You are on page 1of 4

TAKDIR #10: APA ITU QADHA’ DAN QADAR?

Hal pertama yang didiskusikan oleh Syaikh al-Buthi dalam topik ini adalah, bahwa sejak
dahulu, banyak orang yang memahami makna Qadha’ tidak sesuai dengan yang
sebenarnya, di mana mereka menduga bahwa Qadha’ itu berarti “ketetapan Allah terhadap
hamba-hamba-Nya dengan apa yang sudah dikehendaki-Nya, sehingga tak menyisakan
kehendak dan kebebasan apapun bagi mereka”. Bagaimanapun, lanjut Syaikh al-Buthi,
pemahaman tersebut keliru dan tidak menjadi pemahaman seorangpun dari ulama
Ahlusunah wal-Jamaah, serta tak memiliki landasan dari nash atau dalil apapun.

Barangkali, kesalahan pemahaman itu bermula dari salah tanggap terhadap makna Qadha’
secara kebahasaan (etimologis) yang memang berarti “ketetapan” (al-hukm), sebagaimana
perkataan “qadha al-hakimu bi kadza” yang (secara etimologis) berarti “hakim menetapkan
keputusan begini” (hakama bihi). Termasuk kata Qadha yang dikehendaki makna
etimologisnya itu adalah firman Allah,
(23 :‫ض ٰى َربُّكَ أ َ اَّل ت َ ْعبُدُوا إِ اَّل إِيااهُ (اإلسراء‬
َ َ‫َوق‬
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia (QS. Al-
Isra’: 23). Arti kata “qadha” pada ayat di atas adalah “menetapkan dan mengharuskan”
(hakama wa alzama).

Karena arti kata “qadha” secara kebahasaan adalah “menetapkan dan memutuskan”, maka
banyak orang yang punya persepsi bahwa yang dimaksud dengan Qadha’ dalam bab ini
adalah “ketetapan paten dari Allah untuk manusia, sehingga ketetapan itu memupuskan
ikhtiar dan kehendak manusia”. Padahal dalam bab Qadha’ (dan Qadar), yang dikehendaki
adalah makna istilahinya (terminologi), bukan makna kebahasaannya. Nah, jika demikian,
maka apa arti yang benar bagi Qadha’ dan Qadar ini? Mari kita perhatikan definisi
keduanya:

‫ ومن ذلك سائر تصرفات اإلنسان‬.‫أما القضاء فهو علم هللا عز وجل في األزل باألشياء كلها على ما ستكون عليه في المستقبل‬
.‫ وأما القدر فهو ظهور تلك األشياء بالفعل طبقا لعلمه األزلي المتعلق بها‬.‫اإلختيارية والقسرية‬

Qadha’ adalah pengetahuan Allah (‘ilmullah) terhadap segala sesuatu pada zaman azal
(masa yang tak ada permulaannya, sebelum adanya makhluk) tentang apa yang akan
terjadi di masa depan. Termasuk di dalam “segala sesuatu” itu adalah semua perbuatan
hamba, baik yang ikhtiyariyyah (ada dalam kendali ikhtiarnya) maupun yang qasriyyah (di
luar kendali ikhtiarnya). Adapun Qadar adalah mewujudnya “segala sesuatu” itu secara
nyata berkesuaian dengan Ilmu Azali Allah yang menjadi koneksinya. (al-Insan, 36-37).
Al-Imam an-Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim selepas menguraikan definisi
Qadha’ dan Qadar sebagaimana yang sudah dijelaskan barusan:
‫ وليس‬.‫ وقد يحسب كثير من الناس أن معنى القضاء والقدر إجبار هللا سبحانه وتعالى العبد وقهره على ما قدره وقضاه‬:‫قال الخطابي‬
‫ وإنما معناه اإلخبار عن تقدم علم هللا سبحانه وتعالى بما يكون من أكساب العبد وصدورها عن تقدير منه وخلق‬.‫األمر كما يتوهمون‬
.‫لها خيرها وشرها‬
Al-Khaththabi berkata: banyak orang mengira bahwa makna Qadha’ dan Qadar itu adalah
pemaksaan Allah pada hamba terhadap apa yang telah ditakdir dan di qadha’-Nya. Padahal
sebenarnya tidaklah sebagaimana dugaan mereka. Namun maknanya adalah
menginformasikan tentang dahulunya ilmu (pengetahuan) Allah terhadap perbuatan-
perbuatan hamba, dan munculnya perbuatan-perbuatan itu dari takdir Allah dan penciptaan
Allah terhadapnya, baik dan buruknya.

Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fathul-Mubin (hlm. 64) mengatakan,


.‫ والقدر إيجاده إياها على ما يطابق العلم‬،‫والقضاء علم هللا أزَّل باألشياء على ما هي عليه‬

Qadha’ adalah pengetahuan Allah pada zaman azali terhadap sesuatu sesuai dengan apa
adanya (sesuai dengan yang sebenarnya). Sedangkan Qadar adalah mewujudkannya Allah
terhadap sesuatu itu dengan apa yang mencocoki Pengetahuan-Nya.

Kesimpulannya, Qadha’ adalah Ilmu Allah yang azali terhadap segala sesuatu di masa
depan, sedang Qadar adalah terjadinya sesuatu itu yang berkesuaian dengan Ilmu Allah
yang azali. Jadi, pengetahuan Allah yang azali terhadap setiap peristiwa di alam ini disebut
Qadha’, dan jika peristiwa itu sudah benar-benar terjadi (dan terjadinya sesuatu itu pasti
berkesuaian dengan Ilmu Allah yang azali), maka disebut Qadar.

Kemudian, Qadha’ yang ketika sudah terjadi dan mewujud nyata namanya beralih menjadi
Qadar itu, sebagian ada yang terjadi dengan Penciptaan Allah secara langsung tanpa ada
intervensi dari kehendak manusia, seperti segala jenis musibah (sakit, mati, dan
semacamnya), dan peristiwa-peristiwa alam (gempa bumi, tanah longsor, angin topan,
banjir, dan sebagainya). Di antaranya lagi ada yang terjadi dengan Penciptaan Allah, namun
selepas adanya kehendak atau maksud dari manusia terhadapnya, seperti aktivitas-aktivitas
ikhtiari manusia dalam kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya, atau
dalam kegiatan ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan semacamnya.

Sampai di sini, kita sudah paham bahwa kedua macam kejadian dan peristiwa itu (baik yang
terjadi dengan Penciptaan langsung dari Allah maupun yang terjadi dengan Penciptaan
Allah selepas adanya kehendak dan niatan dari manusia), semuanya masuk dalam cakupan
Qadha’ dan Qadar Allah, karena semua itu terjadi sepenuhnya atas Pengetahuan dan
Penciptaan Allah. Dengan demikian, Qadha’ dan Qadar sama sekali tak ada kaitannya
dengan keterpaksaan dan kebebasan hamba (al-jabr wal-ikhtiyar), karena maksud Qadha’
dan Qadar adalah bahwa segala apa yang terjadi di alam ini, termasuk perbuatan hamba
yang musayyar dan mukhayyar itu, semuanya telah diketahui oleh Allah sejak zaman azali
(Qadha’), dan bisa terwujud hanya dengan kekuasaan dan penciptaan dari Allah (Qadar).
(Lihat, Hurriyyah, 44-45; Hikam, 1/61-62; Kubra, 160-161).

Dari sini kita bisa memahami bahwa kewajiban mengimani Qadha’ tak lain merupakan
kelaziman dari kewajiban mengimani Ilmu Allah yang azali, yang berhubungan dengan apa
yang akan terjadi di alam ini, termasuk segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Demikian pula, kewajiban mengimani Qadar tak lain merupakan kelaziman dari kewajiban
mengimani sifat Qudrat Allah yang mutlak. Maka Qadha’ Allah merupakan konsekuensi dari
kemahatahuan Allah terhadap segala sesuatu; bahwa tak ada suatu apapun yang tak
diketahui oleh Allah. Sedangkan Qadar Allah merupakan konsekuensi dari kemahakuasaan
Allah; bahwa segala sesuatu itu tercipta dan terwujud dengan Qudrat Allah. (Hurriyyah, 44).

