Professional Documents
Culture Documents
Kearifan Lokal Di Indonesia
Kearifan Lokal Di Indonesia
Disusun oleh:
MUHAMMAD FIZAR KURNIA SUBARKAH
ANDIKA PERMANA
DHEA SALMA
LUTPI AULIAH
RINI RATNASARI
NURI FAZRI SANI
REGA ALFANIE
ASRI S
Kelas : XII-IIS 2
PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
DINAS PENDIDIKAN
SMA NEGERI 8 KOTA TASIKMALAYA
Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada Allah
STW, yang karena bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah karya tulis
sosiologi berjudul “KEARIFAN LOKAL DI MANDAILING SUMATERA BARAT”
Kami mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait yang telah membantu kami dalam
menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karna itu kami mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI…………………...……………………………………………………………..ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Definisi kearifan Lokal…………...……………………………………………………1
B. Ciri-ciri Kearifan Lokal………..………………………………………………………1
C. Bentuk-bentuk kearifan lokal…...……………………………………………………..1
BAB II.PEMBAHASAN
A. Pengertian Lubuk Larangan…...……………….………………………………………2
B. Kearifan Lokal Lubuk Larangan……...…………..………………..….……………….2
Pembentukan dan Pemberdayaan ……………………..……………...……....……3
Tujuan Lubuk Larangan…………………………………………………..………..4
Aturan dan Sanksi ………………………………………………...……....…….…5
Pembukaan(pemanenan) Lubuk Larangan………………………………...........…7
Pengawasan…………………………………………………………….…….…….8
Manfaat Lubuk Larangan……………………………………….………...….……10
BAB III.PENUTUP
Upaya Pelestarian Kearifan Lokal di Mandailing………………………….…………13
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kearifan Lokal adalah Gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pandangan dari suatu tempat yang
memiliki sifat bijaksana dan bernilai baik yang diikuti dan dipercayai oleh masyarakat di suatu
tempat tersebut dan sudah diikuti secara turun temurun.
Secara etimologi, lubuk larang terdiri dari kata ”lubuk” dan kata ”larang”. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, kata ”lubuk” diartikan ”tempat yang dalam di sungai, telaga, atau laut”2,
sedangkan kata ”larang” diartikan ”perintah dilarang melakukan suatu perbuatan”. Jika kata ini
ditambah dengan akhiran -an akan menjadi kata ”larangan”. Aturan lubuk larang atau lubuk
larangan mengartikan sebuah lubuk, bagian sungai yang berceruk dan menjadi tempat ikan
bertelur, dilarang dan dibatasi pengambilan ikannya selama kurun waktu tertentu, atas dasar
kesepakatan bersama masyarakat. Secara sederhana orang akan cepat mengartikannya sebagai
suatu kawasan tertentu di sungai yang dilindungi dalam masa tertentu.
Gambaran ini memperlihatkan bahwa lubuk larang merupakan tradisi turun temurun
masyarakat di sekitar sungai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain memberi nilai
ekonomi, ternyata lubuk larang juga menyimpan kearifan lokal. Melalui lubuk larang komunitas
setempat mengembangkan konsep pengelolaan sumberdaya alam secara komunal. Konsep ini
Dengan mengelola lubuk larang masyarakat desa mampu menanam dan mengembangkan
investasi modal sosial (social capital) di antara merekadalam format pengelolaan sumberdaya
“milik bersama”. Itu juga menggambarkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
alam secara arif dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan.
Hal ini menjadi penanda pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
alam.
2
Proses pembentukan Lubuk larangan dapat dicontohkan kasus pada Dusun Pedukuh,
Desa Baru Pelepat. Hari itu, Jum’at 17 Juni 2005. Matahari menerpa bantaran yang menjorok ke
sungai. Beberapa anggota masyarakat mulai berkumpul. Mereka berkopiah dan mengapit kitab
kecil yang memuat Surat Yasin. Ada yang segera mengambil posisi duduk khidmat beralaskan
batubatu sungai, ada yang menuju sungai untuk berwudhu. Kepala Desa Baru Pelepat, Ketua BPD,
para tokoh adat, ninik mamak, alim ulama dan anggota masyarakat lainnya tampak mengambil
bagian, duduk khidmat dalam lingkaran. Sementara beberapa ibu-ibu menyiapkan penganan pagi
itu.
