You are on page 1of 13

DEFINISI

Kanker rektum adalah keganasan yang terjadi pada bagian rektum. Biasanya kanker rektum
secara teori tergabung dengan kanker kolon, tetapi pada materi ini dipisah karena pada
kondisi klinik terdapat pemisahan untuk asuhan keperawatan.

Rektum terdapat pada bagian distal kolon kiri dan menghubungkan kolon dengan
anus. Fungsi utama rektum adalah untuk menyimpan feses dalam persiapan untuk evakuasi.
Seperti kolon, terdapat tiga lapisan pada dinding rektum, yaitu:

1) Mukosa, lapisan pada permukaan dinding rektum


2) Muskularis propria: lapisan tenah dinding rektum terdiri atas otot-otot rektum yang
membantu menjaga bentuk dan mengoordinasi pengeluaran feses
3) Mesorektum: jaringan lemak ini mengelilingi anus.

Selain 3 lapisan ini, komponen penting lain rektum adalah kelenjar getah bening sekita (juga
disebut kelenjar getah bening regional). Kelenjar getah bening adalah bagian dari sistem
kekebalan tubuh dan membantu dalam melakukan pengawasan untuk bahan-bahan berbahaya
(termasuk virus dan bakteri) yang dapat mengancam tubuh. Kelenjar getah bening
mengelilingi setiap organ dalam tubuh, termasuk anus.

American Cancer Society memeperkirankan bahwa pada tahun 2008, lebih dari
148.000 orang telah didiagnosa dengan kanker kolorektal dan bahwa hampir 50.000 orang
akan mati dari kanker kolorektal, jenis yang paling umum dari kanker rektum adalah
adenokarsinoma, merupakan kanker yang timbul dari mukosa. Sel kanker juga dapat
mennyebar dari anus ke kelenjar getah bening dalam perjalanan mereka ke bagian lain dari
tubuh. Menurut WHO (2009), terdapat lebih dari 940.000 kasus baru pada kondisi kanker
kolorektal dan sekitar 50.000 kematian dihubungkan dengan kondisi kanker kolorektal.
Tingkat insiden kanker rektal tertingi terdapat di negara-negara barat Amerika Utara, Eropa
Utara, Australia dan Selandia Baru. Tingkat menengah ditemukan di Eropa Selatan, dan
tingkat terrendah di Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Di Amerika Serikat, kejadian dan
tingkat kematian 35% lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Di negara barat (Eropa,
USA, Australia dan Kanada), laki-laki mempunyai insiden yang lebih besar daripada wanita
kanker rektum; bervariasi dari rasio 8:7 – 9:5

Seperti kanker usus besar, yang prognosis dan pengobatan kanker rektal tergantung
pada seberapa dalam kanker telah menyerang dinding dubur dan sekitar kelenjar getah
bening. Namun meskipun rektum adalah bagian dari usus besar, lokasi rektum di panggul
menimbulkan berbagai masalah keperawatan dan tantangan tambahan dalam melakukan
asuhan keperawatan di bandingkan dengan kanker kolon.
STADIUM

Stadium yang digunakan pada kanker rektum adalah sistem klasifikasi internasional yang
dikenal sebagai TNM (Tumor,Nodus, Metastasis).

Tumor Primer Kelenjar Getah Bening (KGB) Metastasis jauh


(T) Regional (N) (M)

Tx Tumor primer tidak dapat dinilai N0 Menunjukkan tidak ada M0 Tidak ada
Tis Karsinoma in situ, intraepitelial lamina keterlibatan KGB metastasis
propia
T1 Tumor invasi ke submukosa
T2 Tumor invasi ke muskularis propia N1 Menunjukkan keterlibatan 1-3
KGB perirektal
T3 Tumor menginvasi menuju subserosa N2 Menunjukkan keterlibatan >4 M1 Ada
atau jaringan perirektal KGB perirektal metastasis
T4 Tumor menginvasi langsung organ atau N3 Metastasis pada sepanjang nodus jauh
struktur dan/atau perforasi peritoneum limfe
viseral

Penglompokan stadium dan prediksi bertahan hidup

Stadium TNM Stadium Bertahan hidup


T N M Duke setelah 5 tahun
Stadium I T1-2 N0 M0 A >90%
Stadium II A T3 N0 M0 B 60-85%
Stadium II B T4 N0 Mo 60-85%
Stadium III A T1-2 N1 M0 C 55-60%
Stadium III B T3-4 N1 M0 35-42%
Stadium III C T1-4 N2 M0 23-27%
Stadium IV T1-4 N0-2 M1 5-7%
ETIOLOGI

