mints =0 8 ee
PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI
SITUASI ee
FILARIASIS Fliminasi
Di INDONESIA SN
TAHUN 2015 PUSDATIN 2016Kesehatan merupakan salah satu indikator dalam Indeks Pembangunan Manusia (1PM) yang dapat
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Konsep kesehatan tidak hanya
diartikan sebagai ketiadaan suatu penyakit atau kecacatan, namun memperhatikan segala aspek
mencakup keseimbangan fisik, mental, sosial dan spiritual, sehingga seseorang menjadi produktif dan
‘mampu meningkatkan kualitashidupnya,
Indonesia saat ini menghadapi permasalahan pengendalian penyakit menular (emerging infection
diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular lama (re-emerging disease) dan penyakit
menular baru (new emerging infection diseases), serta adanya kecenderungan meningkatnya penyakit
tidak menular (degeneratif) yang disebabkan oleh gaya hidup. Hal tersebut menunjukkan terjadinya,
transisi epidemiologi penyakit, sehingga Indonesia menghadapi beberapa beban (multiple burden)
pada waktu yang bersamaan. Salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan
‘masyarakatdi Indonesia adalah penyakit filariasis atau kaki gajah,
Filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan infeksi cacing filarial yang ditularkan melalui
sigitan berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini tersebar luas di perdesaan dan perkotaan serta dapat
‘menyerang semua golongan tanpamengenal usia dan jeniskelamin.
Pada tahun 2014 kasus filariasis menyerang 1.103 juta orang di 73 negara yang berisiko filariasis. Kasus
filariasis menyerang 632 juta (57%) penduduk yang tinggal di Asia Tenggara (9 negara endemis) dan
‘410 juta (37%) penduduk yang tinggal di wilayah Afrika (35 negara enderis). Sedangkan sisanya (6%)
diderita oleh penduduk yang tinggal di wilayah Amerika (4 negara endemis), Mediterania Timur (3
negara endemis) dan wilayah barat Pasifik (22 negara endemis). Sejak tahun 2000, telah diberikan
dana 5,6 miliar ke seluruh dunia untuk mengeliminasi filariasis. Pada akhir tahun 2014, 62 dari 73
negara endemis telah melaksanakan Mass Drug Administration (MDA) dan 18 negara
telah berhasil menghentikan penularan filariasis (WHO 2016,
http://www.who.int/gho/neglected_diseases/lymphatic_filariasis/en/),
Di Indonesia, filariasis dilaporkan pertama kali oleh Haga dan Van Eecke pada tahun 1889. Dari ketiga
Jenis cacing filaria penyebab filariasis, Brugia malayi mempunyai penyebaran paling luas di indonesia.
Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa
pulau kecil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan Wuchereria bancroftiterdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB
ddan Papua, Distribusi spesies cacing filaria dilndonesia tampak pada gambar di bawah in,
Gambar 1. Distribusi Spesies Cacing Filaria di Indonesia
Sumber: Subalt Floris dan Keeaciagan, DirektoratPencegahan danPengendalian
Penyaki Tur Vektor danzZocnotk
Dalam perkembangannya, saat ini di Indonesia telah teridentifikasi ada 23 spesies nyamuk dari S genus
yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Distribusi
vektor filariasis menurut lokasi spesies mikrofilaria ditemukan di berbagai wilayah seperti gambar di
bawahini.Gambar 2. Peta Distribusi Vektor Filariasis dan Spesies Microfilaria Tahun 2008
Sumber: Subait Floris dan Keeacinga,DirektoratPencegahondanPengendain
PonyakiTulrVektordonzZoonotk
Filariasis menyebar di seluruh wilayah Indonesia, di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas
yang cukup tinggi. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh dinas kesehatan provinsi dan hasil survei di
Indonesia, kasus kronis filariasis dari tahun 2002 hingga tahun 2014 terus meningkat. Pada tahun 2015,
asus filariasis menurun menjadi 13.032 kasus dari 14.932 pada tahun 2014. Kondisi ini disebabkan
karena beberapa provinsi pada tahun 2015 melakukan validasi terhadap data kasus kronis dan
dilaporkan beberapa penderita dilaporkan meninggal dan dilaporkan tidak berada di tempat lagi serta
rekonfirmasi diagnosis kasus kronis dari laporan tahun-tahun sebelumnya.
