You are on page 1of 17

KEARIFAN LOKAL DI INDONESIA

KEARIFAN LOKAL DI MANDAILING SUMATERA BARAT


(Untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sosiologi)

Disusun oleh:
MUHAMMAD FIZAR KURNIA SUBARKAH
ANDIKA PERMANA
DHEA SALMA
LUTPI AULIAH
RINI RATNASARI
NURI FAZRI SANI
REGA ALFANIE
ASRI S

Kelas : XII-IIS 2
PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
DINAS PENDIDIKAN
SMA NEGERI 8 KOTA TASIKMALAYA

JL.Mulyasari No.3 Tamansari Tasikmalaya


KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada Allah
STW, yang karena bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah karya tulis
sosiologi berjudul “KEARIFAN LOKAL DI MANDAILING SUMATERA BARAT”

Kami mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait yang telah membantu kami dalam
menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karna itu kami mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.

Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua.

Tasikmalaya, Februari 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI…………………...……………………………………………………………..ii

BAB I. PENDAHULUAN
A. Definisi kearifan Lokal…………...……………………………………………………1
B. Ciri-ciri Kearifan Lokal………..………………………………………………………1
C. Bentuk-bentuk kearifan lokal…...……………………………………………………..1
BAB II.PEMBAHASAN
A. Pengertian Lubuk Larangan…...……………….………………………………………2
B. Kearifan Lokal Lubuk Larangan……...…………..………………..….……………….2
 Pembentukan dan Pemberdayaan ……………………..……………...……....……3
 Tujuan Lubuk Larangan…………………………………………………..………..4
 Aturan dan Sanksi ………………………………………………...……....…….…5
 Pembukaan(pemanenan) Lubuk Larangan………………………………...........…7
 Pengawasan…………………………………………………………….…….…….8
 Manfaat Lubuk Larangan……………………………………….………...….……10

BAB III.PENUTUP
Upaya Pelestarian Kearifan Lokal di Mandailing………………………….…………13

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kearifan Lokal adalah Gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pandangan dari suatu tempat yang
memiliki sifat bijaksana dan bernilai baik yang diikuti dan dipercayai oleh masyarakat di suatu
tempat tersebut dan sudah diikuti secara turun temurun.

1.1.Ciri-Ciri Kearifan Lokal

Kearifan Lokal memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu :

1. Mempunyai kemampuan mengendalikan.


2. Merupakan benteng untuk bertahan dari pengaruh budaya luar.
3. Mempunyai kemampuan mengakomodasi budaya luar.
4. Mempunyai kemampuan memberi arah perkembangan budaya.
5. Mempunyai kemampuan mengintegrasi atau menyatukan budaya luar dan budaya asli

1.2.Bentuk-Bentuk kearifan Lokal


> Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible)
> Kearifan lokal tak berwujud (Intangible)
1
BAB II
PEMBAHASAN
1). Pengertian Lubuk Larangan

Secara etimologi, lubuk larang terdiri dari kata ”lubuk” dan kata ”larang”. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, kata ”lubuk” diartikan ”tempat yang dalam di sungai, telaga, atau laut”2,
sedangkan kata ”larang” diartikan ”perintah dilarang melakukan suatu perbuatan”. Jika kata ini
ditambah dengan akhiran -an akan menjadi kata ”larangan”. Aturan lubuk larang atau lubuk
larangan mengartikan sebuah lubuk, bagian sungai yang berceruk dan menjadi tempat ikan
bertelur, dilarang dan dibatasi pengambilan ikannya selama kurun waktu tertentu, atas dasar
kesepakatan bersama masyarakat. Secara sederhana orang akan cepat mengartikannya sebagai
suatu kawasan tertentu di sungai yang dilindungi dalam masa tertentu.
Gambaran ini memperlihatkan bahwa lubuk larang merupakan tradisi turun temurun

masyarakat di sekitar sungai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain memberi nilai

ekonomi, ternyata lubuk larang juga menyimpan kearifan lokal. Melalui lubuk larang komunitas

setempat mengembangkan konsep pengelolaan sumberdaya alam secara komunal. Konsep ini

cenderung mengurangi eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam, khususnya sungai.

