You are on page 1of 120

VALIDASI METODA PENGUKURAN KADAR AIR BUBUK

PERISA MENGGUNAKAN MOISTURE ANALYZER


HALOGEN HB43-S, SEBAGAI ALTERNATIF METODA
OVEN DAN KARL FISCHER

HILDA KUMALASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Validasi Metoda Pengukuran
Kadar Air Perisa Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S,
Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer adalah karya saya sendiri
dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada peguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam tesks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir Tesis ini.

Bogor, Oktober 2012.

Hilda Kumalasari
NIM F252090165
ABSTRACT

HILDA KUMALASARI. Validation of Moisture Content Method in


Seasoning powder using Moisture Analyzer Halogen HB-43S, as alternative of
Oven and Karl Fischer Method. Under direction of RIZAL SYARIEF and
FAHIM M. TAQI.

In seasoning industries, moisture content of the product is one of important


parameters to be measured and reported to assure the food product quality. The
common analysis method to measure it in the food industry is Loss on drying
(LOD) method by oven and Karl Fischer method. The result of LOD method is
recognized as moisture content, while the result of Karl Fischer method
commonly known as water content. The method that preferably used by PT.
Givaudan Indonesia is Loss on drying method. This research aimed to obtain the
heating conditions (temperature) in Moisture Analyzer Halogen HB43-S which
can make the analysis result of this equipment will close to the result of LOD
method using oven UM-400. The data obtained will be tested statistically using
Dunnett Test method that compare these with the control.
The result revealed that the use of Moisture Analyzer HB43-S at 105oC
provided similar result to oven UM-400 method, however the use of oven
methods is still more efficient rather than using Moisture Analyzer for the higher
number of samples that more than 30. Moisture analyzer efficiently used for the
limited samples only. Base on this research result we will use Moisture Analyzer
method for handling the urgent request only. Karl Fischer method suitable for
derivate sucrose products, it is able to replace oven analysis to measure vanilla
flavour. This validation is needed to give information and data that can be used to
expedite the approval of products.

Keywords: oven method, moisture content, Moisture Analyzer


RINGKASAN

HILDA KUMALASARI. Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa


Bubuk Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif
Metoda Oven Dan Karl Fischer. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF dan
FAHIM M. TAQI.

Pada industri perisa bubuk, kadar air merupakan parameter penting yang
diukur dan dilaporkan dalam rangka pengendalian mutu produk perisa bubuk.
Metode pengukuran kadar air yang banyak digunakan industri adalah dan metode
Loss on Drying (LOD) dengan menggunakan oven dan metode Karl Fischer.
Diantara kedua metode tersebut, metode LOD lebih banyak digunakan di PT.
Givaudan Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suhu pengukuran yang tepat
pada alat Moisture Analyzer HB43-S yang memberikan hasil yang tidak berbeda
nyata dengan hasil kadar air dengan metode oven yang selama ini digunakan.
Hasil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses
pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses
pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke
konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan
contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan
diterapkan di PT Givaudan Indonesia.
Validasi data diperlukan untuk mendapatkan informasi apakah alat tersebut
dapat menggantikan metode oven sehingga dapat digunakan untuk mempercepat
kelolosan produk. Dalam proses validasi tersebut digunakan perhitungan statistik
tes Dunnett yang membandingkan hasil rata-rata seluruh perlakuan dengan data
kontrol. asil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses
pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses
pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke
konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan
contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan
diterapkan di PT Givaudan Indonesia.
Penelitian ini mencakup tiga tahapan penelitian, semua dilakukan dalam
rangka untuk mengembangkan dan memvalidasi metoda pengukuran kadar air
menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S, metoda yang nantinya diharapkan
dapat menjadi alternatif pengganti bagi metoda LOD menggunakan oven dan
metoda Karl Fischer yang selama ini sudah digunakan oleh PT Givaudan
Indonesia sebagai metoda standar pengukuran kadar air produk bubuk perisa.
Penelitian pendahuluan dilakukan terhadap sampel tepung tapioka untuk
melihat kesetaraan hasil pengukuran metoda oven dengan metoda analisis cepat
menggunakan Moisture Analyzer Mettler Toledo Halogen HB43-S. Untuk
memastikan bahwa sampel tapioka yang diukur menggunakan kedua alat tersebut
memiliki kandungan air awal yang identik dan diketahui secara pasti, maka
dilakukan proses penyeragaman kadar air awal sampel.
Sampel tapioka dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yang berbeda, kelompok
A adalah sampel tapioka yang diseragamkan kadar air awalnya menggunakan
larutan garam jenuh MgCl2 (RH25°C=32,73%), kelompok B diseragamkan kadar
air awalnya menggunakan larutan garam jenuh NaCl (RH25°C=75,32%), dan
kelompok C diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan garam jenuh
KCl (RH25°C =84,32%).
Penelitian tahap pertama dilakukan terhadap tiga jenis bahan dasar yang
biasa digunakan sebagai bahan pembawa atau bahan pengisi pada produk perisa
yaitu tepung tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan ini bertujuan untuk
menentukan setting suhu pemanasan yang tepat untuk masing–masing bahan pada
alat ’Moisture Analyzer’, sehingga bila nantinya diterapkan untuk pengukuran
kadar air, hasil pengukuran yang didapatkan oleh ’Moisture Analyzer’ akan setara
dengan hasil pengukuran kadar air menggunakan oven konveksi (SNI 01-2891-
1992 butir 5.1). Suhu tersebut akan dijadikan acuan untuk pengukuran kadar air
produk bubuk perisa yang sebagian besar komponennya adalah ketiga bahan dasar
yang telah disebutkan di atas.
Penelitian kedua dilakukan pada bubuk perisa HVP, Garlic, dan
Vanilla.yang sebagian besar komponennya adalah tapioka, maltodekstrin dan
laktosa. Tahapan ini dilakukan untuk memverifikasi apakah setting suhu
pemanasan yang telah didapatkan pada tahap sebelumnya dapat diterapkan untuk
analisis kadar air produk perisa HVP (berbahan dasar maltodekstrin), perisa
garlic (berbahan dasar campuran tapioka - maltodekstrin), dan perisa vanilla
(berbahan dasar laktosa). Apabila dapat ditunjukkan bahwa hasil pengukuran
kadar air ketiga produk ini menunjukkan perilaku yang sama dengan hasil
pengukuran pada bahan dasarnya, maka selanjutnya metoda pengukuran kadar air
menggunakan Moisture Analyzer HB43-S untuk produk - produk perisa jenis lain
akan mengikuti metoda pengukuran bahan dasarnya.
Hasil penelitian menunjukkan moisture analyzer HB43-S dengan setting
suhu 105oC dapat digunakan untuk mengukur kadar air perisa HVP dimana
hasilnya tidak berbeda nyata dengan hasil pengukuran kadar air dengan
menggunakan metode oven UM-400 (dioperasikan pada suhu 105oC). Suhu
pengukuran pada 105oC ini sesuai dengan suhu yang digunakan untuk penelitian
terhadap bahan baku tapioka dan maltodekstrin. Namun untuk perisa Garlic, agar
diperoleh hasil pengukuran kadar air yang mendekati hasil pengukuran kadar air
dengan menggunakan metode oven, setting suhu alat moisture analyzer perlu
diturunkan menjadi 100oC dikarenakan dalam perisa garlic terkandung asam
lemak yang sensitif terhadap panas. Dari hasil penelitian ini didaptkan bahwa alat
moisture analyzer HB43-S dapat menjadi alternatif pengganti metode oven pada
bahan jadi dengan bagan dasar maltodekstrin.
Didapat pula bahwa metode yang paling sesuai untuk pengukuran kadar air
bahan turunan gula adalah metode Karl Fischer. Kadar air laktosa dan perisa
vanilla (mengandung 80% laktosa) sebaiknya tidak diukur menggunakan metoda
LOD yang menggunakan panas intens pada proses analisisnya Hal ini disebabkan
sifat-sifat laktosa yang peka terhadap panas (dapat terdekomposisi dan
terpolimerisasi) sehingga data hasil pengukuran kadar air menjadi tidak akurat.
Namun demikian hasil penelitian pada perisa vanilla menunjukkan bahwa produk
ini masih mungkin diukur kadar airnya menggunakan oven suhu 105 °C. Hasil
pengukuran kadar air perisa vanilla menggunakan perangkat KF tidak berbeda
nyata dengan hasil kadar air menggunakan oven.

iv
Dalam kondisi normal dan untuk jumlah sampel yang besar (di atas 30
sampel) secara teknis waktu analisis kadar air menggunakan metode oven masih
lebih efektif dibanding waktu analisis menggunakan ‘moisture analyzer’. Namun
untuk kondisi mendesak dan dibutuhkan hasil yang cepat maka alat Moisture
Analyzer dapat dijadikan pilihan bilamana sampel yang akan dianalisis kadar
airnya jumlahnya hanya sedikit.
Template Laporan Validasi dirancang untuk mempermudah pelaporan
dimana analis hanya perlu memasukkan nama metode yang akan dibandingkan
dan kontrol, nama penguji, tanggal, kondisi atau perlakuan kontrol, serta hasil
pengukuran 10 ulangan untuk baik untuk metode yang akan divalidasi maupun
kontrol. Data masukan diketikkan pada bagian yang berwarna kuning. Uji
statistik yang digunakan untuk proses validasi adalah uji Dunnett. Suatu
alat/metoda dikatakan dapat menggantikan alat/metoda yang dianggap sebagai
kontrol apabila hasil uji Dunnett menyatakan hasil pengukuran keduanya tidak
berbeda nyata. Hasil perhitungan pada template dalam bentuk excel tersebut
telah dibandingkan dengan hasil perhitungan statistik menggunakan program
SPSS dan hasil perhitungannya memberikan hasil yang sama.
Kata kunci: metode oven, kadar air, Moisture Analyzer

v
 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

vi
Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk
Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S,
Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer.

HILDA KUMALASARI

Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi pada
Program Studi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr.
Judul Tugas Akhir : Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk
Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S,
Sebagai Alternatif Metoda Oven Dan Karl Fischer.
Nama : Hilda Kumalasari
NIM : F252090165

Disetujui,

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Fahim M. Taqi, STP, DEA
Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Pasca Sarjana IPB


Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.AGR

Tanggal Ujian : 19 April 2012 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, Pengasih dan Penyayang
atas bimbingan dan hikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis
dengan judul Validasi Metoda Pengukuran Kadar Air Perisa Bubuk
Menggunakan Moisture Analyzer Halogen Hb43-S, Sebagai Alternatif
Metoda Oven Dan Karl Fischer.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-


besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief DESS dan Fahim M. Taqi, STP, DEA
sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan saran dalam
penyusunan Tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan moral, bantuan dan
kerja sama dari rekan-rekan di PT. Givaudan Indonesia, terutama kepada Ibu Ade
dan Dwi Wulansari yang telah banyak membantu sehingga penelitian dapat
dijalankan dengan lancar. Juga kepada teman-teman seangkatan dan seluruh
keluarga besar yang sangat mendukung dan memberi semangat serta doa.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih belumlah sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Oktober 2012


Hilda Kumalasari
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1971 dari Bapak A.A.
Pranatadjaja dan Ibu Jeanne Harjanti. Penulis merupakan putri kedua dari tiga
bersaudara. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar sampai dengan sekolah
lanjutan tingkat atas di Sekolah Santa Maria Surabaya sejak tahun 1978-1984,
1984-1987, dan 1987-1990. Penulis diterima di Universitas Surabaya jurusan
Teknik Kimia pada tahun 1990 dan pada tahun 1993 karena tugas orang tua, maka
penulis harus mengajukan cuti selama 1 tahun dan berhijrah ke kota Bogor pada
tahun 1994 dan melanjutkan pendidikan Program Studi S1 di Institut Teknologi
Indonesia jurusan Teknologi Industri Pertanian dan lulus pada tahun 1998. Pada
tahun 2009 penulis menjadi mahasiswa program Magister Profesi Teknologi
Pangan (MPTP). Setelah bekerja selama 12 tahun, penulis melanjutkan program
master pada Program Magister Profesi Teknologi Pangan - Institut Pertanian
Bogor.

Penulis bekerja di PT. Quest International Indonesia sejak tahun 1999. Pada
tahun 2007 perusahaan tersebut dibeli oleh perusahaan lain dan berganti nama
menjadi PT. Givaudan Indonesia sampai sekarang. Departemen yang menjadi
tanggung jawab penulis sejak tahun 1999 sampai saat ini adalah Quality Control
dengan peningkatan jabatan dari QC Technician menjadi QC Supervisor pada
tahun 2004 dan kemudian diangkat menjadi QC Manager sejak tahun 2007
sampai sekarang. Pada bulan Mei 2012 penulis dipindahkan oleh perusahaan
untuk menjadi QC Manager di Givaudan Singapore PTE. LTD.

Bogor, Oktober 2012

Hilda Kumalasari
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL.................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvi
PENDAHULUAN .................................................... Error! Bookmark not defined.
A. Latar Belakang .............................................. Error! Bookmark not defined.
B. Tujuan Penelitian ........................................... Error! Bookmark not defined.
C. Manfaat Penelitian ......................................... Error! Bookmark not defined.
D. Ruang Lingkup Penelitian ............................. Error! Bookmark not defined.

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................5


A. Air dalam Bahan Pangan .................................................................................5
B. Teknik Pengukuran Kadar Air Bahan PanganError! Bookmark not defined.5
D. Pengolahan Data Statistik ............................ Error! Bookmark not defined.9

METODOLOGI PENELITIAN................................................................................41
A. Tempat dan Waktu Penelitian........................................................................41
B. Bahan .............................................................................................................41
C. Peralatan ........................................................................................................41
D. Metode Percobaan .........................................................................................41
E. Metoda Pengamatan ......................................................................................47

HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................................51


A. Penelitian Pendahuluan..................................................................................51
B. Penelitian Tahap Pertama: Pengukuran Kadar Air Bahan Dasar Bubuk
Perisa .............................................................................................................54
C. Penelitian Tahap Kedua: Pengukuran Kadar Air Produk Bubuk Perisa .......58
D. Uji Efisiensi ...................................................................................................62
E. Pembuatan Template Laporan Validasi ......................................................... 64

SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................65


A. Simpulan ........................................................................................................65
B. Saran ..............................................................................................................66

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................67

LAMPIRAN ..............................................................................................................71
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Nilai RH yang dibentuk oleh larutan garam jenuh pada berbagai suhuError! Bookmark not
Tabel 2 Kondisi pengukuran kadar air yang direkomendasikanError! Bookmark not defined.9
Tabel 3 Spesifikasi alat HB43-S ..............................................................................21
Tabel 4 Reagen yang diperlukan untuk analisis Karl Fischer..................................23
Tabel 5 Analisis Varian/Keragaman untuk Rancangan Acak Lengkap...................33
Tabel 6 Nilai RH yang dibentuk oleh 3 larutan garam jenuh yang digunakan pada
suhu 25oC ...................................................................................................46
Tabel 7 Peningkatan kadar air tepung tapioka pada suhu 100oC dengan MA pada
berbagai aw .................................................................................................51
Tabel 8 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis basah di berbagai
ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda .............................................52
Tabel 9 ANOVA tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2 (RH=32,72) pada
7 suhu pengukuran yang berbeda ...............................................................52
Tabel 10 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2
(RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda.................................52
Tabel 11 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis kering (g/100 g
padatan) diberbagai ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda .............52
Tabel 12 ANOVA tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2 (RH=32,72)
pada 7 suhu pengukuran yang berbeda ......................................................53
Tabel 13 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2
(RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda.................................53
Tabel 14 Kadar Air rata-rata Tepung Tapioka .........................................................55
Tabel 15 Perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Tepung Tapioka ............55
Tabel 16 Kadar air rata-rata Maltodekstrin ..............................................................56
Tabel 17 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Maltodekstrin ............56
Tabel 18 Kadar air Laktosa diukur menggunakan beberapa jenis metode. .............57
Tabel 19 Data hasil perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Laktosa .........58
Tabel 20 Kadar air rata-rata perisa HVP..................................................................58
Tabel 21 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa HVP................59
Tabel 22 Kadar air rata-rata perisa Garlic................................................................60
Tabel 23 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Garlic..............60
Tabel 24 Data kadar air Perisa Vanilla pada beberapa jenis metode. ......................61
Tabel 25 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Vanilla ............61
Tabel 26 Waktu untuk analisis kadar air bubuk dan bahan baku perisa ..................63
x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Hubungan laju reaksi/pertumbuhan dengan aktivitas air (Koesnandar.


2010, sumber Labuza.1971).......................................................................10
Gambar 2 Kurva Isoterm Sorpsi Air (sumber:
http://www.lsbu.ac.uk/water/activity.html) ...............................................12
Gambar 3 Eksperimen Sorpsi Isotermis (sumber: Kusnandar 2010)....................13
Gambar 4 Bagian – bagian dari alat Moisture Analyzer HB43-S. ........................21
Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan perisa bubuk di PT Givaudan
Indonesia ....................................................................................................27
Gambar 6 Ilustrasi Akurasi dan Presisi Data (Sumber: Kenkel. 2003) ................31
Gambar 7 Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap hasil analisis “One Way
ANOVA” ...................................................................................................32
Gambar 8 Skema pengujian pada uji Dunnett dari Sumber : Rafter et al (2002) ..38
Gambar 9 Skenario penelitian pendahuluan ..........................................................42
Gambar 10 Skenario penelitian tahap pertama ........................................................43
Gambar 11 Skenario penelitian tahap kedua ...........................................................44
Gambar 12 Persiapan wadah proses penyeragaman kadar air .................................45
Gambar 13 Proses penyeragaman kadar air sampel tapioka ....................................47
Gambar 14 Alat oven Memmert yang digunakan untuk pengujian kadar air.Error! Bookmark not de
Gambar 14 Perangkat autotitrator KF Mettler Toledo DL31 ..................................49
Gambar 15 Grafik sorpsi isotermis tepung tapioka basis kering pada kondisi
setimbang pada tapioka pada suhu penyimpanan 25oC .............................54
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1 SNI 01-2891-1992 Cara uji makanan dan minuman ..........................72
Lampiran 2 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 95%. ................................73
Lampiran 3 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 99%. ................................74
Lampiran 4 Hasil Analisis Penelitian Pendahuluan .................................................75
Lampiran 5 Hasil Analisis Penelitian Pertama terhadap Bahan Baku .....................79
Lampiran 6 Hasil Analisis Penelitian Kedua terhadap Bahan Jadi..........................82
Lampiran 7 Data waktu analisis berbagai metode terhadap jumlah sampel. ...........85
Lampiran 8 Jumlah sampel dengan waktu analisis kurang dari pengujian dengan
metode oven ...............................................................................................93
Lampiran 9 Sertifikat Kalibrasi Oven Memmert .....................................................94
Lampiran 10 Sertifikat Kalibrasi Moisture Analysis ...............................................95
Lampiran 11 Template Laporan Validasi dengan Excel..........................................98
Lampiran 12 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian
Pertama ......................................................................................................99
Lampiran 13 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian
Kedua .......................................................................................................102
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kadar air pada bahan pangan merupakan faktor yang sangat penting dalam
industri pangan untuk menentukan kualitas dan ketahanan pangan terhadap
kerusakan yang mungkin terjadi. Penentuan kadar air biasanya diperlukan untuk
menghitung kadar komponen pangan lainnya (Nielsen, 2010).
Air memiliki peran yang sangat penting dalam bahan pangan, pada produk
pangan segar kadar air merupakan indikator tingkat kesegaran dan kualitas
tekstural, sedangkan pada produk pangan olahan terutama produk pangan kering
kadar air sangat menentukan stabilitas produk selama masa penyimpanan (umur
simpan produk). Bagi sebagian pelaku industri pangan, kadar air adalah salah satu
parameter penentu penerimaan atau penolakan suatu produk, oleh sebab itu metoda
atau prosedur yang akan digunakan untuk mengukur kadar air harus disepakati
terlebih dahulu oleh pihak – pihak yang bertransaksi sebelum kontrak penjualan
ditandatangani.
Untuk produk berbentuk bubuk atau serbuk, ada dua metoda pengukuran
kadar air yang lazim digunakan oleh industri pangan yaitu: metode Loss on drying
(LOD) dan metode titrimetri Karl Fischer. Hampir seluruh perisa bubuk produksi
PT Givaudan Indonesia diukur kadar airnya dengan metoda Loss on drying (LOD)
standar menggunakan oven (SNI 01-2891-1992 butir 5.1), terkecuali untuk perisa
yang mengandung bahan yang mudah teroksidasi atau menguap akibat pemanasan
seperti ethanol, minyak esensial, asam lemak jenuh dan tanin. Bubuk perisa jenis
tersebut diukur kadar airnya menggunakan metoda Karl Fischer. Menurut
Andarwulan (2011) penggunaan metoda LOD untuk mengukur kadar air bahan
yang mengandung senyawa yang mudah menguap atau teroksidasi dapat
menyebabkan nilai kadar air hasil pengukuran akan lebih besar dari nilai
sebenarnya, karena kehilangan berat yang terjadi akan dianggap sebagai air yang
2

hilang. Di PT Givaudan Indonesia metoda Karl Fischer juga digunakan untuk


mengukur sampel yang memiliki kadar air yang sangat rendah.
Pada metode loss on drying (LOD), bahan yang telah diketahui beratnya
dipanaskan dalam oven bersuhu 105oC selama minimum 3 jam hingga hingga
beratnya konstan, selisih berat sebelum dengan sesudah pengeringan adalah
kandungan air dalam bahan. Pengukuran kandungan air dengan metoda ini
terbilang murah namun menyita banyak waktu. Sedangkan metoda titrimetri Karl
Fischer, meski sangat akurat dan hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat,
metoda ini membutuhkan reagen dan alat spesifik yang cukup mahal harganya.
Dengan semakin meningkatnya volume pesanan dari pelanggan, metode LOD
standar tidak lagi mampu mengimbangi kebutuhan akan kecepatan dalam melepas
atau mengirim produk, karena analisis kadar air dengan metoda ini membutuhkan
waktu yang lama (3 jam). Hambatan waktu ini dapat diatasi dengan penggunaan
alat Moisture Analyzer. Waktu yang dibutuhkan untuk mengukur kadar air bahan
pangan menggunakan Moisture Analyzer HB43-S rata – rata hanya membutuhkan
waktu antara 3 – 15 menit/sampel tergantung jenis sampelnya, hasil analisis
langsung dapat dilihat di layar monitor atau langsung dicetak ke alat pencetak
(printer). Pada Moisture Analyzer HB43-S tahapan penimbangan dan pengeringan
sampel serta perhitungan hasil analisis, seluruhnya dilakukan dalam satu alat.
Dengan demikian kemungkinan terjadinya ”human error” akan dapat diminimalkan
dan didapatkan hasil analisis yang lebih akurat. Terlepas dari semua kelebihan
yang dimiliki, penggunaan Moisture Analyzer HB43-S sebagai alternatif pengganti
metoda LOD standar yang selama ini digunakan, tetap membutuhkan satu proses
validasi terlebih dahulu baik terhadap metoda maupun hasil analisis yang diperoleh.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :


1. Mendapatkan suhu pemanasan yang tepat pada alat Moisture Analyzer
Halogen HB43-S sehingga hasil pengukuran kadar air (LOD) pada alat ini
sebanding dengan hasil pengukuran kadar air metode LOD menggunakan
oven UM-400 sebagai metode rujukan untuk produk bubuk perisa.
3

2. Memperoleh gambaran tentang konsistensi antara data pengukuran kadar air


metode LOD menggunakan moisture analyzer terhadap data pengukuran
kadar air menggunakan oven dan metode Karl Fischer.
3. Mendapatkan informasi metode mana yang lebih efisien secara teknis.
4. Menghasilkan template yang dapat digunakan untuk mempermudah proses
pelaporan hasil validasi alat atau metode analisis atribut mutu bubuk perisa

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini akan memberikan cara untuk mempersingkat proses


pengukuran kadar air bubuk perisa sehingga dapat mempercepat proses
pengambilan keputusan lolos atau tidaknya produk ini untuk dikirimkan ke
konsumen, menghemat biaya penyimpanan di gudang, disamping dapat dijadikan
contoh atau model untuk proses validasi alat atau metode baru yang akan diterapkan
di PT Givaudan Indonesia.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup tiga tahapan penelitian, semua dilakukan dalam


rangka untuk mengembangkan dan memvalidasi metoda pengukuran kadar air
menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S, metoda yang nantinya diharapkan
dapat menjadi alternatif pengganti bagi metoda LOD menggunakan oven dan
metoda Karl Fischer yang selama ini sudah digunakan oleh PT Givaudan Indonesia
sebagai metoda standar pengukuran kadar air produk bubuk perisa.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Durasi umur simpan suatu bahan pangan dibatasi oleh perubahan biologis,
kimia, dan fisika yang berlangsung dan terus berlanjut dalam bahan tersebut.
Kelanjutan dan laju proses perubahan itu, kesemuanya sangat dipengaruhi oleh
kadar air dan aktifitas air (water activity). Semakin tinggi kadar air suatu bahan
pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya baik sebagai akibat
aktivitas biologis internal (metabolisme) maupun masuknya mikroba perusak.
Pengurangan kadar air bahan pangan akan berakibat berkurangnya ketersediaan air
untuk menunjang kehidupan mikroorganisme dan juga untuk berlangsungnya reaksi
– reaksi fisikokimiawi. Dengan demikian baik pertumbuhan mikroorganisme
maupun reaksi fisikokimiawi keduanya akan terhambat, bahan pangan akan dapat
bertahan lebih lama dari kerusakan. Pengaturan kadar air merupakan salah satu
basis dan kunci terpenting dalam teknologi pangan (Kupriannoff. 1958).
Sekitar 60-95% total berat bahan pangan adalah air, komponen ini merupakan
komponen paling dominan dibanding komponen pangan yang lain seperti lemak,
minyak, protein, karbohidrat, mineral, garam, dan asam. Di dalam bahan pangan,
air dapat berperan sebagi fasa kontinyu dimana substansi lainnya terdispersi dalam
bentuk molekular, koloida atau sebagai emulsi. Garam - garam seperti NaCl, citrat
atau fosfat dapat meningkatkan daya ikat air adonan yang didominasi oleh protein,
hal seperti ini dapat diamati pada proses pengolahan daging giling atau sosis.
Keberadaan air dan pendistribusiannya di dalam sistem biologis adalah faktor yang
sangat penting untuk diperhitungkan, perubahan kandungan air (water content) dan
cara pendistribusiannya akan menyebabkan perubahan nyata pada produk pangan
(Kupriannoff. 1958).
Pada industri bubuk perisa, kadar air merupakan parameter penting yang
diukur dan dilaporkan dalam rangka pengendalian mutu produk. Kadar air
merupakan penentu kestabilan produk bubuk perisa selama penyimpanan, dimana
tinggi rendah parameter ini akan sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu
organoleptik terutama penampakan, warna dan rasa, serta terjadinya penggumpalan
selama produk ini disimpan. Dalam perdagangan bubuk perisa kadar air adalah
6

salah satu kriteria utama penerimaan dan penolakan produk, oleh karenanya metoda
pengukuran parameter ini menjadi sangat penting dan harus disepakati terlebih
dahulu oleh pemasok dan konsumen sebelum suatu transaksi dijalankan.

A. Air dalam Bahan Pangan

A.1. Keberadaan Air dalam Bahan Pangan Ditinjau dari Derajat Keterikatan

Semua produk pangan mengandung air, di dalam bahan pangan air dapat
dijumpai dalam bentuk air bebas dan air terikat ”bound water” dengan derajat
keterikatan yang beragam. Menurut Kupriannoff (1958) terdapat empat
kemungkinan bentuk keterikatan air dalam bahan pangan yang dipengaruhi
komposisi kimia dan struktur fisika bahan:

1. Air bebas yang terdapat dalam bentuk murni sebagai air permukaan, air ini
tidak termasuk sebagai komponen produk tetapi berasal dari luar seperti
kondensasi atau proses pencucian dan lain-lain. Air tersebut dapat di
kelompokkan sebagai air bebas selama tidak bercampur atau bereaksi pada
komponen permukaan bahan.
2. Air yang terikat secara kimiawi pada beberapa jenis garam, air jenis ini bisa
dalam bentuk ikatan valensi (contoh NaOH) atau sebagai hidrat (contoh
CoCl2.6H2O). Air yang terikat secara kimia ini tidak dapat dilepaskan dengan
proses pangan dengan menggunakan metoda biasa.
3. Air yang teradsorbsi membentuk lapisan tipis mono atau polimolekular pada
permukaan internal atau ekternal produk akibat adanya gaya tarik antar molekul,
atau terakumulasi di dalam pori - pori halus karena kondensasi kapiler.
4. Air hidratasi yaitu air yang teradsorbsi oleh substansi koloid yang
menyebabkan pembengkakan massa gel, kondisi ini dapat terjadi karena
karakter dipolar dari air.

Dari keempat bentuk di atas, maka bentuk yang dinyatakan pada butir 3 dan 4
adalah bentuk air terikat yang terpenting dalam bahan pangan.
Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1989), Winarno (1992), dan
Kusnandar (2010) berdasarkan derajat keterikatannya air dalam bahan pangan
dapat dibedakan menjadi empat tipe:
7

• Tipe I adalah air yang secara molekular terikat pada komponen lain (seperti
protein atau karbohidrat) membentuk hidrat melalui suatu ikatan hidrogen yang
berenergi besar. Pembentukan hidrat menyebabkan air tipe ini tidak lagi
memiliki sifat yang sama dengan sifat air murni, yakni tidak dapat membeku
dan hanya sebagian saja yang dapat dihilangkan dengan proses pengeringan
biasa. Air tipe ini sering kali disebut air terikat dalam arti sebenarnya.
• Tipe II, adalah molekul-molekul air yang terdapat pada permukaan bahan
pangan yang bersifat hidrofilik. Molekul – molekul air ini berikatan satu sama
lain dengan ikatan hidrogen membentuk lapisan monolayer atau multilayer.
Sebutan lain air tipe II adalah air teradsorbsi ”adsorbed water”. Dibanding air
normal air tipe ini lebih susah dihilangkan/diuapkan selama proses pengeringan,
jika air tipe II dihilangkan seluruhnya maka kadar air bahan akan berkisar antara
3-7%.
• Tipe III adalah molekul air yang ditemukan permukaan jaringan matriks bahan
seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe ini hanya terikat secara
fisik sehingga mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan
mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Karena sifat – sifatnya, air tipe
III sering kali disebut sebagai air bebas ”free water”. Apabila air tipe ini
diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12-25%
• Tipe IV. Air tipe ini tidak memiliki ikatan apapun dengan matriks jaringan
bahan pangan, dan sifat-sifatnya sama dengan air murni dengan keaktifan
penuh.
Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses
kerusakan bahan pangan misalnya proses mikrobiologi, kimiawi, enzimatik, bahkan
aktivitas serangga perusak (Sudarmadji et al 2003).
Menurut Kuprianoff (1958) telah diterima secara umum bahwa air terikat
didefinisikan sebagai bagian dari kadar air produk yang akan tetap berada dalam
bahan ini dalam kondisi tak berubah (terikat) setelah dilakukan prosedur
pengeringan biasa seperti pembekuan, dehidrasi kimia, dan lain-lain (cara ini hanya
dapat menghilangkan air bebas saja). Air jenis ini hanya dapat dihilangkan dengan
jalan memanaskan produk pada suhu 100–110 °C untuk waktu yang cukup lama.
Jika air yang teruapkan pada suhu 100-110 °C disebut sebagai kadar air total
8

produk, maka kadar air terikat sama dengan kadar air total dikurangi kadar air
bebas.

A.2. Kadar Air dan Kestabilan Produk Pangan Selama Masa Simpan

Air yang tekandung dalam bahan pangan dapat menjadi penentu apakah
produk tersebut dapat dijual dan telah memenuhi standar produksi. Kandungan air
tersebut dapat mempengaruhi daya simpan, kecepatan penggumpalan produk
bubuk, kestabilan terhadap kontaminan mikrobiologi, kemampuan daya alir atau
curah produk, total padatan kering, konsentrasi atau kemurnian, kesesuaian dengan
perjanjian, nilai nutrisi, dan kesesuaian dengan peraturan pemerintah.
Kadar air adalah banyaknya air yang terkandung dalam bahan pangan yang
dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu parameter penting dalam
menentukan kualitas bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan,
tekstur dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut
menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi
menyebabkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak,
sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Dwijoseputro,1994).
Pada sebagian besar produk pangan, air merupakan komponen penyusun yang
memiliki proporsi paling besar. Dari sisi fungsional pentingnya keberadaan air
dalam produk pangan tidak hanya sebatas kuantitasnya saja. Air adalah komponen
penentu karakter tekstural dan estetis buah-buahan dan sayuran, dimana hilangnya
air dari produk ini akan berakibat pada penurunan kualitas. Ketersediaan air juga
merupakan prakondisi yang menjadi syarat utama terjadinya reaksi kimia dan
pertumbuhan mikroba, atau dengan kata lain air adalah salah satu unsur yang paling
bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan mikrobiologis, enzimatis, dan kimia
produk pangan. Pengaruh air terhadap stabilitas bahan pangan tidak hanya terletak
pada sisi kuantitasnya semata, namun harus dilihat juga dari sisi efektivitasnya,
parameter yang mampu menjelaskan masalah ini adalah Aw atau aktivitas air (Berk.
2009).
Keberadaan air adalah penentu karakteristik struktural atau turgiditas sel, dan
lebih jauh nilai gizi serta citarasa bahan pangan. Menurut Kuprianoff (1958),
proses pengeringan akan punya pengaruh besar terhadap karakter tersebut dan dapat
9

menjadi penentu besarnya perubahan yang tak dapat kembali ”irreversible changes”
selama masa simpan produk yang telah dikeringkan. Hal terpenting yang wajib
diperhatikan dalam pengeringan pangan yaitu kandungan air harus diturunkan
hingga satu nilai dimana proses mikrobiologis, enzimatis, dan kimia penyebab
kerusakan pangan dapat dihambat lajunya selama masa simpan produk.
Tingkat ”irreversible changes” yang akan terjadi pada produk pangan kering dalam
masa simpan sangat bergantung kepada kandungan air produk ini, hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut penurunan kandungan air berakibat pada pengurangan
permukaan kontak (permukaan dimana terjadi reaksi) fasa cair dan juga effect
penghambatan ”inhibitive effect” pada sistem enzim akibat peningkatan konsentrasi
enzim pada fasa cair. Faktor suhu penyimpanan penting pula untuk diperhatikan
karena ”irreversible changes” akan dipercepat pada penyimpanan di suhu yang
lebih tinggi.
Nilai kadar air saja tidak dapat menjelaskan seberapa kuat molekul air terikat
dalam bahan pangan sehingga tidak lagi tersedia untuk reaksi kimia, aktivitas
enzim, dan pertumbuhan mikroba, sulit mencari hubungan antara parameter ini
dengan kestabilan atau keawetan pangan. Sebaliknya aktivitas air (aw) adalah
kuantifikasi tingkat air yang ada atau tersedia untuk interaksi hidrasi, pertumbuhan
mikroba dan kimia dan reaksi enzimatik (Bhandari dan Adhikari. 2008), parameter
ini adalah penduga yang baik potensi kerusakan bahan pangan selama penyimpanan.
Aktivitas air merupakan salah satu parameter hidratasi yang menunjukkan
jumlah air bebas dalam bahan pangan yang dapat digunakan oleh mikroorganisme
untuk pertumbuhannya (Winarno. 1992; Syarief & Halid. 1993). Nilai aw suatu
bahan atau produk pangan dinyatakan dalam skala 0 sampai 1. Nilai 0 berarti dalam
makanan tersebut tidak terdapat air bebas, sedangkan nilai 1 menunjukkan bahwa
bahan pangan tersebut hanya terdiri dari air murni. Nilai aw suatu bahan pangan
dapat diturunkan antara lain dengan cara menambahkan suatu senyawa yang dapat
mengikat air (Estiasih & Ahmadi. 2009).
Sama halnya dengan kebutuhan terhadap tingkat keasaman (pH),
mikroorganisme juga mempunyai nilai aw minimum, maksimum dan optimum
untuk tumbuh dan berkembang biak (Estiasih & Ahmadi. 2009). Hubungan antara
nilai aw dengan laju reaksi/pertumbuhan relatif dapat dilihat pada gambar 1.
10

Gambar 1. Hubungan laju reaksi/pertumbuhan mikroba dengan aktivitas air


(Koesnandar. 2010)

Kapang, khamir, dan bakteri ternyata memerlukan nilai aw yang paling tinggi
untuk pertumbuhannya. Nilai aw terendah dimana bakteri dapat hidup adalah 0,86.
Bakteri-bakteri yang bersifat halofilik atau dapat tumbuh pada kadar garam tinggi
dapat hidup pada nilai aw yang lebih rendah yaitu 0,75. Sebagian besar makanan
segar mempunyai nilai aw = 0,99. Pada produk pangan tertentu supaya lebih awet
biasa atau dilakukan penurunan nilai aw.

A.3. Fenomena Adsorpsi dan Desorpsi Air Pada Bahan Pangan

Nilai aw bahan pangan bersifat dinamis, nilai ini akan naik atau turun
mengikuti perubahan kondisi kelembaban dan suhu udara yang berada disekitarnya.
Ketika air berinteraksi dengan zat terlarut ”solutes” sebenarnya air tidak
sepenuhnya tersedia untuk interaksi ini. Aktivitas air adalah kesetimbangan yang
tercapai di dalam sebuah sistem pada semua fasanya yang mengandung air, dan
definisikan sebagai perbandingan tekanan uap terhadap tekanan uap air murni pada
suhu yang sama (Bhandari and Adhikari. 2008; Berk. 2009). aw dapat
11

diekspresikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut,

dimana:
P _ tekanan parsial uap air bahan pangan pada suhu T
P0_ kesetimbangan tekanan uap air murni pada suhu T

Perbandingan sejenis juga dapat di definisikan sebagai kelembaban relatif dari


udara, RH ( biasanya di nyatakan dalam persense) :

dimana :
P’= tekanan parsial dari uap air di udara.

Jika bahan pangan telah mencapai kesetimbangan dengan udara, maka P = P’.
Maka selanjutnya aktifitas air dari bahan pangan adalah sama dengan kelembaban
relatif atmosfir pada saat kesetimbangan. Oleh karenanya terkadang aktifitas air
diekspresikan sebagai kesetimbangan kelembaban relatif (ERH, equilibrium
relative humidity).

Bila bahan pangan dengan kadar air tinggi disimpan di lingkungan dengan
kelembaban relatif yang rendah (kering), maka sebagian air dari bahan tersebut
akan berangsur bermigrasi ke lingkungannya (desorpsi) hingga kondisi
kesetimbangan tercapai. Sebaliknya, bila pangan berkadar air rendah disimpan pada
lingkungan dengan kelembaban relatif yang tinggi, maka pangan tersebut akan
menyerap air (adsorbsi) hingga terbentuk kondisi kesetimbangan. Kadar air yang
terukur pada kondisi kesetimbangan dengan lingkungan dikenal sebagai kadar air
kesetimbangan (Equilibrium Moisture Content /EMC).
12

Kurva hubungan antara kadar air kesetimbangan dengan kelembaban relatif


pada hakikatnya dapat menggambarkan hubungan antara kadar air dan aktivitas air.
Kurva tersebut sering disebut sebagai kurva Isoterm Sorpsi Air (ISA).

