You are on page 1of 4

2.

1 Pengertian Kerakyatan atau Civil Society


Pengertian nilai kerakyatan mengacu ke gagasan Bung Hatta dalam pidatonya di India
tahun 1955, ia menyatakan bahwa “demokrasi bukanlah berupa sistem parlementer,
pelaksanaan pemilu dalam jangka waktu tertentu, dan membuang sistem pemerintahan yang
demokratis”. Demokrasi juga tidak ditandai dengan megahnya gedung perwakilan rakyat,
istana presiden, atau kantor perdana menteri. Ia menegaskan bahwa hal yang sangat mendasar:
“Democracy is something which should and eventually must touch the lives of the people every
day and in all ways”. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa prasyarat untuk
menegakkan demokrasi adalah masyarakat yang demokratis. Selain itu kita juga harus
mengetahui prinsip masyarakat demokratis, dan kemudian menghidupi prinsip-prinsip
tersebut. Prinsip masyarakat demokrasi berpijak pada nilai yang terkandung dalam konsep
masyarakat sipil. Nilai-nilai tersebut menurut Bung Hatta (dalam andreas et al. 2012:191)
sebagai berikut :
1. Kemandirian dan tanggung jawab individu
2. Keterlibatan atau partisipasi dalam masyarakat
3. Hubungan kooperatif antar individu yang mandiri dalam masyarakat.
Kemandirian dan tanggung jawab dalam masyarakat sipil tidak bisa dipisahkan, sebab
dalam kemandirian terdapat spirit untuk tidak tergantung atau menggantungkan diri pada
kekuatan lain. Kemandirian diri berbeda dengan paham individualis yang meletakkan the
others' sebagai jaringan yang terkait dan mempunyai fungsi serta otoritas masing-masing.
Sementara tanggung jawab individu dipahami sebagai bentuk tindakan moral yang berangkat
dari kesadaran, yang berbeda dengan semata mematuhi kewajiban membabi buta ihwal apa
yang harus dilakukan. Hubungan individu dan masyarakat membutuhkan proses pelibatan diri
secara dalam. Individu yang mampu melibakan diri, menurut Drijarkara, adalah individu yang
tidak hanya aktif bermasyarakat, tetapi mampu memasyarakat, berpartisipasi aktif
(partisipatoris). Demikian pula hubungan yang terjalin antar-individu yang bercorak mandiri
tersebut dalam hubungan yang tidak sederajat, atau saling mendominasi, tetapi dalam sebuah
relasi yang otonom yang saling terhubung dan tidak saling mengingkari.
Berikut ini beberap karakteristik masyarakat sipil yang dikonsepsi- kan oleh Hatta,
Soekarno, dan Soepomo.
a. Para pendiri negara menyadari bahwa model sosial dan ekonomi, juga politik sangat
diperlukan untuk menjadi prasyarat bagi bentuk negara Indonesia merdeka
b. Bentuk masyarakat yang ingin dibangun harus berakar dari masyarakat tradisional, sebab
dalam masyarakat desa/ tradisional mengandung nilai persaudaraan atau kekeluargaan
Karena dalam sistem tersebut kohesi sosial, kepedulian sosial, dan kesadaran akan
keadilan sosial merupakan hal yang kunci untuk mencapai tujuan bersama
c. Gagasan pentingangnya individu yang otonom dan mandiri. Karena kemerdekaan
mengandaikan adanya masyarakat yang mandiri dan otonom. Kemandirian dan otonomi
individu dipandang oleh Hatta sebagai jalan mengarah pada kepentingan
bersama.Sementara "syarat munculnya kesadaran dan kewajiban" adalah ikut
berpartisipasi dalam upaya saling kep membantu agar tujuan bersama dapat terpenuhi
d. Gagasan yang ditolak oleh para pendiri bangsa adalah pemutlakan kepentingan pribadi
sebagai konsekuensi dari tuntutan untuk menjamin kebebasan individu. Dalam konteks
ekonomi, pemutlakan kepentingan pribadi sebagai konsekuensi dari tuntutan untuk
menjamin kebebasan individu. Dalam konteks ekonomi, pemutlakan kepentingan pribadi
akan menciptakan penumpukan modal. Ini artinya pada masyarakat Eropa-Barat apa yang
disebut civil society adalah mereka yang menguasai modal. Mengantisipasi itu, Hatta
menyodorkan gagasan ekonomi koperasi yang berbasis pada spirit kekeluargaan. Ruh
kekeluargaan itu berupa kerjasama, paritisipasi, sikap aktif, dan upaya saling mendukung
antar anggota, antar swasta dan pemerintah agar tercapai masyarakat yang bekesejahteraan
secara adil, dan bebas eksploitasi dari kaum pemodal.
e. Dalam proses untuk mencapai kehidupan yang demokratis sarana atau alat satu-satunya
yang harus digunakan adalah musyawarah, alias dialog dalam masyarakat sipil. Proses-
proses dialog dilakukan dalam dua arah: arah ke dalam dan arah ke luar. Arah ke dalam
(masyarakat sipil) berupaya mendorong untuk penyadaran masyarakat dalam menyikapi
kebijakan- kebijakan pemerintah, sementara ke arah luar mendorong proses pelibatan
