Professional Documents
Culture Documents
HILDA KUMALASARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Validasi Metoda Pengukuran
Kadar Air Perisa Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S,
Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer adalah karya saya sendiri
dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada peguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam tesks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir Tesis ini.
Hilda Kumalasari
NIM F252090165
ABSTRACT
Pada industri perisa bubuk, kadar air merupakan parameter penting yang
diukur dan dilaporkan dalam rangka pengendalian mutu produk perisa bubuk.
Metode pengukuran kadar air yang banyak digunakan industri adalah dan metode
Loss on Drying (LOD) dengan menggunakan oven dan metode Karl Fischer.
Diantara kedua metode tersebut, metode LOD lebih banyak digunakan di PT.
Givaudan Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suhu pengukuran yang tepat
pada alat Moisture Analyzer HB43-S yang memberikan hasil yang tidak berbeda
nyata dengan hasil kadar air dengan metode oven yang selama ini digunakan.
Hasil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses
pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses
pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke
konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan
contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan
diterapkan di PT Givaudan Indonesia.
Validasi data diperlukan untuk mendapatkan informasi apakah alat tersebut
dapat menggantikan metode oven sehingga dapat digunakan untuk mempercepat
kelolosan produk. Dalam proses validasi tersebut digunakan perhitungan statistik
tes Dunnett yang membandingkan hasil rata-rata seluruh perlakuan dengan data
kontrol. asil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses
pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses
pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke
konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan
contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan
diterapkan di PT Givaudan Indonesia.
Penelitian ini mencakup tiga tahapan penelitian, semua dilakukan dalam
rangka untuk mengembangkan dan memvalidasi metoda pengukuran kadar air
menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S, metoda yang nantinya diharapkan
dapat menjadi alternatif pengganti bagi metoda LOD menggunakan oven dan
metoda Karl Fischer yang selama ini sudah digunakan oleh PT Givaudan
Indonesia sebagai metoda standar pengukuran kadar air produk bubuk perisa.
Penelitian pendahuluan dilakukan terhadap sampel tepung tapioka untuk
melihat kesetaraan hasil pengukuran metoda oven dengan metoda analisis cepat
menggunakan Moisture Analyzer Mettler Toledo Halogen HB43-S. Untuk
memastikan bahwa sampel tapioka yang diukur menggunakan kedua alat tersebut
memiliki kandungan air awal yang identik dan diketahui secara pasti, maka
dilakukan proses penyeragaman kadar air awal sampel.
Sampel tapioka dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yang berbeda, kelompok
A adalah sampel tapioka yang diseragamkan kadar air awalnya menggunakan
larutan garam jenuh MgCl2 (RH25°C=32,73%), kelompok B diseragamkan kadar
air awalnya menggunakan larutan garam jenuh NaCl (RH25°C=75,32%), dan
kelompok C diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan garam jenuh
KCl (RH25°C =84,32%).
Penelitian tahap pertama dilakukan terhadap tiga jenis bahan dasar yang
biasa digunakan sebagai bahan pembawa atau bahan pengisi pada produk perisa
yaitu tepung tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan ini bertujuan untuk
menentukan setting suhu pemanasan yang tepat untuk masing–masing bahan pada
alat ’Moisture Analyzer’, sehingga bila nantinya diterapkan untuk pengukuran
kadar air, hasil pengukuran yang didapatkan oleh ’Moisture Analyzer’ akan setara
dengan hasil pengukuran kadar air menggunakan oven konveksi (SNI 01-2891-
1992 butir 5.1). Suhu tersebut akan dijadikan acuan untuk pengukuran kadar air
produk bubuk perisa yang sebagian besar komponennya adalah ketiga bahan dasar
yang telah disebutkan di atas.
Penelitian kedua dilakukan pada bubuk perisa HVP, Garlic, dan
Vanilla.yang sebagian besar komponennya adalah tapioka, maltodekstrin dan
laktosa. Tahapan ini dilakukan untuk memverifikasi apakah setting suhu
pemanasan yang telah didapatkan pada tahap sebelumnya dapat diterapkan untuk
analisis kadar air produk perisa HVP (berbahan dasar maltodekstrin), perisa
garlic (berbahan dasar campuran tapioka - maltodekstrin), dan perisa vanilla
(berbahan dasar laktosa). Apabila dapat ditunjukkan bahwa hasil pengukuran
kadar air ketiga produk ini menunjukkan perilaku yang sama dengan hasil
pengukuran pada bahan dasarnya, maka selanjutnya metoda pengukuran kadar air
menggunakan Moisture Analyzer HB43-S untuk produk - produk perisa jenis lain
akan mengikuti metoda pengukuran bahan dasarnya.
Hasil penelitian menunjukkan moisture analyzer HB43-S dengan setting
suhu 105oC dapat digunakan untuk mengukur kadar air perisa HVP dimana
hasilnya tidak berbeda nyata dengan hasil pengukuran kadar air dengan
menggunakan metode oven UM-400 (dioperasikan pada suhu 105oC). Suhu
pengukuran pada 105oC ini sesuai dengan suhu yang digunakan untuk penelitian
terhadap bahan baku tapioka dan maltodekstrin. Namun untuk perisa Garlic, agar
diperoleh hasil pengukuran kadar air yang mendekati hasil pengukuran kadar air
dengan menggunakan metode oven, setting suhu alat moisture analyzer perlu
diturunkan menjadi 100oC dikarenakan dalam perisa garlic terkandung asam
lemak yang sensitif terhadap panas. Dari hasil penelitian ini didaptkan bahwa alat
moisture analyzer HB43-S dapat menjadi alternatif pengganti metode oven pada
bahan jadi dengan bagan dasar maltodekstrin.
Didapat pula bahwa metode yang paling sesuai untuk pengukuran kadar air
bahan turunan gula adalah metode Karl Fischer. Kadar air laktosa dan perisa
vanilla (mengandung 80% laktosa) sebaiknya tidak diukur menggunakan metoda
LOD yang menggunakan panas intens pada proses analisisnya Hal ini disebabkan
sifat-sifat laktosa yang peka terhadap panas (dapat terdekomposisi dan
terpolimerisasi) sehingga data hasil pengukuran kadar air menjadi tidak akurat.
Namun demikian hasil penelitian pada perisa vanilla menunjukkan bahwa produk
ini masih mungkin diukur kadar airnya menggunakan oven suhu 105 °C. Hasil
pengukuran kadar air perisa vanilla menggunakan perangkat KF tidak berbeda
nyata dengan hasil kadar air menggunakan oven.
iv
Dalam kondisi normal dan untuk jumlah sampel yang besar (di atas 30
sampel) secara teknis waktu analisis kadar air menggunakan metode oven masih
lebih efektif dibanding waktu analisis menggunakan ‘moisture analyzer’. Namun
untuk kondisi mendesak dan dibutuhkan hasil yang cepat maka alat Moisture
Analyzer dapat dijadikan pilihan bilamana sampel yang akan dianalisis kadar
airnya jumlahnya hanya sedikit.
Template Laporan Validasi dirancang untuk mempermudah pelaporan
dimana analis hanya perlu memasukkan nama metode yang akan dibandingkan
dan kontrol, nama penguji, tanggal, kondisi atau perlakuan kontrol, serta hasil
pengukuran 10 ulangan untuk baik untuk metode yang akan divalidasi maupun
kontrol. Data masukan diketikkan pada bagian yang berwarna kuning. Uji
statistik yang digunakan untuk proses validasi adalah uji Dunnett. Suatu
alat/metoda dikatakan dapat menggantikan alat/metoda yang dianggap sebagai
kontrol apabila hasil uji Dunnett menyatakan hasil pengukuran keduanya tidak
berbeda nyata. Hasil perhitungan pada template dalam bentuk excel tersebut
telah dibandingkan dengan hasil perhitungan statistik menggunakan program
SPSS dan hasil perhitungannya memberikan hasil yang sama.
Kata kunci: metode oven, kadar air, Moisture Analyzer
v
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
vi
Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk
Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S,
Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer.
HILDA KUMALASARI
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi pada
Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr.
Judul Tugas Akhir : Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk
Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S,
Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer.
Nama : Hilda Kumalasari
NIM : F252090165
Disetujui,
Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Fahim M. Taqi, STP, DEA
Ketua Anggota
Mengetahui,
Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.AGR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, Pengasih dan Penyayang
atas bimbingan dan hikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis
dengan judul Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk
Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif
Metoda Oven Dan Karl Fischer.
Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan moral, bantuan dan
kerja sama dari rekan-rekan di PT. Givaudan Indonesia, terutama kepada Ibu Ade
dan Dwi Wulansari yang telah banyak membantu sehingga penelitian dapat
dijalankan dengan lancar. Juga kepada teman-teman seangkatan dan seluruh
keluarga besar yang sangat mendukung dan memberi semangat serta doa.
Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih belumlah sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1971 dari Bapak A.A.
Pranatadjaja dan Ibu Jeanne Harjanti. Penulis merupakan putri kedua dari tiga
bersaudara. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar sampai dengan sekolah
lanjutan tingkat atas di Sekolah Santa Maria Surabaya sejak tahun 1978-1984,
1984-1987, dan 1987-1990. Penulis diterima di Universitas Surabaya jurusan
Teknik Kimia pada tahun 1990 dan pada tahun 1993 karena tugas orang tua, maka
penulis harus mengajukan cuti selama 1 tahun dan berhijrah ke kota Bogor pada
tahun 1994 dan melanjutkan pendidikan Program Studi S1 di Institut Teknologi
Indonesia jurusan Teknologi Industri Pertanian dan lulus pada tahun 1998. Pada
tahun 2009 penulis menjadi mahasiswa program Magister Profesi Teknologi
Pangan (MPTP). Setelah bekerja selama 12 tahun, penulis melanjutkan program
master pada Program Magister Profesi Teknologi Pangan - Institut Pertanian
Bogor.
Penulis bekerja di PT. Quest International Indonesia sejak tahun 1999. Pada
tahun 2007 perusahaan tersebut dibeli oleh perusahaan lain dan berganti nama
menjadi PT. Givaudan Indonesia sampai sekarang. Departemen yang menjadi
tanggung jawab penulis sejak tahun 1999 sampai saat ini adalah Quality Control
dengan peningkatan jabatan dari QC Technician menjadi QC Supervisor pada
tahun 2004 dan kemudian diangkat menjadi QC Manager sejak tahun 2007
sampai sekarang. Pada bulan Mei 2012 penulis dipindahkan oleh perusahaan
untuk menjadi QC Manager di Givaudan Singapore PTE. LTD.
Hilda Kumalasari
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvi
PENDAHULUAN .................................................... Error! Bookmark not defined.
