk menentukan pilihan, dari variasi-variasi pengucapan nama dan kata dalam bahasa Indonesia, Sistem yang akan saya gunakan sebagai berikut: nama orang dan organisasi seperti juga kata- kata dalam kutipan langsung akan dipertahankan dalam bentuk aslinya (dengan begitu, misalnya. Tjipto Mangoenkoesoemo, bu- kan, Tjipto Mangunkusumo atau. Cipto Mangunkusumo,. dan Boedi Oetomo [BOIL bukan Budi Utomo [BU)); nama tempat dan kata-katq dalam bahasa Indonesia yang tidak dikutip langsung akan memakai ejaan modern (dengan begitu, Yogyakarta, bukan Djogjakarta atau Jogjakarta, dan mubalig, bukan moeballigh). Konsepsi buku ini berasal dari pertemuan saya dengan serial artikel Hadji Mohammad Misbach dalam Medan Moesliynin, “Islamisme dan Komunisme’, yang saya temukan di Perpustaka- an Museum Nasional Jakarta, pada Desember 1977. Oleh karena tidak dapat memahaminya saya mencari dan coba merekons- truksi sebuah konteks historis yang bermakna untuk menem patkan, dan membaca artikel tersebut. Hal ini membuat saya mempertanyakan historiografi ortodoks tentang pergerakan. Da- lam proses pematangan penelitian yang lambat selama lebih dari sepuluh tahun, saya berutang budi pada berbagai orang dan lembaga. Pertama, utang budi saya baik secara intelektual mau- pun pribadi kepada Benedict Anderson, Shinkichi Eto, dan David K. Wyatt, yang terus memberikan dukungan dan dorongan dan dalam cara yang berbeda-beda telah membentuk pemikiran saya tentang Indonesia dan Asia. Saya juga sangat berterima kasih kepada Sherman Cochran, Audrey Kahin, Ruth McVey, James Siegel, Kenji Tsuchiya, dan Pramoedya Ananta Toer, yang tidak sekadar membaca naskah serta memberikan usulan-usulan dan knitik yang berguna, tapi juga menyediakan bahan-bahan mereka xviii Zaman Bergerak untuk kepentingan saya. Ucapan terima kasih juga ingin saya sampaikan kepada Japan Society for the Promotion of Science, Southeast Asian Program di Cornell University, Department of Internal Relations di Univer- sity of Tokyo, Kementerian Pendidikan natio (International) Je- pang, dan Nitobe Fellowship yang dengan dukungannya mem- buat saya dapat belajar pada Cornell University serta melakukan penelitian di Indonesia dan Negeri Belanda. Saya juga berterima kasih kepada bagian arsip di Ministerié van Binnenlandse Zaken (Kementerian Dalam Negeri) di Den Haag, yang memberikan izin untuk menggunakan bahan-bahan di Arsip Hindia Belanda, dan dari LIPI di Indonesia. Daftar teman-teman di Cornell University, Indonesia, Belanda, dan Jepang yang melalui pikiran, tulisan, dan pengalamannya te- lah membantu saya dengan berbagai cara terlalu panjang untuk dicantumkan di sini Bagaimanapun. terima kasih khususnya kepada Sumio Fukami, Hiroyoshi Kano, Yudhistira, Adhie dan Anto Massardi, almarhum Akira Nagazumi, William dan Jeanne OMalley, Onghokham, Saifullah Mahyuddin, dan almarhum Haji Roesli. Penyunting naskah ini di Cornell University Press, Holly Bailey, telah membantu dalam berbagai cara: Lois Krieger telah menyalin dan menyunting naskah ini dengan teliti, dan Jana Mrazkova yang telah membuat indeks dengan cermat. Terakhir, istri saya, Saya Shiraishi, seorang ahli Indonesia, yang telah membantu dan memberikan inspirasi dengan begitu ba- nyak cara. Kepadanya buku ini saya persembahkan dengan cinta. TAKASHI SHIRAISHI Ithaca, New York BB BO csi ELS HAB HBS HIS NB IPO ISDP ISDV NIP-SH NIS NIVB OSVIA PBT PEB Daftar Singkatan Binnenlandsch Bestuur Boedi Oetomo Centraal Sarekat Islam Europeesche Lagere Scholen Havensarbeidersbond Hollandsche Burgerscholen Hollandsche Inlandsche Scholen Inlandsche Journalisten Bond Indische Party Indonesische Padvinders Organizatie atau Organisatie Pemoeda Indonesia Indische Sociaal - Democratische Parti} Indische Sociaal - Democratische Vereeniging Nationaal Indische Partij - Sarekat Hindia Nederlandsch Indische Spoorweg Nederlandsch - Indische Vrijzinnigenbond Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren Perserikatan Boeroeh Tjitak Politiek Economische Bond Ax Zaman Bergerak PFB PGHB PI PKBT PKI PKT PNI PPDH PPKB PPPB SATV SBB SBBE SDAP SDI SH Sl SPPH SR STOVIA THHK TKNM VIPBOW VSTP Personeel Fabriek Bond Perserikatan Goeroe Hindia Belanda Perhimpoenan Indonesia Perkoempoelan Kaoem Boeroeh dan Tani Partai Komunis Indonesia Perserikatan Kaoem Tani Partai Nasional Indonesia Perserikatan Pegawai Dinas Hutan Persatoean Perserikatan Kaoem Boeroeh Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemipoetra Partij Sarekat Islam fs Sidik Amanat Tableg Vatonah Sarekat Boeroeh Batik Serikat Boeroeh Bengkel dan Elektric Sociaal Democratische Arbeiders Partij Sarekat Dagang Islam Sarekat Hindia Sarekat Islam Sarekat Pegawai Pelikan Hindia Sarekat Rajat School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Tjong Hoa Hwee Koan Tentera Kandjeng Nabi Mohammad Vereeniging Inlandsch Personeel Burgerlijke Openbare Worken Vereenigte Oost - Indische Compagnie Vereeniging voor Spoor - en Tramwegpersoneel abangan Algemeene Arbeidsleger bekel Binnenlandsch Bestuur glidig ijtihad Islam Jamisan kasepan Daftar Istilab pemeluk agama Islam, tetapi tidak taat men- jalankan ajarannya dan sangat dipengaruhi ajaran Hindhu-Budha, Badan penyelidik umum Rescherchedienst Pasukan buruh, orang yang memegang hak sewa atas tanah dari pemegang tanah /ungguh. Administrasi dalam negeri Hindia Belanda, pe- gawai. negeri Eropa (BB) di Jawa kolonial. upah yang diterima petani alas kerjanya di perkebunan. proses untuk sampai kepada suatu penilaian baru dengan menarik kesimpulannya berda- sarkan sumber-sumber Islam (Alquran dan Hadis), menentang tindakan yang bersumber pada penerimaan tradisi. Islam semu. uang yang dibayarkan oleh pihak perkebunan xxii Zaman Bergerak kaum abangan kaum putihan kesatria kring Kromo kuli kuli kenceng Kweekschool Jungguh mantri polisi mardika Narpowandojo negara negaragung nggogol ngoko. Opiumregie pandita Pangreh Pradja partijtucht patih patuh pikul kepada petani sebagai kompensasi penggu- naan tanahnya lebih dari yang disepakati se- lama dua sampai enam bulan. lihat abangan. (kelompok) orang Islam yang beriman saleh atau taat pada ajaran Islam. lihat satria. secara harfiah berarti lingkaran; kelompok- kelompok yang lebih kecil dari cabang atau di bawah cabang. orang biasa tanpa pangkat dan status; bahasa Jawa tinggi. petani yang dikontrol oleh bekel, yang peker- jaannya mengolah tanah, membayar pajak, dan melakukan kerja paksa. petani yang berhak mendapat setengah bau tanah yang tersedia dan sebidang tanah un- tuk rumah. Sekolah Latihan Guru. tanah jabatan. pegawai kepolisian bumiputra. bebas, merdeka. Perkumpulan pangeran Kesunanan. pusat kekuasaan. bagian dalam, wilayah inti kekuasaan. bentuk tradisional protes petani, petisi yang disampaikan massa pada pejabat yang lebih tinggi. bahasa Jawa rendahan, kasar. monopoli opium pemerintah. orang bijaksana, pendeta dalam tradisi wa- yang. kesatuan pegawai administratif bumiputra disiplin partai. menteri utama. pemegang Jungguh. 61,76 kilogram atau 136161 pon. (Menurut Ka- mus Besar Bahasa Indonesia, 62,5 kg, red). prapat priayi Procureur recherche Tegent polisi Rekso Roemekso rust en orde santri satria Sekaten Siang-hwee singkeh sinyo tablig tandak vergadering Volkslectuur Volksraad vorst Vorstenlanden wargo pangarso wargo roemekso Daftar Istilah xxiii secara harfiah berarti perempat; lembaga yang berwewenang menengahi/melerai perti- kaian antara petani dan pemilik perkebunan. Orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat, con- tohnya golongan pegawai negeri. Jaksa Penuntut Umum, General. pasukan detektif, departemen penyelidikan. kepala polisi pribumi dalam jenjang yang sa- ma dengan bupati. Penjaga, perkumpulan yang didirikan oleh H. Samanhoedi untuk kegiatan tolong meno- long. keamanan dan ketertiban. murid-murid pesantren. prajurit aristokrat dalam legenda dan tradisi Jawa. perayaan istana untuk memperingati hari ulang tahun Nabi Muhammad. Dewan Perdagangan Cina. orang cina yang baru saja datang dari Cina. anak laki-laki Eropa atau Indo pertemuan keagamaan; khotbah umum ten- tang Islam. penari perempuan Jawa. rapat, pertemuan. Bacaan Rakyat, lembaga pemerintah yang menerbitkan buku-buku dan membuka per- pustakaan untuk penduduk serta mensurvai surat kabar Melayu-Cina dan Pribumi. Dewan Rakyat. pangeran, penguasa. wilayah kerajaan. secara harfiah berarti anggota-anggota yang mau pergi pertama; "sekumpulan ketua" SI yang ditunjuk dari tiap kampung. secara harfiah berarti anggota-anggota pen- jaga; kader. Pengantar Penerbit Prakata Daftar Singkatan Daftar Istilah Peta dan Tabel Arena Zaman Modal Pertama Reorganisasi Zaman Modal Kedua Zaman Modern Lahirnya Pergerakan Sarekat Islam Surakarta Dunia Pergerakan Munculnya Tjokroaminoto Marco dalam Doenia Bergerak Zaman Bergerak Munculnya Semaoen Tjokro Jadi Radikal Daftar Isi xi xix Xxi XXVIL 10 24 30 55 aD) 65 94 107 123 132 140 xxvi Zaman Bergerak Zaman Mogok dan Munculnya Si "Raja Mogok" 4. Insulinde dan Pemogokan Petani di Surakarta Tyipto, Sang Kesatria Misbach, Sang Mubalig Bangkitnya Insulinde Pertama Bangkitnya Insulinde Kedua Misbach dan Pemogokan Petani Tjipto, Douwes Dekker, dan Peristiwa Polanharjo & Solo di Zaman Pergerakan Tjipto Bergerak Bangkitnya Sarekat Hindia Zaman Terjungkirbaliknya Dunia Sarekat Abangan Serangan Balasan Pemerintah Hancurnya Sarekat Hindia 6. Zaman Reactie, Zaman Partij Menajamnya Perpecahan Gagalnya Pemogokan Umum PFB Perpecahan CSI Zaman Reactie Zaman Partij 7, Islamisme versus Komunisme Kembalinya Misbach Solo di Zaman Reaksi Perjalanan ke Manokwari Islamisme dan Komunisme 8 Tahun-Tahun Terakhir Kembalinya Marco Pemerintah versus Partai PKI dan SR Surakarta Bergerak Tahun Terakhir Penutup Pustaka Terpilih Indeks 147 159 160 172 186 199 213 224 237 237 256 270 278 283 295 297 302 317 343 344 366 383 392 413 414 427 437 451 469 475 493 Peta dan Tabel Peta 1. Jawa xxviii 2. Keresidenan Surakarta 1920-an p 6 3. Pusat Aksi Insulinde/NIP - SH 2il Tabel 1. Transportasi Kereta Api Melatui Jalur Timur - Barat dan Semarang - Vorstenlanden. nl 2. Tanah yang Disewakan kepada Perkebunan Eropa di Yogyakarta dan Surakarta, 1862-1920 (dalam bau) 14 3, produksi Gula dan Tembakau di Vorstenlanden, 1880 - 1910 15 4. Produksi Gula dan Tembakau di Keresidenan Surakarta, Boyolali, Klaten, Sragen, dan Wonogiri pada 1890, 1900, dan 1910 16 5. Jumlah Sekolah Bumiputra Angka Dua dan Murid 37 6. Hoofdbestuur CSI, 1914 - 17 101 UAL VE vandvw ekeqeing BALL 'T BRAG VLEVAVANS NVNAGISA NaH VLUVAVASOA NVNAGISaaaH HVONAL VAVE Sunpueg ° LVuvd VME ¥ L Arena ada masa kolonial di abad XIX dan XX, wilayah P Surakarta dan Yogyakarta merupakan tempat kedu- dukan empat kerajaan yang "berdiri sendiri” di ba- wah kekuasaan negara Hindia Belanda. Keraton Kesunanan dan Mangkunegaran berada di kota Surakarta, sedangkan keraton Kesultanan dan Pakualaman bertempat di Yogyakarta. Meskipun keempatnya secara formal mengaku pewaris Kerajaan Mataram — dinasti Jawa yang pernah memiliki kekuatan besar — mereka juga merupakan ciptaan kolonial Belanda, yang meletakkan wi- layah kekuasaan itu di bawah dua keresidenan, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Seluruh wilayah itu disebut Vorstenlanden (wila- yah raja-raja), dengan demikian membedakannya dari wilayah Jawa lain yang dikuasai langsung oleh pemerintah Hindia Be- landa. Sejak zaman VOC, orang-orang Belanda berulangkali meng- eksploitasi perpecahan intern, peperangan, dan kekacauan di dalam kerajaan Mataram untuk memperoleh kekuasaan ekono- mi, wilayah, dan politik yang lebih besar. Pada 1743, Pakubuwana Il kembali didudukkan sebagai raja oleh Belanda, setelah sebe- 2 Zaman Borgerak lumnya didaulat oleh lawan-lawannya lewat suatu pemberon- takan, Setelah itu, ia memindahkan keraton dari Kartasura ke Solo, dan menyerahkan seluruh pesisir Jawa kepada VOC. Inilah awal terbentuknya keraton Kesunanan di Solo, dan sekaligus awal penetrasi kolonial Belanda ke dalam wilayah inti kerajaan Mataram, karena mulai saat itu patih yang bertugas mengurus wilayah tersebut sekarang bekerja untuk kepentingan VOC dan sunan. Setelah itu, sebuah keraton tandingan didirikan di Yogya- karta melalui Perjanjian Gianti pada 1755, yaitu Kesultanan, de- ngan Sultan Hamengkubuwono | sebagai pemegang kuasa se- paro negaragung dan mancanegara Mataram. Dua tahun kemu- dian, Keraton Mangkunegaran — keraton tandingan lainnya — didirikan di Surakarta melalui Perjanjian Salatiga dengan Mas Said sebagai pendirinya. la bersumpah setia kepada Sunan, VOC, dan Sultan serta menerima gelar Pangeran Adipati Mangkunega- ra Tanah yang diberikan kepadanya dijadikan kerajaan yang me- miliki pemerintahan sendiri. Pembagian dan penggerogotan wi- layah Vorstenlanden lebih lanjut terjadi pada awal abad XIX. Se- lama perang, yang menghadirkan pemerintahan sementara Ing- gris di Jawa (1811-1816), dibentuk sebuah Kerajaan kecil, Pakualam- an, wilayahnya adalah potongan sebagian wilayah Kesultanan. Dengan berakhirnya Perang Jawa (1825-1830) dan diambil alihnya mancanegara oleh Belanda, terjadi babak akhir pembagian wi- layah Vorstenlanden, yang terbatas pada negaragung Mataram dan Pajang, di bagian selatan Jawa Tengah, terbagi secara admi- nistratif menjadi empat kerajaan yang impoten baik secara po- litik maupun militer. Keresidenan Surakarta terdiri atas wilayah Kesunanan dan Mangkunegaran. Batas wilayahnya sebagian dibentuk oleh Gu- nung Lawu di sebelah timur dan Gunung Merapi serta Merbabu di sebelah barat. Di bagian tengah keresidenan itu membentang dataran Solo yang subur, dikelilingi oleh kaki Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah barat serta kaki Gunung Lawu di sebe- lah timur. Di sebelah selatan berjajar deretan bukit kapur dan Gunung Sewu. Sementara di ‘sebelah utara wilayah ini bertemu dengan rangkaian gunung. Bengawan Solo mengalir melalui da- taran Solo dari selatan ke utara. Dalam perjalanannya ke Jawa Timur dan Laut Jawa, sungai ini melintasi kota Surakarta dan Arena 3 memberikan kesuburan bagi tanah di dataran Solo. Kota Surakarta, yang menjadi tempat kedudukan. bagi ke- raton Kesunanan dan Mangkunegaran serta kantor Residen Be- landa, terletak di tengah dataran Solo. Kota itu berada di pinggir kiri Bengawan Solo, dan Kali Pepe mengalir melintasinya. Bagian terbesar kota ini menjadi mjlik Kesunanan, sedangkan seperli- manya milik Mangkunegaran. Di luar kota, wilayahnya dibagi antara Kesunanan dan Mangkunegaran. Jika kita ikuti pembagi- an administratif yang muncul pada akhir abad XIX, afdeling (ka- bupaten) Klaten dan Boyolali, serta sebagian besar Sragen meru- pakan milik Kesunanan. Sementara itu, Karanganyar dan Ka- tangpandan milik Mangkunegaran. Kabupaten Wonogiri berada di wilayah Mangkunegaran, kecuali desa Sukoharjo dan Tawang- sari yang menjadi milik Kesunanan. Berdasarkan data sensus pertama yang dapat dipercaya pada 1920, wilayah kekuasaan Sunan luasnya 3.360 kilometer persegi dengan penduduk sebanyak. 