Dengan mengelola lubuk larang masyarakat desa mampu menanam dan mengembangkan

investasi modal sosial (social capital) di antara merekadalam format pengelolaan sumberdaya

“milik bersama”. Itu juga menggambarkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya

alam secara arif dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan.

Hal ini menjadi penanda pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya

alam.
2

2). Pembentukan Lubuk Larangan

Proses pembentukan Lubuk larangan dapat dicontohkan kasus pada Dusun Pedukuh,

Desa Baru Pelepat. Hari itu, Jum’at 17 Juni 2005. Matahari menerpa bantaran yang menjorok ke

sungai. Beberapa anggota masyarakat mulai berkumpul. Mereka berkopiah dan mengapit kitab

kecil yang memuat Surat Yasin. Ada yang segera mengambil posisi duduk khidmat beralaskan

batubatu sungai, ada yang menuju sungai untuk berwudhu. Kepala Desa Baru Pelepat, Ketua BPD,

para tokoh adat, ninik mamak, alim ulama dan anggota masyarakat lainnya tampak mengambil

bagian, duduk khidmat dalam lingkaran. Sementara beberapa ibu-ibu menyiapkan penganan pagi

itu.

Umumnya lubuk larang ini berada di dekat pemukiman penduduk yang bisa dimanfaatkan
sebagai tepian (tempat mandi dan mencuci) serta dapat diawasi setiap saat dari gangguan para
pihak, baik dari dalam desa maupun luar desa. Panjang kawasan yang dijadikan lubuk larang ini
antara 50-500 m, dengan lebar 20-80 m, tingkat kedalaman sungai di sekitar lubuk tersebut
berkisar antara 50 cm sampai enam meter. Bentuknya ada yang lurus memanjang atau berkelok
tergantung kondisi lubuk yang ada di sungai tersebut.

Perberdayaan kearifan lokal di lubuk larangan


Perberdayaan lubuk larang untuk wilayah Desa Rantel, Balai Jaya, dan Rantau Keloyang

baru dilakukan sekitar dua hingga tiga tahun belakangan ini. Sementara, pengelolaan lubuk larang

dalam waktu lama (sejak 1980-an) telah dilakukan di Desa Batu Kerbau dan Baru Pelepat. Jumlah

lubuk larang di setiap desa juga beragam, dan pada umumnya disesuaikan dengan jumlah dusun

yang ada pada desa tersebut.

Keberadaan lubuk larang ini di beberapa tempat ditandai dengan tali, bendera atau

umbul-umbul di sepanjang lubuk yang dijadikan kawasan.


3
Bisa juga dengan pemberitahuan melalui upacara tertentu, baik secara ritual adat maupun

keagamaan di kawasan tersebut pada saat

penutupan atau pembukaan (pengambilan hasil), sesuai dengan hasil kesepakatan

masyarakat di wilayah tersebut. Dengan cara begitu, seluruh masyarakat di desa tersebut sudah

mengetahui keberadaan dan letak lubuk larang tersebut. Akan tetapi, untuk para pendatang yang

baru masuk dan tidak mengetahui adanya kawasan tersebut, bentuk pemberitahuan semacam itu

biasanya tidak efektif. Karena itu, perlu ditambah dengan pemasangan papan pengumuman yang

dipancangkan di sekitar kawasan lubuk larang.

Tujuan penetapan sebuah lubuk larang adalah: Pertama, penegasan bahwa lubuk larang

itu dikelola oleh desa atau dusun. Menurut Tafrizal, Kepala Desa Batu Kerbau, biasanya hasil dari

lubuk larang ini akan dijadikan kas desa atau dusun dan digunakan untuk pembiayaan

pembangunan desa, baik fisik maupun non fisik, seperti masjid, madrasah, rumah sekolah,

membiayai rapat-rapat desa, perayaan kemerdekaan ataupun untuk penyediaan lauk- pauk untuk

menyambut tamutamu istimewa seperti pejabat dari kabupaten atau propinsi serta pihak lain yang

datang berkunjung ke desa ini. Terkadang lokasi lubuk larang dijadikan lokasi pemancingan dan

biasanya dikenai tarif tertentu.

