You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem respirasi memainkan peranan penting yang esensial dalam


mencegah hipoksia jaringan dengan mengoptimalkan kadar oksigen di dalam
darah pada arteri melalui pertukaran gas yang efisien.Sistem pernapasan
melaksanakan pertukaran udara antar atmosfer dan paru melalui proses
ventilasi. Pertukaran O2 dan CO2 dalam paru dan darah dalam kapiler paru
berlangsung melalui dinding kantung udara atau alveolus yang sangat tipis.
Saluran pernapasan menghantarkan udara dari atmosfer ke bagian paru tempat
pertukaran gas berlangsung. Paru terletak dalam kompartemen toraks yang
tertutup, yang volumenya dapat diubah-ubah oleh aktivitas kontraksi otot-otot
pernapasan.Tiga tahap yang terlibat pada proses pertukaran gas adalah:

 Ventilasi

Ventilasi atau bernapas adalah proses pergerakan udara masuk-keluar


paru secara berkala sehingga udara alveolus yang lama dan telah ikut serta
dalam pertukaran O2 dan CO2dengan darah kapiler paru diganti oleh udara
atmosfer segar.

Mekanisme ventilasi: Pergerakan udara masuk dan keluar dari paru-paru


terjadi karena perbedaan tekanan yang disebabkan oleh perubahan dalam
volume paru-paru. Udara mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang
rendah. Kita tidak dapat merubah tekanan atmosfer sekitar kita menjadi lebih
tinggi dibanding tekanan dalam paru-paru, alternatif yang mungkin adalah
menurunkan tekanan dalam paru-paru dengan memperluas rongga thoraks.

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3

1
Ventilasi secara mekanis dilaksanakan dengan mengubah secara
berselang-seling arah gradien tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan
alveolus melalui ekspansi dan penciutan berkala paru. Kontraksi dan relaksasi
otot-otot inspirasi (terutama diafragma) yang berganti-ganti secara tidak
langsung menimbulkan inflasi dan deflasi periodik paru dengan secara berkala
mengembang-kempiskan rongga toraks dengan paru secara pasif mengikuti
gerakannya.

Karena kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, inspirasi adalah


proses aktif, tetapi ekspirasi adalah proses pasif pada bernapas tenang karena
ekspirasi terjadi melalui penciutan elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi
melemas tanpa memerlukan energi. Untuk ekspirasi aktif yang lebih kuat,
kontraksi otot-otot ekspirasi (terutama otot abdomen) semakin memperkecil
ukuran rongga toraks dan paru yang semakin meningkatkan gradien tekanan
intra-alveolus terhadap atmosfer. Semakin besar gradien antara alveolus dan
atmosfer, semakin besar laju aliran udara, karena udara terus mengalir sampai
tekanan intra-alveolus seimbang dengan tekanan atmosfer.

Selain secara langsung proporsional dengan gradien tekanan, laju aliran


udara juga berbanding terbalik dengan resistensi saluran pernapasan. Karena
resistensi saluran pernapasan, yang bergantung pada kaliber saluran pernapasan,
dalam keadaan normal sangat rendah, laju aliran udara biasanya bergantung
pada gradien gradien tekanan yang tercipta antara alveolus dan atmosfer.
Apabila resistensi saluran pernapasan meningkat secara patologis akibat
penyakit paru obstruktif menahun, gradien tekanan harus juga meningkat
melalui peningkatan aktivitas otot pernapasan agar laju aliran udara konstan.

 Perfusi

Dinding alveoli mengandung cabang kapiler yang padat yang membawa


darah vena dari jantung kanan. Barriernya yang sangat tipis memisahkan darah

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3

2
pada kapiler dan udara di alveoli. Perfusi darah melewati kapiler ini
menyebabkan terajdinya difusi dan pertukaran gas.

Untuk memperoleh pertukaran gas yang efisien , aliran gas (ventialsi:V)


dan aliran darah (perfusi:Q) harus seimbang. Rasio V:Q yang normal sekitar 1:1.
Ketidakseimbangan ventilasi:perfusi adalah penyebab umum dari hipoksemia
dan mendasari banyak penyakit sistem respirasi.

 Difusi

Pada pertukaran gas, difusi terjadi melewati kapiler alveolar membrane.


