You are on page 1of 38

TUGAS ASKEP KEGAWATDARURATAN

MUSKULOSKELETAL

Di Susun oleh
WINARNI
FAUZAN
DEDE

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES ICHSAN MEDICAL CENTRE BINTARO
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan muskuloskeletal adalah suatu kondisi yang mempengaruhi sistem
muskuloskeletal yang dapat terjadi pada tendon, otot, sendi, pembuluh darah dan atau
saraf pada anggota gerak. Gejala dapat berupa nyeri, rasa tidak nyaman, kebas pada
bagian yang terlibat dan dapat berbeda derajat keparahannya mulai dari ringan sampai
kondisi berat, kronis dan lemah (HSE, 2014)

Gangguan muskuloskeletal merupakan salah satu masalah utama kesehatan diseluruh


dunia dengan prevalensi 35 – 50% (Lindgren dkk, 2010). Pada Nord –Trøndelag
County di Norwegia terdapat 45% dari populasi orang dewasa melaporkan nyeri
musculoskeletal kronis selama setahun terakhir (Hoff dkk, 2008). Gangguan
muskuluskeletal diantaranya fraktur, dislokasi, sprain, strain dan sindrom
compartemen.

Dikehidupan sehari hari yang semakin padat dengan aktifitas masing-masing manusia
dan untuk mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi
normal musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia,
tulang membentuk rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh, namun dari ulah manusia itu
sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur atau patah
tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya di karenakan
rudapaksa (Mansjoer, 2008).

Sprain atau keseleo merupakan cedera umum yang dapat menyerang siapa saja, tetapi
lebih mungkin terjadi pada individu yang terlibat dengan olahraga, aktivitas berulang,
dan kegiatan dengan resiko tinggi untuk kecelakaan. Sprain biasanya terjadi pada jari-
jari, pergelangan kaki, dan lutut. Bila kekurangan ligamen mayor, sendi menjadi tidak
stabil dan mungkin diperlukan perbaikan bedah.
Strain atau regangan adalah berlebihan peregangan otot, lapisan fasia nya, atau tendon.
Kebanyakan strain terjadi pada kelompok otot besar termasuk punggung bawah, betis

2
dan paha belakang. Strain juga dapat diklasifikasikan sebagai tingkat pertama (otot
ringan atau sedikit menarik), tingkat kedua (sedang atau otot robek pada tingkat
menengah) dan tingkat ketiga (robek parah atau pecah).

Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan


intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial
yang tertutup. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh darah. Ketika tekanan
intrakompartemen meningkat, perfusi darah ke jaringan akan berkurang dan otot di
dalam kompartemen akan menjadi iskemik.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mencoba untuk mengemukakan
penjelasan tentang kegawatdaruratan gangguan muskuluskeletal: fraktur, dislokasi,
sprain, strain, dan sindrom kompartmen

C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, mahasiswa dapat mengetahui tentang
kegawatdaruratan gangguan muskuluskeletal: fraktur, dislokasi, sprain, strain, dan
sindrom kompartmen

3
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Anatomi dan Fisiologi MUSKULUSKELETAL


Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus pergerakan.
Komponen utama dari sistem muskuloskeletal adalah tulang dan jaringan ikat yang
menyusun kurang lebih 25 % berat badan dan otot menyusun kurang lebih 50%. Sistem
ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligament, dan jaringan-jaringan
khusus yang menghubungkan struktur-struktur ini. (Price,S.A,1995 :175)

B. KOMPONEN SISTEM MUSCULOSKELETAL


1. Tulang
Tulang adalah jaringan yang paling keras diantara jaringan ikat lainnya yang terdiri
atas hampir 50 % air dan bagian padat, selebihnya terdiri dari bahan mineral
terutama calsium kurang lebih 67 % dan bahan seluler 33%.

C. Berdasarkan bentuknya tulang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


1. Tulang Panjang / Tulang Pipa
Tulang ini sering terdapat dalam anggota gerak. Fungsinya sebagai alat ungkit dari
tubuh dan memungkinkan untuk bergerak. Batang atau diafisis tersusun atas tulang
kortikal dan ujung tulang panjang yang dinamakan epifis tersusun terutama oleh
tulang kanselus. Plat epifis memisahkan epifiis dan diafisis dan merupakan pusat
pertumbuhan longitudinalpada anak-anak. Yang pada orang dewasa akan
mengalami kalsifikasi. Misalnya pada tulang humerus dan femur.
2. Tulang Pendek
Tulang ini sering didapat pada tulang-tulang karpalia di tangan dan tarsalia di kaki.
Fungsinya pendukung seperti tampak pada pergelangan tangan. Bentuknya tidak
teratur dan inti dari konselus (spongi) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang
padat.
3. Tulang Pipih
Tulang ini sering terdapat di tengkorak, panggul / koxa, sternum, dan iga-iga, serta
scapula (tulang belikat). Fungsinya sebagai pelindung organ vital dan menyediakan

4
permukaan luas untuk kaitan otot-otot, merupakan tempat penting untuk
hematopoesis. Tulang pipih tersusun dari tulang kanselus diantara 2 tulang kortikal.
4. Tulang Tak Beraturan
Berbentuk unik sesuai dengan fungsinya. Struktur tulang tidak teratur, terdiri dari
tulang kanselous di antara tulang kortikal. Contoh : tulang vertebra, dan tulang
wajah.
5. Tulang Sesamoid
Merupakan tulang kecil disekitar tulang yang berdekatan dengan persendian dan
didukung oleh tendon dan jaringan fasial. Contoh : tulang patella (Kap lutut).
Bentuk dan kontruksi tulang ditentukan fungsi dan gaya yang bekerja padanya.