Kedua, lubuk larang dikelola dengan tujuan khusus oleh kelompok tertentu, seperti Lubuk

Larang Batu Sawan yang dikelola untuk keperluan sekolah. Menurut Pak Sudar, hasil dari lubuk

larang tersebut nantinya untuk memenuhi keperluan sekolah, seperti penyediaan alat ajar,

membayar guru honorer, maupun untuk membantu murid sekolah yang tidak mampu dan tidak

memperoleh bantuan untuk keperluan sekolahnya dari komite sekolah maupun dari pemerintah.

4
”Ini wujud kepedulian kami atas pengembangan pendidikan di desa. Kalau hanya menunggu

bantuan dari pemerintah, entah kapan turunnya?” katanya memberi alasan pentingnya keberadaan

lubuk larang ini.

Ketiga, lubuk larang yang dikelola oleh kelompok yasinan ibu-ibu, seperti di Desa Baru

Pelepat dan Batu Kerbau. Mereka secara khusus mengelola lubuk larang yang hasilnya akan

menjadi kas kelompok dan digunakan untuk keperluan kelompok, seperti penyediaan pakaian adat

dan perlengkapan perkawinan, modal untuk membuat kerajinan, ataupun sebagai dana untuk

upacara atau ritual kelahiran, sunatan maupun kematian

3). Aturan dan sanksi

Suatu lubuk dilarang untuk dipanen dalam jangka waktu tertentu, biasanya 6-24 bulan.

Aturan itu juga menyebutkan peralatan yang digunakan dalam pengambilan ikan dibatasi pada

alat-alat yang dapat menjamin kelestarian ikan. Ada berbagai jenis alat yang diperbolehkan, seperti

lukah (bubu), jala, pancing dan alat bantu ilau (anyaman yang terbuat dari daun enau yang

digunakan untuk memburu ikan ke arah lukah). Sanksi akan dikenakan untuk penggunaan racun,

putas, setrum, dan bahan peledak. Agar diketahui khalayak, lubuk ini ditandai dengan rentangan

kawat, dan papan peringatan bertuliskan “Lubuk Larang “, misalnya, ”Di sini lokasi Lubuk Larang

Dusun Pedukuh”.

Bagi siapa saja yang melanggar ketentuan ini akan dikenakan sanksi secara adat yang telah

disepakati oleh ninik mamak dan seluruh masyarakat desa. Sanksi biasanya diberikan secara

bertahap dengan besaran denda tergantung kadar kesalahannya. Orang mencuri ikan di lubuk

larang biasanya diberi teguran pertama, oleh kepala desa atau dusun atau kelompok. Teguran ini

diikuti dengan denda adat berupa

5
”ayam satu ekor, beras satu gantang, serta kain putih sebanyak dua kayu”

Pelanggaran lebih berat (misal, ikan yang dicuri dalam jumlah besar) dikenakan denda adat

yang lebih berat lagi. Biasanya berupa ”satu ekor kambing, beras 20 gantang, seasam segaram

(beserta bumbu masaknya) serta uang Rp 500.000, ditambah kain dua hingga empat kayu”. Bagi

pelanggaran dengan menggunakan alat setrum atau racun akan langsung dikenakan sanksi adat

dengan denda yang berat, tanpa melalui tahapan pemberian teguran lagi. Jika perlu, langsung

diserahkan kepada pihak yang berwajib.

Meski begitu, masyarakat tidak melihat denda adat dan sanksi sosial itu sebagai alasan

mereka tidak mau mengambil ikan di lubuk larang. Mereka lebih percaya terhadap adanya potensi

bahaya bagi pelaku pelanggaran. “Masyarakat di sini masih percaya, orang yang berani mengambil

ikan di lubuk larang akan sakit dan celaka.

Perut akan terasa mulas jika memakan ikan hasil curian. Sakit baru berhenti kalau sudah

dibacakan Surat Yasin sebanyak 40 kali dan meminum air yang telah didoakan pemuka agama,

selanjutnya dimandikan,” kata Mirul, seorang tokoh masyarakat.

