You are on page 1of 105

1.1.

Istilah ekologi

I stilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Haeckel pada tahun 1869, seorang
ahli biologi Jerman. Ekologi berasal dari kata oikos dan logos; oikos berarti rumah atau
tempat tinggal dan logos berarti telaah atu studi. Jadi secara harfiah ekologi adalah ilmu
tentang rumah atau tempat makhluk hidup. Menurut Odum (1996), ekologi adalah ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik-balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.

Ekologi adalah bagian kecil yang mempelajari cabang dari ilmu biologi. Biologi murni pada
dasarnya dapat dibagi dua, yaitu pembagian berdasarkan hirearki vertikal dan pembagian
berdasarkan keeratan taksonomi (Odum 1996):
a. Lapisan vertikal, yaitu
Morfologi - tentang bentuk luar
Anatomi - tentang bagian-bagian dalam
Histology - tentang jaringan mikroskopis
Fisiologi - tentang fa’al atau proses kerja
Genetika - tentang sifat keturunan
Ekologi - tentang “rumah” organisme
b. Keeratan taksonomi atau sistematika, yaitu
Mikologi - tentang jamur
Mikrobiologi - tentang jasad renik
Entomologi - tentang serangga
Ornitologi - tentang burung
Botani - tentang tumbuhan

1
1.2. Tingkatan organisasi kehidupan
Makhluk hidup atau organisme memiliki tingkat organisasi yang berkisar dari yang tingkat
paling sederhana sampai ke tingkat organisasi yang paling kompleks. Berdasarkan
pemahaman ekologi tingkatan organisasi ini dinamakan spektrum biologi sebagai berikut
(Resosoedarmo1989):
a. Protoplasma adalah zat hidup dalam sel dan terdiri atas senyawa organik yang
kompleks seperti karbohidrat, lemak, protein dll.
b. Sel adalah satuan dasar suatu organisme dan terdiri atas protoplasma dan inti sel.
c. Jaringan adalah kumpulan sel yang memiliki bentuk dan fungsi yang sama, misal
otot.
d. Organ adalah alat tubuh, merupakan bagian dari suatu organisme yang
mempunyai fungsi tertentu, misal kaki (hewan) daun (tumbuhan).
e. System organ kerjasama antara struktur dan fungsional yang harmonis, misal
sistem pencernaan.
f. Organisme adalah suatu benda hidup, jasad hidup, atau makhluk hidup.
g. Populasi kelompok organisme yang sejenis yang hidup dan berkembang biak pada
suatu daerah tertentu.
h. Komunitas adalah semua populasi dan berbagai jenis yang menempati suatu
daerah tertentu yang saling berintekrasi satu sama lain.
i. Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur
lingkungan yang saling mempengaruhi. Ekosistem pertama kali diperkenalkan oleh
Tansley (1935). Penulis lain dengan menggunakan istilah berbeda dengan maksud
yang sama, Forbs (1887) dengan istilah mikrokosm; Friederich (1930) dengan istilah
Holoceon; Thienemann (1939) dengan istilah Biosistem; Vernadsky (1944) dengan
istilah Bionert body;
j. Biosfer adalah lapisan bumi tempat ekosistem beroperasi.

1.3. Pembagian ekologi


Pembagian ekologi menurut Odum (1996), terdiri atas 3 kelompok yaitu:

2
a. Menurut bidang kajiannya
- Autekologi: ekologi yang mempelajari suatu jenis (spesies) organisme yang
berintekrasi dengan lingkungannya. Misal aspek daur hidup, adaptasi, dll
- Sinekologi: ekologi yang mengkaji berbagai kelompok organisme sebagai
suatu kesatuan yang saling berinteraksi dalam suatu daerah tertentu. Missal:
Ekologi populasi, ekologi jenis, dll
b. Menurut habitat
- Ekologi bahari /kelautan (marine ecology)
- Ekologi perairan tawar (fresh water ecology)
- Ekologi darat (terrestrial ecology)
- Ekologi estuari (estuarian ecology)
- Ekologi padang rumput (grassland ecology)
- Dan lain-lain

c. Menurut taksonomi
- Ekologi tumbuhan (plant ecology)
- Ekologi hewan (zoo ecology)
- Ekologi mikroba
- Dan lain-lain

1.4. Hubungan Ekologi dengan ilmu lainnya


a. Ilmu fisika berperan karena dalam ekologi faktor fisik ikut berperan
b. Ilmu kimia berperan karena dalam ekologi proses kimia ikut berperan
c. Ilmu antariksa berperan karena dalam ekologi dipengaruhi oleh peristiwa alam dan
iklim
d. Ilmu sosial berperan jika masyarakat dilibatkan.

1.5. Ekologi Perairan

3
Ekologi perairan yang dimaksudkan adalah ekologiyang mencakup ekologi laut, perairan
tawar, estuari dan perairan sungai. Ekologi perairan mempelajari komponen abiotik dan
biotik yang saling berinteraksi. Ekologi perairan ini akan dibahas lebih lanjut pada bab-bab
selanjutnya.

4
kosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk dari proses interaksi timbal
E balik antar mahluk hidup dalam suatu komunitas dalam lingkungan abiotiknya
(Resosoedarmo et al. 1989). Menurut Odum (1996) ekosistem atau sistem ekologi
merupakan pertukaran bahan - bahan antara bagian - bagian yang hidup dan yang tak hidup
di dalam sistem. Dalam suatu ekosistem terdapat dua kompomen dasar yang saling
mengetahui, yaitu organisme – organisme yang merupakan komponen biotik dan lingkungan
fisik – kimia sebagai komponen abiotik. Ada berbagai ekosistem yang dapat kita temui di
permukaan bumi, salah satu contohnya adalah ekosistem perairan.
Komponen penyusun ekosistem perairan (Odum 1996) adalah:
A. Abiotik
1. Substansi organik, seperti: karbohidrat, protein, lemak, dll.
2. Substansi an-organik, seperti: Nitrogen, Fosfor, Sulfur, Kalsium, dll.
3. Iklim, seperti suhu dan faktor fisik lainnya.
B. Biotik
4. Produsen, yaitu makhluk hidup yang dapat menghasilkan makanan sendiri
(autotrof) termasuk tanaman hijau dan bakteri kemoshintetik.
5. Konsumen makro, seperti hewan (fagotrof).
6. Konsumen mikro, seperti dekomposer/osmotrof (safrotrof).

Ekosistem perairan merupakan kesatuan menyeluruh antara unsur biotik dan abiotik
perairan yang saling mempengaruhi. Tipe ekosistem perairan dapat dibedakan atas
perbedaan salinitas, yaitu perairan tawar, perairan estuari (payau) dan perairan laut. Khusus
pada ekosistem perairan tawar, berdasarkan tipe alirannya dibedakan menjadi dua yakni
perairan tergenang (lentik) dan perairan mengalir (lotik). Klasifikasi ekologis organisme air
tawar adalah:
5
1. Plankton, merupakan organisme yang hidupnya tidak dapat melawan arus, terdiri
dari fitoplankton (nabati) dan zooplankton (hewani).
2. Perifiton, merupakan organisme yang menempel pada substrat
3. Benthos/benthik organism, merupakan organisme yang hidupnya di dasar
perairan. Berdasarkan cara makannya dibedakan menjadi pemakan penyaring
(seperti kerang) dan pemakan deposit (seperti siput)
4. Nekton, merupakan organisme yang mampu melawan arus.
5. Neuston, merupakan organisme yang hidupnya berasosiasi dengan permukaan
perairan.

6
3.1. Pendahuluan

P
erairan tergenang merupakan salah satu bentuk perairan umum yang masa airnya
tenang sehingga disebut habitat lentik (Odum 1996). Contoh perairan tergenang adalah
danau/situ, kolam, rawa, dll. Karakteristik perairan tergenang adalah:
1) Arus stagnan; arusnya relatif tidak ada/sangat rendah.
2) Tedapat stratifikasi suhu; suhu akan berkurang/semakin rendah dengan
bertambahnya kedalaman.
3) Oksigen, akan berkurang/semakin rendah dengan bertambahnya kedalaman.
4) Dasar perairan umumnya bersubstrat lumpur.
5) Memiliki RT (Residence Time) yang lama.
6) Organisme tidak membutuhkan adaptasi khusus.
Zonasi di perairan tergenang secara horizontal (Gambar 1) adalah:
1) Zona litoral, Zona ini berada di tepi perairan ini umumnya berada di wilayah
perairan dangkal dan memiliki penetrasi cahaya sampai ke dasar. Pada zona ini
terdapat tanaman air.
2) Zona limnetik, merupakan daerah perairan air terbuka sampai kedalaman
penetrasi cahaya yang efektif, atau disebut tingkat kompensasi dimana proses
fotosintesis seimbang dengan proses respirasi.
3) Zona profundal, merupakan bagian dasar air yang tidak tercapai oleh penetrasi
cahaya yang efektif. Pada kolam zona profundal tidak ada.
Zonasi perairan tergenang secara vertikal (Gambar 1) adalah:
1) Zona eufotik; zona dimana penetrasi cahaya matahari masih ada. Pada zona ini
terdapat banyak fitoplankton karena fitoplankton membutuhkan cahaya matahari
untuk melakukan fotosintesis.
7
2) Zona disfotik; zona dimana penetrasi cahaya matahari tidak ada. Pada zona ini
pitoplankton tidak ada.
Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini:

Gambar 1. Zonasi di perairan tergenang


(Sumber: Odum 1996)

Salah satu jenis perairan tergenang adalah situ. Situ merupakan genangan air dipermukaan
bumi yang terbentuk secara alami maupun buatan manusia, sumber airnya terbentuk
melalui siklus hidrologi. Berdasarkan proses bentuknya, situ terbagi menjadi dua bagian,
yaitu situ alami dan situ buatan. Situ alami terbentuk sebagai akibat kegiatan alamiah
seperti bencana alam, kegiatan vulkanik, dan kegiatan tektonik. Situ buatan merupakan
hasil kegiatan manusia dengan maksud – maksud tertentu, misalnya untuk keperluan
pembangkit tenaga listrik, rekreasi, irigasi, dan lain sebagainya.

3.2. Tujuan
Praktikum ekosistem perairan tergenang bertujuan untuk: mengenalkan dan menjelaskan
komponen-komponen penyusun ekosistem perairan tergenang, menjelaskan interaksi dan
8
hubungan timbal balik antara komponen penyusun ekosistem tersebut dan menjelaskan
pengaruh lingkungan terhadap komponen penyusun ekosistem.

3.3. Manfaat
Setelah praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tipe-tipe ekologi perairan
dan parameter kunci di ekosistem perairan tergenang.

3.4. Alat dan Bahan


Alat dan bahan serta fungsinya dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Alat dan bahan pada praktikum ekosistem perairan tergenang
No Alat dan Bahan Fungsi Kebutuhan
A. Pengambilan contoh
1 Secchi disc Mengukur tingkat kecerahan perairan 1 unit/kelompok
2 Transek kuadrat Membatasi lokasi pengambilan contoh 1 unit/kelompok
3 Paralon berskala Mengukur kedalaman perairan dan mengambil contoh 1 unit/kelompok
bentos
4 Termometer Mengukur suhu perairan 1 unit/kelompok
5 Pisau atau cutter Mengerik perifiton yang menempel pada substrat 1 unit/kelompok
seperti kayu, batu, dll yang terdapat di perairan.
6 Plankton net Menyaring Plankton 1 unit/2kelompok
7 Saringan kasar dan halus Memisahkan bentos dari lumpur 1 unit/kelompok

8 Ember Mengambil air 1 unit/kelompok


9 Botol film Menyimpan contoh yang telah diambil (plankton dan 10 unit/kelompok
perifiton)
10 Plastik Menyimpan contoh bentos 10 unit/kelompok
11 Kertas label dan spidol Memberi keterangan (nama) contoh 1 unit/kelompok
permanen
12 Karet gelang Mengikat botol film dan plankton net
13 Kertas pH (pH stik) atau pH Mengukur tingkat keasaman air 1 unit/kelas
meter
14 DO meter Mengukur oksigen 1 unit/kelas
15 Papan jalan Tempat menulis 1 unit/kelompok

9
16 Data sheet Tempat penulisan data/rekap data 1 unit/kelompok
17 Aquades Pelarut 5 l/kelas
18 Formalin Mengawetkan Bentos, ikan dan sejenisnya 5 l/kelas
19 Lugol Mengawetkan plankton dan perifiton 1 l/kelas
B. Analisis data
20 Mikroskop Pengamatan mikro organisme 2 unit/kelompok
21 Gelas obyek & gelas Meletakkan air contoh untuk pengamatan mikroskop 3 pasang/kelompok
penutup
22 Pipet tets Mengambil air contoh dalam skala kecil 2 unit/kelompok
23 Buku identifikasi Untuk mengidentifikasi biota hasil pegamatan 2 unit/kelompok
24 Data sheet Tempat penulisan data/rekap data 1 unit/kelompok
25 Microsoft 2003/2007 Pengolahan data/pembuatan laporan 1 unit/kelompok

3.5. Penentuan Stasiun Pengamatan


Penentuan stasiun pengamatan tergantung kondisi ekosistem yang akan diamati.
Pengambilan contoh perairan tergenang sebagai contoh danau dapat diambil pada bagian
inlet, outlet, daerah tutupan (kanopi) dll. Pengambilan contoh dilakukan pada stasiun
pengamatan di sepanjang tepi situ/danau dan juga di tengah-tengah. Masing-masing stasiun
utama dibagi menjadi tiga substasiun dengan arah vertikal atau diagonal. Zona setiap
2
substasiun dibatasi dengan transek kuadrat 1 m . Berdasarkan pertimbangan dan prinsip
keterwakilan ekologis, maka sebaiknya stasiun pengamatan memperhatikan hal berikut:
1. Adanya aliran air (inlet-outlet).
2. Ada tidaknya pemukiman.
3. Adanya kegiatan pertanian di sekitar situ.
4. Ada strata kedalaman perairan.
Untuk itu ilustrasi penentuan titik pengambilan contoh di danau/situ dapat dilihat pada
Gambar 2 berikut ini:

10
Inlet
I
n
l
e
Keterangan: t
Stasiun
Substasiun

Gambar 2.Penentuan titik pengambilan contoh di perairan tergenang/situ.


outl
et
3.6. Penentuan Parameter Fisika
3.6.1. Warna Perairan
Warna Perairan diamati secara langsung dengan pengamatan visual (warna tampak).

