You are on page 1of 17

REAKTUALISASI HUKUM ISLAM

Teori Double Movement Fazlur Rahman

(Oleh: Mutma’inah)

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama yang kita anut, Islam, hadir pertama kali di tengah masyarakat Arab di
bawa oleh Nabi Muhammad SAW, hingga ajarannya sampai kepada kita setelah melalui
rentang waktu yang begitu panjang, 13 abad. Jarak waktu tersebut tidak bisa diabaikan
begitu saja karena terjadi pasang surut pemikiran di dalamnya, di satu sisi ada yang
menghendaki rasionalisasi Islam namun di sisi lain ada usaha tradisionalisasi, ada
segolongan yang memunculkan modernisasi, ada pula yang menghambatnya dengan
purifikasi. Dialektika pemikiran Islam yang demikian itu terjadi dari sejak zaman klasik
hingga modern menjadikan objek kajian keislaman menjadi semakin luas.
Salah satu yang menjadi pusat kajian pemikiran itu adalah Al-Qur’an yang
menjadi dasar hukum utama bagi umat Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci yang
mempunyai misi hudan li al-nas, memberi petunjuk umat manusia agar bisa
membedakan antara yang haq dan yang bathil.
Walaupun Al-Qur’an adalah dasar hukum utama umat Islam namun iapun tidak
pernah menuntut untuk dipahami secara seragam, sehingga beragamlah produk hukum
yang dihasilkan oleh pembacanya. Al-Qur’an juga tidak pernah membatasi dengan cara
apa ia harus dipahami, hanya kadang-kadang ia menafsirkan dirinya sendiri.
Seiring perkembangan ilmu-ilmu tafsir maka berkembang pula hukum yang
dihasilkan. Hukum-hukum yang dihasilkan itu pastilah akan berbenturan dengan berbagai
zaman dan kontruks sosial sehingga seringkali dipertanyakan relevansinya. Apakah
masih aplikati? Jika tidak, apakah mungkin wahyu Ketuhanan bisa usang? Atau hanya
pemahaman umat Muslim saja yang usang?
Fazlur Rahman adalah seorang pemikir Muslim modern yang menawarkan teori
double movement-nya dalam rangka melakukan reaktualisasi hukum Islam. Reaktualisasi
sendiri didalam KBBI berarti proses, cara, perbuatan mengaktualisasi kembali;
penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Rahman merasa bahwa

1
umat Islam harus segera mengejar ketertinggalan dengan Barat. Ia mendorong umat Islam
untuk tidak phobia terhadap namun demikian tetap kritis. Tidak heran jika pemikirannya
sedikit banyak terpengaruh oleh Barat.
Usahanya untuk melakukan reaktualisasi hukum Islam sebenarnya tidak terbatas
terhadap konstruksinya dalam memahami Al-Qur’an, ia juga mengkritik tentang sumber
hukum yang lain. Namun karena luasnya cakupan bahasan Rahman sehingga harus
dibatasi pada teorinya double movement agar memperoleh pemahaman yang sistematis
dan komprehensif.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang melatar belakangi pemikiran Fazlur Rahman?
2. Bagaimana kerangka metodologi teori double movement Fazlur Rahman?
3. Apa implikasi teori double movement Fazlur Rahman terhadap kajian hukum Islam?

III. PEMBAHASAN
A. Biografi Fazlur Rahman
Sebelum mempelajari seluk beluk pemikiran Fazlur Rahman, sangat penting
sekali untuk mengetahui lingkungan seperti yang mengelilingi Rahman. Karena
lingkungan tempat seseorang tumbuh dan orang-orang yang berada di sekelilingnya
akan sangat berpengaruh terhadap produk pemikirannya. Sehingga sangat penting untuk
mengetahui masyarakat yang bagaimana tempat Rahman tumbuh, perkembangan
intelektual seperti apa yang mempengaruhinya dan percaturan politik yang mungkin
melakukan intervensi atas pemikirannya. Unsur-unsur itulah yang secara baik langsung
maupun tidak langsung membentuk kehidupan intelektualnya.
Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di daerah Hazara, (anak benua
India) yang sekarang terletak di barat Laut Pakistan. Ia dididik dalam sebuah keluarga
yang taat beragama. Ayahnya, Maulana Shihab al-Din adalah seorang alim yang terkenal
lulusan Deoband. Pendidikan dalam keluarganya benar-benar efektif dalam membentuk
karakter dan kedalamaan Rahman dalam beragama. Ayahnya sangat tekun dalam
mengajarkan agama di rumah dengan disiplin tinggi sehingga ia mampu menghadapi
berbagai macam peradaban dan tantangan di alam modern, disamping pengajaran dari

2
ibunya, terutama tentang kejujuran, kasih sayang, serta kecintaan sepenuh hati darinya (
Sutrisno, 2006: 60-61).
Di kutip oleh Abdul Mustaqim dari Earle H. Waugh dan Frederick M. Denny
dalam bukunya The Shaping of An American Islamic Discourse; A Memorial to Fazlur
Rahman (1998) Rahman pernah mengisahkan tentang bagaimana pengaruh pendidikan
orang tuanya bagi kepribadiannya:
Ayah dan ibu saya sangat berpengaruh dalam membentuk watak saya dan keyakinan-
keyakinan awal dari hidup saya. Dari ibu, saya memperoleh pendidikan tentang nilai-nilai
kebenaran, kasih saying, kesetiaan, dan cinta. Ayah saya adalah seorang sarjana agama
yang terdidik dalam pola tradisional. Akan tetapi ia tidak seperti kebanyakan ulama
tradisional pada masa itu yang memandang pendidikan modern sebagai racun, baik bagi
keimanan maupun moralitas. Ayah saya sangat yakin bahwa Islam harus memandang
modernitas sebagai tantangan dan sekaligus sebagai kesempatan , saya juga memiliki
pandangan yang sama dengan ayah saya, bahkan sampai detik ini.