Menurut Berk (2009) hubungan antara kadar air (gram air per gram bahan
kering) dan aktivitas air pada suhu konstan disebut ”sorpsi isotermis uap air” (the
water vapor sorption isotherm) atau ”sorpsi isotermis kelembaban” (moisture
sorpstion isoterm) dari suatu bahan pangan. Bentuk umum hipotetik dari sebuah
sorpsi isotermis ditunjukkan pada gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2 Kurva Isoterm Sorpsi Air (sumber:


http://www.lsbu.ac.uk/water/activity.html)

Andarwulan et al (2011) menyatakan bahwa Isotermis Sorpsi Air (ISA) bahan


pangan dapat memberikan pola tertentu dalam proses penambahan air pada bahan
kering (adsorpsi) dan pengurangan air dari bahan basah (desorpsi). Setiap material
mempunyai kurva isoterm sorpsi air yang khas, yang berbeda dengan material
lainnya. Pada kurva tersebut dapat diketahui bahwa kadar air yang sama belum
tentu memberikan aw yang sama tergantung jenis bahannya. Pada kadar air yang
tinggi belum tentu memberikan aw yang tinggi bila bahannya berbeda. Bahan yang
tersusun dari komponen yang dapat mengikat air hanya menyisakan air bebas yang
13

relatif sedikit, akibatnya bahan jenis ini akan mempunyai aw yang rendah
(Wulanriky. 2011).
Suatu material dapat mencapai kadar air keseimbangannya melalui dua
alternatif pendekatan : dengan penyerapan uap air (adsorpsi) atau dengan
pengeringan (desorpsi). Pada tingkat kadar air yang sama, nilai tekanan uap
kesetimbangan suatu material yang bersifat porous (memiliki banyak pori dan
kapiler) dapat saja berbeda, hal ini mungkin terjadi karena penentuan nilai tersebut
tergantung pada pendekatan mana yang diambil. Fenomena ini dikenal
sebagai ”hysteresis” (gambar 1).
Kadar air keseimbangan akan tercapai bilamana material berinteraksi dengan
lingkungannya dalam waktu yang cukup lama. Dalam proses penyetimbangan,
terjadi difusi air secara merata diseluruh bagian material, kadar air material akan
terus berubah sampai kesetimbangan tercapai. Proses perubahan ini mengikuti
perubahan kondisi yang terpantau pada permukaan material (pv, T). Pada kondisi
kesetimbangan, terjadi proses distribusi air internal yang berlangsung secara tetap di
dalam material. Secara teoritis dibutuhkan waktu yang tidak terbatas untuk
mencapai kondisi kesetimbangan, namun untuk kebutuhan praktis terdapat sejumlah
prosedur dan metode perhitungan waktu kesetimbangan dengan tingkat akurasi
yang dapat diterima (Molnar. 2006).
Kurva sorpsi isothermis ditentukan secara eksperimental, sampel bahan
pangan ditempatkan dalam wadah tertutup yang telah diketahui RHnya (gambar 3)
hingga sampel ini mencapai kadar air kesetimbangan. Setelah setimbang, maka
sampel akan dianalisis kadar airnya (Berk. 2009)

Gambar 3 Eksperimen Sorpsi Isotermis (sumber: Kusnandar 2010)


14

Air murni yang dimasukkan ke dalam desikator/wadah tertutup akan


membentuk kesetimbangan tekanan uap antara air murni dengan lingkungannya.
Air akan menguap dan membentuk kondisi jenuh uap air di lingkungan di dalam
desikator. Kandungan uap air di udara biasa dinyatakan dengan kelembaban relatif.
Kelembaban relatif uap air di lingkungan akan mencapai 100% jika terjadi kondisi
kesetimbangan antara air dengan lingkungannya, artinya udara dipenuhi dengan uap
air. Tekanan uap air murni (Po) adalah tekanan yang terukur dalam lingkungan
desikator tersebut. Tekanan uap air akan dipengaruhi oleh suhu, dimana semakin
tinggi suhu maka tekanan uap air murni akan semakin besar berdasarkan hukum gas
ideal.
Apabila isi desikator tertutup tersebut diganti dengan larutan garam jenuh,
misalnya larutan garam LiCl jenuh, maka air akan lebih sulit menguap akibat
adanya interaksi ionik antara air dengan ion Li+ dan Cl-. Tekanan uap (P) yang
terbentuk di dalam desikator ini akan lebih rendah dibandingkan tekanan uap dalam
desikator berisi air murni (udara tidak jenuh oleh uap air). Jenis larutan garam
jenuh yang diisikan dalam desikator akan menentukan tekanan uap dan kelembaban
relatif yang dihasilkan (tabel 1), perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan
kekuatan interaksi ionik dari masing – masing jenis garam dengan air.

Tabel 1 Nilai RH yang dibentuk oleh larutan garam jenuh pada berbagai suhu

Larutan garam jenuh Kelembaban relatif yang terbentuk (RH, %)


20oC 25oC 30oC
NaOH 6,98 6,95 6,87
LiCl 11,14 11,15 11,16
KC2H3O2 23,10 22,60 22,00
MgCl2 30,30 32,73 32,38
NaI 39,18 37,75 36,25
Mg(NO3)2 54,47 52,86 51,33
KI 69,86 68,76 67,85
NaCl 75,42 75,32 75,21
KBr 81,77 80,71 -
KCl 85,31 84,32 83,53
Na2SO4 86,90 85,95 86,40
BaCl2 90,69 90,26 -
NH4H2PO4 92,20 92,70 91,10
K2SO4 97,20 96,90 96,60
Sumber : Syarief & Halid (1993) dan Koesnandar (2010)
15

Bila contoh makanan dimasukkan dalam desikator berisi larutan-larutan


garam tersebut maka kandungan air dalam pangan tersebut akan menyesuaikan diri
dengan kondisi lingkungan hingga tercapai kondisi kesetimbangan. Perpindahan
(migrasi) uap air terjadi dari lingkungan ke pangan atau sebaliknya dan bila kondisi
ini dibiarkan beberapa lama, maka akan tercapai kondisi kesetimbangan sampai
tidak terjadi lagi migrasi air dari atau ke pangan.

B. Teknik Pengukuran Kadar Air Bahan Pangan

Molnar (2006) mengungkapkan bahwa penentuan kadar air bahan basah


tampak sederhana, namun hasil yang diperoleh seringkali tidak cukup akurat, yang
disebabkan karena turut menguapnya komponen selain air atau terjadinya
perubahan kimia (oksidasi, dekomposisi, distilasi merusak, dan lainnya) pada saat
proses pemanasan. Pada saat yang sama air teradsorpsi harus dibedakan dari air
kristalisasi, yang mana merupakan suatu masalah yang sangat kompleks.
Pada saat pemilihan teknik penentuan kadar air maka harus diperhitungkan
akurasi yang diinginkan, prosedur, lama investigasi, dan kompleksitas instrumen
yang diperlukan dan peralatan yang ada. Kemungkinan metode yang dapat
digunakan untuk mengukur distribusi kadar air selama pengeringan adalah:
1. Metode Langsung, pada dasarnya adalah penentuan kadar air dengan cara
mengeringkan sampel dalam oven pengering dengan atau tanpa tiupan udara,
atau dengan pengeringan dalam oven vakum atau dalam desikator vakum.
2. Metode Tidak Langsung, kondisi persaingan industri saat ini menuntut
pengukuran kadar air bahan dilakukan dengan metode yang lebih cepat, salah
satunya adalah metode elektris yang mempunyai tiga varian utama: pengukuran
kadar air berdasarkan perubahan resistansi ohmik arus DC, pengukuran
kapasitansi elektrostatis (konstanta dielektrik material), dan pengukuran
kehilangan pada medan listrik AC. Metode cepat lain adalah metode kimia
seperti metode Karl-Fischer, metode distilasi toluena, dan metode ekstraksi
menggunakan metanol absolut.
16

B.1. Cara Fisik Gravimetri LOD

B.1.1. Prinsip, Kelebihan dan Kekurangan Cara Gravimetri

Kadar air dari bahan pangan dapat ditentukan dengan berbagai metode, tapi
untuk memperoleh data yang akurat dan tepat umumnya adalah tantangan tersendiri
(Nielsen. 2010). Metode yang berbeda menghasilkan nilai kadar air yang berbeda
pula sebagaimana di jelaskan sebagai berikut :
• Pengeringan dengan oven konveksi: di samping air akan ikut teruapkan pula
sedikit komponen volatil. Seringkali sampel tidak benar-benar kering karena
pemanasan dengan cara konveksi tidaklah cukup kuat. Nilai pengukuran akan
berada di atas kadar air (water content) tetapi di bawah kadar air total (total
moisture content)
• Moisture Analyzer otomatis, yang memanfaatkan lampu inframerah atau
halogen sebagai sumber panas. Pengeringan dengan inframerah atau halogen
selain menguapkan air juga akan menguapkan komponen yang sangat sulit
menguap. Kadar air total bahan ditentukan dengan pemanasan intensif
menggunakan metode pengeringan adsorpsi. Dalam kebanyakan kasus, nilai
pengukuran berada di atas hasil pengukuran referensi menggunakan metode
pengeringan oven. Analisis kadar air menggunakan alat ini tergolong cepat,
tetapi sangat bersifat “matrix dependent“ (masalah yang sering terjadi
penyumbatan pori atau terjadinya pembakaran/pengerasan pada permukaan)
dan membutuhkan pengujian trial-and-error untuk menentukan pengaturan
yang benar untuk level energi dan waktu.
• Pengering air gelombang mikro dapat menguapkan air dan hanya sedikit
komponen sangat volatil. Berkat prinsip pengeringan adsorpsi, terorientasi atau
dipoles, maka nilai pengukuran sangat dekat pada kadar air dan biasanya lebih
rendah dari hasil pengeringan dengan oven.
• Metode titrasi Karl Fischer menentukan jumlah molekul air dengan reaksi kimia.
Nilai ukur sesuai dengan kadar air dengan akurasi tertinggi.

Menurut Kern & Sohn GmbH (2012), terdapat dua metode referensi yang diakui
secara internasional metode oven dan Karl Fischer. Semua metode lain harus
disesuaikan dengan salah satu dari dua metode tersebut jika diperlukan.
17

B.1.2. Pengukuran Kadar Air Cara Gravimetri (Lost On Drying)

Kadar air dalam sampel dapat diukur secara gravimetri atau loss on drying
(LOD) dengan menentukan penurunan berat dalam sampel setelah ditempatkan
pada oven yang sesuai (oven konveksi, vakum, atau microwave) untuk waktu
tertentu. Pada metode gravimetri, diasumsikan bahwa hanya air yang akan
dihilangkan dalam proses pengeringan, dimana pada kenyataanya ada komponen
volatil yang turut hilang. Metode ini hanya membutuhkan sejumlah kecil sampel
homogen dan dapat mengukur secara efektif kandungan air pada kisaran 0,01%
sampai 99,99% (Rennie. 2001).
Prinsip dari metode pengering dengan menggunakan oven adalah bahwa air
yang terkandung dalam suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut dipanaskan
pada suhu 105o C selama waktu tertentu hingga tercapai berat konstan. Perbedaan
antara berat sebelum dan sesudah dipanaskan adalah kadar air (Astuti. 2007). Berat
dinyatakan sudah konstan bilamana hasil dua kali penimbangan berturut – turut
pada tingkat presisi tertentu, hasilnya tidak berbeda lebih dari 0,25% (Kenkel.
2003).
Suhu pengeringan untuk penentuan kadar air yang ditetapkan dalam SNI 01-
2891-1992 butir 5.1 adalah 105°C dengan waktu pengeringan selama 3 jam.
Asumsi dasarnya adalah bahwa air bertitik didih 100°C, sehingga dengan
pemanasan 5°C di atas suhu didih air, diharapkan semua air dalam bahan dapat
diuapkan. Cara tersebut relatif mudah dan murah untuk dilakukan.
Metode pengeringan dengan pemanasan (LOD) tidak cocok digunakan untuk
sampel uji yang banyak mengandung zat yang mudah menguap karena hasil uji
akan lebih besar dari yang sebenarnya (Andarwulan. 2011). Kelemahan cara
gravimetri menggunakan pemanasan ini adalah bahan lain selain air ikut menguap
bersama dengan uap air misal alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain.
Reaksi yang bisa terjadi selama pemanasan dapat menghasilkan air atau zat mudah
menguap, contoh : gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak
mengalami oksidasi dan lain-lain. Air menjadi terikat kuat di dalam bahan dan sulit
dilepaskan meskipun sudah dipanaskan.
Meskipun pengukuran kehilangan berat bahan karena penguapan air sering
18

digunakan untuk menghitung kadar air, namun harus ditunjukkan bahwa nilai yang
diperoleh tersebut bukanlah hasil kadar air yang sebenarnya. Pada beberapa contoh,
hanya sebagian saja dari air yang terkandung akan hilang pada suhu pengeringan,
sedangkan air terikat sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Ada kecenderungan
jumlah air yang hilang akan meningkat jika suhu dinaikkan. Beberapa sampel yang
mengandung kadar lemak tinggi bisa menunjukkan hilangnya minyak yang mudah
menguap pada suhu pengeringan 100oC.
Kehilangan berat bahan dapat dipengaruhi faktor-faktor seperti ukuran
partikel, berat sampel yang digunakan, jenis wadah yang digunakan, dan variasi
suhu dalam oven dari rak ke rak. Dengan demikian, sangatlah penting untuk
membandingkan hasil yang diperoleh dengan menggunakan kondisi pengeringan
yang sama.
Pada umumnya, metode gravimetri hanya memerlukan sejumlah kecil sampel
(antara 1 dan 10 g tergantung yang pada kadar airnya). Oleh karena itu,
homogenitas sampel sangat kritis dan perlu diperhatikan secara khusus. Harus
dipastikan bahwa sampel yang akan diukur telah rata tercampur merata sebelum
diambil untuk analisis. Metode yang digunakan untuk homogenisasi akan
tergantung pada jenis sampel yang dianalisis. Blender, pengaduk mekanik, mesin
pencacah, pengolah makanan, dan parut umumnya digunakan untuk sampel kering,
lembab, dan sangat basah. Karena perangkat ini menghasilkan panas, sangat
penting untuk mencegah terjadinuya over homogenize, yang menyebabkan kadar air
akan hilang. Setelah sampel telah benar-benar homogen, maka penting kiranya
untuk dengan segera mengukur kadar air sampel atau bila membutuhkan waktu
tunda memindahkannya terlebih dahulu ke suatu wadah kaca atau plastik yang
kering dan tertutup rapat. Dalam metode gravimetri, kadar air yang rendah hanya
akan menghasilkan kehilangan berat yang sangat kecil setelah pengeringan.
Penting diperhatikan untuk mencegah sampel terkontaminasi saat sampel
dikeringkan atau pada saat dipindahkan ke oven atau desikator. Jangan memegang
wadah dengan tangan telanjang, gunakan penjepit atau sarung tangan. Gunakan
penutup wadah bila sampel mudah berbuih atau memercik saat dipanaskan. Hal ini
dapat mencegah kontaminasi silang dengan sampel disebelahnya di dalam oven
(Ruiz. 2001).
19

Tabel 2 Kondisi pengukuran kadar air yang direkomendasikan

Sumber : Ruiz (2001)

B.1.3. Analysis yang Dipercepat (pemanasan IR-Halogen) dan Pengenalan Alat


Moisture Analyzer HB43-S

LOD adalah metode analisis kadar air rutin pada industri farmasi. Pada
industri ini biasanya menggunakan alat pengukur kadar air meliputi alat timbang
yang dilengkapi wadah metal bulat yang dapat diisi dengan granula contoh, dimana
terdapat koil pemanas listrik besar di atasnya. Pada saat kumparan listrik memanas,
berat sampel secara otomatis dimonitor dan persentase kadar air dihitung dan dan
dapat terlihat pada alat. Ketika persentase yeang termonitor mencapai kestabilan
maka alat akan berbunyi dan persentase kadar air sampel ditampilkan (Kenkel.
2003).
Sebagian kecil radiasi akan dipantulkan atau terserap oleh sampel. Kuantitas
energi radiasi yang dipantulkan tersebut tergantung pula pada warna sampel, apakah
sampel tersebut berwarna terang atau gelap. Untuk bahan berwarna gelap dapat
digunakan suhu yang lebih rendah. Kedalaman penetrasi radiasi infra red (IR)
tergantung pada permeabilitas sampel, dimana pada permeabilitas rendah, radiasi IR
hanya menembus lapisan atas. Konduktivitas panas dari substansi menentukaan
20

transportasi panas lebih lanjut ke dalam lapisan yang lebih dalam. Konduktivitas
panas yang lebih tinggi, maka pemanasanpada bahan akan semakin cepat dan lebih
homogen, oleh karenanya perlu diingat bahwa substansi harus didistribusikan
secara merata berupa lapisan tipis pada wadah sampel. Hasil pengukuran yang
berkualitas sangat tergantung pada persiapan sampel yang optimal dan pemilihan
parameter utama yang tepat seperti ukuran sampel, suhu pengeringan, kriteria
penghentian analisis, lama pengeringan, dan lain - lain. Suhu optimum dan lama
pengeringan yang dibutuhkan akan tergantung pada jenis dan ukuran bahan serta
hasil akurasi pengukuran yang diinginkan. Kesemuanya hanya bisa ditentukan
dengan percobaan (Kern & Sohn GmbH. 2012).
Moisture Analyzer HB43-S dengan teknologi halogen yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan metode
oven antara lain:

1. Hasil yang lebih tepat


2. Waktu yang lebih cepat
3. Mudah pengoperasiannya
4. Mengurangi human error pada saat penimbangan

Penggunaan HB43-S sangat praktis, hanya perlu tiga langkah untuk


mengoperasikannya yaitu: mentera alas sampel, meletakkan sampel di atas alas, dan
menekan tombol mulai. Hasil analisis akan di cetak secara otomatis dalam
beberapa menit. Gambar 4 dan Tabel 3 berikut ini adalah gambar bagian - bagian
alat Moisture Analyzer HB43-S dan spesifikasinya.
21

Gambar 4 Bagian – bagian dari alat Moisture Analyzer HB43-S.

Tabel 3 Spesifikasi alat HB43-S


22

B.2. Cara Kimia Titrimetri Karl Fischer

Pengukuran kadar air dengan metode Karl Fischer ini dalam bahasa Inggris
lebih dikenal sebagai water content. Cara ini mentitrasi sampel dengan larutan iodin
dalam metanol. Reagen lain yang digunakan dalam titrasi ini adalah sulfur dioksida
dan piridin. Metanol dan piridin digunakan untuk melarutkan yudium dan sulfur
dioksida agar reaksi dengan air menjadi lebih baik. Selain itu piridin dan metanol
akan mengikat asam sulfat yang terbentuk sehingga akhir titrasi dapat lebih jelas
dan tepat. Selama masih ada air dalam bahan, iodin akan bereaksi tetapi begitu air
habis, maka iodin akan bebas. Titrasi dihentikan pada saat timbul warna iodin
bebas. Untuk memperjelas pewarnaan maka dapat ditambahkan metilen biru dan
akhir titrasi akan memberikan warna hijau. I2 dengan metilen biru akan berubah
warnanya menjadi hijau. Cara titrasi ini telah berhasil dipakai untuk penentuan
kadar air dalam alkohol, ester-ester, senyawa lipida, lilin, pati, tepung gula, madu,
dan bahan makanan yang dikeringkan. Cara ini banyak dipakai karena memberikan
nilai yang tepat dan dikerjakan cepat. Tingkat ketelitiannya lebih kurang 0,5 mg dan
dapat ditingkatkan lagi dengan sistem elektroda yaitu dapat mencapai 0,2 mg
(Sudarmadji. 2003).

Pada saat titrasi dilakukan pada sampel dengan pereaksi Karl Fischer, yang
mengandung yodium dan sulfur dioksida, maka jumlah yodium akan berkurang
jumlahnya karena belerang dioksida bereaksi dengan air yang berasal dari sampel.
Air bereaksi dengan reagen KF secara stoikiometri dimana volume pereaksi KF
yang diperlukan untuk mencapai titik akhir dari titrasi (yang ditentukan secara
visual, conductometric, atau coulometric) berhubungan secara langsung dengan
jumlah air dalam sampel.

Titrasi Karl Fischer biasanya digunakan untuk penentuan air dalam senyawa
organik dan beberapa sample yang sebagian terurai jika digunakan pada metoda
gravimetri (Nielsen. 2010).
Tidak seperti pengukuran gravimetrik yang merupakan metode tidak langsung
dimana semua volatile turut pula dihilangkan, titrasi Karl Fischer adalah metode
langsung yang hanya spesifik untuk air. Metode ini biasanya digunakan untuk
mengukur kadar air yang rendah (<1%) dan dapat mengukur sampai pada kadar air
23

<0,01%. Metode titrasi Karl Fischer biasanya digunakan untuk mengukur kadar air
sampel yang mengandung gula dalam jumlah cukup tinggi atau konsentrasi yang
tinggi pada gula dan protein, yang mungkin terurai jika menggunakan metode
gravimetri.