Gambar 3. Kasus Klinis Filariasis per Tahun di Indonesia Tahun 2010 - 2015
Sumber: Subdithilbraisdan Keesinga,DirektoratPencegahon dan Pengendalin
Penyakit Tul VektorsonzZoonotit
Dari gambar berikut ini menunjukan kasus Kiinis filariasis di Indonesia tersebar di34 provinsi. Provinst
dengan jumlah kins filariasis terbanyak dan terendah pada tahun 2015 sama seperti pada tahun 2014.
Provinsi dengan kasusKlinis filariasis terbanyak yaitu Nusa Tenggara Timur (2.864 orang), Aceh (2.372
‘orang) dan Papua Barat (1.244 orang), sedangkan provinsi dengan kasus klnis filariasis terendah yaitu
Kalimantan Utara (11 orang), NTB (14 orang) dan Bali (18 orang). Diperkirakan data ini masih belum.
menggambarkan data sebenarnya karena masih banyak kasus kronis yang belum dilaporkan atau
ditemukan karena masih ada stigma di masyarakatGambar 4. Kasus Klinis Filariasis per Provinsi di Indonesia Tahun 2015
aan
LUAIIES TS ASS A eid, Lp pagepeegeas
LOU “yp Vis
Di Indonesia pada tahun 2016 dilaporkan sebanyak 29 provinsi dan 239 kabupaten/kota endemis
filariasis, sehingga diperkirakan sebanyak 102.279.739 orang yang tinggal di kabupaten/kota endemis,
tersebut berisiko terinfeksi filariasis. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis pada tahun 2016 turun
dari tahun sebelumnya karena beberapa kabupaten/kota telah menyelesaikan tahapan eliminasinya
dan dapat menurunkan prevalensinya sehingga menjadi daerah yang tidak endemis lagi
Dengan rata-rata prevalensi mikrofilaria pada tahun 2015 sebesar 4,7%,jika penularan filariasis di
daerah endemis tidak ditangani maka penderita kaki gajah akan bertambah dari 13,032 orang menjadi
sebanyak 4.807.148 orang yang akan terinfeksi filariasis dan berkembang menjadi penderita penyakit
kakigajah.
Filariasis dapat menimbulkan kecacatan seumurhidup serta stigma sosial berupa pengucilan, kegiatan
sosial terganggu, tidak bisa menikmati waktu rekreasi dan rasa tidak nyaman bagi penderita dan
keluarganya bila telah menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, payudara, dan skrotum.
Keadaan ini juga membawa dampak beban ekonomi yaitu biaya berobat, hari produktif yang hilang,
karena sakit, dan hari produktif anggota rumah tangga lain yang hilang karena harus merawat orang,
yang sakit (Kemenkes Rl, 2010).
Dalam penelitian Ascobat Gani dkk tahun 2000 ditemukan bahwa kerugian ekonomi filariasis yang
diakibatkan karena kehilangan jam kerja dan biaya-blaya yang ditanggung selama pengobatan, adalah
sebesar Rp.735.380,00 per penderita per tahun atau setara dengan 17,8% dari seluruh pengeluaran
keluarga atau 32,32 dari biaya makan. Secara nasional, diperkirakan kerugian sebesar Rp.4,6 triliun
per tahun (Tutu dkk, 2008).
Saat ini penyakit filariasis telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk dieliminasi. Hal
ini diperkuat dengan keputusan WHO pada tahun 2000 yang mendeklarasikan “The Global Goal of
Elimination of lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”. Indonesia sepakat
untuk melakukan Program EliminasiFilariasis yang dilaksanakan secara bertahap dimulai tahun 2002.
Strategi yang digunakan untuk Eliminasi Filariasis yaitu dengan melaksanakan Pemberian Obat
Pencegahan Massal (OPM) filariasis di kabupaten/kota endemis filariasis dan penatalaksanaan kasus
kinis filariasis. Satuan pelaksanaan (Implementation Unit) eliminasi filariasis adalah kabupaten/kota,
yaitu seluruh penduduk yang tinggal di kabupaten/kota endemis filariasis harus minum obat
pencegahan filariasis. Obat yang efektif digunakan untuk POPM filariasis adalah kombinasi
DEC/Diethylcarbamazine Citrate dan Albendazole (Kemenkes Rl, 2010).