3.6.2. Tipe Substrat


Tipe substrat dapat diketahui dengan mengambil contoh substrat dasar perairan dan
ditentukan secara visual. Namun demikian analisis lanjutan untuk substrat dapat dilakukan
dengan analisis fraksi substrat di laboratorium dengan menggunakan alat bantu segitiga
miller.

3.6.3. Suhu Perairan


Suhu perairan diukur menggunakan termometer lapang yang dicelupkan ke dalam perairan,
untuk keperluan lain dapat juga mengguankan SCT meter. Cara memperolehsuhu,
termometer lapang dicelupkan minimal 30 detik di dalam air kemudian dilihat skala yang

11
terdapat pada termometer lapang dengan cara mata setara dengan air (sejajar dengan air
dimana skala termometer terlihat). Pengukuran suhu dilakukan sebanyak tiga kali ulangan
dalam 1 sub stasiun yang diukur secara diagonal.

3.6.4. Kecerahan Perairan


Kecerahan perairan diukur dengan menggunakan secchi disc yang dimasukan ke dalam
perairan secara perlahan, diamati kedalaman saat secchi disctepat menghilang (D1) dan
setelah ditenggelamkan sedikit kemudian secchi discdiangkat sampai terlihat kembali (D2).
Pengukuran kecerahan perairan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dalam sub stasiun yang
diukur secara diagonal.

3.6.5. Kedalaman Perairan


Kedalaman perairan diukur dengan paralon/papan bersekala, kedalaman perairan diukur
pada saat paralon menyentuh permukaan substrat. Pengukuran ini dilakukan tiga kali
ulangan pada tiga titik yang berbeda dalam 1 sub stasiun yang diukur secara diagonal.

3.7. Penentuan/pengambilan Parameter Kimia


Parameter kimia yang diukur adalah derajat keasaman (pH) dan oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen/DO). Alat untuk mengukur pH adalah dengan menggunakan kertas indikator pH yang
dicelupkan ke dalam air, kemudian biarkan beberapa saat dan selanjutnya cocokkan dengan
indikator warna yang terdapat pada pH indikator.

Alat untuk mengukur oksigen terlarut adalah dengan DO meter. Cara pengukuran oksigen
terlarut dengan DO meter adalah alat tersebut dihidupkan (tekan tombol on pada alat)
kemudian masukkan probe ke dalam air (titik yang akan diukur), biarkan beberapa saat
sampai pada layar alat DO meter terlihat angka yang cendrung stabil (kira-kira 30 detik),
kemudian catat hasilnya pada data sheet. Cara lain untuk mengukur oksigen terlarut adalah
dengan cara metode winkler (pengukuran oksigen dengan menggunakan bahan kimia).

12
3.8. Pengambilan Contoh Parameter Biologi
3.8.1. Plankton
Pengambilan contoh plankton dilakukan dengan menggunakan plankton net. Botol film
diikatkan pada ujung plankton net. Sebanyak 100 liter air diambil pada tiap-tiap sub stasiun
untuk dituangkan ke dalam plankton net. Contoh plankton yang diperoleh tersaring dalam
botol film dan diawetkan dengan larutan lugol.

Pengamatan dan analisa dilakukan di laboratorium menggunakan mikroskop dengan


pembesaran 10 x 10 dan atau 4x10. Air contoh diteteskan pada gelas objek menggunakan
pipet dan ditutupi gelas penutup. Pengamatan dilakukan pada lima lapang pandang
sebanyak tiga kali ulangan. Hasil pengamatan digambar dan diidentifikasi serta dicatat dalam
tabel.

3.8.2. Perifiton
Contohperifiton diperoleh dengan melakukan pengerikan pada permukaan substrat keras
berupa batang kayu atau batu yang ditemukan pada tiap substasiun. Bidang pengerikan
2
seluas4 cm (2 cm x 2 cm) dengan menggunakan cutter dan dimasukan dalam botol film
kemudian diencerkan dengan aquades sampai botol film penuh. Air contohperifiton yang
diperoleh diidentifikasi di laboratorium menggunakan mikroskop dengan pembesaran 10 x
10 dan atau 4 x 10. Contoh diteteskan di gelas objek dan ditutupi gelas penutup.
Pengamatan dilakukan pada lima lapang pandang dengan tiga kali ulangan. Hasil identifikasi
dicatat dalam tabel.

3.8.3. Bentos
Pengambilan contoh bentos dilakukan dengan memasukkan paralon ke dasar perairan.
Paralon dimasukkan ke dasar perairan secara tegak lurus. Mulut paralon pada bagian atas
ditutup dengan tangan lalu diangkat. Substrat yang terambil disaring untuk memisahkan

13
bentos dari substratnya. Organisme yang diperoleh dimasukkan dalam plastik transparan
dan diawetkan dengan formalin 4%, apabila biota bentos yang diperoleh berukuran besar
dapat digunakan formalin 10 %. Pengambilan contoh dilakukan pada setiap substasiun
dengan tiga kali ulangan. Contohbentos tersebut diamati dan dianalisa di laboratorium. Alat
khusus untuk mengambil bentos adalah ekman grab.

3.8.4 Neuston
Pengambilan contoh dilakukan dengan cara menangkap organisme yang ada dipermukaan
air, kemudian dimasukan ke dalam plastik transparan dan diawetkan dengan formalin 4 %
untuk diidentifikasi di laboratorium.

3.8.5. Nekton
Contoh nekton diambil dengan cara mencari dan menangkap organisme yang hidup di dalam
kolam air, kemudian dimasukkan ke dalam plastik transparan dan diawetkan dengan
formalin 4%, kemudian diidentifikasi di laboratorium. Selain itu, untuk mengetahui jenis-
jenis biota nekton juga dapat dilakukan wawancara terhadap penduduk/masyarakat di
sekitar lokasi danau/situ.

3.8.6. Tumbuhan Air


Tumbuhan air yang diperoleh dimasukkan ke dalam plastik untuk diidentifikasi di
laboratorium.

3.9. Analisa Data


3.9.1. Kecerahan
Kecerahan perairan di hitung dengan menggunakan rumus :

D1  D2
K
2
Keterangan:
K = Kecerahan (m)

14
D1 = Kedalaman pada saat secchi disc tepat menghilang (m)
D2 = Kedalaman pada saat secchi disc tepat terlihat kembali (m)

3.9.2. Kelimpahan Plankton


Kelimpahan plankton menggambarkan besarnya populasi jenis plankton tertentu dalam
suatu satuan volume. Kelimpahan plankton dihitung dengan rumus :

Uoi Vr 1 n
Ni  x x x
Op UVo Vs Up
Keterangan:
Ni = Kelimpahan plankton jenis i (ind/l)
Oi = Luas gelas penutup (mm2) = 324mm2
Op = Luas lapang pandang (mm2)=1,306mm2
Vr = Volume botol contoh (ml)=30ml
Vo = Volume satu tetes air contoh (ml)=0,05 ml
Vs = Volume air yang disaring pada plankton net (L) = 100L
n = Jumlah planktonjenis i yang tercacah
p = Jumlah lapang pandang = 5
U = ulangan = 3 x

3.9.3. Kepadatan Perifiton


Kepadatan perifiton menggambarkan besarnya populasi jenis mikrobiota yang menempel
pada substrat tertentu dalam suatu satuan luas. Kepadatan Perifiton dihitung dengan
menggunakan rumus :

Uoi Vr 1 n
Ni  x x x
Op UVo A Up
Keterangan:
Ni = Kepadatan perifiton jenis i (ind/cm2)
Oi = Luas gelas penutup (mm2) = 324mm2

15
Op = Luas lapang pandang (mm2)=1,306mm2
Vr = Volume botol contoh (ml)=30ml
Vo = Volume satu tetes air contoh (ml)=0,05 ml
A = Luas bidang kerikan (cm2)=2 cm x 2 cm
n = Jumlah perifiton jenis i yang tercacah
p = Jumlah lapang pandang = 5
U = ulangan = 3x

3.9.4. Kepadatan Bentos


Kepadatan bentos merupakan gambaran dari jumlah bentos jenis tertentu dalam suatu
satuan luas. Untuk menghitung kepadatan bentos digunakan rumus :

X   / 3m
Keterangan:
X = Kepadatan bentos (ind/m2)
µ = Jumlah bentos jenis i (ind)
m = Luas permukaan mulut alat (m2)

3.10. Interpretasi Data


Setelah data-data tersebut dianalisis dan diolah dalam bentuk grafik, tabel, dan bentuk
lainnya maka diinterpretasikan/dijelaskan maksud dari data tersebut.

3.11. Output
Setelah melakukan pengamatan dan penelitian diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
komponen penyusun ekosistem perairan tergenang/situ/danau. Selain itu mahasiswa dapat
menjelaskan bentuk-bentuk hubungan yang mungkin terjadi mulai dari produsen (plankton),
konsumen (dari bentos sampai ikan). Setelah itu mahasiswa mengetahui potensi ekologi
perairan tergenang untuk kegiatan budidaya perairan.

16
4.1. Pendahuluan
kosistem perairan mengalir merupakan perairan terbuka yang dicirikan dengan adanya
E arus dan perbedaan gradien lingkungan serta interaksi antara faktor biotik dan abiotik
(Sutrisno 1991). Salah satu bentuk dari perairan mengalir adalah sungai. Sungai adalah
suatu perairan terbuka, memiliki arus, adanya perbedaan gradien lingkungan, serta masih
dipengaruhioleh daratan.

Perairan sungai merupakan salah satu tipe perairan yang mengalami perubahan yang sangat
relatif cepat. Perubahan tersebut sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang membuat fungsi ekologi sungai terlupakan dan diganti dengan fungsi sebagai tempat
pembuangan limbah-limbah, baik itu yang berasal dari rumah tangga, industri, maupun
pertanian. Limbah-limbah tersebut dapat menyebabkan terjadinya pencemaran yang pada
akhirnya akan memperpendek kualitas perairan tersebut sehingga terjadi perubahan pada
komunitas penghuni perairan, antara lain dengan menghilangnya suatu jenis organisme asli,
perubahan komposisi atau munculnya organisme jenis lain yang lebih tahan terhadap kondisi
lingkungan yang baru (Whitton 1975).

Menyadari pentingnya fungsi dari sungai dan juga untuk mempertahankan keanekaragaman
hayati yang ada di sungai tersebut, maka sudah seharusnya dilakukan pengelolaan dan
pemanfaatan sungai yang baik dan benar agar kualitas dan kuantitasnya tetap terpelihara.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengamatan dan pengkajian terhadap parameter
komponen-komponen penyusun sungai didalamnya serta hubungan dengan komunitas,
sehingga terjadinya sistem homeostatis di perairan tersebut dan tidak terjadinya perubahan
fungsi ekologis dari sungai tersebut.

17
The four dimensions of a lotic system

Gambar 3. Dimensi sungai/Lotic system


(Sumber:www.eoearth.org/article/River)

Pada perairan sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh dan tidak
terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan lentik. Sungai dicirikan oleh
arus yang searah dan relatif kencang, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola
aliran air. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena yang umum terjadi
di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi oleh ketiga
variabel tersebut (Effendi 2003).
Menurut Real (1961) dalam Luvi (2000), sungai dibedakan menjadi tiga
berdasarkan kontinyuitas alirannya, antara lain :
1. Permanent Streams
Merupakan sungai yang menerima sumber air utama melalui rembesan air dalam tanah
dan aliran mata air yang berasal dari bawah permukaan.
2. Intermittent Streams

18
Merupakan sungai yang menerima sumber air utama berasal dari aliran permukaan
tanah, karena aliran ini bersifat musiman maka aliran sungai ini biasanya terjadi pada
musim hujan.
3. Interrupted Streams
Merupakan sungai yang mengalir bergantian diatas dan dibawah permukaan.

Ekosistem perairan mengalir berbeda dengan ekosistem perairan tergenang dan mangrove.
Hal ini terlihat jelas dari keberadaan aliran arus (dengan adanya luas penampang yang kecil
dan kedalaman yang rendah sehingga menyebabkan air yang mengalir cukup besar),
pertukaran air dengan tanah relatif lebih ektensif pada aliran air, yang menghasilkan
ekosistem yang lebih terbuka dan metabolisme ekosistem tipe heterotrofik, dan tekanan
oksigen yang lebih merata dalam aliran air (Odum 1996), memiliki resident timerelatif cepat
(waktu tinggal arus yang cepat), organisme memiliki adaptasi yang khusus terhadap aliran
searah, substrat umumnya berupa batu, kerikil, pasir, dan lumpur, hampir tidak terdapat
stratifikasi suhu dan oksigen, rentan terhadap pencemaran, namun menghilangkan
pencemaran dengan cepat.

Pada perairan tergenang (lentik) pada habitatnya terdapat plankton lebih banyak karena
arus yang hampir tidak ada sehingga cocok dijadikan tempat hidup plankton, neuston dan
juga nekton, memiliki residence time yang lama, organismenya tidak terlalu membutuhkan
adaptasi khusus, terdapat stratifikasi suhu, substrat yang terdapat pada perairan tergenang
umumnya berupa lumpur halus.

Pada ekosistem perairan mangrove atau payau, organisme yang dapat hidup adalah
organisme yang mampu beradaptasi dengan salinitas yang cukup tinggi karena merupakan
daerah peralihan ekosistem laut dan tawar, substrat umumnya berupa lumpur, lempung,
pasir atau kombinasi dari ketiganya, perairannya bersalinitas payau atau asin, memiliki
adaptasi khusus terhadap substrat (Fardiaz 1992).

19
Penzonasian pada ekosistem mengalir dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan gradien dan
aliran air (Odum 1996):
1. Berdasarkan gradien lingkungan
Pembagian berdasarkan gradien dibagi lagi menjadi dua, yaitu hulu dan hilir, dengan
ciri-ciri sebagai berikut:
a. Hulu
Hulu mempunyai ciri-ciri daerah yang sempit, perairannya dangkal, terdapat di
dataran tinggi dengan kadar oksigen tinggi. Kepadatan organismenya rendah
serta mempunyai arus yang cepat.
b. Hilir
Hilir mempunyai ciri-ciri daerah yang lebar, perairan dalam, terdapat didataran
rendah, kadar oksigen rendah, kepadatan organisme tinggi, arusnya lambat.