A. Latar Belakang .............................................. Error! Bookmark not defined.
B. Tujuan Penelitian ........................................... Error! Bookmark not defined.
C. Manfaat Penelitian ......................................... Error! Bookmark not defined.
D. Ruang Lingkup Penelitian ............................. Error! Bookmark not defined.
METODOLOGI PENELITIAN................................................................................41
A. Tempat dan Waktu Penelitian........................................................................41
B. Bahan .............................................................................................................41
C. Peralatan ........................................................................................................41
D. Metode Percobaan .........................................................................................41
E. Metoda Pengamatan ......................................................................................47
LAMPIRAN ..............................................................................................................71
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Nilai RH yang dibentuk oleh larutan garam jenuh pada berbagai suhuError! Bookmark not
Tabel 2 Kondisi pengukuran kadar air yang direkomendasikanError! Bookmark not defined.9
Tabel 3 Spesifikasi alat HB43-S ..............................................................................21
Tabel 4 Reagen yang diperlukan untuk analisis Karl Fischer..................................23
Tabel 5 Analisis Varian/Keragaman untuk Rancangan Acak Lengkap...................33
Tabel 6 Nilai RH yang dibentuk oleh 3 larutan garam jenuh yang digunakan pada
suhu 25oC ...................................................................................................46
Tabel 7 Peningkatan kadar air tepung tapioka pada suhu 100oC dengan MA pada
berbagai aw .................................................................................................51
Tabel 8 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis basah di berbagai
ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda .............................................52
Tabel 9 ANOVA tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2 (RH=32,72) pada
7 suhu pengukuran yang berbeda ...............................................................52
Tabel 10 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2
(RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda.................................52
Tabel 11 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis kering (g/100 g
padatan) diberbagai ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda .............52
Tabel 12 ANOVA tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2 (RH=32,72)
pada 7 suhu pengukuran yang berbeda ......................................................53
Tabel 13 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2
(RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda.................................53
Tabel 14 Kadar Air rata-rata Tepung Tapioka .........................................................55
Tabel 15 Perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Tepung Tapioka ............55
Tabel 16 Kadar air rata-rata Maltodekstrin ..............................................................56
Tabel 17 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Maltodekstrin ............56
Tabel 18 Kadar air Laktosa diukur menggunakan beberapa jenis metode. .............57
Tabel 19 Data hasil perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Laktosa .........58
Tabel 20 Kadar air rata-rata perisa HVP..................................................................58
Tabel 21 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa HVP................59
Tabel 22 Kadar air rata-rata perisa Garlic................................................................60
Tabel 23 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Garlic..............60
Tabel 24 Data kadar air Perisa Vanilla pada beberapa jenis metode. ......................61
Tabel 25 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Vanilla ............61
Tabel 26 Waktu untuk analisis kadar air bubuk dan bahan baku perisa ..................63
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Halaman
Lampiran 1 SNI 01-2891-1992 Cara uji makanan dan minuman ..........................72
Lampiran 2 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 95%. ................................73
Lampiran 3 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 99%. ................................74
Lampiran 4 Hasil Analisis Penelitian Pendahuluan .................................................75
Lampiran 5 Hasil Analisis Penelitian Pertama terhadap Bahan Baku .....................79
Lampiran 6 Hasil Analisis Penelitian Kedua terhadap Bahan Jadi..........................82
Lampiran 7 Data waktu analisis berbagai metode terhadap jumlah sampel. ...........85
Lampiran 8 Jumlah sampel dengan waktu analisis kurang dari pengujian dengan
metode oven ...............................................................................................93
Lampiran 9 Sertifikat Kalibrasi Oven Memmert .....................................................94
Lampiran 10 Sertifikat Kalibrasi Moisture Analysis ...............................................95
Lampiran 11 Template Laporan Validasi dengan Excel..........................................98
Lampiran 12 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian
Pertama ......................................................................................................99
Lampiran 13 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian
Kedua .......................................................................................................102
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kadar air pada bahan pangan merupakan faktor yang sangat penting dalam
industri pangan untuk menentukan kualitas dan ketahanan pangan terhadap
kerusakan yang mungkin terjadi. Penentuan kadar air biasanya diperlukan untuk
menghitung kadar komponen pangan lainnya (Nielsen, 2010).
Air memiliki peran yang sangat penting dalam bahan pangan, pada produk
pangan segar kadar air merupakan indikator tingkat kesegaran dan kualitas
tekstural, sedangkan pada produk pangan olahan terutama produk pangan kering
kadar air sangat menentukan stabilitas produk selama masa penyimpanan (umur
simpan produk). Bagi sebagian pelaku industri pangan, kadar air adalah salah satu
parameter penentu penerimaan atau penolakan suatu produk, oleh sebab itu metoda
atau prosedur yang akan digunakan untuk mengukur kadar air harus disepakati
terlebih dahulu oleh pihak – pihak yang bertransaksi sebelum kontrak penjualan
ditandatangani.
Untuk produk berbentuk bubuk atau serbuk, ada dua metoda pengukuran
kadar air yang lazim digunakan oleh industri pangan yaitu: metode Loss on drying
(LOD) dan metode titrimetri Karl Fischer. Hampir seluruh perisa bubuk produksi
PT Givaudan Indonesia diukur kadar airnya dengan metoda Loss on drying (LOD)
standar menggunakan oven (SNI 01-2891-1992 butir 5.1), terkecuali untuk perisa
yang mengandung bahan yang mudah teroksidasi atau menguap akibat pemanasan
seperti ethanol, minyak esensial, asam lemak jenuh dan tanin. Bubuk perisa jenis
tersebut diukur kadar airnya menggunakan metoda Karl Fischer. Menurut
Andarwulan (2011) penggunaan metoda LOD untuk mengukur kadar air bahan
yang mengandung senyawa yang mudah menguap atau teroksidasi dapat
menyebabkan nilai kadar air hasil pengukuran akan lebih besar dari nilai
sebenarnya, karena kehilangan berat yang terjadi akan dianggap sebagai air yang
2
B. Tujuan Penelitian
C. Manfaat Penelitian
Durasi umur simpan suatu bahan pangan dibatasi oleh perubahan biologis,
kimia, dan fisika yang berlangsung dan terus berlanjut dalam bahan tersebut.
Kelanjutan dan laju proses perubahan itu, kesemuanya sangat dipengaruhi oleh
kadar air dan aktifitas air (water activity). Semakin tinggi kadar air suatu bahan
pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya baik sebagai akibat
aktivitas biologis internal (metabolisme) maupun masuknya mikroba perusak.
Pengurangan kadar air bahan pangan akan berakibat berkurangnya ketersediaan air
untuk menunjang kehidupan mikroorganisme dan juga untuk berlangsungnya reaksi
– reaksi fisikokimiawi. Dengan demikian baik pertumbuhan mikroorganisme
maupun reaksi fisikokimiawi keduanya akan terhambat, bahan pangan akan dapat
bertahan lebih lama dari kerusakan. Pengaturan kadar air merupakan salah satu
basis dan kunci terpenting dalam teknologi pangan (Kupriannoff. 1958).
Sekitar 60-95% total berat bahan pangan adalah air, komponen ini merupakan
komponen paling dominan dibanding komponen pangan yang lain seperti lemak,
minyak, protein, karbohidrat, mineral, garam, dan asam. Di dalam bahan pangan,
air dapat berperan sebagi fasa kontinyu dimana substansi lainnya terdispersi dalam
bentuk molekular, koloida atau sebagai emulsi. Garam - garam seperti NaCl, citrat
atau fosfat dapat meningkatkan daya ikat air adonan yang didominasi oleh protein,
hal seperti ini dapat diamati pada proses pengolahan daging giling atau sosis.
Keberadaan air dan pendistribusiannya di dalam sistem biologis adalah faktor yang
sangat penting untuk diperhitungkan, perubahan kandungan air (water content) dan
cara pendistribusiannya akan menyebabkan perubahan nyata pada produk pangan
(Kupriannoff. 1958).
Pada industri bubuk perisa, kadar air merupakan parameter penting yang
diukur dan dilaporkan dalam rangka pengendalian mutu produk. Kadar air
merupakan penentu kestabilan produk bubuk perisa selama penyimpanan, dimana
tinggi rendah parameter ini akan sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu
organoleptik terutama penampakan, warna dan rasa, serta terjadinya penggumpalan
selama produk ini disimpan. Dalam perdagangan bubuk perisa kadar air adalah
6
salah satu kriteria utama penerimaan dan penolakan produk, oleh karenanya metoda
pengukuran parameter ini menjadi sangat penting dan harus disepakati terlebih
dahulu oleh pemasok dan konsumen sebelum suatu transaksi dijalankan.
A.1. Keberadaan Air dalam Bahan Pangan Ditinjau dari Derajat Keterikatan
Semua produk pangan mengandung air, di dalam bahan pangan air dapat
dijumpai dalam bentuk air bebas dan air terikat ”bound water” dengan derajat
keterikatan yang beragam. Menurut Kupriannoff (1958) terdapat empat
kemungkinan bentuk keterikatan air dalam bahan pangan yang dipengaruhi
komposisi kimia dan struktur fisika bahan:
1. Air bebas yang terdapat dalam bentuk murni sebagai air permukaan, air ini
tidak termasuk sebagai komponen produk tetapi berasal dari luar seperti
kondensasi atau proses pencucian dan lain-lain. Air tersebut dapat di
kelompokkan sebagai air bebas selama tidak bercampur atau bereaksi pada
komponen permukaan bahan.
2. Air yang terikat secara kimiawi pada beberapa jenis garam, air jenis ini bisa
dalam bentuk ikatan valensi (contoh NaOH) atau sebagai hidrat (contoh
CoCl2.6H2O). Air yang terikat secara kimia ini tidak dapat dilepaskan dengan
proses pangan dengan menggunakan metoda biasa.
3. Air yang teradsorbsi membentuk lapisan tipis mono atau polimolekular pada
permukaan internal atau ekternal produk akibat adanya gaya tarik antar molekul,
atau terakumulasi di dalam pori - pori halus karena kondensasi kapiler.
4. Air hidratasi yaitu air yang teradsorbsi oleh substansi koloid yang
menyebabkan pembengkakan massa gel, kondisi ini dapat terjadi karena
karakter dipolar dari air.
Dari keempat bentuk di atas, maka bentuk yang dinyatakan pada butir 3 dan 4
adalah bentuk air terikat yang terpenting dalam bahan pangan.
Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1989), Winarno (1992), dan
Kusnandar (2010) berdasarkan derajat keterikatannya air dalam bahan pangan
dapat dibedakan menjadi empat tipe:
7
• Tipe I adalah air yang secara molekular terikat pada komponen lain (seperti
protein atau karbohidrat) membentuk hidrat melalui suatu ikatan hidrogen yang
berenergi besar. Pembentukan hidrat menyebabkan air tipe ini tidak lagi
memiliki sifat yang sama dengan sifat air murni, yakni tidak dapat membeku
dan hanya sebagian saja yang dapat dihilangkan dengan proses pengeringan
biasa. Air tipe ini sering kali disebut air terikat dalam arti sebenarnya.
• Tipe II, adalah molekul-molekul air yang terdapat pada permukaan bahan
pangan yang bersifat hidrofilik. Molekul – molekul air ini berikatan satu sama
lain dengan ikatan hidrogen membentuk lapisan monolayer atau multilayer.
Sebutan lain air tipe II adalah air teradsorbsi ”adsorbed water”. Dibanding air
normal air tipe ini lebih susah dihilangkan/diuapkan selama proses pengeringan,
jika air tipe II dihilangkan seluruhnya maka kadar air bahan akan berkisar antara
3-7%.
• Tipe III adalah molekul air yang ditemukan permukaan jaringan matriks bahan
seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe ini hanya terikat secara
fisik sehingga mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan
mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Karena sifat – sifatnya, air tipe
III sering kali disebut sebagai air bebas ”free water”. Apabila air tipe ini
diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12-25%
• Tipe IV. Air tipe ini tidak memiliki ikatan apapun dengan matriks jaringan
bahan pangan, dan sifat-sifatnya sama dengan air murni dengan keaktifan
penuh.
Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses
kerusakan bahan pangan misalnya proses mikrobiologi, kimiawi, enzimatik, bahkan
aktivitas serangga perusak (Sudarmadji et al 2003).
Menurut Kuprianoff (1958) telah diterima secara umum bahwa air terikat
didefinisikan sebagai bagian dari kadar air produk yang akan tetap berada dalam
bahan ini dalam kondisi tak berubah (terikat) setelah dilakukan prosedur
pengeringan biasa seperti pembekuan, dehidrasi kimia, dan lain-lain (cara ini hanya
dapat menghilangkan air bebas saja). Air jenis ini hanya dapat dihilangkan dengan
jalan memanaskan produk pada suhu 100–110 °C untuk waktu yang cukup lama.
Jika air yang teruapkan pada suhu 100-110 °C disebut sebagai kadar air total
8
produk, maka kadar air terikat sama dengan kadar air total dikurangi kadar air
bebas.
A.2. Kadar Air dan Kestabilan Produk Pangan Selama Masa Simpan
Air yang tekandung dalam bahan pangan dapat menjadi penentu apakah
produk tersebut dapat dijual dan telah memenuhi standar produksi. Kandungan air
tersebut dapat mempengaruhi daya simpan, kecepatan penggumpalan produk
bubuk, kestabilan terhadap kontaminan mikrobiologi, kemampuan daya alir atau
curah produk, total padatan kering, konsentrasi atau kemurnian, kesesuaian dengan
perjanjian, nilai nutrisi, dan kesesuaian dengan peraturan pemerintah.
Kadar air adalah banyaknya air yang terkandung dalam bahan pangan yang
dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu parameter penting dalam
menentukan kualitas bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan,
tekstur dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut
menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi
menyebabkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak,
sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Dwijoseputro,1994).