Difusi molekul O2 dan CO2 terjadi sepanjang gradient tekanan parsial. Udara pada
atmosfer dihirup dan dilembabkan mengandung 21 % oksigen. Hal ini berarti 21
% dari total molekul di udara adalah oksigen

Oksigen bertanggung jawab untuk 21 % dari total tekanan udara; ini yang
disebut tekanan parsial, diukur dalam mmHg atau kPa daan disingkat PO2

Oksigen dan CO2 bergerak melintasi membran tubuh melalui proses difusi
pasif mengikuti gradien tekanan parsial. Difusi netto O2 mula-mula terjadi antara
alveolus dan darah, kemudian antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan
parsial O2 yang tercipta oleh pemakian terus menerus O2 oleh sel dan pemasukan
teru-menerus O2 segar melalui ventilasi. Difusi netto CO2 terjadi dalam arah yang
berlawanan, pertama-tama antara jaringan dan darah, kemudian antara darah
dan alveolus, akibata gradien tekanan parsial CO2 yang tercipta oleh produksi
terus-menerus CO2 oleh sel dan pengeluaran terus-menerus CO2 alveolus oleh
proses ventilasi.

 Transportasi gas

Karena O2 dan CO2 tidak terlalu larut dalam darah, keduanya terutama
harus diangkut dalam mekanisme selain hanya larut secara fisik. Hanya 1,5%
O2 yang larut secara fisik dalam darah, dengan 98,5% secara kimiawi berikatan

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3

3
dengan hemoglobin (Hb). Faktor utama yang menentukan seberapa banyak
O2 yang berikatan dengan Hb adalah PO2 darah. Karbon dioksida yang diserap di
kapiler sistemik diangkut dalam darah dengan tiga cara :

- 10% larut secara fisik.


- 30% terikat ke Hb.
- 60% dalam bentuk bikarbonat (HCO3)

Kondisi-kondisi yang berkaitan dengan asfiksia adalah sebagai berikut:

- Gangguan pertukaran udara pernapasan.


- Penurunan kadar oksigen (O2) dalam darah (hipoksia).
- Peningkatan kadar karbondioksida (CO2) dalam darah (hiperkapnea).
- Penurunan suplai oksigen (O2) ke jaringan tubuh.

Kerusakan akibat asfiksia disebabkan oleh gagalnya sel menerima atau


menggunakan oksigen. Kegagalan ini diawali dengan hipoksemia. Hipoksemia
adalah penurunan kadar oksigen dalam darah. Manifestasi kliniknya terbagi dua
yaitu hipoksia jaringan dan mekanisme kompensasi tubuh. Tingkat kecepatan
rusaknya jaringan tubuh bervariasi. Yang paling membutuhkan oksigen adalah
sistem saraf pusat dan jantung. Terhentinya aliran darah ke korteks serebri akan
menyebabkan kehilangan kesadaran dalam 10-20 detik. Jika PO2 jaringan
dibawah level kritis, metabolisme aerob berhenti dan metabolisme anaerob
berlangsung dengan pembentukan asam laktat.

1.2. Tujuan Pembahasan


Agar Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang asfiksia dan
penulisan Visum et Repertum sesuai tingkat kompetensi yang telah ditentukan
Standar Kompetensi Kedokteran Indonesia (SKDI) 2012.

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3

4
1.3. Rumusan Masalah
Adapun skenario yang kami dapatkan sebagai berikut:

SKENARIO – 3

MATI TENGGELAM (DROWNING)

Dijumpai sesosok mayat wanita terapung di sungai. Masyarakat setempat


melaporkan temuan tersebut ke polisi dan kemudian mayat dibawa ke kamar
mayat suatu rumah sakit. Pada mayat dijumpai tanda-tanda asfiksia seperti
sianosis pada kuku dan bibir , perdarahan pada subconjunctiva, terdapat buih
hallus yang sukar pecah di hidung , juga dijumpai cadaveric spasme, women
washer’s hand, dan cutis anserina.

Polisi mencurigai kematian korban akibat tindakan pidana., dimana


korban dibunuh terlebih dahulu baru ditenggelamkan, sehingga polisi meminta
kepada dokter di rumah sakit tersebut untuk membuatkan VeR.

Dari skenario tersebut, kami merumuskan beberapa learning objectives


diantaranya:

Mengetahui dan memahami tentang asfiksia dan visum et repertum:

1) Definisi asfiksia
2) Klasifikasi asfiksia
3) Etiologi asfiksia
4) Patofisiologi asfiksia
5) Gejala dan tanda post mortem
6) Definisi VeR

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


5
7) Manfaat VeR
8) Bentuk dan Susunan VeR
9) Aspek Hukuum VeR

1.4. Metode dan Teknik

Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode


yang sering digunakan dalam pembahasan-pembahasan makalah sederhana,
dimana kami menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim
penyusun mencari sumber data dan sumber informasi yang akurat lainnya
setelah itu dianalisis sehingga diperoleh informasi tentang masalah yang akan
dibahas setelah itu berbagai referensi yang didapatkan dari berbagai sumber
tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan dilakukan dan sesuai
dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.

Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam


penyusunan makalah ini.

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Asfiksia
2.1.1. Definisi
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan
dalam pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan tersebut dapat
disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan
yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Kedua gangguan tersebut akan
menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang (hipoksia)
yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida (hiperkapnea) (Idries,
1997).
Asfiksia dalam bahasa Indonesia disebut dengan “mati lemas”.
Sebenarnya pemakaian kata asfiksia tidaklah tepat, sebab kata asfiksia ini
berasal dari bahasa Yunani, menyebutkan bahwa asfiksia berarti “absence of
pulse” (tidak berdenyut), sedangkan pada kematian karena asfiksia, nadi
sebenarnya masih dapat berdenyut untuk beberapa menit setelah pernapasan
berhenti. Istilah yang tepat secara terminologi kedokteran ialah anoksia atau
hipoksia (Knight, 2001).

2.1.2. Etiologi
2.1.2.1. Alamiah
Misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti laringitis
difteri, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2.1.2.2. Mekanik
Kerusakan akibat asfiksia (asphyxial injuries) dapat disebabkan oleh
kegagalan sel-sel untuk menerima atau menggunakan oksigen. Kehilangan

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


7
oksigen dapat terjadi parsial (hipoksia) atau total (anoksia). Asphyxial injuries
dapat dibagi menjadi empat kategori umum, yaitu:
a. Penutupan saluran pernafasan bagian atas:
 Suffocation
Peristiwa suffokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara
lokal kurang memadai, seperti misalnya di dalam satu ruang kecil
tanpa ventilasi cukup berdesak-desakan dengan banyak orang,
pertambangan yang mengalami keruntuhan, ataupun terjebak di
dalam ruang yang tertutup rapat. Kematian dalat terjadi dalam
beberapa jam, tergantung dari luasnya ruangan serta kebutuhan
oksigen bagi orang yang berada di dalamnya. Sebab kematian pada
peristiwa sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia,
keracunan CO2, hawa panas dan kemungkinan juga cedera yang
terjadi, misalnya pada saat peristiwa kebakaran gedung.
 Smothering
Smothering (pembekapan) adalah bentuk safiksia yang
disebabkan oleh penutupan lubang hidung dan mulut. Penutupan
dpat dilakukan dengan mengguankan tangan atau suatu benda yang
lunak, misalnya bantal atau selimut yang dilipat. Peristiwa
pembekapan dapat terjadi karena pembunuhan, kecelakaan atau
bunuh diri. Kecelakaan dapat terjadi ketika anak-anak bermain
dengan memasukkan kepala ke dalam kantong plastik dan
mengikatnya di leher, meskipun cara ini juga dapat digunakan oleh
orang dewasa untuk melakan pembunuhan atau bunuh diri.
 Gangging & choking
Keduanya merupakan jenis asfiksia yang disebabkan blokade
jalan nafas oleh benda asing yang datangnya dari luar ataupun dari
dalam tubuh, misalnya seperti inhalasi mutahan (aspirasi), tersedak
makanan, tumor, jatuhnya lidah ke belakang ketika dalam keadaan

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


8
tidak sadar, bekuan darah atau lepasnya gigi palsu. Gejalanya sangat
khas, yakni dimulai dengan batuk-batuk yang terjadi secara tiba-tiba,
kemudian disusul sianosis dan akhirnya meninggal.
Peristiwa ini dapat karena bunuh diri (meskipun sulit untuk
memasukkan benda asing ke dalam mulutnya sendiri, karena akan
ada reflek batuk atau muntah), pembunuhan (umumnya korban
adalah bayi, orang dengan fisik lemah atau tak berdaya) dan
kecelakaan (misalnya tersedak makanan hingga menyumbat saluran
nafas).
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau
refleks vagal akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus di arkus
faring yang menimbulkan inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac
arrest dan kematian. Pada gangging, sumbatan terdapat dalam
orofaring, sedangkan pada choking sumbatan terdapat lebih dalam,
yakni pada laringofaring.
b. Penekanan dinding saluran pernafasan
 Strangulation
Penjeratan, adalah penekanan benda asing yang permukaannya
relatif sempit dan panjang, dapat berupa tali, ikat pinggang, rantai,
stagen, dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin
lama makin kuat di mana kekauatan jeratan berasal dari tarikan keua
ujungnya, sehingga secara berturutan pembuluh darah balik, arteri
superfisial dan saluran nafas tertutup. Biasanya arteri vertebralis
tetap paten, hal ini disebabkan karena kekuatan atau beban yang
menekan pada penjeratan biasanya tidak besar. Mekanisme matinya
bisa karena tertutupnya jalan nafas hingga terjadi asfikisa, atau
tertutupnya vena hingga anoksia otak, atau refleks vagal atau karena
tertutupnya arteri karotis sehingga otak kekurangan darah.
Penjeratan biasanya merupakan peristiwa pembunuhan, meskipun