Kerangka
Sebagian besar tersusun atas tulang. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat
untuk menyangga struktur tubuh.

Kerangka dibagi menjadi :


1. Kerangka aksial
Kerangka aksial terdiri dari 80 tulang, terkelompok pada 3 daerah yaitu
a. Kranium dan Tulang Muka ( TENGKORAK )
Kranium terdiri atas 8 tulang yaitu tulang-tulang parietal (2), temporal
(2),frontal, oksipital, stenoid, dan etmoid.
Tulang muka terdiri atas 14 tulang yaitu tulang maksila (2), zigomatikus (2),
nasal (2), lakrimal (2), palatinum (2),concha inferior (2),mandibula dan vomer.
b. Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis terdiri atas 26 tulang berbentuk tidak teratur, terbentang
antara tengkorak dan pelvis. Juga merupakan tempat melekatnya iga dan otot
punggung. Kolumna vertebralis dibagi dalam 7 vertebra sevikalis, 12 vertebra
torakalis, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sacrum dan 4 vertebra koksigius.
c. Thoraks tulang
Thorak tulang terdiri tulang dan tulang rawan. Thoraks berupa sebuah rongga
berbentuk kerucut terdiri dari 12 vertebra torakalis dan 12 pasang iga yang
melingkar dari tulang belakang sampai ke sternum.
Pada sternum terdapat beberapa titik penting yaitu supra sternal notch dan
angulus sterni yaitu tempat bertemunya manubrium dan korpus sterni.

5
Bagian-bagian tersebut merupakan penunjang kepala, leher, dan badan serta
melindungi otak, medulla spinalis dan organ dalam thoraks.

2. Kerangka Apendikular
Kerangka apindikuler terdiri atas :
a. Bagian bahu (Singulum membri superioris)
Singulum membri superior terdiri atas klavikula dan scapula.
Klavikula mempunyai ujung medial yang menempel pada menubrium dekat
suprasternal notch dan ujung lateral yang menempel pada akronion.
b. Bagian panggul (Singulum membri inferior )
Terdiri dari ileum, iskium, pubis yang bersatu disebut tulang koksae. Tulang
koksae bersama sacrum dan koksigeus membentuk pelvis tulang. Ekstremitas
bawah terdiri dari femur, patella, tibia, fibula, tarsus, metatarsus.

D. Artilago (tulang rawan)


Tulang rawan terdiri dari serat-serat yang dilekatkan pada gelatin kuat, tetapi fleksible
dan tidak bervasculer. Nutrisi melaui proses difusi gel perekat sampai ke kartilago yang
berada pada perichondium (serabut yang membentuk kartilago melalui cairan sinovial),
jumlah serabut collagen yang ada di cartilage menentukan bentuk fibrous, hyaline,
elastisitas, fibrous (fibrocartilago) memili paling banyak serabut dan memiliki
kekuatan meregang. Fibrus cartilage menyusun discus intervertebralis articular
(hyaline) cartilage halus, putih, mengkilap, dan kenyal membungkus permukaan
persendian dari tulang dan berfungsi sebagai bantalan. Cartilage yang elastis memiliki
sedikit serat dan terdapat pada telinga bagian luar.

E. Ligamen (simplay)
Ligamen adalah suatu susunan serabut yang terdiri dari jaringan ikat keadaannya
kenyal dan fleksibel. Ligament mempertemukan kedua ujung tulang dan
mempertahankan stabilitas. Contoh ligamen medial, lateral, collateral dari lutut yang
mempertahankan diolateral dari sendi lutut serta ligament cruciate anterior dan
posterior di dalam kapsul lutut yang mempertahankan posisi anteriorposterior yang
stabil. Ligament pada daerah tertentu melengket pada jaringna lunak untuk
mempertahankan struktur. Contoh ligament ovarium yang melalui ujung tuba ke
peritoneum.

6
F. Tendon
Tendon adalah ikatan jaringan fibrous yang padat yang merupakan ujung dari otot yang
menempel pada tulang. Tendon merupakan ujung dari otot dan menempel kepada
tulang. Tendon merupakan ekstensi dari serabut fibrous yang bersambungan dengan
aperiosteum. Selaput tendon berbentuk selubung dari jaringan ikat yang menyelubungi
tendon tertentu terutama pada pergelangan tangan dan tumit. Selubung ini
bersambungn dengan membrane sinovial yang menjamin pelumasan sehinggga mudah
bergerak.

G. Fascia
Fascia adalah suatu permukan jaringan penyambung longgar yang didapatkan langsung
di bawah kulit, sebagai fascia superficial atau sebagai pembungkus tebal, jaringan
penyambung fibrous yang membungkus otot, saraf dan pembuluh darah. Yang
demikian disebut fascia dalam.

H. Bursae
Bursae adalah kantong kecil dari jaringna ikat di suatu tempat dimana digunakan di
atas bagian yang bergerak. Misalnya antara tulang dan kulit, tulang dan tendon, otot-
otot. Bursae dibatasi membrane sinovial dan mengandung caiaran sinovial. Bursae
merupakan bantalan diantara bagian-bagian yang bergerak seperti olekranon bursae
terletak antara prosesus olekranon dan kulit.

G. Persendian
Sendi adalah tempat pertemuan dua atau lebih tulang. Tulang-tulang ini dipadukan
dengan berbagai cara misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon,
fasia atau otot. Dalam membentuk rangka tubuh, tulang yang satu berhubungan dengan
tulang yang lain melalui jaringan penyambung yang disebut persendian. Pada
persendian terdapat cairan pelumas (cairan sinofial). Otot yang melekat pada tulang
oleh jaringan ikat disebut tendon. Sedangkan, jaringan yang menghubungkan tulang
Dengan tulang disebut ligament.