Pada sebagian besar produk pangan, air merupakan komponen penyusun yang
memiliki proporsi paling besar. Dari sisi fungsional pentingnya keberadaan air
dalam produk pangan tidak hanya sebatas kuantitasnya saja. Air adalah komponen
penentu karakter tekstural dan estetis buah-buahan dan sayuran, dimana hilangnya
air dari produk ini akan berakibat pada penurunan kualitas. Ketersediaan air juga
merupakan prakondisi yang menjadi syarat utama terjadinya reaksi kimia dan
pertumbuhan mikroba, atau dengan kata lain air adalah salah satu unsur yang paling
bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan mikrobiologis, enzimatis, dan kimia
produk pangan. Pengaruh air terhadap stabilitas bahan pangan tidak hanya terletak
pada sisi kuantitasnya semata, namun harus dilihat juga dari sisi efektivitasnya,
parameter yang mampu menjelaskan masalah ini adalah Aw atau aktivitas air (Berk.
2009).
Keberadaan air adalah penentu karakteristik struktural atau turgiditas sel, dan
lebih jauh nilai gizi serta citarasa bahan pangan. Menurut Kuprianoff (1958),
proses pengeringan akan punya pengaruh besar terhadap karakter tersebut dan dapat
9
menjadi penentu besarnya perubahan yang tak dapat kembali ”irreversible changes”
selama masa simpan produk yang telah dikeringkan. Hal terpenting yang wajib
diperhatikan dalam pengeringan pangan yaitu kandungan air harus diturunkan
hingga satu nilai dimana proses mikrobiologis, enzimatis, dan kimia penyebab
kerusakan pangan dapat dihambat lajunya selama masa simpan produk.
Tingkat ”irreversible changes” yang akan terjadi pada produk pangan kering dalam
masa simpan sangat bergantung kepada kandungan air produk ini, hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut penurunan kandungan air berakibat pada pengurangan
permukaan kontak (permukaan dimana terjadi reaksi) fasa cair dan juga effect
penghambatan ”inhibitive effect” pada sistem enzim akibat peningkatan konsentrasi
enzim pada fasa cair. Faktor suhu penyimpanan penting pula untuk diperhatikan
karena ”irreversible changes” akan dipercepat pada penyimpanan di suhu yang
lebih tinggi.
Nilai kadar air saja tidak dapat menjelaskan seberapa kuat molekul air terikat
dalam bahan pangan sehingga tidak lagi tersedia untuk reaksi kimia, aktivitas
enzim, dan pertumbuhan mikroba, sulit mencari hubungan antara parameter ini
dengan kestabilan atau keawetan pangan. Sebaliknya aktivitas air (aw) adalah
kuantifikasi tingkat air yang ada atau tersedia untuk interaksi hidrasi, pertumbuhan
mikroba dan kimia dan reaksi enzimatik (Bhandari dan Adhikari. 2008), parameter
ini adalah penduga yang baik potensi kerusakan bahan pangan selama penyimpanan.
Aktivitas air merupakan salah satu parameter hidratasi yang menunjukkan
jumlah air bebas dalam bahan pangan yang dapat digunakan oleh mikroorganisme
untuk pertumbuhannya (Winarno. 1992; Syarief & Halid. 1993). Nilai aw suatu
bahan atau produk pangan dinyatakan dalam skala 0 sampai 1. Nilai 0 berarti dalam
makanan tersebut tidak terdapat air bebas, sedangkan nilai 1 menunjukkan bahwa
bahan pangan tersebut hanya terdiri dari air murni. Nilai aw suatu bahan pangan
dapat diturunkan antara lain dengan cara menambahkan suatu senyawa yang dapat
mengikat air (Estiasih & Ahmadi. 2009).
Sama halnya dengan kebutuhan terhadap tingkat keasaman (pH),
mikroorganisme juga mempunyai nilai aw minimum, maksimum dan optimum
untuk tumbuh dan berkembang biak (Estiasih & Ahmadi. 2009). Hubungan antara
nilai aw dengan laju reaksi/pertumbuhan relatif dapat dilihat pada gambar 1.
10
Kapang, khamir, dan bakteri ternyata memerlukan nilai aw yang paling tinggi
untuk pertumbuhannya. Nilai aw terendah dimana bakteri dapat hidup adalah 0,86.
Bakteri-bakteri yang bersifat halofilik atau dapat tumbuh pada kadar garam tinggi
dapat hidup pada nilai aw yang lebih rendah yaitu 0,75. Sebagian besar makanan
segar mempunyai nilai aw = 0,99. Pada produk pangan tertentu supaya lebih awet
biasa atau dilakukan penurunan nilai aw.
Nilai aw bahan pangan bersifat dinamis, nilai ini akan naik atau turun
mengikuti perubahan kondisi kelembaban dan suhu udara yang berada disekitarnya.
Ketika air berinteraksi dengan zat terlarut ”solutes” sebenarnya air tidak
sepenuhnya tersedia untuk interaksi ini. Aktivitas air adalah kesetimbangan yang
tercapai di dalam sebuah sistem pada semua fasanya yang mengandung air, dan
definisikan sebagai perbandingan tekanan uap terhadap tekanan uap air murni pada
suhu yang sama (Bhandari and Adhikari. 2008; Berk. 2009). aw dapat
11
dimana:
P _ tekanan parsial uap air bahan pangan pada suhu T
P0_ kesetimbangan tekanan uap air murni pada suhu T
dimana :
P’= tekanan parsial dari uap air di udara.
Jika bahan pangan telah mencapai kesetimbangan dengan udara, maka P = P’.
Maka selanjutnya aktifitas air dari bahan pangan adalah sama dengan kelembaban
relatif atmosfir pada saat kesetimbangan. Oleh karenanya terkadang aktifitas air
diekspresikan sebagai kesetimbangan kelembaban relatif (ERH, equilibrium
relative humidity).
Bila bahan pangan dengan kadar air tinggi disimpan di lingkungan dengan
kelembaban relatif yang rendah (kering), maka sebagian air dari bahan tersebut
akan berangsur bermigrasi ke lingkungannya (desorpsi) hingga kondisi
kesetimbangan tercapai. Sebaliknya, bila pangan berkadar air rendah disimpan pada
lingkungan dengan kelembaban relatif yang tinggi, maka pangan tersebut akan
menyerap air (adsorbsi) hingga terbentuk kondisi kesetimbangan. Kadar air yang
terukur pada kondisi kesetimbangan dengan lingkungan dikenal sebagai kadar air
kesetimbangan (Equilibrium Moisture Content /EMC).
12
Menurut Berk (2009) hubungan antara kadar air (gram air per gram bahan
kering) dan aktivitas air pada suhu konstan disebut ”sorpsi isotermis uap air” (the
water vapor sorption isotherm) atau ”sorpsi isotermis kelembaban” (moisture
sorpstion isoterm) dari suatu bahan pangan. Bentuk umum hipotetik dari sebuah
sorpsi isotermis ditunjukkan pada gambar 2 di bawah ini.
relatif sedikit, akibatnya bahan jenis ini akan mempunyai aw yang rendah
(Wulanriky. 2011).
Suatu material dapat mencapai kadar air keseimbangannya melalui dua
alternatif pendekatan : dengan penyerapan uap air (adsorpsi) atau dengan
pengeringan (desorpsi). Pada tingkat kadar air yang sama, nilai tekanan uap
kesetimbangan suatu material yang bersifat porous (memiliki banyak pori dan
kapiler) dapat saja berbeda, hal ini mungkin terjadi karena penentuan nilai tersebut
tergantung pada pendekatan mana yang diambil. Fenomena ini dikenal
sebagai ”hysteresis” (gambar 1).
Kadar air keseimbangan akan tercapai bilamana material berinteraksi dengan
lingkungannya dalam waktu yang cukup lama. Dalam proses penyetimbangan,
terjadi difusi air secara merata diseluruh bagian material, kadar air material akan
terus berubah sampai kesetimbangan tercapai. Proses perubahan ini mengikuti
perubahan kondisi yang terpantau pada permukaan material (pv, T). Pada kondisi
kesetimbangan, terjadi proses distribusi air internal yang berlangsung secara tetap di
dalam material. Secara teoritis dibutuhkan waktu yang tidak terbatas untuk
mencapai kondisi kesetimbangan, namun untuk kebutuhan praktis terdapat sejumlah
prosedur dan metode perhitungan waktu kesetimbangan dengan tingkat akurasi
yang dapat diterima (Molnar. 2006).
Kurva sorpsi isothermis ditentukan secara eksperimental, sampel bahan
pangan ditempatkan dalam wadah tertutup yang telah diketahui RHnya (gambar 3)
hingga sampel ini mencapai kadar air kesetimbangan. Setelah setimbang, maka
sampel akan dianalisis kadar airnya (Berk. 2009)
Tabel 1 Nilai RH yang dibentuk oleh larutan garam jenuh pada berbagai suhu
Kadar air dari bahan pangan dapat ditentukan dengan berbagai metode, tapi
untuk memperoleh data yang akurat dan tepat umumnya adalah tantangan tersendiri
(Nielsen. 2010). Metode yang berbeda menghasilkan nilai kadar air yang berbeda
pula sebagaimana di jelaskan sebagai berikut :
• Pengeringan dengan oven konveksi: di samping air akan ikut teruapkan pula
sedikit komponen volatil. Seringkali sampel tidak benar-benar kering karena
pemanasan dengan cara konveksi tidaklah cukup kuat. Nilai pengukuran akan
berada di atas kadar air (water content) tetapi di bawah kadar air total (total
moisture content)
• Moisture Analyzer otomatis, yang memanfaatkan lampu inframerah atau
halogen sebagai sumber panas. Pengeringan dengan inframerah atau halogen
selain menguapkan air juga akan menguapkan komponen yang sangat sulit
menguap. Kadar air total bahan ditentukan dengan pemanasan intensif
menggunakan metode pengeringan adsorpsi. Dalam kebanyakan kasus, nilai
pengukuran berada di atas hasil pengukuran referensi menggunakan metode
pengeringan oven. Analisis kadar air menggunakan alat ini tergolong cepat,
tetapi sangat bersifat “matrix dependent“ (masalah yang sering terjadi
penyumbatan pori atau terjadinya pembakaran/pengerasan pada permukaan)
dan membutuhkan pengujian trial-and-error untuk menentukan pengaturan
yang benar untuk level energi dan waktu.
• Pengering air gelombang mikro dapat menguapkan air dan hanya sedikit
komponen sangat volatil. Berkat prinsip pengeringan adsorpsi, terorientasi atau
dipoles, maka nilai pengukuran sangat dekat pada kadar air dan biasanya lebih
rendah dari hasil pengeringan dengan oven.
• Metode titrasi Karl Fischer menentukan jumlah molekul air dengan reaksi kimia.
Nilai ukur sesuai dengan kadar air dengan akurasi tertinggi.
Menurut Kern & Sohn GmbH (2012), terdapat dua metode referensi yang diakui
secara internasional metode oven dan Karl Fischer. Semua metode lain harus
disesuaikan dengan salah satu dari dua metode tersebut jika diperlukan.
17
Kadar air dalam sampel dapat diukur secara gravimetri atau loss on drying
(LOD) dengan menentukan penurunan berat dalam sampel setelah ditempatkan
pada oven yang sesuai (oven konveksi, vakum, atau microwave) untuk waktu
tertentu. Pada metode gravimetri, diasumsikan bahwa hanya air yang akan
dihilangkan dalam proses pengeringan, dimana pada kenyataanya ada komponen
volatil yang turut hilang. Metode ini hanya membutuhkan sejumlah kecil sampel
homogen dan dapat mengukur secara efektif kandungan air pada kisaran 0,01%
sampai 99,99% (Rennie. 2001).
Prinsip dari metode pengering dengan menggunakan oven adalah bahwa air
yang terkandung dalam suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut dipanaskan
pada suhu 105o C selama waktu tertentu hingga tercapai berat konstan. Perbedaan
antara berat sebelum dan sesudah dipanaskan adalah kadar air (Astuti. 2007). Berat
dinyatakan sudah konstan bilamana hasil dua kali penimbangan berturut – turut
pada tingkat presisi tertentu, hasilnya tidak berbeda lebih dari 0,25% (Kenkel.
2003).
Suhu pengeringan untuk penentuan kadar air yang ditetapkan dalam SNI 01-
2891-1992 butir 5.1 adalah 105°C dengan waktu pengeringan selama 3 jam.
Asumsi dasarnya adalah bahwa air bertitik didih 100°C, sehingga dengan
pemanasan 5°C di atas suhu didih air, diharapkan semua air dalam bahan dapat
diuapkan. Cara tersebut relatif mudah dan murah untuk dilakukan.
