You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Trauma menjadi masalah dibanyak tempat didunia. Dan trauma vaskuler

adalah bagian yang penting didalam masalah tersebut. Trauma vaskuler pada

ekstremitas atas merupakan separuh dari keseluruhan trauma vaskuler di Amerika

serikat. Sebagian besar dari trauma ini diakibatkan oleh trauma tajam , baik

akibat pisau maupun oleh penyebab lainnya.dan trauma tumpul yang dapat

diakibatkan oleh kecelakaan laulintas, terjatuh maupun crush injury.1

Tujuan dari penanganan trauma vaskuler sama seperti trauma lainnya

yaitu live saving dan diikuti oleh limb salvage dan pemulihan fungsi. Kembalinya

fungsi juga ditentukan oleh trauma penyerta lainnya seperti trauma pada saraf

saraf perifer dan tulang serta jaringan lunak lainnya. Pada kenyataannya

kebanyakan trauma, jarang tunggal , biasanya trauma yang terjadi

kompleks/kombinasi dengan melibatkan beberapa organ dan sistem.1,2

Kematian dan kesakitan pada trauma vaskuler bisa disebabkan oleh

trauma vaskuler itu sendiri dan juga bisa akibat trauma penyerta lainnya. Pada

trauma vaskuler keberhasilan “yang dihitung dengan penurunan angka kematian

dan kesakitan” berhubungan erat dengan rentang waktu antara lamanya cedera

berlangsung dan tindakan bedah yang dilakukan.2

Pada trauma vaskuler permasalahan yang terjadi adalah perdarahan dan

iskemik, bisa juga kedua hal ini berlangsung bersamaan. Jika timbul hipovolemia,

1
maka kondisi ini harus segera dikoreksi dengan penggantian cairan yang cukup

dan intervensi segera. Jika terlambat dilakukan intervensi bedah, waktu operasi

yang lama, dan membutuhkan transfusi masive, dapat timbul koagulopathy

sistemik dan kondisi kondisi yang berbahaya lainnya seperti hypothermia,

hypoxemia, asidosis dan hyperkalemia. Atas dasar alasan ini maka mengetahui

lokasi cedera, etiologi, perencanaan tindakan yang akan dilakukan dan

mengetahui kemungkinan komplikasi pasca operasi serta penyebab kematian

yang mungkin timbul adalah hal mutlak yang harus diketahui seorang dokter

bedah. Seorang ahli bedah vaskuler harus mampu menangani repair dari arteri

dan mencegah amputasi, yang pada akhirnya akan mengurangi angka kesakitan

dan kematian3.

2
1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu Bedah RSUD Solok dan diharapkan agar dapat menambah pengetahuan
penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan
medis, tentang trauma vaskular.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan penulisan dari referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
komponen, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, penegakkan diagnosis, diagnosis
banding, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis trauma vaskular.

1.3 Metode Penulisan


Referat ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk
pada berbagai literatur.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Vaskularisasi


2.1. Sistem Vaskularisasi Ekstremitas Superior
Yang termasuk extremitas superior adalah vaskularisasi untuk : regio
scapularis( bahu), regio brachii (lengan atas), regio antebrachi (lengan bawah),
dan regio manus ( tangan).1

2.1.1 Vaskularisasi Regio Scapularis

Gambar 2.1 Vaskularisasi dan Anastomosis Regio Skapularis

Pendarahan daerah regio scapularis berasal dari cabang A.subclavia dan


A.axillaris (A.subclavia sinistra berasal dari arcus aorta dan A.subclavia dextra
berasal dari A.brachiocephalica).

4
Pada regio scapularis terdapat anastomosis dari cabang-cabang pembuluh
darah untuk daerah bahu yaitu :
1. Arteria tranversa colli ( A.tranversa cervicalis ) cabang dari A.subclavia
2. Arteria tranversa scapula (A.suprascapularis ) cabang dari A.subclavia.
3. Arteria circum flexa scapula cabang dari A.subscapularis (A. axillaris)

2.1.2. Vaskularisasi Regio Brachii


Topografi A.brachialis : lanjutan dari a.axillaris di mulai proximal 1/3 lengan
atas berjalan ke distal bersama nervus medianus menuju fossa cubiti. A.brachialis
pada lengan atas mempercabangkan pembuluh darah yaitu :
1. A.profunda-brachi : berjalan menuju sulcus spiralis bersama nervus
radialis, memberi cabang A.collateralis radialis dan medialis .
2. A.collateralis-ulnae superior : di percabangankan pada pertengahan
lengan atas kemudian berdampingan dengan nervus ulnaris sampai 1/3
distal beranastomosis dengan A.collateralis ulna inferior .
3. A.collateralis ulnae inferior : di percabangkan dari A.brachialis di atas
epicondylus medialis beranastomosis dengan A.collateralis superior. 4.
4. A.radialis dan A.ulnaris cabang terakhir pada fossa cubiti .