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


9
dapat karena bunuh diri maupun kecelakaan (misalnya selendang
yang dililitkan di leher tertarik roda saat mengendari motor).
 Manual strangulation/throttling
Pencekikkan adalah penekanan leher dengan tangan yang
menyebabkan dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi
penyempitan saluran nafas, sehingga udara pernafasan tidak dapat
lewat. Mekanisme matinya adalah karena asfiksia ataupun refleks
vagal yang terjadi akibat rangsang pada reseptor nervus vagus pada
corpus caroticus di percabangan arteri karotis interna dan eksterna.
Cekikan merupakan jenis strangulasi yang hampir selalu disebabkan
oleh pembunuhan. Dapat disebabkan kecelakaan, misal pada saat
latihan bela diri atau pembuatan film, meskipun sangat jarang dan
tidak mungkin digunakan untuk bunuh diri, sebab cekikkan akan
lepas begitu orang yang melakukan bunuh diri itu muali kehilangan
kesadaran.
 Hanging
Penggantungan / peristiwa gantung adalah peristiwa di mana
seluruh atau sebagian dari berat tubuh seseorang ditahan di bagian
lehernya oleh sesuatu benda dengan permukaan yang relatif sempit
dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami
tekanan. Kasus ini hampir sama dengan penjeratan, bedanya adalah
asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil jeratan. Pada
penjeratan, tenaga datang dari luar, sedangkan pada penggantungan,
tenaga bersal dari berat badan korban sendiri, meskipun tidak perlu
seluruh berat badan digunakan.
Pada penggantungan tidak harus seluruh tubuh berada di atas
lantai, sebab dengan tekanan berkekuatan 10 pon pada leher sudah
cukup menghentikan aliran darah di daerah itu. Sehingga tindakan

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


10
gantung diri dapat saja dilakukan dengan sebagian tubuh tetap
berada/menempel lantai.
Peristiwa penggantungan tidak identik dengan bunuh diri,
karena bisa saja karena pembunuhan maupun kecelakaan.
Mekanisme kematian pada peristiwa penggantungan bisa karena
asfiksia, gangguan sirkulasi darah ke otak (akibat terhambatnya aliran
arteri-arteri leher), refleks vagal ataupun karena kerusakan medulla
spinalis akibat dislokasi/fraktur vertebra cervicalis (bisa pada sendi
atlantoaxial).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
Terjadi akibat penekanan dari luar pada dinding dada yang
menyebabkan dada terfiksasi, kadang hingga perut, hingga menimbulkan
gangguan gerak pernafasan, misalnya saat dada atau seluruh badan
tertimbun pasir, tanah, runtuhan tembok, tergencet saat saling
berdesakan, ataupun tergencet stir mobil. Akibatnya gerakan pernafasan
tidak mungkin terjadi sehingga tubuh mengalami asfiksia. Istilah lain untuk
asfiksia jenis ini adalah crush asphyxia.
d. Saluran pernafasan terisi air (tenggelam/drowning)
Kematian karena tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian
akibat mati lemas disebabkan masuknya cairan ke dalam saluran
pernafasan. Istilah tenggelam sebenarnya harus pula mencakup proses
yang terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang menyebabkan
kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa, meskipun pada peristiwa
tenggelam tidak seluruh tubuh harus masuk dalam air. Asalkan lubang
hidung dan mulut berada di bawah permukaan air, maka hal itu sudah
cukup memenuhi kriteria peristiwa tenggelam. Berdasarkan pengertian
tersebut, maka peristiwa tenggelam tidak hanya terjadi di laut atau sungai
tetapi juga dapat terjadi di dalam wastafel atau ember berisi air.

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


11
2.1.3. Jenis Asfiksia
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:
2.1.3.1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
 Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup,
kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara
lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang
tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
 Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti
pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau
korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia
mekanik.
2.1.3.2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati
pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan
dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik. Darah
(hemoglobin) tidak dapat mengikat atau membawa oksigen yang cukup untuk
metabolisme seluler, seperti pada keracunan karbon monoksida, karena
afinitas CO terhadap hemoglobin jauh lebih tinggi dibandingkan afinitas
oksigen dengan hemaoglobin (teori pertukaran / difusi O2 dan CO2 serta kurva
disosiasi).
2.1.3.3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena
gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup
tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas
macet tersendat jalannya.