Metode pengeringan dengan pemanasan (LOD) tidak cocok digunakan untuk
sampel uji yang banyak mengandung zat yang mudah menguap karena hasil uji
akan lebih besar dari yang sebenarnya (Andarwulan. 2011). Kelemahan cara
gravimetri menggunakan pemanasan ini adalah bahan lain selain air ikut menguap
bersama dengan uap air misal alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain.
Reaksi yang bisa terjadi selama pemanasan dapat menghasilkan air atau zat mudah
menguap, contoh : gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak
mengalami oksidasi dan lain-lain. Air menjadi terikat kuat di dalam bahan dan sulit
dilepaskan meskipun sudah dipanaskan.
Meskipun pengukuran kehilangan berat bahan karena penguapan air sering
18
digunakan untuk menghitung kadar air, namun harus ditunjukkan bahwa nilai yang
diperoleh tersebut bukanlah hasil kadar air yang sebenarnya. Pada beberapa contoh,
hanya sebagian saja dari air yang terkandung akan hilang pada suhu pengeringan,
sedangkan air terikat sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Ada kecenderungan
jumlah air yang hilang akan meningkat jika suhu dinaikkan. Beberapa sampel yang
mengandung kadar lemak tinggi bisa menunjukkan hilangnya minyak yang mudah
menguap pada suhu pengeringan 100oC.
Kehilangan berat bahan dapat dipengaruhi faktor-faktor seperti ukuran
partikel, berat sampel yang digunakan, jenis wadah yang digunakan, dan variasi
suhu dalam oven dari rak ke rak. Dengan demikian, sangatlah penting untuk
membandingkan hasil yang diperoleh dengan menggunakan kondisi pengeringan
yang sama.
Pada umumnya, metode gravimetri hanya memerlukan sejumlah kecil sampel
(antara 1 dan 10 g tergantung yang pada kadar airnya). Oleh karena itu,
homogenitas sampel sangat kritis dan perlu diperhatikan secara khusus. Harus
dipastikan bahwa sampel yang akan diukur telah rata tercampur merata sebelum
diambil untuk analisis. Metode yang digunakan untuk homogenisasi akan
tergantung pada jenis sampel yang dianalisis. Blender, pengaduk mekanik, mesin
pencacah, pengolah makanan, dan parut umumnya digunakan untuk sampel kering,
lembab, dan sangat basah. Karena perangkat ini menghasilkan panas, sangat
penting untuk mencegah terjadinuya over homogenize, yang menyebabkan kadar air
akan hilang. Setelah sampel telah benar-benar homogen, maka penting kiranya
untuk dengan segera mengukur kadar air sampel atau bila membutuhkan waktu
tunda memindahkannya terlebih dahulu ke suatu wadah kaca atau plastik yang
kering dan tertutup rapat. Dalam metode gravimetri, kadar air yang rendah hanya
akan menghasilkan kehilangan berat yang sangat kecil setelah pengeringan.
Penting diperhatikan untuk mencegah sampel terkontaminasi saat sampel
dikeringkan atau pada saat dipindahkan ke oven atau desikator. Jangan memegang
wadah dengan tangan telanjang, gunakan penjepit atau sarung tangan. Gunakan
penutup wadah bila sampel mudah berbuih atau memercik saat dipanaskan. Hal ini
dapat mencegah kontaminasi silang dengan sampel disebelahnya di dalam oven
(Ruiz. 2001).
19
LOD adalah metode analisis kadar air rutin pada industri farmasi. Pada
industri ini biasanya menggunakan alat pengukur kadar air meliputi alat timbang
yang dilengkapi wadah metal bulat yang dapat diisi dengan granula contoh, dimana
terdapat koil pemanas listrik besar di atasnya. Pada saat kumparan listrik memanas,
berat sampel secara otomatis dimonitor dan persentase kadar air dihitung dan dan
dapat terlihat pada alat. Ketika persentase yeang termonitor mencapai kestabilan
maka alat akan berbunyi dan persentase kadar air sampel ditampilkan (Kenkel.
2003).
Sebagian kecil radiasi akan dipantulkan atau terserap oleh sampel. Kuantitas
energi radiasi yang dipantulkan tersebut tergantung pula pada warna sampel, apakah
sampel tersebut berwarna terang atau gelap. Untuk bahan berwarna gelap dapat
digunakan suhu yang lebih rendah. Kedalaman penetrasi radiasi infra red (IR)
tergantung pada permeabilitas sampel, dimana pada permeabilitas rendah, radiasi IR
hanya menembus lapisan atas. Konduktivitas panas dari substansi menentukaan
20
transportasi panas lebih lanjut ke dalam lapisan yang lebih dalam. Konduktivitas
panas yang lebih tinggi, maka pemanasanpada bahan akan semakin cepat dan lebih
homogen, oleh karenanya perlu diingat bahwa substansi harus didistribusikan
secara merata berupa lapisan tipis pada wadah sampel. Hasil pengukuran yang
berkualitas sangat tergantung pada persiapan sampel yang optimal dan pemilihan
parameter utama yang tepat seperti ukuran sampel, suhu pengeringan, kriteria
penghentian analisis, lama pengeringan, dan lain - lain. Suhu optimum dan lama
pengeringan yang dibutuhkan akan tergantung pada jenis dan ukuran bahan serta
hasil akurasi pengukuran yang diinginkan. Kesemuanya hanya bisa ditentukan
dengan percobaan (Kern & Sohn GmbH. 2012).
Moisture Analyzer HB43-S dengan teknologi halogen yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan metode
oven antara lain:
Pengukuran kadar air dengan metode Karl Fischer ini dalam bahasa Inggris
lebih dikenal sebagai water content. Cara ini mentitrasi sampel dengan larutan iodin
dalam metanol. Reagen lain yang digunakan dalam titrasi ini adalah sulfur dioksida
dan piridin. Metanol dan piridin digunakan untuk melarutkan yudium dan sulfur
dioksida agar reaksi dengan air menjadi lebih baik. Selain itu piridin dan metanol
akan mengikat asam sulfat yang terbentuk sehingga akhir titrasi dapat lebih jelas
dan tepat. Selama masih ada air dalam bahan, iodin akan bereaksi tetapi begitu air
habis, maka iodin akan bebas. Titrasi dihentikan pada saat timbul warna iodin
bebas. Untuk memperjelas pewarnaan maka dapat ditambahkan metilen biru dan
akhir titrasi akan memberikan warna hijau. I2 dengan metilen biru akan berubah
warnanya menjadi hijau. Cara titrasi ini telah berhasil dipakai untuk penentuan
kadar air dalam alkohol, ester-ester, senyawa lipida, lilin, pati, tepung gula, madu,
dan bahan makanan yang dikeringkan. Cara ini banyak dipakai karena memberikan
nilai yang tepat dan dikerjakan cepat. Tingkat ketelitiannya lebih kurang 0,5 mg dan
dapat ditingkatkan lagi dengan sistem elektroda yaitu dapat mencapai 0,2 mg
(Sudarmadji. 2003).
Pada saat titrasi dilakukan pada sampel dengan pereaksi Karl Fischer, yang
mengandung yodium dan sulfur dioksida, maka jumlah yodium akan berkurang
jumlahnya karena belerang dioksida bereaksi dengan air yang berasal dari sampel.
Air bereaksi dengan reagen KF secara stoikiometri dimana volume pereaksi KF
yang diperlukan untuk mencapai titik akhir dari titrasi (yang ditentukan secara
visual, conductometric, atau coulometric) berhubungan secara langsung dengan
jumlah air dalam sampel.
Titrasi Karl Fischer biasanya digunakan untuk penentuan air dalam senyawa
organik dan beberapa sample yang sebagian terurai jika digunakan pada metoda
gravimetri (Nielsen. 2010).
Tidak seperti pengukuran gravimetrik yang merupakan metode tidak langsung
dimana semua volatile turut pula dihilangkan, titrasi Karl Fischer adalah metode
langsung yang hanya spesifik untuk air. Metode ini biasanya digunakan untuk
mengukur kadar air yang rendah (<1%) dan dapat mengukur sampai pada kadar air
23
<0,01%. Metode titrasi Karl Fischer biasanya digunakan untuk mengukur kadar air
sampel yang mengandung gula dalam jumlah cukup tinggi atau konsentrasi yang
tinggi pada gula dan protein, yang mungkin terurai jika menggunakan metode
gravimetri.
Metode KF ini adalah air dititrasi dengan larutan metanol anhydrous yang
mengandung yodium, sulfur dioksida serta piridin yang berlebihan. Titrasi ini
didasarkan pada reaksi yodium dan belerang dioksida yang hanya dapat terjadi jika
terdapat air, di mana Py mewakili piridin. Hasil Py-SO3 bereaksi lebih lanjut
dengan metanol untuk membentuk methylsulfate anion:
Yodium akan bereaksi dengan dengan rasio stoikiometri 1:1 di dalam larutan
alcohol. Dalam larutan yang tidak mmengandung alcohol, reaksi antara yodium dan
air akan terjadi dalam rasio stoikiometrik 1:2 seperti berikut:
Dari persamaan itu dapat dilihat bahwa setiap satu molekul air membutuhkan satu
mol yodium. Titik akhir titrasi ditentukan oleh adanya perbahan warna dimana
sampel dititrasi dengan pereaksi Karl Fischer sampai warna yodium permanen
tampak (menunjukkan air telah semua bereaksi). Reaksi lain yang terjadi pada
24
sample maka perubahan warna biasanya dari kuning sampai kecoklatan, yang sulit
untuk dideteksi secara visual. Jumlah sampel berwarna yang cukup tinggi dapat
mempengaruhi titik akhir titrasi secara visual (Ruiz. 2001).
Titik akhir yang lebih tajam dapat diperoleh jika titrasi dilakukan secara
electrometric. Pada titrasi tersebut dua elektroda platinum kecil dicelupkan ke
dalam sel titrasi, tegangan konstan kecil dapat dideteksi oleh elektroda dan setiap
aliran arus akan diukur oleh galvanometer. Pada titik akhir titrasi baik minimum
atau meningkat dari nilai nol. Secara komersial telah tersedia instrumen Karl
Fischer yang bekerja berdasarkan prinsip ini dengan mikroprosesor semi-otomatis
(Ruiz. 2001).
Ada beberapa faktor penting yang yang harus diperhatikan pada saat
melakukan pengukuran kadar air menggunakan metode Karl Fischer :
Perbandingan molar H2O:I2 juga dipengaruhi oleh jumlah air dalam sampel. J.C.
Verhoff dan E. Barenrecht, mengamati kenaikan titer dengan kadar air lebih
besar dari 1 mol/L. Namun tidak ada konsekuensi untuk aplikasi praktisnya,
karena konsentrasi air dalam pelarut secara signifikan lebih rendah. (Anonim.
1999).
Instrumen komersial dapat diklasifikasikan menjadi baik Karl Fischer
kolumetrik atau volumetrik. Pada pengukuran Karl Fischer kolumetrik jumlah air
25
yang akan bereaksi dengan mengukur jumlah listrik (dalam kolom) yang diperlukan
untuk reaksi secara lengkap antara air dan reagen Karl Fischer pada elektroda
dengan efisiensi 100%. Keuntungannya adalah bahwa larutan standar tidak
diperlukan di sini. Sensitivitas sangat tinggi (<10 g air) dan sangat berguna untuk
penelusuran.
Dalam titrasi Karl Fischer volumetrik, analisis didasarkan pada pengukuran
volume larutan standar (reagen Karl Fischer) yang harus ditambahkan untuk
bereaksi dengan air. Konsentrasi air dapat ditentukan dari volume reagen dengan
konsentrasi yang telah diketahui yang ditambahkan sampai mencapai titik akhir.
Penitrasi Karl Fischer volumetrik mengharuskan reagen Karl Fischer untuk
distandarisasi, namun tingkat kadari air dari 10 ppm hingga 100% dapat diukur.
Jenis titrator yang dipilih tergantung pada kebutuhan individu (penelusuran
atau pengukuran dengan ketelitian tinggi) dan anggaran titrator Karl Fischer
koulometrik umumnya biaya lebih mahal dari pada titrator Karl Fischer volumetrik.
Meskipun tidak sensitif pada jumlah kadar air yang sangat rendah dibandingkan
titrator kulometri Karl Fischer, titrasi volumetrik Karl Fischer membolehkan suatu
range yang lebih besar dalam pengukurannya.