Elevasi

A
Dataran Tinggi

Dataran rendah

Daerah Erosi Daerah deposisi

Hulu Tengah Hilir

- hutan - Kebun - pertanian


- tambang - pertanian - pemukiman
- kebun - pemukiman - industri

20
Gambar 4. Zonasi perairan tergenang berdasarkan gradient (topgrafi) lingkungan
(Sumber: Odum 1996)

2. Berdasarkan aliran air


Pembagian berdasarkan aliran air dibedakan lagi menjadi dua, yaitu zona aliran cepat
dan zona aliran lambat. Kedua zona tersebut memiliki ciri khas masing-masing,
diantaranya:
a. Zona aliran cepat
Ciri-ciri zona aliran cepat yaitu: adanya arus yang tinggi sehingga mencegah
terjadinya akumulasi lumpur dan partikel-partikel lainnya, terdapat pada
daerah dangkal.
b. Zona aliran lambat
Ciri-cirinya zona aliran lambat yaitu: adanya arus yang lambat sehingga banyak
terdapat endapan lumpur dan partikel-partikel lainnya, terdapat pada daerah
yang memiliki kedalaman yang cukup tinggi.

21
Gambar 5. Zonasi berdasarkan aliran air dan posisi sedimen
(Sumber:www.usd.edu/esci/figures/158401.JPG)

Menurut Le Cren (1972) dalam Luvi (2000), sungai memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
1. Untuk pelayaran dan transportasi
2. Untuk mencegah banjir dengan cara pembuatan bendungan
3. Energi aliran sungai dapat digunakan untuk pembangkit tenaga listrik
4. Aliran sungai sebagai kebutuhan domestik, seperti mencuci, minum, kebutuhan
industri, proses pendinginan dan irigasi pertanian
5. Air sungai dimanfaatkan untuk kesehatan
6. Sebagai pusat rekreasi dan olahraga
7. Sebagai batas wilayah serangga polit

22
8. Sebagai tempat penampungan air yang membawa bahan-bahan organik sepanjang
daerah aliran sungai
9. Sebagai tempat habitat dari mahluk hidup, diantaranya ikan

Komponen hayati yang terdapat pada perairan mempunyai pola adaptasi yang disesuaikan
dengan kecepatan arus. Organisme perairan mengalir mempunyai organ tertentu untuk
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dengan organ tertentu, organisme bisa
bertahan dan menyesuaikan diri untuk kelangsungan hidupnya. Beberapa adaptasi
organisme air deras yang penting (Odum 1996) adalah:
1) Melekat permanen pada substrat yang kokoh dan mempunyai serabut yang panjang.
2) Memiliki alat pengait dan penghisap untuk berpegangan pada permukaan yang
tampaknya halus, pelindung atau penangkap makanan.
3) Permukaan bawah yang lengket sehingga dapat menempelkan diri pada permukaan
substrat.
4) Rheophilik, yaitu organisme yang menyukai arus
5) Bentuk tubuh yang streamline untuk mempermudah gerakan di perairan mengalir
6) Thigmotaxis positif,
7) Bentuk tubuh yang pipih.

4.2. Tujuan
Praktikum ekosistem perairan tergenang bertujuan untuk: mengenalkan dan menjelaskan
komponen-komponen penyusun ekosistem perairan mengalir, menjelaskan interaksi dan
hubungan timbal balik antara komponen penyusun ekosistem tersebut dan menjelaskan
pengaruh lingkungan terhadap komponen penyusun ekosistem.

4.3. Manfaat
Setelah praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tipe-tipe ekologi perairan
dan paramameter kunci di ekosistem perairan mengalir.

23
4.4. Alat dan Bahan
Alat dan bahan serta fungsinya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Alat dan bahan pada praktikum ekosistem perairan mengalir
No Alat dan Bahan Fungsi Kebutuhan
A. Pengambilan contoh
1 Secchi disc Mengukur tingkat kecerahan perairan 1 unit/kelompok
2 Transek kuadrat Membatasi lokasi pengambilan contoh 1 unit/kelompok
3 Paralon berskala Mengukur kedalaman perairan 1 unit/kelompok
4 Termometer Mengukur suhu perairan 1 unit/kelompok
5 Pisau atau cutter Mengerik perifiton yang menempel pada 1 unit/kelompok
substrat seperti kayu, batu, dll yang
terdapat di perairan.
6 Plankton net Menyaring Plankton 1 unit/2kelompok
7 Saringan kasar dan Memisahkan bentos dari lumpur 1 unit/kelompok
halus
8 Ember Mengambil air 1 unit/kelompok
9 Botol film Menyimpan contoh yang telah diambil 10 unit/kelompok
(plankton dan perifiton)
10 Plastik kiloan Menyimpan contoh bentos 10 unit/kelompok
11 Kertas label dan Memberi keterangan (nama) contoh 1 paket/kelompok
spidol permanen
12 Karet gelang Mengikat botol film dan plankton net 5 unit/kelompok
13 Kertas pH (pH stik) Mengukur tingkat keasaman air 1 paket/kelas
atau pH meter
14 DO meter Mengukur oksigen 1 unit/kelompok
15 Bola pingpong dan Untuk menghitung kecepatan arus 1 unit/kelompok
tali kasur
16 Tali tambang Untuk mengukur lebar sungai dan lebar <40 m/kelompok
badan sungai
17 Surber Untuk mengambil contoh bentos 1 unit/2 kelompok
18 Papan jalan Tempat menulis 1 unit/kelompok

24
19 Data sheet Tempat penulisan data/rekap data 1 unit/kelompok
20 Aquades Pelarut/pengencer 5 l/kelas
21 Formalin Mengawetkan Bentos 5 l/kelas
22 Lugol Mengawetkan plankton dan perifiton 2 l/kelas
B. Analisis data
23 Mikroskop Pengamatan mikrorganisme 2 unit/kelompok
24 Gelas obyek & gelas Meletakkan air contoh untuk 3 pasang/kelompok
pentup pengamatan mikroskop
25 Pipet tetes Untuk mengambil air contoh dari botol 2 unit/kelompok
film
26 Data sheet Tempat penulisan data/rekap data 1 unit/kelompok
27 Buku identifikasi Untuk mengidentifikasi biota hasil 2 unit/kelompok
pegamatan
28 Microsoft 2003/2007 Pengolahan data/pembuatan laporan 1 unit/kelompok

4.5. Penentuan stasiun pengamatan


Setiap kelompok mempunyai stasiun pengamatan yang telah ditentukan. Stasiun utama
setiap kelompok menentukan tiga substasiun dengan alat transek kuadrat yang berukuran
1m² (1 m x 1 m). Pada tiap stasiun tersebut kita bagi menjadi 3 substasiun, dimana
substasiun 1 berada pada tepi sungai, sedangkan substasiun 2 berada pada tengah sungai,
dan substasiun 3 berada pada ujung tepi sungai dari tempat praktikan berdiri. Ilustrasi
pengambilan contoh di perairan mengalir dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini:

25
LBS

LS

Penampang melintang:

Keterangan:
Stasiun
Substasiun

LBS : Lebar Badan Sungai Penampang Membujur


LS : Lebar Sungai

Gambar 6. Penentuan titik pengambilan contoh di perairan mengalir/sungai

4.6. Penentuan Parameter Fisika


4.6.1. Warna Perairan
Warna perairan ditentukan dengan cara visual dan dilakukan sebelum praktikan bekerja
dan turun ke air. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui warna asli perairan sebelum
dilakukan pengamatan.

4.6.2. Kecerahan
Kecerahan perairan diukur dengan menggunakan secchi disc yang dimasukan ke dalam
perairan secara perlahan, diamati kedalaman saat secchi disctepat menghilang (D1) dan

26
setelah ditenggelamkan sedikit kemudian secchi discdiangkat sampai terlihat kembali (D2).
Pengukuran kecerahan perairan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dalam 1 sub stasiun.

4.6.3. Suhu
Untuk mengetahui suhu perairan dilakukan dengan menggunakan termometer lapangan.
Caranya yaitu dengan mencelupkan termometer secara perlahan ke dalam air, dengan
memegang tali yang diikatkan pada termometer agar suhu tubuh praktikan tidak
mempengaruhi suhu yang ada pada termometer, kemudian dilihat skala suhunya setelah
dicelupkan ke dalam air selama kira-kira 30 detik. Pengukuran suhu dilakukan sebanyak tiga
kali ulangan di tiap SS secara diagonal agar mewakili suhu tiap-tiap substasiun.

4.6.4. Kedalaman
Pengukuran kedalaman dilakukan dengan paralon berskala. Paralon berskala ini dimasukkan
ke dalam perairan dengan posisi tegak sampai menyentuh dasar perairan. Batas yang
ditunjukkan pada paralon adalah kedalaman dari perairan tersebut. Pengukuran dilakukan
sebanyak tiga kali ulangan pada setiap substasiun.

4.6.5. Tipe Substrat


Untuk menentukan tipe substrat dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan memasukkan
tangan atau benda yang dapat memastikan substrat di dalam peraira.Kemudian disentuh
dan diambil sedikit substrat pada tiap-tiap substasiun untuk diamati secara visual.

4.6.6. Kecepatan Arus


Kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan bola pingpong yang ditaruh di permukaan
sungai sejalan arah arus, di sampingnya telah diletakkan pipa yang bertujuan untuk
mengukur jarak yang ditempuh bola pingpong dengan menghitung waktu yang diperlukan
oleh bola pingpong untuk sampai pada ujung pipa lainnya dengan menggunakan stopwatch.

4.6.7. Lebar Sungai dan Lebar Badan Sungai

27
Pengukuran lebar sungai dan lebar badan sungai dilakukan pengukuran dari ujung sisi yang
satu ke ujung sisi yang lainnya, biasanya lebar badan sungai lebih lebar dari lebar sungai,
lebar badan sungai diukur dari ujung sisi sungai hingga ke ujung lainnya, sedangkan lebar
sungai diukur dari ujung sisi sungai yang masih terdapat air hingga ujung sisi lainnya yang
masih terdapat air.

4.7. Penetuan Parameter Kimia


Parameter kimia yang diukur adalah derajat keasaman (pH) dan oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen/DO). Alat untuk mengukur pH adalah dengan menggunakan kertas indikator pH yang
dicelupkan ke dalam air, kemudian biarkan beberapa saat dan selanjutnya cocokkan dengan
indikator warna yang terdapat pada pH indikator.
Alat untuk mengukur oksigen terlarut adalah dengan DO meter. Cara pengukuran oksigen
terlarut dengan DO meter adalah alat tersebut dihidupkan (tekan tombol on pada alat)
kemudian masukkan probe ke dalam air (titik yang akan diukur), biarkan beberapa saat
sampai pada layar alat DO meter terlihat angka yang cendrung stabil (kira-kira 30 detik),
kemudian catat hasilnya pada data sheet. Cara lain untuk mengukur oksigen terlarut adalah
dengan cara metode winkler (pengukuran oksigen dengan menggunakan bahan kimia).

4.8. Pengambilan Parameter Biologi


4.8.1. Plankton
Contoh plankton diambil dengan cara menyaring air lapisan permukaan sebanyak 100 liter
dengan menggunakan ember yang memiliki volume 10 liter. Contoh tersebut di saring
menggunakan plankton net dengan ukuran 45μm, air contoh yang tersaring dimasukkan ke
dalam botol contoh bervolume 30 ml dan diawetkan menggunakan pengawet lugol
sebanyak 3-5 tetes.

4.8.2. Perifiton

28
Perifiton diambil dengan mengerik substrat berukuran 2 cm x2 cm yang telah kita dapatkan
yang berupa kayu-kayu ataupun bebatuan. Hasil pengerikan tersebut kita sediakan dalam
kaca preparat untuk kita amati dengan mikroskop.

4.8.3. Bentos
Pengambilan bentos dilakukan dengan menggunakan surber yang diletakkan di dasar sungai,
dasar perairan diaduk dahulu. Surber diserok ke dasar perairan agar substrat dapat terambil,
kemudian dipisahkan bentosnya dan dimasukkan ke dalam plastik.

4.8.4. Neuston
Pengambilan contoh neuston dilakukan dengan cara menangkapnya secara langsung baik
dengan saringan ataupun secara manual.

4.8.5. Nekton
Pengambilan contoh nekton dilakukan dengan cara menangkapnya secara langsung dengan
menggunakan saringan kemudian masukkan ke dalam plastik yang ditambahkan dengan
aquades.

4.8.6. Tumbuhan Air


Pengambilan contoh tumbuhan air dilakukan dengan cara mengambilnya secara langsung
dan memasukkannya ke dalam plastik.

4.9. Analisis Data


4.9.1. Kecerahan

D1  D2
Kecerahan (m) =
2
Keterangan :
29
D1 = Kedalaman pada saat secchi disk tepat menghilang (m)
D2 = Kedalaman pada saat secchi disk tepat terlihat kembali (m)

4.9.2. Kelimpahan Plankton


Banyaknya plankton yang terdapat dalam 1 liter air.

Uoi Vr 1 n
Ni  x x x
Op UVo Vs Up
Keterangan :
Ni : Kelimpahan plankton jenis i (ind/l)
Oi : Luas gelas penutup (mm2) = 324 mm2
Op : Luas penampang pandang (mm2) = 1,306 mm2
Vr : Volume botol contoh (ml) = 30ml
Vo : Volume 1 tetes air contoh (ml) = 0,05 ml
Vs : Volume air yang disaring pada plankton net (100 l)
n : Jumlah plankton jenis i yang tercacah
P : Jumlah lapang pandang (5)
U : Ulangan (3 kali)

4.9.3. Kepadatan Perifiton


2
Banyaknya perifiton yang terdapat dalam cm .

Uoi Vr 1 n
Ni  x x x
Op UVo A Up
Keterangan :
Ni : Kepadatan perifiton jenis i (ind/cm2)
Oi : Luas gelas penutup (mm2) = 324 mm2
Op : Luas penampang pandang (mm2) = 1,306 mm2
Vr : Volume botol contoh (ml) = 30ml
Vo : Volume 1 tetes air contoh (ml) = 0,05 ml
A : Luas kerikan = 4 cm2
n : Jumlah perifiton yang tercacah
P : Jumlah lapang pandang (5)
30
U : Ulangan (3)

4.9.4. Kepadatan Bentos


2
Banyaknya jumlah bentos yang terdapat per satuan luas (m )

X  n / m
Keterangan :
X : Kepadatan bentos (Ind/m2)
n : Jumlah individu per satuan alat
µ : Luas bukaan mulut alat (m2)
m : ulangan

4.9.5. Kecepatan Arus


Perbandingan antara jarak arus yang mengalir per satuan waktu.