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


12
2.1.3.4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh
tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
 Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan
Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat
menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik
lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung
perlahan.
 Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang
larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
 Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu
pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
 Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang
efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.

2.1.4. Patofisiologi dan Patogenesis


2.1.4.1. Primer
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada
tipe dari asfiksia. Sel - sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan O2. Apa
yang terjadi pada sel yang kekurangan O2 belum dapat diketahui, tapi yang
dapat diketahui adanya perubahan elektrolit dimana kalium meninggalkan sel
dan diganti natrium mengakibatkan terjadinya retensi air dan gangguan
metabolisme. Di sini sel - sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


13
glial. Akson yang rusak akan mengalami pertumbuhan (sprouting) pada kedua
ujung yang terputus oleh jaringan parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak
mengakibatkan tersambungnya kembali akson yang terputus, karena terhalang
oleh jaringan parut yang terdiri dari sel glia. Bila orang yang mengalami
kekurangan anoksia dapat hidup beberapa hari sebelum meninggal perubahan
tersebut sangat khas pada sel - sel serebrum, serebelum dan ganglia basalis.
Akan tetapi bila orangnya meninggal cepat, maka perubahannya tidak spesifik
dan dapat dikaburkan dengan gambaran postmortem autolisis. Pada organ
tubuh yang lain yakni jantung, paru - paru, hati, ginjal dan yang lainnya
perubahan akibat kekurangan O2 langsung atau primer tidak jelas.
2.1.4.2. Sekunder
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang
rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena
meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk
kerja jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan
cepat. Keadaan ini didapati pada:
a. Penutupan mulut dan hidung ( pembekapan )
b. Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan,
pencekikan dan korpus alienum dalam saluran nafas atau pada
tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru – paru
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(traumatic asphyxia)
d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada keracunan.

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


14
2.1.5. Tanda-Tanda Asfiksia
2.1.5.1. Stadium Asfiksia

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat
dibedakan dalam 4 stadium (Amir, 2008), yaitu:

a. Stadium Dispnea

Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan


merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi)
bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan
tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi
dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke
stadium kejang.

b. Stadium Kejang

Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran
hilang dengan cepat, dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami
dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini
berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akobat
kekurangan O2.. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin
jelas. Bila kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke
stadium apnoe.

c. Stadium Apnea

Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah,
hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal
dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya
pusat-pusat kehidupan dan akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urine, dan tinja. Walaupun nafas telah berhenti

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


15
dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung
masih berdenyut beberapa saat lagi.

d. Fase Akhir

Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah


kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut
beberapa saat setelah pernapasan berhenti. Masa dari saat asfiksia timbul
sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5
menit.

Fase 1 dan 2 berlangsung ±3-4 menit. Hal ini tergantung dari tingkat
penghalangan O2. Bila penghalangan O2 tidak 100 %, maka waktu kematian
akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap. Masa
dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 3-5 menit.

2.1.5.2. Tanda Kardinal Asfiksia

Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat


asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu:

a. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)


Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama
pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit
dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata.
Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga
terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus,
mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


16
b. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi
akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi
pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong
darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan
perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini
akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).
c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput
lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb
yangtidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai
anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang
berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total
hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher,
sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah
vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan
leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
d. Lebam Mayat yang Khas
Warna lebam mayat merah kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam lebih luas dan warna lebih gelapakibat kadar CO2 yang
tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku
dan mudah mengalir. Pada kasus keracunan sianida dan CO, lebam jenazah
berwarna merah terang meskipun tidak selalu demikian, sebab masing-
masing mempunyai kadar oskihemoglobin dan CO-Hb yang tinggi.

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


17
e. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian
akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang
terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah
proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut
diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis
asfiksia
2.1.5.3. Tanda Khusus Asfiksia

Didapati sesuai dengan jenis asfiksia (Amir, 2007), yaitu:

a. Pembekapan

Pada pembekapan, kelainan terdapat disekitar lobang hidung dan mulut.