Banyak juga mitos-mitos yang menyertai kepercayaan atas keangkeran lubuk ini di

antaranya sejak lubuk dinyatakan terlarang, ikan-ikan menjadi lebih banyak sebuah dan tak jarang

lebih sering berdiam di tempat tersebut. Bahkan pernah ada seorang penduduk yang mencoba

mancing di lubuk yang bersebelahan dengan lubuk larang, ia melihat ikan-ikan seolah mengejek

dan tidak mau memakan umpannya seraya pergi melenggang ke arah lubuk larang.

Aturan adat ini begitu kuat. Tak heran bila acap kali ikan-ikan dalam satu lubuk berlebih,

melampaui kemampuan lubuk untuk menampungnya. Seperti, Lubuk Busuk yang juga berada di

Desa Baru Pelepat.

6
Nama ini diberikan karena pada satu saat lubuk tersebut kebanjiran ikan, namun

masyarakat tidak berani mengambilnya karena belum waktunya dibuka. Akhirnya, lubuk itu tak

mampu lagi menampung ikan yang ada dan menyebabkan banyak ikan mati. Bau busuk yang

ditimbulkan pada peristiwa itu membuat lubuk itu dinamai Lubuk Busuk.

Pembukaan (Pemanenan) Lubuk Larangan.


Setelah lebih satu tahun atau jika dianggap hasil ikannya sudah cukup banyak, para tokoh

adat, ninik mamak dan masyarakat kemudian membuat kesepakatan untuk membuka lubuk

larangan. Pembukaan lubuk larang biasanya dilakukan pada saat musim kemarau, yaitu saat air

sungai surut dan ikan lebih banyak berkumpul di lubuk.

Ada beberapa cara pembukaan lubuk larang ini, cara yang paling umum dilakukan secara

bersama-sama oleh seluruh masyarakat desa (dusun, anggota) kelompok. Pembukaan lubuk

dilakukan melalui musyawarah pembentukan panitia, serta menentukan waktu dan peralatan yang

perlu disiapkan. Panitia kemudian akan menentukan siapa saja yang bertugas mengambil bahan

untuk menangkap ikan seperti rotan, bambu, daun aren, kayu, dan lain-lain. Pengerjaannya

dilakukan secara bergotong-royong, dengan rata-rata pelaksanaan selama dua hari penuh.

Adakalanya pembukaan sebuah lubuk dilakukan secara borongan kepada pihak lain.

Pemborong biasanya anggota masyarakat atau pihak dari luar desa dan tak jarang pejabat yang

tengah berkunjung ke desa. Untuk sistem borongan seperti ini, biasanya pemborong diberi waktu

tertentu, yaitu 2-7 hari sejak lubuk tersebut dibuka. Tak jarang pemborong menggunakan jasa

penduduk setempat dalam melakukan pemanenan, namun tidak jarang pula sudah mempunyai tim

sendiri yang khusus didatangkan dari luar desa dengan peralatan yang lebih baik jika dibanding

dengan peralatan yang ada di desa.

7
Peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan ditentukan oleh kelompok atau desa,

dengan tujuan tidak merusak atau membunuh seluruh ikan yang ada di tempat tersebut.

Alat yang digunakan pada umumnya berupa peralatan sederhana dan dapat dibuat sendiri oleh

masyarakat setempat seperti jala, jaring atau pukat, panah ikan dengan cara menyelam, lukah, atau

ilau. Tidak diperbolehkan menangkap ikan dengan menggunakan alat setrum, bahan peledak

apalagi dengan cara meracun atau tuba dengan bahan dari tanaman atau potasium yang dapat

merusak serta membinasakan seluruh ikan yang ada di lubuk tersebut sampai ke wilayah lain di

sekitarnya. Alat transportasi yang digunakan berupa perahu dan rakit yang ada di sekitar desa.

Seringkali pembukaan lubuk larang dibarengi dengan kegiatan tertentu, misalnya dengan

menampilkan tari-tarian setempat dan lagu-lagu daerah. Boleh dibilang, kegiatan ini juga dapat

menjadi sebuah pesta atau festival seni yang meriah bagi penduduk desa.