1383,000) orang. Mangkunegaran meliputi daerah seluas 2780 kilometer persegi dengan penduduk sebanyak 706.000 orang. Jumlah penduduk di kota Surakarta mencapai 134.000 orang termasuk penduduk Eropa, Indo, Tiong- hoa, dan Arab. Pada 1920, jumlah penduduk Eropa dan Indo se- banyak 5.000 orang, dan separonya tinggal di kota. Orang Tiong- hoa mencapai jumlah 14.000 orang dan 8.000 orang di antaranya tinggal di ibukota. Orang Arab berjumlah 800 orang dan semua- nya tinggal di dalam kota.’ Gambaran penduduk yang beragam lebih terlihat di kota Su- rakarta, di mana orang-orang Eropa, Indo, Tionghoa, Arab, dan orang “Timur Asing” lainnya mencapai sepuluh persen dari jum- lah seluruh penduduknya? 1 “Volkstelling 1920". Batavia: Landsdrukkerij. him 100-101 2 Di Keresidenan Yogyakarta. Kesultanan meliputi area seluas 2900 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sebanyak 1248000 orang. Pakualaman me- nempati area seluas 145 kilometer persegi di kota Yogyakarta dan Kabupaten Adikarta, dengan jumlah penduduk sebanyak 96000 orang. Berdasarkan luas wilayah dan jumlah, penduduk. Kesunanan menempati tempat teratas, ditkuti oleh Kesultanan. Mangkunegaran, lalu Pakualaman sebagai tambahan kecil 4 Zaman Bergerak Menurut konsepsi tradisional Jawa, pusat kekuasaan adalah negara, dan pusat negara adalah keraton Sunan? Sunan ber- tempat tinggal di dalam puri keraton bersama istri dan putra- putri keluarga raja lainnya. Di luar puri keraton, tetapi masih di dalam kompleks keraton yang lebih luas dan dikelilingi oleh tembok pembatas, tersebar tempat tinggal para pegawai, pejabat, anggota istana, serta berbagai tukang dan pekerja. Lapangan di sebelah selatan dan utara istana adalah alun-alun. Di sebelah barat alun-alun utara terletak Mesjid Besar yang dikelilingi oleh Kampung Kauman. Daerah ini merupakan tempat tinggal para abdi dalem putihan, pegawai keagamaan Sunan yang dipimpin oleh seorang penghulu. Di luar negara adalah negaragung, yang melebar ke selatan, barat, utara, dan timur laut. Namun, perwujudan konsepsi tradisional tentang wilayah ke- rajaan, berakhir di sini. Di sebelah barat daya, di luar batas nega- ragung, merupakan daerah Kesultanan yang memiliki status sa- ma dengan Kesunanan Di dalam Keresidenan Surakarta sendiri. Karanganyar dan Wonogiri di sebelah timur dan sebelah teng- gara negara berada di bawah kekuaSaan Mangkunegaran. Bah- kan di dalam negara, terletak keraton Mangkunegaran sekaligus dengan Kampung-kampung tempat tinggal pegawai dan ten- taranya yang terletak di sebelah barat laut keraton Sunan, di tepi barat Kali Pepe. Kepatihan juga terletak di ‘sebelah barat laut keraton Sunan. di seberang Kali Pepe. Kepatihan ini adalah lem- baga tradisional warisan zaman Mataram, tetapi sekarang Sunan hanya meresmikan pengangkatan patih, setelah mendapat per- setujuan Belanda Dengan dukungan Belanda — kepada siapa sang patih harus bersikap setia selain kepada Sunan — kepatih- an tumbuh semakin bebas dari Kesunanan dan sekarang we- wenang dan tanggung jawab administrasi yang sebenarnya ada di tangan lembaga itu. Di antara keraton Sunan dan kepatihan, tepat di sebelah uta- ra alun-alun, terletak permukiman orang-orang Eropa, rumah 3. Untuk konsepsi tradisional tentang wilayah kekuasaan. lihat Selo soemardjan, Social Changes in Jogjakarta, Ithaca, NY: Cornel! University Press, 1960, him. 23- 27; HK. J. van Deinse, De Toestand in de Vorstenlanden, Leiden P. Somerwill, 1887, him. 32-33. Arena 5 residen, pegawai-pegawai, gereja, gedung pertunjukan, klub-klub, sekolah, dan Benteng Vastenburg, Residen Belanda memainkan peran ganda. Pertama, ia memegang hak hukum terhadap orang Eropa dan seluruh penduduk lainnya di luar kekuasaan Sunan atau Mangkunegara. Peran kedua yang lebih penting, ia adalah pejabat politik dan wakil resmi gubernur jenderal Hindia Belanda bagi kedua raja tersebut. Secara resmi, ia adalah “bapak” bagi sunan dan “teman” bagi Mangkunegara. Hubungannya dengan sunan pada umumnya ditentukan oleh persetujuan politik yang telah ditandatangani oleh raja ketika naik tahta, sementara hu- bungannya dengan Mangkunegara ditentukan oleh sebuah serti- fikat, akte van verband. Permukiman orang Tionghoa yang utama adalah Pasar Gede yang terletak di tengah kota, di tepi utara Kali Pepe. Daerah ini diurus oleh seorang pegawai Tionghoa yang ditunjuk oleh penguasa Belanda. Pegawai Tionghoa ini memiliki hubungan ke- luarga dan bisnis yang dekat dengan perdagangan opium milik orang-orang Tionghoa. Pada abad XIX, ketika pas jalan dan peng- aturan tempat tinggal dikenakan kepada orang-orang Tionghoa, pegawai ini bertanggung jawab atas orang Tionghoa yang berada di wilayahnya. Para pemilik “pacht” (perkebunan yang disewa- kan) dan pekerjanya dibebaskan dari peraturan tempat tinggal dan diberi kelonggaran dalam penggunaan pas jalan. Di bawah kondisi seperti ini perusahaan-perusahaan penghasil pajak, yang paling penting diantaranya “pacht” opium, merupakan roda peng- gerak utama bagi pedagang Tionghoa untuk membuka pasar di wilayah pedesaan dan banyak jatingan-jaringan dagang yang berpusat di sekeliling “pacht” didominasi oleh elit-elit Tionghoa peranakan. Di antara para elit ini, para pegawai Tionghoalah yang paling menonjol. Dengan demikian, para pegawai dan peng- usaha Tionghoa mengawasi jaringan-jaringan yang berkenaan dengan hubungan manusia, barang-barang, uang, dan kredit ke wilayah pedesaan Jawa sebagai penukar beras dan hasil pertani an lainnya Di Keresidenan Surakarta, Kota Gede, sesuai dengan namanya, membentuk pusat kegiatan dagang non-Eropa* 4. Untuk analisis dan deskripsi yang baik tentang pacht opium dan pegawai- pegawai Tionghoa pada abad XIX, lihat James R Rush, ‘Opium Farm in KERESIDENAN | SEMARANG KERESIDENAN P Karanggede KESUNANAN © Jeman Lihat map 3 MANGKUNEGARAN o Jatisrono KERESIDENAN YOGYAKARTA, Keterangan Jalan kereta api — Jalan Uiama 44 Perbatasan antara Kesunanan dan ‘Mangkunegaran, LAUTAN HINDIA Peta 2. Keresidenan Surakarta, 1920-an Arena 7 Penyimpangan Kesunanan dari konsepsi tradisional tentang kerajaan, seperti yang terlihat melalui topologinya, mencermin- kan perubahan mendasar yang dirasakan dan dialami oleh elit penguasa Jawa sejak Perang Jawa, 1830. Dengan kondisi terbagi menjadi empat, terkunci di bagian selatan Jawa Tengah, serta de- ngan getir menyadari bahwa kekuatan militer dan politik mereka impoten di hadapan Belanda, jelas bagi semua pihak bahwa penguasa Jawa tidak lagi bisa bertindak sebagaimana seharus- nya seorang penguasa Jawa bertindak. Kenyataan ini menghan- tam dasar legitimasi tradisional, walaupun mekanisme internal untuk pemerintahan kerajaan diserahkan kepada para patih. Dalam era rust en orde (keamanan dan ketertiban) kolonial Belanda yang baru ini, Surakarta dan Yogyakarta ditempatkan dalam situasi yang berbedaS Pada 1830,bukan hanya menandai era baru di Vorstenlanden, tetapi juga merupakan tahun diperke- nalkannya Sistem Tanam Paksa oleh Gubernur Jenderal J. van den Bosch di Hindia. Kebijakan kolonial yang baru ini, yang mengharuskan para pegawai Belanda bekerja lebih dekat de- ngan pegawai bumiputra, tentunya memerlukan lebih banyak ahli Jawa berkebangsaan Belanda yang dapat berbicara bahasa Jawa dan memahami berbagai hal tentang Jawa. Untuk memenu- hi tujuan ini, didirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lemba- ga Bahasa Jawa) di Surakarta, tempat ahli-ahli Jawa berkebang- saan Belanda kemudian mempelajari bahasa Jawa Surakarta dan melakukan kunjungan ke tempat-tempat seperti Dieng, Borobu- dur, dan Prambanan untuk melihat tradisi Jawa kuno. Dalam de- kade 1840-an lembaga ini digantikan oleh Royal Academy yang didiri ji Delft, lalu dipindah ke Leiden dan berhubungan de- ngar{ Universitas Leiden) Tokoh utama yang membangun dasar pelembagaan studi Jawa di Belanda adalah Taco Roordg. yang menjadi pendiri Javanologi Belanda di Universitas Leiden. Dalam Nineteenth Century Java: Institutional Continuity and Change in a Colonial Society, 1860-1910" (disertasi. Yale University. 197) 5. Pembahasan berikut tentang kolonisasi tradisi budaya Jawa, dilandaskan pada Kenji Tsuchiya, '19-Seiki Jawa Bunka-ron Josetsu: Jawa-gaku to Ronggowarsito no jidai, “dalam Kenji Tsuchiya dan Takashi Shiraishi, Tonan Ajia no Seiji to Bunka, (Tokyo: Tokyo Daigaku Suppankai, 1984), him. 71-127 8 Zaman Bergerak tahun-tahun int para ahli Jawa berkebangsaan Belanda dan Java- nolog meneliti dan mempelajari kebudayaan dan bahasa Jawa Surakarta. Kamus Jawa-Belanda dan teks-teks tentang tata ba- hasa Jawa disusun berdasarkan bahasa Jawa Surakarta, dan jenis naskah Jawa yang diproduksi didasarkan pada apa yang terdapat di keraton Sunan. Bahasa Jawa Surakarta menjadi bahasa Jawa baku dan Surakarta, khususnya keraton Sunan dijadikan lam- bang kebudayaan Jawa oleh kekuasaan Belanda dan Javanologi Belanda. Para Javanolog Belanda ini lebih jauh lagi mempelajari kesusastraan, bahasa, dan sejarah Jawa kuno, yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa: Javanologi Belanda me- ngembalikan tradisi Jawa kuno dan menghubungkannya dengan Surakarta. Dengan demikian, para penguasa Surakarta, terutama Kesunanan melalui Belanda memperoleh pengakuan sebagai pe- mangku terhadap tradisi Jawa dan sekaligus pengakuan terhadap legitimasi budaya Namun, proses legitimasi budaya Surakarta oleh orang Belan- da ini juga memiliki sisi lain. Pertama, Javanologi Belanda dengan minat besar terhadap bahasa Jawa kuno yang dilengkapi dana, metode, Serta lembaga yang kuat segera membeberkan dangkal- nya pemahaman orang Jawa terpelajar tentang tradisi Jawa kuno dan menjadi satu-satunya penakluk. Javanologi Belandalah yang “menemukan”, "mengembalikan”, dan membentuk serta membe- rikan makna terhadap masa lalu Jawa. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka juga harus membaca karya- karya Javanolog Belanda yang ditulis dalam bahasa Belanda dan jika mungkin, melalui pendidikan Javanologi di negeri Belanda® Kedua, seiring dengan berkembangnya Javanologi Belanda yang profesional, di Surakarta muncul sebuah komunitas Indo-Jawa- Tionghoa amatiran yang mencintai dan mengembangkan kesu- 6 Pada awal abad XX, sejumlah pangeran dari Kesunanan dan Mangkunegaran dikirm ke Belanda untuk mengikuti pendidikan tinggi dan mempelajari Ja vanologi, termasuk di dalamnya RM. Soerjosoeparto (kemudian menjadi Mang kunegara VII), RM. Woerjaningrat, Pangeran Ngabehi (kemudian menjadi Paku- buwana XI), dan Pangeran Hadiwidjojo. Semuanya memainkan peranan penting dalam Boedi Oetomo pada dekade 1910-an dan 1920-an, menyerukan nasionalis. me Jawa Arena 9 sastraan Jawa “modern, dekaden" serta segala kegiatan budaya- yang diabaikan dan dikesampingkan oleh Javanolog Belanda. Ko- munitas ini terbentuk dengan surat kabar berbahasa Jawa yang pertama, Bromartani, sebagai pusatnya. Surat kabar ini diterbit- kan pada 1855 oleh CF Winter, seorang Indo yang dilahirkan di Yogyakarta dan sampai meninggalnya tinggal di Surakarta. Surat kabar ini dibaca, diedarkan, dan dilanggan oleh segmen elit Jawa yang paling terpengaruh peradaban Barat dan juga oleh orang- orang Indo dan Tionghoa. Surat kabar ini menjadi forum baru bagi aktivitas kesusastraan Jawa? Tidak ada yang dapat lebih jelas menggambarkan transforma- si budaya di Surakarta pada abad XIX ini daripada tempat yang diduduki oleh R.Ng. Ranggawarsita saat itu. Melalui kemampuan bahasanya ia melegitimasi kekuasaan. la adalah pujangga istana Kesunanan yang tidak terpakai lagi karena urusan legitimasi bu- daya telah diberikan pada Belanda Dengan demikian, yang men- jadi patron baginya bukan lagi istana Sunan, melainkan para Javanolog Belanda dan komunitas Indo-Jawa-Tionghoa yang me- ngembangkan kesusastraan Jawa modern. la bekerja sebagai in- forman bagi para Javanolog Belanda namun ia semakin diragu- kan sebagai informan untuk kesusastraan dan tradisi budaya Jawa. Pada 1860, Cohen Stuart mencemooh ketidaktahuannya tentang bahasa Jawa Kuno, dan pada akhir abad XIX pengakuan- nya sebagai orang yang berwenang terhadap tradisi Jawa kuno telah dianggap tidak benar dalam pikiran para Javanolog Belan- da. Meskipun demikian, syairnya tetap legendaris bagi zamannya dan menetapkan standar kecakapan artistik bagi zaman itu. Tu- lisan-tulisannya disebarkan melalui percetakan, bukan melalui naskah salinan tangan, dan dinikmati oleh anggota komunitas Indo-Jawa-Tionghoa yang terpelajar, bukan di dalam lingkaran keraton. Kedudukan Ranggawarsita sebagai pujangga istana se- demikian rupa, dunia syairnya diliputi kebisuan dan kengerian, di mana keraton, naskah, masa lalu, dan zaman dilukiskan be gitu lengang dan kosong bagaikan naskah-naskah yang tidak 7 Anthony Day, Meanings and Change in the Poetry of Nineteenth-Century Java" (disertasi Cornell University, 1980, him. 257-263. 1 Zaman Bergerak bernyawa dan monumen masa lalu yang abadi, tetapi terbuang® Dunia yang diciptakan dalam tulisannya memperlihatkan bahwa penguasa dan kerajaan tidak berdaya dan sumber kebijakan tra- disional telah dikuasai Belanda. Ranggawarsita kemudian me- nyatakan hal yang tidak mungkin dikatakan - bahwa penguasa tidak lagi sebagaimana seharusnya dan hanya menjadi lambang- lambang kosong - dan meninggal dunia pada 1873. Tetapi, pera- saan yang kuat tentang kontradiksi, ketidakjelasan, dan misteri telah ada dalam tulisan-tulisannya, dan ketika arah dan pandang- an sosial yang baru mulai berlaku, tulisan-tulisannya menjadi gu- dang senjata kultural yang subur bagi mereka yang mengguna- kannya di luar konteks di mana Ranggawarsita hidup dan men- derita. Zaman Modal Pertama Dalam tahun-tahun terakhir Ranggawarsita, mesin pembawa perubahan baru telah digerakkan di Vorstenlanden dan Jawa se- cara keseluruhan. Mesin itu adalah modal. Zaman modal, zaman politik kolonial yang liberal dan kapitalisme swasta, secara for- mal diatur dalam Undang-undang Agraria 1870. Pada tahun yang sama jalur kereta api pertama di Hindia sampai ke Vorstenlanden dari Semarang. yang dikelola oleh perusahaan swasta Neder- landsch Indische Spoorweg (NIS) untuk mengangkut gula yang dihasilkan perkebunan tebu swasta di Vorstenlandeén. Beberapa tahun setelah munculnya jalur kereta api, pengangkutan barang melalui Sungai Solo terhenti, dan pusat perdagangan berpindah dart Sangkrah dan Beton ke bagian-bagian tengah® Transportasi kereta api antara Semarang dan Vorstenlanden meningkat dengan past. Pada 1875, jalur kereta api tersebut mengangkut 899.000 penumpang dan 124.000 ton barang dagangan, dan mendapat pemasukan sebesar 2 juta gulden. Pada 1880, jalur kereta api itu mampu mengangkut 950.000 penumpang dan 334.000 ton barang dagangan yang menghasilkan 2.6 juta gulden. Dalam waktu lima tahun jumlah barang dagangan yang diangkut dengan kereta api 8 Ibid, him. 187-189, 257, 267-284 9: RMP Socrachman, Het Batikbedrijf in de Vorstenlanden, Weltevreden: Landsdrukkerij, 1927). him. 23. Arena 11 meningkat sebesar 270 persen. Kemudian pada 1884, jalur timur yang dikelola perusahaan negara, State Railway (SS) mencapai Surakarta dan menghubungkan Vorstenlanden dengan Surabaya Pada 1895, jalur barat dan timur yang dikelola SS dan jalur Se- marang-Vorstenlanden yang dikelola NIS mengangkut sebanyak 5.759.000 penumpang dan memperoleh pemasukan sebesar 3.054.000 gulden dari biaya penumpang dan 6.588.000 gulden dart pengangkutan barang dagangan. Selanjutnya pada tahun-tahun terakhir abad XIX dan dekade pertama abad XX, jalur trem di- bangun malang melintang di Vorstenlanden: Jalur Trem Yogya- karta-Brosot, Jalur Trem Yogyakarta-Magelang-Parakan, dan Ja- lur Trem Surakarta-Boyolali, yang semuanya dikelola oleh NIS.'