You are on page 1of 39

I.

PENGERTIAN, FUNGSI, DAN PERANAN KURIKULUM

A. Pengertian

Kurikulum adalah suatu rencana pendidikan, yang memberikan pedoman tentang jenis,
lingkup, urutan isi, serta proses pendidikan. Dengan program itu para siswa melakukan
berbagai kegiatan belajar sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku pada
dirinya. Kurikulum sebagai rencana pembelajaran juga diartikan sebagai seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu

B. Fungsi

1. Fungsi penyesuaian

Kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan peserta didik agar memilki sifat
untuk mampu menyesuaikan dengan llingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial.

2. Fungsi pengintegrasian

Kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh,
dalam hal ini orientasi dan fungsi kurikulum adalah mendidik peserta didik agar memilki
pribadi yang integral. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari
masyarakat.

3. Fungsi perbedaan

Kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan
individu peserta didik.

4. Fungsi persiapan

Kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan peserta didik agar mampu
melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkauan yang lebih jauh, baik dalam memasuki
pendidikan yang lebih tinggi ataupun dalam memasuki kehidupan dalam masyarakat.

5. Fungsi pemilihan

Kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada peserta
didik dalam memilih programprogram belajar sesuai dengan kemampuan dan minatnya.

6. Fungsi diagnostic

Kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan peserta didik
untuk dapat memahami kemampuan dan potensi yang ada dalam dirinya.

C. Peranan
1. Peranan konservatif

Peranan konservatif menekankan bahwa kurikulum dapat dijadikan sebagai sarana untuk
mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan
masa kini kepada anak didik sebagai generasi penerus.

2. Peranan kreatif

Perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek-aspek lainnya senantiasa terjadi setiap saat.
Kurikulum melakukan kegiatankegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti menekankan bahwa
kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru. Kurikulum harus dapat
membantu setiap peserta didik dalam mengembangakan potensi dirinya.

3. Peranan kritis dan evaluative

Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilainilai dan budaya yang hidup
dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya
masa lalu kepada peserta didik perlu disesuaikan kondisi yang ada di masa sekarang.

II. LANDASAN DAN PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM

A. Landasan Pengembangan Kurikulum

1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya.

2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik,


kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya
dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender.

3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan.

5. Menyeluruh dan berkesinambungan.

6. Belajar sepanjang hayat, diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan


pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

B. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum

1. Ilmiah

Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam kurikulum harus benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam konteks Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia, fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang termuat dalam silabus harus benar dan
sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam bidang ilmu tersebut. Penggunaan
istilah, notasi atau lambang untuk menunjuk objek tertentu, hendaknya sesuai dengan istilah,
notasi atau lambang yang umum dan lazim digunakan dalam bahasa dan sastra Indonesia.

2. Konsisten

Adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara kompetensi dasar, indikator, materi
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, serta teknik dan instrumen penilaian.
Dengan prinsip konsistensi ini, pemilihan materi pembelajaran, penetapan strategi dan
pendekatan dalam kegiatan pembelajaran, penggunaan sumber dan media pembelajaran, serta
penetapan teknik dan penyusunan instrumen penilaian semata-mata diarahkan pada pencapaian
kompetensi dasar dalam rangka pencapaian standar kompetensi.

3. Relevan

Pengembangan kurikulum harus memiliki kesesuaian di antara komponen-komponennya,


seperti tujuan, bahan, strategi, dan evaluasi. Pengembangan kurikulum juga harus relevan
dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi, potensi peserta didik, serta tuntutan dan
kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis). Cakupan, kedalaman, tingkat
kesukaran, dan urutan penyajian materi dalam kurikulum juga harus disesuaikan dengan
tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spritual siswa.

Prinsip ini mendasari pengembangan kurikulum, baik dalam pemilihan materi pembelajaran,
strategi dan pendekatan dalam kegiatan pembelajaran, penetapan waktu, strategi penilaian
maupun dalam mempertimbangkan kebutuhan media dan alat pembelajaran.

4. Ketercukupan

Cakupan indikator, materi pelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan sistem
penilaian cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar. Dengan prinsip ini, maka
tuntutan kompetensi harus dapat terpenuhi dengan pengembangan materi pelajaran dan
kegiatan pembelajaran yang dikembangkan. Sebagai contoh, jika standar kompetensi dan
kompetensi dasar menuntut kemampuan menganalisis suatu obyek belajar, maka materi
pelajaran, kegiatan pembelajaran, dan teknik serta instrumen penilaian harus secara memadai
mendukung kemampuan itu.

5. Menyeluruh

Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi, baik pengetahuan, sikap, maupun
praktik (psikomotor). Prinsip ini hendaknya dipertimbangkan, baik dalam mengembangkan
materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, maupun penilaiannya.

Kegiatan pembelajaran dalam silabus perlu dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik
memiliki keleluasaan untuk mengembangkan kemampuannya, bukan hanya kemampuan
kognitif saja, melainkan juga dapat mempertajam kemampuan afektif dan psikomotoriknya,
serta dapat secara optimal melatih kecakapan hidup (lifeskill).

6. Fleksibel
Pengembangan kurikulum harus bersifat luwes dalam pelaksanaannya; memungkinkan
terjadinya penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan zaman. Keseluruhan komponen
dalam kurikulum juga mengakomodasi keragaman peserta didik, pendidik, serta dinamika
perubahan yang terjadi di sekolah dan kebutuhan masyarakat.

7. Aktual dan Kontekstual

Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem penilaian
memerhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan
peristiwa yang terjadi. Banyak fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan
materi dan dapat mendukung kemudahan dalam menguasai kompetensi perlu dimanfaatkan
dalam pengembangan pembelajaran. Di samping itu, penggunaan media dan sumber belajar
berbasis teknologi informasi, seperti komputer dan internet perlu dioptimalkan.

8. Kontinuitas, pengembangan kurikulum harus memerhatikan kesinambungan, antara tingkat


kelas, antara jenjang pendidikan, maupun kontribusi dengan jenis pekerjaan.

III. TEORI BELAJAR

A. Teori Belajar Behaviorisme

Teori belajar tingkah laku (behaviorisme) memandang belajar sebagai hasil dari pembentukan
hubungan antara rangsangan dari luar (stimulus) seperti ‘2 + 2’ dan balasan dari siswa
(response) seperti ‘4’ yang dapat diamati. Semakin sering hubungan (bond) antara rangsangan
dan balasan terjadi, maka akan semakin kuatlah hubungan keduanya (law of exercise). Para
penganut teori belajar tingkah laku ini berpendapat bahwa batu saja akan berlubang jika ditetesi
air terus menerus. Thorndike menyatakan kuat tidaknya hubungan ditentukan oleh kepuasan
maupun ketidakpuasan yang menyertainya (law of effect). Itulah sebabnya, dua kata kunci
menurut para penganutnya selama proses pembelajaran adalah ‘latihan’ dan ‘ganjaran/
penguatan’. Teori ini menitikberatkan pada perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengulangan. Ganjaran atau penguatan pada binatang ditunjukkan dengan pemberian sesuatu
jika ia dapat menyelesaikan tugasnya, sehingga binatang tersebut akan mengulangi
kegiatannya. Para siswa akan sangat senang dan merasa dihargai jika mereka mendapat hadiah
ketika mereka dapat melaksanakan tugas dengan baik, sehingga mereka akan berusaha untuk
melakukan hal yang sama. Namun jika mereka melakukan hal yang salah maka mereka harus
mendapat hukuman agar ia tidak melakukan hal itu lagi. Teori belajar tingkah laku ini
menekankan adanya ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement). Semakin banyak
ganjaran yang diberikan maka respon yang diharapkan dari siswa akan lebih baik. Selain itu,
jika respon siswa di luar yang diinginkan maka diperlukan adanya konsekuensi hukuman
(punishment) sebagai stimulus agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah
ada atau, dengan kata lain, agar perilaku siswa sesuai yang diinginkan. Khusus untuk
punishment ini, beberapa tokoh teori tingkah laku, misalnya Skinner, memiliki perbedaan
pendapat, khususnya karena dampak yang kurang baik. Skinner memberikan alternatif yaitu
digunakannya penguatan negatif (negative reinforcement). Pada masa kini, teori belajar yang
dikemukakan penganut psikologi tingkah laku ini cocok digunakan untuk mengembangkan
kemampuan siswa yang berhubungan dengan pencapaian hasil belajar (pengetahuan)
matematika seperti fakta, konsep, prinsip, dan skill (keterampilan).

B. Teori Belajar Kognitif

1. Psikologi Perkembangan Kognitif Piaget

Menurut Piaget, struktur kognitif atau skemata (schema) adalah suatu organisasi mental tingkat
tinggi yang terbentuk pada saat orang itu berinterkasi dengan lingkungannya. Dua proses yang
sangat penting adalah asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah suatu proses di mana suatu
informasi atau pengalaman baru dapat disesuaikan dengan kerangka kognitif yang sudah ada
di benak siswa; sedangkan akomodasi adalah suatu proses perubahan atau pengembangan
kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa agar sesuai dengan pengalaman yang baru
dialami. Sejalan dengan itu, Ausubel menginginkan proses pembelajaran di kelas-kelas adalah
suatu pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) yaitu suatu pembelajaran di mana
pengetahuan atau pengalaman yang baru dapat terkait dengan pengetahuan lama yang sudah
ada di dalam struktur kognitif seseorang. Untuk membantu terjadinya pembelajaran bermakna,
Bruner menyarankan agar proses pembelajaran melalui tiga tahap, yaitu tahap enaktif, tahap
ikonik, dan tahap simbolik.

Empat tahap perkembangan kognitif siswa menurut Piaget adalah (1) tahap sensori motor (0–
2 tahun), (2) tahap pra-operasional (2–7 tahun), (3) tahap operasional konkret (7–11 tahun),
dan (4) tahap operasional formal (11 tahun ke atas).