Tabel 4 Reagen yang diperlukan untuk analisis Karl Fischer

Sumber : Nielsen (2010)

Metode KF ini adalah air dititrasi dengan larutan metanol anhydrous yang
mengandung yodium, sulfur dioksida serta piridin yang berlebihan. Titrasi ini
didasarkan pada reaksi yodium dan belerang dioksida yang hanya dapat terjadi jika
terdapat air, di mana Py mewakili piridin. Hasil Py-SO3 bereaksi lebih lanjut
dengan metanol untuk membentuk methylsulfate anion:

Yodium akan bereaksi dengan dengan rasio stoikiometri 1:1 di dalam larutan
alcohol. Dalam larutan yang tidak mmengandung alcohol, reaksi antara yodium dan
air akan terjadi dalam rasio stoikiometrik 1:2 seperti berikut:

Dari persamaan itu dapat dilihat bahwa setiap satu molekul air membutuhkan satu
mol yodium. Titik akhir titrasi ditentukan oleh adanya perbahan warna dimana
sampel dititrasi dengan pereaksi Karl Fischer sampai warna yodium permanen
tampak (menunjukkan air telah semua bereaksi). Reaksi lain yang terjadi pada
24

sample maka perubahan warna biasanya dari kuning sampai kecoklatan, yang sulit
untuk dideteksi secara visual. Jumlah sampel berwarna yang cukup tinggi dapat
mempengaruhi titik akhir titrasi secara visual (Ruiz. 2001).

Titik akhir yang lebih tajam dapat diperoleh jika titrasi dilakukan secara
electrometric. Pada titrasi tersebut dua elektroda platinum kecil dicelupkan ke
dalam sel titrasi, tegangan konstan kecil dapat dideteksi oleh elektroda dan setiap
aliran arus akan diukur oleh galvanometer. Pada titik akhir titrasi baik minimum
atau meningkat dari nilai nol. Secara komersial telah tersedia instrumen Karl
Fischer yang bekerja berdasarkan prinsip ini dengan mikroprosesor semi-otomatis
(Ruiz. 2001).

Ada beberapa faktor penting yang yang harus diperhatikan pada saat
melakukan pengukuran kadar air menggunakan metode Karl Fischer :

• Pengaruh pH pada reaksi Karl Fischer


Kecepatan maksimum titrasi Karl Fischer dapat dicapai pada kisaran pH 5,5-8,0,
maka harus dihindari nilai pH yang lebih dari 8 dan kurang dari 4.

• Pengaruh pelarut pada reaksi Karl Fischer


Stoikiometri (rasio molar H2O:I2) tergantung pada jenis pelarut. Hasil penelitian
Eberius menunjukkan bahwa yodium dan air bereaksi dengan rasio 1:1 jika
persentase metanol dalam pelarut adalah 20% atau lebih. Kehadiran Metanol
diperlukan walaupun dalam jumlah minimum untuk terjadinya reaksi. Jika
diperlukan menggunakan titrasi bebas metanol (untuk aldehida dan keton), maka
dapat digunakan alkohol primer lainnya.

• Pengaruh jumlah air pada reaksi Karl Fischer

Perbandingan molar H2O:I2 juga dipengaruhi oleh jumlah air dalam sampel. J.C.
Verhoff dan E. Barenrecht, mengamati kenaikan titer dengan kadar air lebih
besar dari 1 mol/L. Namun tidak ada konsekuensi untuk aplikasi praktisnya,
karena konsentrasi air dalam pelarut secara signifikan lebih rendah. (Anonim.
1999).
Instrumen komersial dapat diklasifikasikan menjadi baik Karl Fischer
kolumetrik atau volumetrik. Pada pengukuran Karl Fischer kolumetrik jumlah air
25

yang akan bereaksi dengan mengukur jumlah listrik (dalam kolom) yang diperlukan
untuk reaksi secara lengkap antara air dan reagen Karl Fischer pada elektroda
dengan efisiensi 100%. Keuntungannya adalah bahwa larutan standar tidak
diperlukan di sini. Sensitivitas sangat tinggi (<10 g air) dan sangat berguna untuk
penelusuran.
Dalam titrasi Karl Fischer volumetrik, analisis didasarkan pada pengukuran
volume larutan standar (reagen Karl Fischer) yang harus ditambahkan untuk
bereaksi dengan air. Konsentrasi air dapat ditentukan dari volume reagen dengan
konsentrasi yang telah diketahui yang ditambahkan sampai mencapai titik akhir.
Penitrasi Karl Fischer volumetrik mengharuskan reagen Karl Fischer untuk
distandarisasi, namun tingkat kadari air dari 10 ppm hingga 100% dapat diukur.
Jenis titrator yang dipilih tergantung pada kebutuhan individu (penelusuran
atau pengukuran dengan ketelitian tinggi) dan anggaran titrator Karl Fischer
koulometrik umumnya biaya lebih mahal dari pada titrator Karl Fischer volumetrik.
Meskipun tidak sensitif pada jumlah kadar air yang sangat rendah dibandingkan
titrator kulometri Karl Fischer, titrasi volumetrik Karl Fischer membolehkan suatu
range yang lebih besar dalam pengukurannya.
Karl Fischer merupakan metode yang lebih sensitif yang berhubungan dengan
kelembaban apapun, bahkan dari lingkungan sekitarnya yang pengaruhnya harus
dihilangkan sebanyak mungkin. Instrumen komersial tersedia dengan wadah kaca
dan penutup, yang menjaga kontaminasi kelembaban untuk minimum. Sebagai
tambahan, instrumen ini dapat dipasang dengan lubang ke bejana reaksi di mana
sampel dapat ditambahkan secara langsung. Kerugian penambahan "langsung" dari
sampel adalah adanya partikulat dan bahan yang terdekomposisi dalam bejana
reaksi, yang pada akhirnya harus dibuang dengan lebih sering.
Analisis kadar air yang banyak digunakan adalah metode gravimetri terutama
karena biaya yang lebih tinggi dari peralatan dan penggunaan bahan kimia dalam
metode Karl Fischer (Ruiz. 2001).
26

C.1. Produk Perisa Bubuk

Müller (2007) menyatakan bahwa perisa adalah kategori pangan penting yang
secara sengaja ditambahkan pada bahan pangan. Perisa adalah bahan konsentrat
yang disiapkan dengan tujuan utama untuk memberikan rasa terkecuali bahan yang
secara eksklusif telah memiliki rasa manis, asam, dan asin. Perisa ditambahkan
dalam jumlah kecil pada bahan pangan dan tidak ditujukan untuk dikonsumsi secara
langsung. Semua substansi yang ditambahkan pada bahan pangan disebut sebagai
ingredient, misalnya flavour atau perisa, warna, emulsifier, garam dan sebagainya
yang dibedakan antara bahan alami dan sintetik menurut asalnya. Pada beberapa
Negara, perisa diklasifikasikan sebagai bahan tambahan makanan (food additive)
seperti di Amerika dan Jepang. Di bagian negara lainnya, flavour dipertimbangkan
sebagai suatu bentuk bahan pangan yang spesial seperti di Eropa.
Menurut SNI (2006) tentang bahan tambahan pangan, perisa adalah bahan
tambahan makanan (BTM) yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan
untuk memberikan aroma atau rasa atau keduanya (citarasa), akan tetapi bahan ini
tidak ditujukan untuk dikonsumsi secara langsung.
Berdasarkan asal bahan baku aromatik yang digunakan, perisa di
kelompokkan dalan perisa alami, perisa identik alami, dan perisa buatan. Jika
dilihat dari bentuk perisanya, perisa dibagi dalam bentuk cair yaitu campuran perisa
cair dan perisa emulsi, perisa semi padat yaitu minyak kental (viscous oil) dan
perisa pasta, perisa bubuk, platting atau dispersi perisa, dan perisa terenkapsulasi.
Perisa dapat menjadi cukup kompleks dan jumlahnya cukup banyak.
Perisa adalah substansi yang dapat memberikan sensasi rasa. Empat rasa dasar
dapat dirasakan pada bagian belakang lidah adalah rasa manis, asin, asam dan pahit.
Perisa menggunakan bahan alami, artifisial, atau kombinasi dan dapat berupa cairan
atau bentuk kering. Secara umumnya jenis perisa yang ada adalah buah-buahan,
dairy, meat, sayuran, minuman, dan liquor.
Perisa juga diklasifikasikan ke dalam kelompok rempah penting, perisa alami
dan artifisial. Material yang digunakan untuk untuk perisa dapat dikelompokkan
sebagai rempah dan bahan herbal, minyak esensial dan ekstraknya, buah dan jus
buah, dan senyawa alifatik, aromatik dan terpen (Igoe & Hui. 2001).
27

Menurut Müller (2007), perisa dapat terdiri dari perisa substansi, preparat
perisa, perisa proses, perisa asap, dan perisa pendukung. Terdapat tiga kategori pada
sustansi perisa yang didefinisikan oleh IOFI Code of Practice dan EU Flavour
Directive 88/388/EEC [1, 2]:
1. Natural flavouring substances, berasal dari bahan alami
2. Nature-identical flavouring substance, berasal dari bahan identik alami
3. Artificial flavouring substances, berasal dari bahan sintetik

Bahan Baku

Proses Pencampuran

Pengayakan (CCP)
Pengambilan Sampel
untuk QC
Penimbangan &
Pengemasan

Metal Detector (CCP)

Pemaletan

Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan perisa bubuk di PT Givaudan Indonesia

Proses produksi perisa bubuk adalah proses pencampuran kering dengan


menggunakan alat pencampur berupa blender dengan proses yang dapat dilihat pada
diagram alir berikut.
Proses pembuatan perisa bubuk adalah mencampurkan beberapa bahan baku
(dapat berupa bahan alami, identik alami atau bahan artifisial) dan bahan pengisi
(filler) yang dicampur dengan menggunakan alat pencampur (blender) dengan
waktu tertentu. Setelah bahan homogen maka dilakukan pengayakan yang
merupakan titik kritis kontrol pertama (CCP) untuk mencegah benda asing dan
ukuran partikel yang tidak diinginkan. Setelah itu bahan ditimbang sesuai dengan
berat bersih yang diinginkan dan pada saat itu dilakukan pengambilan sampel untuk
28

selanjutnya diserahkan ke bagian QC untuk dilakukan pemeriksaan. Setelah bahan


dikemas pada dus yang telah diberi label dan ditutup dengan lakban pada bagian
atas, maka dus-dus tersebut dilewatkan metal detektor yang merupakan titik kritis
kontrol kedua (CCP) untuk mendeteksi cemaran bahan metal dalam produk.
Selanjutnya dus tersebut diletakkan pada palet dan selanjutnya disimpan di gudang
sebelum dikirimkan ke konsumen. Bagian QC akan memeriksa sampel sesuai
dengan spesifikasi setiap bahan. Jika hasil analisis sesuai dengan standar dan
spesifikasi maka bahan akan diloloskan pada sistem sehingga dapat dikirim ke
konsumen. Jika bahan dalam kondisi pemeriksaan atau keluar dari spesifikasi, maka
produk akan terkunci secara sistem dan tidak dapat terkirim ke konsumen.
Untuk mempertahankan konsistensi mutu perisa bubuk, maka bagian QC akan
melakukan pengujian sebagai berikut:
- Penampakan dan warna produk dibandingkan dengan standar ataupun batch
sebelumnya dengan menggunakan metode pair comparison.
- Aroma dan rasa dibandingkan dengan standar ataupun batch sebelumnya
dengan menggunakan metode pair comparison.
- Kadar Air / susut pengeringan dengan metode LOD (loss on drying) yaitu
menggunakan oven dengan suhu 105oC selama 3 jam.
- Pengukuran kadar garam dengan metode potentiometric dengan menggunakan
alat autotitrator.
- Pengujian mikrobiologi sesuai dengan spesifikasi setiap perisa.

PT. Givaudan Indonesia memproduksi berbagai jenis perisa bubuk beberapa


diantaranya adalah perisa garlic, perisa HVP, dan perisa vanilla. Perisa Garlic
adalah produk bubuk perisa yang berbasiskan kombinasi ’flavor base’ berupa
beberapa jenis yeast, bubuk garlic dan 0.4% minyak (asam lemak tidak jenuh)
dengan ’filler’ campuran 40% tapioka dan 40% maltodekstrin. Sedangkan Perisa
HVP mengandung sekitar 40 % maltodektrin, MSG, beberapa jenis yeast dan 1%
minyak. Untuk perisa Vanilla digunakan vanilin sebagai ’flavor base’ dengan filler
laktosa sekitar 80% dan ditambah bahan lain hingga 100%.
Dengan proporsi yang sedemikian besar, ’filler’ dapat menjadi salah satu
penentu karakteristik akhir produk perisa bubuk. Tepung tapioka, maltodekstrin,
29

dan laktosa adalah bahan yang banyak dimanfaatkan sebagai ’filler’ dalam perisa
bubuk, karakteristik ketiga bahan ini patut ditelisik lebih dalam.
 Tepung Tapioka
Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan,
antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Tapioka yang
diolah menjadi sirup glukosa dan destrin sangat diperlukan oleh berbagai
industri, antara lain industri kembang gula, penggalengan buah-buahan,
pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Tapioka juga banyak
digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam
industri makanan, seperti dalam pembuatan puding, sop, makanan bayi, es
krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain. (kadar air: 6-
12%)
 Maltodekstrin
diperoleh dari hasil hidrolisis sebagian pati, berbentuk granula atau serbuk
kering (kadar air: ≤ 5%) berwarna putih yang bersifat agak higrokopis.
Maltodekstrin mudah larut atau terdispersi dalam air membentuk larutan yang
jernih sampai agak berkabut.
 Laktosa
Berupa serbuk kristal (kadar air: ≤ 6% ) berwarna putih sampai putih krem,
tidak berbau sampai sedikit berbau khas dengan rasa manis. Bisa berupa
anhidrat atau mengandung satu molekul air hidrat, atau mengandung
campuran kedua bentuk tersebut jika disiapkan dengan proses pengeringan
semprot. Larut dalam air, sangat sukar larut dalam alkohol, tidak larut dalam
kloroform dan eter.

D. Pengolahan Data Statistik

D.1. Presisi, Akurasi, Kalibrasi, dan Validasi Data

Presisi
Mengacu pada pengulangan pengukuran. Pengukuran yang berulang-ulang dapat
memberikan hasil yang menyimpang sedikit satu sama lain dalam batas-batas
jumlah angka signifikan yang didapat, maka dapat dikatakan bahwa data yang
didapat adalah tepat, atau bahwa hasil menunjukkan tingkat presisi yang tinggi.
30

Rata-rata data tersebut mungkin atau mungkin tidak mewakili nilai riil dari
parameter itu, yang artinya bisa menjadi tidak akurat (Kenkel. 2003).
Ketika sampel di ukur beberapa kali jarang dihasil masing-masing pengukuran bisa
sama. Presisi adalah pengukuran dari variasi yang ada. Semakin dekat nilai
pengukuran antara masing-masing hasil, maka hasilnya lebih presisi. Jadi presisi
adalah indikator dari hasil pengukuran yang dihasilkan secara berulang-ulang
(Harvey. 2000)

Akurasi
Berkaitan ketepatan dari pengukuran atau seberapa dekat hasil terhadap nilai
sebenarnya. Sebagai contoh jika diketahui berat sebenarnya dari suatu objek adalah
1.0000 g, maka akurasi penimbangan dapat ditentukan. Objek bisa ditimbang untuk
melihat apakah timbangan akan menunjukkan 1.0000 g. Jika beberapa pengulangan
menunjukkan hasil antara 0.9998 and 1.0002 g, maka dapat dikatakan bahwa hasil
penimbangan tersebut presisi dan akurat. Jika hasil pengulangan penimbangan
antara 0.9983 and 0.9987 g, maka dapat dikatakan hasil penimbangangan tersebut
presisi namun tidak akurat. Jika pengulangan penimbangan memberikan hasil
antara 0.9956 and 0.9991 g, maka dapat dikatakan data tersebut tidak presisi dan
akurat. Akhirnya, jika keseluruhan hasil penimbangan memberikan hasil antara
0.9956 and 1.0042 g, dimana reratanya adalah 1.0000 g, maka penimbangan
tersebut dapat dikatakan akurat namun tidak presisi. Hal ini dapat diilustrasikan
pada gambar 6 berikut ini (Kenkel. 2003)
Menurut Harvey (2000), akurasi adalah seberapa dekat hasil percobaan
dengan hasil yang diinginkan. Jika hasil pengukuran dari alat penimbang hasilnya
lebih dari batas limit presisi maka dapat dikatakan bahwa alat tersebut perlu
dikalibrasi.
31

Gambar 6 Ilustrasi Akurasi dan Presisi Data (Sumber: Kenkel. 2003)

Kalibrasi
Mengacu pada prosedur untuk memastikan bahwa alat tersebut memberikan hasil
yang sesuai pada nilai tertentu. Sebagai contoh alat penimbang seperti telah
didiskusikan di sebelumnya, terkadang alat tersebut dapat secara elektronik
disesuaikan atau di adjust untuk memberikan hasil seperti yang telah diketahui.
Namun kalibrasi juga bisa mengacu pada prosedur dimana hasil pengukuran yang
sebelumnya tidak diketahui menjadi diketahui. Sebagai contoh pada alat
spectrofotometer dimana nilai adsorbance pada larutan dengan konsentrasi dapat
dikenali oleh alat tersebut.
Sebelum prosedur dapat memberikan informasi analisis yang berguna, sangatlah
penting untuk menunjukkan kemampuan yang memberikan hasil yang dapat
diterima. Validasi adalah evaluasi apakah presisi dan akurasi dapat diperoleh
dengan mengikuti prosedur yang sesuai untuk permasalahan yang ada. Sebagai
tambahan, validasi menentukan apakah prosedur tertulis telah cukup detail sehingga
analis atau laboratorium yang berbeda yang mengikuti prosedur yang sama dapat
memberikan hasil yang sebanding. Idealnya validasi dilakukan dengan
menggunakan sampel standard dimana komposisi sangat dekat dengan sampel yang
prosedurnya sedang dirancang (Harvey. 2000)
32

D.1. Perancangan Percobaan, Analisys of Variance (ANOVA)

Masalah umum dalam ilmu pengetahuan dan industri adalah membandingkan


beberapa perlakuan untuk menentukan manakah yang dapat memberikan hasil yang
paling baik. Metode umum untuk mengetahui perbedaan tersebut dikenal dengan
nama analysis of variance yang disingkat sebagai ANOVA. Analysis of variance
adalah bagaimana mempelajari sejumlah variasi pada y (respon) dan mencoba
untuk mengerti dari mana variasi ini berasal.
Prosedur ANOVA dibangun berdasarkan hipotesis yang dikenal sebagai F-tes
dimana membandingkan seberapa banyak perbedaan antara kelompok
dibandingakan dengan seberapa besar variasi antara tiap kelompok.

Gambar 7 Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap hasil analisis “One Way
ANOVA”

Variasi antara kelompok disebut sebagai ‘intra-group variation’. Perbedaan antara


kelompok secara keseluruhan sebagaimana tercermin dari rata-rata populasi untuk
tiap faktor disebut ‘inter-group variation’ (Rowe. 2007)
Variasi one-way analysis digunakan bila:
• Titik akhir diukur nilainya (secara umum pada skala interval);
• Terdapat satu faktor eksperimen
• Faktor memiliki tiga atau lebih level.
33

Untuk melalukan analysis of variance, setiap kelompok data harus diambil dari
populasi distribusi normal dan kesemuanya harus mempunyai standard deviasi yang
sama. Sejumlah kecil sampel tidak sesuai untuk menggunakan metode ini.
Analysis of variance dimulai dengan perumusan stastistik pengujian hipotesa untuk
melihat perbedaan antara rata-rata populasi. Hipotesis nol adalah :

Dimana merupakan suatu keharusan untuk semua rata-rata perlakuan adalah sama.
Sebagai contoh, Ho sebagai nul hipotesis adalah desain wadah mempengaruhi pada
penjualan, dimana pada peneliti sangat tertarik apakah ada perbedaan antara rata-
rata populasi yang ada dan hipotesis alternatifnya adalah sebagai Hα.