Penyebab kanker rektum atau kolorektal berlum diketahui. Terjadi secara sama pada laki-laki
dan perempuan dan pada semua grup etnis. Sekitar 75% dari kanker rektal berkembang pada
orang yang tidak memiliki faktor risiko tertentu. Sisanya 25% kasus terjadi pada orang
dengan faktor – faktor resiko yang signifikan – paling umum, sejarah keluarga atau pribadi
sejarah kanker kolorektal atau polip, yang hadir dalam 15-20% dari semua kasus. Faktor
risiko penting lainnya adalah kecenderungan genetik tertentu, seperti kanker kolorektal
nonpolyposis turun- temurun (HNPCC; 4-7%dari semua kasus) dan keluarga denomatosa
poliposis (FAP,1%), dan penyakit radang usus 1% dari semua kasus (Giovannucci, 2006).

Kanker ini mungkin berhubungan dengan residu rendah, diet tinggi lemak dan makanan yang
diproses dengan asupan buah dan sayur yang tidak adekuat. Terdapat angka kejadian yang
lebih tinggi di kota, negara industri, dan pada klien obesitas dan dengan gaya hidup pasif.
Dua jenis kanker kolorektal herediter disebabkan mutasi genetik. Mutasi gen ditemukan pada
orang dengan HNPCC (hereditary nonpolyposis colorectal cancer) menunjukkan
kemungkinan predisposisi genetik kanker kolon sebesar 90%, dengan usia onset tipikal pada
40-an. Orang dengan disposisi genetik FAP (familia adenomatous poliposis) juga beresiko
lebih tinggi mengalami kanker kolorektal. Namun, hanya sekitar 5-10% klien dengan kanker
kolorektal memiliki basis herediter. Risiko kanker meningkat tajam dengan umur, dengan
90% kanker kolorektal terjadi setelah usia 50 tahun. Faktor risiko lain adalah riwayat kanker
payudara , ovarium dan endometrium; atau IBD terutama kolitis ulseratif. Fitur Terapi
Komplemen dan Alternatif membahas hubungan antara defisiensi besi dan kanker
gastrointestinal.

Penelitian epidemiologi mengindikasikan makanan menjadi faktor utama


perkembangan kanker pada kolon. Penelitian pada feses dan angka transit materi feses
menunjukkan hasil yang berbeda. Beberapa peneliti mengatakan bahwa produk akhir
metabolik dan bakteri bersifat karsinogenik dan konstipasi menyebabkan kontak yang lebih
lama dengan dinding usus, sehingga meningkatkan risiko terjadinya kanker. Meningkatkan
asupan serat dapat mengurangi pajanan dengan karsinogen dengan mempercepat transit feses
melalui usus. Fitur Terapi Komplemen dan Alternatif membahas penggunaan makanan
rendah lemak dan tinggi serat untuk mengurangi proliferasi mukosa rektal. Penelitian tentang
asupan lemak dan risiko kanker kolorektal juga menunjukkan hasil yang berbeda. Konsumsi
jangka panjang dari daging merah juga diperkirakan meningkatkan risiko kanker kolorektal
pada usus besar distal. Folat, kalsium, magnesium, dan selenium juga dikatakan dapat
mencegah kanker kolon.

Beberapa penelitian telah mengindikasikan bahwa penggunaan rutin aspirin, OAINS,


dan COX-2 inhibitor (celecoxib) mengurangi risiko kanker kolon. Namun studi terbaru juga
menunjukkan hubungan antara obat-obatan ini beserta medikasi kardiovaskular, sehingga
resiko dan keuntungan penggunaan obat0obat tersebut harus dipertimbangkan. Penggunaan
aspirin, OAINS dan COX-2 inhibitor adalah tindakan promosi kesehatan, termasuk asupan
serat, buah, sayur, terutama sayur anisositik, seperti kembang kol, brokoli, brussel sprout¸dan
kubis. Studi terbaru menunjukkan bahwa latihan olahraga rutin memiliki efek protektif
terhadap kanker kolon, tetapi tidak pada kanker rektal.