masyarakat secara aktif. Musyawarah dan atau dialog harus dilakukan dengan kearifan
serta mampu menanggalkan kepentingan pribadi atau kelompok agar tercapai kesepakatan
bersama (Andreas, dkk, 2012: 221-222)
2.2 Makna Demokrasi Permusyawaratan
Dalam upaya untuk mensejahterakan kehidupan rakyat diperlukan cara terbaik untuk
mencapainya. Alat yang dipilih bangsa Indonesia adalah demokrasi yang berbasis pada
musyawarah. Demokrasi asli Indonesia ini dalam istilah Notonegoro disebut demokrasi
monodualis, yakni bukan demokrasi perseorang atau liberal, bukan pula demokrasi kelompok
atau golongan. dan bukan pula demokrasi organis. Hakikat demokrasi monodualis adalah
kekeluargaan, gotong royong, serta cita cita keadilan sosial dari oleh rakyat secara bersama-
sama. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan mempunyai tiga unsur yakni, permusyauaratan/peruakilan,
kedaulatan rakyat, dan kerakyatan lam asas permusyawaratan mengandung arti demokrasi
politik dan demokrasi sosial/ekonomi sekaligus. Menurut Hatta, .. .Kita tiada membuang apa
yang baik pada asas-asas lama, tidak mengganti demokrasi asli Indonesia dengan barang impor.
Demokrasi asli itu kita hidupkan kembali., akan tetapi tidak pada tempat yang kuno, melainkan
pada tingkat yang lebih tinggi, menurut kehendak enve- Adam lebih aham pergaulan hidup
sekarang (Latief, 2011: 414).
Fondasi demokrasi Indonesia dapat didefinisikan sebagai berikut
1. Tradisi musyawarah desa, semangat kekeluargaan
2. Syura' dan kesederajatan dalam Islam
3. Emansipasi dan sosial-demokrasi Barat
Dalam demokrasi permuyawaratan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, legitimasi
demokrasi tidak ditentukan oleh banyaknya dukungan atas suatu keputusan, melainkan
ditentukan oleh seberapa luas dan dalam melibatkan proses-proses musyawarah-mufakat
deliberati secara inklusif. Menurut Yudi Latief, konsep demokrasi permusyawaratan itu
mendahului model 'demokrasi deliberatif yang pertama kali diperkenalkan Josep M. Bessette
tahun 1980 Demokrasi deliberatif mengkritik demokrasi kini hanya mencerminkan
pertempuran kepentingan pribadi, politik selebritis, dan debat 'omong kosong' yang tanpa
membawa kebaikan bersama (Latief, 2011: 459)
Demokrasi permusyawaratan meletakkan keutamaan diskusi dan musyawarah dengan
kekuatan argumentasi berlandaskan daya- daya konsesus (hikmah/kebijaksanaan/wisdom) di
atas keputusan berdasar voting. Kebebasan individu dan kesetaraan politik penting sejauh
mampu mendorong manusia membentuk tatanan kolektif yang adil melalui deliberasi rasional
dan bersifat persuasi (Latief, 2011: 459). Masyarakat majemuk seperti Indonesia (agama,
bahasa, budaya, etnis) yang juga berdasar multi-partai sulit menemukan kehendak bersama
(common will). Maka model demokrasi mayoritas (majoritation democracy tidaklah tepat
sebab akan terjadi semacam hegemoni mayoritas atas minoritas. Oleh karena itu, pilihannya
adalah demokrasi konsesus (demokrasi permusyawaratan) (Latief, 2011: 462).
Demokrasi musyawarah dibangun berlandaskan akal-kearifan tinimbang kuasa, yakni
bersandar pada prosedur musyawarah sebagai cita-cita kebenaran politik dan kesertaan dialog
antara mayoritas dengan minoritas. kebenaran politik dan kesertaan dialog antara mayoritas
dengan minoritas Sementara partisipasi publik diukur dari tingkat partisipasinya dalam
musyawarah. Demokrasi musyawarah bukan menjadi sarana perwakilan atau pengumpulan
berbagai kepentingan, tetapi menjadi arena di mana persoalan diselesaikan melalui proses
dialog. Dialog yang tulus harus melepaskan segala atribut di setiap individu; dialog yang
menekankan substansi dan melampaui kepentingan kelompok. Dialog ini dipandu orientasi etis
"hikmah-kebijaksanaan Kearifan yang menerima perbedaan pendapat dan memuliakan apa
yang disebut "kebajikan keberadaban" (the virtue of civility) (Latief, 2011. 462).
Setelah memahami permusyawaratan sebagai sebuah demokrasi yang menekankan pada
dialog-konsesus, maka sesungguhnya demokrasi tersebut diarahkan untuk mencapai cita-cita
politik: kedaulatan rakyat. Sementara kerakyatan sendiri berarti kesesuaian sifat-sifat dan
keadaan negara dengan hakikat rakyat', maka segala praktik penyelenggaraan negara harus
sesuai dengan hakikat rakyat itu sendiri (Kaelan, 2009: 209).

DAPUS

Tim Dosen Pancasila. 2017. Pancasila dalam Diskursus Sejarah, Jalan Tengah dan Filosofi
Bangsa. Pusayt MPK Universitas Brawijaya Malang. Malang

You might also like