Professional Documents
Culture Documents
Asfiksia Forensik
Asfiksia Forensik
PENDAHULUAN
Ventilasi
1
Ventilasi secara mekanis dilaksanakan dengan mengubah secara
berselang-seling arah gradien tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan
alveolus melalui ekspansi dan penciutan berkala paru. Kontraksi dan relaksasi
otot-otot inspirasi (terutama diafragma) yang berganti-ganti secara tidak
langsung menimbulkan inflasi dan deflasi periodik paru dengan secara berkala
mengembang-kempiskan rongga toraks dengan paru secara pasif mengikuti
gerakannya.
Perfusi
2
pada kapiler dan udara di alveoli. Perfusi darah melewati kapiler ini
menyebabkan terajdinya difusi dan pertukaran gas.
Difusi
Oksigen bertanggung jawab untuk 21 % dari total tekanan udara; ini yang
disebut tekanan parsial, diukur dalam mmHg atau kPa daan disingkat PO2
Oksigen dan CO2 bergerak melintasi membran tubuh melalui proses difusi
pasif mengikuti gradien tekanan parsial. Difusi netto O2 mula-mula terjadi antara
alveolus dan darah, kemudian antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan
parsial O2 yang tercipta oleh pemakian terus menerus O2 oleh sel dan pemasukan
teru-menerus O2 segar melalui ventilasi. Difusi netto CO2 terjadi dalam arah yang
berlawanan, pertama-tama antara jaringan dan darah, kemudian antara darah
dan alveolus, akibata gradien tekanan parsial CO2 yang tercipta oleh produksi
terus-menerus CO2 oleh sel dan pengeluaran terus-menerus CO2 alveolus oleh
proses ventilasi.
Transportasi gas
Karena O2 dan CO2 tidak terlalu larut dalam darah, keduanya terutama
harus diangkut dalam mekanisme selain hanya larut secara fisik. Hanya 1,5%
O2 yang larut secara fisik dalam darah, dengan 98,5% secara kimiawi berikatan
3
dengan hemoglobin (Hb). Faktor utama yang menentukan seberapa banyak
O2 yang berikatan dengan Hb adalah PO2 darah. Karbon dioksida yang diserap di
kapiler sistemik diangkut dalam darah dengan tiga cara :
4
1.3. Rumusan Masalah
Adapun skenario yang kami dapatkan sebagai berikut:
SKENARIO – 3
1) Definisi asfiksia
2) Klasifikasi asfiksia
3) Etiologi asfiksia
4) Patofisiologi asfiksia
5) Gejala dan tanda post mortem
6) Definisi VeR
PEMBAHASAN
2.1. Asfiksia
2.1.1. Definisi
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan
dalam pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan tersebut dapat
disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan
yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Kedua gangguan tersebut akan
menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang (hipoksia)
yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida (hiperkapnea) (Idries,
1997).
Asfiksia dalam bahasa Indonesia disebut dengan “mati lemas”.
Sebenarnya pemakaian kata asfiksia tidaklah tepat, sebab kata asfiksia ini
berasal dari bahasa Yunani, menyebutkan bahwa asfiksia berarti “absence of
pulse” (tidak berdenyut), sedangkan pada kematian karena asfiksia, nadi
sebenarnya masih dapat berdenyut untuk beberapa menit setelah pernapasan
berhenti. Istilah yang tepat secara terminologi kedokteran ialah anoksia atau
hipoksia (Knight, 2001).
2.1.2. Etiologi
2.1.2.1. Alamiah
Misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti laringitis
difteri, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2.1.2.2. Mekanik
Kerusakan akibat asfiksia (asphyxial injuries) dapat disebabkan oleh
kegagalan sel-sel untuk menerima atau menggunakan oksigen. Kehilangan
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat
dibedakan dalam 4 stadium (Amir, 2008), yaitu:
a. Stadium Dispnea
b. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran
hilang dengan cepat, dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami
dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini
berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akobat
kekurangan O2.. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin
jelas. Bila kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke
stadium apnoe.
c. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah,
hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal
dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya
pusat-pusat kehidupan dan akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urine, dan tinja. Walaupun nafas telah berhenti
d. Fase Akhir
Fase 1 dan 2 berlangsung ±3-4 menit. Hal ini tergantung dari tingkat
penghalangan O2. Bila penghalangan O2 tidak 100 %, maka waktu kematian
akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap. Masa
dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 3-5 menit.
a. Pembekapan
b. Mati tergantung
d. Penjeratan
e. Pencekikan
PENUTUP
3.2. Saran
Lambung dan esofagus terisi air beserta pasir dan benda air lain.
Tes diatom yang positif yaitu didapati benda air (diatom) di jaringan
paru, darah, ginjal, tulang.
Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.p:
170
Leonardo. Asfiksia Forensik. Bagian Ilmu Forensik RSU Dr. Pirngadi Medan. [cited
July 2008][online April 2008]. Available at:www.kabarindonesia.com
Knight B. Asphyxia and pressure on the neck and chest. In: Simpson’s forensic
medicine, eleventh ed. London, Oxford University Press,Inc. 2001. p:87-90
Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.2007.p:71-99
Chadha PV. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Jakarta: Widya Medika.
1995.p: 47-8