Ini dapat dikatakan sebagai satu perlakuan yang menghasilkan rata-rata hasil yang
berbeda. Teknik statistik yang digunakan dalam contoh ini dikenal sebagai single-
factor ANOVA yang dikenal juga sebagai F-tes karena perhitungan hasil dalam
bentuk angka sebagai F. Berdasarkan nilai F maka keputusan dapat diambil apakah
diterima atau tidak diterima terhadap hipotesa nol (null hypothesis). Ketika
keputusannya adalah ditolak terhadap hipotesa nol, maka kesimpulan yang diambil
adalah terdapat perbedaan antara rata-rata populasi yang ada (Rafter et al, 2002).
Dalam perhitungan, Kuadrat Tengah Galat (KTG) diperoleh dari analisis
ragam, dimana jumlah banyaknya ulangan dinyatakan sebagai ragam (r), α sebagai
taraf nyata, p adalah banyaknya perlakuan tidak termasuk kontrol (p = t-1),
sedangkan dfe adalah derajat bebas galat.

Tabel 5 Analisis Varian/Keragaman untuk Rancangan Acak Lengkap

Sumber F F
Db JK KT Fhitung
Keragaman 5% 1%
Perlakuan t–1 JKP JKP/(t-1) KTP/KTG
JKG/(rt-
S Galat (rt-1)-(t-1) JKG t)
JKP+JK
Total Rt-1 G
Dimana :
34

t = perlakuan termasuk kontrol


p = perlakuan tidak termasuk kontrol = (t-1)
r = ragam = jumlah ulangan
rt = banyaknya pengamatan = r x t
db total = banyaknya pengamatan-1 = rt - 1
db perlakuan = total banyaknya perlakuan-1 = t - 1
db galat = db total - db perlakuan
FK = faktor koreksi=(∑(Yij))2/rt) = (total jendral)2/total pengamatan
JKT = ∑(Yij)2-FK =∑kuadrat tengah=total jendral kuadrat-FK
JKP = (∑(Yij)2)/r)-FK =(( total perlakuan)2/r) - FK
JKG = JKT-JKP
KTP = JKP/dbp = Kuadrat Tengah Perlakuan = JK Perlakuan/(t-1)
KTG = JKG/t*(r-1) = Kuadrat Tengah Galat= JK Galat /t (r-1)
Fhitung = KTP/KTG = KT Perlakuan/KT Galat
Kk = koefisien keragaman= (KTG0.5x100%)/nilai tengah umum
jika kk < 20% maka derajat ketepatan atau keterandalan percobaan semakin baik.

Menurut Rumsey (2009), kesimpulan dapat diambil dalam one of two ways
dimana nilai p tercapai atau nilai kritis termendekati (F-statistik). Kaitan nilai p
untuk F-tes terletak pada faktor baris dibawah kolom dengan judul P, nilai statistik
F-tes terletak pada baris baris dibawah kolom F.

Pendekatan nilai p adalah :


• Ho ditolak , jika nilai p adalah kurang dari α yang telah ditentukan (umumnya
0.05),
• Ho diterima, jika nilai p lebih besar dari α, terjadi bila tidak cukup bukti dari
data tersebut yang menyatakan rata-rata populasi k terdapat perbedaaan.

Pendekatan nilai kritis adalah :


Merata-ratakan nilai p, maka akan didapatkan nilai perpotongan pada F-distribution
dengan derajat bebas (k – 1, n – k). Perpotongan ini disebut sebagai nilai kritis, yang
35

telah ditentukan sebelumnya (umumnya 0.05). α = 0.05 adalah yang paling umum
dipakai pada distribusi F.
Berdasarkan table-F, titik kritis dicari dan dibandingkan dengan perhitungan
statistik F pada F-distribution yang sesuai dengan derajat bebas (k – 1, n – k) untuk
menarik kesimpuan:
• Ho ditolak, jika perhitungan statistik F keluar (lebih atau kurang) dari nilai yang
ditemukan dalam table F, tidak Dapat dikatakan paling sedikit dua perlakuan
atau populasi yang memiliki rata-rata yang berbeda.
• Ho diterima, jiak perhitungan statistik F lebih kecil dati nilai table F.

Dibutuhkan penilaian yang objektif yang lebih dalam, pada saat inilah ‘follow up’
atau ‘post hoc’ dibutuhkan. Disebut demikian karena secara tradisional hanya
digunakan setelah ANOVA terbukti berbeda secara signifikan, meskipun
sebenarnya tidak ada aturan untuk mengikuti urutan tersebut.
Menurut Rowe (2007), uji ANOVA hanyalah uji statistik yang menguji
signifikasi. Analysis of variance hanya memberitahukan apakah terdapat perbedaan
antara perlakuan yang ada, namun tidak memberitahukan perlakuan mana yang
berbeda dengan lainnya atau seberapa besar perbedaan antara pasangan perlakuan
yang ada. Follow-up tes memperbaiki kedua kekurangan tersebut :
• Dunnett’s – membandingkan satu populasi kontrol terhadap lainnya (satu
perlakuan dipilih sebagai kontrol atau populasi acuan. Semua perlakuan
kemudian dibandingakan dengan kontrol)
• Tukey’s – membandingkan semua populasi terhadap lainnya (semua populasi
dibandingkan dengan populasi lainnya pada setiap pasangan yang
memungkinkan)

Berikut ini adalah langkah-langkah umum dalam menggunakan one-way


ANOVA:
1. Periksa kondisi ANOVA, gunakan data yang yang sudah terkumpul dari tiap
populasi k.
2. Menentukan hipotesis Ho: µ1 = µ2 = . . . = µk lawan Ha: paling tidak dua rata-
rata dari populasi berbeda. Cara lainnya untuk menentukan hipotesa alternative
dengan mengatakan Ha: paling tidak dua dari µ1, µ2, . . . µk adalah berbeda.
36

3. Mengumpulkan data dari random dari sample k, satu dari tiap populasi.
4. Gunakan uji F pada data dari langkah ketiga, gunakan hipotesis dari langkah
kedua dan temukan nilai p.
5. Buat kesimpulan : jika Ho ditolak (ketika nilai p lebih kecil dari 0.05 atau dari
nilai α yang telah ditentukan), simpulkan bahwa dua dari rata-rata populasi
adalah berbeda atau simpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk menolak Ho,
dapat dikatakan rata-ratanya adalah berbeda (Rumsey. 2009).

D.2. Prosedur Multiple Comparison dan Tes Dunnett

Metoda multiple comparison didesain untuk menyelidiki perbedaan antara


pasangan dari rata-rata spesifik atau kombinasi linier dari rata-rata yang lebih
umum adalah subset dari rata-rata populasi menggunakan data sampel.
Prosedur multiple comparison dipakai untuk membandingkan beberapa
perlakuan secara bersamaan dengan kontrol atau perlakuan standar yang didesain
digunakan untuk menguji signifikan dari perbedaan antara tiap perlakuan dan
kontrol terhadap nilai tertentu 1 – P untuk tingkat signifikan yang sama atau untuk
menentukan batas kepercayaan pada nilai sebenarnya dari perlakuan yang berbeda
dari kontrol terhadap nilai P tertentu untuk koefisien yang sama. Jadi prosedur
memiliki sifat mengendalikan secara percobaan dibandingkan perbandingan awal
yang tingkat kesalahannya terkait dengan perbandingan itu sendiri yang biasa
dikenal sebagai prosedur multiple comparison dari Tukey.
Perbandingan antara perlakuan dan sebuah kontrol atau standar lebih diminati
pada percobaan biologi. Pada situasi tertentu tipe prosedur multiple comparison
yang penting bagi peneliti. Prosedur multiple comparison dapat digunakan untuk
membuat pernyataan yang meyakinkan. Perbandingan utama dari ketertarikan
peneliti adalah antara masing-masing dari tiga perlakuan terhadap kontrol (Dunnett.
1964).
Tujuan dari prosedur multiple comparison adalah untuk mengendalikan
“tingkat signifikan secara keseluruhan” dari beberapa kesimpulan yang dilakukan
sebagai “follow up” pada ANOVA. “Tingkat signifikan secara keseluruhan” atau
derajat kesalahan adalah probabilitas tergantung pada hipotesa nol yang diuji
37

dengan benar, dengan menolak paling tidak salah satu atau sebanding, memiliki
paling tidak satu interval kepercayaan tidak termasuk nilai yang benar.
Banyak metode prosedur multiple comparison. Sebagian besar membandingkan
rata-rata dari pasangan kelompok atau menentukan mana yang berbeda secara
signifikan. Variasi metode berbeda pada seberapa baik dapat mengendalikan tingkat
perbedaan nyata secara keseluruhan. Salah satunya adalah tes Dunnett yang
digunakan untuk membandingkan sample (kontrol) terhadap setiap perlakuan,
namun tidak membandingkan antara tiap perlakuan.

D.2.1. Many-to-One Comparisons

Many-to-one comparisons secara umum digunakan untuk membandingkan


perlakuan percobaan yang berbeda dibandingakn terhadap rata-rata perlakuan
kontrol yang ditujukan sebelum pengumpulan data. Data yang mengandung k-1
perbandingan berpasangan dengan rata-rata kontrol dalam setiap perbandingan.
Seringkali, tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perlakuan percobaan dengan
hasil yang signifikansi "lebih baik" dari kontrol ini karena memerlukan uji hipotesis
satu sisi. Jika tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perlakuan yang secara
signifikan "lebih baik" atau secara signifikan "buruk" hasilnya, maka uji hipotesis
dua sisi diperlukan. Sebuah aplikasi kedua dari many-to-one comparisons ini
digunakan ketika rata-rata percobaan eksperimental yang berbeda dibandingkan
dengan rata-rata percobaan "terbaik". Tes Dunnett adalah pengujian nyata bagi
keluarga many-to one comparisons ketika kontrol telah ditentukan sebelum
pengumpulan data (Rafter et al. 2002).
Tes Dunnett digunakan hanya jika semua rata-rata dibandingkan dengan satu
rata-rata yang disebut kelompok kontrol. Beberapa variasi beras dapat dibandingkan
dengan beras yang umum (dan hanya dibandingakan dengan beras yang umum,
tidak dibandingakan antara perlakuan), tes Dunnett menjadi prosedur multiple-
comparison yang sesuai.
Dunnett's t-tes adalah prosedur yang di rancang untuk membandingkan
kondisi perlakuan yang berbeda terhadap kondisi umum kontrol. Prosedur untuk
membandingkan tiap rata-rata percobaan terhadap kontrol disebut sebagai “Tes
Dunnett”.
38

D.2.2. Tes Dunnett

Tes Dunnett digunakan saat sebuah perlakuan dipilih dan disebut sebagai
kontrol atau kelompok acuan. Tes Dunnett akan memperlakukan satu populasi
sebagai acuan dan kemudian membandingkannya terhadap perlakuan lainnya.
Tingkat kepercayaan diperhitungkan antara tiap pasangan perlakuan. Jika interval
tidak termasuk nol diperbandingan secara stastistik, hasilnya akan nyata. Jika
interval diperhitungkan untuk memberikan perbandingan lebih kecil 5 per resiko
yang dihasilkan maka akan menghasilkan kesalahan positif maka keseluruhan
perbandingan akan di kumpulkan dengan total 5 per resiko (Rowe. 2007).
O'Mahony 1986 menjelaskan bahwa Tes Dunnett digunakan jika semua rata-
rata akan dibandingkan dengan satu rata-rata yang disebut sebagai kontrol. Tes
Dunnett membandingakan rata-rata populasi yang ada dan ini spesifik dirancang
untuk kondisi dimana semua populasi dibandingkan terhadap satu acuan populasi.
Secara umum digunakan setelah ANOVA telah menolak hipotesis dari
kesebandingan rata-rata dari distribusi. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi
populasi yang memiliki rata-rata yang berbeda nyata dari rata-rata populasi acuan.
Uji tesebut adalah hipotesis nol dimana tidak ada populasi denga rata-rata berbeda
nyata dari rata-rata populasi kontrol.

Gambar 8 Skema pengujian pada uji Dunnett (Sumber : Rafter et al , 2002)


39

Menurut Rafter et al (2002), karena kontrol sangat penting pada Tes Dunnett
maka perlu mempunyai jumlah sample yang lebih banyak dari populasi lainnya.
Aturan yang berlaku untuk mengoptimalisasi prosedur yaitu jika setiap populasi
percobaan k-1 memiliki nilai n, maka populasi kontrol harus memiliki nilai kira-
kira . Jika populasi percobaan memiliki jumlah sample yang berbeda, rata-
rata jumlah sample harus dikali dengan untuk memutuskan jumlah sample
populasi kontrol.

Bentuk two-sided tes adalah :

Tes Dunnett menuntut semua populasi mempunyai jumlah sampel yang sama.
Jika ANOVA ditolak berdasarkan persamaan hipotesis, maka pertanyaan
populasi mana yang memiliki rata-rata yang berbeda nyata dengan populasi kontrol.
Tes Dunnett dengan sukses membandingkan :
• Populasi kontrol vs populasi 1 (H0 : µ t = µ 1 / H1 : µ t µ 1),
• Populasi kontrol vs populasi 2 (H0 : µ t = µ 2 / H1 : µ t µ 2),
• Populasi kontrol vs populasi 3 (H0 : µ t = µ 3 / H1 : µ t µ 3).

Setiap pasang (Kontrol, populasii), Tes Dunnett memperhitungkan nilai dari


statistik « tobserved ». Nilai ini dibandingakan dengan nilai kritis yang dapat di baca
pada "Tabel Dunnett". Nilai kritis ini tergantung pada jumlah sampel, jumlah
populasi yang akan dibandingakan terhadap reference/kontrol dan pemilihan level
signifikan.
Nilai t* adalah nilai yang diperoleh dari tabel t- Dunnett (lampiran 2 dan
lampiran 3) pada taraf nyata α dengan derajat bebas = dfe. Pada tabel t-Dunnett
biasanya telah ditentukan untuk pengujian dua arah.
Tes Dunnett mengendalikan derajat bebas percobaan dan lebih hebat dari
pada pengujian lain yang dirancang membandingkan tiap rata-rata terhadap rata-rata
lainnya. Uji ini dilakukan dengan memperhitungkan modifikasi t-tes antara setiap
populasi dan populasi kontrol. Rumus dari t-tes Dunnett adalah :
40

Dimana Mi adalah rata-rata dari populasi percobaan ke-i, Mc adalah rata-rata dari
populasi kontrol, MSE adalah rata-rata dari akar kesalahan yang dihitung dari
analysis of variance dan nh adalah rata-rata jumlah sample populasi percobaan dan
kontrol yang harmonis (Rafter et al. 2002).

Perhitungan dengan Tes Dunnett :


Galat Baku = ( 2 KTG / r)0.5
Nilai d = t (Dunnett) x Galat Baku
Nilai tunggal dari Dunnett (d atau DLSD) tersebut adalah :

Untuk pasangan (kontrol, populasii ), jika ti observed adalah lebih besar dari nilai kritis
tcritical rata-rata dari grup i dinyatakan berbeda nyata dari rata-rata grup kontrol.
Dimana µI adalah rata-rata dari populasi percobaan dan µc adalah rata-rata populasi
kontrol. Perbedaan nyata tampak ketika interval kepercayaan untuk µI - µc tidak
sama dengan nol. Untuk tes one-sided yang lebih rendah dengan laternatif hipotesis
yang sesuai Hα:µI - µc<0, perbedaan nyata ditunjukkan ketika tes one-sided yang
lebih tinggi kurang dari nol. Untuk tes one-sided yang lebih tinggi dengan alternatif
hipotesis yang sesuai adalah Hα:µI - µc>0, perbedaan nyata ditunjukkan ketika tes
one-sided yang lebih rendah lebih besar dari nol (Rafter et all, 2002).
Jika tobserved > tcritical pada beberapa populasi maka H0 yang berkaitan dengan
populasi ini akan ditolak, dan rata-rata populasi mean aan dinyatakan berbeda
nyata dari rata-rata populasi kontrol (pada signifikan level tertentu).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium PT. Givaudan Indonesia. Penelitian


dilakukan mulai bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Desember 2011.

B. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tepung tapioka,


maltodekstrin, dan laktosa yang merupakan bahan filler dalam pembuatan produk
bubuk perisa, serta tiga jenis bubuk perisa yaitu perisa HVP, perisa Garlic dan
perisa Vanilla. Khusus untuk tapioka yang digunakan pada penelitian pendahuluan,
dilakukan proses penyeragaman kadar air awal terlebih dahulu sebelum bahan ini
dipakai.

C. Peralatan

Peralatan yang digunakan berupa oven konveksi (Memert UM-400), Moisture


Analyzer Halogen (Mettler Toledo HB43-S), desikator, kotak plastic kedap udara,
inkubator, cawan alumunium, neraca analitik (Sartorius BP160P), dan Karl Fischer
autotitrator Mettler Toledo DL31.

D. Metode Percobaan

Percobaan dalam penelitian ini terbagi atas tiga tahapan, yaitu (1) penelitian
pendahuluan, (2) penelitian tahap pertama dan (3) penelitian tahap kedua.

D.1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan terhadap sampel tepung tapioka untuk


melihat kesetaraan hasil pengukuran metoda oven dengan metoda analisis cepat
menggunakan Moisture Analyzer Mettler Toledo Halogen HB43-S. Untuk
memastikan bahwa sampel tapioka yang diukur menggunakan kedua alat tersebut
42

memiliki kandungan air awal yang identik dan diketahui secara pasti, maka
dilakukan proses penyeragaman kadar air awal sampel.
Sampel tapioka dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yang berbeda, kelompok A
adalah sampel tapioka yang diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan
garam jenuh MgCl2 (RH25°C=32,73%), kelompok B diseragamkan kadar air awalnya
menggunakan larutan garam jenuh NaCl (RH25°C=75,32%), dan kelompok C
diseragamkan kadar air awalnya menggunakan larutan garam jenuh KCl (RH25°C
=84,32%).
Masing – masing kelompok sampel tapioka yang telah mencapai kadar air
kesetimbangan (equilibrium moisture content/EMC) kemudian diukur kadar airnya
menggunakan oven konveksi yang dioperasikan pada suhu tetap 105 °C (sampel
A1) dan Moisture Analyzer Mettler Toledo HB43-S yang dioperasikan pada 7
tingkat suhu yaitu 95 °C (sampel A2), 100 °C (A3), 105°C (sampel A4), 110°C
(sampel A5), 115°C (sampel A6), 120°C (sampel A7), dan 125°C (sampel A8).
Secara skematis skenario percobaan di tahap ini dapat dilihat pada gambar 9.

Tapioka disimpan dengan Pengukuran kadar air tapioka yang


RH tertentu selama 21 hari , sudah dikondisikan tersebut dengan
kemudian diuker dengan menggunakan Moisture Analyzer
menggunakan metoda LOD - Halogen (3 kali pengulangan) pada 7
Oven (3 kali pengulangan) suhu yang berbeda

A2 A3 A4 A5
Mana suhu
A1 yang hasilnya
mendekati ? A6 A7 A8

Suhu yang
menghasilkan
kadar air yang
sama dengan LOD

Menjadi acuan suhu pengukuran kadar air pada pengujian selanjutnya

Keterangan: A = tapioka ; 1 = oven 105 °C ; 2 = MA 95 °C ; 3 = MA 100 °C ; 4 = MA 105 °C ;


5 = MA 110 °C ; 6 = MA 115 °C ; 7 = MA 120 °C ; 8 = MA 125 °C
Gambar 9 Skenario penelitian pendahuluan
43

D.2. Penelitian Tahap Pertama

Penelitian tahap pertama dilakukan terhadap tiga jenis bahan dasar yang biasa
digunakan sebagai bahan pembawa atau bahan pengisi pada produk perisa yaitu
tepung tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan ini bertujuan untuk menentukan
setting suhu pemanasan yang tepat untuk masing–masing bahan pada alat ’Moisture
Analyzer’, sehingga bila nantinya diterapkan untuk pengukuran kadar air, hasil
pengukuran yang didapatkan oleh ’Moisture Analyzer’ akan setara dengan hasil
pengukuran kadar air menggunakan oven konveksi (SNI 01-2891-1992 butir 5.1).
Suhu tersebut akan dijadikan acuan untuk pengukuran kadar air produk bubuk
perisa yang sebagian besar komponennya adalah ketiga bahan dasar yang telah
disebutkan di atas. Skenario penelitian tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 10.