2.1.3. Vaskularisasi Regio Cubiti


Pada region cubiti anterior terdapat lekukkan yang dikenal dengan “Fossa
cubiti” yang dibatasi oleh otot-otot sbb :
1. atas : tendon m.bicep’s brachii
2. medial : m.pronator teres
3. lateral : m.brachioradialis
4. dasar : m.supinator
Dalam fossa cubiti terdapat alat sbb : Nervus medianus , A.brachialis dan
Vena brachialis. Kepentingan klinis :
1. Dapat meraba denyut nadi A.brachialis dan untuk mengukur tekanan
darah

5
2. Pada regio fossa cubiti terdapat vena-superficialis ( vena mediana cubiti)
dipakai untuk pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.
3. Untuk pemasangan infus cairan dan obat-obatan .

Gambar 2.2 :Vaskularisasi dan Anastomosis Regio Brachii dan Antebrachii

6
Cabang akhir A.brachialis adalah :
1. A.Radialis : berjalan pada sisi radial lengan bawah menuju pergelangan
tangan mempercabangkan : rami superficialis dan rami profunda radialis.
Disini kita dapat meraba denyut nadi dari A.radialis.
2. A.Ulnaris : berjalan pada sisi medial lengan bawah, pada bagian proximal
memberikan percabangan :
2.1 A.Interossea communis menuju ke anterior lengan bawah.
2.2 A.recurrent ulnaris superior menuju distal lengan atas.
2.3 A.recurrent ulnaris inferior menuju distal lengan atas.
Keduanya beranastomosis dengan A.collateralis ulnae superior dan inferior.

2.1.4. Vaskularisasi Regio Manus


Pada regio dorsalis manus terdapat daerah berbentuk segitiga yang dikenal
dengan “Snuff box “= Foveola radialis = Tabatiere anatomicum. Pada daerah
ini terdapar rami superficialis A.radialis. Batas-batasnya adalah :
1. sisi medial ( ulnar ) : tendo m.extensor pollicis longu
2. sisi lateral ( radial ) : tendo extensor pollicis brevis
3. proximal ( atas ) : ligamentum carpi dorsale ( retinaculum
extensorum )

Pada regio manus : rami superficialis dari A.radialis dan A.ulnaris


membentuk lengkungan yang dinamakan : Arcus palmaris superficialis (arcus
volaris superficialis), dan rami profunda A.radialis dan A.ulnaris membentuk
lengkungan yang dinamakan Arcus palmaris profunda ( arcus volaris profunda).

7
Gambar 2.3 Vaskularisasi Regio Manus

2.1.4 Perdarahan Vena Ekstremitas Superior


Vena-vena yang ada di tangan, seperti v.intercapitular, v.digiti palmaris dan
v.metacarpal dorsalis akan bermuara pada v.cephalica dan v.basilica di lengan
bawah. Dari distal ke proksimal, kedua vena ini akan mengalami percabangan
dan penyatuan membentuk v.mediana cephalica, v.mediana basilica, v.mediana
cubiti, v.mediana profunda dan v.mediana antebrachii sebelum mencapai regio
cubiti. Setelah regio cubiti, vena-vena tersebut kembali membentuk v.cephalica
dan v.basilica. V.basilica akan bersatu dengan v.brachialis (yang merupakan
pertemuan v.radialis dan v.ulnaris) membentuk v.aksilaris di mana nantinya
v.cephalica juga akan menyatu dengannya (v.aksilaris). V.aksilaris akan terus
berjalan menuju jantung
sebagai v.subclavia lalu beranastomosis dengan v.jugularis interna dan eksterna
(dari kepala) membentuk v.brachiocephalica untuk selanjutnya masuk ke atrium
dextra sebagai vena cava superior.

8
Gambar 2.4 Sistem Vena Ekstremitas Superior

2.2. Definisi
Trauma vaskuler didefinisikan sebagai suatu kecederaan yang timbul
terhadap pembuluh darag yang disebabkan oleh laserasi, kontusio, pungsi atau
hancur dan tipe cedera yang lainnya. Gejalanya sangat bervariasi dan antaranya
ialah perdarahan, memar, pembengkakan, nyeri dan kebas-kebas. Trauma
vaskuler tidak termasuk kecederaan sekunder terhadap fungsi patologis atau
penyakit seperti atherosklerosis. Trauma adalah penyebab utama kematian selama
tiga dekade pertama kehidupan. Trauma Vascular menyebabkan banyak kematian
ini dan sering mengakibatkan kecacatan. Cedera pembuluh darah utama yang
dihadapi dalam praktek sipil, luka tusuk dan luka tembak. 2

9
2.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekurang-kurangnya 2.6 juta orang dirawat di rumah
sakit setiap tahunnya karena trauma akibat kecelakaan. Kebanyakan pasien
berumur 25-44 tahun, namun laki-laki muda adalah kelompok dengan risiko
tertinggi karena mereka sering melakukan aktivitas yang juga berisiko tinggi.
Secara keseluruhan, risiko kematian yang disebabkan trauma akibat kecelakaan
adalah tujuh kali lipat lebih tinggi pada populasi pria daripada wanita. Penyebab
kematian karena kecelakaan di antaranya adalah kecelakaan kendaraan bermotor,
terjatuh, terbakar, tertembak, dan terkena benda tajam.3
Trauma vaskular perifer mencakup 80% dari total kasus trauma vaskular.
Dan kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi pada ekstremitas
bawah. Kasus- kasus trauma vaskular tersebut terutama disebabkan oleh luka
tembak kecepatan tinggi (70- 80%), luka tusuk (10-15%), dan luka tumpul (5-
10%).4

2.4. Mekanisme Trauma


Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan
tumpul. Trauma tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal atau
deselerasi dengan kecepatan tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam diakibatkan
oleh kehancuran dan separasi jaringan. Dengan memahami biomekanika dari
trauma yang spesifik akan memudahkan untuk melakukan evaluasi awal karena
trauma pada arteri berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma, lokasi
trauma, konsekuensi hemodinamik, dan mekanisme trauma.3,4
Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi kinetik
(KE) yang disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari massa (M)

dan kecepatan (V), dan dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V 2/2.