Pemberian Obat Pencegahan Massal filariasis dilaksanakan sekali setahun selama 5 tahun berturut-
‘turut agar penyebab filariasis dapat diberantas dan tidak terjadi reinfeksi filariasis. Adapun tujuanprogram eliminasi filariasis adalah memutus rantai penularan filariasis di setiap kabupaten/kota
endemis dan mencegah serta membatasi kecacatan karena filariasis (Kemenkes RI, 2010),
Dalam tahapan program eliminas! filariasis, dilakukan monitoring dan evaluasi, seperti yang dapat
dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 5. Tahapan Program Eliminasi Filariasis
ae
Fatara \ Franaes\ [rman «
fsa, ) ena | ere
fins )| See” ) Be
terre” /[Be,_ / [os
sone / (iu,
eee
‘Surmber: bait Farias dan Keeacingan, DrettratPencegahan dan engendalian
Pooyakt Tua Vetor dan Zoonote
Proses monitoring dan evaluasi yang dilakukan diawali dengan memetakan endemisitas suatu
kabupaten/kota dengan angka prevalensi melalui mikrofilaremia (Mf) atau antigenemia (Ag) > 1%.
Setelah itu cakupan di setiap putaran POPM dipantau untuk menentukan apakah tercapai sekurang-
kurangnya 65% dari total penduduk minum obat di setiap kabupaten/kota endemis yang
melaksanakan POPM filariasis. Evaluasi dampak di sentinel dan spot-check dilakukan setelah lima
tahun putaran POPM efektif (Pre TAS). Jika kriteriaeligibilitas tercapai maka dilakukan Transmission
Assessment Survey (TAS). POPM dapat dihentikan jika kabupaten/kota endemis tersebut “lulus” TAS
Kemudian dilakukan pengulangan TAS dua kali selama surveilans pasca POPM untuk memastikan dan
mengkonfirmasieliminasi
Gambar 6, Monitoring dan Evaluasi Program Eliminasi Filariasis
Tau
Sumber: Subit lariasis dan Kecacingan,DirekteatPencegahan dan Pengendalian|
Penyakt ular VektordanZaoncti
Hingga pada tahun 2015, situasi program eliminasi filariasis yaitu dari 514 kabupaten/kotadi Indonesia
terdapatnya 239 kabupaten/kota endemis filariasis, hanya 132 kabupaten/kota yang melaksanakan
POPM Filariasis dan masih ada 58 kabupaten/kota endemis yang belum melaksanakan POPM filariasis,
dikarenakan berbagai kendala. Terdapat 48 kabupaten/kota telah selesai melaksanakan POPM
filariasis selama 5 tahun berturut-turut, akan tetapi hanya 26 kabupaten/kota yang ulus tahap evaluasi
(TAS) dan 22 kabupaten/kota gagal dalam tahap evaluasi, sehingga harus melaksanakan POPM
tambahan selama 2 tahun berurut-turut untuk selanjutnya dilakukan evaluasikembali
eraton
ed
Ac
[SSS 55 Pru ns) 58 xy orurnisn
SEES
(26 on For 22cm an PoP
Sumber: Subat Flarisisdan Kecainga,DrektoratPencegahan dan Pengendalin Peyakt Tolar Vektor dan ZoonotikGambar di bawah menunjukkan adanya penurunan cakupan POPM pada tahun 2015 dibandingkan
tahun 2014. Pada tahun 2015, cakupan POPM sebesar 69,52%, turun dari tahun 2014 (73,91%).
Penurunan ini disebabkan karena jumlah penduduk di kabupaten/kota endemis meningkat, selain
jumiah kabupaten/kota endemisnya juga meningkat dibandingkan dengan tahun 2014. Jika
dibandingkan, angka absolut penduduk yang minum obat di tahun 2015 meningkat hampir dua kal
lipat dari tahun 2014, Kondisi ini dimungkinkan karena pada tahun 2015 dicantangkan Kampanye Bulan
Eliminasi Kaki Gajah pada Bulan Oktober oleh Presiden Rl schingga sebagian besar kabupaten/kota
endemis secara serentak melaksanakan POPM filariasis.