7
Secara structural sendi dibagi menjadi: sendi fibrosa, kartilaginosa, sinovial. Dan
berdasarkan fungsionalnya sendi dibagi menjadi: sendi sinartrosis, amfiartrosis,
diarthroses.

H. Secara structural dan fungsional klasifikasi sendi dibedakan atas:


1. Sendi Fibrosa/ sinartrosis
Sendi yang tidak dapat bergerak atau merekat ikat, maka tidak mungkin gerakan
antara tulang-tulangnya. Sendi fibrosa tidak mempunyai lapisan tulang rawan dan
tulang yang satu dengan lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung
fibrosa. contohnya sutura pada tulang tengkorak, sendi kaitan dan sendi kantong
(gigi), dan sindesmosis (permukaan sendi dihubungkan oleh membran).
2. Sendi Kartilaginosa/ amfiartrosis
Sendi dengan gerakan sedikit, dan permukaan persendian- persendiannya
dipisahkan oleh bahan antara dan hanya mungkin sedikit gerakan. Sendi tersebut
ujung-ujung tulangnya dibungkus tulang rawan hyalin, disokong oleh ligament dan
hanya dapat sedikit bergerak.
Ada dua tipe kartilago :
a. Sinkondrosis
Sendi yang seluruh persendianyan diliputi oleh tulang rawan hialin
b. Simfisis
Sendi yang tulangnya memiliki hubungan fibrokartilago dan selapis tipis tulang
rawan hialin yang menyelimuti permukaan sendi.
Contohnya :simfisis pubis (bantalan tulang rawan yang mempersatukan kedua
tulang pubis), sendi antara manubrium dan badan sternum, dan sendi temporer /
sendi tulang rawan primer yang dijumpai antara diafisis dan epifisis.

3. Sendi Sinovial/ diarthroses


Sendi tubuh yang dapat digerakkan. Sendi ini memiliki rongga sendi dan
permukaan sendi dilapisi tulang rawan hialin.
Kapsul sendi terdiri dari suatu selaput penutup fibrosa padat, suatu lapisan dalam
yang terbentuk dari jaringan penyambung berpembuluh darah banyak dan sinovium
yang membentuk suatu kantong yang melapisi suatu sendi dan membungkus
tendon-tendo yang melintasi sendi. Sinovium menghasilkan cairan yang sangat
kental yang membasahi permukaan sendi. Caiaran sinovial normalnya bening, tidak

8
membeku dan tidak berwarana. Jumlah yang ditemukan pada tiap-tiap sendi
relative kecil 1-3 ml. Cairan sinovial bertindak pula juga sebagi sumber nutrisi bagi
tulang rawan sendi.
Tulang rawan memegang peranana penting, dalam membagi organ tubuh. Tulang
rawan sendi terdi dari substansi dasar yang terdiri dari kolagen tipe II dan
proteoglikan yang dihasilkan oleh sel-sel tulang rawan. Proteoglikan yang
ditemukan pada tulang rawan sendi sangat hidrofilik, sehingga memungkinkan
rawan tersebut mampu menahan kerusakan sewaktu sendi menerima beban berat.
Perubahan susunan kolagen dan pembentukan proteoglikan dapat terjadi setelah
cedera atau ketika usia bertambah.
Persendian yang bergerak bebas dan banyak ragamnya. Berbagai jenis sendi
sinovial yaitu sendi datar / sendi geser, sendi putar, sendi engsel, sendi kondiloid,
sendi berporos, dan sendi pelana / sendi timbal balik.Gerak pada sendi ada 3
kelompok utama yaitu gerakan meluncur, gerkan bersudut / anguler, dan gerakan
rotasi.
Adapun pergerakan yang dapat dilakukan oleh sendi-sendi adalah fleksi, ekstensi,
adduksi, abduksi, rotasi, sirkumduksi dan Pergerakan khusus seperti supinasi,
pronasi, inversion, eversio, protaksio.

Sendi diartrosis terdiri dari:


1. Sendi peluru
Sendi peluru adalah persendian yang memungkinkan gerakan yang lebih bebas.
Sendi ini terjadi apabila ujung tulang yang satu berbentuk bonggol, seperti peluru
masuk ke ujung tulang lain yang berbentuk cekungan. Contoh sendi peluru adalah
hubungan tulang panggul dengan tulang paha, dan tulang belikat dengan tulang
atas.
2. Sendi engsel
Memungkinkan gerakan melipat hanya satu arah, Persendian yang menyebabkan
gerakan satu arah karena berporos satu disebut sendi engsel. Contoh sendi engsel
ialah hubungan tulang pada siku, lutut, dan
3. Sendi pelana
Sendi pelana adalah persendian yang membentuk sendi, seperti pelana, dan
berporos dua. Contohnya, terdapat pada ibu jari dan pergelangan tangan

9
Memungkinkan gerakan 2 bidang yang saling tegak lurus. misal persendian dasar
ibu jari yang merupakan sendi pelana 2 s
4. Sendi pivot
Memungkinkan rotasi untuk melakukan aktivitas untuk memutar pegangan pintu,
misal persendian antara radius dan ulna.
5. Sendi peluncur
Memungkinkan gerakan terbatas kesemua arah. Contoh adalah sendi-sendi tulang
karpalia di pergelangan tangan