Umumnya lubuk larang ini berada di dekat pemukiman penduduk yang bisa dimanfaatkan
sebagai tepian (tempat mandi dan mencuci) serta dapat diawasi setiap saat dari gangguan para
pihak, baik dari dalam desa maupun luar desa. Panjang kawasan yang dijadikan lubuk larang ini
antara 50-500 m, dengan lebar 20-80 m, tingkat kedalaman sungai di sekitar lubuk tersebut
berkisar antara 50 cm sampai enam meter. Bentuknya ada yang lurus memanjang atau berkelok
tergantung kondisi lubuk yang ada di sungai tersebut.
baru dilakukan sekitar dua hingga tiga tahun belakangan ini. Sementara, pengelolaan lubuk larang
dalam waktu lama (sejak 1980-an) telah dilakukan di Desa Batu Kerbau dan Baru Pelepat. Jumlah
lubuk larang di setiap desa juga beragam, dan pada umumnya disesuaikan dengan jumlah dusun
Keberadaan lubuk larang ini di beberapa tempat ditandai dengan tali, bendera atau
masyarakat di wilayah tersebut. Dengan cara begitu, seluruh masyarakat di desa tersebut sudah
mengetahui keberadaan dan letak lubuk larang tersebut. Akan tetapi, untuk para pendatang yang
baru masuk dan tidak mengetahui adanya kawasan tersebut, bentuk pemberitahuan semacam itu
biasanya tidak efektif. Karena itu, perlu ditambah dengan pemasangan papan pengumuman yang
Tujuan penetapan sebuah lubuk larang adalah: Pertama, penegasan bahwa lubuk larang
itu dikelola oleh desa atau dusun. Menurut Tafrizal, Kepala Desa Batu Kerbau, biasanya hasil dari
lubuk larang ini akan dijadikan kas desa atau dusun dan digunakan untuk pembiayaan
pembangunan desa, baik fisik maupun non fisik, seperti masjid, madrasah, rumah sekolah,
membiayai rapat-rapat desa, perayaan kemerdekaan ataupun untuk penyediaan lauk- pauk untuk
menyambut tamutamu istimewa seperti pejabat dari kabupaten atau propinsi serta pihak lain yang
datang berkunjung ke desa ini. Terkadang lokasi lubuk larang dijadikan lokasi pemancingan dan
Kedua, lubuk larang dikelola dengan tujuan khusus oleh kelompok tertentu, seperti Lubuk
Larang Batu Sawan yang dikelola untuk keperluan sekolah. Menurut Pak Sudar, hasil dari lubuk
larang tersebut nantinya untuk memenuhi keperluan sekolah, seperti penyediaan alat ajar,
membayar guru honorer, maupun untuk membantu murid sekolah yang tidak mampu dan tidak
memperoleh bantuan untuk keperluan sekolahnya dari komite sekolah maupun dari pemerintah.
4
”Ini wujud kepedulian kami atas pengembangan pendidikan di desa. Kalau hanya menunggu
bantuan dari pemerintah, entah kapan turunnya?” katanya memberi alasan pentingnya keberadaan
Ketiga, lubuk larang yang dikelola oleh kelompok yasinan ibu-ibu, seperti di Desa Baru
Pelepat dan Batu Kerbau. Mereka secara khusus mengelola lubuk larang yang hasilnya akan
menjadi kas kelompok dan digunakan untuk keperluan kelompok, seperti penyediaan pakaian adat
dan perlengkapan perkawinan, modal untuk membuat kerajinan, ataupun sebagai dana untuk
Suatu lubuk dilarang untuk dipanen dalam jangka waktu tertentu, biasanya 6-24 bulan.
Aturan itu juga menyebutkan peralatan yang digunakan dalam pengambilan ikan dibatasi pada
alat-alat yang dapat menjamin kelestarian ikan. Ada berbagai jenis alat yang diperbolehkan, seperti
lukah (bubu), jala, pancing dan alat bantu ilau (anyaman yang terbuat dari daun enau yang
digunakan untuk memburu ikan ke arah lukah). Sanksi akan dikenakan untuk penggunaan racun,
putas, setrum, dan bahan peledak. Agar diketahui khalayak, lubuk ini ditandai dengan rentangan
kawat, dan papan peringatan bertuliskan “Lubuk Larang “, misalnya, ”Di sini lokasi Lubuk Larang
Dusun Pedukuh”.