Aktivitas menjaga kesehatan termasuk skrining tahunan dengan periksa daarah samar pada
feses dam pemeriksaan colok dubur bagi orang yang resiko kanker kolorektal yaitu yang
berusia 50 tahun ke atas. Sigmoidoskopi flleksibel, kolonsokopi, atau barium enema kontras
ganda perlu dilakukan setiap 5-10 tahun pada klien dengan hasil skrining normal dan lebihs
ering pada klien dengan polip yang telah diangkat atau bila keluarga dekat (anak, orang tua,
atau saudara) telah mengalami kanker kolorektal atau polip adenoma sebelum usia 60.

Uji klinis besar sedang dilakukan untuk membandingkan skrining molekuler


berdasarkan tes darah samar pada feses dan kolonoskopi. DNA epitel kolorektal dapat
diekstraksi dari sampel feses untuk membantu mendeteksi sel kanker. Hasil positif
mengindikasikan adanya sel kanker dini atau polip prekanker.

Kolonoskopi virtual adalah teknik baru yang sedang dalam penelitian. Teknik tersebut
menggunakan pencitraan komputer untuk menghasilkan gambar tiga dimensi kolon. Kolon
dipindai setelah usus di isi dengan cairan. Teknik tersebut lebih murah dan lebih tidak invasif
jika dibandingkan dengan kolonoskopi. Namun, tidak dapat dilakukan pengambilan atau
biopsi. Magnetic resonance colonography adalah alternatif kolonoskopi. Teknik ini
mendeteksi massa endoluminal dan lesi serta digunakan untuk skrining klien dengan risiko
tinggi kanker kolon. Namun, dengan kedua teknik ini, jika abnormalitasi dideteksi,
sigmoidoskopi fleksibel atau kolonoskopi tetap harus dilakukan untuk visualisasi lanjut dan
biopsi. Terakhir, kamera pil adalah pil besar yang terpasang kamera kecil yang ditelan oleh
klien. Kamera ini mengambil gambar dinding usus setiap beberapa detik dan paling efektif
mengambil gambar usus halus.

Klien dengan riwayat keluarga atau pribadi dengan kanker kolorektal, polip, IBD,
atau indikator genetik kanker kolorektal harus mulai menjalani skrining kanker kolorektal
pada usia lebih muda dan lebih sering. Merupakan hal penting bagi semua klien untuk
dijelaskan perlunya deteksi dini melaporkan manifestasi klinis seperti perdarahan dari lubang
anus dan perubahan buang air besar kepada tenaga kesehatan.

Kanker Kolorektal Herediter

Saat ini terdapat dua sindrom kanker kolrektal yang dapat dijelaskan dengan baik.

1. Kanker Kolon Nonpoliposis (Hereditarary Nonpoluposis Colon Cancer {HNPCC})


Deskripsi. Kanker kolrektal berhubungan dengan HNPCC secara tipikal terjadi dalam
bentuk lesi kolon tunggal, sebagian besar terjadi pada kolon proksimal (sisi kanan).
Orang mengalaminya juga berisiko mengalami keganasan ekstrakolon seperti