I. Jaringan Penyambung
Jaringan yang ditemukan pada sendi dan daerah-daerah yang berdekatan
terutama adalah jaringan penyambung, yang tersususn dari sel-sel dan subtansi dasar.
Dua macam sel yang ditemukan pada jaringan penyambung sel-sel yang tidak dibuat
dan tetap berada pada jaringan penyambung, seperti sel mast, sel plasma, limfosit,
monosit, leukosit polimorfonuklear. Sel-sel ini memegang peranan penting pada reaksi-
reaksi imunitas dan peradangan yang terlihat pada penyakit-penyakit reumatik. Jenis
sel yang kedua dalam sel penyambung ini adalah sel yang tetap berada dalam jaringan
seperti fibroblast, kondrosit, osteoblas. Sel-sel ini mensintesis berbagai macam serat
dan proteoglikan dari substansi dasar dan membuat tiap jenis jaringan pemyambung
memiliki susunan sel yang tersendiri.
Serat-serat yang didapatkan didalam substansi dasar adalah kolagen dan elastin. Serat-
serat elastin memiliki sifat elastis yang penting. Serat ini didapat dalam ligament,
dinding pembuluh darah besar dan kulit. Elastin dipecah oleh enzim yang disebut
elastase.

J. Otot
Otot yang melekat pada tulang memungkinkan tubuh bergerak. Kontraksi otot
menghasilkan suatu usaha mekanik untuk gerakan maupun produksi panas untuk
mempertahankan temperature tubuh. Jaringan otot terdiri atas semua jaringan
kontraktil. Menurut fungsi kontraksi dan hasil gerakan dari seluruh bagian tubuh otot
dikelompokkan dalam :
1. Otot rangka (striadted / otot lurik).
Terdapat pada system skelet, memberikan pengontrolan pergerakan, mempertahankan
postur tubuh dan menghasilkan panas.

10
2. Otot polos (otot visceral).
Terdapat pada saluran pencernaan, perkemihan, pembuluh darah. Otot ini mendapat
rangsang dari saraf otonom yang berkontraksi di luar kesadaran
3. Otot jantung.
Hanya terdapat pada jantung dan berkontraksi di luar pengendalian.
Otot rangka dinamai menurut bentuknya seperti deltoid, menurut jurusan serabutnya
seperti rektus abdominis, menurut kedudukan ototnya seperti pektoralis mayor,
menurut fungsinya seperti fleksor dan ekstensor. Otot rangka ada yang berukuran
panjang, lebar, rata, membentuk gumpalan masas. Otot rangka berkontraksi bila ada
rangsang. Energi kontaraksi otot diperoleh melalui pemecahan ATP dan kegiatan
calsium.
Otot dikaitkan di dua tempat tertentu yaitu :
1. Origo
Tempat yang kuat dianggap sebagai tempat dimana otot timbul
2. Isersio
Lebih dapat bergerak dimana tempat kearah mana otot berjalan.
Kontraksi otot rangka dapat terjadi hanya jika dirangsang. Energi kontraksi otot
dipenuhi dari pemecahan ATP dan kegiatan kalsium. Serat-serat dengan oksigenasi
secara adekuat dapat berkontraksi lebih kuat, bila dibandingkan dengan oksigenasi
tidak adekuat. Pergerakan akibat tarikan otot pada tulang yang berperan sebagai
pengungkit dan sendi berperan sebagai tumpuan atau penopang.
Masalah yang berhubungan dengan system ini mengenai semua kelompok usia,
masalah pada system musculoskeletal tidak mengancam jiwa tetapi berdampak pada
kativitas dan produktivitas penderita.

11
BAB III
GANGGUAN MUSKULOSKELETAL

A. Dislokasi
Pergeseran sendi dapat berupa subluksasi atau dislokasi. Subluksasi sendi adalah
kondisi di mana masih terdapat kontak antara permukaan tulang - tulang
penyusun sendi. Ketika kontak tersebut sudah tidak ada, sendi tersebut dikatakan
mengalami dislokasi. Sama seperti patah tulang, subluksasi dan dislokasi sendi juga
terjadi karena ketidakseimbangan antara gaya yang didapat oleh sendi dengan
gaya yang dapat ditahan oleh sendi.

Subluksasi dan dislokasi sendi dapat diketahui dari tanda dan gejala yang ada.
Pada keterangan yang diberikan korban, dapat ditemukan riwayat trauma, rasa
Nyeri dan gangguan pergerakan sendi. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
bengkak, perubahan bentuk, gangguan pergerakan, serta nyeri tekan pada sendi
yang cedera.

Tanda dan gejala pergeseran sendi memang mirip dengan patah tulang, yang
membedakannya adalah lokasi dan jenis trauma. Lokasi ditemukannya tanda - tanda
tersebut memang bisa mirip antara pergeseran sendi atau patah tulang di dekat
persendian. Mengenai riwayat trauma, pergeseran sendi biasanya didahului oleh
pergerakan sendi, sementara patah tulang biasanya didahului oleh gaya dari luar
seperti pukulan benda keras atau terjatuh.

B. Sprain dan Strain


Sprain adalah robekan atau peregangan dari suatu otot, ligamen dan sendi, sedang
strain adalah suatu kondisi nyeri pada otot yang disebabkan karena adanya tarikan yang
berlebihan dari otot tersebut.
Klasifikasi sprain (Marilynn, 2011):
1. Sprain derajat I (kerusakan minimal)
Nyeri tanpa pembengkakan, tidak ada memar, kisaran pembengkakan aktif dan
pasif, menimbulkan nyeri, prognosis baik tanpa adanya kemungkinan instabilitas
atau gangguan fungsi.