Rahman berasal dari keluarga yang bermazhab Hanafi, sebuah mazhab sunni yang
lebih banyak bercorak rasional dibandingkan dengan mazhab sunni lainnya: Maliki,
syafi’I dan hanbali. Ketika itu di India sudah berkembang pemikiran agak liberal seperti
Syah Waliullah1, Sayyid Ahmad Khan2, Sayyid Amir Ali 3dan Muhammad Iqbal4.

1
Syah Waliullah mempunyai nama lengkap Syah Waliullah ibn Abd al-Rahim al-Dihlawi
(w.1763 M). Ia adalah seorang tokoh yang garis keturunannya sampai kepada Umar ibn al-Khatab dari
garis ayah dan sampai kepada Ali ibn Abi Thalib dari garis ibunya. Sumbangannya terhadap telaah
sistematis al-Qur’an dan hadis, serta dalam metode pendekatan islam yang baru yaitu tathbiq (rekonsiliasi
berbagai perbedaan). Selain itu dia adalah tokoh yang pertama berupaya menggabungkan sejarah para
nabi secara sistematis dan menjelaskan bahwa aturan sosial yang diberikan para nabi itu dapat secara
rasional diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan umat Islampada masanya masing-masing. Ia juga
berupaya untuk mengintegrasikan beragam ilmu pengetahuan Islam. Hadis, fiqh, teologi, filsafat dan
sufisme (Abd A’la: 2003, 25-26).
2
Sayyid Ahmad Khan (w.1898 M) adalah seorang modernis dari India. Pemikirannya adalah
bahwa kebenaran suatu agama itu terletak pada kesesuainnya dengan fitrah manusia dan hukum alam, dan
Islam mempunyai watak tersebut. Ia berpendapat bahwa secara keseluruhan Islam sesuai dengan
kemajuan terutama dengan kebudayaan Inggris abad 19 M dengan pengetahuannya yang
baru,moralitasnya yang humanitarian dan liberal dan rasionalismenya yang saintifik. Ia juga mendirikan
perguruan tinggi Aligarh pada tahun 1875 yang memadukan antara pendidikan agama dan kajian-kajian
mengenai ilmu pengetahuan modern yang terus berkembang dan menjadi sumber utama dalam
memunculkan perkembangan modernism India di kemuadian hari. Ibid., hlm. 27.
3
Sayyid Amir Ali (w. 1928 M),ia adalah seorang modernis yang mencoba merumuskan
apologetic dan ideology Islam baru. Dengan rasio dan pengetahuan ilmiah serta terkadang apologetic ia
mencoba membela Islam dan menjawab tantangan-tantangan dari orang-orang yang non-Muslim
mengenai kebenaran Islam. Berdasarkan kajiannya terhadap sejarah Nab Muhammad, umat Islam dan
ajaran islam sendiri ia kemudian menyimpulkan bahwa Islam adalah kemajuan itu sendiri sehingga tidak
ada satu pun nilai atau ajaran Islam yang menghambat, apalagi bertentangan dengan kemajuan. Ibid.
4
Muhammad Iqbal (w.1938 M) adalah seorang filusuf kelahiran Punjap,India. Iqbal memahami
Islam sebagai agama universal yang memandang semua umat manusia sebagai satu kesatuan. Namun ia
melihat saat itu Islam telah menjadi sempit, kaku dan statis yang diakibatkan oleh sempitnya dogmatis

3
Sebagaimana lazimnya masyarakat Muslim pada saat itu Rahman mempelajari
ilmu-ilmu Islam secara formal di madrasah dan secara informal ia peroleh dari ayahnya
sendiri. Dalam usia sepuluh tahun ia sudah hafal Al-Qur’an luar kepala. Setelah
menamatkan pendidikan menengah Rahman melanjutkan studinya di Departemen
Ketimuran, Universitas Punjab. Pada 1942, ia berhasil menyelesaikan pendidikan
akademisnya di universitas tersebut dengan meraih gelar M.A dalam sastra Arab
(Ghufron A.Mas’adi, 1997: 15).
Walaupun tamantan madrasah yang notabene-nya mempunyai kultur pendidikan
tradisional, Rahman mempunyai sikap yang kritis. Rahman merasa tidak puas dengan
pendidikan yang diperolehnya di Pakistan karena ia tidak menemukan pendidikan Islam
tingkat tinggi dengan kapasitas guru-guru besar dengan tradisi riset yang memadai. 5
Sedangkan saat itu kondisi obyektif masyarakat Pakistan belum mampu menciptakan
iklim intelektual yang solid. Baik sebelum maupun setelah kemerdekaan belum tercipta
keadaan yang mendukung tumbuhnya perkembangan ilmiah, yang ada adalah
perdebatan dan pergolakan politik. Hal tersebutlah yang mendorong Rahman akhirnya
memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Oxford University, Inggris.
Semangat rasionalisme perkembang sangat pesat di Barat sehingga mendorong
tumbuh suburnya pemikiran intelektual, tidak hanya pada bidang sains tapi juga dalam
bidang filsafat. Kemajuan lembaga pendidikan tinggi di Barat terbukti dengan tingginya
frekuensi penelitian yang pada akhirnya melahirkan sejumlah pakar dan guru besar.
Sebagia mereka misalnya; Ignaz Goldzhiher, Josep Shacht, H.R Gibb, N.J Coulson,
J.N.D Anderson yang mana pada umumnya mereka melakukan kajian-kajian keislaman
melalui pendekatan historis (Ibid: 17). Keputusan Rahman untuk menempuh pendidikan