° Perkembangan jaringan kereta api dan trem ini secara lebih efi- sien menghubungkan daerah pedesaan Vorstenlanden dengan negara-negara, dan seluruh Vorstenlanden dengan pusat perda- gangan utama di sebelah barat, utara, dan timur serta memin- dahkan orang dan barang dalam jumlah yang semakin mening- kat (lihat tabel 1). Perubahan yang tengah berjalan dipercepat dan paling menonjol di daerah pedesaan dengan penetrasi perkebun- an Belanda dan transformasi sistem /ungguh yang terjadi ber- samaan, Tabel | Transportasi Kereta Api Melalui Jalur Timur-Barat dan Semarang- Vorstenlanden Penghasilan dari Penumpang Barang Kilometer Penumpang (dalam ribu gulden) 1895 1319 5.759.000 3.054 6588 1900 1609 9.738.000 4022 9743 1905 1704 13.361,000 4979 10.216 1910 2174 28.420.000 8825, 15738 1915 2448 42.579.000 13.685 22194 Sumber: Dihitung dari data dalam Koloniaal Verslag, 1896. 1901, 1906, 1911, dan 1916. 10. Untuk perkembangan kereta api, lihat "Spoor- en Tramweg" dalam Encyclo- poedie van Nederlandsch Indie, edisi kedua. Data-data statistik dihitung dari data yang tercantum dalam Koloniaal Verslag, 1876, 1881, 1896. 12 Zaman Bergerak Di Vorstenlanden, Cultuurstelsel tidak dijalankan dalam kurun waktu 1830 sampai 1870, dan perkebunan swasta Belanda dapat bergerak paling bebas di wilayah kerajaan ini. Di Vorstenlanden, bahkan sebelum 1830, sejumlah orang Tionghoa dan Eropa me- nyewa tanah dari penguasa dan para pemegang Jungguh. Akan tetapi, sebelum 1830, tanah yang disewakan selain kecil juga le- taknya hanya di pinggiran negara, ditanami padi, sayuran, dan buah-buahan hanya untuk konsumsi lokal. Dalam kurun waktu 1830 sampai 1850 situasi ini tidak banyak berubah, dan tanah yang disewakan kepada orang Tionghoa dan Eropa tetap Saja ke- cil. Di Yogyakarta, tanah yang disewakan tidak pernah lebih besar dari 15.000 bau (1 bau sama dengan 0,7 hektar) dan di Sura- karta tidak lebih dari 50000 bau. Pada dekade 1850 dan 1860-an, modal swasta Belanda mulai mengalir memasuki Vorstenlanden, sambil menekan pemerintah Hindia agar membuka wilayahnya. Pemerintah Hindia melarang orang Tionghoa untuk menyewa tanah di Vorstenlanden, namun membiarkan modal swasta Be- landa membanjiri wilayah itu. Dengan begitu, tanah yang disewa- kan kepada tuan kebun Eropa meningkat ‘dengan cepat pada de- Kade 1850 dan 1860-an. Di Surakarta pada'l855, pemilik perkebun- an Eropa menyewa tanah seluas 30.000 Bau, Ahgka ini meningkat menjadi 160.000 bau pada 1860 dan mencapai 200.000 bau pada 1864. Di Yogyakarta, jumlah tanah yang disewa oleh orang Eropa bergerak lamban, tetapi juga cukup besar. Pada 1853 hanya seki- tar 15000 bau, dan pada 1862 meningkat menjadi 46.000 bau.11 Perbedaan antara Yogyakarta dan Surakarta bukan hanya pada jumlah tanah yang disewakan, tetapi juga pada jenis tanaman- nya. Misalnya di Surakarta pada 1870 ada 137 perkebunan yang beroperasi, 73 di antaranya menanam kopi atau kombinasi de- ngan beberapa tanaman lain, 31 di antaranya menanam tebu, 30 indigo, dan 19 tembakau. Pada tahun yang sama hanya ada 58 perkebunan di Yogyakarta, dengan 46 di antaranya menanam indigo, 8 tebu, dan 6 tembakau.12 i JM: Roosenschoon: "De Westerse Cultures op Java voor 1870/" (disertasi, Utrecht. 1945), him. 444-448, 450-451 \2. Kolomaal Verslag, 1871 Arena 3 Penanaman kopi yang luas di Surakarta dan tidak ditanam- nya kopi di Yogyakarta menunjukkan bahwa di Yogyakarta tanah datar hanya disewakan kepada pemilik perkebunan Eropa, se- dangkan di Surakarta pemilik perkebunan dapat memperoleh tanah baik di dataran rendah maupun daerah bukit. Jaringan ke- Teta api mencapai Vorstenlanden untuk melayani perkebunan yang telah meningkat. baik dari segi jumlah maupun ukurannya, dan menyediakan alat angkut bagi produk-produknya. Jadi, dalam dekade 1870-an perkebunan di Vorstenlanden meningkat dengan cepat. Tanah yang disewakan kepada pengusaha Eropa mencapai 301.000 bau di Surakarta dan 88.000 bau di Yogyakarta (lihat Tabel 2). Depresi ekonomi pada pertengahan dekade 1880-an menjadi titik balik dalam perkembangan perkebunan Eropa di Vorsten- landen. Pada tahun-tahun sebelum depresi, perkebunan dimiliki dan dikelola oleh-pengusaha swasta Eropa.secara pribadi yang bertanggung_jawab_hanya_ pada_dirinya. Mereka menyewa tanah dan menjalankan perkebunan dengan modal yang mereka pin- yam dari lembaga keuangan. Bank perkebunan (Culture Bank) yang paling aktif di Vorstenianden saat itu adalah Dorrepaal Co. yang pada 1884 membiayai 21 perkebunan tebu, 38 perkebunan kopi, dan 53 perkebunan lainnya di daerah Vorstenlanden.13 Oleh karena ada sebagian pengusaha yang kekurangan uang, sementara tingkat suku bunga tinggi, mereka sangat mudah di- pengaruhi oleh jatuhnya harga tanaman, dan tidak sanggup mem- bangun pabrik-pabrik gula yang padat modal. Beberapa penggi- lingan tebu yang ada di daerah itu pada masa sebelum depresi sangat kuno dan digerakkan hanya oleh tenaga air atau ker- bau.'4 Mereka juga tidak dapat menyimpan uang untuk mengem bangkan teknik, pembibitan, dan penggunaan pupuk. Dengan de- mikian, produktivitas tetap rendah. Perluasan perkebunan sebe- narnya berjalan statis. Ketika jumlah penanam yang datang se- makin banyak, tanah yang disewakan kepada perkebunan pun 13. )S) Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambridge Cam- bridge University Press, 1944, him. 197-198 14 Roosenschoon, "De Westerse Cultuur” him. 454 14 Zaman Borgerak Tabel 2. Tanah yang Disewakan kepada Perkebunan Eropa di Yogyakarta dan Surakarta, 1862-1920 (dalam bau) Surakarig” Yogyakarta 1862 46.000 1864 200.000 1875 248.000 78.000 1880 301000 88.000 1890 « 259.000 93.000 1905 273000 93.000 1900 246.000 89,000 1905 245.000 85.000 1910 235,000 95.000 1915 214.000 97.000 1920 183.000 102.000 Sumber. Angka-angka dari tahun 1862 dan 1864 diambil dan Rossen- schoon, "De Westerse Cultures op Java" him. 450. Angka-angka dari tahun 1875 dan seterusnya berasal dari Koloniaal Verslag, 1876, 1881, 1891, 1901, I911, 1916, dan 1921. semakin luas, dan semakin banyak pula indigo dan tembakau yang ditanam, jika dibandingkan dengan tebu yang padat modal Depresi yang terjadi pada pertengahan dekade 1880-an sebenar- nya menyapu para penanam swasta yang berdiri sendiri. Dorre- paal Co. jatuh pailit pada 1884, dan diubah menjadi Dorrepaalsche Bank, dan direkonstruksi kembali menjadi Cultuur Maatschappij) der Vorstenlanden (Perusahaan Perkebunan Vorstenlanden) yang mengawasi sejumlah perkebunan di tempat itu. Kini modal peru- sahaan mulai mengambil alih perkebunan. Perusahaan-perusa- haan itu disusun kembali menjadi perusahaan terbatas, semen- tara para pengusaha individual memberi jalan kepada manajer- manajer yang digaji untuk bertanggung jawab sebagai direktur perusahaan. Bank-bank perkebunan terus memberi dana kepada perusahaan-perusahaan ini, tetapi dengan tuntutan kontrol ter hadapnya. Dengan mempekerjakan penasihat-penasihat dari ka- langan manajer perkebunan yang terbaik, mereka dapat me- nuntut pengembangan teknik, bibit. dan proses produksi. Mereka Arena 15 bahkan bisa mengadakan intervensi untuk urusan penanaman dan bisnis.'S Bank-bank perkebunan berhubungan dengan lem- baga bank biasa yang berpusat di Negeri Belanda. Modal perusa- haan yang mengawasi perkebunan dengan begitu punya kekuat- an politik yang besar di negeri induk. Pada tahun-tahun setelah depresi, modal perusahaan berhasil menekan pemerintah Hindia untuk memperpanjang masa penyewaan tanah menjadi tiga pu- luh tahun, membangun pabrik-pabrik gula yang dijalankan de- ngan uap, menanam uang untuk mengembangkan teknik dan bi- bit, dan akhirnya meningkatkan produktivitas tanaman per- kebunan. Penyewaan tanah tidak lagi berkembang pesat, dan sekaligus makin sedikit tanah subur yang dikembalikan kepada penguasa dan pemegang /ungguh, tetapi produksi menanjak sangal cepat, Dengan berkembangnya jaringan kereta api maka transportasi tidak lagi menjadi masalah. Mandeknya harga kopi dan indigo di pasaran dunia membuat penanamannya tidak menguntungkan lagi, sementara penanaman tebu makin meng- untungkan, apalagi setelah Konvensi Brussels tahun 1902 yang membuka paSaran dunia bagi gula tebu.® Wilayah yang semula disewakan kepada perkebunan kopi mulai dikembalikan, semen- tara tanaman indigo diubah menjadi tembakau dan khususnya tebu. Tabel 3. Produksi Gula dan Tembakau di Vorstenlanden, 1880-1910 Gula (dalam ribuan pikul) Tembakau (dalam ton) _ Surakarta Yogyakarta Surakarta Yogyakarta 1880 198. 277 805 49 1890 332 475 1053 7 1900 725 865 5717 1520 1910 1215 1.687 6421 1855 Sumber Angka-angka dihitung dari data dalam Koloniaal Verlag, 1881, 1891. 1901, dan ou 15. Furnivall, Netherlands india, him. 197-199 {6. William |. OMalley, “Indonesia in the Great Depression: A Study of East Sumatra and Jogjakarta in the 1930s" (disertasi, Cornell University, 1977), him 46 16 Zaman Bergerak Dalam dekade terakhir abad XIX dan dua dekade pertama abad XX, tanaman perkebunan yang paling penting di daerah Vorstenlanden adalah tebu, disusul tembakau di tempat kedua. Di Surakarta, produksi gula meningkat dari 332.000 pikul (satu pikul sama dengan 61.76 kilogram) pada 1890 menjadi 725.000 pa- da 1900 dan 1.215.000 pada 1910. Sementara itu, produksi tembakau meningkat dari 1053 ton pada 1890 menjadi 5.716 ton pada 1900 dan 6421 ton pada 1910. Di Yogyakarta, produksi tembakau tidak pernah menjadi begitu penting seperti di Surakarta, tetapi pro- duksi gulanya selalu lebih tinggi dan meningkat dari 475.000 pi- kul pada 1890 menjadi 865.000 pada 1900 dan 1.687.000 pada 1910 (lihat Tabel 3). Di Surakarta perkebunan gula dan tembakau milik Belanda menempati tanah-tanah sawah yang subur di Klaten dan sebagian wilayah Keresidenan Surakarta, Boyolali, dan Sra- gen yang berada di bawah kekuasaan Kesunanan. Perkebunan Belanda tidak banyak bergerak di Mangkunegaran, Malah Mang- kunegara IV, "sang pembaru" yang mendirikan pabrik gula milik kerajaan di Tasikmadu dan Calamadu pada awal 1870-an dan menjalankan perkebunan milik kerajaan, sementara menghapus sistem /ungguh pada 1871 (lihat Tabel 4). Di Yogyakarta, perkebun- an beroperasi di Sleman, Kalasan, dan Bantul yang dikuasai Tabel 4. Produksi Gula dan Tembakau di Keresidenan Surakarta, Boyolali, Klaten, Sragen, dan Wonogiri pada 1890, 1900, dan 1910 Surakarta Boyolali Klaten Sragen Wonogiri Mangkunegara Gula (dalam ribuan pikul) 1890 103 203 26 -_ 48 1900 66 4 520 98 = 102 1910 2 M2. 829 183 195 Tembakau (dalam ton) 1890 uw 35. 950 54 3 1900 614 295 4454 306 49 1910 839 200: 5255 121 6 Sumber: Koloniaal Verslag, 1891, 1901. 1911 Arena 17 Kesultanan. Wilayah Pakualaman terlalu kecil,, bahkan untuk memberikan tanah lungguh kepada para pangeran dan pejabat- nya, karena itu pada 1877, Pakualam V menghapus:seluruh sis- tem Jungguh, Perkebunan Eropa melakukan penetrasi ke daerah pedesaan Kesunanan dan Kesultanan, daerah di mana perleng- kapan lembaga tradisional dari negara Mataram untuk mengon- trol dan mengeksploitasi petani tetap dipertahankan dan pada gilirannya diubah untuk menguntungkan mereka: Secara tradisional negara Mataram tidak mengontrol tanah, tapi mengontrol penduduk beserta hasil yang diperoleh dari ta- nah garapan mereka.!7 Kerajaan. seperti juga tanah-tanah Jung- guh, diukur dengan jung yang sama besarnya dengan empat kar- ya, sebidang tanah untuk seorang cacah atau rumah tangga yang ukuran sesungguhnya berbeda-beda, tergantung pada kesubur- an tanah dan persediaan airnya.Kesunanan, seperti kerajaan lainnya, mewarisi sistem dominasi tradisional ini Pada 1910, Ke- sunanan mengontrol 10.520 jung — jumlah jung)yang dikontro! Kesunanan selalu berubah sepanjang waktu karena penduduk nya bertambah dan kesuburan tanahnya berubah karena irigasi — yang dibagi menjadi wilayah yang melayani Sunan dan wila- yah yang diberikan sebagai [ungguh kepada para pangeran (sen- tana dalem)dan para pegawai (abdi dalem).1® Tanah. yang diberikan kepada mereka disebut Jungguh dan orang yang memegangnya disebut_patuh atau lurah_patuh. Pe- megang lungguh ini menikmati hak memungut\pajak atau’ mem. peroleh tenaga kerja dari orang-orang yang tinggal diatas tanah- nya — selama tiga generasi untuk para pangeran dan sepanjang masa jabatan bagi para pejabat. 17 Pembicaraan berikut tentang sistem lungguh dan perubahannya didasarkan pada R. Soepomo. De Reorganisatie van het Agrarische Stelse! in het Gewest ‘Soerakarta, (The Hague: L. Gerretsen, 1927), G. Rouffeur, "Vorstenlanden;* Ada trechtbundels 34 (1931), PW. Jonquiere, “Grepen uit de Vorstenlandsche Historie van de laatste jaren,” Koloniaal Tijdschrift, No. 7 (1918), him. 1399-1425. 18 Dari 10520 jung yang dikontrol Kesunanan, 1880 di antaranya diberikan sebagai lunggub kepada para sentana dalem. 