Keterangan:
A = tapioka ; B = maltodekstrin ; C = laktosa
1 = oven 105 °C ; 2 = MA 100 °C ; 3 = MA 105 °C ; 4 = MA 110 °C

Gambar 10 Skenario penelitian tahap pertama


44

D.3. Penelitian Tahap Kedua

Penelitian kedua dilakukan pada bubuk perisa HVP, Garlic, dan Vanilla.yang
sebagian besar komponennya adalah tapioka, maltodekstrin dan laktosa. Tahapan
ini dilakukan untuk memverifikasi apakah setting suhu pemanasan yang telah
didapatkan pada tahap sebelumnya dapat diterapkan untuk analisis kadar air produk
perisa HVP (berbahan dasar maltodekstrin), perisa garlic (berbahan dasar campuran
tapioka - maltodekstrin), dan perisa vanilla (berbahan dasar laktosa). Apabila dapat
ditunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar air ketiga produk ini menunjukkan
perilaku yang sama dengan hasil pengukuran pada bahan dasarnya, maka
selanjutnya metoda pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer HB43-S
untuk produk - produk perisa jenis lain akan mengikuti metoda pengukuran bahan
dasarnya. Skenario penelitian tahap kedua dapat dilihat pada Gambar 11. Khusus
untuk perisa vanilla dilakukan pula pengukuran kadar air menggunakan metoda
titrimetri Karl Fischer karena produk ini banyak mengandung bahan – bahan yang
diperkirakan akan terdekomposisi bila terekspose panas tinggi.

Keterangan:
A = perisa HVP ; B = perisa garlic ; C = perisa vanilla
1 = oven 105 °C ; 2 = MA 100 °C ; 3 = MA 105 °C ; 4 = MA 110 °C

Gambar 11 Skenario penelitian tahap kedua


45

D.4. Penyeragaman Kadar Air Sampel Tapioka

Penyeragaman kadar air sampel tapioka yang digunakan pada tahap penelitian
pendahuluan dilakukan dengan cara menempatkan sample uji ke dalam beberapa
desikator/wadah kedap udara yang didalamnya masing–masing telah ditempatkan
larutan garam jenuh (A) MgCl2 RH 25°C = 32,73%, (B) NaCl RH 25°C = 75,32%, dan
KCl (C) RH 25°C = 84,32%. Wadah kedap udara/desikator tersebut selanjutnya
disimpan dalam inkubator bersuhu konstan 25°C selama 3 (tiga) minggu. Di akhir
penyimpanan diharapkan kadar air sampel telah mencapai kadar air kesetimbangan
(equilibrium moisture content) sesuai dengan kondisi RH udara penyimpanan.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 12 Persiapan wadah proses penyeragaman kadar air
46

Tabel 6 Nilai RH yang dibentuk oleh 3 larutan garam jenuh yang digunakan pada
suhu 25oC

Larutan garam jenuh Kelembaban relatif yang terbentuk (RH, %)


25oC
MgCl2 32,73
NaCl 75,32
KCl 84,32
Sumber : Syarief & Halid (1993) dan Koesnandar (2010)

Proses penyeragaman kadar air dimulai dengan penyiapan kontainer plastik


kedap udara sebagai pengganti desikator, dan mengisi kontainer tersebut dengan
larutan garam jenuh sesuai dengan RH yang hendak disasar (Gambar 12a dan 12b).
Bagian bawah kontainer plastik tersebut diberi penyangga supaya larutan
garam tidak bersentuhan dengan cawan yang digunakan untuk menaruh sampel
(Gambar 12c). Cawan yang akan digunakan ditimbang (Gambar 12d) kemudian
ditambahkan sampel kedalamnya dan ditimbang lagi. Cawan berisi sampel yang
telah ditimbang diletakkan di dalam kontainer di atas sekat dan ditutup rapat
(gambar 13a, 13b dan 13c) setelah itu dimasukkan dalam inkubator 25oC dan
dibiarkan selama 3 minggu (Gambar 13d dan 13e). Setelah 3 minggu maka sampel
dikeluarkan dari inkubator.
47

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 13 Proses penyeragaman kadar air sampel tapioka

E. Metoda Pengamatan

E.1. Kadar Air dengan Oven (SNI 01-2891-1992 butir 5.1)

Cawan alumunium atau botol timbang bertutup dikeringkan pada suhu 105 °C
selama 1 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang, diisi dengan contoh yang akan
ditentukan kadar airnya, ditimbang dengan seksama sebanyak 1 sampai 2 gram.
Sampel tersebut dikeringkan pada di oven suhu 105 oC hingga diperoleh bobot
tetap. atau sampai tercapai berat konstan.

% Kadar Air = W sampel – (W akhir – W cawan) x 100 % (1.4)


Basis Basah W sampel

% Kadar Air = W sampel – (W akhir – W cawan) x 100 % (1.5)


Basis Kering (W akhir – W cawan)
48

Gambar 14 Alat oven Memmert yang digunakan untuk pengujian kadar air.

E.2. Pengukuran Kadar Air dengan menggunakan Moisture Analyzer HB43-S

Alat Moisture Analyzer di nyalakan selama 30 menit. Suhu pengukuran yang


diinginkan diatur pada alat dengan memilih metode yang sesuai dengan menekan
tombol ”Mode”. Alas alumunium bersih diletakkan pada tempat alas dan alat akan
melakukan tare secara otomatis. Sebanyak sekitar 3 gr sampel diratakan pada alas
alumunium, kemudian alat ditutup, maka alat akan memanaskan produk dengan
pijaran halogennya dan menimbang secara otomatis sampai berat bahan konstan
dan hasil akan tercetak pada alat pencetak.

E.3. Pengukuran Kadar Air dengan menggunakan metoda Karl Fischer

Karl Fischer Method (AOAC 977.10, 1995)


Pemeriksaan konsentrasi titran (Hydranal Composit 5) dan Hydranal
Methanol perlu dilakukan dan memastikan selang terhubung dengan tepat ke alat.
Pastikan wadah dalam kondisi kering. Alat Karl Fischer Titrator DL-31 dinyalakan
tekan tombol “POWER”. Pastikan printer LX8-terhubung dengan alat KF dan
dalam kondisi aktif. Wadah titrasi dibilas bersih dan selang diturunkan mendekati
dasar wadah. Tekan tombol pompa untuk memasukkan cairan Hydranal Methanol
±40 ml sebagai pelarut ke dalam wadah, titratasi awal pelarut tersebut dengan
Hydranal Composit 5 untuk menghilangkan kadar air dalam pelarut. Setelah stabil,
masukkan sampel pada wadah dan tutup rapat. Masukkan berat sampel pada alat,
49

dan tekan tombol mulai, maka alat akan mentitrasi sampel dan setelah titik akhir
terdeteksi oleh elektroda, maka hasil kadar air atau water content (%) akan tercetak
secata otomatis.

Gambar 15 Perangkat autotitrator KF Mettler Toledo DL31


50
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan, tepung tapioka dikondisikan dengan


menempatkan sampel ini di dalam wadah yang berisi larutan garam jenuh dan
disimpan dalam inkubator 25oC selama 3 minggu. Adapun garam jenuh yang
digunakan adalah MgCl2 dengan RH 25oC = 32,73%, NaCl dengan RH 25oC =
75,32%, KCl dengan RH 25oC = 84,32%. Larutan garam dinyatakan jenuh apabila
sebagian dari kristal garam tersebut tidak dapat larut lagi di dalam air atau
membentuk endapan.

Tabel 7 Peningkatan kadar air tepung tapioka pada suhu 100oC dengan MA pada
berbagai aw

Kadar Air Tapioka diukur dengan MA 100oC


Jenis Garam MgCl2 NaCl KCl
RH 32,73 75,32 84,32
Hari ke 0 9,63 9,63 9,63
Hari ke 1 9,25 12,75 13,23
Hari ke 7 8,47 14,13 15,74
Hari ke 9 8,68 14,48 16,34
hari ke 12 8,78 14,26 16,54
hari ke 21 8,75 14,43 16,30

Pada pengujian pendahuluan ini beberapa sampel diambil dari wadah yang berisi
larutan garam jenuh untuk melihat apakah tepung tapioka yang ditaruh di
dalamnya telah mencapai kesetimbangan atau belum. Penyimpanan dilakukan
selama 21 hari karena belum diketahui berapa lama tepung tapioka perlu disimpan
sampai kesetimbangan tercapai. Dari tabel 7 didapatkan informasi baru bahwa
tepung tapioka yang dikondisikan pada berbagai RH tersebut telah mencapai
kesetimbangan pada hari ke-9 penyimpanan pada suhu 25oC.
Berikut ini adalah hasil rata-rata perhitungan kadar air tepung tapioka basis
kering dan basis basah yang telah dikondisikan pada berbagai RH yang telah
mencapai kesetimbangan ERH (equilibrium relative humiditt) yang diukur pada
berbagai suhu pengukuran yang berbeda untuk mendapatkan suhu pengukuran
52

yang sesuai yang dapat digunakan pada pengujian selanjutnya. Hasil kadar air
yagn didapat dapat disebut sebagai EMC (equilibrium moisture content).
Perhitungan ANOVA dan Dunnett dilakukan pada tepung tapioka yang disimpan
pada larutan garam jenuh MgCl2 (RH=32,72) pada tabel 9 dan 10 hasil
perhitungan kadar air basis basah, sedangkan tabel 12 dan 13 yang merupakan
hasil perhitungan menggunakan basis kering.

Tabel 8 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis basah di berbagai
ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda
Rata-rata kadar air basis basah pada Tapioka
diukur dengan alat dan suhu yang berbeda
Garam RH aw
Oven MA MA MA MA MA MA MA
105 95 100 105 110 115 120 125
MgCl2 32,72 0,33 9,1534 8,6500 8,7567 9,2533 9,4100 9,6867 9,8800 10,1050
NaCl 75,32 0,75 14,5486 14,0867 14,4667 14,7433 14,8900 15,0400 15,2533 15,4000
KCl 84,32 0,84 16,4765 16,1267 16,2700 16,4567 16,7767 16,9567 17,0133 17,2533

Tabel 9 ANOVA tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2 (RH=32,72)
pada 7 suhu pengukuran yang berbeda

Sumber
DB JK KT Fhitung F 5% F 1%
Keragaman
Perlakuan 7.00 5.57 0.80 110.15 2.92 3.73
Galat 16.00 0.12 0.01
Total 23.00 5.69

Tabel 10 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis basah pada Garam MgCl2
(RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda

Perbandingan Beda Mutlak


Kontrol Nilai d Hasil
Sample vs (|Yi-Yj|)
MA 95oC Oven 105oC 0.503 0.203 Beda Nyata
MA 100oC Oven 105oC 0.397 0.203 Beda Nyata
MA 105oC Oven 105oC 0.100 0.203 Tidak Nyata
MA 110oC Oven 105oC 0.257 0.203 Beda Nyata
MA 115oC Oven 105oC 0.533 0.203 Beda Nyata
MA 120oC Oven 105oC 0.727 0.203 Beda Nyata
MA 125oC Oven 105oC 0.952 0.203 Beda Nyata

Tabel 11 Kadar air kesetimbangan (EMC) tepung tapioka basis kering (g/100 g
padatan) diberbagai ERH pada 7 suhu pengukuran yang berbeda
Rata-rata kadar air basis kering pada Tapioka
diukur dengan alat dan suhu yang berbeda
Garam RH aw
Oven MA MA MA MA MA MA
105 MA 95 100 105 110 115 120 125
MgCl2 32,7 0,33 10,0757 9,4692 9,5971 10,1970 10,3875 10,7257 10,9632 11,2409
NaCl 75,3 0,75 17,0257 16,3966 16,9135 17,2929 17,4950 17,7025 17,9988 18,2034
KCl 84,3 0,84 19,7270 19,2274 19,4316 19,6984 20,1588 20,4191 20,5013 20,8508
53

Tabel 12 ANOVA tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2 (RH=32,72)
pada 7 suhu pengukuran yang berbeda

Sumber
DB JK KT Fhitung F 5% F 1%
Keragaman
Perlakuan 7,00 8,25 1,18 111,06 2,92 3,73
Galat 16,00 0,17 0,01
Total 23,00 8,42

Tabel 13 Hasil Dunnett Test pada tepung tapioka basis kering pada Garam MgCl2
(RH=32,72) pada 7 suhu pengukuran yang berbeda

Perbandingan Beda Mutlak


Kontrol Nilai d Hasil
Sample vs (|Yi-Yj|)
MA 95oC o
Oven 105 C 0,606 0,246 Beda Nyata
MA 100oC Oven 105oC 0,479 0,246 Beda Nyata
MA 105oC Oven 105oC 0,121 0,246 Tidak Nyata
MA 110oC Oven 105oC 0,312 0,246 Beda Nyata
MA 115oC Oven 105oC 0,650 0,246 Beda Nyata
MA 120oC Oven 105oC 0,887 0,246 Beda Nyata
MA 125oC Oven 105oC 1,165 0,246 Beda Nyata

Dari tabel data di atas terlihat bahwa hasil pengukuran EMC menggunakan
moisture analyzer yang diatur pada suhu 105 °C menunjukkan hasil yang paling
mendekati hasil pengukuran menggunakan oven konveksi UM-400 yang
diperlakukan sebagai kontrol. Uji ANOVA terhadap data–data tersebut
membuktikan bahwa sekurang–kurangnya terdapat 95% yang memiliki hasil F
hitung kurang dari F tabel 2.92 seperti tampak pada tabel 10 dan 12. Selanjutnya
dengan uji lanjutan Dunnett dapat dibuktikan bahwa hasil pengukuran EMC
tepung tapioka menggunakan moisture analyzer HB43-S yang diatur pada suhu
105 °C adalah secara statistik setara dengan hasil pengukuran menggunakan oven
konveksi UM-400. Hasil pengukuran dengan MA 105°C tidak berbeda nyata
dengan hasil pengukuran pada oven 105°C seperti tampak pada tabel 11 dan 13.
Untuk detail perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4.
Dari hasil percobaan pendahuluan ini maka dapatkan suhu yang akan
dipakai untuk pengujian selanjutnya adalah 105oC beserta suhu di bawah dan
diatasnya +/- 5oC.
54

Kadar Air (oven) vs aw Tapioka Rata-rata KA


o Oven
suhu penyimpanan 25 C selama 3 minggu
20
18
16
Kesetimbangan(%)

14
Kadar Air

12
10
8
6
4
2
0
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90
Aktifitas Air (aw )

Gambar 15 Grafik sorpsi isotermis tepung tapioka basis kering pada kondisi
setimbang pada tapioka pada suhu penyimpanan 25oC

Menurut Andarwulan (2011) dan Koesnandar (2010), hubungan kadar air


dan aw suatu bahan pangan mengikuti suatu pola tertentu yang dinamakan dengan
sorpsi isotermis air. Kadar air kesetimbangan (ERH atau EMC) hasil perhitungan
menggunakan basis kering dalam gram per 100 gram padatan pada Tabel 11 untuk
sample yang dikondisikan pada RH tertentu yang diukur dengan oven dapat
dibuat kurva sorpsi isotermis air tapioka seperti dapat dilihat pada Gambar 15
dengan aktifitas air sebagai sumbu x. Dari tabel kurva isotermis sorpsi air pada
gambar tersebut dapat diperkirakan berapa kadar air tapioka pada keadaan
kesetimbangan jika bahan ditaruh pada RH tertentu. Misalkan jika tepung tapioka
diletakkan pada ruangan dengan RH 75% sampai bahan menjadi setimbang (aw =
0,75), maka kadar air kesetimbangan tepung terigu akan mencapai 16.86%.

B. Penelitian Tahap Pertama: Pengukuran Kadar Air Bahan Dasar Bubuk


Perisa
Tahapan ini bertujuan untuk mengkonfirmasi lebih lanjut bahwa suhu
pengukuran menggunakan alat moisture analyzer yang diperoleh dari tahapan
penelitian sebelumnya, yaitu suhu 105oC, bila diterapkan untuk pengukuran kadar
air bahan baku bubuk perisa (tapioka, maltodekstrin, dan laktosa) dapat
55

memberikan hasil pengukuran yang setara dengan hasil pengukuran kadar air
bahan-bahan tersebut menggunakan metoda standar yang selama ini digunakan.

B.1. Tepung Tapioka

Pada percobaan ini sampel – sampel tepung tapioka diukur kadar airnya
menggunakan satu Moisture Analyzer yang sama namun diukur pada 3 (tiga) suhu
yang berbeda yaitu suhu 100, 105, 110oC, hasil pengukuran yang didapat
dibandingkan dengan hasil pengukuran kadar air menggunakan metoda oven
konveksi (SNI 01-2891-1992 butir 5.1). Seperti tampak pada tabel 14, rata-rata
pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer yang diukur pada suhu
105 oC memberikan hasil kadar air 9,78%, mendekati hasil pengukuran
menggunakan oven yang diset pada suhu yang sama yaitu 9,7589%.

Tabel 14 Kadar Air rata-rata Tepung Tapioka

Kadar Air (%)


Oven 105oC MA 100oC MA 105oC MA 110oC
Rata-rata 9,7589 9,59 9,78 10,12
Standar Deviasi 0,1302 0,0859 0,0909 0,0662
Koefisien Varian 1,33% 0,90% 0,93% 0,65%

Tabel 15 Perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Tepung Tapioka

Beda Mutlak Nilai d


Moisture analyzer vs oven Hasil
(|Yi-Yj|) Dunnett
o o
MA 100 C vs Oven 105 C 0,167 0,105 Beda Nyata
MA 105oC vs Oven 105oC 0,020 0,105 Tidak Nyata
MA 110oC vs Oven 105oC 0,368 0,105 Beda Nyata

Uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji post hoc menggunakan tes
Dunnett seperti tampak pada tabel 15 dan Lampiran 5 (5.1), membuktikan bahwa
pengukuran kadar air sampel tapioka menggunakan alat Moisture Analyzer yang
diatur pada suhu 105oC secara statistik hasilnya tidak berbeda nyata dengan hasil
pengukuran kadar air sampel tapioka yang diukur dengan oven 105oC. Oleh
karena itu dapat disimpulkan untuk tepung tapioka, metoda pengukuran kadar air
menggunakan Moisture Analyzer yang diatur pada suhu 105oC dapat
menggantikan metoda oven konveksi yang selama ini digunakan sebagai metoda
standar untuk pengukuran kadar air.
56

B.2. Maltodekstrin

Kadar air maltodekstrin diukur dengan alat Moisture Analyzer HB43-S pada
tiga suhu yang berbeda (100, 105, 110oC) untuk mengetahui hasil kadar air mana
yang mendekati hasil pengukuran dengan metode oven UM-400. Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa kadar air maltodekstrin yang diukur dengan alat
Moisture Analyzer pada suhu 105 oC memberikan hasil kadar air 5,20% yang
hasilnya mendekati dengan kadar air yang diukur dengan alat oven pada suhu
yang sama yaitu 5.2055% seperti tampak pada Tabel 16.

Tabel 16 Kadar air rata-rata Maltodekstrin

Kadar Air (%)


Oven 105oC MA 100oC MA 105oC MA 110oC
Rata-rata 5,2055 4,70 5,20 5,30
Standar Deviasi 0,0393 0,0993 0,0769 0,0538
Koefisien Varian 0,75% 2,11% 1,48% 1,02%

Tabel 17 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Maltodekstrin

Beda
Moisture analyzer vs oven Mutlak Nilai d Hasil
(|Yi-Yj|)
MA 100oC vs Oven 105oC 0,353 0,096 Beda Nyata
MA 105oC vs Oven 105oC 0,005 0,096 Tidak Nyata
MA 110oC vs Oven 105oC 0,093 0,096 Beda Nyata

Hasil perhitungan statistik dengan tes Dunnett pada Tabel 17 menunjukkan


bahwa hasil pengukuran kadar air dengan menggunakan Moisture Analyzer pada
suhu 105oC memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan hasil dengan
metode oven. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Moisture Analyzer pada
suhu 105oC memberikan hasil yang mendekati hasil metode oven sehingga
moisture HB43-S pada suhu 105oC dan dapat digunakan sebagai metode
pengganti oven UM-400 untuk bahan baku maltodekstrin. Secara lengkap
perhitungan statistik dengan tes Dunnett dapat dilihat di Lampiran 5 (5.2).