keagamaan dan materialism mekanistik yang menyebabkan kesalahan dalam memandang realitas. Ia salah
satu pemikir Muslim yang ikut mendorong terbentuknya Negara Muslim di Barat Daya India. Ibid.
5
Masalah utama yang dihadapi pendidikan tinggi Islam di Pakistan adalah tidak tersedianya
tenaga pengajar yang memadai. Sebagai jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut terdapat tida
alternative pilihan. Pertama, mengangkat para alumni yang dipandang cerdas. Kedua, mengangkat doctor-
doktor yang berpendidikan Barat, namun tak satupun di antara mereka yang mengambil Islam dan kajian
Islam sebagai riset doktoralnya. Ketiga, mengangkat tokoh-tokoh Jam’iyyat al-Islamiyyat yang pandai
dalam hal agama tetapi pada umumnya mereka tidak mempunyai pengalaman pendidikan modern.
Universitas Punjap tempat Fazlur Rahma menuntut ilmu menempuh alternative yang pertama dan ketiga
Penting untuk diketahui bahwa pendidikan di anak benua India, sebelum lahir Negara Pakistan bisa dibagi
menjadi dua, yaitu; pertama, system pendidikan umum yang sama sekali tidak mengajarkan ilmu-ilmu
keislaman, kedua, system pendidikan madrasah yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman murni dan tidak
mengajarkan ilmu-ilmu umum. ( Ghufron A. Mas’adi, 1997: 13,15)

4
di Barat ini menunjukkan betapa besar keinginannya untuk mengembangkan intelektual
rasionalis-nya.
Keputusan Rahman ini mengundang kontroversi dari kalangan ulama-ulama
Pakistan, karena semua yang berbau Barat saat itu dipandang negative oleh mereka
sekalipun hal tersebut untuk kemajuan Islam. Sebelum Rahman ada Sayyid Khan
(w.1898) yang mendapat kecaman pula karena sikapnya yang terkesan pro-Inggris.
Sebagai seorang modernis, ia ingin membuktikan kebenaran suatu agama melalui
kesesuaiannya dengan fitrah manusia dan dengan hukum alam. Ia berpendapat bahwa
Islam sesuai dengan kemajuan, terutama dengan kemajuan kebudayaan Inggris abad
Sembilan belas dengan pengetahuannya yang baru, moralitas humanitarian dan liberal
serta rasionalisme yang saintifik.
Rahman berangkat ke Inggris setahun sebelum Pakistan merdeka. Selain
mengikuti perkuliahan ia banyak mempelajari bahasa-bahasa Barat; Latin, Yunani,
Inggris, Perancis dan Jerman. Dengan pengusaannya terhadap berbagai bahasa
memudahkannya mempelajari karya-karya orientalis yang ditulis dengan bahasa-bahasa
tersebut. Pada tahun 1950 Rahman menyelesaikan doktoralnya di Oxford University
dengan mengajukan disertasi tentang Ibnu Sina dengan judul Avecinna’s Psychology
yang kemudian diterbitkan oleh Oxford University Press.
B. Karir Intelektual Fazlur Rahman
Setamat dari Oxford University, Rahman tidak langsung kembali ke Pakistan. Ia
memilih tinggal beberapa tahun lagi di Eropa untuk menjadi dosen bahasa Persia dan
filsafat Islam di Durham University, Inggris, yaitu pada tahun 1950-1958. Selanjutnya ia
pindah ke Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Kanada, dan menjabat
sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Kemudian pada
tahun tersebut ia kembali ke Pakistan atas panggilan Presiden yang berkuasa saat itu
Ayyub Khan (Abd A’la, 2000: 35). Saat itu Rahman mau kembali ke Pakistan karena
dengan dukungan Ayyub Khan yang berfikiran modern ia bisa membenahi Negara
asalnya.
Sekembalinya ke Pakistan pada tahun 1962-1968 Rahman menduduki jabatan
yang penting, yaitu sebagai Direktur Pusat Lembaga Riset Islam (Central Institute of
Islamic Research), lembaga riset yang didirikan oleh Presiden Ayyub Khan pada tahun

5
1960. Selain itu ia tercatat sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam ( Advisory
Council of Islamic Ideologi), lembaga pembuat kebijakan tertinggi di Pakistan6.
Selama menjabat sebagai Direktur, dalam rangka meningkatkan mutu lembaganya
Rahman menggunakan strategi ganda, yaitu: mengangkat beberapa orang tamatan
madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris sebagai anggota yunior serta
memberikan mereka latihan berbagai teknik riset modern dan sebaliknya merekrut
anggota-anggota yunior dari alumni universitas di bidang filsafat atau ilmu-ilmu sosial
serta memberikan pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin pokok Islam klasik
semisal hadits dan hukum Islam. Selain itu ia juga mengirim beberapa orang untuk studi
ke luar negeri agar memperoleh pelatihan dan gelar dalam kajian-kajian Islam, baik ke
universitas Barat maupun Timur (Fazlur Rahman, 1985: 147)
Hasil penelitian-penelitiannya selama menjabat sebagai Direktur lembaga riset
serta artikel-artikelnya yang dimuat dalam jurnal Islamic Studies banyak menuai
kontroversi di kalangan ulama tradisional. Pandangan Rahman mengenai Riba dan bunga
bank, zakat dan pajak, keluarga berencana, kehalalan binatang sembeliha mekanis,
poligami, dan hak waris cucu atas harta peninggalan kakeknya bahkan memicu
kontroversidan oposisi yang berkepanjangan dan semakin memuncak paska
penerjemahan bukunya Islam. Para ulama mengambil kesempatan tersebut untuk
memimpin demonstrasi rakyat menentang Rahman, hingga akhirnya Rahman
mengundurkan diri pada tahun 1968.
Dari sejak awal ulama tradisional sudah tidak sepaham dengan penunjukan
Rahman sebagai Direktur Lembaga Riset, terlebih lagi sebagai Dewan Penasihat
Ideologi Islam. Hal ini disebabkan karena Rahman adalah produk Barat. Menurut
mereka kedua jabatan tersebut seharusnya merupakan hak eksklusif seorang alim yang
dididik secara tradisional.
Dari sisi internal Rahman adalah karena ia menyampaikan penafsiran-penafsiran
modernnya secara agresif, lugas dan tanpa basa-basi terutama ketika ia mengevaluasi