Karl Fischer merupakan metode yang lebih sensitif yang berhubungan dengan
kelembaban apapun, bahkan dari lingkungan sekitarnya yang pengaruhnya harus
dihilangkan sebanyak mungkin. Instrumen komersial tersedia dengan wadah kaca
dan penutup, yang menjaga kontaminasi kelembaban untuk minimum. Sebagai
tambahan, instrumen ini dapat dipasang dengan lubang ke bejana reaksi di mana
sampel dapat ditambahkan secara langsung. Kerugian penambahan "langsung" dari
sampel adalah adanya partikulat dan bahan yang terdekomposisi dalam bejana
reaksi, yang pada akhirnya harus dibuang dengan lebih sering.
Analisis kadar air yang banyak digunakan adalah metode gravimetri terutama
karena biaya yang lebih tinggi dari peralatan dan penggunaan bahan kimia dalam
metode Karl Fischer (Ruiz. 2001).
26
Müller (2007) menyatakan bahwa perisa adalah kategori pangan penting yang
secara sengaja ditambahkan pada bahan pangan. Perisa adalah bahan konsentrat
yang disiapkan dengan tujuan utama untuk memberikan rasa terkecuali bahan yang
secara eksklusif telah memiliki rasa manis, asam, dan asin. Perisa ditambahkan
dalam jumlah kecil pada bahan pangan dan tidak ditujukan untuk dikonsumsi secara
langsung. Semua substansi yang ditambahkan pada bahan pangan disebut sebagai
ingredient, misalnya flavour atau perisa, warna, emulsifier, garam dan sebagainya
yang dibedakan antara bahan alami dan sintetik menurut asalnya. Pada beberapa
Negara, perisa diklasifikasikan sebagai bahan tambahan makanan (food additive)
seperti di Amerika dan Jepang. Di bagian negara lainnya, flavour dipertimbangkan
sebagai suatu bentuk bahan pangan yang spesial seperti di Eropa.
Menurut SNI (2006) tentang bahan tambahan pangan, perisa adalah bahan
tambahan makanan (BTM) yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan
untuk memberikan aroma atau rasa atau keduanya (citarasa), akan tetapi bahan ini
tidak ditujukan untuk dikonsumsi secara langsung.
Berdasarkan asal bahan baku aromatik yang digunakan, perisa di
kelompokkan dalan perisa alami, perisa identik alami, dan perisa buatan. Jika
dilihat dari bentuk perisanya, perisa dibagi dalam bentuk cair yaitu campuran perisa
cair dan perisa emulsi, perisa semi padat yaitu minyak kental (viscous oil) dan
perisa pasta, perisa bubuk, platting atau dispersi perisa, dan perisa terenkapsulasi.
Perisa dapat menjadi cukup kompleks dan jumlahnya cukup banyak.
Perisa adalah substansi yang dapat memberikan sensasi rasa. Empat rasa dasar
dapat dirasakan pada bagian belakang lidah adalah rasa manis, asin, asam dan pahit.
Perisa menggunakan bahan alami, artifisial, atau kombinasi dan dapat berupa cairan
atau bentuk kering. Secara umumnya jenis perisa yang ada adalah buah-buahan,
dairy, meat, sayuran, minuman, dan liquor.
Perisa juga diklasifikasikan ke dalam kelompok rempah penting, perisa alami
dan artifisial. Material yang digunakan untuk untuk perisa dapat dikelompokkan
sebagai rempah dan bahan herbal, minyak esensial dan ekstraknya, buah dan jus
buah, dan senyawa alifatik, aromatik dan terpen (Igoe & Hui. 2001).
27
Menurut Müller (2007), perisa dapat terdiri dari perisa substansi, preparat
perisa, perisa proses, perisa asap, dan perisa pendukung. Terdapat tiga kategori pada
sustansi perisa yang didefinisikan oleh IOFI Code of Practice dan EU Flavour
Directive 88/388/EEC [1, 2]:
1. Natural flavouring substances, berasal dari bahan alami
2. Nature-identical flavouring substance, berasal dari bahan identik alami
3. Artificial flavouring substances, berasal dari bahan sintetik
Bahan Baku
Proses Pencampuran
Pengayakan (CCP)
Pengambilan Sampel
untuk QC
Penimbangan &
Pengemasan
Pemaletan
dan laktosa adalah bahan yang banyak dimanfaatkan sebagai ’filler’ dalam perisa
bubuk, karakteristik ketiga bahan ini patut ditelisik lebih dalam.
Tepung Tapioka
Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan,
antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Tapioka yang
diolah menjadi sirup glukosa dan destrin sangat diperlukan oleh berbagai
industri, antara lain industri kembang gula, penggalengan buah-buahan,
pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Tapioka juga banyak
digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam
industri makanan, seperti dalam pembuatan puding, sop, makanan bayi, es
krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain. (kadar air: 6-
12%)
Maltodekstrin
diperoleh dari hasil hidrolisis sebagian pati, berbentuk granula atau serbuk
kering (kadar air: ≤ 5%) berwarna putih yang bersifat agak higrokopis.
Maltodekstrin mudah larut atau terdispersi dalam air membentuk larutan yang
jernih sampai agak berkabut.
Laktosa
Berupa serbuk kristal (kadar air: ≤ 6% ) berwarna putih sampai putih krem,
tidak berbau sampai sedikit berbau khas dengan rasa manis. Bisa berupa
anhidrat atau mengandung satu molekul air hidrat, atau mengandung
campuran kedua bentuk tersebut jika disiapkan dengan proses pengeringan
semprot. Larut dalam air, sangat sukar larut dalam alkohol, tidak larut dalam
kloroform dan eter.
Presisi
Mengacu pada pengulangan pengukuran. Pengukuran yang berulang-ulang dapat
memberikan hasil yang menyimpang sedikit satu sama lain dalam batas-batas
jumlah angka signifikan yang didapat, maka dapat dikatakan bahwa data yang
didapat adalah tepat, atau bahwa hasil menunjukkan tingkat presisi yang tinggi.
30
Rata-rata data tersebut mungkin atau mungkin tidak mewakili nilai riil dari
parameter itu, yang artinya bisa menjadi tidak akurat (Kenkel. 2003).
Ketika sampel di ukur beberapa kali jarang dihasil masing-masing pengukuran bisa
sama. Presisi adalah pengukuran dari variasi yang ada. Semakin dekat nilai
pengukuran antara masing-masing hasil, maka hasilnya lebih presisi. Jadi presisi
adalah indikator dari hasil pengukuran yang dihasilkan secara berulang-ulang
(Harvey. 2000)
Akurasi
Berkaitan ketepatan dari pengukuran atau seberapa dekat hasil terhadap nilai
sebenarnya. Sebagai contoh jika diketahui berat sebenarnya dari suatu objek adalah
1.0000 g, maka akurasi penimbangan dapat ditentukan. Objek bisa ditimbang untuk
melihat apakah timbangan akan menunjukkan 1.0000 g. Jika beberapa pengulangan
menunjukkan hasil antara 0.9998 and 1.0002 g, maka dapat dikatakan bahwa hasil
penimbangan tersebut presisi dan akurat. Jika hasil pengulangan penimbangan
antara 0.9983 and 0.9987 g, maka dapat dikatakan hasil penimbangangan tersebut
presisi namun tidak akurat. Jika pengulangan penimbangan memberikan hasil
antara 0.9956 and 0.9991 g, maka dapat dikatakan data tersebut tidak presisi dan
akurat. Akhirnya, jika keseluruhan hasil penimbangan memberikan hasil antara
0.9956 and 1.0042 g, dimana reratanya adalah 1.0000 g, maka penimbangan
tersebut dapat dikatakan akurat namun tidak presisi. Hal ini dapat diilustrasikan
pada gambar 6 berikut ini (Kenkel. 2003)
Menurut Harvey (2000), akurasi adalah seberapa dekat hasil percobaan
dengan hasil yang diinginkan. Jika hasil pengukuran dari alat penimbang hasilnya
lebih dari batas limit presisi maka dapat dikatakan bahwa alat tersebut perlu
dikalibrasi.
31
Kalibrasi
Mengacu pada prosedur untuk memastikan bahwa alat tersebut memberikan hasil
yang sesuai pada nilai tertentu. Sebagai contoh alat penimbang seperti telah
didiskusikan di sebelumnya, terkadang alat tersebut dapat secara elektronik
disesuaikan atau di adjust untuk memberikan hasil seperti yang telah diketahui.
Namun kalibrasi juga bisa mengacu pada prosedur dimana hasil pengukuran yang
sebelumnya tidak diketahui menjadi diketahui. Sebagai contoh pada alat
spectrofotometer dimana nilai adsorbance pada larutan dengan konsentrasi dapat
dikenali oleh alat tersebut.
Sebelum prosedur dapat memberikan informasi analisis yang berguna, sangatlah
penting untuk menunjukkan kemampuan yang memberikan hasil yang dapat
diterima. Validasi adalah evaluasi apakah presisi dan akurasi dapat diperoleh
dengan mengikuti prosedur yang sesuai untuk permasalahan yang ada. Sebagai
tambahan, validasi menentukan apakah prosedur tertulis telah cukup detail sehingga
analis atau laboratorium yang berbeda yang mengikuti prosedur yang sama dapat
memberikan hasil yang sebanding. Idealnya validasi dilakukan dengan
menggunakan sampel standard dimana komposisi sangat dekat dengan sampel yang
prosedurnya sedang dirancang (Harvey. 2000)
32
Gambar 7 Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap hasil analisis “One Way
ANOVA”
Untuk melalukan analysis of variance, setiap kelompok data harus diambil dari
populasi distribusi normal dan kesemuanya harus mempunyai standard deviasi yang
sama. Sejumlah kecil sampel tidak sesuai untuk menggunakan metode ini.
Analysis of variance dimulai dengan perumusan stastistik pengujian hipotesa untuk
melihat perbedaan antara rata-rata populasi. Hipotesis nol adalah :
Dimana merupakan suatu keharusan untuk semua rata-rata perlakuan adalah sama.
Sebagai contoh, Ho sebagai nul hipotesis adalah desain wadah mempengaruhi pada
penjualan, dimana pada peneliti sangat tertarik apakah ada perbedaan antara rata-
rata populasi yang ada dan hipotesis alternatifnya adalah sebagai Hα.
Ini dapat dikatakan sebagai satu perlakuan yang menghasilkan rata-rata hasil yang
berbeda. Teknik statistik yang digunakan dalam contoh ini dikenal sebagai single-
factor ANOVA yang dikenal juga sebagai F-tes karena perhitungan hasil dalam
bentuk angka sebagai F. Berdasarkan nilai F maka keputusan dapat diambil apakah
diterima atau tidak diterima terhadap hipotesa nol (null hypothesis). Ketika
keputusannya adalah ditolak terhadap hipotesa nol, maka kesimpulan yang diambil
adalah terdapat perbedaan antara rata-rata populasi yang ada (Rafter et al, 2002).
Dalam perhitungan, Kuadrat Tengah Galat (KTG) diperoleh dari analisis
ragam, dimana jumlah banyaknya ulangan dinyatakan sebagai ragam (r), α sebagai
taraf nyata, p adalah banyaknya perlakuan tidak termasuk kontrol (p = t-1),
sedangkan dfe adalah derajat bebas galat.
Sumber F F
Db JK KT Fhitung
Keragaman 5% 1%
Perlakuan t–1 JKP JKP/(t-1) KTP/KTG
JKG/(rt-
S Galat (rt-1)-(t-1) JKG t)
JKP+JK
Total Rt-1 G
Dimana :
34
Menurut Rumsey (2009), kesimpulan dapat diambil dalam one of two ways
dimana nilai p tercapai atau nilai kritis termendekati (F-statistik). Kaitan nilai p
untuk F-tes terletak pada faktor baris dibawah kolom dengan judul P, nilai statistik
F-tes terletak pada baris baris dibawah kolom F.
telah ditentukan sebelumnya (umumnya 0.05). α = 0.05 adalah yang paling umum
dipakai pada distribusi F.
Berdasarkan table-F, titik kritis dicari dan dibandingkan dengan perhitungan
statistik F pada F-distribution yang sesuai dengan derajat bebas (k – 1, n – k) untuk
menarik kesimpuan:
• Ho ditolak, jika perhitungan statistik F keluar (lebih atau kurang) dari nilai yang
ditemukan dalam table F, tidak Dapat dikatakan paling sedikit dua perlakuan
atau populasi yang memiliki rata-rata yang berbeda.
• Ho diterima, jiak perhitungan statistik F lebih kecil dati nilai table F.