karsinome endometrium, ovarium, lambung, usus halus, pankreas, saluran ginjal atas,
dan saluran hepatobilier. Usia onset rerata adalah 45 tahun. Individu yang mengalami
akan beresiko 80% kanker kolon dan perempuan yang terkena mengalami 20-60%
berisiko kanker endometrium.
Angka kejadian. Sekitar 1-6% kanker kolorektal diprediksi mengalami HNPCC.
Genetik. Pola autosom dominan, setiap anak dari orang tua yang terkena berisiko
50% mewarisi mutasi genetik HNPCC. HNPCC merupakan hasil dari mutasi sel
germinal pada satu dari beberapa perbaikan ketidakcocokan gen DNA (MLH1,
MSH2, MSH6, dan PMS2).
Diagnosis/tes genetik. Tanda utama HNPCC tumor kolorektal adalah ketidakstabilan
mikrosatelit. Adanya MSI pada tumor mungkin menunjukkan mutasi sel germinal. Uji
biasanya diawali dengan tes MSI atau jaringan tumor, diikuti dengan analisis mutasi
dari empat gen jika tumor positif untuk MSI. Mutasi MSH1 dan MLH1 merupakan
90% mutasi yang ditemukan pada famili HNPCC.
Penanganan. Kolonoskopi tahunan direkomendasikan untuk klien dengan bukti
klinis kuat untuk HNPCC atau dengan mutasi sel germinal. Skrining tahunan untuk
keganasan ekstrakolon direkomendasikan, termasuk USG transvaginal dan aspirasi
endometrium untuk pemeriksaan patologis yang dimulai pada usia 30 tahun.
2. POLIP ADENOMATOUS FAMILIAL (FAMILIAL ADENOMATOUS POLYP
{FAP})
Dekripsi. FAP adalah kanker kolon herediter dimana ratusan jika tidak ribuan, polip
kolon prekanker berkembang dari usia 7-36 tahun. Tanpa kolektomi total, risiko
kanker hampir 100%. Manifestasi ekstrakolon adalah polip mukosa lambung dan
duodenum, osteoma, anomali dental, congenital hypertrophy retinal pigment
epithelium (CHRPE), tumor jaringan lunak, tumor desmoid, dan kanker lain yang
berhubungan. Varian lain yang lebih ringan yang disebut sebagai attenuated FAP
telah dijelaskan di mana polip yang lebih sedikit terjadi pada usia lanjut (sekitar 50-55
tahun).
Angka kejadian. Diperkirakan 1% dari semua kanker kolorektal.
Genetik. FAP diturunkan secaran autosom dominan. Sekitar 75-80% klien dengan
FAP memiliki orang tua yang menderita FAP juga. Keturunan orang tua yang
mengalami FAP berisiko 50% mewarisi gen APC yang berubah.
Diagnosa/Tes Genetik. FAP disebabkan mutasi gen APC, tetapi diagnosis secara
primer tergantung pada temuan klinis dengan kolonoskopi. Pemeriksaan gen
molekuler tersedia dan mendeteksi 95% mutasi yang menyebabkan penyakit.
Penanganan. Penanganan termasuk surveilans pada klien yang memiliki mutasi APC
klien dengan risiko tetapi status genetik belum ditentukan. Pengobatan yang
direkomendasikan untuk individu dengan FAP klasik seringnya adalah kolektomi.
FAKTOR PREDISPOSISI