Rumus ini berlaku baik untuk trauma tumpul maupun penetrasi. Perubahan pada
kecepatan berefek lebih siginifikan dibandingkan dengan perubahan pada massa.
Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan bergerak
menjauhi titik trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari

10
objek penyebab trauma. Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas
jaringan sementara yang disebabkan oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat.
Tegangan ekstrim terjadi pada titik fiksasi anatomis selama pembentukan kavitas
sementara tersebut. Tekanan dapat terjadi baik sepanjang sumbu longitudinal
(tegangan tensil atau kompresi) dan sumbu transversal (teganan shear). Tekanan
tersebut dapat menyebabkan deformitas, robekan, dan fraktur jaringan. Sementara
itu, trauma penetrasi menyebabkan kavitasi sementara yang diakibatkan oleh
penyaluran energi kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang bersangkutan. Hal
ini dapat diikuti oleh pembentukan kavitas permanen yang disebabkan oleh
pemindahan jaringan.
Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang
dialami. Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan
transeksi komplit. Transeksi komplit dapat berakibat kepada retraksi dan
trombosis pada ujung proksimal dan distal pembuluh darah, yang dapat
menyebabkan iskemia. Sementara itu, laserasi parsial dapat menyebabkan
perdarahan persisten atau pembentukan pseudoaneurisma. Laserasi parsial,
seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap intima, yang dapat berujung
kepada trombosis. Kontusio arteri kecil dengan intima flap yang terbatas dapat
tidak menyebabkan penurunan hemodinamik daerah distal, dan karena itu dapat
tidak terdiagnosis. Hal ini disebut sebagai trauma arteri occult atau minimal jika
dilihat dari angiografi. Trauma ini memiliki risiko trombosis yang kecil, dan
seringkali dapat sembuh secara spontan. Trauma arteri dan vena yang bersamaan
dapat menyebabkan terbentuknya fistula arteriovena.5
Tipe Trauma Gejala Klinis
Laserasi parsial Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan
Transeksi Hilangnya pulsasi distal, iskemia
Kontusio Awal : pemeriksaan dapat normal
Dapat progresif menjadi thrombosis
Kompresi eksternal Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi normal ketika
fraktur diluruskan

11
2.5. Diagnosis
Trauma vaskuler harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada
daerah yang secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi
terutama pada kejadian luka tusuk, luka tembak berkecepatan rendah, dan trauma
tumpul yang berhubungan dengan fraktur dan dislokasi. Keparahan trauma arteri
bergantung kepada derajat invasifnya trauma, mekanisme, tipe, dan lokasi
trauma, serta durasi iskemia.3,4
Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia,
hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok. Gejala
klinis paling sering pada trauma arteri ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-
tanda iskemia adalah nyeri terus- menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan
poikilotermia. Pemeriksaan fisik yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan
auskultasi biasanya cukup untuk mengidentifikasi adanya tanda-tanda akut
iskemia. Adanya trauma vaskular pada ekstremitas dapat diketahui
denganmelihat tanda dan gejala yang dialami pasien. Tanda dan gejala tersebut
berupa hard sign dan soft sign.4,5

12
Hard Sign Soft Sign
Hilangnya pulsasi distal Berkurangnya pulsasi distal
Perdarahan pulsatil yang aktif Riwayat perdarahan sedang
Tanda-tanda iskemia Trauma pada daerah dekat PD utama
Thrill arteri dengan palpalsi manual Defisit neurologis
Bruit pada daerah cedera dan Hematoma sekitar lesi yang tidak
sekitarnya meluas
Hematoma yang meluas

Semua pasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan


menunjukkan gejala soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal. Salah
satu cara yang praktis adalah dengan ABI (ankle-brachial index). Jika ABI < 1,
hal tersebut menandakan adanya trauma arteri. Adanya psudoaneurisma atau
fistula arteriovena harus dipikirkan pada kasus trauma penetrasi ekstremitas yang
didapati hematoma pulsatil dengan disertai bruit atau thrill.6,7
Adanya tanda trauma vaskular disertai fraktur terbuka merupakan suatu
indikasi harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya trauma vaskular.
Kesulitan untuk mendiagnosis adanya trauma vaskular sering terjadi pada
hematoma yang luas pada patah tulang tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai
trauma vaskular adalah adanya defisit neurologis baik sensoris maupun motoris
seperti rasa baal dan penurunan kekuatan motoris pada ekstremitas. Aliran darah
yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia sehingga ekstremitas akan
tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian kapiler tidak menggambarkan
keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri kolateral, namun penting untuk
menentukan viabilitas jaringan.
Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry,
doppler ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi vaskular, tapi
belum memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu ada arteriografi intra-
operatif yang berguna dalam mengetahui hasil rekonstruksi secara langsung,
apakah masih ada lesi vaskular yang tertinggal.
Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama penanganan