V  S /t
Keterangan :
V : Kecepatan arus (m/s)
S : Jarak yang ditempuh bola pingpong (m)
t : Waktu yang ditempuh bola pingpong (s)

4.9.6. Debit Air


Perbandingan antara banyaknya volume air yang mengalir per satuan waktu (Wetzel 2001).

31
Gambar 7. Ilustrasi perhitungan debit di sungai
(Sumber: modified from www.usda.gov/stream_restoration/chap1.htm)

Axw
Q
t
atau dapat juga menggunakan rumus (Wetzel 2001)

Q = V x W x lebar sungai

Keterangan :
Q : Debit air (m3/s)
V : Kecepatan Arus (m/s)
t : Waktu (sekon)
A : Luas transek (m2)
W : Kedalaman Perairan (m)

4.10. Intrepretasi Data


Setelah data-data tersebut dianalisis dan diolah dalam bentuk grafik, tabel, dan bentuk
lainnya maka diinterpretasikan/dijelaskan maksud dari data tersebut.

32
4.11. Output
Setelah melakukan pengamatan dan penelitian diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
komponen penyusun ekosistem perairan tergenang/situ/danau. Kemudian dapat
menjelaskan betul-betul hubungan yang mungkin terjadi mulai dari habitat produsen
(plankton). Konsumen (dari bentos sampai ikan). Setelah itu mahasiswa mengetahui potensi
ekologi perairan mengalir untuk kegiatan budidaya perairan.

33
5.1. Pendahuluan

W
ilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat
meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi
sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan
ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto 1976;
Dahuri et al. 2001).

Wilayah pesisir dalam hal ini adalah ekosistem pesisir yang berarti ekosistem semi tertutup
yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar
dari daratan. Keterkaitan daratan dan pesisir sebagai penghubung antara daratan di hulu
dan wilayah pesisir, penghantar bahan pencemar dari hulu ke pesisir serta dampak yang
terjadi di hulu juga dirasakan di pesisir karena peran daratan (Bengen 2009). Wilayah pesisir
di wilayah tropis memiliki tiga ekosistem inti, yakni ekosistem mangrove, lamun (seagrass)
dan terumbu karang (coral reef).

Sejak awal tahun 1990-an fenomena degradasi bio-geofisik sumber daya pesisir semakin
berkembang dan meluas akibat pemanfaatan yang berlebihan yang menyebabkan hilangnya
ekosistem mangrove, terumbu karang dan estuaria yang selanjutnya dapat mengganggu
lingkungan biosfer wilayah pantai dan pesisir yang memiliki peran produksi yang besar.
Sekitar 75% dari luas wilayah nasional adalah berupa lautan. Salah satu bagian terpenting
dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir
dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang
strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat

34
dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup
besar serta jasa lingkungan lainnya (Dahuri et al. 2001)

Gambar 8. Ekosistem perairan pesisir


(Sumber: Bengen 2009)

5.2. Ekosistem Mangrove


5.2.1. Definisi Mangrove
Mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di
daerah pasang surut. Mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut,
hutan payau, atau hutan bakau. Bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama
dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Hutan mangrove
merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon

35
mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai
berlumpur. Hutan mangrove banyak ditemukan di pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta
dan daerah pantai yang terlindung (Bengen 2001).

Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa
spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuh dalam perairan asin. Bengen (2001) menjelaskan ekosistem mangrove umumnya
berkembang di daerah intertidal (daerah pasang surut) sehingga daerahnya tergenang air
laut secara berkala (setiap hari maupun saat pasang purnama), menerima pasokan air tawar
yang cukup dari darat, terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria,
delta dan daerah pantai yang terlindung. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak
yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga: Avicennie,
Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia,
Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus Paling dalam satu hutan mangrove terdapat
salah satu jenis yang dominan yang termasuk famili: Rhizophoraceae, Sonneratiaceae,
Avicenniaceae, Meliaceae(Bengen 2001).

Mangrove hidup di daerah antara level pasang naik tertinggi (maximum spring tide) sampai
level di sekitar atau diatas permukaan rata-rata (mean sea level). Komunitas (tumbuhan)
hutan mangrove hidup di daerah pantai terlindung di daerah tropis dan sub tropis. Menurut
McGill (1958) hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup di antara 35 °LU – 35 °LS, dan
terbanyak terdapat di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Sumatera, dan beberapa
daerah di Kalimantan yang mempunyai curah hujan tinggi dan bukan musiman. Di Indonesia
tercatat ada sekitar 3,75 juta ha (PHPA-AWB 1987; Departemen Kehutanan 1982), yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

36
5.2.2. Zonasi Mangrove
Menurut Ewusse (1990), struktur, fungsi ekosistem mangrove, komposisi dan distribusi
spesies serta pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan,
antara lain :
a. Fisiografi pantai.
Mangrove dapat tumbuh pada pantai yang bentuknya landai. Walaupun mangrove
masih dapat tumbuh di daerah pantai yang terjal, akan tetapi pertumbuhannya tidak
optimal.
b. Iklim.
Pantai yang beriklim tropik basah yang dicirikan dengan kelembaban, angin musim,
curah hujan dan temperatur yang tinggi, menyebabkan pencegahan akumulasi garam-
garam tanah sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan dapat berkembang biak
dengan baik.
c. Pasang Surut.
Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada tanah
mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik, dan menurun
selama pasang surut.
d. Gelombang dan Arus.
Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan
sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk
pantai berpasir.
e. Salinitas.
Lingkungan asin/bergaram diperlukan untuk kestabilan ekosistem mangrove. Salinitas
air dan salinitas tanah merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan dan
zonasi spesies mangrove.
f. Oksigen Terlarut.

37
Tanah pada hutan mangrove yang berlumpur dan jenuh air, mengandung oksigen
rendah dan terkadang bahkan tidak mengandung oksigen. Dalam keadaan demikian,
hanya spesies-spesies tumbuhan tertentu saja yang dapat hidup. Untuk beradaptasi
dengan keadaan tersebut, maka selain dengan adanya sistem perakaran yang khas,
kekurangan oksigen juga dapat dipenuhi oleh adanya lubang-lubang dalam tanah yang
dibuat oleh hewan-hewan seperti harimau dan lain sebagainya.
g. Substrat
Substrat yang terdapat pada sekitar daerah mangrove yaitu tanah berlumpur, tanah
berpasir ataupun tanah berkerikil.
h. Nutrien
Nutrien di mangrove, dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik.

Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh
berbagai faktor lingkungan, seperti kondisi jenis tanah dan faktor genangan pasang surut.
Zonasi hutan mangrove di Indonesia meliputi :
1. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi
oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan
tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi
oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

38
Gambar 9. Zonasi Mangrove
(Sumber: Bengen 2001)

5.2.3. Adaptasi, Morfologi dan Fauna Hutan Mangrove


Telah disebutkan sebelumnya bahwa mangrove hidup di wilayah dengan kondisi lingkungan
yang cukup ekstrim, sehingga mangrove dapat hidup dengan melakukan adaptasi fisiologi
yang sangat tinggi, mangrove tahan terhadap lingkungan dengan suhu peraian yang tinggi,
fluktuasi salinitas yang luas dan tanah yang anaerob. Salah satu faktor penting dalam
adaptasi fisiologis tersebut adalah sistem pengudaraan di akar -akarnya (Odum dan
Johannes 1975). Tidak semua tumbuhan memperoleh oksigen untuk akar-akarnya dari
tanah yang mengandung oksigen, mangrove tumbuh di tanah yang tidak mengandung
oksigen dan harus memperoleh hampir seluruh oksigen untuk seluruh akar-akar mereka dari
atmosfer.

Bengen (2001) menyatakan, karena hidup pada perairan bersalinitas cukup tinggi/kadar
garam tinggi, mangrove memiliki sistem adaptasi khusus. Johannes (1975) menyatakan
adaptasi terhadap kadar garam tinggi dilakukan dengan cara: (1) memiliki sel-sel khusus
dalam daun yang berfungi menyimpan garam, (2) berdaun tebal dan kuat yang banyak
mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam, (3) daunnya memiliki stuktur
stomata khusus untuk mengurangi penguapan. Pada pohon mangrove juga memiliki sistem

39
adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, yaitu dengan adanya bentuk perakaran yang khas.
Misalnya tipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora seperti pada Avicennia spp. dan
Sonneratia spp., tipe penyangga yang mempunyai lenti sel seperti pada Rhizophora spp.,
akar papan pada Ceriops spp., dan akar lutut pada Bruguiera spp.

Akar nafas lentisel

Gambar 10. Alat bantu pernapasan pada mangrove


(Sumber: Bengen 2009)

Pohon mangrove juga memiliki akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horizontal yang lebar. Akar ini digunakan selain untuk memperkokoh pohon, juga untuk
mengambil unsur hara dan menahan sedimen sebagai sistem adaptasi terhadap tanah yang
kurang stabil dan adanya pasang surut. Mann (1982) menambahkan pasang surut di habitat
mangrove akan mempengaruhi kestabilan tanah sehingga lebih labil dari tanah umumnya,
adaptasi yang dilakukan spesies mangrove adalah dengan membuat struktur akar ekstensif
dan jaringan horizontal yang lebar untuk memperkokoh pohon, mengambil unsur hara,
menahan sedimen.

Akar dan daun pada mangrove tersebut merupakan karakteristik morfologi dasar yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan mangrove. Karakteristik lain yang dapat
digunakan adalah bunga dan buah. Semua jenis mangrove menghasilkan buah dan biji.
Ketika biji ini jatuh, maka akan mengapung sehingga penyebarannya dengan mudah dibantu
angin dan arus. Jika menemukan substrat yang sesuai, maka biji tersebut akan tumbuh
menjadi vegetasi baru (Kitamura et al. 1997).

40
Akar papan Akar cakar ayam
Ceriops spp Avicennia spp
Sonneratia spp

Akar tongkat Akar lutut


Rhizophora spp Bruguiera spp

Gambar 11. Bentuk-bentuk akar pohon mangrove


(Sumber: Bengen 2001)

Komunitas fauna hutan magrove membentuk percampuran antara dua kelompok, yaitu
kelompok fauna daratan (terestrial) dan kelompok fauna akuatik. Kelompok fauna terestrial
menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular, primata dan burung.
Kelompok fauna ini tidak memiliki sifat adaptasi khusus untuk hidup di hutan mangrove,
karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian
pohon yang tinggi, meskipun mereka mengumpulkan makanannya berupa hewan-hewan
laut pada saat air surut. Kelompok kedua adalah kelompok fauna perairan (akuatik), yang
terdiri atas dua tipe, yaitu yang hidup di kolom air (berbagai jenis ikan dan udang) dan yang
menempati substrat baik keras maupun lunak, terdiri atas kepiting, kerang, dan berbagai
jenis invertebrata lainnya (Bengen 2001).Selain kadar oksigen yang rendah, kondisi habitat
mangrove juga memiliki kadar garam yang tinggi.

5.2.4. Fungsi dan Peranan Mangrove


Mangrove merupakan sumber daya alam yang dapat dipulihkan (renewable resources atau
flow resources) yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Manfaat

41
ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi, dll.)
dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata). Manfaat mangrove secara ekologi
adalah:
 Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi,
penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan.
 Sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari daun dan
dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan detritus, dan sebagian
lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam
penyuburan perairan.
 Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding
ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan (ikan,
udang dan kekerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai
(Gambar 8).
 Pengontrol penyakit malaria
 Memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air)
 Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain.

5.3. Tujuan
Praktikum ekosistem perairan payau bertujuan untuk: mengenalkan dan menjelaskan
komponen-komponen penyusun ekosistem mangrove, menjelaskan interaksi dan hubungan
timbal balik antara komponen penyusun ekosistem tersebut dan menjelaskan pengaruh
lingkungan terhadap komponen penyusun ekosistem.

5.4. Manfaat
Setelah praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tipe-tipe ekologi perairan
dan parameter kunci di ekosistem mangrove.