Dari sini pula kita bisa memahami bahwa Qadha’ tidak meniscayakan pemaksaan pada
manusia, sebagaimana yang dibayangkan oleh banyak orang. Sebab Qadha’, sebagaimana
dinyatakan barusan, tak lain ialah Ilmu Allah terhadap apa yang sedang atau akan terjadi di
alam ini. Sedangkan pengetahuan (‘ilmu) selalu mengikuti objek yang diketahui (al-ma‘lum),
dan tidak sebaliknya.

Jika objek yang diketahui oleh Ilmu Allah itu termasuk jenis sesuatu yang diciptakan-Nya
secara langsung sejak awal, seperti peristiwa-peristiwa alam, terjadinya gempa bumi,
tumbuhnya tumbuhan, dan semacamnya, maka semua itu termasuk sesuatu yang tunduk
pada kehendak dan ketetapan Allah, dan karenanya tunduk pula pada penciptaan Allah
serta tercatat dalam Ilmu Allah yang azali. Adapun jika objek yang diketahui oleh Ilmu Allah
itu termasuk jenis perbuatan-perbuatan ikhtiari manusia, maka Ilmu Allah itu ikut pada
kehendak manusia, yang dari kehendak itu muncul perbuatan, dan kehendak manusia
tersebut yang memantik penciptaan Allah terhadap perbuatan manusia itu.

Maksudnya adalah bahwa Allah menganugerahkan pada manusia kehendak bebas, yakni
suatu potensi yang dengannya manusia bisa memilih apapun yang dikehendakinya. Lalu
manusia memfungsikan potensi itu dengan memilih perbuatan, tindakan, atau keputuasan
apapun yang dikehendakinya. Nah, ketika manusia sudah menentukan kehendaknya itulah
Allah menciptakan perbuatan manusia sesuai dengan kecenderungan atau pilihan kehendak
bebasnya tadi. Dan, tidak diragukan lagi bahwa semua itu sudah tercatat dalam Ilmu Allah
yang azali. Maka berdasarkan hal itulah kita mengatakan: bahwa Allah Mengetahui dan
Menghendaki perbuatan apapun yang muncul dari kehendak manusia, berupa perbuatan
yang baik maupun perbuatan yang buruk. Demikian itulah makna dari Qadha’. (al-Insan, 38-
39).

Ringkasnya, Qadha’ itu adalah Ilmu (Pengetahuan) Allah terhadap segala sesuatu yang
terjadi di alam ini dan terhadap segala sesuatu yang muncul dari manusia, sedangkan ilmu
adalah sifat yang mengungkap (shifatun kasyifah) dan bukan sifat yang mempengaruhi
(shifatun mu’atstsirah). Jika Ilmu adalah sifat yang hanya sebatas mengungkap objek saja
dan tidak sampai mempengaruhi pada objek itu, maka bagaimana bisa dikatakan bahwa
Allah memaksakan perbuatan-perbuatan pada manusia dengan Qadha’-Nya, sedang
Qadha’ itu tak lain adalah Ilmu Allah? Dan jangan lupa, sebagaimana dikatakan barusan,
bahwa ilmu itu selalu mengikuti objek yang diketahui, dan bukan sebaliknya.

Untuk memperjelas status ilmu sebagai sifat yang hanya berfungsi mengungkap saja
(shifatun kasyifah) dan tidak berfungsi mempengaruhi, Syaikh al-Buthi menggambarkan ilmu
seperti halnya lampu, di mana ia berfungsi untuk mengungkap segala apa yang disinarinya
sehingga tampak sebagaimana adanya, dan lampu itu tidak bisa mempengaruhi atau
mengubah apapun yang disinarinya. Hanya bedanya, jika lampu mengungkap objek yang
ada di depan mata, sedangkan ilmu mengungkap objek yang ada di hadapan akal. Jadi
itulah yang dimaksud dengan perkataan ulama, bahwa “pengetahuan (ilmu) itu selalu ikut
pada objek yang diketahui (al-ma‘lum)”, yakni ilmu adalah pemberi deskripsi terpercaya
mengenai keadaan dan kenyataan suatu objek (al-ma‘lum). (al-Insan, 39; Hurriyyah, 45).

You might also like