13
sehingga akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih lama lagi.
Arteriografi dilakukan bila
terdapat keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau pasca operasi. Arteriografi
juga dianjurkan pada trauma luas untuk mengetahui lesi vaskular yang multiple
dan kondisi kolateral yang ada.
Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal,
dan perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Alat ini
terutama berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal yang dapat luput
dari pengamatan karena minimalnya gejala klinis yang ditampilkan. Indikasi
untuk melakukan angiografi di antaranya trauma tumpul yang signifikan pada
ekstremitas yang berhubungan dengan dislokasi dan fraktur, tanda-tanda iskemia
atau ABI < 1, trauma penetrasi multipel pada ekstremitas, dan adanya tanda
defisit neurologis. Berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan, pasien dengan
luka tembus maupun tumpul yang pulsasi ektremitasnya tidak terganggu, dengan
nilai ankle-brachial indeks (ABI) yang ≥1, tidak memerlukan pemeriksaan
angiografi namun tetap perlu dilakukan pengawasan selama 12 – 24 jam.
Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang
suara yang ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran darah.
Selain untuk diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah

anastomosis arteri.
 Ultrasonografi color-flow duplex (CFD) telah disarankan

sebagai pengganti ataupun tambahan pemeriksaan arteriografi. Keuntungannya


adalah sifatnya yang noninvasif dan tidak menimbulkan nyeri. Alat ini portabel
sehingga dapat dibawa ke sampai tempat tidur pasien, unit gawat darurat, maupun
ruang operasi.pemeriksaan ulangan dan tindak lanjut dapat dilakukan dengan
mudah tanpa adanya angka kecacatan dan alat ini relatif lebih murah.8,9
Berikut ini adalah algoritma diagnosa gangguan arteri:

14
2.6. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada
perdarahan yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa,
tentunya pertolongan pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan
tindakan definitif dilakukan setelah perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi
dengan penekanan di atas daerah perdarahan. Pemasangan turniket tidak boleh
dilakukan karena dapat merusak sistem kolateral yang ikut terbendung.9,10
Golden period pada lesi vaskuler adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia
yang jelas terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih
tidak tahan terhadap adanya iskemia.11

2.6.1. Penatalaksanaan Non Operatif


Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih
kontroversial. Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera arteri yang
terdeteksi harus diperbaiki,sedangkan yang lain mengusulkan tindakan non
operatif bila terdapat kriteria klinis dan radiologis seperti low-velocity injury,

15
disrupsi dinding arteri yang minimal (< 5mm) pada kelainan intima dan
pseudoaneurisma, tidak ada perdarahan aktif, dan sirkulasi distal masih utuh.
Pendekatan ini dapat dilakukan pada arteri yang memiliki kolateral dan terutama
pada orang muda. Bila pendekatan non operatif yang digunakan, disarankan
untuk melakukan pencitraan vaskular untuk memantau penyembuhan atau
stabilisasi.12,13

2.6.2. Penatalaksanaan Endovascular


Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk
terapi beberapa cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah,
khususnya pada lokasi anatomis yang jauh. Coil berguna untuk mengoklusi
perdarahan dan fistula arteriovenosa.
Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas adalah dengan
penggunaan teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat fiksasi seperti stent dan
graft, perbaikan endoluminal pada false aneurysm atau fistula arteriovenosa besar
dapat dimungkinkan.10

2.6.3. Penatalaksanaan Operasi


Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan persiapan
seluruh ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan, ekstremitas atas atau bawah
kontralateral yang sehat harus ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila
diperlukan autograft vena. Pada umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal
langsung pada pembuluh darah yang cedera dan diekstensi ke arah proksimal atau
distal sesuai dengan kebutuhan.10,11
Kontrol arteri proksimal dan distal dilakukan sebelum eksposur pada
cedera. Arteri proksimal dikontrol dengan benang kasar yang melingkari arteri
(seperti jerat) atau bila perlu dengan menggunakan klem vaskuler. Hal ini juga
dilakukan pada arteri distal. Terkadang diperlukan pintasan sementara pada arteri
yang terputus (thromboresistent plastic tube) untuk mencegah iskemia selama
operasi. Debridemen, fasiotomi, fiksasi fraktur, neurorhaphy, reparasi vena dapat
dilakukan kemudian tanpa harus terburu-buru. Pemakaian heparin secara sistemik