5.5. Alat dan Bahan


42
Alat dan bahan serta fungsinya dilihat pada Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Alat dan bahan pada praktikum ekosistem mangrove
No Alat dan Bahan Fungsi Kebutuhan
A. Pengambilan contoh
1 Secchi disc Mengukur tingkat kecerahan perairan 1 unit/kelompok
2 Transek kuadrat Membatasi lokasi pengambilan contoh 1 unit/kelompok
3 Paralon berskala Mengukur kedalaman perairan dan mengambil 1 unit/kelompok
contoh bentos
4 Termometer Mengukur suhu perairan 1 unit/kelompok
5 Pisau atau cutter Mengerik perifiton yang menempel pada substrat 1 unit/kelompok
seperti kayu, batu, dll yang terdapat di perairan.
6 Plankton net Menyaring Plankton 1 unit/2kelompok
7 Saringan kasar dan Memisahkan benthos dari lumpur 1 unit/kelompok
halus
8 Ember Mengambil air 1 unit/kelompok
9 Botol film Menyimpan contoh yang telah diambil (plankton dan 10 unit/kelompok
perifiton)
10 Plastik kiloan Menyimpan contoh bentos 10 unit/kelompok
11 Kertas label dan Memberi keterangan (nama) contoh 1 unit/kelompok
spidol permanen
12 Karet gelang Mengikat botol film dan plankton net 5 unit/kelompok
13 Meteran kain Untuk mengukur lingkar batang pohon mangrove 1 unit/kelompok
14 Tali tambang/rapia Untuk membatasi stasiun pengamatan pada 40 m/kelompok
mangrove
15 Kertas pH (pH stik) Mengukur tingkat keasaman air 1 unit/kelas
atau pH meter
16 DO meter Mengukur oksigen 1 unit/kelas
17 Refraktometer Untuk mengukur salinitas 1 unit/kelas
18 Papan jalan Tempat menulis 1 unit/kelompok
19 Data sheet Tempat penulisan data/rekap data 1 unit/kelompok
20 Aquades Pelarut 5 l/kelas

43
21 Formalin Mengawetkan Benthos 5 l/kelas
22 Lugol Mengawetkan plankton dan perifiton 1 l/kelas
B. Analisis data
23 Mikroskop Pengamatan mikrorganisme 2 unit/kelompok
24 Gelas obyek & gelas Meletakkan sample untuk pengamatan mikroskop 3
pentup pasang/kelompok
25 Pipet tets Mengambil air contoh dalam skala kecil 2 unit/kelompok
26 Buku identifikasi Untuk mengidentifikasi biota hasil pegamatan 2 unit/kelompok
27 Data sheet Tempat penulisan data/rekap data 1 unit/kelompok
28 Microsoft Pengolahan data/pembuatan laporan 1 unit/kelompok
2003/2007

5.6. Penentuan Stasiun Pengamatan


Terdapat dua persyaratan yang diperlukan untuk menentukan stasiun pengamatan
1. Ditentukan harus mewakili wilayah kajian
2. Dapat mengindikasikan/mewakili tiap zona hutan mangrove
Prosedur pengamatan
 Tetapkan transek garis dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai)
 Sepanjang transek garis, letakan secara acak petak contoh (plot) 10 x 10 m, paling
sedikit 3 petak contoh
Setelah ditentukan stasiun pengamatan dan petak contoh mangrove 10 m x 10 m,
selanjutnya lakukan pengamatan untuk tiap-tiap pohon dan anakan mangrove yang ada di
petak tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 12 dibawah ini

44
Gambar 12. Penentuan stasiun pengamatan di ekosistem mangrove
(Sumber: Bengen 2001)

5.7. Penetuan pohon, anakan dan semai pada mangrove


Kategori pohon dan anakan mangrove serta semai adalah sebagai berikut
Pohon : Diameter > 4 cm, Tinggi > 1m
Anakan : Diameter < 4 cm , Tinggi > 1 m
Semai : Tinggi < 1 m, Diameter < 4 cm
Prosedur pengamatan pada setiap plot :
1. Determinasi/indentifikasi jenis tumbuhan mangrove yang ada
2. Hitung jumlah individu tiap jenis
3. Ukur lingkar batang tiap pohon mangrove setinggi dada (1.3 m)

45
Gambar 13. Penentuan pohon, anakan dan semai
(Sumber : Bengen 2001)

Masukan data-data yang diamati pada tabel dibawah ini:


Tabel 4. Sheet data pengamatan mangrove
No Pohon Anakan Semai Tipe Dampak
No Transek
plot SP IND DB SP IND DB SP IND DB Substrat (0-4)

dst

46
Catatan : Untuk penentuan/pengambilan contoh parameter fisika, kimia dan biologi
perairan sama dengan yang dilakukan pada ekosistem perairan
tergenang

5.8. Analisis data


5.8.1. Kecerahan Perairan
Kecerahan perairan merupakan tingkat kejernihan dari suatu perairan dapat dihitung dengan
cara sebagai berikut:

D1  D2
Kecerahan (m) =  ......m
2
Keterangan :
D1 = Kedalaman pada saat secchi disk tepat menghilang (m)
D2 = Kedalaman pada saat secchi disk tepat terlihat kembali (m)
K = kecerahan (m)

5.8.2. Kelimpahan Plankton


Kelimpahan suatu plankton di suatu perairan dapat digunakan untuk menduga kesuburan
perairan tersebut. Kelimpahan plankton didefinisikan sebagai jumlah individu per satuan
volume (liter) dengan rumus:

Uoi Vr 1 n
Ni  x x x
Op UVo Vs Up
Keterangan :
Ni : Kelimpahan plankton jenis i (ind/l)
Oi : Luas gelas penutup (mm2) = 324 mm2
Op : Luas penampang pandang (mm2) = 1,306 mm2
Vr : Volume botol contoh (ml) = 30ml
Vo : Volume 1 tetes air contoh (ml) = 0,05 ml
Vs : Volume air yang disaring pada plankton net (100 l)

47
n : Jumlah plankton jenis i yang tercacah
P : Jumlah lapang pandang (5)
U : Ulangan (3 kali)

5.8.3. Kepadatan Perifiton


2
Banyaknya perifiton yang terdapat dalam cm .

Uoi Vr 1 n
Ni  x x x
Op UVo A Up
Keterangan :
Ni : Kepadatan perifiton jenis ke i
Oi : Luas gelas penutup (mm2) = 324 mm2
Op : Luas penampang pandang (mm2) = 1,306 mm2
Vr : Volume botol contoh (ml) = 30ml
Vo : Volume 1 tetes air contoh (ml) = 0,05 ml
A : Luas kerikan = 4 cm2
n : Jumlah perifiton yang tercacah
P : Jumlah lapang pandang (5)
U : Ulangan (3)
5.8.4. Kepadatan Benthos
Jumlah total individu benthos jenis ke-i yang diperoleh per satuan luas areal pengambilan
contoh :

X  n / m
Keterangan :
X : Kepadatan bentos (Ind/m2)
n : Jumlah individu per satuan alat
µ : Luas bukaan mulut alat

5.8.5. Indeks Nilai Penting


Suatu gembaran mengenai pengaruh atau peranan spesies tumbuhan mangrove dalam
komunitas mangrove. Terlebih dahulu kita mengetahui :

48
1) Kerapatan jenis
Jumlah tegakan jenis i dalam suatu area

Di  Ni / A
Keterangan :
Di = Kerapatan jenis i
Ni = Jumlah tegakan dari jenis i
A = Luas total area pengambilan contoh

2) Kerapatan Relatif Jenis


Perbandingan antara jumlah tegakan jenis i (Ni) dan jumlah total tegakan seluruh
jenis (Σ N):

Ni
RDi  x100
N
Keterangan :
Rdi = Kerapatan relatif jenis i
ΣN = Jumlah total tegakan seluruh jenis

3) Frekuensi Jenis (Fi)


Peluang ditemukannya jenis i dalam plot yang diamati

Fi  Pi /  P
Keterangan:
Fi = Frekuensi jenis i
Pi = Jumlah plot dimana ditemukannya jenis i
Σp = Jumlah total plot yang diamati

4) Frekuensi Relatif Jenis (RFi)

49
Perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
(ΣF)

Fi
RFi  x100
F
Keterangan:
Rfi = Frekuensi relatif jenis i
F = Frekuensi jenis i
ΣF = Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis

5) Penutupan Jenis (Ci)


Luas penutupan jenis i dalam suatu unit area
Ci= ΣBA/A
Keterangan:
BA = πDBH2 /4 (dalam cm)
DBH = CBH/π
Π = Suatu konstanta
DBH = Diameter pohon dari jenis i
A = Luas total area pengambilan contoh
CBH = Lingkaran pohon setinggi dada jenis i
Ci = Luas area penutupan

6) Penutupan Relatif Jenis (RCi)


Perbandingan secara luas area penutupan jenis I (Ci) dan luas area penutupan
untuk seluruh jenis (ΣC)

Ci
RCi  x100
C
Keterangan:
RCi = Penutupan relatif jenis
Ci = Luas area penutupan jenis ke-i
ΣC = Luas total area penutupan untuk seluruh jenis
50
Jadi Indeks Nilai Penting (INP) mempunyai rumus:
INP= RDi + RFi + RCi
Keterangan:
INP = Indeks nilai penting
RDi = Kepekatan relatif jenis
RFi = Frekuensi relatif jenis
RCi = Penutupan relatif jenis

5.9. Interpretasi Data


Setelah data-data tersebut dianalisis dan diolah dalam bentuk grafik, tabel, dan bentuk
lainnya maka diinterpretasikan/dijelaskan maksud dari data tersebut.

5.10. Output
Setelah melakukan pengamatan dan penelitian diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
komponen penyusun ekosistem perairan payau/mangrove. Kemudian dapat menjelaskan
betul-betul hubungan yang mungkin terjadi mulai dari habitat produsen (plankton)
sampaikonsumen (dari bentos sampai ikan). Setelah itu mahasiswa mengetahui potensi
ekologi perairan mangrove/payau untuk kegiatan budidaya perairan.

51
6.1. Ekosistem Lamun
6.1.1. Definisi Lamun
enurut Fortes (1989), lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga

M (Anthophyta atau Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang
hidup terendam di dalam laut,sedangkan padang lamun merupakan hamparan
vegetasi lamun yang menutupi suatu area dan terbentuk dari satu atau beberapa
jenis lamun dengan kepadatan jarang atau tinggi. Di Indonesia, terdapat 12 jenis lamun dari
50 jenis dan termasuk ke dalam dua famili, yakni Potamogetonaceae dan Hydrocharitaceae
(Fortes 1989). Lamun memiliki zonasi yang khas, yakni zonasi dekat daratan akan ditumbuhi
oleh jenis lamun yang memiliki daun yang tinggi, dan semakin menuju laut maka jenis lamun
yang ditemukan adalah lamun-lamun yang memilki daun yang lebih rendah.

Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun
(Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut
dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang.
Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan
abiotik disebut ekosistem lamun (Seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah
perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang.
Menurut Den Hartog (1977), ekosistem lamun memiliki beberapa ciri ekologis, antara lain :
1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir.
2. Terdapat pada batas terendah daerah pasang surut dekat pohon bakau atau di
daerah terumbu karang.
3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung.
4. Sangat tergantung pada intensitas matahari yang masuk dalam perairan tersebut.
5. Mampu melaksanakan proses metabolisme secara optimal jika seluruh tubuhnya
terendam air.
52
6. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.

Gambar 14. Contoh lamun


(Sumber: Dokumentasi pribadi; Yulianda 2007)

6.1.2. Zonasi lamun


Adapun zonasi sebaran lamun menurut Kiswara et al. (1994) dimulai dari pantai kearah tubir
umumnya berkesinambungan, perbedaan yang terdapat biasanya hanya pada komposisi
jenis dan luas penutupannya saja. Zonasi sebaran dan karakteristik habitat lamun di perairan
pesisir menurut genangan air dan kedalamannya dapat digolongkan sebagai berikut (Kiswara
et al.1994) :
1. Jenis lamun yang tubuh di daerah dangkal yang selalu terbuka saat air surut.
Contoh organismenya antara lain : Holodule pinifolia.

53
2. Jenis yang hidup pada daerah sedang/daerah pasang surut, misalnya, Thallasia
hemprichi.
3. Jenis yang tumbuh di tempat dalam dan selalu terendam air, misalnya,
Thalasodendron ciliatum.

Berdasarkan komposisi jenisnya komunitas padang lamun yang ditemukan dapat berupa
komunitas padang lamun tunggal maupun campuran. Adapun spesies yang membentuk
komunitas padang lamun tunggal antara lain : Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides,
Halophila ovalis, Halophila uninervis, Cymodocea serrulata, Thallasodendron ciliatum.
Komunitas tunggal ini umumnya dijumpai di dataran kumpur dekat hutan mangrove.
Komunitas padang lamun campuran dijumpai tumbuh di substrat berpasir yang kondisi
perairannya tenang (Brown 1985 dalam Kiswara1994). Menurut Nybakken (1992), jumlah
spesies yang terdapat di daerah tropik lebih banyak dari pada di daerah ugahari.
Ditinjau dari tingkatannya sebagai suatu komunitas, padang lamun membentuk suatu
kesatuan struktural dan memiliki hubungan dengan hewan dan tumbuhan yang lain (Fortes
1989). Lamun memiliki fungsi ekologis sebagai berikut (Fortes 1989):
 Produsen detritus dan zat hara.
 Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem
perakaran yang padat dan saling menyilang.
 Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi
beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan
ini.
 Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan
matahari

6.1.3. Identifikasi lamun


Dari 58 spesies lamun yang ada di dunia, 12 spesies berada di indonesia yakni
1. Enhalus acoroides
2. Thalassia hemprichii
54
3. Thalassodendron ciliatum
4. Cymodocea rotundata
5. Cymodocea serrulata
6. Halodule uninervis
7. Halodule pinifolia
8. Halophila ovalis
9. Halophila minor
10. Halophila spinulosa
11. Halophila decipiens
12. Syringodium isoetifolium
Kunci identifikasi 12 jenis lamun yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut (modifikasi dari
Den Hartog, 1970; Phillips & Menez, 1988; Azkab, 1999):

1. Daun pipih..................................................................................................................... 2
Daun berbentuk silindris ............................................................................................... Syringodium
.......................................................................................................................................... isoetifolium

2. Daun bulat-panjang, bentuk seperti telur atau pisau


wali ................................................................................................................................... Halophila
Panjang helai daun 10-40 mm, mempunyai 10-25 pasang tulang
daun ........................................................................................................................... H. ovalis
Daun dengan 4-7 pasang tulang daun ........................................................................... b
a. Daun sampai 22 pasang, tidak mempunyai
Tangkai daun, tangkai panjang ..................................................................................... H.spinulosa.
b. Panjang daun 0,5-1,5 cm, pasangan daun
Dengan tegakan pendek ............................................................................................... H. minor
Daun dengan pinggir yang bergerigi seperti
gergaji .............................................................................................................................. H. decipiens
Daun membujur seperti garis, biasanya panjang
5-100

55
m .................................................................................................................................. 3

3. Daun berbentuk selempang yang menyempit


pada bagian bawah ......................................................................................................... 4
Tidak seperti diatas ....................................................................................................... 6

4. Tulang daun tidak lebih dari 3 ....................................................................................... Halodule


Ujung daun membulat, ujung seperti gergaji ............................................................... H. pinifolia.
Ujung daun seperti trisula ............................................................................................ H. uninervis.
Tulang daun lebih dari 3 ............................................................................................... 5

5. Jumlah akar 1 – 5 dengan tebal 0,5 – 2 mm,


ujung daunseperti gigi ..................................................................................................... Thalassodendron
.......................................................................................................................................... ciliatum
Tidak seperti diatas ...................................................................................................... Cymodecea
Ujung daun halus (licin, tulang daun 9 - 15) ................................................................ C. rotundata
Ujung daun seperti gergaji, tulang daun 13 – 17 .......................................................... C. serrulata

6. Rimpang berdiameter 2 – 4 mm tanpa rambut-


rambut kaku ; panjang daun 10 – 30, lebar 4
– 10 cm. ........................................................................................................................... Thalassia hemprichii
Rimpang berdiameter lebih 1 cm dengan
rambut-rambut kaku; panjang daun 30 –150
cm, lebar 13 – 17 mm.................................................................................................... Enhalus acoroides

6.1.4. Tujuan
Praktikum ekosistem perairan tergenang bertujuan untuk: mengenalkan dan menjelaskan
komponen-komponen penyusun ekosistem lamun, menjelaskan interaksi dan hubungan
timbal balik antara komponen penyusun ekosistem tersebut dan menjelaskan pengaruh
lingkungan terhadap komponen penyusun ekosistem.