Pengawasan
Karena lubuk larang dibentuk berdasarkan keinginan bersama dan juga kepemilikannya

bersama serta pengerjaannya dilakukan secara bergotong-royong baik laki-laki maupun

perempuan, maka pengawasannya juga dilakukan oleh semua warga. Tidak ada orang khusus

untuk menjaganya, namun semua orang dapat bertindak sebagai pengawas dan melaporkan setiap

pelanggaran yang terjadi kepada pemerintah desa (dusun) atau kelompok pengelolanya.

Di tempat tertentu sudah ada kelompok pengelola khusus untuk lubuk larang ini. Salah satu

tugasnya adalah melakukan pengawasan lebih aktif dibandingkan anggota masyarakat biasa.

Pengawas juga akan menjadi pihak yang sangat berkepentingan untuk menjalankan sanksi jika

terjadi pelanggaran,

8
bahkan sampai kepada proses pengaduan kepada pihak yang berwajib jika dibutuhkan.

Pengawasan lubuk larang juga dikaitkan dengan hal-hal magis dari kegiatan spiritual yang

mereka lakukan saat membentuk atau menutup lubuk larang ini. Ada keyakinan, pembacaan Surat

Yasin sebanyak 40 kali, tahlil dan doa akan membuat takut orang yang akan melanggar karena

akan memperoleh petaka dalam hidupnya, baik secara materi maupun dalam bentuk lainnya

Pengawasan bukan hanya dilakukan terhadap pihak yang bermaksudmencuri ikan dari

lubuk tersebut, tetapi juga dilakukan pada saat pelaksanaan pemanenan ikan. Hal ini berkaitan

dengan peralatan yang akan dipakai untuk penangkapan agar tidak merusak dan membinasakan

seluruh sumberdaya ikan yang ada di dalamnya. Ini sebagai proses seleksi terhadap ikan yang akan

diambil tanpa mengganggu perkembangbiakan ikan di tempat tersebut. Selanjutnya, kelompok ini

juga mengawasi waktu yang diberikan untuk pemanenan agar tidak melewati batas yang sudah

ditentukan. Pada umumnya, waktu pemanenan dibatasi selama 24 jam. Setelah itu, lubuk akan

ditutup kembali.

Bentuk kearifan lokal seperti ini sangat mendukung dalam upaya menjaga kelestarian

sumberdaya ikan di suatu perairan seperti sungai khususnya. Sebagai contoh : pengelolaan lubuk

larang di wilayah Desa Rantel, Balai Jaya, dan Rantau Keloyang Kabupaten Bungo.

Melalui keputusan adat ninik mamak telah menetapkan sebagian wilayah aliran sungai

tersebut sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu.

Akan tetapi masyarakat masih dapat mengambil ikan di wilayah yang tidak ditetapkan sebagai

lubuk larangan.

9
MANFAAT DAN DAMPAK LUBUK LARANGAN

Manfaat Kearifan Lokal Lubuk Larangan Secara Ekologi

Secara ekologi dampak kearifan lokal lubuk larangan adalah mencegah kerusakan

lingkunga sungai, menanggulangi kerusakan sungai dan memulihkan kerusakan lingkungan.

Selanjutnya bahwa Pentingnya penetapan kawasan menurut beberapa ahli berpendapat seperti

(Kelleher dan Kenchington, 192; Jones, 1994; Barr et al, 1997; Salm et al, 2000 dalam

Kamal,E,2010): (1) melindungi habitat kritis, (2) mempertahankan SDI, (3) melindungi garis

pantai, (4) melindungi kawasan-kawasan yang bernilai sejarah, (5) menyediakan lokasi rekrasi dan

parawisata alam, (6) merekolonisasi daerah-daerah yang teeksploitasi, dan (7) mempomosikan

pembangunan kelautan yang berkelanjutan.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pengembangan kawasan konservasi perairan di

Indonesia merupakan kebutuhan yang sangat penting khususnya di wilayah perairan payau dan air

tawar, agar pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan tersebut dapat lestari dan berkelanjutan.

Kegiatan awal dalam rangka pengembangan kawasan konservasi perairan payau dan air tawar ini

adalah dengan melakukan kegiatan identifikasi potensi sumberdaya ikan dan habitatnya,

khususnya di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jambi untuk menggali potensi

dan permasalahan secara umum berdasarkan data dan informasi yang dibutuhkan( Aminev,2008).