16
pada kasus trauma memang berbahaya, namun pemberian heparin dosis kecil
yang diberikan langsung terutama ke bagian distal dapat mencegah terbentuknya
trombus.12
Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma.
Reparasi cedera pembuluh darah dapat dilakukan dengan lateral suture patch
angioplasty, end-to-end anastomosis, interposition graft, dan bypass graft. Extra-
anatomic bypass graft berguna pada pasien dengan cedera jaringan lunak
ekstensif atau sepsis.
Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau tegangan
pada anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri lebih dari 1.5 cm..
Pada umumnya graft vena autogen lebih disenangi untuk mengatasi persoalan
vaskuler. Autograft vena pertama kali dilakukan untuk memperbaiki cedera arteri
pada masa perang Korea. Perkembangan bahan prostetik (ePTFE)
memungkinkan penggunaan rutin bahan prostetik sebagai pengganti autograft.
Pengalaman membuktikan bahwa ePTFE lebih tahan terhadap infeksi daripada
bahan prostetik lainnya dan memiliki tingkat patency yang lebih tinggi ketika
digunakan pada posisi di atas lutut.
Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena, dapat
dilakukan rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan kerusakan sistem arteri.
Sebaiknya dilakukan penyambungan vena lebih dahulu setelah mengeluarkan
thrombus yang terjadi terutama pada vena utama, sedangkan vena yang kecil
dapat diikat saja. Hal ini dapat menolong untuk mengurangi edema pasca bedah
dan menekan angka amputasi pada penderita trauma vaskular dengan kerusakan
jaringan lunak dan tulang yang hebat serta membantu memperbaiki aliran arteri.13
Bila terjadi edema yang mengganggu di daerah ekstremitas, maka
sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi. Dengan fasiotomi ini
diharapkan terjadinya perbaikan sirkulasi pada kapiler dan otot yang rusak kerena
iskemia akibat oklusi total (ruptur arteri dan trombus). Apabila tidak dilakukan
fasiotomi, iskemia dapat menimbulkan gangren. Pada oklusi parsial (robekan
intima), bila sirkulasi kolateral tidak adekuat maka perfusi yang tidak sempurna
dan iskemia otot menyebabkan meningginya tekanan kompartemen.

17
Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang, dianjurkan
batasan waktu 12 jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam dilakukan perbaikan
arteri terlebih dahulu. Untuk menangani fraktur ini terlebih dahulu dilakukan
fiksasi eksterna, terutama pada fraktur ekstremitas bawah karena pada ekstremitas
bawah biasanya disertai kerusakan jaringan lunak.
Faktor terpenting yang menentukan prognosis dari terapi pada trauma
ekstremitas pada waktu dirawat adalah adanya trauma rusak remuk, perbaikan
vaskular yang terhambat dan fraktur tibia yang segmental. Pada trauma rusak
remuk biasanya terjadi kerusakan jaringan yang berat yang dengan cepat
mengalami nekrosis dan penderita akan kehilangan tungkai walaupun pembuluh
darahnya berfungsi dengan baik. Sedangkan fraktur tibia sebelah proksimal dan
perbaikan pembuluh darah dapat dengan cepat ditangani, maka hasilnya akan
jauh lebih memuaskan.
Trauma tumpul memiliki hubungan yang dengan tingginya kegagalan
graft (35%), dan kegagalan graft menyebabkan harus dilakukannya amputasi.
Faktor resiko independen yang menyebabkan harus dilakukannya amputasi
setelah perbaikan arteri adalah oklusi bypass graft, cedera kombinasi di atas dan
di bawah lutut, dan transeksi arteri.1,2,3
Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk
menurunkan angka amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita lakukan
adalah:
a. Secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan
b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik mungkin
c. Mengerjakan trombektomi ke bagian proksimal dan distal
d. Pemakaian heparin yang sepantasnya
e. Mengutamakan vena autogen sebagai graft.

2.7. Komplikasi
Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan
perbaikan lesi pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan
yang adekuat. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain thrombosis, infeksi,

18
stenosis, fistula arteri-vena, dan aneurisma palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis
merupakan komplikasi yang dapat terjadi segera pasca operasi, sedangkan fistula
arteri-vena dan aneurisma palsu merupakan komplikasi lama.2,3,4
Rekomstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh
dan teliti sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau
penatalaksanaan pasca bedah yang kurang terarah, akan berakibat fatal bagi
kelangsungan hidup ekstremitas berupa amputasi, atau terjadi emboli paru.

a. Trombosis
Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vascular adalah komplikasi
yang paling sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi segera dapat memberikan
hasil yang memuaskan. Bila debridemen arteri kurang adekuat dan aproksimasi
intima kurang akurat pada waktu rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin
akan terjadi trombosis segera setelah anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki
kesinambungan pembuluh arteri, pemakaian graft vena autogen jauh lebih unggul
dari koreksi dengan jahitan lateral ataupun anastomosis ujung ke ujung, terutama
pada trauma yang luas. Beberapa kesalahan teknis yang dapat menyebabkan
terjadinya trombosis:

1. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-sisa


dinding arteri, dimana platelet dan trombin dapat lengket dan
menyebabkan trombosis.
2. Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif sangat besar
artinya dalam kasus ini untuk melihat daerah anastomosis dan distal.
Kadang-kadang arus balik saja tidak cukup untuk menjadi pegangan ada
tidaknya lesi vaskular sebelah distal, karena aliran darah balik dapat pula
terjadi melalui kolateral. Akhir-akhir ini sering dianjurkan untuk membuat
arteriografi pra-operatif pada trauma luas.
3. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis pada
anastomosis yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan heparin dengan
perbandingan 1:500 dapat dipakai untuk membilas daerah anastomosis