Bagi siapa saja yang melanggar ketentuan ini akan dikenakan sanksi secara adat yang telah
disepakati oleh ninik mamak dan seluruh masyarakat desa. Sanksi biasanya diberikan secara
bertahap dengan besaran denda tergantung kadar kesalahannya. Orang mencuri ikan di lubuk
larang biasanya diberi teguran pertama, oleh kepala desa atau dusun atau kelompok. Teguran ini
5
”ayam satu ekor, beras satu gantang, serta kain putih sebanyak dua kayu”
Pelanggaran lebih berat (misal, ikan yang dicuri dalam jumlah besar) dikenakan denda adat
yang lebih berat lagi. Biasanya berupa ”satu ekor kambing, beras 20 gantang, seasam segaram
(beserta bumbu masaknya) serta uang Rp 500.000, ditambah kain dua hingga empat kayu”. Bagi
pelanggaran dengan menggunakan alat setrum atau racun akan langsung dikenakan sanksi adat
dengan denda yang berat, tanpa melalui tahapan pemberian teguran lagi. Jika perlu, langsung
Meski begitu, masyarakat tidak melihat denda adat dan sanksi sosial itu sebagai alasan
mereka tidak mau mengambil ikan di lubuk larang. Mereka lebih percaya terhadap adanya potensi
bahaya bagi pelaku pelanggaran. “Masyarakat di sini masih percaya, orang yang berani mengambil
Perut akan terasa mulas jika memakan ikan hasil curian. Sakit baru berhenti kalau sudah
dibacakan Surat Yasin sebanyak 40 kali dan meminum air yang telah didoakan pemuka agama,
Banyak juga mitos-mitos yang menyertai kepercayaan atas keangkeran lubuk ini di
antaranya sejak lubuk dinyatakan terlarang, ikan-ikan menjadi lebih banyak sebuah dan tak jarang
lebih sering berdiam di tempat tersebut. Bahkan pernah ada seorang penduduk yang mencoba
mancing di lubuk yang bersebelahan dengan lubuk larang, ia melihat ikan-ikan seolah mengejek
dan tidak mau memakan umpannya seraya pergi melenggang ke arah lubuk larang.
Aturan adat ini begitu kuat. Tak heran bila acap kali ikan-ikan dalam satu lubuk berlebih,
melampaui kemampuan lubuk untuk menampungnya. Seperti, Lubuk Busuk yang juga berada di
6
Nama ini diberikan karena pada satu saat lubuk tersebut kebanjiran ikan, namun
masyarakat tidak berani mengambilnya karena belum waktunya dibuka. Akhirnya, lubuk itu tak
mampu lagi menampung ikan yang ada dan menyebabkan banyak ikan mati. Bau busuk yang
ditimbulkan pada peristiwa itu membuat lubuk itu dinamai Lubuk Busuk.
adat, ninik mamak dan masyarakat kemudian membuat kesepakatan untuk membuka lubuk
larangan. Pembukaan lubuk larang biasanya dilakukan pada saat musim kemarau, yaitu saat air
Ada beberapa cara pembukaan lubuk larang ini, cara yang paling umum dilakukan secara
bersama-sama oleh seluruh masyarakat desa (dusun, anggota) kelompok. Pembukaan lubuk
dilakukan melalui musyawarah pembentukan panitia, serta menentukan waktu dan peralatan yang
perlu disiapkan. Panitia kemudian akan menentukan siapa saja yang bertugas mengambil bahan
untuk menangkap ikan seperti rotan, bambu, daun aren, kayu, dan lain-lain. Pengerjaannya
dilakukan secara bergotong-royong, dengan rata-rata pelaksanaan selama dua hari penuh.
Adakalanya pembukaan sebuah lubuk dilakukan secara borongan kepada pihak lain.
Pemborong biasanya anggota masyarakat atau pihak dari luar desa dan tak jarang pejabat yang
tengah berkunjung ke desa. Untuk sistem borongan seperti ini, biasanya pemborong diberi waktu
tertentu, yaitu 2-7 hari sejak lubuk tersebut dibuka. Tak jarang pemborong menggunakan jasa
penduduk setempat dalam melakukan pemanenan, namun tidak jarang pula sudah mempunyai tim
sendiri yang khusus didatangkan dari luar desa dengan peralatan yang lebih baik jika dibanding
7
Peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan ditentukan oleh kelompok atau desa,
dengan tujuan tidak merusak atau membunuh seluruh ikan yang ada di tempat tersebut.