Dengan adanya berbagai macam ancaman terhadap ekosistem sungai di atas beserta

adanya ancaman kepunahan, maka terdapat jenis-jenis ikan Kalimantan Barat terutama di perairan

umum yang langka bahkan dapat terancam punah. Kottelat et al. (1993) menjelaskan bahwa

terdapat 29 jenis ikan yang berasal dari Indonesia, yang masuk Daftar Ikan Yang Terancam Punah.

10
Jenis ikan tersebut diantaranya ada yang merupakan spesies endemik antara lain ikan

Botia, semua jenis ikan Tor, beberapa jenis ikan rasbora, dan ikan arwana dan sudah terdaftar

dalam CITES (Convention on International Trade for Endangered Spesies) sebagai ikan yang

dilindungi.

Disamping itu dalam upaya melestarikan sumberdaya hayati perikanan perairan umum

di Kabupaten Bungo, dilakukan penebaran benih ikan lokal di Lubuk Larangan atau perairan yang

dianggap kritis. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bungo telah dilaksanakan Restocking

jenis ikan asli perairan Bungo seperti Ikan Sepat Siam, Betok dan Semah sebanyak 19.000 ekor

dari target 20.000 ekor pada tahun 2009.

Dampak Sosial Lubuk Larangan

Keberadaan lubuk larang di sepanjang Sungai Batang Pelepat memberikan dampak

beragam bagi masyarakat di sekitarnya. Secara sosial, hasil dari pengelolaan lubuk larang dapat

dipergunakan untuk:

Menurut Harfia Suma E,et al,2008, Lubuk larang juga menyimpan kearifan lokal.

Setidaknya terdapat dua nilai penting yang terkait dengannya. Pertama, kemampuan komunitas

setempat untuk mengembangkan konsep penguasaan sumberdaya alam (sungai): semula dipahami

sebagai sumberdaya yang bisa diakses secara bebas oleh siapapun (open access) menjadi

sumberdaya yang dimiliki secara komunal (communally owned resources). Dengan perubahan

konsep tersebut, maka kecenderungan eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam akan

berkurang, sehingga gejala ‘tragedi milik bersama’ (tragedy of the common) dalam pengelolaan

sumberdaya yang bersifat akses terbuka tidak terjadi,

11
khususnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya yang ada di sungai.

Kedua, dengan mengelola lubuk larang masyarakat desa mampu menanam dan

mengembangkan investasi modal sosial (social capital) dalam pengelolaan sumberdaya ‘milik

bersama’. Kemampuan masyarakat dalam menanam dan mengembangkan modal sosial,

sesungguhnya sudah ada sejak lama. Namun, pemerintahan Orde Baru yang bersifat sentralistik,

hegemonik dan otoritarian, telah mengabaikan dan bahkan mematikan potensi-potensi modal

sosial yang tumbuh dari bawah (grass roots). Masyarakat desa di sepanjang Batang Pelepat sampai

batas-batas tertentu mampu menyiasati kondisi yang tidak sehat itu.

12
BAB III
PENUTUP
Upaya pelestarian kearifan lokal lubuk larangan untuk melestarikan kearifan lokal (lubuk
larangan ) perlu dikenalkan dan memberikan pengetahuan kepada generasi muda yang ada di
daerah tersebut. Dengan lestarinya kearifan local lubuk larangan sekaligus dapat menjaga
lingkungan dari kerusakan alam.
Bentuk kearifan lokal seperti ini sangat mendukung dalam upaya menjaga kelestarian
sumberdaya ikan di suatu perairan seperti sungai khususnya. Sebagai contoh : pengelolaan lubuk
larang di wilayah Desa Rantel, Balai Jaya, dan Rantau Keloyang Kabupaten Bungo
.
.

13
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/document/362128124/Makalah-Kearifan-Lokal
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/9357/9022
budibungo.blogspot.com/2011/04/pengelolaan-lubuk-larangan-sebagai.html
putrisimanjuntak12.blogspot.com/2016/10/lubuk-larangan-sebagai-kawasan_16.html
lumbanlaw.blogspot.com/2013/01/kearifan-lokal-masyarakat-hukum-adat.html

You might also like