6
Dinyatakan dalam konstitusi yang baru, bahwa tugas utama Dewan Penasihat Ideologi Islam
adalah memberi nasihat kepada pemerintah apakah suatu perundang-undangan bertentangan dengan hukum
Islam atau tidak. Adapun Lembaga Pusat Pengkajian Islam mengemban fungsi utama mengembangkan
pemahaman Islam secara rasional sehingga menimbulkan watak yang dinamis sesuai dengan kemajuan
intelektual dan ilmiah yang berkembang di dunia modern (Dikutip oleh Ghufron A.Mas’adi dari Esposito
(Ed), “Pakistan: Mencari Identitas Islam, Islam and Development)

6
tentang perjalanan umat Islam. Sikap ini dinilai ulama tradisional memberikan kesan
keangkuhan dan terasa menekan kalangan ulama. Sehingga memicu kalangan ulama
semakin “panas” dan menentang pemikiran-pemikirannya.
Factor yang fundamental dalam penentangan mereka terhadap Rahman, menurut
Ghufron A.Mas’adi adalah karena Rahman ditunjuk oleh Ayyub Khan yang dinilai
mereka sebagai seorang yang sekuler. Sehingga demonstrasi kepada Rahman sebenarnya
merupakan demontrasi politis sebagai simbol perlawanan mereka terhadap Ayyub Khan.
Karena Ayyub Khan adalah seorang militer sehingga penentangan terhadapnya lebih
berhati-hati. 7
Setelah melepas jabatannya Rahman lalu kembali ke Inggris untuk memenuhi
tawaran mengajar di Universitas California, Los Angeles, yang datang ketika
penentangan terhadapnya sedang mencapai puncaknya. Kemudian tahun 1969 ia
mengajar di Universitas Chicago dan diangkat sebagai Guru Besar Pemikiran Islam di
Universitas tersebut. Mata kuliah yang diajarkan meliputi pemahaman al-Qur’an, filsafat
Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang
al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Shah Waliullah dan Muhammad Iqbal.
Salah satu alasan hijrahnya Rahman ke Barat adalah sikapnya yang realistis dan
sekaligus idealis. Ia menyadari bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak
pernah menemukan lahan subur di Pakistan (Abd A’la, 2003: 40). Rahman sendiri
menegaskan bahwa vitalitas kerja intelektual pada dasarnya bergantung pada milieu
kebebasan intelektual. Orang tidak bisa mengharapkan bahwa pemikiran akan hidup
tanpa kebebasan ( Fazlur Rahman, 1985: 149).
C. Periode Perkembangan Pemikiran Fazlur Rahman
Pemikir Fazlur Rahman tertuang dalam karya-karyanya. Pemikiran Rahman
mengalami dinamika yang cukup signifikan, namun dinamika itu selalu konsisten, tidak
ada yang bertentangan bahkan saling menguatkan.

7
Ayyub Khan ( 1958-1969) adalah seorang modernis. Hal ini terlihat dari kebijakannya
merumuskan ulang konstitusi pada tahun 1962 dan kebijakannya membentuk Dewan Penasihat Ideologi
Islam, serta prakarsanya mendirikan Lembaga Pusat Pengkajian Islam. Selain itu orientasi modern Ayyub
Khan terlambangkan secara jelas dengan upaya penetapan ordonansi hukum keluarga tahun 1961.
Dokumen konstitusi tahun 1962 menghilangkan kata “Islam” dari nama Negara, sehingga yang semula
“Republik Islam Pakistan” menjadi “Republik Pakistan”(Ghufron A.Mas’adi, 1997: 37)