Dapat berupa luka memar atau lecet. Perhatikan bagian di belakang bibir
luka akibat penekanan pada gigi, begitu pula di belakang kepala atau
tengkuk akibat penekanan. Biasanya korban anak-anak atau orang yang
tidak berdaya. Bila dilakukan dengan bahan halus, kadang-kadang sulit
mendapatkan tanda-tanda kekerasan.

b. Mati tergantung

Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh berat badan


sendiri. Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas jeratan di leher.
Ada garis ludah di pinggir salah satu sudut mulut. Bila korban cukup lama
tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua kaki dan tangan. Namun
bila segera diturunkan, maka lebam mayat akan didapati pada bagian
terendah tubuh. Muka korban lebih sering pucat. Pada kebanyakan kasus
forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan
kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya
berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


18
lebih biru karena akumulasi darah. Resapan darah pada jaringan bawah
kulit dan otot. Tanda ini merupakan salah satu tanda intravital, yakni
adanya proses reaksi inflamasi / ekstravasasi sel-sel darah pada jaringan
yang menunjukkan bahwa trauma / jeratan terjadi sebelum korban
meninggal.

c. Gagging dan Chocking

Dalam rongga mulut ditemukan sumbatan benda asing.

d. Penjeratan

Jejas jerat biasanya mendatar, melingkari leher dan umumnya terdapat


lebih rendah daripada jejas jerat pada gantung. Jejas jerat biasanya terletak
setinggi atau di bawah rawan gondok. Bila jerat kasar seperti tali dan
tekanan kuat, maka dapat meninggalkan luka lecet yang tampak jelas
berupa kulit yang mencekung berwarna coklat yang dengan perabaan
teraba kaku seperti kertas perkamen. Pada peristiwa pembunuhan sering
ditemukan adanya lecet-lecet atau memar di sekitar jejas jerat, biasanya
terjadi karena korban berusaha membuka jeratan. Pada pemeriksaan
dalam leher di sekitar jeratan, bisa tampak resapan darah pada otot dan
jaringan ikat, fraktur dari tulang rawan reutama rawan gondok, dan
kongesti jaringan ikat, kelenjar limnfe dan pangkal lidah. Sering ditemukan
adanya buih halus kemerahan pada jalan nafas.

e. Pencekikan

Pada pemeriksaan luar, tampak pembendungan pada kepala dan muka


karena tertekannya pembuluh vena dan arteries superficial, sedangkan
arteri vertebrallis tidak terganggu. Tanda kekerasan pada leher ditemukan
dengan distribusi berbeda-beda, tergantung cara mencekik. Luka lecet /
memar di daerah leher berupa luka lecet kecil, dangkal berbentuk bulan

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


19
sabit akibat penekanan kuku jari. Resapan darah di bagian dalam leher,
terutama di belakang kerongkongan, dasar lidah dan kelenjar thyroid.
Fraktur tulang rawan thyroid, crycoid dan hyoid. Buih halus lubang mulut
dan hidung.

2.2. Visum et Repertum (VeR)


2.2.1. Definisi
Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat
dokter berdasarkan sumpah/janji yang diucapkan pada waktu menerima
jabatan dokter, memuat berita tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan
pada barang bukti berupa tubuh manusia/benda yang berasal dari tubuh
manusia yang diperiksa sesuai pengetahuan dengan sebaik-baiknya atas
permintaan penyidik untuk kepentingan peradilan. (Amir, 1995)
Visum et repertum merupakan pengganti barang bukti,Oleh karena
barang bukti tersebut berhubungan dengan tubuh manusia (luka, mayat atau
bagian tubuh). KUHAP tidak mencantum kata visum et repertum. Namun visum
et repertum adalah alat bukti yang sah. Bantuan dokter pada penyidik:
Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP), pemeriksaan korban hidup,
pemeriksaan korban mati. Penggalian mayat, menentukan umur seorang
korban / terdakwa, pemeriksaan jiwa seorang terdakwa, pemeriksaan barang
bukti lain (trace evidence). (Idries, 1997)

2.2.2. Manfaat VeR

Manfaat dari visum et repertum ini adalah untuk menjernihkan suatu


perkara pidana, bagi proses penyidikan dapat bermanfaat untuk

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


20
pengungkapan kasus kejahatan yang terhambat dan belum mungkin
diselesaikan secara tuntas. (Soeparmono, 2002)

Visum et repertum juga berguna untuk membantu pihak tersangka


atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi ahli dan
atau seseorang yang memiliki keahlian khusus untuk memberikan keterangn
yang meringankan atau menguatkan bagi dirinya yaitu saksi ahli.
(Soeparmono, 2002)

Visum et repertum ini juga dapat bermanfaat sebagai petunjuk,


dimana petunjuk itu adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaianya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya. (Hamzah, 1996)