12
2. Sprain derajat II (kerusakan sedang)
Pembengkakan sedang dan memar, sangat nyeri, dengan nyeri tekan yang lebih
menyebar dibandingkan derajat I. Kisaran pergerakan sangat nyeri dan tertahan,
sendi mungkin tidak stabil, dan mungkin menimbulkan gangguan fungsi.
3. Sprain derajat III (kerusakan kompit pada ligamen)
Pembengkakan hebat dan memar, instabilitas stuktural dengan peningkatan kirasan
gerak yang abnormal (akibat putusnya ligamen), nyeri pada kisaran pergerakan
pasif mungkin kurang dibandingkan derajat yang lebihh rendah (serabut saraf
sudah benar-benar rusak). Hilangnya fungsi yang signifikan mungkin
membutuhkan pembedahan untuk mengembalikan fungsinya.

Penanganan sprain dan strain


Menurut Sudijandoko (2000: 31) cedera tersebut ditandai dengan adanya
rasa sakit, pembengkakan, kram, memar, kekakuan dan adanya pembatasan gerak
sendi serta berkurangnya kekuatan pada daerah yang mengalami cedera tersebut.
Sebelum kerumah sakit, pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalahevaluasi
awal tentangkeadaan umum penderita, untuk menentukan apakah ada keadaan
yang mengancamkelangsungan hidupnya. Setelah diketahui tidak ada hal membah
ayakan jiwanya maka dilanjutkan upaya RICE, yaitu:
1. REST, yaitu mengistirahatkan anggota tubuh yang terkena cedera agar tidak
menambah luas cedera tersebut.
2. ICE, yaitu memberi kompres dingin pada bagian tubuh yang terkena cedera d
engan
tujuan untuk mengurangi rasa sakit dan dingin akan membantu menghentikan
pendarahan.
3. COMPRESSION, yaitu memberikan balutan tekan pada anggota tubuh yang c
edera dengan tujuan untuk mengurangi pembengkakan
4. ELEVATION, yaitu meninggikan anggota tubuh yang cedera untuk menguran
gi pembengkakan.

Ketika mengalami cedera baru dihindari HARM, yaitu


1. H : HEAT, pemberian panas pada bagian cedera justru akan meningkatkan
pendarahan.
2. A : ALCOHOL, akan meningkatkan pembengkakan.

13
3. R : RUNNING, terlalu dini akan memperburuk cedera.
4. M : MASSAGE, tidak boleh diberikan pada masa akut karena akan merusak
jaringan.

Pertolongan pertama adalah sebuah pemberian perawatan yang di perlukan untuk


sementara waktu. Seperti pertolongan pada:
1. Pendarahan
Pendarahan terjadi karena pecahnya pembuluh darah sebagai akibat dari trauma
pukulan, tendangan atau terjatuh (Wibowo, 1995:39)
Cara menghentikan pendarahan, yaitu dengan mempergunakan bahan lembut apa
saja yang dimiliki saat itu seperti sapu tangan atau kain yang bersih. Lalu tekankan
pada bagian tubuh yang mengalami pendarahan dengan kuat. Kemudian ikatlah
saputanganbaju atau apa pun agar sapu tangan yang digunakan tetap menekan
luka sumber pendarahan.
Letakkan bagian pendarahan lebih tinggi dari bagian tubuh lainnya kecuali kalau
keadaannya tidak memungkinkan.

2. Keseleo atau terkilir


Menurut Junaidi (2011: 109) keseleo merupakan kecelakaan yang paling sering
terjadi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berolahraga. Keseleo
disebabkan adanya hentakan yang keras terhadap sebuahsendi tetapi dengan
arahyang salah atau berlawanan dengan alur otot. Akibatnya, jaringan
pengikat antartulang (ligament) robek. Robekan ini diikuti oleh pendarahan di
bawah kulit,menggumpal di bawah kulit dan menyebabkan terjadinya pembeng
kakan, rasa nyeri,serta sendi sulit digerakan.
Bagian tubuh yang sering mengalami keseleo pada saat berolahraga antara lain:
a. Pergelangan kaki
Menurut Junaidi (2011: 109) keseleo atau terkilir paling banyak
terjadi pada pergelangan kaki biasanya terkilir kearah mendalam. Akibat
yangsering terjadi adalah ligament antara tulang betis dan tulang kering. T
indakan pertolongan sebagai berikut:
1) Apabila tidak ada patah tulang, tindakan pertama ditempat kecelakaan
dilakukan dengan mengendorkan tali sepatu korban dan balutlah
pergelangan kaki dengan pembalut

14
2) Untuk 24 jam pertama merendam atau mengompres kaki yang cedera
didalam air dingin atau es selam 30 menit beberapa kali sehari. Setelah itu
untuk jam ke-25 atau
hari berikutnya, merendam kaki dengan air panas beberapa kali sehari.
3) Tekanlah bagian kaki dengan lembut atau dibalut dengan menggunakan
spon untuk mencegah kebengkakan dan menahan pendarahan.
4) Setelah direndam air es, pergelangan kaki tersebut dibalut dengan pembalut
yang menekan. Pembalut tekan ini dikenakan mengelilingi pergelangan
kaki.Untuk menambah tekanan, diantara pembalut dan tempat pembeng
kakandiselipkan bantalan spon. Dalam 24 jam pertama penderita tidak
boleh menggunakan kakinya yang cedera untuk menahan berat badan.
Korbanharusistirahat dangan kaki yang cedera diletakkan lebih tinggi
dari bagian tubuhsetelah36.sampai48 jam. Untuk mengurangi rasa sakit
atau pembengkakan dapat diberikan obat gosok, balsam atau sinar infra
merah
5) Akan tetapi obat tersebut tidak boleh digunakan langsung ditempat yan
g cedera malainkan ditempat yang lebih atas lagi
6) Pemijatan tidak boleh dilakukan ditempat yang cedera karena dapat
menambah pendarahan/ pembengkakan