B.3. Laktosa

Menurut Andarwulan (2011), laktosa, sukrosa, dan maltosa merupakan


senyawa disakarida yang juga merupakan senyawa polimer yang bersifat
mengikat air, keberadaannya dalam sampel bahan pangan dapat menyebabkan air
57

sulit keluar dari sampel tersebut. Penggunaan suhu pemanasan yang cukup tinggi
(suhu 70-100oC) dapat menyebabkan laktosa mengalami dekomposisi dan terurai
menghasilkan senyawa yang bersifat volatil, sehingga hal ini dapat mempengaruhi
data kadar air yang diperoleh.
Untuk menganalisis kadar air sampel bahan pangan yang mengandung gula
khususnya fruktosa atau laktosa, AOAC (1984) merekomendasikan metoda LOD
menggunakan oven vakum suhu 60-70oC. Metode pemanasan sebenarnya kurang
sesuai digunakan untuk mengukur kadar air laktosa, karena sifatnya yang peka
dan mudah terdekomposisi bila terkena panas. Kadar air bahan seperti ini akan
lebih tepat bila diukur menggunakan metode Karl Fischer yang tidak
membutuhkan pemanasan pada proses analisisnya. Berdasar kekhususan sifat
yang dimilikinya, untuk laktosa dan produk bubuk perisa yang dibuat dari bahan
ini metode Karl Fischerlah yang dijadikan sebagai metoda referensi analisis kadar
air, bukan metoda oven konveksi. Pereaksi Karl Fischer sangat sensitif terhadap
air sehingga metode ini dapat diaplikasikan untuk analisis kadar air bahan pangan
yang mempunyai kandungan air yang sangat rendah seperti produk minyak/lemak,
gula, madu dan bahan kering.

Tabel 18 Kadar air laktosa diukur menggunakan beberapa jenis metode.

Water Content Kadar Air (%)


KF Oven 105oC MA 100oC MA 105oC MA 110oC
Rata-rata 5,39 0,0604 0,84 0,91 1,54
Standar Deviasi 0,1479 0,0067 0,1078 0,1593 0,2059
Koefisien Varian 2,75% 11,13% 12,78% 17,49% 13,41%

Hasil pengukuran kadar air dengan metode KF menggunakan autotitrator


Mettler Toledo DL31 adalah 5,39% (Tabel 18), sangat jauh bila dibandingkan
dengan hasil yang diperoleh dari pengukuran menggunakan moisture analyzer
dengan setting suhu 100, 105 dan 110oC ataupun oven konveksi suhu 105°C .
Karl Fischer merupakan metode yang sensitif yang dapat mendeteksi kelembaban
apapun, bahkan dari lingkungan sekitarnya yang pengaruhnya harus dihilangkan
sebanyak mungkin, itulah sebabnya mengapa kadar air hasil pengukuran
menggunakan KF . Hal ini di perkuat dengan hasil pengujian statistik dengan
menggunakan tes Dunnett (Tabel 19 dan Lampiran 5 bagian 5.3) dimana hasil
58

pengujian terhadap semua suhu pengukuran memberikan hasil berbeda nyata.


Hasil ini menunjukkan bahwa pengukuran kadar air dengan pemanasan bukanlah
metode yang tepat untuk mengukur bahan tersebut dan tidak dapat menggantikan
pengukuran dengan metode KF.

Tabel 19 Data hasil perhitungan statistik dengan tes Dunnett untuk Laktosa

Metoda lain vs Karl


Beda Mutlak
Fischer Nilai d Hasil
(|Yi-Yj|)
Oven 105oC vs KF 5,326 0,166 Beda Nyata
MA 100oC vs KF 4,542 0,166 Beda Nyata
MA 105oC vs KF 4,475 0,166 Beda Nyata
MA 110oC vs KF 3,850 0,166 Beda Nyata

C. Penelitian Tahap Kedua: Pengukuran Kadar Air Produk Bubuk Perisa


Pengukuran kadar air dengan moisture analyzers sangatlah cepat, namun
seringkali hasilnya sangat dipengaruhi oleh struktur dan komposisi sampel yang
dianalisis, dibutuhkan upaya coba – coba ’trial-and-error’ untuk menentukan
setelan pemanasan dan waktu yang tepat agar diperoleh hasil analisis yang akurat.
Dengan sangat beragamnya jenis bubuk perisa yang harus diuji kadar airnya, tentu
akan sangat membebani operator bilamana harus menghafal prosedur untuk setiap
jenis sampel. Pada tahapan ini akan dikaji kemungkinan penyeragaman metoda
analisis kadar air bubuk perisa berdasarkan kandungan bahan baku penyusunnya
yang paling dominan (tapioka, maltodekstrin, dan laktosa).

C.1. Perisa HVP

Perisa HVP adalah bubuk perisa yang mengandung 40% maltodekstrin


sebagai bahan baku utama. Sama seperti maltodekstrin, bubuk perisa juga diukur
kadar airnya menggunakan Moisture Analyzer yang diset pada tiga tingkat suhu
yang berbeda yakni 100, 105, dan 110 °C hasilnya dibandingkan dengan hasil
pengukuran kadar air menggunakan oven konveksi 105 °C.

Tabel 20 Kadar air rata-rata perisa HVP

Kadar Air (%)


Oven 105oC MA 100oC MA 105oC MA 110oC
Rata-rata 3,2348 3,09 3,26 3,66
Standar Deviasi 0,0616 0,0607 0,0471 0,0600
Koefisien Varian 1,91% 1,96% 1,44% 1,64%
59

Tabel 21 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa HVP

Perbandingan Beda Mutlak


Kontrol Nilai d Hasil
Sample vs (|Yi-Yj|)
MA 100oC o
Oven 105 C 0.353 0.096 Beda Nyata
MA 105oC Oven 105oC 0.005 0.096 Tidak Nyata
MA 110oC Oven 105oC 0.093 0.096 Beda Nyata

Pada Tabel 20 terlihat kecenderungan ’trend’ hasil analisis kadar air perisa
HVP, memiliki kemiripan dengan hasil analisis kadar air untuk maltodeksrin
(tabel 15). Pemanasan sampel pada suhu 105oC baik pada oven konveksi maupun
Moisture Analyzer menghasilkan nilai kadar air perisa HVP yang berdekatan
yakni 3,2348% untuk oven dan 3.26% untuk Moisture Analyzer. Sedangkan
pengukuran kadar air sampel HVP yang dilakukan menggunakan Moisture
Analyzer bersuhu 100, dan 110 °C hasilnya berbeda dengan hasil analisis
menggunakan oven konveksi 105 °C. Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan
statistik dengan menggunakan tes Dunnett seperti tampak pada Tabel 21 dan
Lampiran 6.
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan untuk perisa HVP, metode
pengukuran kadar air menggunakan Moisture Analyzer 105oC dapat menjadi
alternatif pengganti bagi metode oven konveksi 105oC. Untuk perisa yang
memiliki kemiripan karakteristik dengan perisa HVP, metode pengukuran kadar
airnya menggunakan Moisture Analyzer kemungkinan dapat didasarkan pada
metode pengukuran kadar air maltodekstrin.

C.2. Perisa Garlic

Perisa Garlic mengandung campuran bahan baku maltodekstrin 40% dan


40% tapioka, perisa ini juga mengandung asam lemak tidak jenuh dan bahan baku
lainnya sebesar dengan total jumlah 20%. Hasil pengukuran kadar air dengan
mengunakan Moisture Analyzer untuk perisa Garlic memberikan tren yang
berbeda saat dibandingkan dengan bahan bakunya (tapioka dan maltodekstrin).
60

Tabel 22 Kadar air rata-rata perisa Garlic

Kadar Air (%)


Oven 105oC MA 90oC MA 100oC MA 105oC MA 110oC
Rata-rata 5.4985 5.07 5.45 5.69 5,80
Standar Deviasi 0.0782 0.0526 0.0951 0.0638 0,1290
Koefisien Varian 1.42% 1.04% 1.74% 1.12% 2,22%

Tabel 23 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Garlic

Perbandingan Beda Mutlak


Kontrol Nilai d Hasil
Sample vs (|Yi-Yj|)
MA 90oC o
Oven 105 C 0,428 0,100 Beda Nyata
MA 100oC Oven 105oC 0,047 0,100 Tidak Nyata
MA 105oC Oven 105oC 0,187 0,100 Beda Nyata
MA 110oC Oven 105oC 0,301 0,100 Beda Nyata

Pada perisa Garlic, hasil pengukuran kadar air (Table 22) dengan
menggunakan Moisture Analyzer pada suhu 100oC (5,45%) memberikan hasil
yang mendekati hasil pengukuran dengan metode oven (5,4985%) sebagaimana
diperkuat dengan hasil pada perhitungan statistik tes Dunnett (Tabel 23). Hal ini
dapat terjadi kemungkinan karena dua hal, perisa garlic selain mengandung 10%
asam lemak tidak jenuh juga bahan baku lainnya yang sensitif terhadap panas dan
intensitas pemanasan yang lebih tinggi pada alat moisture analyser halogen.
Menurut Andarwulan 2011, senyawa yang mudah menguap seperti etanol, minyak
esensial dan senyawa mudah menguap lainnya serta senyawa yang mudah
teroksidasi seperti asam lemak tidak jenuh dan tanin dapat menyebabkan nilai
kadar air yang diperoleh menjadi lebih besar dari sesungguhnya karena
kehilangan berat yang terjadi dianggap sebagai air yang hilang. Pemanasan pada
moisture analyser dapat berlangsung lebih intens dibanding pada oven konveksi,
meskipun alat ini dioperasikan pada suhu yang lebih rendah (100 °C). Pada
moisture analyser pemanasan sampel tidak hanya sebatas permukaannya saja,
karena sistem pemanasan pada alat ini memanfaatkan gelombang
elektromagnetik pada spektrum inframerah yang mampu menembus ke bagian
dalam sampel sehingga didapatkan pemanasan yang lebih merata.
Dari hasil pengujian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa
untuk perisa garlic pengukuran kadar air menggunakan moisture analyser dengan
suhu pemanasan 100 °C dapat menggantikan metoda oven 105 °C, kedua metoda
tersebut dianggap dapat memberikan hasil pengukuran yang setara.
61

C.3. Perisa Vanilla

Perisa vanilla mengandung 80% laktosa. Hampir sama dengan perilaku atau
tren hasil pengukuran kadar air laktosa, seperti tampak pada Table 24 hasil
pengukuran kadar air perisa vanilla dengan alat Moisture Analyzer memberikan
hasil yang tidak konsisten dengan hasil pengukuran menggunakan perangkat KF,
sebaliknya pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven UM-400
(4,9179%) mendekati rata-rata kadar air dengan metode KF (4,43%).

Tabel 24 Data kadar air Perisa Vanilla pada beberapa jenis metode.

Water
Content Kadar Air (%)
KF Oven 105oC MA 100oC MA 105oC MA 110oC
Rata-rata 4,43 4,9179 16,11 12,51 17,91
Standar Deviasi 0,1610 0,1584 2,2606 2,1041 1,4921
Koefisien Varian 3,64% 3,22% 14,03% 16,82% 8,33%

Tabel 25 Data hasil perhitungan statistik tes Dunnett untuk Perisa Vanilla

Perbandingan Beda Mutlak


Kontrol Nilai d Hasil
Sample vs (|Yi-Yj|)
Oven 105oC KF 0,491 1,741 Tidak Nyata
MA 100oC KF 11,681 1,741 Beda Nyata
MA 105oC KF 8,083 1,741 Beda Nyata
MA 110oC KF 13,478 1,741 Beda Nyata

Perhitungan statistik tes Dunnett pada Tabel 25 menunjukkan hasil


pengukuran kadar air metode KF menggunakan Mettler Toledo DL31 tidak
berbeda nyata dengan hasil pengukuran kadar air metode oven, namun berbeda
nyata dengan hasil pengukuran menggunakan alat Moisture Analyzer pada seluruh
tingkatan suhu yang diuji. Intensitas pemanasan yang tinggi (70-100 oC) dapat
menyebabkan senyawa-senyawa dalam perisa vanilla mengalami dekomposisi dan
terurai menjadi senyawa lainnya yang bersifat volatil, hal ini membuat hasil
pembacaan kadar air Moisture Analyzer lebih tinggi dari dua metoda lainnya. .
Hasil ini menunjukkan bahwa pengukuran kadar air menggunakan alat
Moisture Analyzer bukanlah metode yang tepat untuk perisa vanilla dan tidak
dapat menggantikan metode KF. Sedangkan metoda oven konveksi meski juga
menggunakan pemanasan suhu tinggi, tetapi karena intensitas pemanasannya
62

lebih rendah, metoda ini masih mungkin digunakan untuk mengukur kadar air
produk perisa vanilla.
Dari pengujian pengukuran kadar air yang dilakukan terhadap beberapa jenis
bahan baku dan produk perisa, diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil pengukuran bahan – bahan tersebut menggunakan metode
LOD. Faktor-faktor itu dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, golongan
pertama adalah faktor yang berhubungan dengan proses pemanasan yaitu prinsip
pemanasan (langsung dan tak langsung), suhu pemanasan, dan pemvakuman.
Sedangkan golongan kedua adalah faktor yang berhubungan dengan sifat bahan,
yang termasuk golongan ini adalah struktur dan komposisi bahan.

D. Uji Efisiensi

Salah satu tujuan penggantian metoda oven dengan metoda analisis cepat
menggunakan moisture analyzer adalah penghematan waktu. Dari catatan
penelitian diperoleh fakta bahwa waktu analisis bervariasi tergantung pada jenis
sampelnya (tabel 26 kolom 1). Moisture analyzer dan perangkat KF hanya dapat
digunakan untuk menganalisis 1 (satu) sampel saja dalam setiap siklus operasi,
sedangkan oven dapat menampung sampai 30 sampel per siklus operasi. Untuk
menganalisis 1 sampel maltodekstrin dengan moisture analyzer dibutuhkan
waktu 0,087 jam (5 menit 13,2 detik), bila dilakukan dengan oven akan
membutuhkan waktu 3,26 jam (3 jam 15 menit 36 detik). Bila jumlah sampel
ditingkatkan menjadi 30 sampel maka analisis kadar air menggunakan moisture
analyzer akan membutuhkan waktu 2,6 jam (2 jam 36 menit) sementara dengan
metoda oven diperlukan 3,347 jam (3 jam 20 menit 49,2 detik), seperti
ditunjukkan pada tabel 26 kolom 2. Apabila waktu 3,347 jam, waktu yang
dibutuhkan untuk menganalisis 30 sampel jika digunakan metoda oven, dijadikan
patokan waktu. Maka dalam kurun waktu yang sama bila digunakan moisture
analyzeruntuk maltodekstrin dapat dianalisis sebanyak 38 sampel sedangkan
untuk perisa vanilla hanya dapat dianalisis sebanyak 4 sampel. Sebagai
pembanding bila digunakan perangkat KF dalam waktu 3,347 jam dapat dianalisis
sebanyak 30 sampel vanilla. Untuk produk/bahan yang lain, jumlah sampel yang
dapat dianalisis per 3,347 jam dapat dilihat pada tabel 26 kolom 3.
63

Tabel 26 Waktu untuk analisis kadar air bubuk dan bahan baku perisa

Metode Waktu Waktu analisis/30 Jumlah Sampel


analis/sample sampel yang dpt
(jam) (jam) dianalisis per
3,347 jam

Oven Konveksi 105oC


Semua jenis sample 3,260 3,347 30

Moisture Analyzer 105oC


Tapioka 0,196 5,883 17
Maltodextrin 0,087 2,600 38
HVP 0,114 3,425 29
Garlic 0,162 4,858 17
Vanilla 0,721 21,633 4

Karl Fischer
Laktosa 0,157 4,717 21
Vanilla 0,107 3,200 30

Dari hasil tersebut tampak waktu analisis maltodekstrin dan perisa HVP
menggunakan Moisture Analyzer suhu 105 oC lebih cepat atau sebanding dengan
metode oven, demikian pula untuk pengujian menggunakan metode Karl Fischer
bagi perisa vanilla. Untuk jumlah sampel lebih dari 30, lama pengujian
menggunakan Moisture Analyzer suhu 105oC menjadi tidak efektif bagi tapioka,
Garlic, dan vanilla dikarenakan waktu pengujian menjadi lebih lama dari pada
metode oven. Hal yang sama dijumpai pada laktosa yang dianalisis menggunakan
perangkat KF.
Dari pengamatan terhadap kerja analis ditemukan bahwa selama waktu
pengeringan 3 jam menggunakan oven, analis bisa melakukan analisis lainnya.
Sangat berbeda keadaannya jika menggunakan Moisture Analyzer atau perangkat
KF, dimana analis harus menunggu di depan alat saat pengujian sampai analisis
selesai dilakukan, sehingga penanganan pekerjaan lainnya banyak yang
terpotong-potong. Secara teknis metode oven efektif untuk menganalisis sampel
dalam jumlah banyak, sedangkan alat moisture analyzer dan perangkat KF efektif
jika digunakan untuk jumlah sampel sedikit. Analisis kadar air menggunakan
metoda Karl Fischer juga butuh perhatian ekstra karena bahan pereaksinya
berbahaya dan tidak aman untuk lingkungan. Disarankan perangkat KF hanya
64

diperuntukan bagi produk berbahan baku turunan gula atau bahan yang kadar
airnya sangat rendah yang tidak mungkin dianalisis menggunakan metoda lainnya.

E. Pembuatan Template Laporan Validasi

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah memberikan hasil sebuah
template dalam bentuk Excel yang dapat dipergunakan untuk mempermudah
pelaporan validasi alat maupun metode. Template tersebut dapat dilihat pada
Lampiran 11, dimana analis hanya perlu memasukkan nama metode yang akan
dibandingkan dan kontrol, nama penguji, tanggal, kondisi atau perlakuan kontrol,
serta hasil pengukuran 10 ulangan untuk baik untuk metode yang akan divalidasi
maupun kontrol. Data masukan diketikkan pada bagian yang berwarna kuning.
Uji statistik yang digunakan untuk proses validasi adalah uji Dunnett. Suatu
alat/metoda dikatakan dapat menggantikan alat/metoda yang dianggap sebagai
kontrol apabila hasil uji Dunnett menyatakan hasil pengukuran keduanya tidak
berbeda nyata.
Hasil perhitungan pada template dalam bentuk excel tersebut telah
dibandingkan dengan hasil perhitungan statistik menggunakan program SPSS dan
hasil perhitungannya memberikan hasil yang sama seperti yang dapat dilihat pada
Lampiran 12 dan 13.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Alat moisture analyzer HB43-S dengan setting suhu 105oC dapat digunakan
untuk mengukur kadar air perisa HVP dimana hasilnya tidak berbeda nyata
dengan hasil pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven UM-
400 (dioperasikan pada suhu 105oC). Suhu pengukuran pada 105oC ini sesuai
dengan suhu yang digunakan untuk penelitian terhadap bahan baku tapioka
dan maltodekstrin. Namun untuk perisa Garlic, agar diperoleh hasil
pengukuran kadar air yang mendekati hasil pengukuran kadar air dengan
menggunakan metode oven, setting suhu alat moisture analyzer perlu
diturunkan menjadi 100oC dikarenakan dalam perisa garlic terkandung asam
lemak yang sensitif terhadap panas. Dari hasil penelitian ini didaptkan bahwa
alat moisture analyzer HB43-S dapat menjadi alternatif pengganti metode
oven pada bahan jadi dengan bagan dasar maltodekstrin.

2. Metode yang paling sesuai untuk pengukuran kadar air bahan turunan gula
adalah metode Karl Fischer. Kadar air laktosa dan perisa vanilla
(mengandung 80% laktosa) sebaiknya tidak diukur menggunakan metoda
LOD yang menggunakan panas intens pada proses analisisnya Hal ini
disebabkan sifat-sifat laktosa yang peka terhadap panas (dapat terdekomposisi
dan terpolimerisasi) sehingga data hasil pengukuran kadar air menjadi tidak
akurat. Namun demikian hasil penelitian pada perisa vanilla menunjukkan
bahwa produk ini masih mungkin diukur kadar airnya menggunakan oven
suhu 105 °C. Hasil pengukuran kadar air perisa vanilla menggunakan
perangkat KF tidak berbeda nyata dengan hasil kadar air menggunakan oven.

3. Dalam kondisi normal dan untuk jumlah sampel yang besar (di atas 30
sampel) secara teknis waktu analisis kadar air menggunakan metode oven
masih lebih efektif dibanding waktu analisis menggunakan ‘moisture
66

analyzer’. Namun untuk kondisi mendesak dan dibutuhkan hasil yang cepat
maka alat Moisture Analyzer dapat dijadikan pilihan bilamana sampel yang
akan dianalisis kadar airnya jumlahnya hanya sedikit.