2.2.3. Jenis-Jenis VeR


2.2.3.1. VeR Orang Hidup
Jenis visum et repertum pada orang hidup terdiri dari (Idries, 2009)
a. Visum seketika adalah visum yang dibuat seketika oleh karena korban
tidak memerlukan tindakan khusus atau perawatan dengan perkataan
lain korban mengalami luka - luka ringan
b. Visum sementara adalah visum yang dibuat untuk sementara berhubung
korban memerlukan tindakan khusus atau perawatan. Dalam hal ini
dokter membuat visum tentang apa yang dijumpai pada waktu itu agar
penyidik dapat melakukan penyidikan walaupun visum akhir menyusul
kemudian
c. Visum lanjutan adalah visum yang dibuat setelah berakhir masa
perawatan dari korban oleh dokter yang merawatnya yang sebelumnya
telah dibuat visum sementara untuk awal penyidikan. Visum tersebut

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


21
dapat lebih dari satu visum tergantung dari dokter atau rumah sakit yang
merawat korban.
2.2.3.2. VeR Orang Mati (Jenazah)
Jenis visum et repertum pada orang mati atau mayat
a. Pemeriksaan luar adalah dapat diminta oleh penyidik tanpa pemeriksaan
dalam atau otopsi berdasarkan KUHP pasal 133.
b. Pemeriksaan luar dan dalam adalah jenazah : sesuai dengan KUHAP pasal
134 ayat 1 Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan
pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Ayat 2 Dalam
hal keluarga korban keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan
sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan dilakukan pembedahan
tersebut. Ayat 3 Apabila dalam waktu 2 hari tidak ada tanggapan apapun
dari keluarga pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik
segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 133 ayat
(3) undang-undang ini.

2.2.4. Bentuk dan Susunan VeR

Kerangka dasar VeR terdiri dari 5 bagian yaitu:

a. Pro justisia, pada bagian atas, untuk memenuhi persyaratan yuridis,


pengganti materai. Penulisan kata pro justitia lebih diartikan agar
pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan
itu adalah demi keadilan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam
menegakkan hukum dan keadilan.
b. Pendahuluan, memuat identitas dokter pemeriksa pembuat visum et
repertum, identitas peminta visum et repertum, saat dan tempat
dilakukanya pemeriksaan dan identitas barang bukti (manusia), sesuai

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


22
dengan identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et
repertum dari pihak penyidik dan lebel atau segel. Data diri korban diisi
sesuai dengan yang tercantum dalam permintaan visum.
c. Pemberitaan atau hasil pemeriksaan, memuat segala sesuatu yang di lihat
dan ditemukan pada barang bukti yang di periksa oleh dokter, dengan
atau tanpa pemeriksaan lanjutan (pemeriksaan laboratorium), yakni bila
dianggap perlu, sesuai dengan kasus dan ada tidaknya indikasi untuk itu.
Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara obyektif.
Dapat disertai lampiran foto atau sketsa.
d. Kesimpulan, memuat inti sari dari bagian pemberitaan atau hasil
pemeriksaan, yang disertai dengan pendapat dokter yang bersangkutan
sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya (subyektif).
e. Penutup, bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa
laporan tersebut dibuat sejujurnya dan mengingat sumpah. Untuk
menguatkan hal itu, dokter mencantumkan Staatsblad 1937 no. 350 atau
dalam konsep visum yang baru ditulis sesuai KUHAP.

2.2.5. Landasan Hukum VeR


Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas
permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap
seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh
manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk
kepentingan peradilan. Menurut Budiyanto dkk (Ilmu Kedokteran
Forensik,1997) , dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut :
Pasal 133 KUHAP menyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


23
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah
mayat.
Selanjutnya,keberadaan Visum et Repertum tidak hanya diperuntukkan
kepada seorang korban (baik korban hidup maupun tidak hidup) semata, akan
tetapi untuk kepentingan penyidikan juga dapat dilakukan terhadap seorang
tersangka sekalipun seperti VR Psikiatris. Hal ini selaras dengan apa yang
disampaikan dalam KUHAP yaitu :
Pasal 120 (1) KUHAP
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat
orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Apabila pelaku perbuatan pidana tidak dapat bertanggung jawab, maka
pelaku dapat dikenai pidana. Sebagai perkecualian dapat dibaca dalam Pasal 44
KUHP sebagai berikut:
a. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya
(gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke
storing), tidak dipidana.
b. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya
orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.
c. Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


24
Dalam menentukan adanya jiwa yang cacat dalam tumbuhnya dan jiwa
yang terganggu karena penyakit, sangat dibutuhkan kerjasama antar pihak
yang terkait, yaitu ahli dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan jiwa), yang
dalam persidangan nanti muncul dalam bentuk Visum et Repertum
Psychiatricum, digunakan untuk dapat mengungkapkan keadaan pelaku
perbuatan (tersangka) sebagai alat bukti surat yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan
penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP.
Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a,
yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik
tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan
dan jiwa manusia. Oleh karena Visum et Repertum adalah keterangan ahli
mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka
penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum ,
karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP). Sanksi
hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanksi
pidana:
Pasal 216 KUHP :
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan
yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya
mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya, demikian pula
yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian
pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
mengga-galkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling
banyak sembilan ribu rupiah.