5.700-kepada para abdi dalem, dan 240 jung kepada perdikan desa, sementara Sultan menguasai 2700 jung untuk ke- perluannya sendiri H. van Kol, Reisbrieven van H. van Kol De Reorganisatie der Vorstenlanden (Yogyakarta: "Midden-Java", 1911), him. 11-14 18 Zaman Bergerak Para pemegang Jungguh yang tinggal di negara tidak lang- sung memungut pajak atau memperoleh tenaga kerja dari pen- duduknya, tetapi menunjuk seorang’ bekel untuk mengelola ta- nahnya. Tanah dan penduduk yang berada di bawah pengawasan bekel ini disebut kebekelan. Hubungan antara pemegang Jung- guh dan bekel ini bersifat personal dan timbal balik, dengan pe- ngertian bahwa hubungan tersebut harus selalu diperbarui jika salah satu di antara‘mereka berganti. Pada saat penunjukan, se- mua tugas bekel yang diberikan kepada pemegang /ungguh di- jelaskan secara rinci lalu ia membayar uang bekti sebagai tanda hormat kepada patuhnya. Sebagai balasannya bekel menerima seperlima tanah kebekelan sebagai Iungguh-nya, yang dapat di- tanami, dan mendapatkan tenaga kerja dari penduduk yang ber- ada di bawah pengawasannya. Petani di bawah pengawasan bekel, yang disebut kuli, meng- garap seperlima tanah yang tersisa dari kebekelan dan wajib membayar pajak serta menyerahkan tenaganya. Pada’ saat panen padi, ia menyerahkan separo hasilnya kepada patuh, dan jika pa- nen tanaman lainnya, ia harus membayar sepertiga dari hasilnya. Pembayarannya dapat dilakukan balk~dengan hasil tanaman (maro atau\maron) dan tunai (madjegan). Dalam kedua sistem pembayaran itu, bekel-lah yang mengumpulkan pajak dan mem- bawanya kepada lurah patuh, umumnya dua Kali setahun pada perayaan Garebeg Mulud (puasa untuk memperingati ulang tahun Nabi Muhammad) dan Garebeg Puasa (hari pertama bulan Syawal yang merayakan berakhirnya masa puasa). la juga wajib menyerahkan tenaga kerja penduduknya kepada lurah patuh pa- da saat Garebeg Mulud, Garebeg Puasa, dan Garebeg Besar (hari libur Islam bagi para haji), dan untuk melayani negara membuat jalan-jalan umum, jefbatan, dan saluran irigasi. Jadi, sistem Iungguh ini dibangun untuk menghimpun. hasil panen dan tenaga kerja para petani, di mana bekel menyusun hubungan yang penting antara negara — raja beserta para pa- ngeran dan pegawai-pegawainya — dan petani. Adalah bekel yang mengambil hasil_panen..dan-tenaga kerja para petani yang "dimakan” raja, pangeran, dan pegawainya, serta menjaga tata tentrem di pedesaan. Dalam abad XIX, ketika semakin banyak pangeran dan pegawai yang harus diberi makan dari tanah- Arena 19 tanah lungguh di bawah rusten orde kolonial, dan ketika ekono- mi uang makin menerobos masuk wilayah Vorstenlanden, kedu- dukan para bekel dimanipulasi oleh para pemegang Jungguh. tanah lungguh semakin sering dibagi dalam ukuran yang lebih kecil untuk mendukung jumlah pangeran dan pegawai yang ma- kin banyak, dan para pemegang’ /ungguh pada gilirannya mem- bagi Jungguh mereka ke dalam kebekelan yang lebih kecil dan menunjuk semakin banyak bekel untuk memperoleh lebih ba- nyak uang bekti: Kenyataan bahwa bekel seharusnya ditetapkan berdasarkan keturunan dan tidak-dapat dibentuk baru memper- lihatkan bahwa kondisi yang sebaliknya ini lazim terjadi. Dalam proses ini bekel kehilangan banyak fungsi polisi serta adminis- trasi, dan hanya menjadi sekadar pengumpul pajak biasa, Setiap bekel kini hanya mengawasi lima sampai sepuluh rumah tangea petani. Van Kol secara berlebihan menggambarkan keadaan itu sebagai berikut: Di wilayah-wilayah ini tidak ada administrasi yang jelas. Tidak ada yang bertanggung jawab dan semua orang mencuri dan curang se suka hatinya. Pegawai yang bertugas mengumpulkan pajak benar- benar lintah darat bagi penduduk; satu-satunya orang yang memiliki kuasa, sang bekel, sangat bermusuhan dengan polisi dan berusaha memperkaya dirisecepat mungkin, dengan perhitungan bahwa kedu- dukan mereka sangat rapuh. Alasannya karena banyak di antara me- reka yang dipecat, hanya untuk memperoleh uang "bekti” — sejenis "penghormatan” dengan uang yang harus dibayar kepada penguasa setempat pada saat pengangkatan Kebekelan yang baru kadang-ka- dang dilelang dan diserahkan kepada penawar tertingei Semakin ba- nyak bekel yang ditunjuk, semakin. banyak keuntungan yang dipero- leh pemegang /ungguh. Tidak heran jika jumlah mereka Semakin me- ningkat, meskipun penambahan itu bertentangan dengan hukum Jawa kuno. yang menentukan hanya satu bekel untuk setiap jung'® Jika aturannya memang satu bekel setiap jung. pengikisan ke- bekelan di Kesunanan jauh lebih serius ketimbang di Kesultanan karena di Kesunanan ada 20.250 bekel untuk 10.520 jung. se- mentara di Kesultanan ada 5750 bekel untuk 7.200 jung pada 19. Van Kol. Reisbrieven. him. 13-14 20 Zaman Bergerak 19102 Berlawanan dengan pengikisan kebekelan inilah, yang menjadi tumpuan sistem Jungguh, Belanda melakukan peru- bahan administrasi dan pertanian pada 1910-an dan pada awal 1920-an. Kemerosotan sistem /ungguh di daerah kejawen — daerah yang tidak terjamah perkebunan Belanda — ini dikarenakan ter- kikisnya kebekelan. Sementara di daerah sawah yang subur, per- kebunan Belanda mengubah sistem /ungguh itu, Secara hukum perkebunan memasukkan dirinya ke dalam sistem Jungguh de- ngan menjadi bekel dalam berhubungan dengan pemegang Jung- guh, dan sebagai pemegang lungguh dalam hubungannya dengan bekeldan kuli. Akan tetapi, kenyataannya praktek ini merupakan penyimpangan yang besar dan penting terhadap sistem /ungguh, dalam satu hal yang penting: transformasi sistem maron ke dalam sistem glebagan di perkebunan indigo, gula, dan tembakau. Dalam sistem maron, petani (kuli) yang berada di bawah pengawasan bekel menggarap empat per lima tanah kebekelan dan membayar separo hasil panennya dalam bentuk barang ke- pada pemegang Jungguh. Bagi perkebunan, hasil panen dari para petani seperti padi dan palawija‘sama sekali tidak berguna Yang diperlukan oleh perkebunan adalah tanah dan tenaga kerja yang dapat dipakai menggarap tanaman perkebunan untuk dijual ke pasar dunia. Jadi, bertentangan dengan sistem maron di mana hasil panen dibagi rata antara petani dan pemegang Jungguh, di bawah sistem glebagan, alat produksi, tanah, dan tenaga kerja dibagi antara petani dan perkebunan. Pertama, setelah seperlima tanah disisinkan untuk bekel sebagai /ungguh-nya, empat per lima tanah kebekelan yang tersisa dibagi dua: dua per lima tanah untuk petani menanam padi dan tanaman Pangan lainnya, dan dua per lima lainnya untuk tanaman perkebunan. Agar tanaman perkebunan tidak menghabiskan kesuburan tanah yang digu- nakan perkebunan dan tanaman pangan yang ditanam ditukar setiap tahunnya, idealnya padi dan tanaman ekspor ditanam ber- gantian tiap dua belas bulan sekali. Oleh karena itu, nama sis- temnya adalah glebagan, yang berarti "selalu berputar’. Kedua, 20. Ibid, him. 1 Arena 21 para petani wajib menyediakan tenaga kerja kepada perkebunan sama besarnya seperti yang mereka sediakan untuk menggarap tanamannya sendiri. Cultuurdiensten int memberi jaminan kepa- da perkebunan akan adanya persediaan tenaga kerja yang cukup untuk tanaman mereka. Jika perkebunan menghendaki lebih ba- nyak petani untuk menyediakan lebih banyak kerja, perkebunan harus membayar upah, yang disebut glidig untuk kerja tambah- an, tetapi kerjanya sendiri adalah suatu kewajiban. Jika petani tidak dapat memenuhi cultuurdiensten ini, ia harus membayar- nya dengan uang tunai, yang juga disebut glidig. Transformasi sistem maron menjadi sistem glebagan ini men- ciptakan kondisi yang sama sekali baru bagi konflik-konflik agraria di daerah perkebunan. Titik konflik antara petani dan perkebunan pada dasarnya memiliki dua sisi. Pertama, walaupun tanah untuk pertanian dan tanaman ekspor harus diputar setiap dua belas bulan, kenyataannya sangat berbeda. Hal ini terutama terjadi di perkebunan tebu, yang penanamannya memerlukan waktu empat belas sampai delapan belas bulan mulai dari per- siapan lahan sampai panen. Perkebunan membayar sewa (ka- sepan) kepada petani untuk pemakaian tambahan selama dua sampai enam bulan. Tetapi, jumlah yang dibayar selalu lebih ke- cil daripada yang dapat diperoleh petani jika ia menanam padi atau tanaman pangan lainnya pada waktu yang sama Titik per- tentangan kedua berhubungan dengan kerja yang wajib dilaku- kan petani untuk perkebunan. Walaupun secara teoretls mung- kin saja dihitung jumlah tenaga yang dikeluarkan untuk bekerja di perkebunan tembakau dan tebu agar sama besarnya dengan jumlah tenaga yang digunakan saat menanam padi atau tanam- an pangan lainnya, dalam prakteknya jenis pekerjaan yang diper- lukan untuk tanaman ekspor dan tanaman pangan sangat ber- beda sehingga tidak ada cara untuk mengukur berapa hari cul- tuurdiensten yang sama besarnya dengan tenaga kerja yang digunakan untuk menanam padi. Jadi, persoalannya bukan ha- nya besar upah yang dibayar untuk kerja tambahan, tetapi juga jenis pekerjaan untuk tanaman ekspor seperti apa yang harus dihitung sebagai cultuurdiensten atau kerja tambahan. Persoalan ini ditambah pula dengan ketidakpuasan di kalangan petani soal pembagian air dan pembatasan terhadap tanaman para petani 22 Zaman Bergerak oleh perkebunan Dalam konflik seperti ini, bekel tidak punya kuasa, baik se- cara ekonomi maupun kultural. Jika ketidakpuasan yang serius muncul di luar daerah perkebunan, ia mungkin akan meringan- kan tekanan terhadap petani yang berada di bawah pengawasan- nya karena kebanyakan pemegang lungeuh tidak dapat menga- mati tindakan bekeinya setiap hari. Sekalipun ketidakpuasan ti- dak diperbaiki sesuai keinginan petani, kesalahannya sudah je- las. Kalau bukan pemegang fungguh yang tidak seperti biasanya bertindak berlebihan dan kejam, kesalahannya ada pada bekel yang kejam dan tidak mengenal batas. Namun demikian, hu bungan antara pemegang lungguh dan bekel serta antara peme- gang /ungguh dan para petani tetap bersifat personal dan kon- kret. Walaupun terjadi penyimpangan dan kemerosotan, hubung- an kawula-gusti tetap bertahan dan membawa pengertian tata sosial Jawa yang hierarkis. Ketika perkebunan memasuki arena, suatu perubahan radikal telah disiapkan. Para administrateur (manajer) dan opziener (mandor pengawas) perkebunan Belanda hanya tertarik pada bekerjanya perkebunan secara mulus dan menguntungkan. Mereka mengambil tindakan apa saja untuk meyakinkan bahwa penanaman tanaman ekspor berjalan secara efisten dan tanpa gangguan. Mereka membayar jagoan-jagoan setempat untuk menggertak dan menekan keluhan-keluhan pe- tant Mereka membert bonus kepada para bekel jika penanaman dan panen berjalan sesuai rencana. Akan tetapi, hubungan mere- ka dengan bekel dan petani sangat rapuh dan sepenuhnya ber- dasarkan Kepentingan ekonomi. Di mata orang Belanda, para petani hanyalah tenaga kerja yang murah dan bekel adalah ke- pala kelompok tenaga kerja agraris, yang tidak jauh berbeda dari mandor Jika bekel tidak atau tidak dapat mengambil tindakan sesual keinginan manajer Belanda. ia dengan mudah dipecat Dalam keadaan seperti ini, petani melakukan dua jenis aksi protes. Yang pertama adalah aksi perorangan untuk melindungi kepentingannya dan membalas dendam kepada perkebunan dan Belanda. Pada dekade 1860-an dan 1870-an, ketika perkebunan Belanda dengan cepat menerobos masuk daerah Vorstenlanden, kecu-kecu banyak berkeliaran. Mereka memukuli dan kadang membunuh orang Eropa yang menjadi administrateur perke- Arena 23 bunan. Pembakaran tanaman juga lazim terjadi. Dalam bulan- bulan terakhir menjelang panen, tebu sangat kering dan mudah terbakar. Para petani yang ingin mendapatkan tanah mereka kembali secepat mungkin agar dapat segera menanam. padi, kadang-kadang membakar tebu dan merugikan pihak perke- bunan. Jenis protes sosial seperti ini justru menyebabkan diper- kuatnya aparat polisi dan menjadi sangat merugikan pada abad XX, walaupun pembakaran tanaman seperti ini terjadi setiap tahun. Jenis protes yang kedua bersifat kolektif dap_mengambil dua bentuk. Bentuk pertama adalah nggogol, jenis protes yang di- anggap sah oleh negara. Dalam protes ini, petani berjalan Dersa ma menuju.kabupaten dan mengeluh tentang berbagai hal's mandor Jawa dan opziener Belanda, serta soal upah. Mereka me nolak perintah bupati untuk pulang sampai keluhan mereka di- dengar dan bupati menjanjikan adanya perbaikan. Jika bupati ti- dak menanggapi nggogol seperti yang diharapkan petani, mere- ka beranjak menuju negara dan melakukan nggogol di hadapan patih. Oleh karena tindakan ini dianggap sah maka asisten resi- den atau kontroler Belanda juga hadir pada saat nggogol bersa- ma bupati untuk mendengarkan keluhan petani dan membentuk prapat untuk menjadi penengah antara petani yang protes dan pihak perkebunan. Prapat ini terdiri atas dua wakil dari masing- masing pihak, yaitu dua dari petani dan dua lainnya dari perke- bunan (karena itu digunakan nama prapat — yang berarti segi empav), dan bekerja di bawah pengawasan resmi. Bentuk perlawanan lainnya adalah mogok, di mana petani-se cara kolektif menolak melakukan kerja wajib, baik untuk negara maupun untuk perkebunan. Aksi mogok ini biasanya kecil saja, hanya melibatkan satu atau beberapa kebekelan, tetapi muncu! setiap tahun. Tindakan ini tidak sah dalam pengertian bahWa-pa ra petani telah melanggar aturan yang tertera di dalam pranatan (aturan yang dikeluarkan patih atas nama ‘sunan.atau. sultan) Oleh karena itu, secara hukum mogok berbeda ‘dari Aiggogol. yang sah untuk dilakukan; tetapi perbedaan ini hanya dibuat- buat karena mogok sebagai bentuk protes petani berfungsi sama seperti nggogol. Dalam nggogol, petani juga mendatangi kantor 24 Zaman Bergerak bupati, dan bupati yang didampingi oleh asisten residen dan kontroler mendengarkan keluhan mereka. Dalam mogok, bupati dan asisten residen Belanda mendatangi para petani yang mo- gok. mendengarkan keluhan mereka, lalu membentuk prapat un- tuk menengahi konflik antara petani dan perkebunan. Ketika pa- ta pejabat berencana membentuk prapat. para petani setuju dan kembali bekerja. Biasanya tidak ada orang yang ditangkap atau dihukum, dan dalam kedua, bentuk protes, bekel sama sekali ti- dak berperan. Para|petani berpaling kepada negara untuk mela- wan perkebunan yang kulat, Dan seperti kita lihat nanti, wewe- nang negaralah yang. dimaiikan di sini, terlepas ketidakpuasan petani diatasi atau tidak. : Reorganisasi Dengan berakhirnya era liberal dalam politik Kolonial dan di- mulainya era Etis, sistem Jungguh dan kondisi agraria serta ad- ministrasi di Vorstenlanden mulai diserang. Pada dekade 1910 dan awal 1920-an, reorganisasi atau reformasi administrasi dan agra- nia dilakukan oleh pemerintah Hindia di daerah Vorstenlanden2! Ada dua faktor yang turut mempengaruhinya. Faktor pertama bersifat ideologis. Pada era Etis, gagasan bahwa orang harus be- bas dari keterikatan pada tanah, dan bahwa harus ada pemisah- an antara orang yang menikmati hasil tanah dan kekuasaan atas orang-orang yang hidup di atas tanah tersebut, menjadi tak ter- bantahkan; dan dalam hal itu, situasi pertanian di Vorstenlanden elihatan seperti sebuah sistem "pertengahan’, aL Keterangan berikut tentang rcorganisasi didasarkan pada (kecuali jika dikutip secara terpisah) “Algemeene Hervorming van de Maatschappelijke en Agraris- che Toestanden in de Vorstenlanden” dalam Mededeelingen der Regering omtrent enkele Onderwerpen van Algemeen Belang, (Weltevreden: Landsdruk keri), 1921; Residen van Surakarta, "Vervolg verslag omtrent den stand der hervormingen der Zelfbestuursgebieden Soerakarta en Mangkoe-Negaran in het Gewest Soerakarta over het jaar 1919” 20 Agu. 1920. Gouverneur General (alam teks berikut disingkat GG) kepada Minister van Kolonien, 4 Oct. 1920. Exh, 22 Nov, 1920, No. 44; Soepomo, De Reorganisatie yan het Agrarische Steise! in het Gewest Soerakarta. Arena 25 bawaan dari masa Tanam Paksa pada abad XIX22 Faktor kedua adalah dorongan dari negara Hindia pada masa Etis menuju standardisasi, pemusatan, rasionalisasi, dan ekspansi. Di Vor- stenlanden, walaupun sejumlah tindakan diambil pada per- tengahan abad XIX untuk menyeragamkan mesin administrasi yang beragam, dan walaupun asisten residen Belanda ditunjuk dan ditempatkan di tiap kabupaten pada awal dekade 1870-an, kontrol dan pengawasan kerja mesin administrasi masth di- serahkan kepada patih, dan residen Belanda merasa puas de- ngan pengawasan terhadap kedudukan tertinggi. Pada dekade pertama abad int, para residen Belanda mulat melakukan inter- vensi terhadap pekerjaan mesin administrasi. Pada 1914, Van Wijk, residen Surakarta yang mengundurkan diri, mencatat dengan sedikit kepuasan bahwa selama masa jabatannya arus dokumen pemerintah mengalami perubahan dan para bupati mulai me- nyampaikan laporan mereka kepada para residen dan asisten residen, dan bukan kepada patih. Birokrasi administratif dari Ke- sunanan dan Mangkunegaran saat itu masih membentuk jaring- an patron-klien, dan seperti yang diamatinya, hanya Treorganisasi yang dapat melancarkan mesin administrasi dengan memberi jalan bagi residen Belanda untuk melakukan intervensi langsung terhadap pekerjaan seperti rekruitmen, pengelolaan personel, penggajian, dan masalah keuangan secara umum23 Dalam hal ini, reorganisasi merupakan usaha menempatkan mesin admi- nistrasi di bawah perintah langsung residen Belanda serta melu- askan kekuasaan dan kewibawaan negara Hindia ke wilayah yang selama ini diserahkan kepada sistem Jungguh yang sudah terkikis. Reorganisasi diperkenalkan oleh Belanda pada 1912 dan sele- sai pada 1924. Ada empat tindakan yang diambil untuk membuat perubahan tersebut: (1) penghapusan sistem Jungguh, (2) pemben- tukan desa sebagai unit administrasi, (3) pemberian hak-hak penggunaan tanah yang jelas kepada petani, dan (4) perbaikan aturan sewa tanah. Mari kita lihat tindakan itu satu per satu. 22 Van Kol. Reisbrieven. him. 53. 