Pada tahap sensori motor (0-2 tahun) seorang anak akan belajar untuk menggunakan dan
mengatur kegiatan fsik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Pada tahap
ini, pemahaman anak sangat bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh dan alat-alat indera
mereka. Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh
hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia belum mampu
untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten. Pada tahap
operasional konkret (7-11 tahun), umumnya anak sedang menempuh pendidikan di sekolah
dasar. Di tahap ini, seorang anak dapat membuat kesimpulan dari suatu situasi nyata atau
dengan menggunakan benda konkret, dan mampu mempertimbangkan dua aspek dari suatu
situasi nyata secara bersamasama (misalnya, antara bentuk dan ukuran). Pada tahap operasional
formal (lebih dari 11 tahun), kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda
nyata. Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam perkembangan kognitif.

2. Belajar Bermakna David P. Ausubel

Teori belajar Ausubel menitikberatkan pada bagaimana seseorang memperoleh


pengetahuannya. Menurut Ausubel terdapat 2 jenis belajar yaitu belajar hafalan (rote-learning)
dan belajar bermakna (meaningfullearning). Jika seorang siswa berkeinginan untuk mengingat
sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil
pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan (rote) dan tidak akan bermakna
(meaningless) sama sekali baginya. Pembelajaran yang mengacu pada ‘belajar bermakna’ atau
‘meaningful-learning’ adalah pembelajaran di mana pengetahuan atau pengalaman baru yang
akan dipelajari siswa dapat terkait dengan pengetahuan lama yang sudah dimiliki siswa.
3. Teori Presentasi Bruner

Bruner membagi penyajian proses pembelajaran dalam tiga tahap, yaitu tahap enaktif, ikonik,
dan simbolik. Pada tahap enaktif, para siswa dituntut untuk mempelajari pengetahuan dengan
menggunakan sesuatu yang “konkret” atau “nyata” yang berarti dapat diamati dengan
menggunakan panca indera. Contohnya, ketika akan membahas geometri ruang di awal
pembelajaran, guru dapat menggunakan alat peraga maupun barang sehari-hari semisal kaleng,
dus, dll. Pada tahap ikonik, yakni setelah mempelajari pengetahuan dengan benda nyata atau
benda konkret, tahap berikutnya adalah tahap ikonik, dimana para siswa mempelajari suatu
pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram sebagai perwujudan dari kegiatan yang
menggunakan benda konkret atau nyata tadi. Pada tahap simbolik para siswa harus melewati
suatu tahap dimana pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol abstrak.
Dengan kata lain, siswa harus mengalami proses berabstraksi. Berabstraksi terjadi pada saat
seseorang menyadari adanya kesamaan di atara perbedaan-perbedaan yang ada.

C. Teori Belajar Konstruktivisme

1. Model Penemuan

Bruner berpendapat bahwa belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan
(learning by discovery is learning to discover). Ada dua model penemunaan, yaitu model
penemuan murni dan model penemuan terbimbing. Model penemuan yang dapat
dikembangkan di kelas adalah model penemuan terbimbing di mana para siswa dihadapkan
dengan situasi di mana ia bebas untuk mengumpulkan data, membuat dugaan (hipotesis),
mencoba-coba (trial and error), mencari dan menemukan keteraturan (pola), menggeneralisasi
atau menyusun rumus beserta bentuk umum, membuktikan benar tidaknya dugaannya itu.
Berbeda dengan model penemuan murni di mana mulai dari pemilihan strategi sampai pada
jalan dan hasil penemuan ditentukan para siswa sendiri maka pada penemuan terbimbing ini,
para guru bertindak sebagai penunjuk jalan, ia membantu dan memberi kemudahan bagi para
siswanya sedemikian rupa sehingga mereka dapat mempergunakan idea, konsep dan
ketrampilan yang sudah dia pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru. Penggunaan
serangkaian pertanyaan yang tepat akan sangat membantu siswa untuk menemukan
pengetahuan yang baru berdasar pada pengetahuan lama yang dipunyainya.

2. Model Saintifk

Pendekatan saintifk meliputi lima pengalaman belajar sebagaimana dijelaskan berikut ini.

a. Mengamati (observing) di mana siswa difasilitasi untuk mengamati dengan indra


(membaca, mendengar, menyimak, melihat, menonton, dan sebagainya) dengan atau tanpa alat.

b. Menanya (questioning) di mana siswa difasilitasi untuk membuat dan mengajukan


pertanyaan, tanya jawab, berdiskusi tentang informasi yang belum dipahami, informasi
tambahan yang ingin diketahui, atau sebagai klarifkasi.

c. Mengumpulkan informasi/mencoba (experimenting) di mana siswa difasilitasi untuk


mengeksplorasi, mencoba, berdiskusi, mendemonstrasikan, meniru bentuk/gerak, melakukan
eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengumpulkan data dari nara sumber
melalui angket, wawancara, dan memodifkasi/ menambahi/ mengembangkan.

d. Menalar/mengasosiasi (associating) di mana siswa difasilitasi untuk mengolah informasi


yang sudah dikumpulkan, menganalisis data dalam bentuk membuat kategori, mengasosiasi
atau menghubungkan fenomena/informasi yang terkait dalam rangka menemukan suatu pola,
dan menyimpulkan.

e. Mengomunikasikan (communicating) di mana siswa difasilitasi untuk menyajikan laporan


dalam bentuk bagan, diagram, atau grafk; menyusun laporan tertulis; dan menyajikan laporan
meliputi proses, hasil, dan kesimpulan secara lisan.

III. PRINSIP-PRINSIP BELAJAR

Dalam perencanaan pembelajaran, prinsip-prinsip belajar dapat mengungkap batas-batas


kemungkinan dalam pembelajaran. Dalam melaksanakan pembelajaran, pengetahuan tentang
teori dan prinsip-prinsip belajar dapat membantu guru dalam memilih tindakan yang tepat.

Dari berbagai prinsip belajar tersebut terdapat beberapa prinsip yang relatif berlaku umum yang
dapat digunakan sebagai dasar dalam upaya pembelajaran sebagai berikut.

A. Perhatian dan Motivasi

Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian belajar
pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar
(Gage dan Berliner, 1984: 355). Di samping perhatian, motivasi mempunyai peranan penting

dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas
seseorang. Motivasi dapat dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil (Gage dan
Berliner, 1984: 372).

B. Keaktifan

Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya
sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan kepada
orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif mengalami sendiri.

C. Keterlibatan langsung/Berpengalaman

Belajar adalah mengalami, belajar tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Edgar Dale dalam
penggolongan pengalaman belajar yang dituangkan dalam kerucut pengalamannya
mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung.
Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa yang tidak hanya mengamati secara
langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab
terhadap hasilnya.

D. Pengulangan
Pada teori Psikologi Asosiasi atau Koneksionisme mengungkapkan bahwa belajar ialah
pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan terhadap pengalaman-
pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respons benar. Pengulangan dalam belajar
akan melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menanggap,
mengingat, mengkhayal, merasakan, hingga berpikir yang akan membuat daya-daya tersebut
berkembang.

E. Tantangan

Dalam situasi belajar, siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai. Namun selalu
terdapat hambatan, yaitu mempelajari bahan belajar. Timbullah motif untuk mengatasi
hambatan itu, yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut.

F. Balikan atau Penguatan

Siswa belajar sungguh-sungguh dan mendapatkan nilai yang baik dalam ulangan. Nilai yang
baik itu mendorong anak untuk belajar lebih giat lagi. Nilai yang baik dapat merupakan operant
conditioning atau penguatan positif. Sebaliknya, anak yang mendapatkan nilai yang jelek pada
waktu ulangan akan merasa takut tidak naik kelas, karena takut tidak naik kelas ia terdorong
untuk belajar lebih giat. Inilah yang disebut penguatan negatif.

G. Perbedaan Individual

Siswa yang merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama
persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan individu ini
berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa

IV. PENDEKATAN, STRATEGI, METODE, DAN TEKNIK PEMBELAJARAN

Dalam Lampiran 3 Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 (233) pendekatan dimaknai sebagai
cara menyikapi/melihat (a way of viewing); strategi dimaknai sebagai cara mencapai tujuan
dengan sukses (a way of winning the game atau a way of achieving of
objectif);metode dimaknai sebagai cara menangani sesuatu (a way of dealing).
Sedangkan teknikdimaknai sebagai cara memperlakukan sesuatu (a way creating something);
dan modeldimaknai sebagai kerangka yang berisikan langkah-langkah/uruturutan
kegiatan/sintakmatik yang secara operasional perlu dilakukan oleh guru dan siswa. Dalam
referensi lain dijelaskan bahwa pendekatan adalah titik tolak atau sudut pandang terhadap
proses pembelajaran; metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan
rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan
pembelajaran;teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan
suatu metode secara spesifk; dan model adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal
sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru (bungkus atau bingkai dari penerapan suatu
pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran). Pendekatan (approach) merupakan titik tolak
atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Roy Killen (1998) misalnya, mencatat
ada dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada
guru (teacher-centered approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-
centered approaches) yang digunakan dalam perancangan kurikulum dan pembelajaran saat
ini. Strategi pembelajaran merupakan perencanaan tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk
penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan dalam pembelajaran
yang disusun untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan metodemerupakan upaya untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang
telah disusun tercapai secara optimal. Metode digunakan sebagai cara untuk melaksanakan dan
merealisasikan strategi yang telah ditetapkan. Dalam mengimplementasikan metode
pembelajaran, seorang pendidik perlu menetapkan teknik atau cara tertentu agar proses
pembelajaran berjaan efektif dan efsien, serta taktik atau gaya individu dalam melaksanakan
suatu teknik atau metode tertentu misalnya dalam menggunakan ilustrasi atau menggunakan
gaya bahasa atau idialek agar materi pembelajaran mudah dipahami.

VI. KRITERIA PENYELEKSIAN DAN PEMILIHAN MATERI PEMBELAJARAN

1. Sahih (Valid)

Materi yang akan dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan
kesahihannya. Pengertian ini juga berkaitan dengan keaktualan materi sehingga materi yang
diberikan dalam pembelajaran tidak ketinggalan jaman dan memberikan kontribusi untuk
pemahaman ke depan.