Alat yang digunakan pada umumnya berupa peralatan sederhana dan dapat dibuat sendiri oleh
masyarakat setempat seperti jala, jaring atau pukat, panah ikan dengan cara menyelam, lukah, atau
ilau. Tidak diperbolehkan menangkap ikan dengan menggunakan alat setrum, bahan peledak
apalagi dengan cara meracun atau tuba dengan bahan dari tanaman atau potasium yang dapat
merusak serta membinasakan seluruh ikan yang ada di lubuk tersebut sampai ke wilayah lain di
sekitarnya. Alat transportasi yang digunakan berupa perahu dan rakit yang ada di sekitar desa.
Seringkali pembukaan lubuk larang dibarengi dengan kegiatan tertentu, misalnya dengan
menampilkan tari-tarian setempat dan lagu-lagu daerah. Boleh dibilang, kegiatan ini juga dapat
menjadi sebuah pesta atau festival seni yang meriah bagi penduduk desa.
Pengawasan
Karena lubuk larang dibentuk berdasarkan keinginan bersama dan juga kepemilikannya
perempuan, maka pengawasannya juga dilakukan oleh semua warga. Tidak ada orang khusus
untuk menjaganya, namun semua orang dapat bertindak sebagai pengawas dan melaporkan setiap
pelanggaran yang terjadi kepada pemerintah desa (dusun) atau kelompok pengelolanya.
Di tempat tertentu sudah ada kelompok pengelola khusus untuk lubuk larang ini. Salah satu
tugasnya adalah melakukan pengawasan lebih aktif dibandingkan anggota masyarakat biasa.
Pengawas juga akan menjadi pihak yang sangat berkepentingan untuk menjalankan sanksi jika
terjadi pelanggaran,
8
bahkan sampai kepada proses pengaduan kepada pihak yang berwajib jika dibutuhkan.
Pengawasan lubuk larang juga dikaitkan dengan hal-hal magis dari kegiatan spiritual yang
mereka lakukan saat membentuk atau menutup lubuk larang ini. Ada keyakinan, pembacaan Surat
Yasin sebanyak 40 kali, tahlil dan doa akan membuat takut orang yang akan melanggar karena
akan memperoleh petaka dalam hidupnya, baik secara materi maupun dalam bentuk lainnya
Pengawasan bukan hanya dilakukan terhadap pihak yang bermaksudmencuri ikan dari
lubuk tersebut, tetapi juga dilakukan pada saat pelaksanaan pemanenan ikan. Hal ini berkaitan
dengan peralatan yang akan dipakai untuk penangkapan agar tidak merusak dan membinasakan
seluruh sumberdaya ikan yang ada di dalamnya. Ini sebagai proses seleksi terhadap ikan yang akan
diambil tanpa mengganggu perkembangbiakan ikan di tempat tersebut. Selanjutnya, kelompok ini
juga mengawasi waktu yang diberikan untuk pemanenan agar tidak melewati batas yang sudah
ditentukan. Pada umumnya, waktu pemanenan dibatasi selama 24 jam. Setelah itu, lubuk akan
ditutup kembali.
Bentuk kearifan lokal seperti ini sangat mendukung dalam upaya menjaga kelestarian
sumberdaya ikan di suatu perairan seperti sungai khususnya. Sebagai contoh : pengelolaan lubuk
larang di wilayah Desa Rantel, Balai Jaya, dan Rantau Keloyang Kabupaten Bungo.
Melalui keputusan adat ninik mamak telah menetapkan sebagian wilayah aliran sungai
tersebut sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu.
Akan tetapi masyarakat masih dapat mengambil ikan di wilayah yang tidak ditetapkan sebagai
lubuk larangan.
9
MANFAAT DAN DAMPAK LUBUK LARANGAN
Secara ekologi dampak kearifan lokal lubuk larangan adalah mencegah kerusakan
Selanjutnya bahwa Pentingnya penetapan kawasan menurut beberapa ahli berpendapat seperti
(Kelleher dan Kenchington, 192; Jones, 1994; Barr et al, 1997; Salm et al, 2000 dalam
Kamal,E,2010): (1) melindungi habitat kritis, (2) mempertahankan SDI, (3) melindungi garis
pantai, (4) melindungi kawasan-kawasan yang bernilai sejarah, (5) menyediakan lokasi rekrasi dan
parawisata alam, (6) merekolonisasi daerah-daerah yang teeksploitasi, dan (7) mempomosikan
Indonesia merupakan kebutuhan yang sangat penting khususnya di wilayah perairan payau dan air
tawar, agar pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan tersebut dapat lestari dan berkelanjutan.