Predisposisi Patogenesis
Usia lebih dari 50 tahun Insidensi usia pasien dengan karsinoma rektal, 90% berusia lebih dari 50
tahun. Hanya 5% dari pasien kurang dari 40 tahun (Brounts, 2009)
Faktor keturunan Risiko relatif kanker rektal berkembang meningkat pada tingkat pertama
keluarga pada pasien yang terkena. Jika tingkat pertama anggota
keluarga yang lebih muda dari 45 tahun pada saat diagnosis,
peningkatan risiko bahkan lebih tinggi (Burt, 996).
Dari pasien dengan kanker kolorektal, 30% telah sinkron lesi, biasanya
adenomatosa polip. Sekitar 40-50% pasien memiliki polip pada tindak
lanjut kolonoskopi. Dari semua pasien yang memiliki polip adenomatosa
ditemukan, 29% dari mereka memiliki polip tambahan yang ditemukan
pada kolonskopi mengulang satu tahun kemudian. Keganasan
berkembang pada 2-5% pasien. Risiko kanker pada orang yang polip
telah dihapus adalah 2,7-7,7 kali dari populasi umum (Lynch, 2003)
Penyakit genetik Familial Adenomatous Polyposis (FAP). FAP adalah warisan dominan
sindrom autosomal yang menyebabkan perkembangan lebih dari 100
polip adenomatosa dan berbagai manifestasi ekstra-kolon. Cacat dalam
gen APC (Adenomatous Polyposis Coli), yang terletak pada kromosom
5 pada lokus Q21. Proses penyakit menyebabkan pembentukan ratusan
polip usus, osteomalaisia, tumor desmeid, dan terkadang tumor otak.
Peningkatan jumlah polip, memberikan predisposisi risiko yang lebih
besar untuk menjadi kanker. Jika tidak diobati, kanker kolorektal
berkembang dihampir 100% dari pasien tersebut pada usia 40 tahun.
Pada jalur herediter, sekitar 20% dari kasus yang ditemukan FAP
disebabkan oelh mutasi spontan (Lipton et al,2004)
Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer (HNPCC). HNPCC adalah
warisan dominan sindrom autosomal yang terjadi karena terdapat cacat
gen dikromosom 2, 3, dan 7. Pasien memiliki jumlah polip yang sama
seperti populasi umum, tetapi polip mereka lebih cenderung untuk
menjadi ganas. Pasien ini juga memiliki insiden yang lebih tinggi untuk
mengalami kanker di endometrium, lambung, tiroid, dan kanker otak
(Lipton et al, 2004)
Diet Diet tinggi lemak dan rendah serat terlibat dalam perkembangan kanker
kolorektal. Secara khusu orang-orang yang menelan makanan tinggi
lemak hewan tak jenuh dan lemak sangat jenuh pada minyak nabati
(misalnya jagung) memiliki insiden yang lebih tinggi mengalami kanker
rektal. Mekanisme bagaiman zat ini terkait dengan oerkembangan
kanker rektal masih tidak diketahui (Potter, 1999)
Lemak jenuh dari produk susu tidak memiliki efek karsinogenik yang
sama seperti lemak hewan, juga minyak yang mengandung asam
Alkohol Konsumsi alokohol lebih dari 30 g sehari telah dikaitkan dengan
peningkatan resiko karsino kolorektal, dengan resiko kanker rektum
lebih besar dari kanker usus besar. Muncul resiko lebih besar dengan bir
dari pada dengan anggur. Secara khusus, Kabat et al menemukan bahwa
konsumsi bir sehari-hari dari 32 ons atau lebih meningkatkan risiko
kanker rektal pada laki – laki (Ferrari, 2007)
Tembakau Merokok, terutama ketika mulai di usia muda, meningkatkan risiko
kanker kolorektal. Kemungkinan mekanisme untuk perkembangan
tumor termasuk perkembangan amina aromatik polycyclic beracun dan
mekanisme angiogenic induksi akibat asap tembakau (Tsoi, 2009)
Kolesistektomi Pasca kolesistektomi, asam empedu mengalir bebas, meningkatkan
eksposur bakteri usus. Pemaparan terus menerus meningkatkan proporsi
karsinogenik produk sampingan asam empedu. Sebuah meta-analisis
oleh Giovanucci et al mengungkapkan suatu peningkatan risiko
karsinoma kolon proksimal pascakolesistektomi. Meskipun sejumlah
besar studi menunjukkan peningkatan risiko kanker kolon proksimal
pada pasien kolesistektomi berikut, data tidak cukup kuat untuk
menjamin peningkatan skrinning pada populasi (Weiser, 2005)
Penyakit infeksi- Risiko kanker meningkat dengan semakin tingginya kondisi durasi
inflamasi usus penyakit. Setelah 10 tahun, kolitis ulserativa memberikan insiden kanker
kolorektal sekitar 1% pertahun. Pasien harus dievaluasi untuk perubahan
displastik melalui kolonoskopi secara reguler.
Displasia ialah pendahulu kanker dan jika ada, risiko kanker adalah 30%
(Baxter, 2007).
Insiden kanker kolorektal pada pasien penyakit Crohn adalah sekitar 4-
20 kali lebih besar daripada populasi umum. Kanker terjadi pada pasien
dengan penyakit yang sekurang-kurangnya 10 tahun lamanya. Usia rata-
rata di diagnosa kanker, 46-55 tahun, lebih muda dari populasi umum.
Kanker sering berkembang didaerah struktur dan de-functionalized
segmen usus. Pada pasien dengan penyakit Crohn perianal, keganasan
sering hadir dalam traktat fistulous. Pasien dengan kolitis Crohn harus
menjalani pengawasan yang sama seperti rejimen dengan %UC (Hassan,
2009)
PATOFISIOLOGI