7
Abdul Mustaqim dan Sutrisno membagi alur pemikiran Rahman dalam tiga
periode:
1. Periode awal yang merupakan pembentukan ( tahun 1950-an)
Pada periode ini Rahman berhasil menulis tiga karyanya: pertama, Avecinna’s
Psychology yang merupakan disertasinya ini berisi kajian dari pemikiran Ibnu Sina yang
terdapat pada Kitab al-Najat, kedua, Avecinna’s De Anima, being the Psychological
Part of Kitab al-Syifa’ yang merupakan suntingan dari kitab Ibnu Sina Kitab al-Nafs,
ketiga, Propechy in Islam: Philosophy and Orthodoxy, ini merupakan karya orisinal
Rahman yang pertama dan yang paling penting dari periode ini. Karyanya ini dilandasi
oleh keprihatinannya atas kenyataan bahwa sarjana-sarjana Muslim modern kurang
menaruh perhatian terhadap doktrin-doktrin kenabian. Buku tersebut membahas
pemikiran dua tokoh filsuf muslim yakni al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Sina (980-
1037 M) tentang hakikat wahyu, kenabian, mukjizat, dakwah dan syari’at.
Perhatian Rahman pada zaman ini terfokuskan untuk menganalisis secara kritis
perkembangan-perkembangan internal Islam. Rahman secara berturut-turut menyimak
pemikiran religio-filosofis Ibnu Hazm, al-Ghazali, al-Syahrastani, Ibnu Taimiyah, dan
Ibn Khaldun yang merupakan wakil-wakil dari ortodoksi Islam. Sehingga bisa dikatakan
bahwa karyanya pada periode ini, secara epistemology, lebih berpusat pada kajian-kajian
Islam historis. 8
2. Periode tengah yang merupakan perkembangan (tahun 1960-an)
Pada periode ini Fazlur Rahman mulai memfokuskan kajiannya pada Islam
normatif. Usahanya itu dimaksudkan untuk memberikan interpretasi baru terhadap Al-
Qur’an dengan metodologi baru yang mulai intensif digelutinya. Yang ia lakukan adalah
“merumuskan kembali Islam” yaitu dalam rangka menjawab tantangan-tantangan dan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer, khusunya Pakistan.
Pergeseran pemikiran Rahman dari kajian Islam historis menuju Islam normative
dilatarbelakangi oleh: pertama, terbentuknya Pakistan sebagai Negara Islam yang
8
Menurut Abd A’la dalam Dari Neomodernisme ke Islam Liberal bahwa yang dimaksud Islam
historis adalah penafsiran yang dilakukan terhadap ajaran Islam dalam bentuknya yang beragam yang
dilakukan para umatnya sepanjang sejarah mereka. Sedangkan Islam normatif adalah ajaran-ajaran Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi yang hidup yang berbentuk nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip dasar, diyakini
sebagai sesuatu yang bernilai abadi dan dituntut untuk selalu menjadi rujukan dalam keberagamaan umat
Islam. Islam historis harus selalu dikaji dan direkonstruksi melalui nilai-nilai keabadian yang terkandung
dalam Islam normative; al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

8
kemudian berimplikasi pada perbedaan peletakan definisi “Islam” sebagai landasan
ideologis Negara, kedua, kontak Rahman yang intens dengan Barat ketika menetap
disana, sangat signifikan dalam menyandarkan dirinya akan hakikat tantangan yang
dihadapi Islam pada periode modern, ketiga, posisi-posisi penting sebagai Direktur
Lembaga Riset Islam dan anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah
Pakistan.
Buku pertama yang dihasilkan dalam periode ini adalah Islamic Metodologi In
History. Karya ini membahas tentang evolusi historis perkembangan empat dasar prinsip
dasar pemikiran Islam; al-Qur’an, Sunnah, ijtihad dan ijma’.
Karyanya yang kedua adalah Islam. Buku ini adalah upaya Rahman dalam
menyajikan sejarah perkembangan manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan
dan keteraturan dunia. Ciri dari karyanya yang dihasilkan pada periode ini adalah
terfokuskan untuk merekonstruksi definisi Islam untuk Pakistan sebagai Negara Islam.
3. Periode akhir yang merupakan kematangan pemikiran ( tahun 1970-an)
Periode ini diawali dengan pengunduran diri Rahman dari posisi-posisi strategis
yang ia jabat. Hal ini disebabkan pemikirannya yang banyak mengundang kontroversi di
kalangan ulama ortodok hingga akhirnya Rahman hijrah ke Amerika. Rahman menjadi
Guru Besar kajian Islam dalam berbagai aspeknya di Departement of near Eastern
Languages and Civilization di University of Chicago.
Buku yang dihasilkannya dalam periode ini adalah (1) The Philoshopy of Mulla
Syadra Shirazi, buku ini adalah kajian historis Rahman terhadap pemikiran Shadr al-Din
al-Syirazi (w. 1641). (2) Islam and Moderniy, Mayor Theme of The Qur’an, buku ini
berisi delapan pokok al-Qur’an, yaitu: Tuhan, manusia sebagai individu, manusia
sebagai masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan,
serta lahirnya masyarakat Muslim. Melalui karyanya ini Rahman berhasil membangun
suatu landasan filosofis yang tegar untuk perenungan kembali makna dan pesan al-
Qur’an bagi kamu Muslim kontemporer. (3) Islam & Modernity:Transformation of an
Intellectual Tradition, sebagian besar isi buku ini merupakan telaah kritis Rahman
terhadap sejarah intellectual dan pendidikan Islam sejak periode klasik hingga dewasa
ini. Dalam buku ini pula Rahman menfokuskan perhatiannya pada tugas preskripsi dan
rekonstruksi moral. Menurutnya hal tersebut bisa dilakukan dengan dua langkah

9
esensial. Pertama, mengadakan pembedaan yang jelas antara Islam normative dan Islam
Historis. Kedua, rekonstruksi ilmu-ilmu Islam yang meliputi teologi, hukum, etika,
filsafat serta ilmu-ilmu sosial.
Bukunya yang terakhir adalah Health and Medicine in the Islami. Buku ini
berusaha memotret organis antara Islam sebagai sebuah kepercayaan dan Islam sebagai
sebuah system kepercayaan dan Islam sebagai sebuah tradisi pengobatan manusia.
D. Al-Qur’an Sebagai Konsep Dasar Hukum Islam

Menurut Ghufron A.Mas’adi konsep Rahman mengenai Al-Qur’an pada dasarnya


berkisar pada tiga hal: hakikat, fungsi dan legislasi Al-Qur’an. Menurut Rahman hakikat
Al-Qur’an adalah firman Allah bersandar pada aspek keyakinan dan karenanya menjadi
dasar keimanan seseorang. Walaupun Rahman menjelaskan tentang pewahyuan Al-
Qur’an dengan konsep yang berbeda dimana ia menolak konsep yang diajukan oleh
ulama klasik tentang eksternalisali penyampaian Al-Qur’an dari Jibril ke Nabi
Muhammad.