19
dan membersihkan sisa-sisa bekuan darah yang masih lengket dan dapat
pula dipakai untuk membilas ke arah distal agar arus balik mengalir
dengan lebih lancar. Untuk meyakinkan tidak ada thrombus yang
tertinggal dapat dilakukan dengan memasukkan kateter balon Fogarthy
sejauh mungkin ke distal dan secara hati-hati mendorong trombus keluar.
Bila persediaan ada, maka dianjurkan memakai larutan trobolitik untuk
menghancurkan thrombus yang masih tersisa.
4. Trombosis juga terjadi pada anastomosis yang disebabkan oleh tarikan
yang berlebihan pada anastomosis. Stenosis berat akan terjadi pada jahitan
bila dinding pembuluh arteri tidak cukup untuk suatu jahitan lateral. Hal
ini juga dapat terjadi bila pembuluh arteri yang hilang cukup banyak
dimana anastomosis ujung ke ujung tetap dipaksakan. Kehilangan arteri
lebih dari 2 cm sudah cukup untuk melakukan graft dengan interposisi
vena autogen. Sebaliknya juga jangan sampai terlampau panjang memakai
vena sebagai graft karena akan terjadi tekukan (kinking) yang dapat
mengganggu aliran darah laminar.
5. Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis. Graft
sintesis biasanya sudah mempunyai garis hitam memanjang yang dapat
dipakai sebagai pegangan agar jangan terpelintir. Pada graft vena autogen
yang panjang garis ini dapat dibuat dengan benang hitam halus yang
dijelujur sepanjang graft itu dilapiskan adventisia.

Salah satu cara untuk menentukan apakan rekonstruksi arteri itu berhasil
atau tidak adalah dengan cara meraba pulsasi di sebelah distal. Namun kita harus
waspada, karena pulsasi sebelah distal ini belum menjamin suatu sukses dalam
jangka waktu panjang. Apabila pulsasi tidak teraba, sebagian besar dapat
dikoreksi dengan segera melakukan operasi kedua untuki melihat kemungkinan
thrombosis, terutama bila timbul tanda-tanda iskemia tungkai sebelah distal. Bila
tanda-tanda distal dapat bertahan biarpun ada trombosis, maka sebaiknya
dipertimbangkan untuk menunda operasi kedua sampai keadaan umum
mengizinkan karenatindakan operatif yang berulang kali akan lebih sering

20
menderita komplikasi infeksi. Selain itu, bila cukup waktu, maka akan terbentuk
system kolateral baru.pemeriksaan Doppler (Ultrasonic Sounding Device) dapat
menolong menentukan ada tidaknya aliran kolateral yang mengisi pembuluh
arteri distal dari sumbatan.5,6
Harus hati-hati menegakkan diagnosis spasme arteri pada kemungkinan
adanya trombosis, bahkan pemberian obat sympathetic blocks serig menambah
keragu-raguan dalam menangani kasus trauma vaskular. Hematoma di bawah
lapisan intima atau robekan pada intima sendiri akan terlihat sebagai spasme pada
inspeksi. Tetapi memang spasme arteri dapat terjadi bersama dengan trauma
vaskular, yang biasanya dapat diatasi dengan pemberian Papaverin hydroclorida
atau procain hydrochloride 1%.
Pada trombosis dengan sumbatan total arteri selama lebih dari 6 jam akan
menyebabkan kematian otot dan saraf yang akan diganti oleh jaringan ikat,
sehingga terjadi kontraktur, misalnya Volkmann ischemic contracture.

b. Infeksi
Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi
trauma vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan sukar untuk
diatasi. Untuk membantu pencegahan terhadap infeksi, diagnosis trauma vaskular
harus cepat ditegakkan, pemberian antibiotik yang sesuai, debridement luka yang
adekuat, kesinambungan pembuluh vaskular harus secepat mungkin diusahakan
dan pemberian nutrisi yang baik secara sistemik penting untuk dilakukan.
Diperlukan observasi yang ketat selama fase pasca operasi. Pada kecelakaan
dengan luka terkontaminasi, maka semua benda asing sedapat mungkin
dikeluarkan dan kalau perlu luka dibilas dengan larutan antibiotik.
Operasi ulang tidak boleh dilakukan di daerah yang terkena infeksi. Tidak
saja karena tindakan koreksi ulang ini akan memberikan kegagalan langsung,
tetapi juga berbahaya untuk kelangsungan hidup pasien karena septikemi dan atau
eksanguinasi. Yang harus dipertimbangkan adalah ligasi dari arteri proksimal dan
distal dari daerah infeksi. Beberapa hal yang masih dapat dikerjakan pada daerah
infeksi ini adalah debridenen, transisi flap otot, membasahi daerah infeksi dengan

21
larutan antibiotic secara teratur dan terus-menerus serta pemberian antibiotic
yang terbaik. Infeksi adalah penyebab kedua dari kegagalan rekonstruksi arteri
pada trauma vaskular.

c. Stenosis
Penyebab terjadinya stenosis (penyempitan):

1. Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau


ketat atau pada koreksi dengan jahitan lateral, tetapi bahan dinding
pembuluh tidak cukup. Dapat pula karena tertinggalnya sisa jaringan
pembuluh yang rusak. Bila lesi arteri tidak diperbaiki dengan sempurna
dapat terjadi iskemia relatif pada otot yang akhirnya mengakibatkan suatu
klaudikasio intermitten.
2. Hiperplasialapisanintimaterjadidijahitananastomosissetelahbeberapaming
guatau bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena autogen.