4. Template dalam bentuk Excel yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat
digunakan untuk mempermudah dalam pembuatan laporan intern validasi alat
atau metode. Template ini dapat memberikan hasil perhitungan yang sama
dan sesuai dengan hasil perhitungan menggunakan piranti lunak SPSS.

B. Saran

Pengukuran kadar air pada perisa sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
terkandung di dalamnya. Adanya asam lemak atau oleoresin walaupun
konsentrasinya tidak dominan, dapat memberikan hasil pembacaan kadar air yang
berbeda ketika parameter ini diukur menggunakan alat Moisture Analyzer HB43-S
dan metode oven UM-400. Dengan memanfaatkan apa yang telah dihasilkan dalam
penelitian ini, disarankan untuk memperluas cakupan jenis sampel yang akan diuji
sehingga dapat mencakup keseluruhan produk yang dihasilkan oleh PT Givaudan
Indonesia atau setidaknya produk – produk yang dapat dijadikan model untuk
analisis produk lainnya. Dengan demikian dapat dipetik manfaat yang lebih besar
dari investasi yang telah dikeluarkan untuk pengadaan alat Moisture Analyzer
halogen HB43-S.
DAFTAR PUSTAKA

[Anonym] 1999. Fundamentals of the Volumetric Karl Fischer Titration with 10


Selected Applications. MT DL31 Application broschure 26. Mettler-Toledo
GmbH, Switzerland

[Anonim] 2008. Mettler-Toledo AG, Laboratory & Weighing Technologies, CH-


8606 Greifensee, Switzerland Application Methods HB43-S Moisture
Analyzers.http://us.mt.com/us/en/home/applications/Laboratory_Weighing_
Solutions/Moisture_Analyzer/HB43-S_1.html {4 Nov 2011}.

[Anonym] 2012. Multiple-Comparison Procedures. Sumber:


http://www2.hawaii.edu/~taylor/z631/multcomp.pdf. akses: 2 Januari 2012.

Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011 Analisis Pangan. Jakarta: Dian


Rakyat

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1984. Official Methods of


Analysis of Association of Official Analytical Chemists. Washington DC,
USA: Association of Official Analitical Chemist.

Astuti. 2007. Petunjuk Praktikum Analisis Bahan Biologi. Yogyakarta:


Jurdik Biologi FMIPA UNY.

Bell LN, Labuza TP. 1984. Moisture, Practical Aspects of Isoterm Measurement
and Use, Second Edition 2000. American Association of Cereal Chemist,
Inc.

Berk, Z. 2009. Food Process Engineering and Technology. Elsevier Inc.

Bhandari, B.R. and Adhikari B. P. 2008. Water activity in food processing and
preservation in Food. Chen, X.D. and Mujumdar, A.S. (eds). Drying
Technologies in Food Processing. Blackwell Publishing Ltd

Dunnett CW. 1955. A Multiple Comparison Procedure for Comparing Several


Treatments with a Control. Journal of the American Statistical Association.
Vol. 50, No. 272 (Dec., 1955), pp. 1096-1121

Dunnett CW. 1964. New Tables for Multiple Comparisons with a Control.
Biometrics, Vol. 20. No. 3 (Sep. 1964). pp. 482-491, International Biometric
Society.

Estiasih T, Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.

Harvey, D. 2000. Modern Analytical Chemistry. The McGraw-Hill Companies,


Inc

Igoe, R.S. and Hui, Y.H. 2001. Dictionary of Food Ingredients. Aspen Publishers,
Maryland
68

Kenkel, J. 2003. Analytical Chemistry for Technicians. CRC Press, LLC

KERN & Sohn GmbH, 2012. Application notes Moisture analyzer.

Kodeks Makanan Indonesia 2001. Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan
RI.

Kupriannoff, J. 1958. Bound Water in Kupriannoff, J. (ed) Fundamental aspects


of Dehydration of Foodstuff. Soc.Chem. Indtr. Karlsruhe; Germany

Kusnandar, F. 2011. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta : Dian Rakyat.

Molnar, K. 2006. Experimental Techniques in Drying in Mujumdar, A. (ed)


Handbook of Industrial Drying 3rd edition. Taylor & Francis, Philadelphia

Müller, D.A. 2007. Flavours: the Legal Framework in Berger (Ed.) Flavours and
Fragrances Chemistry, Bioprocessing and Sustainability. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg

Nielsen, S.S. 2010. Food Analysis Laboratory Manual 2nd Edition. Springer
Science+Business Media, LLC

O'Mahony, 1986. Sensory Evaluation of Food: Statistical Methods and


Procedures. New York: Marcell Dekker, Inc.

Rafter, J.A., Abell, M.L., AND Braselton, J.P.. 2002. Multiple Comparison
Methods for Means. Siam Review Vol. 44, No. 2, pp. 259-278. Society for
Industrial and Applied Mathematics

Rennie P. Ruiz. 2001. Gravimetric Determination of Water by Drying and


Weighing in Wrolstad,R.E. et al (eds). Current Protocols in Food
Analytical Chemistry. John Wiley & Sons, Inc.

Rowe, P. 2007. Essential Statistics For The Pharmaceutical Sciences. John Wiley
& Sons Ltd, England.

Rumsey, D. 2009. Statistics II For Dummies. Wiley Publishing, Inc – Indianapolis

SNI 01-2891-1992. 1992. Cara uji makanan dan minuman. BSN.

SNI 01-7152-2006. 2006. Bahan tambahan pangan – Persyaratan perisa dan


penggunaan dalam produk pangan. BSN.

Sudarmadji, S, Bambang, H., dan Suhardi. 2003. Analisis Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta: Liberty.

Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta, Arcan.

Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pusataka Utama.
Hal. 10-14.
69

Winarno FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumsi. Jakarta: Gramedia
Pustaka.

Wirakartakusumah MA et al. 1989. Prinsip teknik pangan. Bogor: Pusat Antar


Universitas (PAU). IPB

Wulanriky. 2011. Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven Pengering.


http://wulanriky.wordpress.com/2011/01/19/Penetapan-Kadar-Air-Metode-
Oven-Pengering-aa/. Diakses tanggal 4 November 2011.

www.lsbu.ac.uk/water/activity.html, diakses 4 November 2011.


70
LAMPIRAN
72

Lampiran 1 SNI 01-2891-1992 Cara uji makanan dan minuman


73

Lampiran 2 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 95%.

Sumber : Dunnett, CW. 1964. New Tables for Multiple Comparisons with a Control. Biometrics,
Vol. 20. No. 3 (Sep. 1964). pp. 482-491, International Biometric Society.
74

Lampiran 3 Tabel Dunnett dengan tingkat kepercayaan 99%.

Sumber : Dunnett, CW. 1964. New Tables for Multiple Comparisons with a Control. Biometrics,
Vol. 20. No. 3 (Sep. 1964). pp. 482-491, International Biometric Society.
75

Lampiran 4 Hasil Analisis Penelitian Pendahuluan


4.1. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air
(EMC) Basis Basah yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh MgCl2

4.2. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air
(EMC) Basis Kering yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh MgCl2
76

4.3. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air
(EMC) Basis Basah yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh NaCl

4.4. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air
(EMC) Basis Kering yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh NaCl
77

4.5. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air
(EMC) Basis Basah yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh KCl
78

4.6. Tabel Anova dan Perhitungan Dunnett untuk Hasil Uji Pendahuluan Pehitungan Kadar Air
(EMC) Basis Kering yang dikondisikan pada larutan Garam Jenuh KCl
79

Lampiran 5 Hasil Analisis Penelitian Pertama terhadap Bahan Baku

5.1. Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Tapioka


80

5.2 Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Maltodekstrin


81

Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Laktosa


82

Lampiran 6 Hasil Analisis Penelitian Kedua terhadap Bahan Jadi

6.1. Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk HVP


83

6.2. Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Garlic


84

6.3 Perhitungan Statistik dengan Tes Dunnett untuk Vanilla


85

Lampiran 7 Data waktu analisis berbagai metode terhadap jumlah sampel.

7.1. Data waktu analisis metode Oven 105 oC terhadap jumlah sampel

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat Oven 105oC


dalam jam
Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008
Waktu peng-ovenan = 3.000
Waktu Cooling Down dalam desikator = 0.250
Waktu penimbangan Sample Akhir = 0.001
Total Waktu analisis 1 sampel = 3.260

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :


Waktu Pengujian Total
Jumlah Sampel
Metoda Oven
1 3.260
2 3.269
3 3.279
4 3.289
5 3.299
6 3.308
7 3.318
8 3.328
9 3.338
10 3.347
11 3.357
12 3.367
13 3.376
14 3.386
15 3.396
16 3.406
17 3.415
18 3.425
19 3.435
20 3.444
21 3.454
22 3.464
23 3.474
24 3.483
25 3.493
26 3.503
27 3.513
28 3.522
29 3.532
30 3.542
86

7.1. Data waktu analisis metode MA 105 oC pada Tapioka terhadap jumlah
sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA


Pengujian Tapioka - 105oC dalam jam
Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008
Waktu peng-ovenan suhu 105oC - Tapioka = 0.171
Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = 0.017
Total analisis persampel = 0.191
Kadar Air rata-rata (%) = 9.779

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :


Waktu Pengujian Total dengan
Jumlah Sampel KESIMPULAN
Moisture Analyser
1 0.196 DISARANKAN
2 0.392 DISARANKAN
3 0.588 DISARANKAN
4 0.783 DISARANKAN
5 0.979 DISARANKAN
6 1.175 DISARANKAN
7 1.371 DISARANKAN
8 1.567 DISARANKAN
9 1.763 DISARANKAN
10 1.958 DISARANKAN
11 2.154 DISARANKAN
12 2.350 DISARANKAN
13 2.546 DISARANKAN
14 2.742 DISARANKAN
15 2.938 DISARANKAN
16 3.133 DISARANKAN
17 3.329 TIDAK
18 3.525 TIDAK
19 3.721 TIDAK
20 3.917 TIDAK
21 4.113 TIDAK
22 4.308 TIDAK
23 4.504 TIDAK
24 4.700 TIDAK
25 4.896 TIDAK
26 5.092 TIDAK
27 5.288 TIDAK
28 5.483 TIDAK
29 5.679 TIDAK
30 5.875 TIDAK
87

7.2 Data waktu analisis metode MA 105 oC pada Maltodekstrin terhadap jumlah
sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA


Pengujian Maltodextrin - 105oC dalam jam
Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008
Waktu peng-ovenan suhu 105oC – Maltodextrin = 0.057
Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = 0.017
Total analisis persampel = 0.001
Kadar Air rata-rata (%) = 5.201

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :


Jumlah Waktu Pengujian Total dengan
KESIMPULAN
Sampel Moisture Analyser
1 0.082 DISARANKAN
2 0.164 DISARANKAN
3 0.246 DISARANKAN
4 0.328 DISARANKAN
5 0.410 DISARANKAN
6 0.492 DISARANKAN
7 0.574 DISARANKAN
8 0.656 DISARANKAN
9 0.738 DISARANKAN
10 0.820 DISARANKAN
11 0.902 DISARANKAN
12 0.984 DISARANKAN
13 1.066 DISARANKAN
14 1.148 DISARANKAN
15 1.230 DISARANKAN
16 1.312 DISARANKAN
17 1.394 DISARANKAN
18 1.476 DISARANKAN
19 1.558 DISARANKAN
20 1.640 DISARANKAN
21 1.722 DISARANKAN
22 1.804 DISARANKAN
23 1.886 DISARANKAN
24 1.968 DISARANKAN
25 2.050 DISARANKAN
26 2.132 DISARANKAN
27 2.214 DISARANKAN
28 2.296 DISARANKAN
29 2.378 DISARANKAN
30 2.460 DISARANKAN
88

Data waktu analisis metode MA 105oC pada Laktosa terhadap jumlah sampel tidak
diperhitungkan karena hasilnya jauh dari hasil kadar air dengan metode oven.

7.3. Waktu analisis Metode KF untuk Laktosa terhadap jumlah sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat KF


Pengujian Laktosa dalam jam
Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008
Waktu titrasi Laktosa = 0.093
Waktu Drift = 0.050
Total analisis persampel = 0.003
Kadar Air rata-rata (%) = 5.36

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :


Waktu Pengujian
Jumlah Sampel Total dengan Karl KESIMPULAN
Fischer
1 0.151 DISARANKAN
2 0.302 DISARANKAN
3 0.453 DISARANKAN
4 0.604 DISARANKAN
5 0.755 DISARANKAN
6 0.906 DISARANKAN
7 1.057 DISARANKAN
8 1.208 DISARANKAN
9 1.359 DISARANKAN
10 1.510 DISARANKAN
11 1.661 DISARANKAN
12 1.812 DISARANKAN
13 1.963 DISARANKAN
14 2.114 DISARANKAN
15 2.265 DISARANKAN
16 2.416 DISARANKAN
17 2.567 DISARANKAN
18 2.718 DISARANKAN
19 2.869 DISARANKAN
20 3.020 DISARANKAN
21 3.171 DISARANKAN
22 3.322 TIDAK
23 3.473 TIDAK
24 3.624 TIDAK
25 3.775 TIDAK
26 3.926 TIDAK
27 4.077 TIDAK
28 4.228 TIDAK
29 4.379 TIDAK
30 4.530 TIDAK
89

7.4. Data waktu analisis metode MA 105 oC pada HVP terhadap jumlah sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA


Pengujian HVP - 105oC dalam jam
Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008
Waktu peng-ovenan suhu 105oC - HVP = 0.087
Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = 0.017
Total analisis persampel = 0.002
Kadar Air rata-rata (%) = 3.262

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :


Waktu Pengujian Total dengan
Jumlah Sampel KESIMPULAN
Moisture Analyser
1 0.112 DISARANKAN
2 0.224 DISARANKAN
3 0.336 DISARANKAN
4 0.447 DISARANKAN
5 0.559 DISARANKAN
6 0.671 DISARANKAN
7 0.783 DISARANKAN
8 0.895 DISARANKAN
9 1.007 DISARANKAN
10 1.118 DISARANKAN
11 1.230 DISARANKAN
12 1.342 DISARANKAN
13 1.454 DISARANKAN
14 1.566 DISARANKAN
15 1.678 DISARANKAN
16 1.789 DISARANKAN
17 1.901 DISARANKAN
18 2.013 DISARANKAN
19 2.125 DISARANKAN
20 2.237 DISARANKAN
21 2.349 DISARANKAN
22 2.460 DISARANKAN
23 2.572 DISARANKAN
24 2.684 DISARANKAN
25 2.796 DISARANKAN
26 2.908 DISARANKAN
27 3.020 DISARANKAN
28 3.131 DISARANKAN
29 3.243 DISARANKAN
30 3.355 TIDAK
90

7.5. Data waktu analisis metode MA 105oC pada Garlic terhadap jumlah sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA


Pengujian Garlic - 105oC dalam jam
Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008
Waktu peng-ovenan suhu 105oC - Garlic = 0.135
Waktu Cooling Down sebelum digunakan kembali = 0.017
Total analisis persampel = 0.003
Kadar Air rata-rata (%) = 5.8

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :


Waktu Pengujian Total dengan
Jumlah Sampel KESIMPULAN
Moisture Analyser
1 0.160 DISARANKAN
2 0.321 DISARANKAN
3 0.481 DISARANKAN
4 0.641 DISARANKAN
5 0.802 DISARANKAN
6 0.962 DISARANKAN
7 1.122 DISARANKAN
8 1.283 DISARANKAN
9 1.443 DISARANKAN
10 1.603 DISARANKAN
11 1.764 DISARANKAN
12 1.924 DISARANKAN
13 2.084 DISARANKAN
14 2.245 DISARANKAN
15 2.405 DISARANKAN
16 2.565 DISARANKAN
17 2.726 DISARANKAN
18 2.886 DISARANKAN
19 3.046 DISARANKAN
20 3.207 DISARANKAN
21 3.367 TIDAK
22 3.527 TIDAK
23 3.688 TIDAK
24 3.848 TIDAK
25 4.008 TIDAK
26 4.169 TIDAK
27 4.329 TIDAK
28 4.489 TIDAK
29 4.650 TIDAK
30 4.810 TIDAK
91

7.6. Data waktu analisis metode MA 105 oC pada Vanilla terhadap jumlah sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat MA


Pengujian Vanilla - 105oC dalam jam
Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008
Waktu peng-ovenan suhu 105oC - Vanilla = 0.691
Waktu Cooling Down sebelum digunakan
kembali = 0.017
Total analisis persampel = 0.012
Kadar Air rata-rata (%) = 12.51

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :


Waktu Pengujian Total
Jumlah Sampel KESIMPULAN
dengan Moisture Analyser
1 0.716 DISARANKAN
2 1.432 DISARANKAN
3 2.149 DISARANKAN
4 2.865 DISARANKAN
5 3.581 TIDAK
6 4.297 TIDAK
7 5.013 TIDAK
8 5.729 TIDAK
9 6.446 TIDAK
10 7.162 TIDAK
11 7.878 TIDAK
12 8.594 TIDAK
13 9.310 TIDAK
14 10.026 TIDAK
15 10.743 TIDAK
16 11.459 TIDAK
17 12.175 TIDAK
18 12.891 TIDAK
19 13.607 TIDAK
20 14.323 TIDAK
21 15.040 TIDAK
22 15.756 TIDAK
23 16.472 TIDAK
24 17.188 TIDAK
25 17.904 TIDAK
26 18.620 TIDAK
27 19.337 TIDAK
28 20.053 TIDAK
29 20.769 TIDAK
30 21.485 TIDAK
92

7.7. Waktu analisis Metode KF untuk Vanilla terhadap jumlah sampel.

Perhitungan waktu analisis dengan menggunakan alat KF


Pengujian Vanilla dalam jam
Waktu penimbangan Sample Awal = 0.008
Waktu titrasi Vanilla = 0.042
Waktu Drift
= 0.050
Total analisis persampel = 0.104
Kadar Air rata-rata (%) = 4.427

Beradasarkan informasi diatas maka diperoleh table berikut ini :


Jumlah Waktu Pengujian Total
KESIMPULAN
Sampel dengan Karl Fischer
1 0.101 DISARANKAN
2 0.201 DISARANKAN
3 0.302 DISARANKAN
4 0.403 DISARANKAN
5 0.503 DISARANKAN
6 0.604 DISARANKAN
7 0.705 DISARANKAN
8 0.805 DISARANKAN
9 0.906 DISARANKAN
10 1.007 DISARANKAN
11 1.107 DISARANKAN
12 1.208 DISARANKAN
13 1.309 DISARANKAN
14 1.409 DISARANKAN
15 1.510 DISARANKAN
16 1.611 DISARANKAN
17 1.711 DISARANKAN
18 1.812 DISARANKAN
19 1.913 DISARANKAN
20 2.013 DISARANKAN
21 2.114 DISARANKAN
22 2.215 DISARANKAN
23 2.315 DISARANKAN
24 2.416 DISARANKAN
25 2.517 DISARANKAN
26 2.617 DISARANKAN
27 2.718 DISARANKAN
28 2.819 DISARANKAN
29 2.919 DISARANKAN
30 3.020 DISARANKAN
93

Lampiran 8 Jumlah sampel dengan waktu analisis kurang dari pengujian dengan
metode oven

Jumlah sampel yang mempunyai waktu analisis


setara metode oven u/30 sampel:
Waktu/sampel Waktu 30 Jumlah Sampel
Metode
(jam) sampel (jam) < 3,35 jam

Oven 105oC 3.260 3.347 30


o
Tapioka - MA 105 C 0.196 5.883 17
o
Maltodextrin - MA 105 C 0.087 2.600 30
Laktosa – KF 0.025 0.750 30
HVP – MA 105oC 0.157 4.717 30
Garlic – MA 105oC C 0.114 3.425 21
o
Vanilla – MA 105 C 0.162 4.858 4
Vanilla – KF 0.721 21.633 30
94

Lampiran 9 Sertifikat Kalibrasi Oven Memmert


95

Lampiran 10 Sertifikat Kalibrasi Moisture Analysis


96
97
98

Lampiran 11 Template Laporan Validasi dengan Excel


99

Lampiran 12 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian


Pertama

12.1. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Tapioka


100

12.2. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Maltodekstrin


101

12.3 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Laktosa


102

Lampiran 13 Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Penelitian


Kedua

13.1. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada HVP


103

13.2. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Garlic


104

13.3. Perbandingan hasil perhitungan SPSS dan Excel pada Vanilla

You might also like