Sedangkan fungsi Al-Qur’an menurut Rahman adalah sesuai dengan semangat


dasar Al-Qur’an untuk membawa misi “revolusi moral” yaitu menekankan pada ajaran
monotheisme dan keadilan sosial. Kata “moral’ sendiri akan menjadi kata kunci jika
ingin mempelajari tentamg pemikirannya secara konprehensif. Dimana Rahman selalu
mengulang-ulang tentang semangat moral hampir di semua bukunya.
Yang dimaksid dengan legislasi Al-Qur’an yang mana “legislasi’ dalam
terminology Arab adalah tasyri’ adalah pernyataan-pernyataan Al-Qur’an yang
bermuatan hukum. Dalam bukunya Islam and Modernity Rahman menjelaskan bahwa
semua legislasi Al-Qur’an dalam bidang kehidupan pribadi dan masyarakat, bahkan
lima rukun Islam yang dipandang sebagai ajaran-ajaran par excellence mempunyai
tujuan sosial dan pembangunan masyarkat egalitarian. Bersikeras untuk
mengimplementasikan harfiah Al-Qur’an dengan menutup mata terhadap perubahan
sosial sama saja artinya dengan mengabaikan tujuan-tujuan moral sosialnya.
E. Bangunan Metodologis Double Movement Fazlur Rahman
Pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlandaskan atas pembedaannya atas Islam
historis dan Islam normative yang juga membawa implikasi sangat besar dalam metode
yang ia tawarkan, demikian juga gagasannya untuk merumuskan metodologi yang
10
akurat untuk menafsirkan al-Qur’an agar ia bisa dipahammi secara utuh. 9 Kemudian
dirumuskanlah teori double movement yang untuk pertama kalinya ia tuliskan dalam
bukunya Islam Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition.

Walaupun Rahman tidak pernah secara eksplesit menyebutkan bahwa ini ia


menggunakan hermeneutika tertentu, tapi double movement-nya ini sering dinisbatkan
oleh peneliti-peniliti yang mengkaji tentang karyanya sebagai hermeneutika Fazlur
Rahman. Secara praktis teori gerakan ganda mempunyai tahapan sebagai berikut:

a. Gerak Pertama
Yaitu dari situasi sekarang membawa penafsir ke masa lalu saat Al-Qur’an
diturunkan. Gerak pertama ini melalui dua tahapan:
Tahap pertama, merupakan tahap pemahaman arti makna dari suatu
pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan
Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji
ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian
mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat agama, adat
istiadat, lembaga-lembaga bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di
Arabia pada saat turunnya Islam dalam khususnya Makkah akan dilakukan.
Jadi, langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna
Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas-batas ajaran
yang khusus yang merupakan respon terhadap situasi-situasi khusus ( Fazlur
Rahman , 1982: 7)
Tahap kedua, menggerneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan
menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan
moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-teks spesifik dalam
sinaran latar belakang sosio-historis dan ratio legis yang sering dinyatakan
(Ibid,.)

9
Penekanan pada pembedaan Islam historis dan normative ini Rahman tegaskan dalam bukunya
Islam andModernity: Transformation of an Intelectual tradition, ia mengatakan bahwa kaum Muslim
haruslah membuat perbedaan yang jelas antara Islam normative dan Islam historis. Kecuali bila dilakukan
upaya-upaya efektif dan ditunjang ke arah ini, tidak akan ada jalan yang nampak bagi penciptaan jenis
pikiran Islami.

11
Dalam gerak pertama ini yang terjadi adalah dari spesifik Al-Qur’an ke
penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka
panjangnya melalui historico-critical method ( metode kiritik sejarah).

Historico-critical method ( metode kritis-sejarah) merupakan pendekatan


kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta obyektif secara
utuh dan mencari nilai-nilai (values) tertentu yang terkandung di dalamnya. Jadi yang
ditekankan oleh metode ini adalah pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam
sejumlah data sejarah, bukan sejarah itu sendiri. Jika ada sebuah fenomena sejarah yang
dipaparkan sebatas kronologisnya, maka model semacam ini dinamakan pendekatan
kesejarahan. Metode ini juga berbeda dengan sosio-historis, sekalipun kedua metode
tersebut sama-sama menjawab pertanyaan “mengapa”. Metode pertama mencarikan
jawabannya pada nilai-nilai yang sedang dominan dalam data-data sejarah, sedang yang
kedua mencarikan jawabannya dalam konteks dan latar belakang peristiwa sejarah
(Ghufron A. Mas’adi, 1997: 17)

Dikutip oleh Abd A’la dari Birt dalam The Message of Fazlur Rahman bahwa
pendekatan yang dilakukan Rahman sejalan dengan historisisme, yaitu: pandangan
yang menyatakan kebenaran-kebenaran dasar pada suatu masyarakat harus
diformulasikan kembali untuk menghadapi masyarakat baru. Namun berbeda dengan
historisis yang lainnya, Rahman beranggapan bahwa penilaian yang signifikan terhadap
masa lalu hanya dapat dilakukan berdasarkan rujukan seperangkat nilai-nilai yang
bersifat trasendental.

b. Gerak Kedua

Gerakan kedua merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke


pandangan khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang . Yakni ajaran-
ajaran yang bersifat umum harus diwujudkan dalam konteks sosio-historis konkret
sekarang. Tahap ini membutuhkan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis
berbagai unsur-unsur komponennya sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan
mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas
baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an secara baru pula.