2. Tingkat Kepentingan (Significance)

Dalam memilih materi perlu mempertimbangkan pertanyaan berikut:

a. Bagaimana intensitas tingkat kepentingan materi tersebut sehingga harus dipelajari?


b. Apakah penting materi tersebut diajarkan pada siswa?
c. Dimana letak kepentingan materi tersebut dan mengapa penting?

Dengan demikian, materi yang dipilih untuk diajarkan tentunya memang yang benar-benar
diperlukan oleh siswa.

3. Kebermanfaatan (utility)

Manfaat harus dilihat dari semua sisi, baik secara akademis maupun nonakademis. Bermanfaat
secara akademis artinya guru harus yakin bahwa materi yang diajarkan dapat memberikan
dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang
pendidikan berikutnya. Bermanfaat secara nonakademis maksudnya bahwa materi yang
diajarkan dapat mengembangkan kecakapan hidup (life skills) dan sikap yang dibutuhkan
dalam kehidupan sehari-hari

4. Layak dipelajari (learnability)

Materinya memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu
mudah, atau tidak terlalu sulit), maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan bahan ajar
dan kondisi setempat.

5. Menarik minat (interest)


Materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi siswa untuk
mempelajarinya lebih lanjut. Setiap materi yang diberikan kepada siswa harus mampu
menumbuhkembangkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk
mengembangkan sendiri kemampuan mereka.

B. Pola Pengembangan Materi Pembelajaran

Terdapat beberapa pola pengembangan materi pembelajaran yang dapat dipilih guru, yakni
sebagai berikut.

1. Pola kronologis, susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.


2. Pola kausal, susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
3. Pola logis, susunan materi pembelajaran yang dimulai dari bagian sederhana menuju kepada
yang kompleks.
4. Pola psikologis, susunan materi pembelajaran yang dimulai dari umum ke dalam bagian-
bagian yang lebih khusus.
5. Pola spiral, susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu
yang populer dan sederhana; kemudian dikembangkan, diperdalam, dan diperluas dengan
bahan yang lebih kompleks.
6. Pola inquiri atau pemecahan masalah, susunan materi pembelajaran yang mengarah pada
proses penemuan ataupun pemecahan masalah, yang meliputi langkah-langkah berikut: (a)
perumusan masalah, (b) penyusunan hipotesis, (c) pengumpulan data, (d) pengujian hipotesis,
dan (e) perumusan simpulan.

Sumber Pustaka:

Wibowo, Hari, dkk. 2016. Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa, Direktorat Jenderal Guru dan
Tenaga Kependidikan.

__________ 2016. Teori Belajar. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan
Tenaga Kependidikan Bahasa, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan
I. PERKEMBANGAN KOGNITIF PESERTA DIDIK
A. Pengertian
Kognitif atau pemikiran adalah istilah yang digunakan oleh ahli psikologi untuk menjelaskan
semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan dan pengolahan
informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah,
dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan bagaimana
individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai
dan memikirkan lingkungannya. (Desmita, 2009)
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Guru harus mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peserta didik. Yang sangat
sentral dalam factor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif adalah gaya
pengasuhan dan lingkungan. Biasanya gaya pengasuhan lebih diterapkan pada anak-anak. Pada
pengasuhan ini merupakan cika lbakal perkembangan kognitif tersebut, karena ketika anak
diasuh secara tidak sesuai dengan semestinya, ini akan berakibat pada perkembangan kognitif
anak, bahkan pada perkembangan mental anak tersebut. Lingkungan pun sangat berpengaruh
pada perkembangan kognitif, semakin buruk lingkungan maupun pergaulan seseorang maka
kemungkinan pengaruh lingkungan pada perkembangan kognitif anak semakin besar.
(Wibowo, 2016)
C. Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Empat tahap perkembangan kognitif siswa menurut Piaget adalah sebagai berikut.
1. tahap sensori motor (0–2 tahun)
Pada tahap sensori motor (0-2 tahun) seorang anak akan belajar untuk menggunakan dan
mengatur kegiatan fIsik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Pada tahap
ini, pemahaman anak sangat bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh dan alat-alat indera
mereka.
2. tahap pra-operasional (2–7 tahun)
Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal
khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia belum mampu untuk
melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten
3. tahap operasional konkret (7–11 tahun)
Pada tahap Operasional konkret (7-11 tahun), umumnya anak sedang menempuh pendidikan
di sekolah dasar. Di tahap ini, seorang anak dapat membuat kesimpulan dari suatu situasi nyata
atau dengan menggunakan benda konkret, dan mampu mempertimbangkan dua aspek dari
suatu situasi nyata secara bersamasama (misalnya, antara bentuk dan ukuran).
4. tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun)
Pada tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun), kegiatan kognitif seseorang tidak mesti
menggunakan benda nyata. Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam perkembangan
kognitif. (Doyin, 2015)

II. PERKEMBANGAN FISIK PESERTA DIDIK


Kuhlen dan Thompson mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat
aspek, yaitu:
(a) Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik;
(b) Sistem syaraf yang sangat memengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi;
(c) Kelenjar Endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti pada
usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian
anggotanya terdiri atas lawan jenis;
(d) Struktur fisik/tubuh, yang meliputi tinggi, berat, dan proporsi.
Seifert dan Hoffnung (1994) berpendapat perkembangan fisik meliputi perubahan-perubahan
dalam tubuh (seperti : pertumbuhan otak, sistem saraf, organ-organ indrawi, pertambahan
tinggi dan berat, hormon, dan lain-lain), dan perubahan-perubahan dalam cara individu dalam
menggunakan tubuhnya (seperti perkembangan keterampilan motorik dan perkembangan
seksual), serta perubahan dalam kemampuan fisik (seperti penurunan fungsi jantung,
penglihatan, dan sebagainya).

III. PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL PESERTA DIDIK


Selain perkembangan karakteristik fisik dan kognitif peserta didik, yang tidak kalah penting
adalah perkembangan sosial-emosional peserta didik. Sosio-emosional berasal dari kata sosial
dan emosi. Perkembangan sosial adalah pencapaian kematangan dalam hubungan atau
interaksi sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan
norma-norma kelompok, tradisi dan moral agama. Sedangkan emosi merupakan faktor
dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku
belajar. Emosi dibedakan menjadi dua, yakni emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif
seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat, atau rasa ingin tahu yang tinggi akan
mempengaruhi individu untuk mengonsentrasikan dirinya terhadap aktivitas belajar. Emosi
negatif sperti perasaan tidak senang, kecewa, tidak bergairah, individu tidak dapat memusatkan
perhatiannya untuk belajar, sehingga kemungkinan besar dia akan mengalami kegagalan dalam
belajarnya. Selain itu, dari segi etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa Latin ‘movere’
yang berarti ‘menggerakkan, bergerak’. Kemudian ditambah dengan awalan ‘e-‘ untuk
memberi arti ‘bergerak menjauh’. Makna ini menyiratkan kesan bahwa kecenderungan
bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
Perkembangan sosio-emosional peserta didik termasuk suatu pembahasan yang sangat penting
karena dengan mengetahui perkembangan sosio-emosional peserta didik, para pendidik dapat
mengambil tindakan pada permasalahan peserta didik dengan berbagai karakteristik dan sifat
yang berbeda-beda. Sosio-emosional adalah perubahan yang terjadi pada diri setiap individu
dalam warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Dalam pembahasan
sosio-emosional ini lebih ditekankan dalam sosioemosional pada remaja. Pada masa remaja,
tingkat karakteristik emosional akan menjadi drastis tingkat kecepatannya. Gejala-gejala
emosional para remaja seperti perasaan sayang, cinta dan benci, harapan-harapan dan putus
asa, perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai pendidik. kita harus mengetahui setiap
aspek yang berhubungan dengan perubahan tingkah laku dalam perkembangan remaja, serta
memahami aspek atau gejala tersebut sehingga kita bisa melakukan komunikasi yang baik
dengan remaja. Perkembangan emosi remaja merupakan suatu titik yang mengarah pada proses
dalam mencapai kedewasaan. Meskipun sikap kanak-kanak akan sulit dilepaskan pada diri
remaja karena pengaruh didikan orang tua.
Faktor yang sangat memengaruhi perkembangan peserta didik pada usia remaja yaitu didikan
orang tua, lingkungan sekitar tempat tinggal dan perlakuan guru di sekolah. Pengaruh sosio-
emosional yang baik pada remaja terhadap diri sendiri yaitu untuk mengendalikan diri,
memutuskan segala sesuatu dengan baik, serta bisa lebih merencanakan segala hal yang akan
diputuskannya, sedangkan terhadap orang lain, yaitu mampu menjalin kerjasama yang baik,
saling menghargai dan mampu memposisikan diri di lingkungan dengan baik. Agar seorang
peserta didik dapat memiliki kecerdasan emosi dengan baik haruslah dibentuk sejak usia dini,
karena pada saat itu sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan manusia selanjutnya.
Sebab pada usia ini dasar-dasar kepribadian anak telah terbentuk. Jelaslah sudah betapa
pentingnya seorang pendidik memahami perkembangan sosio-emosional peserta didik, agar
dalam proses pembelajaran perkembangan sosio-emosional peserta didik yang berbeda-beda
dapat diatasi dengan baik.