23, Van Wijk, "Memorie van Overgave” 26 Zaman Bergerak Yang pertama adalah penghapusan sistem Jungguh. Tindakan ini diambil pada 1917 di Kesultanan dan pada 1918 di Kesunanan. (Di Mangkunegaran kebanyakan Jungguh telah dihapus pada awal 1870-an.) Para pemegang Iungguh sebagai gantinya menda- pat gaji dan upah dalam bentuk tunai, sedangkan perkebunan dan petani harus membayar pajak dan sewa tanah kepada ben- dahara kerajaan. Bersamaan dengan hilangnya tanah lungguh maka lenyap pula para bekel. Bekel dihapus dan diberikan bumi pituwas atau tanah pensiun. Di Kesunanan, bekel mendapat se- perempat bau dari bumi pituwas, hasil yang dapat dinikmatinya selama hidup. Setelah meninggal, bagian tanahnya dikembalikan kepada kelurahan yang baru terbentuk dan dimasukkan ke dalam kas kelurahan. Yang kedua adalah pembentukan kelurahan sebagai unit ad- ministratif, yang menggantikan kebekelan sebagai "komunitas desa”. Ketika membentuk sebuah desa, ada empat prinsip yang harus diikuti. (I) Batas-batas desa sebisa mungkin mengikuti ba- tas-batas alam. (2) Sebuah desa harus terdiri dari 80 sampai 150 kuli_kenceng sehingga para pegawai desa yang ditunjuk dapat melakukan pengawasan yang memuaskan terhadap penduduk desa, (3) Lungguh (tanah gaji) bagi para pegawai dan bumi pitu- was bagi para bekel harus terletak di dalam desa tempat mereka tinggal. (4) Semua kuli kenceng harus mendapat tanah yang da- pat ditanami dalam jumlah yang sama, tanpa mempertimbang- kan kesuburan tanahnya. Tanah yang diberikan kepada kuli ken- ceng harus dibagi menjadi dua di wilayah perkebunan, satu un- tuk tanaman petani dan satu untuk tanaman perkebunan. Dengan prinsip-prinsip seperti ini, 1.226 kelurahan dibentuk di Kesunanan dan 738 kelurahan di Mangkunegaran sampai saat berakhirnya reorganisasi. Semua tanah kini milik kelurahan. Ta- nah digolong-golongkan dan digunakan sebagai lungguh bagi para pegawai kelurahan, bumi pituwas bagi bekas bekel, tanah kas kelurahan untuk membiayai administrasi kelurahan, dan ta- nah komunal kelurahan, yang hak penggunaannya diberikan kepada kuli kenceng. Pegawai kelurahan ditunjuk dari para be- kas bekel oleh bupati. Di Kesunanan, pegawai kelurahan adalah lurah, carik, kamitua, modin, ulu-ulu, dan kebayan. Setiap pega- wai mendapat Jungguh; 4,5 bau untuk lurah, 2,25 bau untuk ca- Arena 27 riknya, dan L0 bau untuk masing-masing pegawal lainnya. Tanah lungguh, seperti juga bumi pituwas bagi para bekas bekel, dibe- baskan dari pajak dan sewa tanah oleh perkebunan. Para pega- wai kelurahan ini juga dibebaskan dari: heerendiensten untuk Kesunanan dan desadiensten. Walaupun semua pegawai ditunjuk dari kalangan bekas bekel, hanya sekitar satu dari tiga bekas bekel yang bisa jadi pegawai kelurahan. Bisa atau tidaknya ia jadi pegawai sangat berpengaruh terhadap bekas bekel ini. Bekas bekel yang terpilih jadi pegawai kelurahan mengontrol sebidang tanah yang luas dan bebas pajak, di samping juga menikmati berbagai hak istimewa Sementara itu, bekas bekel yang tidak terpilih hanya mendapat seperempat bau bumi pituwas. Jadi, reorganisasi menghasilkan ketidakpuasan yang sangat kuat di antara bekas bekel yang gagal jadi pegawai kelurahan. Sepertt akan kita lihat, ketidakpuasan ini akan menjadi latar belakang yang penting bagi aksi protes petani pada 1919 dan 1920 di Vor- stenlanden. Ketiga, dengan pembentukan kelurahan, hak penggunaan ta- nah komunal diserahkan kepada penduduk, sementara pengua- saan tanahnya ada di tangan penguasa dan kepemilikannya ada pada kelurahan, Dengan begitu; tanah komunal desa dibagi men- jadi bidang-bidang kecil sebesar setengah bau dan hak penggu- naannya diberikan kepada penduduk. Penduduk yang diberi hak menggunakan tanah dan mendapat rumah int disebut kuli ken- ceng. Di wilayah perkebunan, setengah bau sawah yang diberi- kan kepada tiap kuli kenceng dibagi lagi menjadi dua, blok A dan B, yang dipakai bergantian untuk menanam padi dan tanaman perkebunan. Selama tanah komunal kelurahan masih tersedia, semua kepala rumah tangga pria yang mampu melakukan kerja wajibnya untuk kelurahan atau negara mendapat status warisan sebagai kuli kenceng, yang menurut aturannya diwarisi oleh anak laki-laki pertama. Kuli kenceng tidak boleh menggarap ta- nah komunal lebih dari setengah bau. Jika itu terjadi, katakanlah karena warisan yang diperoleh, seluruh kelebihannya harus di- kembalikan kepada kelurahan. Jika seorang kuli kenceng me- ninggal tanpa mewariskan statusnya kepada siapa pun, hak penggunaan tanah komunalnya dikembalikan kepada kelurahan. Jika ada tanah baru yang tersedia, kelurahan memberi hak peng- <& €aman Bergerak garapan kepada mereka yang tidak punya tanah sama sekali dan menciptakan kuli kenceng baru. Kedudukan sebagai kuli kenceng ini juga disertai sejumlah kewajiban terhadap negara dan kelurahan, Pertama, kuli ken- ceng wajib menyerahkan tenaga kerjanya bagi kelurahan, seperti memelihara jalan, parit, jernbatan, kuburan, dan ronda. Kedua, ia harus menjalankan kerja wajib bagi negara untuk memelihara jalan umum, kanal-kanal irigasi, dan bendungan. Dan ketiga, ia harus membayar pajak untuk Seperempat bau sawah dan rumah yang ditempatinya. Di wilayah perkebunan, ia harus membayar pajak untuk seperempat bau sawah dan tanah yang ditempati tumahnya serta menyediakan seperempat bau sisa sawahnya untuk perkebunan. Kuli kenceng yang tidak memenuhi kewajib- an ini didenda, dipenjara, dan/atau kehilangan statusnya sebagai kuli kenceng (berikut hak penggunaan tanah komunal milik ke- lurahan sebesar setengah bau). Keempat, di bawah aturan sewa tanah yang baru, yang dike- luarkan pada 1918, perkebunan menyewa tanah bukan dari peme- gang Jungguh, tetapi dari kerajaan. Perkebunan yang secara su- karela menangguhkan kontraknya dengan pemegang lungguh membuat perjanjian sewa tanah yang baru dengan kerajaan. Di bawah aturan-aturan baru, mereka menyewa tanah selama lima puluh tahun dan dapat menggunakan tenaga kerja yang dibayar dari para kuli kenceng selama lima tahun dengan persyaratan yang diajukan oleh pemerintah. Kepentingan perkebunan dengan begitu diperhatikan dan perubahan yang dilakukan hanya seba- tas penghapusan kerja paksa dan pengalihan arus uang sewa dari pemegang Jungguh kepada kas kerajaan. Kelurahan dan kuli kenceng sama sekali tidak berurusan dengan uang sewa karena perkebunan membayarnya langsung kepada kerajaan. Pada puncak masa Etis, reorganisasi di Vorstenlanden diang- gap sebagai usaha negara Hindia yang utama di daerah itu oleh Para pegawai Belanda, dan para residen Belanda selanjutnya ber- tahan bahwa usaha itu adalah obat mujarab untuk memperbaiki kondisi pertanian dan menjamin rust en orde di daerah Vorsten- landen, tetapi kenyataannya berbeda. Usaha itu sama sekali ti- dak manjur dan tidak memperbaiki kondisi yang digerakkan oleh perkebunan Belanda. Meskipun diterapkan aturan sewa Arena 29 tanah yang baru, struktur konflik antara petani dan perkebunan tidak berubah. Seperti yang kita lihat, konflik antara petani dan perkebunan sebelum reorganisasi berputar pada tiga persoalan: jumlah sewa; pelonggaran kerja paksa yang tidak dibayar, yang diubah menjadi kerja paksa yang dibayar; dan jumlah upah yang dibayar kepada para pekerja paksa itu. Aturan sewa tanah yang baru juga menghapus kerja paksa dan menggantikannya dengan sistem buruh bebas, tetapi konflik di sekitar jumlah kasepan dan glidig tidak dapat diselesaikan lewat perubahan institusi karena persoalannya berkisar pada jumlah. Selama pertumbuhan ke- pentingan ekonomi petani dalam bentuk kasepan dan glidig le- bih rendah ketimbang pendapatan yang mungkin mereka pero- leh jika menanam padi tanpa tanaman perkebunan, konflik sela- lu mungkin muncul antara petani dan perkebunan, dan makin tajam karena perlakuan opzichter. Belanda yang sewenang-we- nang dan arogan terhadap para petani. Berbeda dengan struktur konflik antara petani dan perke- bunan yang tetap bertahan, hubungan antara petani dan keraja- an mengalami perubahan yang mendasar karena adanya reorga- nisasi. Dihapusnya sistem lungguh dan kebekelan berarti ber- akhirnya hubungan pribadi dan timbal balik antara pemegang Jungguh dan bekel, serta kulinya secara institusional. Pemben- tukan kelurahan administratif dilandaskan pada gagasan yang sama sekali berbeda dari gagasan tentang desa korporatif. Se- mentara kebekelan dibentuk atas hubungan timbal balik antara bekel dan kulinya, kelurahan administratif adalah sebuah badan usaha dengan wilayah tertentu, di mana setiap kuli kenceng me- miliki kesempatan menggunakan tanah komunal yang sama dan dikelola oleh sebuah badan pengurus, yaitu administrasi kelu- rahan. Akan tetapi, badan pengurus ini tidak bertanggung jawab kepada para pemegang saham: negaralah yang menunjuk mere- ka dan memberikan tanah gaji. Desa administratif ini adalah per- lengkapan lembaga modern dari negara untuk mengatur pedesa- an melalui peta, dan para pegawai kelurahan menjadi agen nega- ta dan membentuk semacam eselon terendah dalam mesin ad- ministrasi yang telah dirasionalisasi dan ditempatkan langsung di bawah perintah dan pengawasan residen Belanda. Mereka tidak dapat bertindak menentang perkebunan karena pengelola- 30 Zaman Bergerak an kelurahan juga berarti menyediakan tanah dan tenaga kerja untuk perkebunan, serta membiarkan perkebunan beroperasi sesual jadwal dan tanpa gangguan. Reorganisasi membawa peru- bahan, tetapi perubahan itu adalah perubahan yang menem- patkan petani pada posisi di mana kewajibannya pada negara dan perkebunan dapat dijalankan secara efektif dan diawasi lebih ketat oleh pegawai kelurahan dan negara Zaman Modal Kedua Sementara zaman modal muncul di daerah pedesaan dalam bentuk penetrasi perkebunan Belanda yang semakin kuat dan jungkir baliknya sistem Jungguh, di kota Surakarta dan sebagian Yogyakarta zaman modal hadir bersama perkembangan industri batik Di Jawa Tengah, kegiatan membatik telah dilakukan se- jak ditemukannya canting, dan menjadi industri dengan tenaga perempuan yang utama di Vorstenlanden. Mulanya berkembang di pusat-pusat kota kemudian menyebar ke pedesaan sekeliling- nya. Di Surakarta seni membatik sangat dihargai sehingga ke- mampuan membatik dianggap bagian penting dari pendidikan kaum perempuan di keraton?5 Sejak pertengahan abad XIX, de- ngan dibukanya pasar-pasar baru dan adanya inovasi teknis da- lam membatik, terjadi transformasi industri batik yang berjalan melalui dua tahap. Tahap pertama terjadi pada 1850-an. Pada pertengahan 1840- an, metode membatik yang baru dari Semarang diperkenalkan oleh seorang pedagang batik di Kauman. Metode baru ini meng- gunakan cap yang terbuat dari garis-garis tembaga. yang ditem- pelkan pada sebuah alas dan diberi pegangan, sebuah alat yang Mmampu membuat batik dalam jumlah banyak dengan tenaga 24 Keterangan berikut tentang industri batik di Surakarta kecuali jika ada kutipan Jain didasarkan pada. “Batik.” dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie; Soetachman, Het Batikbedrijf in de Vorstenlanden; Batikrapport. vol. 2 (Wel- tevreden! Landsdrukkerij, 1931). Saya juga berterima kasih kepada James Siege! yang memungkinkan saya mempelajari catatan-catatannya yang berharga ten tang batik 25 S Ann Dunham, "Women's Work in Village Industries on Java" (makalah yang tidak diterbitkan, 1982), him. 69-70 Arena 31° kerja yang sedikit. Pada sekitar 1850-an, pengusaha batik yang menggunakan metode cap ini semakin banyak jumlahnya dan mereka mendirikan tempat kerja untuk membuat batik yang akan dilempar ke pasaran. Dekade 1850-an dan 1860-an merupa- kan tahun-tahun saat modal swasta Belanda mulai mengalir ke daerah Vorstenlanden. Perkebunan Belanda membawa uang tu- nai yang siap pakai untuk para petani dalam bentuk upah dan sewa, sambil mengisap tenaga dan mengambil alih waktu mere- ka. Para petani beralih ke pasar-pasar setempat untuk membeli barang kebutuhan, dan salah satu yang terpenting adalah kain batik yang murah. Dengan adanya pasar-pasar setempat, pro- duksi batik terus melonjak, barangkali berlipat ganda pada 1850- an jika dilihat dari statistik impor katun yang bertambah dua kali lipat lebih, dari 1850 sampai 1860, dan sebagian besar digu- nakan untuk produksi batik26 Pada tahap ini, pusat industri ba- tik di Surakarta terletak di bagian tengah kota seperti Kauman. Keprabon, dan Pasar Kliwon, dengan tempat-tempat kerja untuk produksi pasar yang berskala kecil. Walau metode cap membawa banyak perubahan dalam produksi batik, cap-cap yang diguna- kan dalam membatik berukuran kecil, umumnya | xX 2 sentimeter persegi. Bisa dibilang bahwa cap-cap itu hanya sebagai peleng- kap, ketimbang sebagai pengganti canting. Tahap kedua terjadi pada 1870-an. Pasar-pasar setempat mulai meluas dengan makin hebatnya penetrasi perkebunan Belanda di daerah pedesaan. Namun bukan itu saja. Jalur-jalur kereta api secara langsung menghubungkan Vorstenlanden dengan kota- kota pusat