Dibutuhkan penilaian yang objektif yang lebih dalam, pada saat inilah ‘follow up’
atau ‘post hoc’ dibutuhkan. Disebut demikian karena secara tradisional hanya
digunakan setelah ANOVA terbukti berbeda secara signifikan, meskipun
sebenarnya tidak ada aturan untuk mengikuti urutan tersebut.
Menurut Rowe (2007), uji ANOVA hanyalah uji statistik yang menguji
signifikasi. Analysis of variance hanya memberitahukan apakah terdapat perbedaan
antara perlakuan yang ada, namun tidak memberitahukan perlakuan mana yang
berbeda dengan lainnya atau seberapa besar perbedaan antara pasangan perlakuan
yang ada. Follow-up tes memperbaiki kedua kekurangan tersebut :
• Dunnett’s – membandingkan satu populasi kontrol terhadap lainnya (satu
perlakuan dipilih sebagai kontrol atau populasi acuan. Semua perlakuan
kemudian dibandingakan dengan kontrol)
• Tukey’s – membandingkan semua populasi terhadap lainnya (semua populasi
dibandingkan dengan populasi lainnya pada setiap pasangan yang
memungkinkan)
3. Mengumpulkan data dari random dari sample k, satu dari tiap populasi.
4. Gunakan uji F pada data dari langkah ketiga, gunakan hipotesis dari langkah
kedua dan temukan nilai p.
5. Buat kesimpulan : jika Ho ditolak (ketika nilai p lebih kecil dari 0.05 atau dari
nilai α yang telah ditentukan), simpulkan bahwa dua dari rata-rata populasi
adalah berbeda atau simpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menolak Ho,
dapat dikatakan rata-ratanya adalah berbeda (Rumsey. 2009).
dengan benar, dengan menolak paling tidak salah satu atau sebanding, memiliki
paling tidak satu interval kepercayaan tidak termasuk nilai yang benar.
Banyak metode prosedur multiple comparison. Sebagian besar membandingkan
rata-rata dari pasangan kelompok atau menentukan mana yang berbeda secara
signifikan. Variasi metode berbeda pada seberapa baik dapat mengendalikan tingkat
perbedaan nyata secara keseluruhan. Salah satunya adalah tes Dunnett yang
digunakan untuk membandingkan sample (kontrol) terhadap setiap perlakuan,
namun tidak membandingkan antara tiap perlakuan.
Tes Dunnett digunakan saat sebuah perlakuan dipilih dan disebut sebagai
kontrol atau kelompok acuan. Tes Dunnett akan memperlakukan satu populasi
sebagai acuan dan kemudian membandingkannya terhadap perlakuan lainnya.
Tingkat kepercayaan diperhitungkan antara tiap pasangan perlakuan. Jika interval
tidak termasuk nol diperbandingan secara stastistik, hasilnya akan nyata. Jika
interval diperhitungkan untuk memberikan perbandingan lebih kecil 5 per resiko
yang dihasilkan maka akan menghasilkan kesalahan positif maka keseluruhan
perbandingan akan di kumpulkan dengan total 5 per resiko (Rowe. 2007).
O'Mahony 1986 menjelaskan bahwa Tes Dunnett digunakan jika semua rata-
rata akan dibandingkan dengan satu rata-rata yang disebut sebagai kontrol. Tes
Dunnett membandingakan rata-rata populasi yang ada dan ini spesifik dirancang
untuk kondisi dimana semua populasi dibandingkan terhadap satu acuan populasi.
Secara umum digunakan setelah ANOVA telah menolak hipotesis dari
kesebandingan rata-rata dari distribusi. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi
populasi yang memiliki rata-rata yang berbeda nyata dari rata-rata populasi acuan.
Uji tesebut adalah hipotesis nol dimana tidak ada populasi denga rata-rata berbeda
nyata dari rata-rata populasi kontrol.
Menurut Rafter et al (2002), karena kontrol sangat penting pada Tes Dunnett
maka perlu mempunyai jumlah sample yang lebih banyak dari populasi lainnya.
Aturan yang berlaku untuk mengoptimalisasi prosedur yaitu jika setiap populasi
percobaan k-1 memiliki nilai n, maka populasi kontrol harus memiliki nilai kira-
kira . Jika populasi percobaan memiliki jumlah sample yang berbeda, rata-
rata jumlah sample harus dikali dengan untuk memutuskan jumlah sample
populasi kontrol.
Tes Dunnett menuntut semua populasi mempunyai jumlah sampel yang sama.
Jika ANOVA ditolak berdasarkan persamaan hipotesis, maka pertanyaan
populasi mana yang memiliki rata-rata yang berbeda nyata dengan populasi kontrol.
Tes Dunnett dengan sukses membandingkan :
• Populasi kontrol vs populasi 1 (H0 : µ t = µ 1 / H1 : µ t µ 1),
• Populasi kontrol vs populasi 2 (H0 : µ t = µ 2 / H1 : µ t µ 2),
• Populasi kontrol vs populasi 3 (H0 : µ t = µ 3 / H1 : µ t µ 3).
Dimana Mi adalah rata-rata dari populasi percobaan ke-i, Mc adalah rata-rata dari
populasi kontrol, MSE adalah rata-rata dari akar kesalahan yang dihitung dari
analysis of variance dan nh adalah rata-rata jumlah sample populasi percobaan dan
kontrol yang harmonis (Rafter et al. 2002).
Untuk pasangan (kontrol, populasii ), jika ti observed adalah lebih besar dari nilai kritis
tcritical rata-rata dari grup i dinyatakan berbeda nyata dari rata-rata grup kontrol.
Dimana µI adalah rata-rata dari populasi percobaan dan µc adalah rata-rata populasi
kontrol. Perbedaan nyata tampak ketika interval kepercayaan untuk µI - µc tidak
sama dengan nol. Untuk tes one-sided yang lebih rendah dengan laternatif hipotesis
yang sesuai Hα:µI - µc<0, perbedaan nyata ditunjukkan ketika tes one-sided yang
lebih tinggi kurang dari nol. Untuk tes one-sided yang lebih tinggi dengan alternatif
hipotesis yang sesuai adalah Hα:µI - µc>0, perbedaan nyata ditunjukkan ketika tes
one-sided yang lebih rendah lebih besar dari nol (Rafter et all, 2002).
Jika tobserved > tcritical pada beberapa populasi maka H0 yang berkaitan dengan
populasi ini akan ditolak, dan rata-rata populasi mean aan dinyatakan berbeda
nyata dari rata-rata populasi kontrol (pada signifikan level tertentu).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
B. Bahan
C. Peralatan
D. Metode Percobaan
Percobaan dalam penelitian ini terbagi atas tiga tahapan, yaitu (1) penelitian
pendahuluan, (2) penelitian tahap pertama dan (3) penelitian tahap kedua.
memiliki kandungan air awal yang identik dan diketahui secara pasti, maka
dilakukan proses penyeragaman kadar air awal sampel.
Sampel tapioka dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yang berbeda, kelompok A
adalah sampel tapioka yang diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan
garam jenuh MgCl2 (RH25°C=32,73%), kelompok B diseragamkan kadar air awalnya
menggunakan larutan garam jenuh NaCl (RH25°C=75,32%), dan kelompok C
diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan garam jenuh KCl (RH25°C
=84,32%).
Masing – masing kelompok sampel tapioka yang telah mencapai kadar air
kesetimbangan (equilibrium moisture content/EMC) kemudian diukur kadar airnya
menggunakan oven konveksi yang dioperasikan pada suhu tetap 105 °C (sampel
A1) dan Moisture Analyzer Mettler Toledo HB43-S yang dioperasikan pada 7
tingkat suhu yaitu 95 °C (sampel A2), 100 °C (A3), 105°C (sampel A4), 110°C
(sampel A5), 115°C (sampel A6), 120°C (sampel A7), dan 125°C (sampel A8).
Secara skematis skenario percobaan di tahap ini dapat dilihat pada gambar 9.
A2 A3 A4 A5
Mana suhu
A1 yang hasilnya
mendekati ? A6 A7 A8
Suhu yang
menghasilkan
kadar air yang
sama dengan LOD
Penelitian tahap pertama dilakukan terhadap tiga jenis bahan dasar yang biasa
digunakan sebagai bahan pembawa atau bahan pengisi pada produk perisa yaitu
tepung tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan ini bertujuan untuk menentukan
setting suhu pemanasan yang tepat untuk masing–masing bahan pada alat ’Moisture
Analyzer’, sehingga bila nantinya diterapkan untuk pengukuran kadar air, hasil
pengukuran yang didapatkan oleh ’Moisture Analyzer’ akan setara dengan hasil
pengukuran kadar air menggunakan oven konveksi (SNI 01-2891-1992 butir 5.1).
Suhu tersebut akan dijadikan acuan untuk pengukuran kadar air produk bubuk
perisa yang sebagian besar komponennya adalah ketiga bahan dasar yang telah
disebutkan di atas. Skenario penelitian tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 10.
Keterangan:
A = tapioka ; B = maltodekstrin ; C = laktosa
1 = oven 105 °C ; 2 = MA 100 °C ; 3 = MA 105 °C ; 4 = MA 110 °C
Penelitian kedua dilakukan pada bubuk perisa HVP, Garlic, dan Vanilla.yang
sebagian besar komponennya adalah tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan
ini dilakukan untuk memverifikasi apakah setting suhu pemanasan yang telah
didapatkan pada tahap sebelumnya dapat diterapkan untuk analisis kadar air produk
perisa HVP (berbahan dasar maltodekstrin), perisa garlic (berbahan dasar campuran
tapioka - maltodekstrin), dan perisa vanilla (berbahan dasar laktosa). Apabila dapat
ditunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar air ketiga produk ini menunjukkan
perilaku yang sama dengan hasil pengukuran pada bahan dasarnya, maka
selanjutnya metoda pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer HB43-S
untuk produk - produk perisa jenis lain akan mengikuti metoda pengukuran bahan
dasarnya. Skenario penelitian tahap kedua dapat dilihat pada Gambar 11. Khusus
untuk perisa vanilla dilakukan pula pengukuran kadar air menggunakan metoda
titrimetri Karl Fischer karena produk ini banyak mengandung bahan – bahan yang
diperkirakan akan terdekomposisi bila terekspose panas tinggi.
Keterangan:
A = perisa HVP ; B = perisa garlic ; C = perisa vanilla
1 = oven 105 °C ; 2 = MA 100 °C ; 3 = MA 105 °C ; 4 = MA 110 °C
Penyeragaman kadar air sampel tapioka yang digunakan pada tahap penelitian
pendahuluan dilakukan dengan cara menempatkan sample uji ke dalam beberapa
desikator/wadah kedap udara yang didalamnya masing–masing telah ditempatkan
larutan garam jenuh (A) MgCl2 RH 25°C = 32,73%, (B) NaCl RH 25°C = 75,32%, dan
KCl (C) RH 25°C = 84,32%. Wadah kedap udara/desikator tersebut selanjutnya
disimpan dalam inkubator bersuhu konstan 25°C selama 3 (tiga) minggu. Di akhir
penyimpanan diharapkan kadar air sampel telah mencapai kadar air kesetimbangan
(equilibrium moisture content) sesuai dengan kondisi RH udara penyimpanan.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 12 Persiapan wadah proses penyeragaman kadar air
46
Tabel 6 Nilai RH yang dibentuk oleh 3 larutan garam jenuh yang digunakan pada
suhu 25oC
(d) (e)
E. Metoda Pengamatan
Cawan alumunium atau botol timbang bertutup dikeringkan pada suhu 105 °C
selama 1 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang, diisi dengan contoh yang akan
ditentukan kadar airnya, ditimbang dengan seksama sebanyak 1 sampai 2 gram.
Sampel tersebut dikeringkan pada di oven suhu 105 oC hingga diperoleh bobot
tetap. atau sampai tercapai berat konstan.
Gambar 14 Alat oven Memmert yang digunakan untuk pengujian kadar air.
dan tekan tombol mulai, maka alat akan mentitrasi sampel dan setelah titik akhir
terdeteksi oleh elektroda, maka hasil kadar air atau water content (%) akan tercetak
secata otomatis.
A. Penelitian Pendahuluan
Tabel 7 Peningkatan kadar air tepung tapioka pada suhu 100oC dengan MA pada
berbagai aw
Pada pengujian pendahuluan ini beberapa sampel diambil dari wadah yang berisi
larutan garam jenuh untuk melihat apakah tepung tapioka yang ditaruh di
dalamnya telah mencapai kesetimbangan atau belum. Penyimpanan dilakukan
selama 21 hari karena belum diketahui berapa lama tepung tapioka perlu disimpan
sampai kesetimbangan tercapai. Dari tabel 7 didapatkan informasi baru bahwa
tepung tapioka yang dikondisikan pada berbagai RH tersebut telah mencapai
kesetimbangan pada hari ke-9 penyimpanan pada suhu 25oC.