Lebih dari 95% kanker kolorektal berawal dari polip adenoma (adenomas). Tiga tipe
adenoma adalah tubular, tubulovilius, dan vilus. Jenis terakhir merupakan risiko tertinggi
menjadi kanker. Polip tumbuh dengan lambat, dan sebagian besar butuh waktu 5-10 tahun
atau lebih untuk menjadi ganas. Ketika polip membesar didalam lumen dan memulai
menginvasi dinding usus (Figur 33-10). Tumor pada usus kanan cenderung menjadi tebal dan
besar, serta menyebabkan nekrosis dan ulkus. Tumor pada usus kiri bermula sebagai massa
kecil seperti kancing yang menyebabkan ulkus pada suplai darah. Klien dengan FAP
mengalami ratusan sampai ribuan polip pada kolon pada usia dini dan berisiko hampir 100%
mengalami kanker sebelum usia 40 tahun. Sebagai hasilnya, beberapa memilih untuk
menjalani kolostomi profilaksis sebagai upaya pencegahan.

Kondisi yang signifikan pada perkembangan karsinoma rektal adalah adenokarsinoma.


Adenokarsinoma rektum intramukosal muncul sebagai lesi epitel, biasanya terdapat didalam
suatu adenomatosa polip atau kelenjar. Sekitar 10% dari adenoma akhirnya akan berkembang
menjadi adenokarsinoma. Proses ini mungkin memerlukan waktu hingga 10 tahun
(Giovanucci, 2006).

Adenokarsinoma secara jalur APC (adenomatous polyposis coli) melibatkan beberapa


mutasi genetik, dimulai dengan inaktivasi dari gen APC, yang memungkinkan replikasi
seluler dibawah permukaan dinding. Dengan peningkatan pembelahan sel, terjadi mutasi
lebih lanjut, mengakibatkan aktivasi dari onkogen K-ras pada tahap awal dan mutasi p53
pada tahap-tahap selanjutnya. Kerugian kumulatif ini dalam fungsi gen supresortumor
mencegah apoptosis dan memperpanjang umur sel tanpa batas. Jika mutasi APC diwariskan,
akan berakibat pada sindrom poliposis adenomatosa kekeluargaan (Leggett, 2001).
PATHWAY

Merokok Faktor keturunan Koleksistektomi Kolitis Alkoho Konsumsi


dan penyakit ulserati l makanan rendah
genetik serat, banyak
lemak
Kontak agen
karsinogenik Perubahan metaplasia pada
Polip adenomatosa
dinding kolon

Gangguan konsep diri


Intoleransi Kerusakan jaringan (gambaran diri)
Kanker Rektum
aktivitas vaskular lokal

Anemia Pendarahan intestinal Invasi jaringan dan Kolostomi permanen


Feses bercampur darah efek kompresi oleh
tumor Risiko tinggi
injuri

Kompresi anoreksia Intervensi Penyempitan dan Respon Intervensi


saraf lokal radiasi dan obstruksi lumen psikologi bedah
Asupan nutrisi kemoterapi rektum kolektomi
tidak adekuat
Nyeri Kecemasan preoperatif
dangkal pemenuhan
Ketidak
abdominal Gangguan informasi
seimbangan
nutrsi kurang defekasi
dari
kebutuhan Pascabedah
Nyeri Perubahan intake
Luka pascabedah
nutrisi