perdagangan — Semarang pada 1870, Surabaya pada 1884, Batavia dan Bandung pada 1894 — dan membuka pasar- pasar baru bagi industri batik di Solo. Metode cap juga terus berkembang. Pada awal 1870-an, ukuran cap berubah menjadi 10 x 15 sentimeter persegi, dan alat ini telah menjadi andalan di tempat-tempat kerja produksi batik. Tempat-tempat kerja baru dengan ukuran yang lebih besar mulai didirikan, tidak lagi di 26. impor katun di Hindia meningkat dari 9837 juta gulden pada 1850 menjadi 20943 juta gulden pada 1860 dan 16024 juta guiden di tahun 1870. Furnivall, Netherlands India, him. 171, 32 Zaman Bergerak bagian tengah kota, tetapi sudah pindah ke daerah pinggiran. Para pengusaha batik pindah ke wilayah Tegalsari dan khusus- nya Lawean, di mana sungai yang mengalir di dekatnya dapat menyediakan air yang sangat diperlukan bagi produksi batik berskala besar. Tempat-tempat kerja berskala besar ini mem- produksi batik cap yang lebih murah harganya untuk konsumsi massa, bukan hanya untuk pasar setempat, tetapi juga untuk pasar “nasional". Dart 1859 sampai 1860, produksi batik melonjak kembali, barangkali lebih dari dua kali lipat dan angka tersebut tidak jauh bergeser sampai akhir abad XIX, kecuali saat terjadi depresi pada pertengahan 1880-an27 Pada tahun-tahun itu Surakarta merupakan pusat utama in- dustri batik, dan batik Surakarta terus mendominasi pasar “na- sional” sekaligus pasar setempat sampai akhir 1910-an, ketika ba- uk Pekalongan mulai semakin ketat menyaingi, khususnya di jawa Barat® Saat itu membatik telah dilakukan di seluruh kota. Bercermin pada pola-pola perkembangan sejarah industri batik, terlihat adanya pengkhususan produksi batik di masing-masing wilayah kota itu. Bagian timur dan tengah kota, seperti Kauman, Keprabon, dan Pasar Kliwon terus membuat batik halus, semen- tara bagian barat kota, khususnya Tegalsari dan Lawean meng- Khususkan diri pada produksi batik cap untuk konsumsi massa. Untuk pembidangan ini, Kauman dan Lawean menduduki posisi sentral. Kauman, sebuah pusat produksi batik yang sudah cukup 27 \mpor katun di Hindia pada 1870 sebesar 16024 juta gulden, sementara impor katun untuk Jawa dan Madura saja pada sudah sebesar 29105 juta gulden pada 1875 Lebih tanjut tentang angka-angka impor katun di Jawa dan Madura pada 1875 sampai 1920, lihat Furnivall, Netherlands India, him. 207 dan him. 339 untuk tahun 1875 dan 1990, S. Koperberg. "De Javaansche Batikindustrie.” Djawa, 2. No 2, him 148 untuk tahun 1965 dan 1915. 28 Lihat “Batik.” dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie. Berdasarkan sum. ber ini pada tahun 1915 di Surakarta telah ada 225 tempat produksi batik (de- ngan batasan mempekerjakan lebih dari lima orang) dengan 3608 buruh, se- mentara di pusat produkst terbesar kedua, yaitu Pekalongan, ada 114 tempat kerja dengan 1266 buruh. Pada 1920-an pasar di Jawa Barat yang begitu meng. untungkan dikuasaj batik Pekalongan. Lihat Batikrapport, vol 2, him. 321. Na- mun industri batik tetap berpusat di Surakarta. sekalipun setelah dihantam depresi yang besar Menurut Sensus 1930, 6900 dari 40800 buruh laki-laki dan 14100 dari 33700 buruh perempuan bekerja pada pembuatan dan perdagangan batik di Surakarta. Volkstelling 1930 (Batavia: Landsdrukkeriy 1936) Arena 33 lama, juga menjadi pusat perdagangan batik, Selain itu, Kauman adalah tempat bermukimnya para pegawai keagamaan Sunan. Walau perdagangan batik borongan untuk pasar “nasional" di- kuasai orang Tionghoa dan Arab, perdagangan batik untuk pasar setempat dipegang oleh pedagang-pedagang Jawa. Banyak peda- gang batik kecil yang datang, berdagang kain batik, dan perg! ke pasar-pasar setempat dengan’kereta api. Kebanyakan pengelola tempat kerja, pembuat batik, dan yang berurusan dengan perda- gangan batik adalah perempuan. Dengan demikian perempuan- lah yang menghasilkan uang dan mendukung kehidupan keluar- ganya, sementara laki-lakinya menduduki atau berusaha mendu- duki posisi sebagai abdi dalem dan, di Kauman, mereka menjadi guru agama. Oleh karena itulah, di bagian tengah kota seperti Kauman tidak muncul kelas borjuasi bumiputra yang bebas, se- kalipun ada sejumlah tempat produksi batik dan pengusaha ba- tik yang menumpuk kekayaan. Seperti diungkapkan Marco Kar- todikromo, pengusaha batik di daerah ini “misih familie’ dengan para abdi dalem sunan?9 Berbeda dengan mereka di bagian tengah kota, pengusaha batik di Lawean, yang datang ke tempat itu untuk mendirikan tempat produksi batik berskala besar pada awal 1870-an. secara ekonomi lebih kuat dan secara sosial, jika tidak secara budaya, lebih otonom. Seperti kita lihat di atas, tempat produksi batik berskala besar terpusat di Lawean, karena sungai yang mengalir di dekatnya sanggup menyediakan air yang diperlukan. Akan tetapi, terus hadir dan makmurnya tempat produksi batik di Lawean ini terutama disebabkan oleh produksi batik cap yang murah, yang bukan hanya diproduksi untuk pasar setempat, letapi juga untuk pasar "nasional”. Mereka membuat jaringan da- gang sendiri di bagian timur dan barat Jawa, dan cenderung be- bas dari pedagang borongan Tionghoa dan Arab. Misalnya, Hajt Samanhoedi, seorang pengusaha batik terkemuka di Lawean pada 1900 dan 1910-an, mendirikan kantor-kantor cabang di Sura- baya, Banyuwangi, Bandung, dan beberapa tempat lainnya, dan 29. Marco Kartodikromo, Student Hidjo (Semarang: NV. Boekhandel en Drukkerij Masman & Stroink, 1919), him 6. 34 Zaman Bergerak salah satu cabangnya, yaitu Bandung, dikelola oleh saudaranya sendiriS° Akses pada pasar “nasional" ini pada gilirannya mem- buat tempat pembuatan batik di Lawean semakin tidak tergan- tung pada pasar setempat, di mana kain batik hanya laku ketika petani memiliki uang tunai yang cukup setelah panen padi atau palawija kedua dan setelah panen dan menggiling tebu; dan dapat terus bertahan bahkan pada masa-masa lesu mulai dari November sampai April.31 Di tempat pembuatan batik di Lawean, lagi-lagi para istri dalam keluarga pemilik tempat kerjalah yang memegang peranan dominan dalam usaha ini, seperti menentu- kan corak batik, membeli bahan mentah, mengelola, mengawasi proses produksi, dan memasarkan hasilnya. Para pemasok ba- han mentah, seperti katun dan bahan celup, melihat pakaian dan perhiasan, khususnya giwang yang dikenakannya, untuk meng- ukur bonafide tidaknya tempat kerja itu. Di Lawean kaum laki- laki juga banyak yang menjadi pengusaha dan sedikit yang men- jadi abdi dalem. Jika anak seorang pengusaha batik di Lawean menjadi abdi dalem, ia takkan kembali ke Lawean; dan jika seo- tang anak mengikuti jejak sebagai pengusaha batik, ia biasanya menikah dengan anak perempuan pedagang batik Lawean lain- nya. Walaupun sejumlah keluarga pemilik tempat pembuatan ba- tik di Lawean secara individual telah berubah dalam beberapa ge- nerasi, Lawean tetap menjadi tempat para pedagang batik yang menguasai pasar “nasional”, dan tetap tertutup secara sosial ter- hadap dunia luar, seperti yang dilambangkan oleh tembok-tem- bok tinggi berwarna putih yang mengelilingi tempat itu? 40, Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942 (Singa pore Oxford University Press, 1973), hlm. 106. 31. Ketika pasar di Jawa Barat dikuasa batik Pekalongan pada 1920-an. tempat pem- buatan batik di Lawean tidak dapat melepaskan diri lagi dari pergantian musim yang berpengaruh terhadap permintaan di pasar-pasar setempat Lihat Batik- rapport, vol. 2, him. 98-101 32 Kehadiran tempat pembuatan batik berskala besar di Lawean telah mencipta- kan dan memusatkan sejumlah besar buruh batik. Pembagian kerja tidak hanya muncul berdasarkan fungsi, tapi juga berdasarkan kelamin. Pekerjaan cap dan celup dikerjakan oleh laki-laki. Pekerjaan dengan canting, memarut lilin, dan mengelim dengan tangan dilakukan oleh perempuan. Pekerjaan lainnya. seperti merendam. menumbuk, merebus, dan mengeringkan dikerjakan secara acak Arena 35 Industri batik di Surakarta memasuki abad XX dengan dua pusat pembuatan dan perdagangan batik. Pengusaha batik La- wean memproduksi batik cap untuk pasar "nasional” dan juga lokal. sementara pengusaha batik di bagian tengah kota mem- produksi dan berdagang batik di pasar-pasar setempat. Produksi batik terus meningkat dan bertambah makmur, sampai dihan- tam lonjakan harga bahan mentah karena Perang Dunia | Di samping itu, kelemahan mereka sendiri terletak pada ketergan- tungan terhadap persediaan bahan mentah seperti katun, lilin, dan bahan celup yang diperoleh dari pedagang borongan Tiong- hoa dan Arab yang mengedarkan barang-barang impor dari per- usahaan-perusahaan Eropa di luar neger!. Dan justru itulah titik lemah yang coba dieksploitasi orang Tionghoa ketika mereka mulai menanam uang ke industri batik di Solo menjelang akhir 1900-an. Zaman Modern Dengan dimulainya abad XX, sebmatr-gaman baru dalam po- lik kofonial_dimulai,. yaitu_za an. f1is demo an dari zaman baru ini adalah "kemajuan’. Kata-kate-yang menandakan “kerf juan’, seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling (perkembangan), dan opvoeding (pendidikan), membubuhi baha- sa Saat itu bersama bervoedering yan_welvaart (memajukan ke- sejahteraan), Putri bupati Jepara, Raden Ajeng Kartini, memulai surat pertamanya kepada sahabat penanya di Belanda, dengan kalimat; "Saya begitu ingin berhubungan dengan seorang gadis modern’®? dan dengan cepat ia menjadi idola dari kaum etisi Tentu saja semangat zaman etis ini adalah "kemajuan menuju ‘oleh perempuan dan laki-lakt. Dalam pembagian kerja seperti ini, pencap men- duduki tempat khusus. Karena memegang cap memerlukan keterampilan khu: sus dan proses pencapan adalah bagian paling penting dari proses produksi ba- tik. para pencap dibayar tiga sampai empat Kali lebih besar dari buruh-buruh lainnya dan posisi mereka lebih aman selama industri masih berjalan lancar. Hubungan kerja dengan begitu tetap harmonis pada tahun-tahun sebelum Pe- rang Dunia |, dan hanya pada pertengahan 1920-an para pencap muncul sebagai kekuatan sosial yang independen (lihat Bab 8) 33. Dikutip dari Kenji Tsuchiya, "Kartini no Shinsho Fukei” Tonan Ayia Kenkyu, 22-1 (uni 1984), him. 83. 36 Zaman Bergerak modernitas”, "kemajuan" dalam arti pétkembangan di bawah pengawasan Belanda dan “modernitas” seperti yang ditunjukkan Belanda di Hindia dan dipahami sebagai peradaban Barat. Arti kemajuan ini memberi arah yang baru kepada rakyat Hindia, suatu arah yang belum ada pada masa-masa akhir Ranggawar- sita. Dunia dan zaman kini sedang bergerak, dan seakan menjadi Jambangnya, trem listrik mulai beroperasi di Batavia pada awal zaman ini Zaman baru ini, seperti yang dinamakan dengan tepat oleh Furnivall, merupakan zaman “ekspansi, efisiensi, dan kesejahte- raan.’** Rangkaian pulau “dari Sabang sampai Merauke" kini ber- ada di bawah kontrol Belanda, dan rust en orde ditegakkan di atas wilayahnya. Kegiatan dagang Belanda meningkat dengan cepat; angka-angka ekspor bertambah dua kali lipat dalam de- Kade pertama abad ini dan lebih dari delapan kali lipat pada 1920. Negara Hindia semakin dirasionalisasi dan terpusat, sementara kegiatannya terus meluas35 Pelayanan kredit rakyat, rumah ga- dai pemerintah, pelayananan informasi, peningkatan pertanian, Opiumregie (monopoli candu oleh negara), peningkatan kesehat- an, dan pengobatan untuk rakyat; pelayanan Pos, Telegraf, dan Telepon, kereta api negara, sekolah pemerintah, pelayanan ke hutanan — semuanya adalah bagian-bagian dari aktivitas negara Mereka yang bekerja dalam kegiatan negara ini bergabung dengan Pegawai administrasi bumiputra dimulai dari Pangreh Pradja dan membengkakkan golongan priayi pemerintah. Di samping itu, di daerah perkotaan muncul orang particulier, pekerja kantoran pa- da perusahaan swasta (berlawanan dengan mereka yang bekerja pada dinas pemerintah), yang bersama para priayi pemerintah membentuk kelas menengah. Seorang priayi pemerintah, jika berhenti bekerja dan pindah ke kota, bisa memperoleh pekerjaan Pada perusahaan swasta dan menjadi orang particulier Sebalik- nya orang particulier juga dapat menjadi seorang pegawai peme- rintah. Mereka inilah kelas menengah penerima gaji yang dina- mis, tetapi secara mendasar bersifat kota, dan dengan satu 34 Furnivall, Netherlands india, him. 227 35. (bid. him. 257-302 Arena 37 persamaan yang sangat umum, yaitu pendidikan gaya Barat. Perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari Po~ litik Etis. Pendidikan ini tidak hanya memproduksi jenis tenaga kerja yang diperlukan oleh negara dan kegiatan bisnis swasta Belanda, tetapi juga menjadi alat utama untuk "mengangkat” bu- miputra dan. menuntun mereka menuju modernitas serta "persa- tuan Timur dan Barat’, Sehingga pada penghujung abad XIX dan | khususnya dua dekade pertama abad ini, pendidikan gaya Barat berkembang luas. Pada 1893 dibentuk dua jenis sekolah dasar untuk, bumiputra, Eerste Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bu~ miputra Angka Satu) untuk anak-anak priayi dan mereka yang "berada",serta Tweede Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bumi- putra Angka Dua) untuk anak-anak dari rakyat kebanyakan. Pe- ningkatan jumlah: sekolah Angka Dua beserta muridnya) dapat dilihat dalam Tabel'S5 dan di bawah ini. Tabel 5. Jumiah Sekolah Bumiputra Angka Dua dan Murid Jumlah Sekolah Jumlah Murid Tahun Negara . Swasta, Total Negara: Swasta Total 1900 551 836 1387 64742 36.431 98173 1905, 674 1286 1942 95.075 66741 161816 1910 1.021 2106 3127 133.425. 99.204 232629 1915 1.202 2198 3.400 186.300 134644 320.974 1920 1845 2368 4213 241.414 116.556 357970 Sumber SL. van der Wal, ed, Het Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, 1900-1940 (Groningen: )B Wolters, 1963). him. 7 Tabel 6. Sekolah Dasar Bumiputra di Jawa dan Madura Tahun Jawa/Madura Surakarta Yogyakarta 1895. 391 6 13 1905, 722 1.9 40 i910) 1088 41 mM 1915 1.237 61 109 Sumber Koloniaal Verslag. 1896, 1906. 1911, 1916. 