d. Fistula arteri vena


Fistula arteri vena dapat disebabkan oleh trauma atau berupa suatu
kelainan bawaan. Biasanya fistula arteri vena traumatic disebabkan oleh cedera
luka tembus yang mengenai arteri dan vena yang berdekatan sehingga darah
dapat langsung mengalir dari arteri ke vena. Biarpun tidak sering kelainan ini
dapat pula terbentuk pada tindakan arteri yang kurang cermat di daerah yang kaya
pembuluh darah.
Segera setelah terbentuk fistula antara arteri dan vena, darah arteri akan
mengalir melalui pintasan ini ke dalam vena, dan selanjutnya diteruskan ke
jantung. Ini menyebabkan menurunnya resistensi pembuluh darah perifer,
tekanan diastole akan menurun dan denyut jantung akan tambah cepat. Tekanan
vena setempat akan naik, sedangkan arus darah di tempat tersebut akan berkurang
setelah beberapa waktu. Pembuluh kolateral di daerah ini akan melebar serta
arteri dan vena yang terlibat juga akan melebar menyebabkan volume darah yang
melalui pintasan ini akan bertambah besar. Pembuluh vena melebar demikian

22
rupa sehingga terbentuk seperti varises. Hal ini bila berlangsung lama dapat
menyebabkan payah jantung karena curahnya yang bertambah.
Diagnosis fistula arteri vena tidak begitu sukar ditegakkan. Riwayat
trauma tajam, adanya pulsasi yang jelas disertai getaran pada perabaan dan pada
auskultasi terdengar bissng seperti bunyi mesin, semuanya ini menunjukkan
adanya fistula antara pembuluh arteri dengan pembuluh vena. Tanda lain yang
mungkin timbul sebelah distal dari fistula adalah klaudikasio intermitten, edema
dan pelebaran vena yang berkelok-kelok dan disertai warna kulit yang agak
kebiruan.
Angiografi tidak diperlukan untuk diagnostik tetapi berguna untuk
penentuan lokasi pintasan yang akan dikoreksi. Waktu yang tepat untuk
melakukan tindakan operasi adalah segera setelah diagnostik ditegakkan. Prinsip
dasar pada bedah vaskular juga berlaku di sini, yaitu mencari dan melakukan jerat
sementara pada proksimal dan distal dari arteri dan vena yang terlibat, sebelum
fistulnya dieksisi. Bila mungkin pembuluh arterinya direkonstruksidengan jahitan
langsung atau graft dengan vena autogen, sedangkan lesi pembuluh darah vena
biasanya dapat dijahit lateral langsung. Kelainan struktur dan hemodinamika
yang terjadi pada fistula arteri dan vena traumatic biasanya pasca operasi menjadi
normal kembali.
e. Aneurisma Palsu
Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak ketiga
lapisan dinding pembuluh arteri secara menyamping (tangensial). Kadang-kadang
disebabkan oleh kesalahan pada prosedur diagnostik atau terapi, yaitu kerusakan
dinding arteri yang disebabkan oleh jarum atau kateter atau kecelakaan pada
waktu operasi hernia nukleus pulposus dan fraktur ganda tulang pada kecelakaan
lalu lintas. Biarpun jarang trauma tumpul juga dapat menyebabkan terjadinya
aneurisma palsu.
Aneurisma traumatik dapat terbentuk di daerah yang secara anatomik
mengandung banyak jaringan ikat kuat dan bersekat, yang dapat mengadakan
tamponade terhadap hematoma. Kemudian dengan tumbuhnya lapisan endotel
baru yang berasal dari pinggir luka lesi vaskular, maka terbentuklah rongga

23
aneurisma palsu.
Benjolan yang berdenyut adalah tanda yang paling nyata dari aneurisma
palsu. Biasanya ada riwayat luka tembus. Berbatas tidak begitu tegas karena
benjolan ini terletak di bawah jaringa fasia yang kuat. Biasanya akan teraba
getaran sistolik pada seluruh benjolan ini, kadang disangka abses atau suatu
neoplasma. Dapat pula terjadi bersamaan dengan fistula arteri-vena. Pemeriksaan
angiografi diperlukan bila ragu atau bila letak lesinya sukar dicapai pada
pemeriksaan di klinik. Pemeriksaan sonografi dapat pula menolong untuk
menentukan besar serta letak aneurisma palsu ini.
Dengan mencari dan mengikat sementara arteri proksimal dan distal dari
lesi ini, maka rekonstruksi arteri dapat dilakukan dengan leluasa. Kadang hanya
diperlukan beberapa jahitan lateral untuk menutup lesi arteri ini. Kemungkinan
penyembuhan secara spontan sangat kecil.

f. Sindrom Kompartemen
Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal pada
kompartemen fascia. Tekanan ini dapat menekan pembuluh darah dan syaraf tepi.
Perfusi menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau
bahkan nekrosis otot. Sindrom kompartemen ditandai oleh 5 P yaitu pain,
pulseless, paresthesia, pallor, dan paralysis. Akibat dari sindroma kompartemen
antara lain:7,8,9

1. Kerusakan jaringan akibat hipoksemia


Sindroma kompartemen dengan peningkatan tekanan intramuskuler (IM)
dan kolaps aliran darah lokal sering terjadi pada cedera dengan hematoma
otot, cedera remuk (crushed injury), fraktur atau amputasi. Bila tekanan perfusi
(tekanan darah sistolik) rendah, sedikit saja kenaikan tekanan IM dapat
menyebabkan hipoperfusi lokal. Pada pasien normotermik, shunting aliran
darah mulai terjadi pada tekanan sistolik sekitar 80mmHg. Sedang pada
pasien hipotermik shunting terjadi pada tekanan darah lebih tinggi.