Berikut ini adalah hasil rata-rata perhitungan kadar air tepung tapioka basis
kering dan basis basah yang telah dikondisikan pada berbagai RH yang telah
mencapai kesetimbangan ERH (equilibrium relative humiditt) yang diukur pada
berbagai suhu pengukuran yang berbeda untuk mendapatkan suhu pengukuran
52
yang sesuai yang dapat digunakan pada pengujian selanjutnya. Hasil kadar air
yagn didapat dapat disebut sebagai EMC (equilibrium moisture content).
Perhitungan ANOVA dan Dunnett dilakukan pada tepung tapioka yang disimpan
pada larutan garam jenuh MgCl2 (RH=32,72) pada tabel 9 dan 10 hasil
perhitungan kadar air basis basah, sedangkan tabel 12 dan 13 yang merupakan
hasil perhitungan menggunakan basis kering.
Tabel 8 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis basah di berbagai
ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda
Rata-rata kadar air basis basah pada Tapioka
diukur dengan alat dan suhu yang berbeda
Garam RH aw
Oven MA MA MA MA MA MA MA
105 95 100 105 110 115 120 125
MgCl2 32,72 0,33 9,1534 8,6500 8,7567 9,2533 9,4100 9,6867 9,8800 10,1050
NaCl 75,32 0,75 14,5486 14,0867 14,4667 14,7433 14,8900 15,0400 15,2533 15,4000
KCl 84,32 0,84 16,4765 16,1267 16,2700 16,4567 16,7767 16,9567 17,0133 17,2533
Tabel 9 ANOVA tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2 (RH=32,72)
pada 7 suhu pengukuran yang berbeda
Sumber
DB JK KT Fhitung F 5% F 1%
Keragaman
Perlakuan 7.00 5.57 0.80 110.15 2.92 3.73
Galat 16.00 0.12 0.01
Total 23.00 5.69
Tabel 10 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2
(RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda
Tabel 11 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis kering (g/100 g
padatan) diberbagai ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda
Rata-rata kadar air basis kering pada Tapioka
diukur dengan alat dan suhu yang berbeda
Garam RH aw
Oven MA MA MA MA MA MA
105 MA 95 100 105 110 115 120 125
MgCl2 32,7 0,33 10,0757 9,4692 9,5971 10,1970 10,3875 10,7257 10,9632 11,2409
NaCl 75,3 0,75 17,0257 16,3966 16,9135 17,2929 17,4950 17,7025 17,9988 18,2034
KCl 84,3 0,84 19,7270 19,2274 19,4316 19,6984 20,1588 20,4191 20,5013 20,8508
53
Tabel 12 ANOVA tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2 (RH=32,72)
pada 7 suhu pengukuran yang berbeda
Sumber
DB JK KT Fhitung F 5% F 1%
Keragaman
Perlakuan 7,00 8,25 1,18 111,06 2,92 3,73
Galat 16,00 0,17 0,01
Total 23,00 8,42
Tabel 13 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2
(RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda
Dari tabel data di atas terlihat bahwa hasil pengukuran EMC menggunakan
moisture analyzer yang diatur pada suhu 105 °C menunjukkan hasil yang paling
mendekati hasil pengukuran menggunakan oven konveksi UM-400 yang
diperlakukan sebagai kontrol. Uji ANOVA terhadap data–data tersebut
membuktikan bahwa sekurang–kurangnya terdapat 95% yang memiliki hasil F
hitung kurang dari F tabel 2.92 seperti tampak pada tabel 10 dan 12. Selanjutnya
dengan uji lanjutan Dunnett dapat dibuktikan bahwa hasil pengukuran EMC
tepung tapioka menggunakan moisture analyzer HB43-S yang diatur pada suhu
105 °C adalah secara statistik setara dengan hasil pengukuran menggunakan oven
konveksi UM-400. Hasil pengukuran dengan MA 105°C tidak berbeda nyata
dengan hasil pengukuran pada oven 105°C seperti tampak pada tabel 11 dan 13.
Untuk detail perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4.
Dari hasil percobaan pendahuluan ini maka dapatkan suhu yang akan
dipakai untuk pengujian selanjutnya adalah 105oC beserta suhu di bawah dan
diatasnya +/- 5oC.
54
14
Kadar Air
12
10
8
6
4
2
0
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90
Aktifitas Air (aw )
Gambar 15 Grafik sorpsi isotermis tepung tapioka basis kering pada kondisi
setimbang pada tapioka pada suhu penyimpanan 25oC
memberikan hasil pengukuran yang setara dengan hasil pengukuran kadar air
bahan-bahan tersebut menggunakan metoda standar yang selama ini digunakan.
Pada percobaan ini sampel – sampel tepung tapioka diukur kadar airnya
menggunakan satu Moisture Analyzer yang sama namun diukur pada 3 (tiga) suhu
yang berbeda yaitu suhu 100, 105, 110oC, hasil pengukuran yang didapat
dibandingkan dengan hasil pengukuran kadar air menggunakan metoda oven
konveksi (SNI 01-2891-1992 butir 5.1). Seperti tampak pada tabel 14, rata-rata
pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer yang diukur pada suhu
105 oC memberikan hasil kadar air 9,78%, mendekati hasil pengukuran
menggunakan oven yang diset pada suhu yang sama yaitu 9,7589%.
Uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji post hoc menggunakan tes
Dunnett seperti tampak pada tabel 15 dan Lampiran 5 (5.1), membuktikan bahwa
pengukuran kadar air sampel tapioka menggunakan alat Moisture Analyzer yang
diatur pada suhu 105oC secara statistik hasilnya tidak berbeda nyata dengan hasil
pengukuran kadar air sampel tapioka yang diukur dengan oven 105oC. Oleh
karena itu dapat disimpulkan untuk tepung tapioka, metoda pengukuran kadar air
menggunakan Moisture Analyzer yang diatur pada suhu 105oC dapat
menggantikan metoda oven konveksi yang selama ini digunakan sebagai metoda
standar untuk pengukuran kadar air.
56
B.2. Maltodekstrin
Kadar air maltodekstrin diukur dengan alat Moisture Analyzer HB43-S pada
tiga suhu yang berbeda (100, 105, 110oC) untuk mengetahui hasil kadar air mana
yang mendekati hasil pengukuran dengan metode oven UM-400. Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa kadar air maltodekstrin yang diukur dengan alat
Moisture Analyzer pada suhu 105 oC memberikan hasil kadar air 5,20% yang
hasilnya mendekati dengan kadar air yang diukur dengan alat oven pada suhu
yang sama yaitu 5.2055% seperti tampak pada Tabel 16.
Beda
Moisture analyzer vs oven Mutlak Nilai d Hasil
(|Yi-Yj|)
MA 100oC vs Oven 105oC 0,353 0,096 Beda Nyata
MA 105oC vs Oven 105oC 0,005 0,096 Tidak Nyata
MA 110oC vs Oven 105oC 0,093 0,096 Beda Nyata
B.3. Laktosa
sulit keluar dari sampel tersebut. Penggunaan suhu pemanasan yang cukup tinggi
(suhu 70-100oC) dapat menyebabkan laktosa mengalami dekomposisi dan terurai
menghasilkan senyawa yang bersifat volatil, sehingga hal ini dapat mempengaruhi
data kadar air yang diperoleh.
Untuk menganalisis kadar air sampel bahan pangan yang mengandung gula
khususnya fruktosa atau laktosa, AOAC (1984) merekomendasikan metoda LOD
menggunakan oven vakum suhu 60-70oC. Metode pemanasan sebenarnya kurang
sesuai digunakan untuk mengukur kadar air laktosa, karena sifatnya yang peka
dan mudah terdekomposisi bila terkena panas. Kadar air bahan seperti ini akan
lebih tepat bila diukur menggunakan metode Karl Fischer yang tidak
membutuhkan pemanasan pada proses analisisnya. Berdasar kekhususan sifat
yang dimilikinya, untuk laktosa dan produk bubuk perisa yang dibuat dari bahan
ini metode Karl Fischerlah yang dijadikan sebagai metoda referensi analisis kadar
air, bukan metoda oven konveksi. Pereaksi Karl Fischer sangat sensitif terhadap
air sehingga metode ini dapat diaplikasikan untuk analisis kadar air bahan pangan
yang mempunyai kandungan air yang sangat rendah seperti produk minyak/lemak,
gula, madu dan bahan kering.
Tabel 19 Data hasil perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Laktosa
Tabel 21 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa HVP
Pada Tabel 20 terlihat kecenderungan ’trend’ hasil analisis kadar air perisa
HVP, memiliki kemiripan dengan hasil analisis kadar air untuk maltodeksrin
(tabel 15). Pemanasan sampel pada suhu 105oC baik pada oven konveksi maupun
Moisture Analyzer menghasilkan nilai kadar air perisa HVP yang berdekatan
yakni 3,2348% untuk oven dan 3.26% untuk Moisture Analyzer. Sedangkan
pengukuran kadar air sampel HVP yang dilakukan menggunakan Moisture
Analyzer bersuhu 100, dan 110 °C hasilnya berbeda dengan hasil analisis
menggunakan oven konveksi 105 °C. Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan
statistik dengan menggunakan tes Dunnett seperti tampak pada Tabel 21 dan
Lampiran 6.
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan untuk perisa HVP, metode
pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer 105oC dapat menjadi
alternatif pengganti bagi metode oven konveksi 105oC. Untuk perisa yang
memiliki kemiripan karakteristik dengan perisa HVP, metode pengukuran kadar
airnya menggunakan Moisture Analyzer kemungkinan dapat didasarkan pada
metode pengukuran kadar air maltodekstrin.
Tabel 23 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Garlic
Pada perisa Garlic, hasil pengukuran kadar air (Table 22) dengan
menggunakan Moisture Analyzer pada suhu 100oC (5,45%) memberikan hasil
yang mendekati hasil pengukuran dengan metode oven (5,4985%) sebagaimana
diperkuat dengan hasil pada perhitungan statistik tes Dunnett (Tabel 23). Hal ini
dapat terjadi kemungkinan karena dua hal, perisa garlic selain mengandung 10%
asam lemak tidak jenuh juga bahan baku lainnya yang sensitif terhadap panas dan
intensitas pemanasan yang lebih tinggi pada alat moisture analyser halogen.
Menurut Andarwulan 2011, senyawa yang mudah menguap seperti etanol, minyak
esensial dan senyawa mudah menguap lainnya serta senyawa yang mudah
teroksidasi seperti asam lemak tidak jenuh dan tanin dapat menyebabkan nilai
kadar air yang diperoleh menjadi lebih besar dari sesungguhnya karena
kehilangan berat yang terjadi dianggap sebagai air yang hilang. Pemanasan pada
moisture analyser dapat berlangsung lebih intens dibanding pada oven konveksi,
meskipun alat ini dioperasikan pada suhu yang lebih rendah (100 °C). Pada
moisture analyser pemanasan sampel tidak hanya sebatas permukaannya saja,
karena sistem pemanasan pada alat ini memanfaatkan gelombang
elektromagnetik pada spektrum inframerah yang mampu menembus ke bagian
dalam sampel sehingga didapatkan pemanasan yang lebih merata.
Dari hasil pengujian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa
untuk perisa garlic pengukuran kadar air menggunakan moisture analyser dengan
suhu pemanasan 100 °C dapat menggantikan metoda oven 105 °C, kedua metoda
tersebut dianggap dapat memberikan hasil pengukuran yang setara.
61
Perisa vanilla mengandung 80% laktosa. Hampir sama dengan perilaku atau
tren hasil pengukuran kadar air laktosa, seperti tampak pada Table 24 hasil
pengukuran kadar air perisa vanilla dengan alat Moisture Analyzer memberikan
hasil yang tidak konsisten dengan hasil pengukuran menggunakan perangkat KF,
sebaliknya pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven UM-400
(4,9179%) mendekati rata-rata kadar air dengan metode KF (4,43%).
Tabel 24 Data kadar air Perisa Vanilla pada beberapa jenis metode.