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


25
BAB III

PENUTUP

3.1. Pembahasan Skenario

Tenggelam atau drowning adalah bentuk kematian akibat asfiksia karena


terhalangnya udara masuk ke dalam saluran pernafasan/ sufokasi akibat
tersumbat oleh cairan. Aspirasi cairan ke dalam trakea dan bronkus
menyebabkan obstruksi jalan nafas, bronkokonstriksi, hilangnya surfaktan,
kerusakan alveolar dan endotel kapiler. Tanda post mortem yang menjadi
petunjuk seseorang mati tenggelam yaitu:

 Pakaian / mayat basah, kadang bercampur pasir, lumur dan benda-


benda asing lain yang terdapat dalam air.

 Cutis anserina pada kulit permukaan anterior tubuh, terutama pada


ekstremitas akibat kontraksi otot errector pilli yang dapat terjadi karena
rangsang dinginnya air (sebagai gambaran seperti saat seseorang
berdiri bulu kuduknya / “merinding”)

 Kulit telapak tangan dan kaki, kadang menyerupai washer woman


hand/skin, yakni berwarna keputihan dan berkeriput yang disebabkan
imbibisi cairan ke dalam kulit dan biasanya membutuhkan waktu kurang
lebih 12 jam

 Cadaveric spasm, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu


korban berusaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja
benda-benda disekitarnya, seperti rumput atau benda lain dalam air.
Menurut eori, terjadinya kejang yang instan pasca kematian ini akibat
kekakuan saraf. Cadaveric spasme tidak akan hilang setelah kematian,
beda halnya dengan rigor mortis

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


26
 Buih halus dari mulut dan hidung berbentuk seperti jamur (mushroom-
like mass) yang terbentuk akibat edema pulmo akut, berwarna putih
dan persisten (tetap diproduksi terus, meskipun korban sudah
meninggal). Buih semakin banyak jika dada ditekan. Buih sukar pecah
kemungkinan karena telah tercampur surfaktan pada pengocokan
sewaktu refleks batuk.

Korban ditemukan telah mengapung, ini menandakan korban telah


tenggelam selama setidaknya 2-3 hari, dimana terbentuknya gas pembusukan
dan membuat berat jenisnya lebih riengan dari berat jenis air.

Dari tanda-tanda tersebut dapat disimpulkan bahwa korban


sesungguhnya mati karena tenggelam bukan dibunuh baru kemudian
ditenggelamkan seperti perkiraan polisi pada skenario.

3.2. Saran

Untuk memastikan kematian akibat tenggelam beberapa pemeriksaan


dapat dilakukan.Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam:

 Pada saluran nafas (trakhea & bronkhus) terdapat buih.

 Emphysema aquosum, yakni keadaan paru-paru membesar dan pucat


seperti paru-paru penderita asma tetapi lebih berat dan basah, di
banyak bagian terlihat gambaran seperti marmer, bila permukaannya
ditekan meninggalkan lekukan dan bila diiris terlihat buih berair.

 Bercak hemolisis pada dinding aorta. Bercak “paltauf” yaitu bercak


perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya
partisi inter alveolar dan sering terlihat di bawah pleura.

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


27
 Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit pada darah yang berasal
dari bilik jantung kiri dan kanan. Bila tenggelam di air tawar, berat jenis
dan kadar elektrolit dalam darah jantung kiri lebih rendah dari jantung
kanan, sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya

 Lambung dan esofagus terisi air beserta pasir dan benda air lain.

 Tes diatom yang positif yaitu didapati benda air (diatom) di jaringan
paru, darah, ginjal, tulang.

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


28
DAFTAR PUSTAKA

Amir, Amri. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. FK USU: Medan. 2010

Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.p:
170

Leonardo. Asfiksia Forensik. Bagian Ilmu Forensik RSU Dr. Pirngadi Medan. [cited
July 2008][online April 2008]. Available at:www.kabarindonesia.com

Knight B. Asphyxia and pressure on the neck and chest. In: Simpson’s forensic
medicine, eleventh ed. London, Oxford University Press,Inc. 2001. p:87-90

Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.2007.p:71-99

Chadha PV. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Jakarta: Widya Medika.
1995.p: 47-8

Modul XXII Medikolegal – Skenario 3


29
Modul XXII Medikolegal – Skenario 3
30

You might also like