24
2. Kerusakan akibat reperfusi
Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah rendah)
berlangsung lebih dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan kerusakan
pembuluh darah yang ekstensif. Pada kasus-kasus ekstremitas dengan syok
berkepanjangan, kerusakan akibat reperfusi sering lebih buruk dibanding
cedera primernya. Karena itu dekompresi harus dikerjakan lebih awal, terutama
kompartemen di lengan atas.

25
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Kasus trauma vaskuler pada ekstremitas atas adalah kasus trauma yang
sebetulnya cukup sering terjadi baik akibat trauma tumpul maupun trauma tajam.

Penanganan kasus ini harus lebih hati hati, karena biasanya jarang yang hanya
melibatkan satu sistem. Biasanya cedera yang terjadi kombinasi dari beberapa
sistem, baik sitem vaskularisasi, sistem muskuloskletal maupun sistem
persyarafan.

Penanganan trauma di ekstremitas atas tetap menganut kaidah yang


berlaku pada ATLS, dimana survei primer dilakukan lebih dahulu baru diikuti
dengan survei sekunder. Hal ini sesuai dengan aturan live saving diikuti dengan
limb salvage.

Pada pasien ini ouput yang dihasilkan tidak sebaik yang diharapkan
karena iskemik time yang terjadi cukup lama yaitu 32 jam sebelum masuk rumah
sakit ditambah dengan prosedur orthopedi yang dilakukan terlebih dahulu dan
ditambah dengan pemakaian shunting yang tidak dianjurkan untuk digunakan
pada ekstremitas atas, dan juga shunting yang digunakan tidak sesuai dengan
standar.

Ketidaktahuan dari dokter bedah yang merujuk, sehingga pasien dirujuk


atas permintaan sendiri juga memperburuk output. Pada setiap trauma dituntut
kehati hatian yang tinggi dari seorang dokter bedah, sehingga tidak ada trauma
vaskuler yang terluput, apalagi pada pasien ini sudah jelas hard sign, dimana
pulasai perifernya sudah tidak ada.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Bjerke HS, 2010. Extremity Vascular Trauma. From


emedicine.medscape.com/article/462753-treatmentandmanagement
[Accessed on : 19th October 2014]
2. Brohi K, 2002. Peripheral Vascular Trauma. From :
www.trauma.org/archive/vascular/PVTmanage.html. [Accessed on : 19th
October 2014]
3. Jusi HD. Dasar-dasar ilmu bedah vaskuler edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2008. h.50-65.
4. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular trauma, 2nd ed. USA: Elsevier
Saunders; 2004.
5. Dueck AD, Kucey DS. The management of vascular injuries in extremity
trauma. Current Orthopedics 2003; 17: 287-91.
6. Fields C E, Latifi RI, Ivatury R R: Brachial and Forearm vessel Injuries:
Vascular Trauma Complex and Challenging Injuries,Part II.Surg Clin of
North Am 82:105 – 114,2002 Frykberg ER: Combined vascular and skeletal
trauma: Vascular Trauma : Trauma Org:2005: diakses dari
http://www.trauma.org/archive/vascular/vascskeletal.html
7. Levy RM, Alarcon RH, Frykberg ER: Peripheral Vascular Injuries : Trauma
manual, The Trauma and Acute Care Surgery,3 rd Edition. Lippincott
William & Wilkins 2008.
8. Dueck AD, Kucey DS: The Management of Vascular Injuries in Extremity
Trauma. Current Orthopedics 2003;17:287-291. Manthey DE, Nicks BA:
Penetrating Trauma to The Extremity: J Emerg Med 2008;34:187-193.
9. Management of Complex Extremity Trauma: American College of Surgeons
Committee on Trauma. Ad Hoc Committee On Outcomes 2005.
10. Marrero IC, Chaudhry N :Hand, Upper Extremity Vascular injury :
Treatment. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/artcle/1287360-
treatment.

27
11. Starnes BW, Arthurs ZM: Endovascular Management of Vascular Trauma.
Perspect Vasc Surg Endovasc Ther 2006; 18:114 – 124.
12. Tiwari A, Haq AI, Myint F, Hamilton G: Acute Compartement Syndromes.
Br J Surg 2002;89397 – 412.
13. Manthey DE, Nicks BA: Penetrating Trauma to The Extremity.J Emerg
Med;2008:34: 187- 193.\
14. Marrero Ian C, Chaudhry Nadeem, Salhab KF: Hand,Upper Extremity
Vascular Injury: diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1287360-
overview.
15. Riz Erkan,Kolbakir F, Sarac A, et al: Retrospective assesment of Vascular
Injuries: 23 Years of Experience. Ann Thorac Cardiovasc Surg2004;10: 373 –
378.

28

You might also like