IV. PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK


Seto Mulyadi (2002a) menyatakan tentang Robert Coles yang menggagas tentang kecerdasan
moral yang juga memegang peranan amat penting bagi kesuksesan seseorang dalam hidupnya.
Hal ini ditandai dengan kemampuan seorang anak untuk bisa menghargai dirinya sendiri
maupun diri orang lain, memahami perasaan terdalam orang-orang di sekelilingnya, mengikuti
aturan-aturan yang berlaku, semua ini termasuk merupakan kunci keberhasilan bagi seorang
anak di masa depan. Suasana damai dan penuh kasih sayang dalam keluarga, contoh-contoh
nyata berupa sikap saling menghargai satu sama lain, ketekunan dan keuletan menghadapi
kesulitan, sikap disiplin dan penuh semangat, tidak mudah putus asa, lebih banyak tersenyum
daripada cemberut, semua ini memungkinkan anak mengembangkan kemampuan yang
berhubungan dengan kecerdasan kognitif, kecerdasan emosional maupun kecerdasan
moralnya.
Teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada
penalaran moral dan berkembang secara bertahap yaitu: Penalaran prakovensional,
konvensional, dan pascakonvensional.
1) Tingkat Satu: Penalaran Prakonvesional
Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral
Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran
moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.
Contoh dalam dunia pendidikan: Peserta didik mau belajar kalau mendapatkan hadiah uang.
2) Tingkat Dua: Penalaran Konvensional
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan
moral Kohlberg. Seorang menaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak
mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orangtua atau masyarakat.
Contoh: siswa di satu kesempatan mau belajar dengan tekun karena kesadaran sendiri tetapi
tidak mau menaati perintah orang tua yang mengharuskan belajar dari pukul 19.00 sampai
dengan pukul 21.00
3) Tahap Tiga: Penalaran Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg.
Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-
standar orang lain. Seorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan
kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
Contoh : Anak dengan penuh kesadaran menaati tata tertib sekolah baik diawasi atau tidak, ada
sanksi atau tidak.

V. BEKAL AWAL PESERTA DIDIK

Bekal ajar awal peserta didik dapat pula diartikan kemampuan awal (entry behavior)

adalah kemampuan yang yang telah diperoleh peserta didik sebelum dia memperoleh
kemampuan terminal tertentu yang baru. Kemampuan awal menunjukkan status pengetahuan
dan keterampilan peserta didik sekarang untuk menuju ke status yang akan datang yang
diinginkan guru agar tercapai oleh peserta didik. Dengan kemampuan ini dapat ditentukan
darimana pengajaran harus dimulai.
Identifikasi bekal ajar awal peserta didik bertujuan untuk:

1) Memperoleh informasi yang lengkap dan akurat berkenaan dengan kemampuan awal peserta
didik sebelum mengikuti program pembelajaran tertentu;

2) Menyeleksi tuntutan, bakat, minat, kemampuan serta kecendrungan peserrta didik berkaitan
dengan pemilihan program program pembelajaran tertentu yang akan diikuti mereka; dan

3) Menentukan desain program pembelajaran dan atau pelatihan tertentu yang perlu
dikembangkan sesuai dengan kemampuan awal peserta didik.

Teknik Mengaktifkan Bekal Ajar Awal Peserta Didik

untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik, seorang pendidik dapat melakukan tes awal
(pre-test). Tes yang diberikan dapat berkaitan dengan materi ajar sesuai dengan panduan
kurikulum. Selain itu pendidik dapat melakukan wawancara, observasi, dan memberikan
kuisioner kepada peserta didik atau calon peserta didik, serta guru yang biasa mengampu
pelajaran tersebut. Teknik yang paling tepat untuk mengetahui bekal ajar awal peserta didik
yaitu tes. Teknik tes ini menggunakan tes prasyarat dan tes awal. Sebelum memasuki pelajaran
sebaiknya guru membuat tes prasyarat dan tes awal. Tes prasyarat adalah tes untuk mengetahui
apakah peserta didik telah memiliki pengetahuan keterampilan yang diperlukan atau di
syaratkan untuk mengikuti suatu pelajaran. Sedangkan tes awal adalah tes untuk mengetahui
seberapa jauh siswa telah memiliki pengetahuan atau keterampilan mengenai pelajaran yang
hendak diikuti. Benjamin S. Bloom melalui beberapa eksperimen membuktikan bahwa “untuk
belajar yang bersifat kognitif apabila pengetahuan atau kecakapan pra syarat ini tidak dipenuhi,
maka betapa pun kualitas pembelajaran tinggi, maka tidak akan menolong untuk memperoleh
hasil belajar yang tinggi”. Hasil pretest juga sangat berguna untuk mengetahui seberapa jauh
pengetahuan yang dimiliki dan sebagai perbandingan dengan hasil yang dicapai setelah
mengikuti pelajaran. Jadi kemampuan awal sangat diperlukan untuk menunjang pemahaman
siswa sebelum diberi pengetahuan baru karena kedua hal tersebut saling berhubung.

VI. MENGIDENTIFIKASI DAN MENGATASI KESULITAN BELAJAR SISWA

A. Pengertian Kesulitan Belajar Siswa

Hamalik (hal: 1983) menyatakan kesulitan belajar dapat diartikan sebagai keadaan di mana
peserta didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya. Keadaan tersebut tidak bisa diabaikan
oleh seorang pendidik karena dapat menjadi penghambat tujuan pembelajaran. Kesulitan
belajar tidak hanya disebabkan oleh faKtor intelegensi yang rendah, akan tetapi bisa
disebabkan oleh faktor-faktor nonintelegensi. Oleh karena itu, IQ yang tinggi belum tentu
menjamin keberhasilan belajar. Wood (2007:33) menyatakan kesulitan belajar adalah suatu
kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk
mencapai hasil belajar. Hambatan-hambatan tersebut diakibatkan oleh faktor yang berasal dari
dalam diri peserta didik maupun luar diri peserta didik.

B. Jenis-Jenis Kesulitan Belajar Siswa


Empat jenis kesulitan/gangguan belajar dalam perkembangan seorang anak:

1. Kesulitan belajar akademis, meliputi kesulitan membaca, kesulitan menulis, dan kesulitan
berhitung.

2. Gangguan simbolik, yaitu ketidakmampuan anak untuk dapat memahami suatu obyek
sekalipun ia tidak memiliki kelainan pada organ tubuhnya.

3. Gangguan nonsimbolik, yaitu ketidakmampuan anak untuk memahami isi pelajaran karena
ia mengalami kesulitan untuk mengulang kembali apa yang telah dipelajarinya.

4. Ganguan sosial-emosional, yaitu gangguan yang berasal dari lingkungan dan emosi dalam
diri anak.

C. Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Siswa

Penyebab kesulitan belajar antara lain sebagai berikut.

1. Faktor intelektual, yaitu inteligensi yang rendah dan terbatas;

2. Faktor kondisi fisik dan kesehatan, termasuk kondisi kelainan, seperti kurangnya gizi pada
ibu hamil, bayi dan anak, kerusakan susunan dan fungsi otak, dan penyakit persalinan;

3. Faktor sosial,seperti pengaruh teman bermain, pergaulan dan lingkungan sekitar;

4. Faktor keluarga, seperti keadaan keluarga yang tidak baik dan kurangnya dukungan belajar
dari orang tua.

D. Cara Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa

Cara mengatasi mengatasi kesulitan belajar adalah sebagai berikut.

1. tempat duduk siswa

Anak yang mengalami kesulitan pendengaran dan penglihatan hendaknya mengambil posisi
tempat duduk bagian depan.

2. Gangguan kesehatan

Anak yang mengalami gangguan kesehatan sebaiknya diistirahatkan di rumah dengan tetap
memberinya bahan pelajaran dan dibimbing oleh orang tua dan keluarga lainnya.

3. Program remedial

Siswa yang gagal mencapai tujuan pembelajaran akibat gangguan internal, perlu ditolong
dengan melaksanakan program remedial.

4. Bantuan media dan alat peraga


Penggunaan alat peraga pelajaran dan media belajar kiranya cukup membantu siswa yang
mengalami kesulitan menerima materi pelajaran. Misalnya, karena materi pelajaran bersifat
abstrak sehingga sulit dipahami siswa.

5. Suasana belajar menyenangkan

Suasana belajar yang nyaman dan menggembirakan akan membantu siswa yang mengalami
hambatan dalam menerima materi pelajaran.

E. Rancangan Kegiatan Mengatasi Kesulitan Belajar Peserta Didik

Rancangan mengatasi kesulitan belajar peserta didik dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut.

1. Bimbingan Belajar

Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan
dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-
langkah sebagai berikut : (1) Identifikasi kasus; Identifikasi kasus merupakan upaya untuk
menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin
Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar. (2) Call them approach;
melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara
ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan. (3)
Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak
terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai
cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui
kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya. (4) Developing a desire
for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan
masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang
bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran
lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya. Melakukan
analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan
atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa. (5) Melakukan analisis sosiometris; dengan cara
ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan Penyesuaian social

2. Identifikasi Masalah

Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah
yang dihadapi siswa. Dalam konteks proses belajar mengajar, permasalahan siswa dapat
berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral;
dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah
mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat
Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan
yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan
sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g)
agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j)
waktu senggang.

3. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)

Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran
dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing,
pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri.
Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan
lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat
rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.