12
Gerakan yang kedua ini juga akan berfungsi untuk memberikan koreksi terhadap
hasil-hasil dari gerakan pertama yang hasilnya berupa pemahaman dan penafsiran.
Indikasinya adalah jika pehamaman tersebut gagal dalam aplikasinya sekarang, maka
tentunya telah terjadi kegagalan dalam memahami situasi sekarang atau dalam
memahami Al-Qur’an. Karena tidak mungkin sesuatu yang telah terealisasi dalam
tatanan spesifik masa lampau tidak bisa direalisasikan dalam konteks sekarang.
Sehingga dengan demikian perintah-perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif
kembali.

Tidak semua ayat mempunyai latar belakang historis atau asbabun nuzul.
Sebagian besar ayat-ayat yang mempunyai latar belakang historis adalah ayat-ayat yang
menerangkan tentang hukum. Sehingga ayat-ayat hukumlah yang bisa diselidiki ratio
legis dan moral ideas yang terkandung dibalik teks. Jadi secara tidak langsung teori ini
kemudian tidak bisa diaplikasikan terhadap semua jenis ayat. Walaupun demikian,
perhatian Rahman tentang moral ideas tetaplah konsisten, bahkan ketika ia menafsirkan
ayat-ayat tentang eskatologi seperti yang ia tulis dalam bukunya Mayor Theme of The
Qur’an dimana tema eskatologi adalah salah satu tema besar yang diusung oleh Al-
Qur’an.

Konsep tentang akhirat penting adanya dalam Al-Qur’an karena berbagai alasan,
yang menurut Rahman alasan pertama adalah moral dan keadilan sebagai konstitusi
realitas menurut Al-Qur’an adalah kualitas menilai amal-perbuatan manusia karena
keadilan tidak dapat dijamin berdasarkan apa-apa yang terjadi di atas dunia. Alasan
yang kedua adalah tujuan-tujuan hidup harus dijelaskan dengan seterang-terangnya
sehingga manusia dapat melihat apa yang telah diperjuangkannya dan apa tujuan-tujuan
yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Ketiga, perbantahan, perbedaan pendapat dan
konflik diantara orientasi-orientasi manusia akhirnya harus diselesaikan. Dengan
demikian sangat terlihat sekali Rahman begitu memperhatikan nilai-nilai etis.

Nilai-nilai moral yang berusaha dikuak lalu dipadukan dengan nilai-nilai


humanism yang menonjolkan peran manusia sebagai makhluk yang dibebani tanggung
jawab . Sehingga, perhatian tercurahkan pada penggalian konsep-konsep antropologis-

13
sosiologis. Rahman memberikan porsi yang besar bagi penegakan moral manusia (
Sibawaihi, 2007: 124)

F. Implikasi Pemikiran Fazlur Rahman


Pendekatan sosio-historis yang dilakukan oleh Fazlur Rahman diatas
mengasumsikan bahwa teks apa pun termasuk Al-Qur’an tidak akan pernah bisa
otonom, sehingga membawa implikasi terhadap pemahaman teks tersebut yang harus
mempertimbangkan situasi, kondisi, dan waktu, baik ketika teks tersebut diturunkan
maupun ketika ia hendak ditafsirkan di era sekarang. Karena teks itu tidak otonom
sehingga ia tidak dapat dipahami dengan baik tanpa memperhatikan konteks. Dengan
begitu seorang mufassir akan melakukan kontekstualisai gagasan al-Qur’an tanpa harus
terjebak pada bingkai teks.
Sibawaihi membahasakannya, dari segi hukum teori Rahman menuntut proses
elastisitas dan dinamisasi hukum Islam.Tradisi hukum Islam yang selama ini bersifat
tertutup dan mandul, dikaji kembali dengn cara mencermati akar-akar historis seluruh
tradisi yang .mapan tersebut, selanjutnya akan menemukan tujuan dan sasaran
substansial yang ada dalam teks hukum spesifik.
Sebagai contoh adalah dalam menafsirkan ayat

‫ فإن يكونا رجلين فرجل وامرأتان ممن ترضون من‬،‫واستشهدوا شهيدين من رجالكم‬...
)272:‫(البقرة‬... ‫الشهداء أن تضل إحداهما فتذكرا إحداهما األخرى‬
Rahman menolak pemahaman ulama tradisional yang berdasarkan tekstual ayat ini
menilai bahwa bobot kesaksian perempuan adalah separo dari kesaksian laki-laki
sebagai hukum yang bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Ayat ini adalah ayat
yang berkenaan dengan transaksi utang-piutang . Secara jelas ayat tersebut
menyebutkan illat hukumnya. Alasan mengapa diperlukan dua orang perempuan
sebagai pengganti laki-laki adalah karena kaum perempuan saat itu lebih “pelupa”
daripada laki-laki karena mereka di zaman Nabi tidak terbiasa dengan hutang-piutang.
Tapi kini telah terjadi perubahan sosial, perempuan mampu berperan di berbagai
bidang, maka nilai kesaksian perempuan dapat dipandang sama kuatnya dengan
kesaksian laki-laki. Bagaimanakah seseorang menyimpulkan bahwa kesaksian wanita
di semua situasi bisa lebih rendah daripada laki-laki sedangkan kini keadaan telah

14
berubah, dimana perempuan mampu berperan dan menguasi berbagai bidang termasuk
bisnis dan transaksi keuangan, meskipun masih sangat sedikit sekali.