56
6.1.5. Manfaat
Setelah praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tipe-tipe ekologi perairan
dan paramameter kunci di ekosistem perairan lamun.

6.1.6. Alat dan Bahan


Alat dan bahan serta fungsinya dilihat pada Tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. Alat dan bahan pada praktikum ekosistem perairan tergenang lamun
No Alat dan Bahan Fungsi Kebutuhan
A. Pengambilan contoh
1 Secchi disc Mengukur tingkat kecerahan perairan 1 unit/kelompok
2 Transek kuadrat Membatasi lokasi pengambilan contoh 1 unit/kelompok
3 Paralon berskala Mengukur kedalaman perairan 1 unit/kelompok
4 Termometer Mengukur suhu perairan 1 unit/kelompok
5 Pisau atau cutter Mengerik perifiton yang menempel pada substrat 1 unit/kelompok
seperti kayu, batu, dll yang terdapat di perairan.
6 Plankton net Menyaring Plankton 1 unit/2kelompok
7 Saringan kasar dan Memisahkan bentos dari lumpur 1 unit/kelompok
halus
8 Ember Mengambil air 1 unit/kelompok
9 Botol film Menyimpan contoh yang telah diambil (plankton dan 10 unit/kelompok
perifiton)
10 Plastik kiloan Menyimpan contoh bentos 10 unit/kelompok
11 Kertas label dan Memberi keterangan (nama) contoh 1 unit/kelompok
spidol permanen
12 Karet gelang Mengikat botol film dan plankton net 5 unit/kelompok
13 Meteran kain Untuk mengukur lingkar batang pohon mangrove 1 unit/kelompok
14 Tali tambang/rapia Untuk line transek 100 m/kelompok
15 Kertas pH (pH stik) Mengukur tingkat keasaman air 1 unit/kelas
atau pH meter
16 DO meter Mengukur oksigen 1 unit/kelas
17 Refraktometer Untuk mengukur salinitas 1 unit/kelas

57
18 Papan jalan Tempat menulis 1 unit/kelompok
19 Data sheet Tempat penulisan data/rekap data 1 unit/kelompok
20 Alat dasar selam Peralatan selam untuk pengamatan lamun 3
paket/kelompok
21 Sabak Tempat penulisan data/rekap data (tahan air) 1 unit/kelompok
22 Aquades Pelarut 5 l/kelas
23 Formalin Mengawetkan Bentos 5 l/kelas
24 Lugol Mengawetkan plankton dan perifiton 1 l/kelas
B. Analisis data
25 Mikroskop Pengamatan mikrorganisme 2 unit/kelompok
26 Gelas obyek & Meletakkan sample untuk pengamatan mikroskop 3
gelas pentup pasang/kelompok
27 Pipet tets Mengambil air contoh dalam skala kecil 2 unit/kelompok
28 Buku identifikasi Untuk mengidentifikasi biota hasil pegamatan 2 unit/kelompok
29 Data sheet Tempat penulisan data/rekap data 1 unit/kelompok
30 Microsoft Pengolahan data/pembuatan laporan 1 unit/kelompok
2003/2007

6.1.7. Pengambilan data


1) Tentukan lokasi ekosistem lamun yang akan diamati
2) Bentangkan roll meter mulai dari bagian akhir sisi dalam pantai (inshore end) dan
orientasinya tegak lurus terhadap garis pantai sampai saat lamun mulai tak tampak
3) Tentukan plot pengamatan di setiap jarak atau interval 10 meter
4) Letakkan transek kuadrat (1 m x 1 m) yang sudah dibagi menjadi 25 bagian (20 cmm
x 20 cm) di plot pengamatan yang sudah ditentukan
5) Ukur dan catat kedalaman perairan di setiap plot pengamatan
6) Amati dan hitung jumlah individu tiap jenis lamun yang terdapat di dalam transek
kuadrat

58
7) Perkirakan (estimasi) nilai persentase penutupan lamun (tiap jenis) yang terdapat di
dalam transek kuadrat
8) Catat data yang didapat ke dalam data sheet
9) Lakukan sampai plot pengamatan terakhir

6.1.8. Analisis data lamun


Struktur Komunitas Lamun
Persentase Penutupan Lamun Jenis ke-i
2
Bandingkan kelimpahan tiap spesies lamun yang ada dalam ke-25 bagian (20 x 20 cm )
2
transek kuadrat (1 x 1 m ) dengan tabel berikut :
Tabel 6. Penetapan persen penutupan lamun
% Penutupan
Kelas Nilai penutupan lamun pada substrat Nilai tengah
substrat
5 ½ - seluruhnya 50 –100 75
4 ¼ -1/2 25 – 50 37,5
3 1/8 – ¼ 12,5 – 2,5 18,75
2 1/16 – 1/8 6,25 – 12,5 938
1 Kurang dari 1/16 < 6,25 3,13
0 0 0 0

 Hitung persentase penutupan (C) dari tiap spesies lamun dalam tiap transek
2
kuadrat ( 1 x1 m ) dengan rumus English, et al.1997 in Yayasan Terangi 2005:

Dimana :
Mi = nilai tengah persentase dari kelas ke-I
F = frekuensi (jumlah dari sektor dengan kelas penutupan yang sama)

59
 Penutupan maksimum yang mungkin tercatat untuk suatu spesies adalah
75%. Apabila perhitungan penutupan suatu spesies lamun melebihi angka ini,
maka ada kesalahan dalam menjalankan metode ini.

6.1.9. Interpretasi Data


Setelah data-data tersebut dianalisis dan diolah dalam bentuk grafik, tabel, dan bentuk
lainnya maka diinterpretasikan/dijelaskan maksud dari data tersebut.
6.1.10. Output
Setelah melakukan pengamatan dan penelitian diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
komponen penyusun ekosistem lamun. Kemudian dapat menjelaskan betul-betul hubungan
yang mungkin terjadi mulai dari produsen (plankton) sampaikonsumen (dari bentos sampai
ikan). Setelah itu mahasiswa mengetahui potensi ekologi perairan mengalir untuk kegiatan
budidaya perairan.

6.2. Ekosistem Terumbu Karang


6.2.2. Definisi Terumbu Karang

I
stilah karang dan terumbu seringkali disalah artikan, karang (coral) disebut juga
karang batu (stony coral), yaitu hewan dari Ordo Scleractinia, yang mampu
mensekresi CaCO3 (limestone). Hewan karang tunggal umumnya disebut polip,
sedangkan terumbu (reef). Endapan masif batu kapur (limestone), terutama kalsium
karbonat (CaCO3), yang utamanya dihasilkan oleh hewan karang dan biota-biota lain yang
mensekresi kapur, seperti alga berkapur dan moluska. Ada istilah lain yang juga banyak
orang salah mengartikannya, yakni karang terumbu merupakan komunitas hewan karang
hermatipik, yaitu karang yang mampu membangun terumbu (Nybakken 1992).

Terumbu (reef) adalah endapan masif batu kapur (limestone), terutama kalsium karbonat
(CaCO3), yang utamanya dihasilkan oleh hewan karang dan biota-biota lain yang mensekresi
kapur, seperti alga berkapur dan moluska. Terumbu karang atau coral reefs adalah
ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur

60
(CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik)
khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang
hidup di dasar lainnya dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan
zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang
menyekresi kalsium karbonat. Terumbu karang bisa dikatakan sebagai hutan tropis
ekosistem laut. Ekosistem ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih dan
merupakan ekosistem yang sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang
sangat tinggi (Nybakken 1992).

Meskipun karang ditemukan di seluruh lautan di dunia, tetapi hanya di daerah tropik
terumbu dapat berkembang. Hal ini disebabkan adanya dua kelompok karang yang berbeda,
yaitu hermatipik dan ahermatipik. Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu
sedangkan karang ahermatipik tidak. Karang ahermatipik tersebar di seluruh dunia,
sedangkan karang hermatipik hanya ditemukan di wilayah tropik. Perbedaan yang mencolok
antara kedua kelopmpok karang ini adalah bahwa di dalam jaringan karang hermatipik
terdapat sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis (hidup bersama) yang dinamakan
zooxanthellae, sedangkan karang ahermatipik tidak (Nybakken 1992).

61
Gambar 15. Struktur karang
(Sumber: National Geographic Indonesia, April 2007)

6.2.2. Tipe terumbu karang


Terumbu karang memiliki berbagai macam tipe (Nybakken 1992) yaitu:
A. Terumbu karang tepi (fringing reefs)

62
Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas pesisir pantai
dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter
dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses
perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya
ban atau bagian endapan karang mati di sekeliling pulau. Pada pantai yang curam,
pertumbuhan terumbu jelas mengarah vertikal.

B. Terumbu karang penghalang (barrier reefs)


Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0,5-2
km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75
meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air) atau celah perairan yang
lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang penghalang tumbuh di
sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang
terputus-putus.

C. Terumbu karang cincin (atolls)


Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulau-pulau
vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan.
Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu
karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter.

D. Gosong terumbu (patch reefs)


Gosong terumbu (patch reefs), terkadang disebut juga sebagai pulau datar (flat
island). Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan dan, dalam
kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar. Umumnya pulau ini
akan berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman relatif dangkal

63
Gambar 16. Tipe terumbu karang (Fringing reef, Barrier reef, dan Atoll)
(Sumber: Nybakken 1992)

6.2.3. Bentuk-bentuk karang


Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang Acropora dan non-
Acropora (English etal. 1994). Perbedaan Acropora dengan non-Acropora terletak pada
struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit,
sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit.

Acropora Skeleton

Gambar 17. Bentuk pertumbuhan Acropora Skeleton


Non-Acropora Skeleton

64
Gambar 18. Bentuk pertumbuhan Non-Acropora Skeleton

Bentuk Pertumbuhan Karang non-Acropora terdiri atas :


A. Bentuk Bercabang (branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang
dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama
yang terlindungi atau setengah terbuka. Bersifat banyak memberikan tempat
perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu.

Gambar 19. Bentuk pertumbuhan branching

B. Bentuk Padat (massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti
bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya ditemukan di
sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu.

65
Gambar 20. Bentuk pertumbuhan massive

C. Bentuk Kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan


yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang
terbuka dan berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu.
Bersifat memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil yang sebagian
tubuhnya tertutup cangkang.

Gambar 21. Bentuk pertumbuhan encrusting

D. Bentuk lembaran (foliose), merupakan lembaranlembaran yang menonjol pada dasar


terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar, terutama pada
lereng terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan perlindungan
bagi ikan dan hewan lain.

Gambar 22. Bentuk pertumbuhan foliose


E. Bentuk Jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak
tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.

66
Gambar 23. Bentuk pertumbuhan mushroom

F. Bentuk submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-


kolom kecil.

Gambar 24. Bentuk pertumbuhan submassive

G. Karang api (Millepora), semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan adanya
warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh.

Gambar 25. Bentuk pertumbuhan millepora

H. Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada rangkanya.

67
Gambar 26. Bentuk pertumbuhan heliopora
Bentuk pertumbuhan Acropora sebagai berikut :
A. Acropora bentuk cabang (Branching Acropora), bentuk bercabang seperti ranting
pohon.

Gambar 27. Bentuk pertumbuhan branching Acropora

B. Acropora meja (Tabulate Acropora), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata
seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau bertumpu pada
satu sisi membentuk sudut atau datar.

Gambar 28. Bentuk pertumbuhan Tabulate Acropora

C. Acropora merayap (Encursting Acropora), bentuk merayap, biasanya terjadi pada


Acropora yang belum sempurna.

68
Gambar 29. Bentuk pertumbuhan Encursting Acropora

D. Acropora Submasif (Submassive Acropora), percabangan bentuk gada/lempeng dan


kokoh.

Gambar 30. Bentuk pertumbuhan Submassive Acropora


E. Acropora berjari (Digitate Acropora), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti
jari-jari tangan.

Gambar 31. Bentuk pertumbuhan Digitate Acropora

6.2.4. Fungsi dan peranan terumbu karang


Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal tropis yang paling kompleks
dan produktif serta berperan penting dalam siklus biogeokimia secara global. Peran dari
terumbu karang lebih banyak, yakni (Nybakken 1992):
 Habitat bahari kritis yang berperan dalam keberlangsungan fungsi ekosfer bumi

69
 Habitat pemijahan, peneluran, pembesaran anak, dan mencari makan (feeding &
foraging) bagi sejumlah besar organisme laut, terutama yang memiliki nilai
ekonomis penting
 Gudang keanekaragaman hayati laut
 Pelindung sempadan pantai & ekosistem pesisir lain dari aksi gelombang ganas dan
dampak destruktif badai
 Penyokong keberadaan pulau kecil yang ada di sekitarnya
 Penyedia beragam sumber makanan dan bahan baku yang diperlukan manusia
 Sumber penting bahan bioaktif yang diperlukan di bidang medis dan farmasi
 Rekaman alami dari variasi iklim dan lingkungan di masa silam
 Wahana rekreasi
 Wahana pendidikan dan penelitian

6.2.5. Tujuan
Praktikum ekosistem perairan tergenang bertujuan untuk: mengenalkan dan menjelaskan
komponen-komponen penyusun ekosistem perairan karang, menjelaskan interaksi dan
hubungan timbal balik antara komponen penyusun ekosistem tersebut dan menjelaskan
pengaruh lingkungan terhadap komponen penyusun ekosistem.
6.2.6. Manfaat
Setelah praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tipe-tipe ekologi perairan
dan parameter kunci di ekosistem karang.