Sumber Pustaka

Doyin, Mukh dan Supriyono. 2015. Materi UKG Bahasa Indonesia 2015. Semarang:
Bandungan Institute

Wibowo, Hari dkk. 2016. Karakteristik Peserta Didik. Jakarta: Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa, Direktorat Jenderal Guru dan
Tenaga Kependidikan
I. PERKEMBANGAN KOGNITIF PESERTA DIDIK
A. Pengertian
Kognitif atau pemikiran adalah istilah yang digunakan oleh ahli psikologi untuk menjelaskan
semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan dan pengolahan
informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah,
dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan bagaimana
individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai
dan memikirkan lingkungannya. (Desmita, 2009)
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Guru harus mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peserta didik. Yang sangat
sentral dalam factor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif adalah gaya
pengasuhan dan lingkungan. Biasanya gaya pengasuhan lebih diterapkan pada anak-anak. Pada
pengasuhan ini merupakan cika lbakal perkembangan kognitif tersebut, karena ketika anak
diasuh secara tidak sesuai dengan semestinya, ini akan berakibat pada perkembangan kognitif
anak, bahkan pada perkembangan mental anak tersebut. Lingkungan pun sangat berpengaruh
pada perkembangan kognitif, semakin buruk lingkungan maupun pergaulan seseorang maka
kemungkinan pengaruh lingkungan pada perkembangan kognitif anak semakin besar.
(Wibowo, 2016)
C. Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Empat tahap perkembangan kognitif siswa menurut Piaget adalah sebagai berikut.
1. tahap sensori motor (0–2 tahun)
Pada tahap sensori motor (0-2 tahun) seorang anak akan belajar untuk menggunakan dan
mengatur kegiatan fIsik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Pada tahap
ini, pemahaman anak sangat bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh dan alat-alat indera
mereka.
2. tahap pra-operasional (2–7 tahun)
Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal
khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia belum mampu untuk
melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten
3. tahap operasional konkret (7–11 tahun)
Pada tahap Operasional konkret (7-11 tahun), umumnya anak sedang menempuh pendidikan
di sekolah dasar. Di tahap ini, seorang anak dapat membuat kesimpulan dari suatu situasi nyata
atau dengan menggunakan benda konkret, dan mampu mempertimbangkan dua aspek dari
suatu situasi nyata secara bersamasama (misalnya, antara bentuk dan ukuran).
4. tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun)
Pada tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun), kegiatan kognitif seseorang tidak mesti
menggunakan benda nyata. Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam perkembangan
kognitif. (Doyin, 2015)

II. PERKEMBANGAN FISIK PESERTA DIDIK


Kuhlen dan Thompson mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat
aspek, yaitu:
(a) Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik;
(b) Sistem syaraf yang sangat memengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi;
(c) Kelenjar Endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti pada
usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian
anggotanya terdiri atas lawan jenis;
(d) Struktur fisik/tubuh, yang meliputi tinggi, berat, dan proporsi.
Seifert dan Hoffnung (1994) berpendapat perkembangan fisik meliputi perubahan-perubahan
dalam tubuh (seperti : pertumbuhan otak, sistem saraf, organ-organ indrawi, pertambahan
tinggi dan berat, hormon, dan lain-lain), dan perubahan-perubahan dalam cara individu dalam
menggunakan tubuhnya (seperti perkembangan keterampilan motorik dan perkembangan
seksual), serta perubahan dalam kemampuan fisik (seperti penurunan fungsi jantung,
penglihatan, dan sebagainya).

III. PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL PESERTA DIDIK


Selain perkembangan karakteristik fisik dan kognitif peserta didik, yang tidak kalah penting
adalah perkembangan sosial-emosional peserta didik. Sosio-emosional berasal dari kata sosial
dan emosi. Perkembangan sosial adalah pencapaian kematangan dalam hubungan atau
interaksi sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan
norma-norma kelompok, tradisi dan moral agama. Sedangkan emosi merupakan faktor
dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku
belajar. Emosi dibedakan menjadi dua, yakni emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif
seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat, atau rasa ingin tahu yang tinggi akan
mempengaruhi individu untuk mengonsentrasikan dirinya terhadap aktivitas belajar. Emosi
negatif sperti perasaan tidak senang, kecewa, tidak bergairah, individu tidak dapat memusatkan
perhatiannya untuk belajar, sehingga kemungkinan besar dia akan mengalami kegagalan dalam
belajarnya. Selain itu, dari segi etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa Latin ‘movere’
yang berarti ‘menggerakkan, bergerak’. Kemudian ditambah dengan awalan ‘e-‘ untuk
memberi arti ‘bergerak menjauh’. Makna ini menyiratkan kesan bahwa kecenderungan
bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
Perkembangan sosio-emosional peserta didik termasuk suatu pembahasan yang sangat penting
karena dengan mengetahui perkembangan sosio-emosional peserta didik, para pendidik dapat
mengambil tindakan pada permasalahan peserta didik dengan berbagai karakteristik dan sifat
yang berbeda-beda. Sosio-emosional adalah perubahan yang terjadi pada diri setiap individu
dalam warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Dalam pembahasan
sosio-emosional ini lebih ditekankan dalam sosioemosional pada remaja. Pada masa remaja,
tingkat karakteristik emosional akan menjadi drastis tingkat kecepatannya. Gejala-gejala
emosional para remaja seperti perasaan sayang, cinta dan benci, harapan-harapan dan putus
asa, perlu dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai pendidik. kita harus mengetahui setiap
aspek yang berhubungan dengan perubahan tingkah laku dalam perkembangan remaja, serta
memahami aspek atau gejala tersebut sehingga kita bisa melakukan komunikasi yang baik
dengan remaja. Perkembangan emosi remaja merupakan suatu titik yang mengarah pada proses
dalam mencapai kedewasaan. Meskipun sikap kanak-kanak akan sulit dilepaskan pada diri
remaja karena pengaruh didikan orang tua.
Faktor yang sangat memengaruhi perkembangan peserta didik pada usia remaja yaitu didikan
orang tua, lingkungan sekitar tempat tinggal dan perlakuan guru di sekolah. Pengaruh sosio-
emosional yang baik pada remaja terhadap diri sendiri yaitu untuk mengendalikan diri,
memutuskan segala sesuatu dengan baik, serta bisa lebih merencanakan segala hal yang akan
diputuskannya, sedangkan terhadap orang lain, yaitu mampu menjalin kerjasama yang baik,
saling menghargai dan mampu memposisikan diri di lingkungan dengan baik. Agar seorang
peserta didik dapat memiliki kecerdasan emosi dengan baik haruslah dibentuk sejak usia dini,
karena pada saat itu sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan manusia selanjutnya.
Sebab pada usia ini dasar-dasar kepribadian anak telah terbentuk. Jelaslah sudah betapa
pentingnya seorang pendidik memahami perkembangan sosio-emosional peserta didik, agar
dalam proses pembelajaran perkembangan sosio-emosional peserta didik yang berbeda-beda
dapat diatasi dengan baik.

IV. PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK


Seto Mulyadi (2002a) menyatakan tentang Robert Coles yang menggagas tentang kecerdasan
moral yang juga memegang peranan amat penting bagi kesuksesan seseorang dalam hidupnya.
Hal ini ditandai dengan kemampuan seorang anak untuk bisa menghargai dirinya sendiri
maupun diri orang lain, memahami perasaan terdalam orang-orang di sekelilingnya, mengikuti
aturan-aturan yang berlaku, semua ini termasuk merupakan kunci keberhasilan bagi seorang
anak di masa depan. Suasana damai dan penuh kasih sayang dalam keluarga, contoh-contoh
nyata berupa sikap saling menghargai satu sama lain, ketekunan dan keuletan menghadapi
kesulitan, sikap disiplin dan penuh semangat, tidak mudah putus asa, lebih banyak tersenyum
daripada cemberut, semua ini memungkinkan anak mengembangkan kemampuan yang
berhubungan dengan kecerdasan kognitif, kecerdasan emosional maupun kecerdasan
moralnya.
Teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada
penalaran moral dan berkembang secara bertahap yaitu: Penalaran prakovensional,
konvensional, dan pascakonvensional.
1) Tingkat Satu: Penalaran Prakonvesional
Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral
Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran
moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.
Contoh dalam dunia pendidikan: Peserta didik mau belajar kalau mendapatkan hadiah uang.
2) Tingkat Dua: Penalaran Konvensional
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan
moral Kohlberg. Seorang menaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak
mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orangtua atau masyarakat.
Contoh: siswa di satu kesempatan mau belajar dengan tekun karena kesadaran sendiri tetapi
tidak mau menaati perintah orang tua yang mengharuskan belajar dari pukul 19.00 sampai
dengan pukul 21.00
3) Tahap Tiga: Penalaran Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg.
Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-
standar orang lain. Seorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan
kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
Contoh : Anak dengan penuh kesadaran menaati tata tertib sekolah baik diawasi atau tidak, ada
sanksi atau tidak.

V. BEKAL AWAL PESERTA DIDIK

Bekal ajar awal peserta didik dapat pula diartikan kemampuan awal (entry behavior)
adalah kemampuan yang yang telah diperoleh peserta didik sebelum dia memperoleh
kemampuan terminal tertentu yang baru. Kemampuan awal menunjukkan status pengetahuan
dan keterampilan peserta didik sekarang untuk menuju ke status yang akan datang yang
diinginkan guru agar tercapai oleh peserta didik. Dengan kemampuan ini dapat ditentukan
darimana pengajaran harus dimulai.

Identifikasi bekal ajar awal peserta didik bertujuan untuk:

1) Memperoleh informasi yang lengkap dan akurat berkenaan dengan kemampuan awal peserta
didik sebelum mengikuti program pembelajaran tertentu;

2) Menyeleksi tuntutan, bakat, minat, kemampuan serta kecendrungan peserrta didik berkaitan
dengan pemilihan program program pembelajaran tertentu yang akan diikuti mereka; dan

3) Menentukan desain program pembelajaran dan atau pelatihan tertentu yang perlu
dikembangkan sesuai dengan kemampuan awal peserta didik.

Teknik Mengaktifkan Bekal Ajar Awal Peserta Didik

untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik, seorang pendidik dapat melakukan tes awal
(pre-test). Tes yang diberikan dapat berkaitan dengan materi ajar sesuai dengan panduan
kurikulum. Selain itu pendidik dapat melakukan wawancara, observasi, dan memberikan
kuisioner kepada peserta didik atau calon peserta didik, serta guru yang biasa mengampu
pelajaran tersebut. Teknik yang paling tepat untuk mengetahui bekal ajar awal peserta didik
yaitu tes. Teknik tes ini menggunakan tes prasyarat dan tes awal. Sebelum memasuki pelajaran
sebaiknya guru membuat tes prasyarat dan tes awal. Tes prasyarat adalah tes untuk mengetahui
apakah peserta didik telah memiliki pengetahuan keterampilan yang diperlukan atau di
syaratkan untuk mengikuti suatu pelajaran. Sedangkan tes awal adalah tes untuk mengetahui
seberapa jauh siswa telah memiliki pengetahuan atau keterampilan mengenai pelajaran yang
hendak diikuti. Benjamin S. Bloom melalui beberapa eksperimen membuktikan bahwa “untuk
belajar yang bersifat kognitif apabila pengetahuan atau kecakapan pra syarat ini tidak dipenuhi,
maka betapa pun kualitas pembelajaran tinggi, maka tidak akan menolong untuk memperoleh
hasil belajar yang tinggi”. Hasil pretest juga sangat berguna untuk mengetahui seberapa jauh
pengetahuan yang dimiliki dan sebagai perbandingan dengan hasil yang dicapai setelah
mengikuti pelajaran. Jadi kemampuan awal sangat diperlukan untuk menunjang pemahaman
siswa sebelum diberi pengetahuan baru karena kedua hal tersebut saling berhubung.