Respon Kerusakan jaringan Risiko Port de entree


serabut lokal lunak pascabedah infeksi
a. PENGKAJIAN
Pengkajian kanker rektum terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
evaluasi diagnostik. Pada pengkajian anamnesis didapatkan sesuai dengan kondisi
klinik perkembangan penyakit.
Keluhan utama yang lazim didapatkan adalah kesulitan dalam melakukan
buang aor besar dan perdarahan pada anus. Perdarahan anus dan perubahan dalam
kebiasaan buang air besar atau gejala obstruksi lebih sering terjadi pada rektum
daripada kanker kolon.
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, perawat menanyakan seberapa
parah tingkat kesulitan dari eliminasi feses. Apakah feses masih bisa keluar tetapi
dengan diameterfeses yang sangat kecil, atau keluhan sudah mengalami obstruksi
total. Keluhan obstruksi memberikan keluhan lain pada gangguan, seperti: nyeri dan
ketidaknyamanan abdominal akibat gangguan dalam melakukan defekasi, malaise,
mual, muntah, anoreksia, keluhan ini akan bertambah parah apabila pasien mendapat
intervensi kemoterapi dan radiasi.
Keluhan perdarahan anus terjadi pada sebagian besar pasien kanker rektum.
Keluhan perdarahan dengan darah yang segar dan tidak berhenti dengan istirahat.
Meskipun banyak orang berdarah karena hemoroid (wasir),perwat tetap harus
menanyaan kemungkinan terjadinya perdarahan anus. Perdarahan anus yang
berkepanjangan (mungkin dalam jumlah kecil yang tidak terlihat dalam feses) dapat
mengakibatkan anemia, menyebabkan kelelahan, keluhan urine bercampur darah.
Kondisi ini berhubungan jika tumor menyerang atau menekan kandung kemih atau
prostat.
Adanya masa direktum dapat tumbuh begitu besar sehingga mencegah
pengeluaran.penyumbatan ini dapat menyebabkan perasaan konstipasi berat atau sakit
ketikan akan mengeluarkan BAB. Selain itu, nyeri perut atau kram mungkin terjadi
karena penyumbatan. ukuran feses menjadi lebih kecil atau tampak sempit sehingga
bisa melewati sekitar masa rektal. Pasien kanker rektum mungkin mengeluh sensasi
bawah feses tidak bisa sepenuhnya dievakuasi dengan BAB.
Keluhan nyeri abdomen biasanya selalu berhubungan dengan ketidak
mampuan dalam melakukan defekasi sehinga terjadi distensi otot-otot abdomen.
Keluhan nyeri pada punggung bawah (LBP) bisa didapatkan dan ini biasanya
merupakan tanda akhir yang disebabkan oleh tumor atau penekanan saraf menyerang
spina lumbal.
Keluhan malaise sering terjadi akibat kondisi anoreksia kronis dan ketakutan
pasien untuk makan karena mereka berasumsi bahwa dengan makan akan terbentu
feses, sedangkan untuk melakukan defekasi sangat sulit. Malaise juga berhubungan
dengan peningkatan asupan nutrisi oleh kanker dan penurunan sel darah merah akibat
perdarahan anus.
Keluhan penurunan berat badan tanpa di ketahui penyebabnya sering
didapatkan pada pasien kanker rektum. Kondisi ini terjadi karena kanker dapat
menyebabkan penurunan berat badan secara progresif.
Pengkajian riwayat penyakit dahulu, perawat menanyakan faktor predisposis
b.d kanker rektum, seperti adanya riwayat menderita polip rekti, riwayat pembedahan
kolesistektomi, riwayat penggunaan alkohol, merokok, serta riwayat diet terendah
serah dan tinggi lemak.
Pengkajian riwayat penyakit keluarga merupakan hal yang penting untuk
dilakukan secara seksama. Faktor predisposisi kanker rektum dengan riwayat familiar,
terutama pada generasi terdekat seperti orang tua atau saudara kandung yang memiliki
riwayat kanker atau polip rektum.
Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan, serta
perlunya pemenuhan informasi intervensi keperawatan, pengobatan, dan rencana
pembedahan.
Pemeriksaan fisik, survei umum bisa terlihat sakit ringan, gelisa sampai sangat
lemah. TTV biasa normal atau bisa didapatkan perubahan, seperti takikardi dan
peningkatan pernafasan.
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan perhatian khusus pada ukuran dan lokasi
kanker rektal selain kemungkinan lesi metastasis, termasuk pembesaran kelenjar getah
bening atau hepatomegali. Pada pemeriksaan fisik fokus akan didapatkan hal-hal
sebagai berikut.
Inspeksi : perdarahan pada feses atau perdarahan tungal dari anus. Pada colok
dubur, sarung tangan terlihat adanya darah. Pada kondisi penyebaran
kanker ke anus akan terlihat kondisi upnormal.
Auskultasi :biasanya bising usus normal.
Perkusi :suara timpani abdomen didapatkan pada pasien yang mengalami
kembung.
Palpasi :colok dubur didapatkan adanya penyempitan atau terasa massa pada
lumen rektum.
Pengkajian Diagnostik
1. Pemeriksaan darah rutin.
Pemeriksaan hitung darah lengkap, tes fungsi hati, dan elektrolit.
2. Pemeriksaan endoskopik
Sikmoidoskopi (kaku atau fleksibel) dilakukan untuk mendeteksi adanya massa
pada rektum.
3. Double-Contras Barium Enema
Double-Contras Barium Enema dapat mendeteksi kebanyakan tumor kolorektal
(80-90%, tetapi harus didahului oleh sigmoidoskopi fleksibel).
4. Radiografik
CT-scan dan MRI dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum. MRI memiliki
tingkat keakuratan yang lebih baik daripada CT-scan pada deteksi kanker primer,
tetapi CT-scan lebih murah dan lebih banya tersedia.