G. Akar Pemikiran Fazlur Rahman


Produk pemikiran seseorang tidak mungkin ada begitu saja. Selain dipengaruhi
oleh lingkungan yang membesarkannya ia pasti juga akan dipengaruhi oleh pemikir-
pemikir pendahulunya. Demikian juga teori yang diajukan Rahman.
Jika dicermati teori double movement adalah perpaduan antara traditionalis
Muslim dan hermeneutika Barat kontemporer. Pengaruh dan kesamaan traditionalis
terhadap teori double movement bisa ditemukan pada langkah pertama yaitu dalam
memahami ayat harus memperhatikan konteks makro dan mikro ketika Al-Qur’an
diturunkan. 10 Gagasan tentang konteks makro dan mikro ini sudah pernah digagasoleh
Syah Waliullah al-Dahlawi dalam karyanya Fauzul al-Kabir fi Ushul al-Tafsir
sebagaimana yang dikutip oleh Mawardi dari Hamim Ilyas bahwa a-Dahlawi
menyebutkan kedua konteks tersebut asbab al-nuzul al-khassah dan asbab al-nuzul al-
‘ammah. Kesamaan yang lainnya adalah pernyataan al-Dahlawi bahwa al-Qur’an turun
merespon kehidupan masyarakat Arab dengan mendidik jiwa manusia dan
memberantas kepercayaan yang keliru dan perbuatan jahat lainnya. Sepaham dengan
pernyataan Rahman yang menyatakan bahwa “Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui
ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi, khususnya
kepada situai moral-masyarakat dagang Mekkah dari segi kepercayaan dan kehidupan
sosial.
Selain dengan al-Dahlawi, teori double movement Rahman juga mempunyai
kesamaan dengan gagasan Abu Ishaq al-Syathibi, seorang ahli ushul fiqih yang
mengajukan teori maqashid al-syari’ah. Dimana dalam memahami Al-Qur’an al-
Syatibi mensyaratkan pengetahuan tentang sejumlah keadaaan (muqtadhyat al-Ahwal):
keadaan khithab, mukhatib,dan mukhatab. Selain itu diperlukan pengetahuan tentang
konteks-konteks di luarnya yang lebih luas (al umur al kharijiyyah).

10
Konteks mikro adalah situasi sempit yang terjadi di lingkungan Nabi ketika Al-Qur’an
diturunkan. Konteks makro adalah situasi yang terjadi dalam skala yang lebih luas, menyangkut
masyarakat, agama dan adat istiadat Arabia pada saat datangnya Islam, khususnya di Makkahdan
sekitarnya (Sibawaihi, 2007: 59).

15
Dari sisi hermeneutika kontemporer Rahman sangat dipengaruhi oleh Hans
George Gadamer yaitu dengan teori subjektivitasnya, yaitu pra-pemahaman
(wirkungsgeschichte) yang ada pada diri pembaca teks, yang berarti bahwa ketika
seseorang membaca teks pasti terlebih dahulu berdasarkan atas pra-pemahamannya dan
itu harus ada pada seseorang agar mampu mendialogkan teks, sebab tanpa adanya pra-
pemahaman tidak akan mampu mendialogkan teks dengan baik. Ini menunjukkan
bahwa pembaca mempunyai horizon tersendiri dan teks mempunnyai horizon sendiri
(Mawardi, 2010: 77-78).

IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Fazlur Rahman adalah seorang cendikiawan Muslim abad ke-20 yang
pemikirannya sangat berpengaruh di dunia Islam terutama dengan teorinya double
movement. Dengan double movement itu Rahman mencoba untuk membumikan hukum
langit yang lama dianggap usang menjadi actual kembali dengan kontekstualisasi moral
ideal yang universal yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.
Keadaan di Pakistan yang begitu menghimpit kebebasan intelektualnya
kemudian mendorong Rahman untuk mencari akar permasalahan sekaligus solusinya.
Untuk mengejar ketertinggalan umat Islam dari Barat maka umat Muslim harus
mempunyai nalar kritis baik terhadap warisan pemikiran Islam sendiri maupun
“produk” Barat. Jika Islam zaman klasik pernah mencapai kejayaan karena secara
berani meminjam ilmu-ilmu barat berupa filsafat lalu mengapa sekarang umat Islam
takut untuk menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang datang dari Barat pula.
Sehingga tidaklah berlebihan jika Rahman dimasukkan ke dalam kelompok
neo-modernisme, yaitu aliran pemikiran yang cenderung ingin mengembangkan sikap
kritis terhadap Barat dan juga terhadap warisan-warisan kesejarahan Islam sendiri.
Seperti yang dicontohkan penafsirannya tentang kesaksian perempuan. Pembaharuan
yang ditawarkan Rahman tidak serta merta menggunakan feminism Barat, namun
mendekatinya dengan critical historis, kemudian menyimpulkan moral ideal yang
terkandung di dalamnya lalu kontekstualisasi dengan era sekarang.

16
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal. Jakarta: Paramadina, 2003.
Kurdi, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Sahiron Syamsuddin (Ed),
Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010.
Mas’adi, Gufron A, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1997.
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer. Cet.II. Yogyakarta: LKiS, 2012.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity, Transformation of an Intelectual Tradition.
Ahsin Mohammad (Terj). Bandung: Penerbit Pustaka, 1985.
_______, Islam. Ahsin Mohammad (Terj). Bandung: Penerbit Pustaka, 1994.

_______, Islamic Methodologi in History. Delhi: Adam Publishers & Distributors,


1994.

_______, Major Themes of the Qur’an. Anas Mahyudin (Terj). Bandung: Penerbit
Pustaka, 1983.

Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra, 2007.


Sutrisno, Fazlur Rahman: Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

17

You might also like