b. Pergelangan tangan
Menurur Junaidi (2011: 111) pergelangan tangan dapat terkilir
karena mengangkat beban berat secara mendadak atau melakukan suatu ya
ng belum biasa. Tindakan pertolongan bila terjadi cedera yaitu:
1) Jika tidak ada patah tulang maka tindakan pertama ialah sama dengan
tindakan tindakan dalam mengatasi keseleo pergelangan kaki.
2) Merendam tangan ke dalam air dingin atau es selam 30 menit kemud
ian berikan balutan yang menekan
3) Istirahatkan tangan yang sakit dengan jalan menggantungkan ke pundak
4) Jari tangan
Menurut Junaidi (2011: 112) tindakan pertolongan bila jari tangan
mengalami cedera, yaitu tindakan pertolongan seperti tindakan pada keselo
pada pergelangan kaki.

15
5) Sendi siku
MenurutJunaidi (2011: 113) apabila sebuah pukulan kerasmengenai siku
ketika lengan rentang lurus, ada kemungkinan siku akan terkilir.
Untuk mengetahui yaitu dengan cara bagian siku ditekuk 90 derajat
dan korban diminta mengerak-gerakan jari-jari serta pergelangan
tangannya. Apabila ia merasa nyeri di tepi luar dan dalam sendi siku, maka
sikuMengalamiterkilirdi tepi luar dan dalam sendi siku, maka siku men
galami terkilir. Tindakan pertolongan yang harus dilakukan yaitu:
a) Kompres dengan air dingin atau es selam 30 menit kemudian dibalut
dengan siku tertekuk 90 derajat dan digantungkan keleher
b) Pemijitan boleh dilakukan setelah pembekakan mereda. Sesudah se
mbuh, untuk sementara waktu tidak diperkenankan melakukan olahraga
berat
6) Sendi lutut
MenurutJunaidi (2011: 113) Karena susnanya uang kompleks,
cedera pada sendi lutut dapat menimbulkan berbagi masalah komplikasi
sepertiterkilir, tulang rawan terpeleset atau pecah tempurung lututnya.
Apabila sudahterjadi pembengkakan, diagnose yang pasti hanya dapat
dilakukan dengan pemeriksaan rongen (sinar X). Untuk tindakan
pertolongan bila tidak ada tandatanda retak, diperlukan seperti terkilir pada
umumnya. Tindakan pertolongan yaitu:
Kompres es selama 30 menit, lalu berikan balutan yang menekan (kalau
perlu di lapisi dengan spons diatas dan di kiri dan kanan tempurung lu
tut)kemudian diistirahatkan.
7) Kejang otot (kram)
Menurut Iskandar Junaidi (2011: 127) kram atau kejang otot dapat
terjadikarena keletihan, dapat pula karena dingin atau karena panas. Ti
ndakan pertolongan yaitu
a) Kejang otot karena letih dapat diatasi dengan meregangkan otot
tersebut. Bila kram terjadi di
betis berdirilah dengan bertumpukan dengan jari-jari kaki (berjinjit)
dan kemudian sentakan tumit kebawah.
b) Dapat juga menolong dengan melemaskan tungkai yang mengalami
kejang dan memijat otot yang kejang itu kearah jantung

16
c) Kejang otot pada saat berenang dapat diatasi dengan jalan menarik
lutut kedada sambil dada berusaha mengapung dan memijit otot yang
kejang.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kejang dapat
disebabkan karena keletihan, kepanasan atau kedinginan. Pertolongan perta
ma dapat
dilakukan dengan meregangkan otot, melemaskan dan memijat kearah
jantung.

C. Syndrom Kompartemen
Sindroma kompartemen dapat ditemukan pada tempat di mana otot dibatasi oleh
rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga berfungsi sebagai
lapisan penahan. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah, lengan
bawah,kaki, tangan, region glutea, dan paha. Iskemia dapat terjadi karena peningkatan
isi kompartemen akibat edema yang timbul akibat revaskularisasi sekunder dari
ekstrimitas yang iskemi atau karena penyusutan isi kompartemen yang disebabkan
tekanan dari luar misalkan balutan yang menekan.

Adapun faktor resiko pada sindroma kompartemen meliputi fraktur yang berat dan
trauma pada jaringan lunak, penggunaan bebat.
1. Gejala klinis yang umum ditemukan pada sindroma kompartemen meliputi 5 P,
yaitu : Pain (nyeri) : nyeri pada jari tangan atau jari kaki pada saat peregangan pasif
pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung.
2. Pallor (pucat) : kulit terasa dingin jika di palpasi, warna kulit biasanya pucat, abu-
abu atau keputihan.
3. Parestesia : biasanya memberikan gejala rasa panas dan gatal pada daerah lesi.
4. Paralisis : biasanya diawali dengan ketidakmampuan untuk menggerakkan sendi,
merupakan tanda yang lambat diketahui.
5. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi) : akibat adanya gangguan
perfusi arterial. Pengukuran tekanan kompartemen adalah salah satu tambahan
dalam membantu menegakkan diagnosis. Biasanya pengukuran tekanan
kompartemen dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran yang dari
pemeriksaan fisik tidak memberi hasil yang memuaskan. Pengukuran tekanan

17
kompartemen dapat dilakukan dengan menggunakan teknik injeksi atau wick
kateter.