Pengkajian Penatalaksanaan Medis

1. Terapi Bedah
Tujuan utama tindak bedah ialah memperlancar saluran cerna, baik bersifat kuratif
maupun nonkuratif. Kemoterapi dan radiasi bersifat paliatif dan tidak memberikan
manfaat kuratif.
Tindak bedah terdiri atas reseksi luar karsinoma primer dan kelenjar limfe
regional. Bila sudah ada metastasis jauh, tumor primer akan di reseksi juga dengan
maksut mencegah obstruksi, perdarahan, anemia, inkontinensial, fistel, dan nyeri .
Pada karsinoma rektum, teknik pembedahan yang dipilih tergantung dari letaknya,
khususnya jarak batas bawah karsinoma dan anus. Sedapat mungkin anus dengan
sfingter eksternal dan sfingter internal akan dipertahankan untuk menghindari
anus preternaturalis.
Bedah kuratif dilakukan bila tidak ditemukan gejala penyebaran lokal maupun
jauh. Pada tumor sekum atau kolon asendens dilakukan hemikolektomi kanan,
kemudian anastonosis ujung ke ujung. Pada tumor difleksura hepatica dilakukan
juga hemikolektomi. Pada tumor kolon transversum dilakukan reseksi kolon
transversum, kemudian anastomosis ujung ke ujung, sedangkan pada tumor kolon
desendens dilakukan hemikolektomi kiri. Pada tumor sigmoid dilakukan reseksi
sigmoid dan pada tumor rektum sepertiga proksimal dilakukan reseksi anterior.
Pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan mempertahankan
sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan amputasi rektum
melalui reseksi abdominoperineal (Wayser, 2005).
2. Terapi Radiasi
Radiasi endocafitary metode radioterapi ini berbeda dari radiasi pancaran
eksternal terapi. Dalam dosis yang lebih besar, radiasi dapat dikirim kewilayah
yang lebih kecil selama periode yang lebih singkat. Kriteria seleksi untuk prosedur
ini dengan prosedur untuk transanal eksisi. Lesi dapat sejauh 10 cm dari anus
hampir dan tidak lebih besar dari 3 cm. Radiasi ini disampaikan melalui
proctoscope khusus dan dilakukan diruang operasi dengan obat penenang
(kapiteijn, 2001).
Ajuva terapi radiasi. Terapi radiasi sebelum operasi memiliki banyak potensi
keuntungan, termasuk menurunkan stadium kanker (kapiteijn, 2001).
3. Ajuva kemoterapi
Pilihan kemoterapi untuk kanker usus besar dan rektum telah sangat berkembang
dalam beberapa tahun terakhir, tetapi kemajuan kemoterapi tetap tidak lengkap
dan toksisitas tetap sunstansial. Kombinasi terapi dengan menggunakan obat-
obatan sebanyak mungkin diperlukan untuk efek maksimal melawan kanker
rektum. Agen kemoterapi karsinoma kolorektal yang dianjurkan adalah 5-
fluorourasil (5-FU) dan telah digunakan dalam hubunganya dengan radiasi
(kombinasi modalitas). Tahap I (T1-2, N0, M0) pasien kanker rektum tidak
memerlukan terapi ajuvan karena angka kesembuhan yang tinggi dengan bedah
reseksi. Pasien dengan kanker rektum (T3-4, N0, M0 atau Tany, N1-2, M0) harus
menerima lemoterapi dan radioterapi primer (NCCN, 2009).

Diagnosis Keperawatan

1. Pemenuhan informasi b.d adanya intervensi kemoterapi, radioterapi, rencana


pembedahan, dan rencana perawatan rumah.
2. Resiko tinggi injury b.d anemia, pasca prosedur pembedahan amputasi rektum dan
kolostomi.
3. Nyeri b.d kerusakan integritas jaringan, respon pembedahan.
4. Gangguan konsep diri (gambaran diri) b.d kolostomi permanen.
5. Intoleransi aktivitas b.d cepat lelah, kelemahan fisik umum sekunder dari anemia.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan yang
kurang adekuat.
7. Resiko infeksi b.d adanya port de entree luka pasca bedah.
8. Kecemasan pasien dan keluarga b.d prognosis penyakit, rencana pembedahan.

Rencana Keperawatan

Rencana keperawatan disusun sesuai dengan tingkat toleransi individu. Untuk


intervensi pemenuhan informasi, nyeri, resiko injury, ketidak seimbangan nutri
kurang dari kebutuhan tubuh, gangguan konsep diri, resiko infeksi, dan kecemasan
dapat disesuaikan dengan intervensi pada pasien kanker kolon. Sementara itu, untuk
intervensi resiko tinggi infeksi dapat disesuiakan dengan intervensi pada pasien
kanker esofagus atau kanker lambung.

Evaluasi

Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sebagai


berikut.

1. Informasi kesehatan terpenuhi.


2. Tidak mengalami injury pasca prosedur bedah reseksi kolon.
3. Nyeri berkurang atau teradaptasi.
4. Intake nutrisi optimal sesua tingkat toleransi individu.
5. Infeksi luka operasi tidak terjadi
6. Kecemasan berkurang.
7. Peningkatan konsep diri atau gambaran diri.
8. Peningkatan aktifitas.

You might also like