38 Zaman Bergerak Sekolah bumiputra angka satu dan dua menggunakan baha- sa daerah dan Melayu sebagai bahasa pengantar, dan murid-mu- ridnya hanya: bisa terus ke sekolah perdagangan, teknik, dan ke- terampilan setelah lulus. Dengan stratifikasi bahasa di Hindia, sekolah seperti ini menjadi sekolah kelas dua, dan’ baru pada 1914 Hollandsche Inlandsche School (HIS) sekolah Belanda bumi- putra, menggantikan Sekolah Bumiputra Angka Satu, dengan ba- hasa Belanda sebagai pengantar, dan dihubungkan dengan sis- tem sekolah lanjutan Belanda. Sebelum itu; orangtua yang me- nyadari manfaat pendidikan gaya Barat dan cukup mampu me- nyekolahkan anak-anak mereka ke Europeesche Lagere Scholen (ELS), sekolah dasar Eropa, dan setelah tamat dapat terus ke se- kolah lanjutan Belanda seperti Hollandsche Burgerscholen (HBS), Sekolah Kelas Menengah Belanda atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), Sekolah Pendidikan bagi Dokter Bu- miputra dan Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), Sekolah Pendidikan bagi’ Pegawai Bumiputra. Jumlah murid bumiputra yang mengikuti pendidikan dengan bahasa Be- landa sebagai pengantar dapat dilihat détam Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Murid Bumiputra di Sekolah Berbahasa Belanda Lanjutan Ketrampilan FEDUD pas, Dear HBSdanMULO* —_STOVIA, OSVIA, dst. 1900 896 13, 376 1905, 1353 us = 1910 1681 50 1.470 1915 25808 406 - 1920 38.024 1168 3917 Sumber Van der Wal. Het Onderwijsbeleid, him. 1-12. * MULO adalah singkatan dari Meer Uitgebreide Lagere Onderwijs. Seperti kita lihat dari Tabel 5-7, meskipun pendidikan gaya Barat berkembang pesat, jumlah murid-muridnya tidak pernah besar jika dibandingkan dengan seluruh penduduk Hindia, dan orang terpelajar hanya sebagian kecil dari seluruh penduduk. Menurut Sensus 1920, persentase orang yang dapat membaca di Arena 39 Jawa hanya 2,74 persen dalam bahasa daerah dan 0,3 persen da- lam bahasa Belanda. Meskipun demikian, jumlah mereka cukup besar, yaitu 943,000 untuk bahasa setempat dan 87.000 untuk bahasa Belanda% Untuk mengerti/apa yang kemudian terjadi pada sejumlah be- sar orang yang dapat membaca ini, harus diperhatikan perbe- daan penting yang mendasar antara pendidikan gaya Barat dan pendidikan tradisional. Pendidikan gaya Barat tidak hanya se- kuler, tetapi juga masuk ke dalam tatanan kolonial yang terbagi secara rasial dan linguistik, serta terpusat secara politik, sedang- kan pendidikan tradisional pada dasarnya bersifat religius. Da- lam pendidikan gaya Barat, semakin tinggi sekolah seseorang maka ia semakin dekat dengan pusat-pusat kota dunia kolonial. Dengan demikian, kesempatan untuk mendapat pekerjaan yang "pantas” semakin terbuka, namun akan semakin terisap ke da- lam dunia bahasa Belanda, makin modern dan makin jauh ia dari cara hidup yang dijalani generasi orang tuanya. Dalam proses metamorfosis ini ada dua unsur yang sangat mendasar37 Pertama; seperti yang selalu ditunjukkan, pendidikan gaya baru menyediakan kunci bagi mobilitas, tetapi mobilitas yang di- maksud adalah mobilitas di dalam tatanan sosial dengan stra- tifikasi rasial yang diciptakan dan dipertahankan oleh negara Hindia. Dengan demikian, bumiputra tetap bumiputra, betapa pun tinggi pendidikannya. Tidak peduli Jawa, Sunda, Minangkabau, atau apa pun karena semuanya adalah bumiputra. Jadi, kategort bumiputra, yang hanya bermakna dalam konteks dominasi kolo- nial, menjadi dasar solidaritas bagi mereka yang mendapatkan pendidikan gaya Barat yang diciptakan Belanda. Kedua, pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus jelas berbeda dari generasi orang tua mereka. Kenyataan bahwa mereka menempuh pendidikan modern dan bekerja sebagai kelas menengah kota penerima gaji yang baru terbentuk menjadi dasar solidaritas generasi mereka Mereka menyebut diri dengan istilah kaum muda, yang lebih 36. Volkstelling. 1920, him. 141-142. 148-149. 37, Uraian berikut didasarkan pada Ben Anderson, Imagined Communities (Lon- don: Verso, 1983), 40 Zaman Bergerak modern dan maju ketimbang orang'tua mereka dan orang-orang yang tidak berpendidikan gaya Barat. Di antara kaum muda, me- reka yang masuk sekolah dasar/dan sekolah menengah Belanda juga lebih maju dari mereka yang mengikuti sekolah bumiputra Kuncinya adalah kemampuan bahasaBelanda dan/atau’ akses mereka terhadap dunia Belanda di Hindia karena Belandalah yang memberi-contoh tentang modernitas dan bahasa Belanda merupakan kunci ‘untuk membuka dunia dan zaman modern. Lambang kaummuda adalah penggunaan. kata-kata Belanda yang digunakan di dalam pembicaraan bahasa daerah mereka sehari-hari, pengenaan pakaian dan sepatu paya Barat, kebiasa- an mereka mengunjungi restoran dan'minum limun, nonton film, menikmati musik, dan bukan gamelan: Singkatnya, mereka me- lakukan hal-ha| yang modern, seperti yang dilakukan’oleh orang Belanda/Dalam novel Student Hidjo= "student" adalah lambang modernitas — Mas Marco Kartodikromo mengartikan "bangsa kaoem moeda" sebagai "mereka yang mengerti bahasa’ Belanda’, dan menggambarkan dua kaum muda; Raden Hidjo, lulusan HBS yang lulus Eind‘examen (ujian akhir), dan tunangannya, Raden Adjeng Banjoe Biroe, dengan latar belakang Solo. *Marilahi" kata Raden Adjeng jang soedah berdiri disisinja dan keli hatan tidak sabar menoeng goenja, "Goed! toenggoe sebentar!” HIDJO teroes membaljai boekoe itoe "Kom nou!" kata Raden Adjeng dengan keras ar menarik boekoe jang baroe dibatja oleh HIDJO. "Kom! kata HIDJO dengan seprapat ketawa berbangkit dari korsinja dan melihatkan moekanja BIROE jang terlalu moeloek. (Malam itu adalah malam bulan Puasa tanggal 25 Keduanya pergi ke Sri Wedari yang menutut Marco adalah "kebon binatang kepoenjaan Hingkang Sinoehoen di Solo’, di mana “terangnia lampoe eleKtris se perti terang mata hari”) Di dalam Sri Wedari Raden Adjeng dan HIDJO misih’ mondar-mandir melihat-lihatkanskeadaan di sitoe. "Marilah, DJO melihat Bioscoop, apa Wajang orang?’ tanja Raden Adjeng dan tangannja memegang tangan HIDJO. "Nee, Lieve,” (Tidak. djantoeng hatikoe), kata HIDJO dan soearanja jang tidak keras itoe didekatkan ditelinga Raden Adjeng seolah-olah Arena 4 hendak kasih tjioem kepadanja “Kita mentjari tempat di Restaurant sadja jang sedikit gelap dan omong-omong di sitoc."38 Dalam teks itu, pembicaraan dan gambaran suasananya pe- nuh dengan hal-hal modern — penggunaan bahasa Belanda, Hidjo yang sedang membaca buku, tentunya sebuah buku yang dibeli di toko, duduk di atas bangku, menekankan adanya lampu listrik, film di bioskop, sebuah restoran di mana mereka akan minum limun — dan semua ini diletakkan sejajar dengan hal yang tradisional. Perhatikan frasa yang menakjubkan tentang Sri Wedart. kebon binatan (sic) kepoenjaan Hingkang Sinoehoen di Solo. Kebun binatang tentunya sesuatu yang modern. Hal yang ganjil adalah "Hingkang Sinoehoen di Solo, yang memperlinat- kan ke-Batavia-an Marco, dan juga konsepsinya tentang Hindia yang nasional/kolonial. Dalam konsepsinya, Solo hanya sebuah bagian dari negaranya, Hindia, dan itulah alasan mengapa ia me- nulis seolah-olah ada berbagal Hingkang Sinoehoen, tidak hanya di Solo, tetapi juga di Yogyakarta, Blora, dan tempat-tempat lain- nya29 Itulah Kaum muda dan zaman di mana mereka hidup. Hal ini tidak berarti bahwa kaum muda menjadi Barat secara menyelu- ruh dan terpotong dari gagasan, persepsi, kebiasaan. dan etika tradisional. Mereka sama sekali tidak demikian. Yang penting adalah hal-hal tradisional. kehilangan maknanya yang utuh dan mereka dipaparkan berdampingan dengan hal-hal modern se- hingga sesuai dengan gaya modernnya kaum muda dan makna- nya pun mengalami perubahan. Hal yang unik dalam masa ini adalah persejajaran ini. Kaum muda membentuk kesadaran “nasional” mereka seba- gai bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama "bangsa-bangsa" lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu titik yang hilang di masa depan, yang memberikan makna pada keberadaan mereka saat itu. Mereka tentunya tidak menge- nal satu sama lain secara pribadi, tetapi mereka tahu pasti keha- 38. Marco Kartodikromo, Student Hidjo. him, 12-13. 39. Saya berutang budi pada Prof. Benedict Anderson untuk bagian int 42 Zaman Bergerak diran yang lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan seluruh Hindia. Mereka juga berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Untuk sementara waktu "embrio bangsa” ini belum mendapat nama, dan mereka tetap hanya bumiputra dan kaum muda. Per- gerakan nasional yang dipahami dalam historiografi ortodoks dari Indonesia pasca-merdeka adalah perjalanan "embrio bang- sa” ini dalam mencari namanya — Indonesia. Akan tetapi, sebe- lum Indonesia “ditemukan", “embrio bangsa” ini telah hadir da- lam pikiran dan gaya kaum muda, dan segera memperoleh alat Kelembagaan untuk mengungkapkan kesadaran “nasional"-nya. Alat itu adalah surat kabar bumiputra. Dalam dekade terakhir abad XIX dan dekade pertama abad XX, Khususnya setelah undang-undang pers yang baru meng- ganti sensor preventif menjadi sensor represif, jumlah dan pere- daran terbitan berkala berbahasa Melayu dan daerah meningkat dari 8 judul pada 1890 menjadi 18 judul pada 1905, dan 36 judul pada 1910. Walaupun tidak ada data statistik tentang peredaran- nya. peningkatannya dapat dilihat dari bukti bahwa barang ce- takan yang dikirim lewat layanan pos meningkat menjadi 370 persen pada 1910 jika dibandingkan dengan jumlah pada 189040 Orang-orang pertama yang aktif dalam jurnalisme adalah orang Indo, dan jurnalis terkemuka saat itu adalah jurnalis Indo. seperti HCO Clockener Brousson dari Bintang Hindia, EF Wiggers dari Bintang Bara., dan G. Francis dari Pemberita Betawi. Lalu, sejak pertengahan dekade pertama abad ini, orang-orang Tionghoa mulai mendirikan rumah-rumah cetak dan menerbitkan surat kabar dalam jumlah yang makin besar Pada 1905 orang-orang Tionghoa menerbitkan satu surat kabar di Jawa, yang segera meningkat menjadi lima pada 1907. sembilan pada 1909, dan lima belas pada 1911 Kegiatan penerbitan Tionghoa inilah yang me- nyebabkan pertumbuhan jumlah surat kabar yang pesat dalam paro kedua dekade 1900-an. Dalam perkembangan jurnalisme ini, kaum bumiputra juga mengambil bagian, pertama sebagai pe- gawai magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, lalu sebagai 40 Koloniaal Verslag, 1891 dan 191 Arena 4B redaktur surat kabar Indo dan Tionghoa, dan akhirnya sebagai penerbit surat kabar mereka sendiri. Jurnalis bumiputra pertama muncul dalam pertengahan dekade pertama abad XX. Di Batavia, RM. Tirtoadiwinoto, FDJ. Pangemanan, dan R.M. Toemenggoeng Koesoemo Oetojo menjadi hoofdredacteur(redaktur kepala) Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan dan Pewarta Prijaji, Di Surakarta, R, Dir- djoatmodjo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co. dan di Yogyakarta Dr. Wahidin Soedirohoe- sodo menjadi redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemilah, yang diterbitkan Firma H. Buning. Mereka segera diikuti oleh sejumlah jurnalis bumiputra: Raden Tirtodanoedjo dan R. Mo- hammad Joesoef, keduanya redaktur Sinar Djawa, yang diterbit- kan Hong Thaij & Co; Djojgsoediro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee; dan Abdoel Mocis, redaktur Pewarta Hindia di Bandung yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra yang dalam kegiatannya me- nulis artikel, member komentar terhadap surat pembaca, dan menyunting isi surat kabar bagi sejumlah (yang tidak mereka ke- tahui) orang (yang tidak mereka kenal), sesungguhnya memim- pin “embrio bangsa” dan mengungkapkan sOlidaritas mereka de- ngan para pembaca sebagai bumiputra dan kaum muda. Mutu solidaritas ini telah jelas sejak awal. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.MT. Koesoemo Oetojo, bupati Ngawi, me- nyerukan persatuan di kalangan priayi dan mengisi sebagian besar ruangnya dengan terjemahan dan penjelasan yang terinci tentang anggaran, suplemen, dan keputusan hukum pemerintah — singkatnya, segala hal yang berguna bagi priayi pemerintah. Mereka juga menghasilkan sebuah perkumpulan yang, terdiri atas pendukung, simpatisan, dan pelanggan dengan lima belas cabang di Jawa, Madura, dan Sumatra‘? Pada tahun-tahun awal, semua jurnalis bumiputra ini bekerja pada penerbit Indo dan Tionghoa sehingga mereka tidak sepe- nuhnya bebas memimpin "embrio bangsa”. Kemudian pada 1903, muncul R.M Tirtoadhisoerjo yang telah menjadi wartawan pada 4 Akira Nagazumi, "The Origin and the Earlier Years of the Budi Utomo, 1908-1918" (disertasi, Cornell University, 1967), him. 23, 38. 44 Zaman Bergerak usia sekitar 21 tahun, dan memimpin surat kabarnya sendiri, Soenda Berita, dengan bantuan keuangan dari bupati Cianjur, RA.A. Prawiradiredja. Soenda Berita adalah surat kabar pertama yang dibiayai, dikelola, disunting, dan diterbitkan oleh orang bu- miputra. Kemudian pada 1907, ia menerbitkan mingguan baru de- ngan judul Medan Prijaji, dan tahun berikutnya bersama Haji Mo- hammad Arsad dan Pangeran Oesman mendirikan perusahaan terbatas pertama milik bumiputra, NV. Javaansche Boekhandelen Drukkerij "Medan Prijaji' dan membeli salah satu percetakan per- tama milik bumiputra. Tirtoadhisoerjo, yang lahir dalam keluar- ga bupati Bodjonegoro pada 1880, tetapi menolak masuk Pangreh Pradja, bersekolah beberapa tahun di STOVIA Batavia (1893/94 - 1900) lalu bergabung dengan Pemberita Betawi sebagai redaktur. Pada 1906, ia mendirikan Sarekat Prijaji, yang bertujuan mema- jukan pendidikan anak-anak priayi dan bangsawan bumiputra lainnya melalui pemberian beasiswa. Medan Prijaji adalah organ- nya yang diterbitkan mula-mula sebagai mingguan (1907-9) dan kemudian sebagai harian (1909-1912). Tirtoadhisoerjo mencipta- kan gaya jurnalistik tersendiri dalam Medan Prijaji dengan baha- sa yang penuh sindiran dan penggunaan kata-kata Jawa dan Be- landa4? Medan Prijaji menjadi surat kabar yang terkemuka saat itu, dengan pelanggan sebanyak 2.000 orang pada awal 1911. Mes kipun menggunakan nama Medan Prijaji, surat kabar ini tidak lagi menjadi forum bagi priayi seperti Pewarta Prijaji dari Koe- soemo Oetojo. Seperti yang terungkap dalam mottonya: "soeara bagi sekalian Radja-radja, Bangsawan Asali dan fikiran, prijaji dan saudagar Boemipoetra dan officier-officier serta saudagar- saudagar dari bangsa jang terprentah laennja jang dipersamakan dengan Anaknegri. di seloeroeh Hindia Olanda.”43 "Bangsa" kini dapat dibayangkan dengan batas-batas yang jelas — atau 42 Lihat misalnya karangannya yang berjudul “Persdelict: Umpatan — A. Simon Kontra RM Tirto Adi Soerjo,” yang diterbitkan kembali dalam Pramoedya Anan- ta Toer, Song Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985). him. 208-216 Naskah aslinya diterbitkan dalam Medan Prijaji, No. 19 (1909), dan Soeloeh Keadilan, No. 4 (1909) Judulnya saja (Tirto versus Simon) sudah memperlihatkan gaya tantang- menantangnya yang militan. 