VI. MENGIDENTIFIKASI DAN MENGATASI KESULITAN BELAJAR SISWA

A. Pengertian Kesulitan Belajar Siswa

Hamalik (hal: 1983) menyatakan kesulitan belajar dapat diartikan sebagai keadaan di mana
peserta didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya. Keadaan tersebut tidak bisa diabaikan
oleh seorang pendidik karena dapat menjadi penghambat tujuan pembelajaran. Kesulitan
belajar tidak hanya disebabkan oleh faKtor intelegensi yang rendah, akan tetapi bisa
disebabkan oleh faktor-faktor nonintelegensi. Oleh karena itu, IQ yang tinggi belum tentu
menjamin keberhasilan belajar. Wood (2007:33) menyatakan kesulitan belajar adalah suatu
kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk
mencapai hasil belajar. Hambatan-hambatan tersebut diakibatkan oleh faktor yang berasal dari
dalam diri peserta didik maupun luar diri peserta didik.

B. Jenis-Jenis Kesulitan Belajar Siswa

Empat jenis kesulitan/gangguan belajar dalam perkembangan seorang anak:

1. Kesulitan belajar akademis, meliputi kesulitan membaca, kesulitan menulis, dan kesulitan
berhitung.

2. Gangguan simbolik, yaitu ketidakmampuan anak untuk dapat memahami suatu obyek
sekalipun ia tidak memiliki kelainan pada organ tubuhnya.

3. Gangguan nonsimbolik, yaitu ketidakmampuan anak untuk memahami isi pelajaran karena
ia mengalami kesulitan untuk mengulang kembali apa yang telah dipelajarinya.

4. Ganguan sosial-emosional, yaitu gangguan yang berasal dari lingkungan dan emosi dalam
diri anak.

C. Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Siswa

Penyebab kesulitan belajar antara lain sebagai berikut.

1. Faktor intelektual, yaitu inteligensi yang rendah dan terbatas;

2. Faktor kondisi fisik dan kesehatan, termasuk kondisi kelainan, seperti kurangnya gizi pada
ibu hamil, bayi dan anak, kerusakan susunan dan fungsi otak, dan penyakit persalinan;

3. Faktor sosial,seperti pengaruh teman bermain, pergaulan dan lingkungan sekitar;

4. Faktor keluarga, seperti keadaan keluarga yang tidak baik dan kurangnya dukungan belajar
dari orang tua.

D. Cara Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa

Cara mengatasi mengatasi kesulitan belajar adalah sebagai berikut.

1. tempat duduk siswa

Anak yang mengalami kesulitan pendengaran dan penglihatan hendaknya mengambil posisi
tempat duduk bagian depan.

2. Gangguan kesehatan

Anak yang mengalami gangguan kesehatan sebaiknya diistirahatkan di rumah dengan tetap
memberinya bahan pelajaran dan dibimbing oleh orang tua dan keluarga lainnya.

3. Program remedial
Siswa yang gagal mencapai tujuan pembelajaran akibat gangguan internal, perlu ditolong
dengan melaksanakan program remedial.

4. Bantuan media dan alat peraga

Penggunaan alat peraga pelajaran dan media belajar kiranya cukup membantu siswa yang
mengalami kesulitan menerima materi pelajaran. Misalnya, karena materi pelajaran bersifat
abstrak sehingga sulit dipahami siswa.

5. Suasana belajar menyenangkan

Suasana belajar yang nyaman dan menggembirakan akan membantu siswa yang mengalami
hambatan dalam menerima materi pelajaran.

E. Rancangan Kegiatan Mengatasi Kesulitan Belajar Peserta Didik

Rancangan mengatasi kesulitan belajar peserta didik dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut.

1. Bimbingan Belajar

Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan
dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-
langkah sebagai berikut : (1) Identifikasi kasus; Identifikasi kasus merupakan upaya untuk
menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin
Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar. (2) Call them approach;
melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara
ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan. (3)
Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak
terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai
cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui
kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya. (4) Developing a desire
for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan
masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang
bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran
lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya. Melakukan
analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan
atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa. (5) Melakukan analisis sosiometris; dengan cara
ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan Penyesuaian social

2. Identifikasi Masalah

Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah
yang dihadapi siswa. Dalam konteks proses belajar mengajar, permasalahan siswa dapat
berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral;
dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah
mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat
Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan
yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan
sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g)
agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j)
waktu senggang.

3. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)

Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran
dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing,
pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri.
Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan
lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat
rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.

Sumber Pustaka

Doyin, Mukh dan Supriyono. 2015. Materi UKG Bahasa Indonesia 2015. Semarang:
Bandungan Institute

Wibowo, Hari dkk. 2016. Karakteristik Peserta Didik. Jakarta: Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa, Direktorat Jenderal Guru dan
Tenaga Kependidikan
I. KONSEP PENDEKATAN SAINTIFIK (5M)
KISI-KISI PPG
KLIKhttps://drive.google.com/drive/folders/0B1g6rHUe5ZrudXJmTmRpUGc2
OG8
A. Esensi Pendekatan Saintifik
Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah. Pendekatan ilmiah
diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan
pengetahuan peserta didik.
Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih
mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) dibandingkan dengan penalaran
deduktif (deductivereasoning).
Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih
mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) dibandingkan dengan penalaran
deduktif (deductivereasoning).
Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik.
Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian
menarik simpulan secara keseluruhan.
Penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang lebih luas.
Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk
kemudian merumuskan simpulan umum.

B. Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik

Observing (mengamati), Questioning (menanya), Mengumpulkan informasi/ eksperimen,


Mengasosiasikan/ mengolah informasi, Mengkomunikasikan .
1. Mengamati
Kegiatan Belajarnya mengamati: melihat, membaca, mendengar, menyimak (tanpa atau
dengan alat).
Kompetensi yang Dikembangkan: melatih kesungguhan, ketelitian, mencari informasi
Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull
learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media objek secara
nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan
mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama
dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan
makna serta tujuan pembelajaran.
Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik, sehingga
proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta
didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi
pembelajaran yang digunakan oleh guru.

Langkah-langkah Mengamati
1. Menentukan objek apa yang akan diobservasi
2. Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi
3. Menentukan secara jelas data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun
sekunder
4. Menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi
5. Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data
agar berjalan mudah dan lancar
6. Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku
catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.

Jenis-jenis Pengamatan
Observasi biasa (common observation). Peserta didik merupakan subjek yang sepenuhnya
melakukan observasi (complete observer), dan sama sekali tidak melibatkan diri dengan
pelaku, objek, atau situasi yang diamati.
Observasi terkendali (controlled observation). peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri
dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Pada observasi terkendali pelaku atau
objek yang diamati ditempatkan pada ruang atau situasi yang dikhususkan.
Observasi partisipatif (participant observation). Pada observasi partisipatif, peserta didik
melibatkan diri secara langsung dengan pelaku atau objek yang diamati. Observasi semacam
ini mengharuskan peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas, atau objek yang
diamati

2. Menanya
Kegiatan Belajarnya
Mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau
pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati dimulai dari
pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik).
Kompetensi yang Dikembangkan
Mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk
membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat
Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan
mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya,
pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika
guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu
untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan
untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat
tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan
tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri kalimat yang efektif? Bentuk
pernyataan, misalnya: Sebutkan ciri-ciri kalimat efektif!
Mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau
pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati. (dimulai dari
pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan hipotetik)
3. Mengumpulkan Informasi/ Eksperimen
Kegiatan Belajarnya: Melakukan eksperimen, Membaca sumber lain selain buku teks,
Mengamati objek/kejadian, Aktivitas Wawancara dengan narasumber
Kompetensi yang Dikembangkan: Mengembangkan sikap teliti, jujur,sopan, menghargai
pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan
informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar
sepanjang hayat.

4. Mengasosiasikan/ Mengolah
Kegiatan Belajarnya
Mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan
mengumpulkan/eksperimen maupun hasil mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi
Kompetensi yang Dikembangkan
Mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan
prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan .

5. Mengkomunikasikan
Kegiatan Belajarnya : Menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil
analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnnya.
Kompetensi yang Dikembangkan: Mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan
berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan
kemampuan berbahasa yang baik dan benar.

CONTOH KEGIATAN PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK


(5M)

Kompetensi Dasar : 3. 4 Mengevaluasi teks negoisasi berdasarkan kaidah-kaidah


teks baik melalui lisan maupun tulisan
Topik /Tema : Seni Bernegosiasi dalam Kewirausahaan
Sub Topik/Tema : PemodelanTeks Negosiasi
Tujuan : Peserta didik dapat mengidentifikasi teks negosiasi
Pembelajaran
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit

Tahapan Pembelajaran Kegiatan


Mengamati 1. Peserta didik membentuk kelompok.
2. Peserta didik membaca teks negosiasi.
3. Peserta didik mencermati uraian yang berkaitan
dengan mengevaluasi teks negosiasi.

Menanya 4. Peserta didik bertanya jawab tentang hal-hal


yang berhubungan dengan struktur dan kaidah
teks negosiasi.
Mengumpulkan informasi 5. Peserta didik mencari dari berbagai sumber
informasi tentang mengevaluasi teks negosiasi.
Mengasosiasikan 6. Peserta didik mendiskusikan tentang struktur dan
kaidah dalam teks negosiasi.
7. Peserta didik menyimpulkan hal-hal terpenting
dalam mengevaluasi teks negosiasi.
8. Peserta didik menuliskan laporan kerja kelompok
tentang mengevaluasi teks negosiasi.
9. Peserta didik mengevaluasi kesesuian struktur dan
kaidah teks negosiasi yang dibuat oleh kelompok
lain
10. Peserta didik mengevaluasi kesesuaian isi teks
negosiasi
Mengkomunikasikan 11. Peserta didik membacakan hasil kerja kelompok di
depan kelas, peserta didik lain memberikan
tanggapan.

II. MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN (DISCOVERY LEARNING)


A. Definisi/Konsep
Metode Discovery Learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk
finalnya, tetapi diharapkan siswa mengorganisasi sendiri.
Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri
(inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini,
pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang
sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery
masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana
pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai
dengan tujuan. Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher
oriented menjadi student oriented.
Dalam Discovery Learning, hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk
menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Bahan ajar
tidak disajikan dalam bentuk akhir, tetapi siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan
menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.

B. Keuntungan Model Pembelajaran Penemuan

Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan


proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang
tergantung bagaimana cara belajarnya.
Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan
pengertian, ingatan dan transfer.
Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya
sendiri.
Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan
motivasi sendiri.
Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh
kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan.
Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah pada kebenaran
yang final dan tertentu atau pasti.
Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik;
Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru;
Mendorong siswa berfikir dan bekerja atas inisiatif sendiri;
Mendorong siswa berfikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri;
Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik; Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang;
Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya;
Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa;
Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar;
Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
C. Kelemahan Model Pembelajaran Penemuan
Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang
kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir atau mengungkapkan hubungan
antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan
frustasi.
Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan
waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa
dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan
mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat
perhatian.
Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang
dikemukakan oleh para siswa tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir
yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.
D. Langkah-Langkah Operasional
1. Langkah Persiapan
a. Menentukan tujuan pembelajaran
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan
sebagainya)
c. Memilih materi pelajaran.
d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh
generalisasi)
e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan
sebagainya untuk dipelajari siswa
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke
abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik
g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa
2. Pelaksanaan
a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan
kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul
keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM
dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang
mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk
menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa
dalam mengeksplorasi bahan.
b. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan
dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk
hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah)
c. Data collection (Pengumpulan Data).
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan
atau membuktikan benar tidaknya hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan
untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur,
mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan
sebagainya.

d. Data Processing (Pengolahan Data)


Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan
informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan
sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan
sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung
dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu.
e. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar
atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan
hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses
belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang
ia jumpai dalam kehidupannya.
f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang
dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama,
dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi
maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi
E. Sistem Penilaian

Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan dengan


menggunakan tes maupun non tes.
Penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil
kerja siswa. Jika bentuk penialainnya berupa penilaian kognitif, maka dalam model
pembelajaran discovery learning dapat menggunakan tes tertulis. Jika bentuk
penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa maka
pelaksanaan penilaian dapat dilakukan dengan pengamatan.

MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING


Contoh Tahap Pembelajaran Discovery learning
Satuan Pendidikan: SMA …
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/ Semester : XII/1
Materi Pokok : Teks Cerita Sejarah
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
A. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi
KD: Memahami struktur dan kaidah teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita
fiksi dalam novel baik melalui lisan maupun tulisan.

Indikator:

1) Menentukan struktur teks cerita sejarah;


2) Menentukan kaidah/ciri-ciri bahasa (fitur bahasa) teks cerita sejarah.
B. Langkah-langkah Pembelajaran

Kegiatan Pembelajaran
Tahapan Pokok
1. Peserta didik menyimak tayangan berbagai peristiwa sejarah
dunia.
2. Guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
menghadapkansiswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi
A. Pemberian Rangsangan
terhadap pemahaman teks hasil observasi cerita sejarah.
(Stimulation)
3. Guru mengarahkan jawaban siswa terhadap pembelajaran yang
akan dilakukan
4. Siswa membaca contoh model teks cerita sejarah berjudul
“Sejarah Hari Buruh.”.
5.
6. Peserta didik mengidentifikasi masalah yang relevan dengan
B. Pernyataan/Identifikasi
bahan bacaan diantaranya diarahkan untuk menanyakan fungsi teks
Masalah (Problem
cerita sejarah dan bentuk atau strukturnya,
Statement)
7. Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, siswa memilih dan
merumuskan salah satu di antaranya dalam bentuk hipotesis.
8. Peserta didik membentuk kelompok belajar sesuai arahan guru
dengan mempertimbangkan kemampuan akademik, gender, dan ras
(@5 0rang per kelompok).
9. Peserta didik mengidentifikasi siapa, apa, kapan, di mana,
C. Pengumpulan Data mengapa, dan bagaimana peristiwa yang terjadi pada teks cerita
(Data Collection) sejarah “Hari Buruh.”
10. Peserta didik menyusun periode sejarah secara kronologis, sesuai
dengan urutan waktu dari peristiwa sejarah teks “Hari Buruh.”
11. Peserta didik menentukan struktur yang membangun teks
“Sejarah Hari Buruh”
12.
D. Pengolahan Data (Data 13. Peserta didik mengolah informasi yang diperoleh dari hasil
Processing) kegiatan sebelumnya untuk menentukan unsur-unsur atau struktur teks
cerita sejarah.
14. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk memverifikasi
E. Pembuktian
sehingga dapat menemukan konsep tentang struktur teks cerita
(Verification)
sejarah.
15. Peserta didik membuat kesimpulan tentang struktur teks cerita
F. Menarik Kesimpulan
sejarah
(Generalization)
16. Peserta didik mempresentasikan.
III. MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED
LEARNING)

A. Definisi/Konsep
Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan
masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar.
Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam tim
untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world)

B. Kelebihan PBL
1. Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Peserta didik/mahapeserta didik yang
belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang
dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin
bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik/mahapeserta didik berhadapan dengan
situasi di mana konsep diterapkan
2. Dalam situasi PBL, peserta didik/mahapeserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan
ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan
3. PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta
didik/mahapeserta didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat
mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
C. Langkah-langkah Operasional dalam Proses Pembelajaran
1. Konsep Dasar (Basic Concept)
Fasilitator memberikan konsep dasar, petunjuk, referensi, atau link dan skill yang diperlukan
dalam pembelajaran tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik lebih cepat masuk
dalam atmosfer pembelajaran dan mendapatkan ‘peta’ yang akurat tentang arah dan tujuan
pembelajaran
2. Pendefinisian Masalah (Defining the Problem)
Dalam langkah ini fasilitator menyampaikan skenario atau permasalahan dan peserta didik
melakukan berbagai kegiatan brainstorming dan semua anggota kelompok mengungkapkan
pendapat, ide, dan tanggapan terhadap skenario secara bebas, sehingga dimungkinkan muncul
berbagai macam alternatif pendapat
3. Pembelajaran Mandiri (Self Learning)
Peserta didik mencari berbagai sumber yang dapat memperjelas isu yang sedang diinvestigasi.
Sumber yang dimaksud dapat dalam bentuk artikel tertulis yang tersimpan di perpustakaan,
halaman web, atau bahkan pakar dalam bidang yang relevan.
Tahap investigasi memiliki dua tujuan utama, yaitu: (1) agar peserta didik mencari informasi
dan mengembangkan pemahaman yang relevan dengan permasalahan yang telah didiskusikan
di kelas, dan (2) informasi dikumpulkan dengan satu tujuan yaitu dipresentasikan di kelas dan
informasi tersebut haruslah relevan dan dapat dipahami.
4. Pertukaran Pengetahuan (Exchange knowledge)
Setelah mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman materi dalam langkah pembelajaran
mandiri, selanjutnya pada pertemuan berikutnya peserta didik berdiskusi dalam kelompoknya
untuk mengklarifikasi capaiannya dan merumuskan solusi dari permasalahan kelompok.
Pertukaran pengetahuan ini dapat dilakukan dengan cara peserrta didik berkumpul sesuai
kelompok dan fasilitatornya.
5. Penilaian (Assessment)
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek pengetahuan (knowledge), kecakapan
(skill), dan sikap (attitude). Penilaian terhadap penguasaan pengetahuan yang mencakup
seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan ujian akhir semester (UAS), ujian
tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan laporan.
Penilaian terhadap kecakapan dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran, baik
software, hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian.
D. Contoh Penerapan
Memanfaatkan lingkungan peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar. Guru
memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan peserta didik,
antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat.
Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk belajar
diluar kelas. Peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa
yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan
peserta didik dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan
materi pembela

E. Tahapan-Tahapan Model PBL

Fase-Fase
Perilaku Guru

Fase 1
Orientasi peserta didik kepada masalah.
Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yg dibutuhkan.
Memotivasi peserta didik untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih.

Fase 2
Mengorganisasikan peserta didik
Membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut.

Fase 3
Membimbing penyelidikan individu dan kelompok.
Mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Fase 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan, model dan berbagi tugas dengan teman.
Fase 5
Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari /meminta kelompok presentasi
hasil kerja.