Kelumpuhan atau parese otot dan hilangnya pulsasi (disebabkan tekanan


kompartemen melebihi tekanan sistolik) merupakan tingkat lanjut dari sindroma
kompartemen. Diagnosis klinik didasari oleh riwayat trauma dan pemeriksaan fisik.
Tekanan intra kompartemen melebihi 35 - 45 mmHg menyebabkan penurunan
aliran kapiler dan menimbulkankerusakan otot dan saraf karena anoksia.
Penanganan sindroma kompartemen meliputi:
1. Terapi medikal / non bedah.
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran
darah dan akan lebih memperberat iskemia.
b. Pada kasus penurunan volume kompartemen, gips harus dibuka dan pembalut
kontriksi dilepas.Mengoreksi hipoperfusi dengan cara kristaloid dan produk
darah.
c. Pemberian mannitol, vasodilator atau obat golongan penghambat simpatetik.

D. Fraktur
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner&Suddarth: 2002).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doenges, 1999).
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma (Tambayong:
2000).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang
disebabkan trauma atau tenaga fisik dan menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi.

2. Etiologi
Menurut Apley & Solomon (1995: 239), etiologi yang menyebabkan fraktur adalah
sebagai berikut:
a. Traumatik
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan,
yang dapat berupa pukulan, penghancuran, penekukan, penarikan. Bila terkena

18
kekuatan langsung tulang patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunakpun
juga rusak.
b. Kelelahan atau tekanan berulang-ulang
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain, akibat
tekanan yang berulang-ulang. Keadaan ini paling banyak ditemukan pada tibia
fibula, terutama pada atlit, penari.
c. Kelemahan dan abnormal pada tulang (patologis)
Fraktur dapat terjadi pada tekanan yang normal jika tulang itu lemah atau tulang itu
sangat rapuh.
Penyebab fraktur adalah trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang, dan mayoritas fraktur akibat kecelakaan
lalu lintas. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja,
cidera olah raga. Trauma bisa terjadi secara langsung dan tidak langsung.
Dikatakan langsung apabila terjadi benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur
di tempat itu, dan secara tidak langsung apabila titik tumpu benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan (Rahmad, 1996 ).

Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan
berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.

19
c. Secara spontan :
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio
dan orang yang bertugas dikemiliteran.

3. Klasifikasi
a. Menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi
menjadi 2 antara lain:
1) Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
b) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur terbuka (opened)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat
masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka
:
a) Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
b) Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
c) Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
b. Menurut derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Patah tulang lengkap (Complete fraktur)

20
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau
garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen
tulang biasanya berubak tempat.
2) Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah
yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick. Menurut
Price dan Wilson ( 2006) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan tulang,
dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh
tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.
c. Menurut bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5
yaitu:
1) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
3) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
5) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
d. Menurut jumlah garis patahan ada 3 antara lain:
1) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama. (Mansjoer: 2000)

4. PATOFISIOLOGI
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila

21
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di
kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah
putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat
tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf
yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total
dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak seimbangan,
fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak
disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (
Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan
menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi,
mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri.

Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di pertahankan
dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan
struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson: 1995).

22
5. PATHWAY

6. MANIFESTASI KLINIS
Adapun tanda dan gejala dari fraktur, sebagai berikut :
a. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Hilangnya fungsi dan deformitas
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Cruris tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot berrgantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
c. Pemendekan ekstremitas
Terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya karena konstraksi otot yang
melengket di atas dan bawah tempat fraktur
.

23
d. Krepitus
Saat bagian tibia dan fibula diperiksa, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainya.
e. Pembengkakan lokal dan Perubahan warna
Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan rongent: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma .
b. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur: juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Hitung Darah Lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel).
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma.
d. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
e. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil Koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel,
atau cedera hati. (Dongoes: 1999)

8. KOMPLIKASI
a. Syok
b. Infeksi
c. Nekrosis vaskuler
d. Malonian
e. Non Union
f. Delayed union
g. Kerusakan arteri
h. Sindroma kompartemem
i. Sindroma emboli lemak

24
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Primary Survey
Menyediakan evluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera
terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan
dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan
segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan
pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa
setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah
berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai
dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan
sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu
seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai
pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons,
1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh
tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah
penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat
dan sesuai serta pengkajian ulang melalui
pendekatan AIR(assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009) :
General Impressions
1) Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
2) Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
3) Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)

25
a. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan
ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat
berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011).
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi
endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
1) Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
2) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
a) Adanya snoring atau gurgling
b) Stridor atau suara napas tidak normal
c) Agitasi (hipoksia)
d) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
e) Sianosis
3) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas
dan potensial penyebab obstruksi :
a) Muntahan
b) Perdarahan
c) Gigi lepas atau hilang
d) Gigi palsu
e) Trauma wajah
4) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
5) Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien
yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
6) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien
sesuai indikasi :

26
a) Chin lift / jaw thrust
b) Lakukan suction (jika tersedia)
c) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask
Airway
d) Lakukan intubasi

b. Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of
open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
1) Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara
lain :
Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
a) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-
tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
b) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling
iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk
diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
c) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada. Buka dada
pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
2) Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
3) Penilaian kembali status mental pasien.
4) Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
5) Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
a) Pemberian terapi oksigen
b) Bag-Valve Masker
c) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan
yang benar), jika diindikasikan

27
d) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
6) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapi sesuai kebutuhan.

c. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma.
Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea,
hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan
produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi
perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya
menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan
perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade,
cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata
harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola
dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000). Langkah-langkah dalam pengkajian
terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
1) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
2) CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
3) Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
4) Palpasi nadi radial jika diperlukan:
a) Menentukan ada atau tidaknya
b) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
c) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
d) Regularity
5) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
6) Lakukan treatment terhadap hipoperfusi.

d. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities


Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :

28
1) A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang diberikan
2) V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak
bisa dimengerti
3) P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
4) U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.