43, Pramoedya, Sang Pemula. him. 49. Arena 45 dengan kata-kata Tirtoadhisoerjo sendiri sebagai “Anaknegri' Hindia Belanda 44 Keberhasilan Tirtoadhisoerjo sebagai redaktur-penerbit perta- ma sebagian karena hubungannya dengan Gubernur Jenderal Van Heutsz. yang memberinya perlindungan dari gangguan biro- krasi dan kehormatan di antara anak bangsanya yang terdidik, orang Timur Asing, Indo, dan Belanda yang berpikiran Etis. Akan tetapi, pada 1909 van Heutsz meninggalkan jabatannya dan Gu- bernur Jenderal yang baru, A.WF Idenburg, tiba di tanah Hindia. Tirtoadhisoerjo kehilangan pelindungnya yang paling kuat dan beberapa bulan kemudian harus menjalani pembuangan selama dua bulan karena tuntutan persdelict. Hal ini jelas memperlihat- kan bahwa ia tidak dilindungi oleh Idenburg. Para penulis menja- di takut. Perusahaan Eropa tidak mau lagi menempatkan iklan- nya dalam Medan Prijaji. Para pegawai Belanda dan bumiputra yang pernah diserang oleh Tirtoadhisoerjo dalam surat kabarnya kini melihat saat yang tepat untuk membalas dendam. Menjelang akhir dekade pertama abad ini, “Medan Prijaji" mengalami kesulitan finansial. Para pelanggan dianjurkan mem- beli saham perusahaan ini dan uang langganan diperkecil. Ban- tuan hukum, dan potongan harga untuk menginap di Hotel Me- dan Prijaji Batavia ditawarkan kepada pemegang saham. Tirtoa- dhisoerjo juga mendirikan Sarekat Dagang Islamijah yang terdin atas saudagar-saudagar muslim di Bogor tahun 1909 sebagai per- kumpulan Kaoem Mardika, terjemahan bahasa Melayunya dari istilah Belanda Vrije Burgers dan mengikuti bentuk Siang-hwee (kamar dagang Tionghoa). Ini adalah usaha terakhir untuk me- nunjang kegiatan utamanya, yaitu penerbitan Medan Prijaji: Da- lam bagian selanjutnya akan kita lihat bagaimana perannya da- lam pembentukan Sarekat Islam di Surakarta, tetapi saat ini ki- ranya cukup untuk mencatat bahwa ia adalah archetype pemim- pin pergerakan dekade berikutnya, dan bumiputra pertama yang 44, Lebih lanjut tentang Tirtoadhisoerjo, lihat Pramoedya, Sang Pemula; Soebagijo IN, Jagat Wartawan indonesia (jakarta Gunung Agung. 198l), him. 348-351, ‘Adjanct Adviseur voor Inlandsche Zaken (DA Rinkes) aan GG (Idenburg), 19 Feb. 1912. Vb 9 Juli 1913, No O11 46 Zamidn Bergerak menggerakkan “bangsa” melalui bahasanya, yaitu bahasa yang ditulisnya dalam Medan Prijaji. Sementara itu, muncul Boedi Octomo pada Mei 1908. Gagasan yang menghasilkan pembentukan BO ini sama dengan gagasan yang ada pada Tirtoadhisoerjo ketika membentuk Sarekat Prijaji: memajukan kaum bumiputra yang diajukan dalam bahasa Dar- winisme Sosial tentang “survival of the fittest” melalui perjuang- an bangsa. Dengan persetujuan dari Gubernur Jenderal Idenburg dan laporan berbahasa Belanda dari Douwes Dekker yang di- muat dalam Bataviaasch Nieuwsblad, BO menikmati kedudukan, sebagai ungkapan kebangkitan nasional yang pertama dalam bentuk organisasi. Bapak pendiri spiritualnya adalah Dr Wahidin Soedirohoesodo, seorang "doktor jawa" di Yogyakarta dan salah seorang jurnalis pertama di Hindia. Para pendiri yang sesungguh- nya adalah pelajar STOVIA di Batavia. Di masa awal, cabang-ca- bang didirikan di dalam lembaga pendidikan menengah bumipu tra. BO dilandasi solidaritas yang digerakkan oleh pendidikan gaya Barat, dan pesan-pesannya dikirim melalui surat edaran, media cetak, dan juga hubungan pribadi. Tetapi, kepemimpinan BO ini segera beralih dari para pelajar ke tangan priayi mapan yang berpendidikan Barat dan maju, namun terlalu berhati-hati dalam politik, seiring dengan dipindahkannya pusat kegiatan ke Yogyakarta di bawah perlindungan Pakualam. Organ tetap diter- bitkan, tetapi dalam bahasa Belanda dan Jawa. Kongres-kongres diadakan, tetapi dalam bangunan yang tidak dapat dijangkau wong cilik— kongres pertama diadakan di gedung Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) di Yogyakarta sedang kongres kedua di rumah perkumpulan "Mataram” di Yogyakarya. Dengan demi- kian, BO tetap saja didominasi orang Jawa dan sangat priayi.45 Di Zaman Etis, semangat zaman "kemajuan menuju moder- nitas" juga dirasakan oleh orang-orang Tionghoa dan Arab. Orang-orang Arab mendirikan Djami‘at al-Chair di Batavia yang mengumpulkan uang untuk mendirikan sekolah dasar dengan 45. Lebih jauh tentang Boedi Oetomo, lihat Akira Nagazumi, The Dawn of Indone- sian Nationalism The Early Years of the Budi Utomo (Tokyo: Institute of Developing Economics. 1972) Arena 47 kurikulum modern46 Mereka juga bergabung dengan Tirtoadhisoerjo ketika mendi- tikan Sarekat Dagang Islamijah di Batavia untuk melindungi dan memajukan kepentingan dagang orang Arab dan saudagar bumi- putra muslim. Tetapi, mereka yang paling aktif dalam. dekade pertama abad ini adalah orang Tionghoa baik peranakan Jawa maupun singkek. Menjelang akhir abad XIX, perusahaan yang menguntungkan, seperti monopoli candu dan rumah gadai yang menjadi sumber keuangan utama bagi negara Hindia dan basis kelembagaan kegiatan ekonomi Tionghoa peranakan, secara bertahap dibongkar dan diganti oleh lembaga-lembaga negara. Kerugian ini mencabut akses orang-orang Tionghoa terhadap pasar di pedesaan Jawa, dan kebebasan kegiatan ekonomi mere- ka juga berkurang dengan digunakannya pas jalan (1897) dan pengaturan permukiman (1900). Dengan pembatasan seperti ini, saudagar-saudagar Tionghoa tidak hanya menjual barang dalam jumlah yang lebih sedikit, tetapi yang lebih penting lagi, mereka tidak dapat mengumpulkan utang-utang penduduk desa, yang biasanya dibayar dengan beras atau produk lainnya, dan terlibat dalam kesulitan besar47 Di samping itu, negara Hindia memberi- kan status hukum yang sama seperti orang Belanda kepada orang Jepang pada 1899. Negara Jepang yang modern dan kuat dapat melindungi dan meningkatkan posisi orang Jepang di Hin- dia, sementara negara Tiongkok yang masih lemah dan belum modern tidak dapat melakukannya. Dengan demikian, kunci un- tuk meningkatkan posisi orang Tionghoa adalah “kemajuan” dan perlindungan negara. Pada 1900, dibentuk Tiong Hoa Hwe Koan (THHK, perkumpulan Tionghoa) di Jakarta oleh orang-orang Tionghoa berpendidikan Barat, dan tahun 1901 dibentuk sekolah THHK yang bergaya Barat. Dalam waktu beberapa’ tahun saja, sekolah-sekolah THHK telah beroperasi di seluruh Hindia. Saran, bantuan, dan perlindungan negara Tiongkok terus dicari, dan dinasti Ching yang melihat kesempatan memperoleh kemak- 46 The Siauw Giap, “Group Conflict in a Plural Society” Revue du Sus-Est Asia tique. 2 (1966), him. 199 47 James R, Rush, “Opium Farms in Nienteenth-Century Java” him. 262-265. #8 Zaman Bergerak muran orang Tionghoa di Hindia, memberikan tanggapan positif. Sejak 1906 pejabat tinggi dart dtnasti Ch’jng berkunjung ke Hindia setiap tahun. Dengan saran mereka, Siang-hwee (Kamar Dagang Tionghoa) didirikan di pusat-pusat perdagangan. dengan pegawai yang diberi pangkat pegawai Ching Untuk mengumpulkan dana pendukung penyelenggaraan sekolah-sekolah, THHK mengena- kan pajak pada transaksi bisnis tertentu seperti pelayaran da- gang Tionghoa dan penjualan tembakau serta kapas. Siang-hwee melakukan boikot terhadap perusahaan Eropa untuk melindungi kepentingan dagang Tionghoa. Pada 1907 dan 1909, dua kapal pe- rang Tiongkok berlabuh di beberapa pelabuhan Hindia. Mereka disambut dengan hangat oleh orang-orang Tionghoa di Hindia yang memperlihatkan solidaritas mereka‘® Kekuatan orang Tionghoa di Hindia sekarang mula dirasakan oleh negara Hindia Belanda sebagai kekuatan imperial yang lemah, menanggap! perkembangan kekuatan Tionghoa ini dengan mengabulkan se- jumlah permintaan. Hollandsche Chineesche Scholen (HCS), Se- kolah Belanda Tionghoa didirikan pada 1907. Sistem pas jalan di- longgarkan pada 1904 Sebuah pas yang tadinya hanya berlaku untuk sekali jalan, kini berlaku selama setahun. Dan pada 1910, diberikan hak menggunakan jalan-jalan raya utama tanpa izin4? Menjelang akhir dekade pertama abad XX, Orang orang Tiong hoa, bukan hanya mereka yang bergerak di bidang pertanian, tetapi_ semua orang Tionghoa, memperoleh kebebasan untuk menjalankan kegiatan dagang. Dan mereka mulai mencari tem- pat menanam uang pada perkebunan tebu dan industri lokal seperti rokok kretek dan batik, juga toko-toko kecil serta 48 Dalam Riwojat Semarang. Liem, Thian Joe menggambarkan suasana_ kctika orang Tionghoa Semarang menunggu kedatangan kedua kapal perang itu se bagai berikut: (Pada 1907) beberapa hart sebelum kedatangan kedua kapal pen- jelajah itu, kabarnya telah menyebar ke scluruh Jawa Tengah; dan ketika saat nya iba, sejumtah besar orang Tionghoa merasa perlu datang ke Semarang da- ri berbagai tempat untuk melihat kapal-kapal perang itu. Saat itu, hampir se- mua orang Tionghoa merasa bangga” Dikutip dari Williams, Overseas Chinese Nationalism, him. 162. Dua kapal perang Tlongkok adalah simbol yang konkret dari kekuatan Tiongkok dan untuk itu banyak orang Tionghoa yang merasa perly melihat dan merasakannya, lalu menjadi bangga 49. JS Furnivall, Netherlands India, him 240-241 Arena 49 perdagangan.-Tetapi, mereka yang menanam uangnya dalam bi- dang-bidang int bukan hanya peranakan Tionghoa yang "njawa- ni’, tetapi juga para singkek, umumnya ‘dari Kanton dan Hakka, yang lebih agresif dalam kegiatan dagang dan lebih kasar ting- kah lakunya di mata orang Jawa. Di:samping itu, seiring dengan berkembangnya\. sekolah-sekolah THHK, kaum) revolusioner Tionghoa; yang mendukung ‘Sun Yat-sen datang ke Hindia dan menjadi guru di sekolah-sekolah THHK. Sejak 1909, mereka men- dirikan Soe Po Sia, perkumpulan membaca bagi orang Tionghoa. Di perkumpulan: ini, diberikan) pelajaran, buku; dan terbitan berkala untuk publik Tionghoa. Nasionalisme Tiongkok kini sedang bergejolak. Kemudian pa- da Oktober 1911, terjadi revolusi di-Cina. Dinasti Ching runtuh dan diganti oleh republik, Orang Tionghoa di Hindia melihat hal ini sebagal tanda munculnya negara Tiongkok yang kuat dan mo- dern, sementara kekuatan Tionghoa juga dirasakan telah me- ninggi. Desas.desus beredar, dan orang-orang \Tionghoa mulai be- rani mengatakan kepada kaum)bumiputra’ bahwa republik yang baru akan» segera mengusir Belanda, dan orang, Tionghoa akan menjadi penguasa dan tuan bagi mereka. Tingkah laku orang Tionghoa terhadap bumiputra menjadi sangat sembong: Mereka menuntut kaum bumiputra. untuk menyebut mereka "toean" dan memberi hormat, sama seperti yang:dilakukan bumiputra terha- dap priayi‘dan orang Belanda5° Di Surabaya, pada Perayaan Ta- hun Baru Cina pada Februari 1912, polisi Belanda melarang pengi- baran bendera republik Tiongkok. Larangan ini mengakibatkan kerusuhan antara orang Tionghoa dan) polisi. Sebagai protes terhadap tindakan keras polisi, seluruh komunitas Tionghoa di Surabaya menutup toko mereka selama beberapa hari. Kesulitan yang ditimbulkan oleh patshi (pemogokan pasar) ini dirasakan oleh bumiputra yang tidak bisa memperoleh beras. Sejumlah bu- miputra yang dongkol menyerang toko-toko Tionghoa dan me- mukuli para pemiliknya. Insiden serupa, tetapi dengan skala lebih kecil, terjadi di beberapa tempat, dan di Surabaya, Bangil, 50. Resident van Soerakarta (GF van Wijk) aan GG. (idenburg), tl Nov. 1912, Vb, 28 Mei 1913, No. 9. 50 Zaman Bergerak serta Cirebon permusuhan antara orang Tionghoa di satu pihak dan bumiputra serta Arab di pihak lain menyulut kerusuhanS? Di Vorstenlanden, terutama di ibukota Surakarta dan Yogya- karta, perkembangan ini langsung terasa Di Zaman Etis, kedua ibukota ini tidak lagi menjadi kota pedalaman Jawa Tengah yang terasing, tetapi secara langsung berhubungan dengan pusat administrasi dan perdagangan Jawa kolonial — Batavia dan Ban- dung di sebelah barat, Semarang di utara, dan Surabaya di timur — dengan adanya perluasan jaringan komunikasi dan trans- portasi5? Orang, barang, dan informasi bergerak dalam jumlah yang besar di antara kedua ibukota itu dan pusat-pusat kota lainnya di sebelah barat, utara, dan timur. Bukan hanya aparat pemerintah yang dirasionalisasi dan berada di bawah pengawas- an langsung residen-residen Belanda, tetapi kegiatan negara se- perlti rumah gadai pemerintah, opiumregie, dan sekolah pemerin- tah juga diperluas sampai ke Vorstenlanden. Priayi “profesional” dan orang particulier muncul sebagai kelompok sosial yang menduduki tempat di pinggir tatanan priayi, yang pusatnya ada- lah keempat keraton itu. Kaum muda yang digambarkan Marco pun muncul. Jurnalisme mulai berkembang. Pada 1900, ada dua terbitan berkala di Solo dan Yogyakarta, yang disunting dan diterbitkan oleh orang Indo: Pada awal dekade pertama abad ini, dua orang jurnalis bumiputra, R. Dirdjoatmodjo di Solo dan Dr. Wahidin di Yogyakarta, menjadi redaktur Djawi Kanda dan Retnodhoemilah. Pada1909, empat surat kabar lainnya muncul di Solo. Salah satunya, Djawi Hiswara, merupakan kelanjutan dari bagian berbahasa Melayu dalam Djawi Kanda, tetapi ketiga lain- nya diterbitkan orang Tionghoa: /k Po diterbitkan oleh Tjoa Tjow Kwan, Taman Pewarta diterbitkan oleh Sie Dhian Ho, dan Darma Kanda. Penyunting Djawi Kanda dan Djawi Hiswara, Raden 5. Lea E Williams, Overseas Chinese Nationalism, him. 190. 52. Jumlah surat dan barang cetakan yang dikirim melalui pos meningkat lima kali lipat pada tahun 1890 jika dibanding tahun 1915. Jarak jalur Kereta api meningkat dart 1845 km pada 1895 menjadi 2788 km pada 1915. Jumiah penumpang Kereta api meningkat delapan kali lipat dan pengangkutan barang meningkat tiga kali lipat dalam periode yang sama. Koloniaal Verslag, 1891. 1896. 1916, Arena 51 Martodharsono, sebelumnya adalah redaktur pada Medan Prijaji dari Tirtoadhisoerjo. Kedua surat kabar itu kemudian menjadi se- perti "satelit" bagi Medan Prijaji53 Hoofdbestuur (pengurus pusat) BO bertempat di Yogyakarta, Walaupun priayi Surakarta tidak begitu antusias terhadap BO pada tahun-tahun awalnya, sebuah cabang didirikan di sana pada 1909 dan mulai menerbitkan organ pada 1911: Bagarmanapun, dalam dua hal Surakarta dan Yogyakarta te- tap berbeda dari pusat kota lainnya Pertama, kedua kota itu adalah tempat keraton-keraton Jawa, dan dianggap sebagai tem- pat "berdegupnya jantung tradisi Jawa’. Kewenangan budaya tra- disional Jawa — sebenarnya lebih tepat budaya Jawa campuran — yang mengagumkan diwujudkan dalam keempat keraton itu dan terasa lebih kuat bagi priayi pemerintah dan orang particulier di sana. Di antara keempat keraton itu, ada perbedaan yang jelas ketika menanggapi datangnya zaman modern. Pakualaman di Yogyakarta dan Kesunanan serta Mangkunegaran di Surakarta menanggapinya secara positif dengan mengirim beberapa orang pangeran melanjutkan sekolah di Belanda, sementara Kesultan- an tetap kolot. Oleh karena Pakualaman hanya bagian kecil di Vorstenlanden, pendidikan gaya Barat adalah satu-satunya jalan untuk bertahan, dan pangeran-pangeran Pakualamanlah yang paling maju dan memberi perlindungan terhadap BO. Kesunanan dan Mangkunegaran juga tidak kurang maju karena mereka de- ngan tenang merasa bahwa Solo adalah lambang budaya tradi- sional Jawa yang lebih otentik ketimbang Yogyakarta, dan karena itu lebih) bebas mengikutt semangat zaman. BO pada tahun-ta- hun awalnya memang lemah di Surakarta, tetapi lebih karena di- anggap sebagai klien bangsawan dan priayi Pakualaman. Seperti akan kita lihat. cabang BO di Surakarta pada 1910-an menjadi ca- bang yang paling kuat dan makmur, dan kepemimpinan pusat BO akan jatuh ke tangan para pangeran Kesunanan dan Mang- kunegaran yang berpendidikan Barat dan “maju". Di samping, itu pada 1906, patih Kesunanan, R. Adipati Sosrodiningrat, membentuk 53. SL vaneder Wal, ed. De Opkomst van de Nationalistische Beweging in Neder landsch-Indie, (Groningen: )B. Wolters, 1967), hlm:78.

You might also like