Gambar 8. Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis Tahun 2010- 2015,
Sumber: Subd Farias dan Kecacngsr, DirektoratPencegahan dan Pengendalian Penyaki Tula VektordanzZoontk
PENANGGULANGAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN
BANDUNG
Kabupaten Bandung adalah salah satu Kabupaten endemis di Provinsi Jawa Barat, dengan prevalensi
mikrofilaria sebesar 1,7%. Jumlah penderita penyakit kaki gajah di Kabupaten Bandung sebesar 17
orang. Kabupaten Bandung mulai melaksanakan Program Pengendalian Filariasis pada tahun 2009.
Sebanyak lebih kurang 4,4 juta penduduk Kabupaten Bandung minum obat pencegahan filariasis
secara serentak.
Kabupaten Bandung melaksanakan program penanggulangan filariasis dengan beberapa tahapan
pelaksanaan, yaitu:
1. Persiapan
a. Peningkatan kapasitassumber daya manusia (SDM)
Kegiatan peningkatan kapasitas SDM diantaranya melakukan sosialisasi dan pelatihan
kepada petugas Kesehatan (pemerintah dan swasta) dengan narasumber dokter spesialis
penyakit dalam, spesials armakologi dan spesialis parasitologi;sosialisasi kepada dokter dan
bidan klnik dan praktek swasta; sosialisas| lintas sektor (TNI AU, TNI AD, Kepolisian, Kantor
Kementerian Agama, seluruh SKPD kabupaten, MUI, PKK); sosialisasi kepada organisasi
massa (NU, Aisyiyah, PERSIS, Muhammadiyah, Persistri, Fathayat); sosialisasi kepada
‘organisasi profes (IDI, PPNI, 181, HAKLI, POGI, PPGI, PGRI, PAFI, dan IAI); sosialisasi dan
koordinasi di kabupaten, kecamatan, dan desa; sosialiasi dan koordinasi dengan rumah sakit
untuk bantuan tenaga kesehatan (10 STIKES, FK Unpad, FK Unjani, FK Unisba, dan FK
Maranatha); sosialisasi kepada tokoh masyarakat dan masyarakat umum; sosialisasi kepada
wartawan di media cetak dan media elektronik, talk show dan spot ikian serta sosialisasi dan
kerjasama dengan LSM Forum Peduli Kabupaten Bandung (FPKB).b, Sarana dan prasarana
Kabupaten Bandung menylapkan 62 Puskesmas, 113 Poskesdes dan 4.150 Posyandu sebagai
Pos Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis. Logistik yang disediakan berupa baliho,
spanduk, poster, leaflet, etiket obat, undangan kepada penduduk, alat kesehatan dan obat-
obatan,
«. Sistem Rujukan
‘Memperkuat sistem rujukan untuk penanganan efek samping minum obat dengan bekerja
‘sama dengan 6 Rumah Sakit Pemerintah dan 3 Rumah Sakit Swasta.
2, Pelaksanaan
a, Pendataan sasaran sesuai kelompok umur(2-5 tahun, 5~14 tahun, dan 15~65 tahun);
b, Pembentukan Pos Minum Obat dan Tim Pelaksana Eliminasi;
. Pembentukan Posko Desa, Kecamatan, dan Kabupaten;
dd. Pembentukan Komite Ahli Daerah (Komda) untuk penanganan efek samping Obst filariasis;
e. Pemeriksaan screening sasaran (hipertensi, diabetes melitus, dan epilepsi);
f. Pencanangan POPM.
3. Monitoringdan Evaluasi
Monitoring terhadap pelaksanaan POPM dilakukan dengan mencatat dan melaporkan capaian
jumlah penduduk minum obat. i Kabupaten Bandung cakupan penduduk minum obat > 65%
setiap tahunnya selama 5 tahun berturut-turut yaitu tahun 2009 sebesar 84,18%, tahun 2010
sebesar 78,37%, tahun 2011 sebesar 84,11%, tahun 2012 sebesar 89,09% dan tahun 2013
sebesar 91,83%. Pada tahun 2010 terjadi penurunan cakupan jika dibendingkan dengan
cakupan tahun 2009 yaitu dari 84,18% turun menjadi 78,37%. Kondis ini terjadi Karena pada
POPM tahun 2009 banyak penduduk yang mengalamiefek samping dan kejadian ikutan setelah
minum obat pencegahan filariasis, sehingga saat pelaksanaan POPM tahun 2010 banyak
penduduk yang menolak untuk minum obat karena takut mengatami kembali efek samping dan
kejadian ikutan (Gambar 9). Untuk meningkatkan cakupan, Dinas Kesehatan Kabupaten
Bandung terus menerus melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mau minum obat
pencegahan filariasis. Berbagai sosilisas dilaksanakan seperti ljelaskan dl atas. Kerja keras
Kabupaten Bandung mendapatkan hasil yang menggembirakan. Terlihat pada gambar di bawah
in bahwa cakupan penduduk minum obat dari tahun 2011-2013 terus meningkat, masyarakat
percaya kepada pemerintahnya untukmau minum obat agar bebas dari penularan filariasis.