Water
Content Kadar Air (%)
KF Oven 105oC MA 100oC MA 105oC MA 110oC
Rata-rata 4,43 4,9179 16,11 12,51 17,91
Standar Deviasi 0,1610 0,1584 2,2606 2,1041 1,4921
Koefisien Varian 3,64% 3,22% 14,03% 16,82% 8,33%
Tabel 25 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Vanilla
lebih rendah, metoda ini masih mungkin digunakan untuk mengukur kadar air
produk perisa vanilla.
Dari pengujian pengukuran kadar air yang dilakukan terhadap beberapa jenis
bahan baku dan produk perisa, diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil pengukuran bahan – bahan tersebut menggunakan metode
LOD. Faktor-faktor itu dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, golongan
pertama adalah faktor yang berhubungan dengan proses pemanasan yaitu prinsip
pemanasan (langsung dan tak langsung), suhu pemanasan, dan pemvakuman.
Sedangkan golongan kedua adalah faktor yang berhubungan dengan sifat bahan,
yang termasuk golongan ini adalah struktur dan komposisi bahan.
D. Uji Efisiensi
Salah satu tujuan penggantian metoda oven dengan metoda analisis cepat
menggunakan moisture analyzer adalah penghematan waktu. Dari catatan
penelitian diperoleh fakta bahwa waktu analisis bervariasi tergantung pada jenis
sampelnya (tabel 26 kolom 1). Moisture analyzer dan perangkat KF hanya dapat
digunakan untuk menganalisis 1 (satu) sampel saja dalam setiap siklus operasi,
sedangkan oven dapat menampung sampai 30 sampel per siklus operasi. Untuk
menganalisis 1 sampel maltodekstrin dengan moisture analyzer dibutuhkan
waktu 0,087 jam (5 menit 13,2 detik), bila dilakukan dengan oven akan
membutuhkan waktu 3,26 jam (3 jam 15 menit 36 detik). Bila jumlah sampel
ditingkatkan menjadi 30 sampel maka analisis kadar air menggunakan moisture
analyzer akan membutuhkan waktu 2,6 jam (2 jam 36 menit) sementara dengan
metoda oven diperlukan 3,347 jam (3 jam 20 menit 49,2 detik), seperti
ditunjukkan pada tabel 26 kolom 2. Apabila waktu 3,347 jam, waktu yang
dibutuhkan untuk menganalisis 30 sampel jika digunakan metoda oven, dijadikan
patokan waktu. Maka dalam kurun waktu yang sama bila digunakan moisture
analyzeruntuk maltodekstrin dapat dianalisis sebanyak 38 sampel sedangkan
untuk perisa vanilla hanya dapat dianalisis sebanyak 4 sampel. Sebagai
pembanding bila digunakan perangkat KF dalam waktu 3,347 jam dapat dianalisis
sebanyak 30 sampel vanilla. Untuk produk/bahan yang lain, jumlah sampel yang
dapat dianalisis per 3,347 jam dapat dilihat pada tabel 26 kolom 3.
63
Tabel 26 Waktu untuk analisis kadar air bubuk dan bahan baku perisa
Karl Fischer
Laktosa 0,157 4,717 21
Vanilla 0,107 3,200 30
Dari hasil tersebut tampak waktu analisis maltodekstrin dan perisa HVP
menggunakan Moisture Analyzer suhu 105 oC lebih cepat atau sebanding dengan
metode oven, demikian pula untuk pengujian menggunakan metode Karl Fischer
bagi perisa vanilla. Untuk jumlah sampel lebih dari 30, lama pengujian
menggunakan Moisture Analyzer suhu 105oC menjadi tidak efektif bagi tapioka,
Garlic, dan vanilla dikarenakan waktu pengujian menjadi lebih lama dari pada
metode oven. Hal yang sama dijumpai pada laktosa yang dianalisis menggunakan
perangkat KF.
Dari pengamatan terhadap kerja analis ditemukan bahwa selama waktu
pengeringan 3 jam menggunakan oven, analis bisa melakukan analisis lainnya.
Sangat berbeda keadaannya jika menggunakan Moisture Analyzer atau perangkat
KF, dimana analis harus menunggu di depan alat saat pengujian sampai analisis
selesai dilakukan, sehingga penanganan pekerjaan lainnya banyak yang
terpotong-potong. Secara teknis metode oven efektif untuk menganalisis sampel
dalam jumlah banyak, sedangkan alat moisture analyzer dan perangkat KF efektif
jika digunakan untuk jumlah sampel sedikit. Analisis kadar air menggunakan
metoda Karl Fischer juga butuh perhatian ekstra karena bahan pereaksinya
berbahaya dan tidak aman untuk lingkungan. Disarankan perangkat KF hanya
64
diperuntukan bagi produk berbahan baku turunan gula atau bahan yang kadar
airnya sangat rendah yang tidak mungkin dianalisis menggunakan metoda lainnya.
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah memberikan hasil sebuah
template dalam bentuk Excel yang dapat dipergunakan untuk mempermudah
pelaporan validasi alat maupun metode. Template tersebut dapat dilihat pada
Lampiran 11, dimana analis hanya perlu memasukkan nama metode yang akan
dibandingkan dan kontrol, nama penguji, tanggal, kondisi atau perlakuan kontrol,
serta hasil pengukuran 10 ulangan untuk baik untuk metode yang akan divalidasi
maupun kontrol. Data masukan diketikkan pada bagian yang berwarna kuning.
Uji statistik yang digunakan untuk proses validasi adalah uji Dunnett. Suatu
alat/metoda dikatakan dapat menggantikan alat/metoda yang dianggap sebagai
kontrol apabila hasil uji Dunnett menyatakan hasil pengukuran keduanya tidak
berbeda nyata.
Hasil perhitungan pada template dalam bentuk excel tersebut telah
dibandingkan dengan hasil perhitungan statistik menggunakan program SPSS dan
hasil perhitungannya memberikan hasil yang sama seperti yang dapat dilihat pada
Lampiran 12 dan 13.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Alat moisture analyzer HB43-S dengan setting suhu 105oC dapat digunakan
untuk mengukur kadar air perisa HVP dimana hasilnya tidak berbeda nyata
dengan hasil pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven UM-
400 (dioperasikan pada suhu 105oC). Suhu pengukuran pada 105oC ini sesuai
dengan suhu yang digunakan untuk penelitian terhadap bahan baku tapioka
dan maltodekstrin. Namun untuk perisa Garlic, agar diperoleh hasil
pengukuran kadar air yang mendekati hasil pengukuran kadar air dengan
menggunakan metode oven, setting suhu alat moisture analyzer perlu
diturunkan menjadi 100oC dikarenakan dalam perisa garlic terkandung asam
lemak yang sensitif terhadap panas. Dari hasil penelitian ini didaptkan bahwa
alat moisture analyzer HB43-S dapat menjadi alternatif pengganti metode
oven pada bahan jadi dengan bagan dasar maltodekstrin.
2. Metode yang paling sesuai untuk pengukuran kadar air bahan turunan gula
adalah metode Karl Fischer. Kadar air laktosa dan perisa vanilla
(mengandung 80% laktosa) sebaiknya tidak diukur menggunakan metoda
LOD yang menggunakan panas intens pada proses analisisnya Hal ini
disebabkan sifat-sifat laktosa yang peka terhadap panas (dapat terdekomposisi
dan terpolimerisasi) sehingga data hasil pengukuran kadar air menjadi tidak
akurat. Namun demikian hasil penelitian pada perisa vanilla menunjukkan
bahwa produk ini masih mungkin diukur kadar airnya menggunakan oven
suhu 105 °C. Hasil pengukuran kadar air perisa vanilla menggunakan
perangkat KF tidak berbeda nyata dengan hasil kadar air menggunakan oven.
3. Dalam kondisi normal dan untuk jumlah sampel yang besar (di atas 30
sampel) secara teknis waktu analisis kadar air menggunakan metode oven
masih lebih efektif dibanding waktu analisis menggunakan ‘moisture
66
analyzer’. Namun untuk kondisi mendesak dan dibutuhkan hasil yang cepat
maka alat Moisture Analyzer dapat dijadikan pilihan bilamana sampel yang
akan dianalisis kadar airnya jumlahnya hanya sedikit.
4. Template dalam bentuk Excel yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat
digunakan untuk mempermudah dalam pembuatan laporan intern validasi alat
atau metode. Template ini dapat memberikan hasil perhitungan yang sama
dan sesuai dengan hasil perhitungan menggunakan piranti lunak SPSS.
B. Saran
Pengukuran kadar air pada perisa sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
terkandung di dalamnya. Adanya asam lemak atau oleoresin walaupun
konsentrasinya tidak dominan, dapat memberikan hasil pembacaan kadar air yang
berbeda ketika parameter ini diukur menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S
dan metode oven UM-400. Dengan memanfaatkan apa yang telah dihasilkan dalam
penelitian ini, disarankan untuk memperluas cakupan jenis sampel yang akan diuji
sehingga dapat mencakup keseluruhan produk yang dihasilkan oleh PT Givaudan
Indonesia atau setidaknya produk – produk yang dapat dijadikan model untuk
analisis produk lainnya. Dengan demikian dapat dipetik manfaat yang lebih besar
dari investasi yang telah dikeluarkan untuk pengadaan alat Moisture Analyzer
halogen HB43-S.
DAFTAR PUSTAKA
Bell LN, Labuza TP. 1984. Moisture, Practical Aspects of Isoterm Measurement
and Use, Second Edition 2000. American Association of Cereal Chemist,
Inc.
Bhandari, B.R. and Adhikari B. P. 2008. Water activity in food processing and
preservation in Food. Chen, X.D. and Mujumdar, A.S. (eds). Drying
Technologies in Food Processing. Blackwell Publishing Ltd
Dunnett CW. 1964. New Tables for Multiple Comparisons with a Control.
Biometrics, Vol. 20. No. 3 (Sep. 1964). pp. 482-491, International Biometric
Society.
Igoe, R.S. and Hui, Y.H. 2001. Dictionary of Food Ingredients. Aspen Publishers,
Maryland
68
Kodeks Makanan Indonesia 2001. Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan
RI.
Müller, D.A. 2007. Flavours: the Legal Framework in Berger (Ed.) Flavours and
Fragrances Chemistry, Bioprocessing and Sustainability. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg
Nielsen, S.S. 2010. Food Analysis Laboratory Manual 2nd Edition. Springer
Science+Business Media, LLC
Rafter, J.A., Abell, M.L., AND Braselton, J.P.. 2002. Multiple Comparison
Methods for Means. Siam Review Vol. 44, No. 2, pp. 259-278. Society for
Industrial and Applied Mathematics
Rowe, P. 2007. Essential Statistics For The Pharmaceutical Sciences. John Wiley
& Sons Ltd, England.
Sudarmadji, S, Bambang, H., dan Suhardi. 2003. Analisis Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pusataka Utama.
Hal. 10-14.
69
Winarno FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumsi. Jakarta: Gramedia
Pustaka.
Sumber : Dunnett, CW. 1964. New Tables for Multiple Comparisons with a Control. Biometrics,
Vol. 20. No. 3 (Sep. 1964). pp. 482-491, International Biometric Society.
74
Sumber : Dunnett, CW. 1964. New Tables for Multiple Comparisons with a Control. Biometrics,
Vol. 20. No. 3 (Sep. 1964). pp. 482-491, International Biometric Society.
75
4.2. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air
(EMC) Basis Kering yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh MgCl2
76
4.3. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air
(EMC) Basis Basah yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh NaCl
4.4. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air
(EMC) Basis Kering yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh NaCl
77
4.5. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air
(EMC) Basis Basah yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh KCl
78
4.6. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air
(EMC) Basis Kering yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh KCl
79
7.1. Data waktu analisis metode Oven 105 oC terhadap jumlah sampel
7.1. Data waktu analisis metode MA 105 oC pada Tapioka terhadap jumlah
sampel.
7.2 Data waktu analisis metode MA 105 oC pada Maltodekstrin terhadap jumlah
sampel.
Data waktu analisis metode MA 105oC pada Laktosa terhadap jumlah sampel tidak
diperhitungkan karena hasilnya jauh dari hasil kadar air dengan metode oven.
7.4. Data waktu analisis metode MA 105 oC pada HVP terhadap jumlah sampel.
7.5. Data waktu analisis metode MA 105oC pada Garlic terhadap jumlah sampel.
7.6. Data waktu analisis metode MA 105 oC pada Vanilla terhadap jumlah sampel.
Lampiran 8 Jumlah sampel dengan waktu analisis kurang dari pengujian dengan
metode oven