6.2.7. Alat dan Bahan


Alat dan bahan serta fungsinya dilihat pada Tabel 7 berikut ini:
Tabel 7. Alat dan bahan pada praktikum ekosistem perairan karang
No Alat dan Bahan Fungsi Kebutuhan
A. Pengambilan contoh
1 Secchi disc Mengukur tingkat kecerahan perairan 1 unit/kelompok
2 Transek kuadrat Membatasi lokasi pengambilan contoh 1 unit/kelompok

70
3 Paralon berskala Mengukur kedalaman perairan 1 unit/kelompok
4 Termometer Mengukur suhu perairan 1 unit/kelompok
5 Pisau atau cutter Mengerik perifiton yang menempel pada substrat 1 unit/kelompok
seperti kayu, batu, dll yang terdapat di perairan.
6 Plankton net Menyaring Plankton 1 unit/2kelompok
7 Saringan kasar dan Memisahkan bentos dari lumpur 1 unit/kelompok
halus
8 Ember Mengambil air 1 unit/kelompok
9 Botol film Menyimpan contoh yang telah diambil (plankton 10 unit/kelompok
dan perifiton)
10 Plastik kiloan Menyimpan contoh bentos 10 unit/kelompok
11 Kertas label dan Memberi keterangan (nama) contoh 1 unit/kelompok
spidol permanen
12 Karet gelang Mengikat botol film dan plankton net 5 unit/kelompok
13 Meteran kain Untuk mengukur lingkar batang pohon mangrove 1 unit/kelompok
14 Tali tambang/rapia Untuk line transek 100 m/kelompok
15 Kertas pH (pH stik) Mengukur tingkat keasaman air 1 unit/kelas
atau pH meter
16 DO meter Mengukur oksigen 1 unit/kelas
17 Refraktometer Untuk mengukur salinitas 1 unit/kelas
18 Papan jalan Tempat menulis 1 unit/kelompok
19 Data sheet Tempat penulisan data/rekap data 1 unit/kelompok
20 Alat dasar selam Peralatan selam untuk pengamatan karang 3 paket/kelompok
21 Sabak Tempat penulisan data/rekap data (tahan air) 1 unit/kelompok
22 Pelampung Untuk keamanan dan keselamatan sampling 3 paket/kelompok
22 Aquades Pelarut 5 l/kelas
23 Formalin Mengawetkan Benthos 5 l/kelas
24 Lugol Mengawetkan plankton dan perifiton 1 l/kelas
B. Analisis data
25 Mikroskop Pengamatan mikrorganisme 2 unit/kelompok
26 Gelas obyek & gelas Meletakkan air contoh untuk pengamatan 3

71
pentup mikroskop pasang/kelompok
27 Pipet tets Mengambil air contoh dalam skala kecil 2 unit/kelompok
28 Buku identifikasi Untuk mengidentifikasi biota hasil pegamatan 2 unit/kelompok
29 Data sheet Tempat penulisan data/rekap data 1 unit/kelompok
30 Microsoft Pengolahan data/pembuatan laporan 1 unit/kelompok
2003/2007

6.2.8. Pengambilan data


1. Metode LIT (Line Intercept Transect)
 Tentukan lokasi ekosistem terumbu karang yang akan diamati
 Bentangkan roll meter di atas terumbu karang (± 40 meter)
 Tentukan tiga plot pengamatan masing-masing berjarak ± 10 meter dengan
selang antar plot pengamatan berjarak ± 5 meter
 Amati lifeform terumbu karang yang berada tepat di bawah roll meter di
setiap plot pengamatan
 Catat transisi dan lifeform terumbu karang
 Lakukan sampai plot pengamatan ketiga
2. Metode Transek Kuadrat
 Tentukan lokasi ekosistem terumbu karang yang akan diamati
 Letakkan transek kuadrat (1 m x 1 m) yang sudah dibagi menjadi 25 bagian
(20 cm x 20 cm)
 Amati lifeform terumbu karang yang berada tepat di bawah transek kudrat
 Perkirakan (estimasi) nilai persentase penutupan terumbu karang yang ada
didalam ke-25 bagian transek kuadrat
 Catat data yang didapat
 Lakukan kembali di lokasi yang berbeda hingga tiga kali ulangan

6.2.9. Analisis data karang

72
1) Line Intercept Transek (LIT)
Prosedur analisa data :
 Data lifeform dan trasnsisi yang terdapat pada lembar data, selanjutnya
dikelompokkan sesuai dengan kategorinya masing – masing
 Setelah dikelompokkan, masing – masing kategori (-i) dihitung panjang total
transisinya untuk memperoleh nilai persentase penutupan karang
Rumus persentase penutupan (English, et al.1997 in Yayasan Terangi 2005) :

Kriteria penutupan karang hidup :


75.0 % - 100 % = sangat baik
50.0 % - 74.9 % = baik
25.0 % - 49.9 % = sedang
0.0 % - 24.9 % = buruk

2) Transek Kuadrat

Prosedur analisa data (English, et al.1997 in Yayasan Terangi 2005) :

Keterangan :
Mi = Nilai tengah persentase dari kelas ke-i
f = frekuensi (jumlah dari sektor dengan kelas penutupan yang sama)

Tabel 8. Penetapan persen penutupan karang


Kelas Nilai penutupan karang % penutupan Nilai tengah (Mi)
5 ½ - seluruhnya 50 – 100 75
4 ¼-½ 25 – 50 37.5
3 1/8 – ¼ 12.5 – 25 18.75
2 1/16 – 1/8 6.25 – 12.5 9.38
1 < 1/16 < 6.25 3.13
0 Kosong 0 0

73
Kriteria penutupan :
C < 5% = sangat jarang
5% - <= C < 25% = jarang
25% <= C < 50% = sedang
50% <= C < 75% = rapat
C > 75 = sangat rapat

6.2.10. Interpretasi Data


Setelah data-data tersebut dianalisis dan diolah dalam bentuk grafik, tabel, dan bentuk
lainnya maka diinterpretasikan/dijelaskan maksud dari data tersebut.

6.2.11. Output
Setelah melakukan pengamatan dan penelitian diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
komponen penyusun ekosistem perairan karang. Kemudian dapat menjelaskan betul-betul
hubungan yang mungkin terjadi mulai dari habitat produsen (plankton). Konsumen (dari
bentos sampai ikan). Setelah itu mahasiswa mengetahui potensi ekologi perairan mengalir
untuk kegiatan budidaya perairan.

74
Menurut Odum (1996), komunitas adalah suatu sistem dari kumpulan populasi yang hidup
pada area tertentu dan terorganisasi secara luas dengan karakteristik komponen tertentu,
serta berfungsi sebagai kesatuan transformasi rantai metabolis. komunitas biotik ialah
kumpulan populasi yang hidup di daerah tertentu atau habitat fisik tertentu dan merupakan
satu kesatuan yang terorganisir dan mempunyai hubungan timbal balik. Konsep komunitas
ini dapat digunakan dalam menganalisis lingkungan perairan karena komposisi dan karakter
organisme di dalam suatu komunitas dapat menjadi indikator yang cukup baik untuk melihat
keadaan lingkungan dimana komunitas tersebut berada. Karakteristik suatu komunitas
meliputi 5 komponen yaitu keragaman, dominansi, kelimpahan relatif, bentuk dan struktur
pertumbuhan serta struktur trofik (Krebs, 1989). Struktur komunitas adalah suatu susunan
atau bentuk dari semua individu (1 spesies) yang hidup di suatu daerah.

7.1. Asas dan konsep komunitas


Komunitas biotik adalah kumpulan populasi-populasi apa saja yang hidup dalam daerah atau
habitat fisik yang telah ditentukan, hal tersebut merupakan satuan yang diorganisasikan
sedemikian bahwa dia mempunyai sifat-sifat tambahan terhadap komponen-komponen
individu dan fungsi-fungsi ssebagai suatu unit melalui transformasi-transformasi metabolik
yang bergandengan. Komunitas utama adalah mereka yang cukup besar dan kelengkapan
dari organisasinya adalah sedemikian hingga mereka relatif tidak tergantung dari masukan
dan hasil dari komunitas di dekatnya. Komunitas minor adalah mereka yang kurang lebih
tergantung pada kumpulan-kumpulan tetangganya (Odum 1996).

Komunitas tidak hanya mempunyai kesatuan fungsional tertentu dengan struktur trofik dan
pola arus energi yang khas tetapi juga mempunyai kesatuan komposisional di dalam mana
terdapat peluang bahwa jenis tertentu akan terdapat peluang bahwa jenis tertentu akan

75
terdapat atau hidup berdampingan. Meskipun demikian, jenis-jenis tersebut sebagian besar
dapat diganti dalam waktu dan ruang sehingga secara fungsional komunitas yang serupa
dapat memiliki komposisi jenis yang berbeda. Konsep komunitas bahwa apa yang terjadi
oleh komunitas maka dialami oleh organisme (Odum 1996).

7.2. Klasifikasi intrakomunitas dan konsep dominan ekologi


Komunitas paling tidak yang utama memiliki produsen-produsen, makrokonsumen dan
mikrokonsumen di dalamnya terdapat golongan dominan ekologi. Dominan ekologi adalah
golongan jenis yang sebagian besar mengendalikan arus energi dan kuat sekali
mempengaruhi lingkungan dari semua jenis lainnya. Indeks dominansi adalah derajat pada
mana dominansi dipusatkan dalam suatu, beberapa, atau banyak jenis. Pembuangan jenis
dominan akan menimbulkan perubahan-perubahan penting tidak hanya pada komunitas
biotik tetapi juga dalam lingkungan fisik (misalnya iklim mikro).Dominan di dalam semua
golongan ekologi akan nyata pada lingkungan ekstrim (Odum 1996).
Klassifikasi komunitas dapat dibedakan dengan cara (Odum 1996) :
1. Sifat-sifat dari struktur komunitas
2. Habitat fisisk
3. Fungsi-fungsi atau tipe metabolisme
Sementara corak komunitas dapat dibedakan berdasarkan Odum (1996), adalah:
1. Stratifikasi secara vertical
2. Zonasi secara horizontal
3. Aktifitas
4. Jala makanan
5. Reproduksi
6. Hubungan sosial
7. Koaktifitas (Persaingan, simbiosis)

Keanekaragaman hayati adalah suatu ukuran untuk mengetahui keanekaragaman kehidupan


yang berhubungan erat dengan jumlah suatu komunitas (Kottelat at al. 1993).

76
Keanekaragaman jenis (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C) merupakan indeks yang
sering digunakan untuk mengevaluasi keadaan suatu lingkungan perairan berdasarkan
kondisi biologi. Suatu lingkungan yang setabil dicirikan oleh kondisi yang seimbang dan
mengandung kehidupan yang beranekaragam tanpa ada suatu spesies yang dominan (Odum
1996). Ekosistem yang baik mempunyai ciri-ciri keanekaragaman jenis yang tinggi dan
penyebaran jenis individu yang hampir merata di setiap perairan. Perairan yang tercemar
pada umumnya kekayaan jenis relatif rendah dan di dominansi oleh jenis tertentu (Krebs
1972). Menurut Herteman (2003) mengatakan bahwa keanekaragaman hayati dapat dipilih
menjadi 3 taraf yang ada, yaitu: Keanekaragaman ekosistem, Keanekaragaman spesies dan
Keanekaragaman genetik.

1) Keanekaragaman Ekosistem
Keanekaragaman ekosistem berhubungan dengan keanekaragaman habitat dan kesehatan
komplek-komplek habitat yang berbeda-beda. Ekosistem perairan mengadakan suatu siklus-
siklus nutrien (rantai makanan) dan siklus air, oksigen, karbondioksida, dan siklus
biogeokimia. Proses-proses ekologis sangat menetukan besarnya produksi primer dan
sekunder (arus energi), mineralisasi, bahan-bahan organik dalam sedimen, penyimpanan,
dan transport mineral serta biomassa (Harteman 2003). Upaya-upaya untuk melestarikan
spesies-spesies ikan dan binatang air lainnya adalah dengan menjaga kelestarian ekosistem
habitat mereka yang menjadi bagian kehidupan spesies (McNeely 1992 in Harteman 2003).

2) Keanekaragaman Spesies
Keanekaragaman spesies adalah konsep variabilitas ikan-ikan yang hidup di perairan tawar,
payau, dan laut, yang kemudian diukur dengan jumlah seluruh spesies. Diperkirakan sekitar
40.000 spesies ikan yang hidup di seluruh dunia dan sekitarnya 19.000 spsies lebih yang
sudah teridentifikasi dan diberi nama secara ilmiah (Harteman 2003). Keanekaragaman
spesies terdiri atas dua komponen, yaitu jumlah spesies yang ada (umumnya mengarah ke
kekayaan spesies) dan kelimpahan relatif spesies mengarah ke keseragaman (eveness atau
equitability). Keanekaragaman pada umumnya diukur dengan memakai pola distribusi

77
beberapa ukuran kelimpahan (individu atau produktivitas) di antara spesies (Clack 1974 in
Nurcahyadi 2003).
Menurut Mann (1981) in Harteman (1998) bahwa dominansi jenis sering terjadi karena
beberapa hal antara lain kompetisi pakan alami oleh jenis tertentu yang disertai perubahan
kualitas lingkungan, tidak seimbangnya antara predator dan mangsa sehingga terjadi
kompetisi antar jenis. Sejumlah besar ikan yang di perairan sungai, membentuk komunitas
yang berbeda-beda dan tiap jenis ikan memiliki spesialisasi dan mampu memanfaatkan
pakan dengan seefisien mungkin, karena persaingan antara jenis ikan sangat dalam
memperoleh pakan alami. Jenis ikan-ikan tersebut sangat peka terhadap perubahan
lingkungan (Kottelat et al., 1993). Hoston in Mann (1981) in Harteman (1998) menyatakan
tentang keseimbangan model dinamis dari keanekaragaman jenis. Bila lingkungan habitat
ikan berubah dapat menyebabkan perubahan keragaman komunitas dan populasi.