2. Secondary Survey
a. Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada
punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada
pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah
semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat
dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson,
2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, makaRapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
1) Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien.
2) Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak
stabil atau kritis(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009).

b. Full set of Vital sign


1) Pantau TD, N ,S ,Rr
2) Pantau dan pertahnkan kebutuhan o2
3) Bila perlu perhatikan kebutuhan urinisasi
4) Penunjang laboraturium
5) Libatkan keluarga

29
c. Give Comfort measures
1. Tetap usahakan komunikasi terapeutik
2. Pertahankan caring empaty privacy

d. Head to toe assessment


Lakukan pengkajian menyeluruh

e. Inspect the back for any injury


Kaji kembali injury pada area yg tidk terlihat misalkan bagian tubuh belakang

3. Pengkajian Sekunder
a. Aktivitas/istirahat
 Kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
 Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
 Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
 Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
 Tachikardi
 Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
 Cailary refil melambat
 Pucat pada bagian yang terkena
 Masa hematoma pada sisi cedera
 Neurosensori
 Kesemutan
 Deformitas, krepitasi, pemendekan
 Kelemahan
c. Kenyamanan
 Nyeri tiba-tiba saat cidera
 Spasme/ kram otot
d. Keamanan
 Laserasi kulit
 Perdarahan
 Perubahan warna

30
 Pembengkakan local

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak
edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat
luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat
jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,
kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.

C. INTERVENSI
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang dan klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang
nyeri
31
Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi
untuk memblok stimulasi nyeri.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak
edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil :
- Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa
dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat
digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara
perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi
dini.
Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai
akibat dari latihan.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status


metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat
luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat
jaringan nekrotik.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :

32
- Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam
melakukan tindakan yang tepat.
Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya
proses peradangan.
Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa
kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya infeksi.
Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya
debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada
area kulit normal lainnya.
Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/
tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada
daerah yang berisiko terjadi infeksi.

4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,


kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
- Penampilan yang seimbang..
- Melakukan pergerakkan dan perpindahan.

33
- Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan
karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan
pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena
ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

5. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan


aliran darah; cedera vaskuler langsung, edema berlebih, hipovolemik dan
pembentukan trombus.
Tujuan : Disfungsi neurovaskuler perifer tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
- Mempertahankan perfusi jaringan yang ditandai dengan terabanya pulsasi.
- Kulit hangat dan kering.
- Perabaan normal.
- Tanda vital stabil.
- Urine output yang adekuat
Intervensi :

34
Kaji kembalinya kapiler, warna kulit dan kehangatan bagian distal dari
fraktur.
R/ Pulsasi perifer, kembalinya perifer, warna kulit dan rasa dapat
normal terjadi dengan adanya syndrome comfartemen syndrome karena
sirkulasi permukaan sering kali tidak sesuai.
Kaji status neuromuskuler, catat perubahan motorik / fungsi sensorik.
R/ Lemahnya rasa/kebal, meningkatnya penyebaran rasa sakit terjadi
ketika sirkulasi ke saraf tidak adekuat atau adanya trauma pada syaraf.
Kaji kemampuan dorso fleksi jari-jari kaki.
R/ Panjang dan posisi syaraf peritoneal meningkatkan resiko terjadinya
injuri dengan adanya fraktur di kaki, edema/comfartemen
syndrome/malposisi dari peralatan traksi.
Monitor posisi / lokasi ring penyangga bidai.
R/ Peralatan traksi dapat menekan pembuluh darah/syaraf, khususnya di
aksila dapat menyebabkan iskemik dan luka permanen.
Monitor vital sign, pertahanan tanda-tanda, observasi adanya
pucat/cyanosis umum, kulit dingin, perubahan mental.
R/ In adekuat volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi
jaringan.
Pertahankan elevasi dari ekstremitas yang cedera jika tidak
kontraindikasidengan adanya compartemen syndrome.
R/ Mencegah aliran vena / mengurangi edema.

6. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi


tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
- Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :

35
Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh
meningkat.
Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase
luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti
Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi
akibat terjadinya proses infeksi.
Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

7. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan
proses pengobatan.
Kriteria Hasil :
- Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu
tindakan.
- Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam
regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan
keluarga tentang penyakitnya.
Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya
sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan
keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.

36
Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah
diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai
keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

37
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah. Edisi 8 Vol 3. Jakarta:
EGC
Carpenito, L.J & Moyet. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 10. Jakarta:
EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed, 3. Jakarta: EGC
Dongoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Editor, Aru W Sudoyo dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi V. Jakarta:
Interna Publishing
Editor, R. Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2. Jakarta: EGC
Lukman. Ns dan Ningsih Nurna. 2009. Asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem muskuloskeletal . Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
Junaidi, Iskandar. 2011. Pedoman pertolongan pertama yang harus dilakukan saat
gawat dan darurat medis. Yogyakarta: Andi Yogyakarta
Marilynn. J & Lee. J. 2011. Seri Panduan Praktis Keperawatan Klinis. Hal 124. Jakarta :
Erlangga
Perry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses dan Praktik
Edisi 4 Vol.1. Jakarta: EGC
Price A S, Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2.
Jakarta: EGC
Rasjad, Chairudin. 1998. Ilmu Bedah Orthopedi. Ujung Pandang : Bintang Lamupate.
Smeltzer Suzanne, C . 2001. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta: EGC
Tambayong, Jan. 2000 . Patofisiologi. Jakarta: EGC
Taylor .M Cynthia. 2010. Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan Keperawatan.

38

You might also like