Kegiatan awal dalam rangka pengembangan kawasan konservasi perairan payau dan air tawar ini
adalah dengan melakukan kegiatan identifikasi potensi sumberdaya ikan dan habitatnya,
khususnya di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jambi untuk menggali potensi
dan permasalahan secara umum berdasarkan data dan informasi yang dibutuhkan( Aminev,2008).
Dengan adanya berbagai macam ancaman terhadap ekosistem sungai di atas beserta
adanya ancaman kepunahan, maka terdapat jenis-jenis ikan Kalimantan Barat terutama di perairan
umum yang langka bahkan dapat terancam punah. Kottelat et al. (1993) menjelaskan bahwa
terdapat 29 jenis ikan yang berasal dari Indonesia, yang masuk Daftar Ikan Yang Terancam Punah.
10
Jenis ikan tersebut diantaranya ada yang merupakan spesies endemik antara lain ikan
Botia, semua jenis ikan Tor, beberapa jenis ikan rasbora, dan ikan arwana dan sudah terdaftar
dalam CITES (Convention on International Trade for Endangered Spesies) sebagai ikan yang
dilindungi.
Disamping itu dalam upaya melestarikan sumberdaya hayati perikanan perairan umum
di Kabupaten Bungo, dilakukan penebaran benih ikan lokal di Lubuk Larangan atau perairan yang
dianggap kritis. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bungo telah dilaksanakan Restocking
jenis ikan asli perairan Bungo seperti Ikan Sepat Siam, Betok dan Semah sebanyak 19.000 ekor
beragam bagi masyarakat di sekitarnya. Secara sosial, hasil dari pengelolaan lubuk larang dapat
dipergunakan untuk:
Menurut Harfia Suma E,et al,2008, Lubuk larang juga menyimpan kearifan lokal.
Setidaknya terdapat dua nilai penting yang terkait dengannya. Pertama, kemampuan komunitas
setempat untuk mengembangkan konsep penguasaan sumberdaya alam (sungai): semula dipahami
sebagai sumberdaya yang bisa diakses secara bebas oleh siapapun (open access) menjadi
sumberdaya yang dimiliki secara komunal (communally owned resources). Dengan perubahan
konsep tersebut, maka kecenderungan eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam akan
berkurang, sehingga gejala ‘tragedi milik bersama’ (tragedy of the common) dalam pengelolaan
11
khususnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya yang ada di sungai.
Kedua, dengan mengelola lubuk larang masyarakat desa mampu menanam dan
mengembangkan investasi modal sosial (social capital) dalam pengelolaan sumberdaya ‘milik
sesungguhnya sudah ada sejak lama. Namun, pemerintahan Orde Baru yang bersifat sentralistik,
hegemonik dan otoritarian, telah mengabaikan dan bahkan mematikan potensi-potensi modal
sosial yang tumbuh dari bawah (grass roots). Masyarakat desa di sepanjang Batang Pelepat sampai
12
BAB III
PENUTUP
Upaya pelestarian kearifan lokal lubuk larangan untuk melestarikan kearifan lokal (lubuk
larangan ) perlu dikenalkan dan memberikan pengetahuan kepada generasi muda yang ada di
daerah tersebut. Dengan lestarinya kearifan local lubuk larangan sekaligus dapat menjaga
lingkungan dari kerusakan alam.
Bentuk kearifan lokal seperti ini sangat mendukung dalam upaya menjaga kelestarian
sumberdaya ikan di suatu perairan seperti sungai khususnya. Sebagai contoh : pengelolaan lubuk
larang di wilayah Desa Rantel, Balai Jaya, dan Rantau Keloyang Kabupaten Bungo
.
.
13
DAFTAR PUSTAKA
https://www.scribd.com/document/362128124/Makalah-Kearifan-Lokal
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/9357/9022
budibungo.blogspot.com/2011/04/pengelolaan-lubuk-larangan-sebagai.html
putrisimanjuntak12.blogspot.com/2016/10/lubuk-larangan-sebagai-kawasan_16.html
lumbanlaw.blogspot.com/2013/01/kearifan-lokal-masyarakat-hukum-adat.html