Gambar 9. Hasil Cakupan POPM Filariasis di Kabupaten Bandung Tahun 2009-2013
Surber BalSetelah POPM tahun ke dua, pada tahun 2011 dilaksanakan survei evaluasi prevalensi
mikrofilaria tahun 2011, di desa sentinel dan beberapa desa spot check, seperti tabel di bawah
Tabel 1. Hasil Survei Prevalensi Mikrofilaria di Kabupaten Bandung Tahun 2011.
Eee
1 Majalaya 500 orang Negatif
2 Cikalong 500 orang Negatif
3 ‘Soreang 00 orang Negatif
4 bun 500 orang Negatit
5 Margaasin 500 orang Negatit
Sumber: ali Laboratorum Oaerah awa Barat, 201%
Berdasarkan survei darah jari di 5 lokasi tersebut, tidak ditemukan adanya mikrofilaria, dan
pelaksanaan POPM tahun ke 3 sampai dengan tahun ke-5 dapat dilanjutkan,
Pada tahun 2012, oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dilaksanakan Survei Evaluasi
Cakupan Tahun 2012, berdasarkan hasil survei tersebut diketahui bahwa penduduk yang benar-
benar minum obat filariasis sebesar 70% sedangkan berdasarkan laporan dari Kabupaten
Bandung, cakupan minum obat sebesar 89,09%. Ada perbedaan antara cakupan hasil survel
dengan cakupan yang dilaporkan sehingga Kabupaten Bandung perlu meningkatkan cakupan
minum obat.
Pada tahun 2014, POPM tahun ke-5 di Kabupaten Bandung telah selesai dilaksanakan. Setelah
memenuhi kriteria penilaian yaitu cakupan minum obat > 65% dilaksanakan Survei Evaluasi
Prevalensi Mikrofilaria atau Pre TAS (Pre Transmission Assessment Survey). Survel ini
dilaksanakan di desa sentinel dan beberapa desa spot check. Berdasarkan survei evaluasi
tersebut, tidak ditemukan adanya mikrofilaria di lokasi-lokasi survei tersebut, sehingga
Kabupaten Bandung dapat melanjutkan tahap menuju eliminasi filariasis yaitu Survei Penilaian
Penularan Filariasis atau Transmission Assessment Survei (TAS) tahap |.
Tabel 2. Hasil Survei Evaluasi Prevalensi Mikrofilaria di Kabupaten Bandung
Tahun 2014
Ee
Majalaya
Margaasih
Cileunyi
Avjasari
Cicalengka
Katapang
Sumber: Sai laboratorum Daerah awa Bart, 2014
Pada tahun 2014, di Kabupaten Bandung dilaksanakan survel evaluasi selanjutnya yaitu TAS
tahap |. Evaluasi ini dilaksanakan setelah hasil survel Pre TAS lulus yaitu < 196. Metode survel ini
adalah cluster sampling dengan sasaran anak usia 6-7 tahun atau anak kelas 1 dan 2 sekolah
dasar. Kabupaten Bandung dinyatakan lulus pada pelaksanaan TAS tahap |.
Tahun 2016 ini, Kabupaten Bandung melaksanakan TAS tahap 1! dan dinyatakan lulus, untuk
selanjutnya pada tahun 2018 akan dilaksanakan TAS tahap II. Selanjutnya Kabupaten Bandung
akan melakukan Verifikas| Eliminasi Filariasis setelah lulus TAS tahap Il.
Eliminasi filariasis dapat diwujudkan dengan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dan