F. Sistem Penilaian
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek pengetahuan (knowledge), kecakapan
(skill), dan sikap (attitude). Penilaian terhadap penguasaan pengetahuan yang mencakup
seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan ujian akhir semester (UAS), ujian
tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan laporan.
Penilaian terhadap kecakapan dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran, baik
software, hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian. Sedangkan penilaian
terhadap sikap dititikberatkan pada penguasaan soft skill, yaitu keaktifan dan partisipasi dalam
diskusi, kemampuan bekerjasama dalam tim, dan kehadiran dalam pembelajaran. Bobot
penilaian untuk ketiga aspek tersebut ditentukan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan.
Penilaian pembelajaran dengan PBL dilakukan dengan authentic assesment. Penilaian dapat
dilakukan dengan portfolio yang merupakan kumpulan yang sistematis pekerjaan-pekerjaan
peserta didik yang dianalisis untuk melihat kemajuan belajar dalam kurun waktu tertentu dalam
kerangka pencapaian tujuan pembelajaran. Penilaian dalam pendekatan PBL dilakukan dengan
cara evaluasi diri (self-assessment) dan peer-assessment.
Self-assessment. Penilaian yang dilakukan oleh pebelajar itu sendiri terhadap usaha-usahanya
dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai (standard) oleh
pebelajar itu sendiri dalam belajar.
Peer-assessment. Penilaian di mana pebelajar berdiskusi untuk memberikan penilaian terhadap
upaya dan hasil penyelesaian tugas-tugas yang telah dilakukannya sendiri maupun oleh teman
dalam kelompoknya

MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING


Contoh Tahap Pembelajaran Problem Based Learning
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : XII/1
Materi Pokok : Teks Cerita Sejarah
Sub Materi : Pemodelan Teks Cerita Sejarah

A. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi


A.2 Menganalisis teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel
baik melalui lisan maupun tulisan
Indikator:
1) Menelaah kelemahan atau kesalahan struktur teks laporan hasil observasi baik melalui lisan
maupun tulisan
2) Menelaah kelemahan atau kesalahan kaidah teks laporan hasil observasi baik melalui lisan
maupun tulisan.
3) Menelaah kelemahan atau kesalahan isi teks laporan hasil observasi baik melalui lisan
maupun tulisan
B. Langkah-langkah Pembelajaran

Kegiatan Pembelajaran
Tahapan Pokok
1. Peserta didik menyimak tujuan pembelajaran
2. Peserta didik membaca contoh teks cerita sejarah yang kurang
A. Orientasi siswa pada
baik dan menyimak penjelasan terhadap permasalahan tersebut
Masalah
3. Peserta didik memberikan tanggapan dan pendapat terhadap
permasalahan tersebut
B. Mengorganisasi
siswa dalam belajar
4. Peserta didik membentuk kelompok belajar sesuai arahan
guru dengan mempertimbangkan kemampuan akademik dan gender
5. Peserta didik membaca teks cerita sejarah yang tidak baik dengan
C. Membimbing
cermat
penyelidikan siswa secara
6. Peserta didik dengan difasilitasi dan dibimbing guru menelaah
mandiri atau
dan mendiskusikan kelemahan teks cerita sejarah dari segi struktur,
kelompok
kaidah, dan isi

7. Peserta didik menjawab permasalahan yang telah diidentifikasi,


khususnya mengenai kelemahan struktur, kaidah, dan isi teks cerita
D. Mengembangkan dan
sejarah
menyajikan hasil karya
8. Peserta didik mempresentasikan atau menyajikan laporan
pembahasan hasil temuan atau hasil diskusi dan penarikan kesimpulan
di depan kelas
9. Peserta didik dalam kelompok lain mengevaluasi atau
E. Menganalisis dan 10. Menanggapi
mengevaluasi proses 11. Peserta didik dengan dibimbing guru melakukan simpulan
pemecahan masalah 12. Guru melakukan evaluasi hasil belajar mengenai materi yang
telah dipelajari

IV. MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK (PROJECT BASED


LEARNING)
A. Definisi/Konsep
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning=PjBL) adalah metoda pembelajaran
yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi,
penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil
belajar.
Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai
langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan
pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata.
Pembelajaran Berbasis Proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang
diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya. Melalui PjBL,
proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan
membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai
subjek (materi) dalam kurikulum.
Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen
utama sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PjBL
merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi
atensi dan usaha peserta didik.
B. Keuntungan Pembelajaran Berbasis Proyek
Meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka
untuk melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai.
Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang
kompleks.
Meningkatkan kolaborasi.
Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan
komunikasi.
Meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola sumber.

C. Kelemahan Pembelajaran Berbasis Proyek


Memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah.
Membutuhkan biaya yang cukup banyak
Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, di mana instruktur memegang
peran utama di kelas.
Banyaknya peralatan yang harus disediakan.
Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan
mengalami kesulitan.
Ada kemungkinan peserta didik yang kurang aktif dalam kerja kelompok.
Ketika topik yang diberikan kepada masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta
didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan
D. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek
1. Penentuan Pertanyaan Mendasar (Start With the Essential Question).
Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang dapat memberi
penugasan peserta didik dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang sesuai
dengan realitas dunia nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. Pengajar
berusaha agar topik yang diangkat relevan untuk para peserta didik.
2. Mendesain Perencanaan Proyek (Design a Plan for the Project)
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara pengajar dan peserta didik. Dengan demikian
peserta didik diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan berisi
tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan
esensial, dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat
dan bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian proyek.

3. Menyusun Jadwal (Create a Schedule)


Pengajar dan peserta didik secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan
proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: (1) membuat timeline untuk menyelesaikan
proyek, (2) membuat deadline penyelesaian proyek, (3) membawa peserta didik agar
merencanakan cara yang baru, (4) membimbing peserta didik ketika mereka membuat cara
yang tidak berhubungan dengan proyek, dan (5) meminta peserta didik untuk membuat
penjelasan (alasan) tentang pemilihan suatu cara.
4. Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the Progress of
the Project)
Pengajar bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas peserta didik selama
menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara menfasilitasi peserta didik pada
setiap proses. Dengan kata lain pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas peserta didik.
Agar mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan
aktivitas yang penting.
5. Menguji Hasil (Assess the Outcome)
Penilaian dilakukan untuk membantu pengajar dalam mengukur ketercapaian stSaudarar,
berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing- masing peserta didik, memberi umpan balik
tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai peserta didik, membantu pengajar dalam
menyusun strategi pembelajaran berikutnya.
6. Mengevaluasi Pengalaman (Evaluate the Experience)
Pada akhir proses pembelajaran, pengajar dan peserta didik melakukan refleksi terhadap
aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu
maupun kelompok. Pada tahap ini peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan
pengalamanya selama menyelesaikan proyek. Pengajar dan peserta didik mengembangkan
diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran, sehingga pada
akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan yang
diajukan pada tahap pertama pembelajaran.

D. Sistem PenilaianPenilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang
harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi sejak
dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data.
Penilaian proyek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan
mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan dan kemampuan menginformasikan peserta didik
pada mata pelajaran tertentu secara jelas. Pada penilaian proyek setidaknya ada 3 hal yang perlu
dipertimbangkan yaitu:

Kemampuan pengelolaan
Kemampuan peserta didik dalam memilih topik, mencari informasi dan mengelola waktu
pengumpulan data serta penulisan laporan.
Relevansi
Kesesuaian dengan mata pelajaran, dengan mempertimbangkan tahap pengetahuan,
pemahaman dan keterampilan dalam pembelajaran.
Keaslian
Proyek yang dilakukan peserta didik harus merupakan hasil karyanya, dengan
mempertimbangkan kontribusi guru berupa petunjuk dan dukungan terhadap proyek peserta
didik.

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROJEK


Rancangan Pembelajaran Berbasis Projek
A. Identitas Model
Satuan Pendidikan : SMA ……
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : XII/1
Materi Pokok : Teks Cerita Sejarah
Alokasi Waktu : 4 x 45 Menit (2 pertemuan)
B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi
4.2 Memproduksi teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel
yang koheren sesuai dengan karakteristik teks baik secara lisan maupun tulisanmaupun tulisan
Indikator:
1) Menentukan langkah-langkah menyusun teks cerita sejarah
2) Menyusun teks cerita sejarah
C. Langkah Pembelajaran

Langkah-langkah
Kegiatan Pembelajaran
Pembelajaran
1. Peserta didik menentukan hari atau peristiwa bersejarah
A. Penentuan Proyek sebagai topik yang akan dikembangkan menjadi teks cerita
bersejarah
2. Peserta didik dibimbing guru mendiskusikan aturan main dan
pemilihan aktivitas yang dapat mendukung pelaksanaan proyek
3. Peserta didik mendiskusikan sumber/bahan/alat pendukung
B. Perancangan
pelaksanaan proyek
Langkah-langkah
4. Peserta didik menyimak penjelasan guru mengenai penilaian
Penyelesaian Proyek
dalam kelompok masing masing, peserta didik mendiskusikan
dan perencanaan proyek berupa penentuan fase peristiwa
bersejarah
5. Peserta didik membuat time line pemilihan dan penyiapan
proyek
C. Penyusunan Jadwal 6. Peserta didik mendiskusikan deadline untuk menyelesaikan
proyek menyusun teks cerita sejarah
Pelaksanaan Proyek 7. Peserta didik mendiskusikan dan membuat jadwal atau waktu
pelaksanaan penyelesaian setiap fase persitiwa dalam teks cerita
sejarah yang akan ditulisnya
8. Peserta didik mengidentifikasi dan mencatat hal-hal yang
berkaitan dengan fase peristiwa yang menjadi objek untuk
D. Penyelesaian
penulisan teks cerita sejarah
proyek
9. Peserta didik mengonsultasikan permasalahan atau kendala
dengan fasilitasi dan
dalam menyelesaikan penulisan teks cerita sejarah
monitoring guru
10. Peserta didik memperbaiki hasil tulisan berdasarkan hasil
konsultasi
11. Peserta didik membaca kembali teks cerita sejarah yang
sudah ditulis dan memperbaiki jika masih terjadi kesalahan
dengan mengacu pada point-point penilaian yang disepekati pada
E. Penyusunan
tahap perencanaan
Laporan
12. Peserta didik menempelkan teks cerita sejarah yang sudah
dan Presentasi
dibuatnya di tempat yang sudah disediakan (tempat seperti
/Publikasi
bentuk pameran)
Hasil Proyek
13. Peserta didik melakukan kegiatan shopping model,yaitu
mengunjungi, membaca, dan menanggapi teks cerita sejarah
kelompok lain.
14. Peserta didik melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil
tugas proyek yang sudah dilaksanakan.
F. Evaluasi Proses
15. Peserta didik mengemukakan pengalamannya selama
dan
menyelesaikan tugas proyek peserta didik mendengarkan umpan
Hasil Proyek
balik terhadap proses yang telah dilaksanakan dan produk yang
telah dihasilkan.

Sumber Pustaka :
Ariani, Farida dkk. 2016. Model Pembelajaran . Jakarta: Pusat Pengembangan dan
\Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa, Direktorat Jenderal Guru dan
Tenaga Kependidikan
PPT Badan Sumber Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan
Penjaminan Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2014

You might also like