Secara ekologi diasumsikan bahwa keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan


keseimbangan ekosistem yang lebih baik dan memiliki elastisitas terhadap berbagai
bencana, seperti penyakit, predator, dan lainnya. Sebaiknya keanekaragaman yang rendah
(jumlah spesies sedikit) menunjukkan sistem yang stress atau sistem yang sedang mengalami
kerusakan, misalnya bencana alam, polusi, dan lain-lain. Clarck (1974) in Sinaga (1995)
mengatakan bahwa dalam ekologi biasanya digunakan indeks keanekaragaman sebagai
ukuran kondisi suatu ekosistem yang mungkin dipengaruhi oleh berbagai gangguan
lingkungan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa populasi dari spesies-spesies terbentuk secara
bersama-sama, berinteraksi suatu dengan lainnya, juga terhadap lingkungan dalam berbagai
cara dimana hal tersebut menentukan jumlah spesies yang ada serta kelimpahan relatifnya.

7.3. Analisis komunitas


Odum (1996) menyebutkan, komunitas dapat disebut dan diklasifikasi menurut (1) bentuk
atau sifat struktur utama seperti misalnya jenis dominan, (2) habitat fisik dari komunitas,
atau (3) sifat-sifat atau tanda-tanda fungsional seperti misalnya tipe metabolisme

78
komunitas. Analisis komunitas dalam daerah geografis tertentu dari bentang darat telah
mengutamakan dua pendekatan yang berlawanan:
1. pendekatan secara zona, dalam mana komunitas yang terputus-putus dikenal,
diklasifikasi dan didaftarkan dalam suatu bentiuk daftar tipe-tipe komunitas,
2. pendekatan analisis gradien, yang melibatkan penyusunan populasi-populasi
sepanjang gradien atau sumbu lingkungan berdimensi satu atau banyak dengan
pengenalan komunitas didasar pada penyebaran-penyebaran frekuensi, koefisien
kesamaan, atau perbandingan statistik lainnya.

Ordinasi sering untuk menyatakan pengaturan jenis dan komunitas-komunitas sepanjang


gradien. Kontinum untuk menyatakan gradien yang mengandung jenis atau komunitas-
komunitas yang telah ditata. Penamaan komunitas sering didasarkan atas organisme yang
penting atau dominan, hal ini masih cocok karena komunitas terdiri dari organisme-
organisme dan satu atau dua jenis organisme dominan serta keadaan geografis atau fisik
yang telah jelas dan mantap baik hidup maupun tidak (Odum 1996).

Keanekaragaman yang lebih tinggi berarti rantai makanan yang lebih panjang dan lebih
banyak kasus dari simbiosis (mutualisme, parasitisme, komensalisme dsb) dan kemungkinan-
kemungkinan yang lebih besar untuk kendali umpan balik negatif, yang mengurangi
goyangan-goyangan dan karenanya meningkatkan kemantapan. Komunitas di dalam
lingkungan yang mantap seperti pada hutan tropik, mempunyai keanekaragaman jenis yang
lebih tinggi daripada komunitas-komunitas yang dipengaruhi oleh gangguan-gangguan
musiman atau secara periodik oleh manusia dan alam (Odum 1996).

Apa yang belum diukur adalah berapa jauh kenaikan dalam keanekaragaman komunitas
pada habitat yang sama, dengan sendirinya dapat meningkatkan kemantapan ekosistem
dihadapan goyangan luar dan di dalam habitat fisik. Cukup untuk dikatakan di sini bahwa
keanekaragaman cenderung jadi tinggi dalam komunitas yang lebih tua dan rendah pada
komunitas yang baru terbentuk. Sementara produtivitas atau arus energi seluruhnya jelas

79
mempengaruhi keanekaragaman jenis, kedua kualitas itu tidak berhubungan dalam cara
linier yang sederhana manapun (Odum 1996).

Komunitas-komunitas yang sangat produktif dapat memiliki baik keanekaragaman jenis


tinggi (contoh daerah beting karang) atau keanekaragaman jenis rendah (contoh daerah
kuala di iklim sedang). Kemantapan tampaknya lebih berhubungan langsung dengan
keanekaragaman daripada dengan produktivitas. Keanekaragaman jenis sangat dipengaruhi
oleh hubungan-hubungan fungsional tingkat-tingkat trofik. Tramer menyarankan bahwa
komunitas-komunitas dari lingkungan-lingkungan yang keras akan berubah-ubah dalam
keanekaragamannya menurut komponen kelimpahan nisbinya, sedangkan keanekaragaman
di dalam lingkungan yang tidak keras (dikendalikan secara biologi) akan merupakan fungsi
dari jumlah jenis (Odum 1996).

Indeks keanekaragaman memberikan satu cara terbaik untuk mengetahui dan menilai
pencemaran. Untuk keperluan ini seseorang hanya memerlukan kemampuan mengenal
jenis, tidak mengidentifikasikan mereka dengan nama. Kesalahan-kesalahan yang
diakibatkan dari kegagalan membedakan jenis yang sangat serupa atau perhitungan fase-
fase sejarah hidupnya sebagai jenis yang terpisah, tidak gawat sebab (1) jenis yang
berhubungan dekat tidak dijumpai dalam contoh yang sama (2) taraf-taraf sejarah hidup
yang berbeda itu sendiri merupakan bagian dari keanekaragaman (Odum 1996).
Analisis secara grafik mempunyai dua keuntungan dibandingkan dengan indeks (1) bias
pengambilan contoh dikurangi (2) tidak diduga adanya hubungan matematik ysng khusus.
Empat hipotesis utama hubungan antara S dan N (Odum 1996):
1. secara geometrik (Motomura 1932)
2. lognormal (Preston 1948)
3. logaritmik (Fisher, Corbet dan Williams 1943)
4. relung acak yang terkendalikan (MacArthur 1957)

7.4. Pola dalam komunitas

80
Pola yaitu struktur yang diakibatkan oleh penyebaran organisme di dalam, dan interaksinya
dengan lingkungan.Pola di dalam komunitas antara lain (Odum 1996):
1. pola stratifikasi (pelapisan tegakan)
2. pola-pola zonasi (pemisahan ke arah mendatar)
3. pola-pola kegiatan (periodisitas)
4. pola-pola jaring-jaring (organisasi jaringan kerja di dalam rantai makanan)
5. pola reproduktif (asosiasi)
6. pola-pola sosial (kelompok dan kawanan)
7. pola-pola ko-aktif (diakibatkan oleh persaingan, antibiosis, mutualisme dsb)
8. pola-pola stochastik (diakibatkan oleh tenaga atau kakas acak)

Satu kelemahan dari pengkajian keanekaragaman jenis seperti yang telah dilukiskan itu ialah
bahwa analisis demikian itu tidak mengungkapkan bagaimana populasi-populasi jenis itu
dihubungkan satu sama lainnya secara fungsional. Nisbah yang tinggi dari jenis terhadap
individu-individu hanya diduga interaksi-interaksi sesudahnya serta kemantapan umpan
balik. Pendekatan yang lebih maju akan mengukur langsung keanekaragaman mengenai
hubungan atau jalan dalam pola jaringan (Odum 1996).

7.5. Ekotone dan konsep pengaruh tepi


Ekotone adalah peralihan antara dua atau lebih komunitas yang berbeda. Daerah ini adalah
daerah pertemuan atau “jalur ketegangan” yang dapat terbentang luas tetapi lebih sempit
daripada komunitas sekitarnya itu sendiri. Komunitas ekotone biasanya banyak
mengandung organisme dari masing-masing komunitas yang saling tumpang tindih dan
sebagai tambahan organisme-organisme yang khas dan sering kali terbatas hanya pada
ekotone. Sering kali, jumlah jenis dan kepadatan populasi dari beberapa jenis lebih besar di
ekotone daripada di komunitas yang mengapitnya. Kecenderungan untuk meningkatnya
keanekaragaman dan kepadatan pada pertemuan komunitas dikenal sebagai pengaruh tepi
(edge effect). Jenis tepian (edge) adalah organisme yang hidup terutama sekali atau yang

81
terbanyak atau yang menghabiskan paling banyak waktu hidupnya di daerah pertemuan
antara komunitas-komunitas(Odum 1996).

7.6. Tujuan komunitas


Untuk mengevaluasi habitat di suatu perairan berdasarkan informasi ekologi.

7.7. Beberapa indeks struktur spesies yang berguna dalam komunitas


1) Indeks dominansi (C)
Dominansi dapat diartikan sebagai adanya satu atau lebih spesies yang mempunyai peranan
yang jauh lebih besar terhadap komunitas dan lingkungan. Dominansi dapat berbentuk
jumlah individu, ukuran tubuh atau penutupan, produksi, atau aktivitas lain. Dominan di
dalam semua golongan ekologi akan nyata pada lingkungan ekstrim. Indek dominansi dapat
dihitung berdasarkan rumus (Simpson 1949 in Odum 1996):

ni 2
C  ( )
N
Dimana: ni = nilai kepentingan untuk tiap spesies (jumlah individu biomass, produksi, dsb)
N = total nilai kepentingan

2) Indeks kesamaan (s) antara dua sampel (Sorenson 1948 in Odum 1996)

2C
S
A B
Dimana: A = jumlah spesies dalam sampel A
B = jumlah spesies dalam sampel B
C = jumlah spesies yang sama pada kedua sampel
Catatan: Indeks ketidaksamaan = 1 – S

3) Indeks diversitas spesies


a. Indeks untuk 3 spesies (d) (Margalef 1958 in Odum 1996)

82
S 1 S S
d1  d2  d3 
log N N 1000
Dimana: S = jumlah spesies
N = jumlah individu dsb

b. Indeks evenness (e) (Pielou 1966 in Odum 1996)


Keseragaman menunujukkan berapa besar nilai kesamaan jumlah individu antar jenis
pada suatu komunitas. Indeks keseragaman untuk mengetahui penyebaran jumlah
individu pada tiap jenis organisme.


e
log S
Dimana: H = indeks Shannon
S = jumlah spesies

c. Indeks Shannon untuk diversitas umum (H) (Shannon dan Weaver 1949in Odum 1996)
Diversitas (keanekaragaman) merupakan jenis jumlah organisme yang terdapat dalam
suatu area. Indeks keragaman menunjukkan kekayaan jenis dalam komunitas dan juga
memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian jumlah individu tiap jenis. Jenis
keragaman dapat dibagi menjadi keragaman pola dan genetik. Keragaman pola terdiri
dari stratifikasi, zonasi, dan rantai makanan, sedangkan keragaman genetic terdiri dari
bentuk, morfologi, dan warna. Indeks diversitas dipengaruhi oleh jumlah spesies dan
jumlah individu tiap spesies (Odum 1996).

ni ni
H   ( ) log( ) atau H   PiLogPi
N N
Dimana: ni = nilai kepentingan untuk setiap spesies
N = nilai kepentingan total
Pi = peluang kepentingan untuk tiap spesies

83
84
Bengen, Dietriech G. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumber daya pesisir dan laut. Pusat Kajian
Sumber Daya Pesisir dan Lautan.
Bengen DG. 2009. Perspektif ekosistem pesisir dan laut dalam karakteristik dan
dinamikanya. Tidak dipublikasikan. Bahan Kuliah Mayor Ilmu Kelautan, FPIK, IPB.
Bogor.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP dan Sitepu M.J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air: bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan
periaran. Kanisius: Yogyakarta.
Ewusse, S.Y. 1990. Ekologi Tropik, Terjemahan Usman Tanuwijaya. ITB. Bandung
Gonawi, G.R. 2009. Struktur Komunitas Nekton Di Sungai Cihideung, Bogor, Jawa Barat.
[skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK IPB
Fardiaz, S. 1992. Polusi air dan udara. Kerjasama Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor. Kanisius: Yogyakarta
Fortes, M.D. 1989. Seagrasses : A Resources Unknown in The ASEAN Region. ICLARM
Education Series 5.
Harteman, Edison. 1998. Afinitas Komunitas Ikan dengan Habitat di Sungai Kapuas,
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan).
Hartog, C. den. 1970. Seagrass of the world. North-Holland Publ.Co.,Amsterdam
Kiswara, W., M. K. Moosa dan M. Hutomo. 1994. Struktur Biologi Padang Lamun di Pantai
Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. Proyek Pengembangan kelautan
dan Pusat Pengembangan Oseanologi, LIPI. Jakarta.

85
Kottelat, M., A. J Whitten., S.N. Kartikasari., dan S. Wirjoatmodjo. 1993. Fres Water Fishes of
Westren Indonesia and Sulawesi-Ikan Air Tawar indonesia bagian Barat dan
Sulawesi. (Edisi Dwi Bahasa). Priplus Edition LTD., Hongkong 377 h.
Krebs. C. J. 1972. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper
and Rows Publisher. 694 p.
Krebs. C.J. 1989. Ecology Methodology. Hal.293-368. Harper Collins Publishers New York 694
h.
Luvi, D.M.2000. Aspek reproduksi dan kebiasaan makan ikan lalawak di sungai simanuk,
sumedang. [skripsi]. FPIK, IPB. Bogor.
Odum, E.P. 1996. Dasar-dasar ekologi. Terjemahan oleh Ir. Tjahyono Samingan, MSc dan Ir.
B. Srigandono, Msc. Gajah Mada University Press: Yogyakarta
Odum W.E dan Johannes R.E. 1975. The response of mangroves to man-induced
environmental stress. Tropical Marine Pollution. Elsevier Scientific. the
Netherland, Amsterdam
Odum, E. 1975. Fundamentals of ecology. Philadelphia, PA: Saunders
Mann K.H. 1982. Ecology of coastal waters, second edition. Oxford: Blackwell Scientific
Publication.
National Geographic Indonesia, April 2007.
Nurcahyadi, Wahyu. 2000. Keanekaragaman Sumberdaya Hayati Ikan di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Cikiniki dan Cisukawayana, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat.
[Skripsi]. Progaram Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK. IPB. Bogor
(tidak di publikasikan).
Nybakken, J. W. 1992. Bilologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. P.T. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Rangkuti, Ahmad M. 2009. Studi Kandungan Logam Berat Hg, Pb, dan Cd pada Air dan
Sedimen di Perairan Pulau Panggang-Pramuka Kep. Seribu DKI Jakarta. [skiripsi].
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK IPB
Resosoedarmo, Soedjiran., Kuswata K., da Aprilari S. 1989. Pengantar Ekologi. Remadja
Karya CV Bandung. Bandung

86
Sinaga, Toni Parulian. 1995. Bioekologi Komunitas Ikan di Sungai Banjaran Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor (tidak dipublikasikan).
Soegiarto A. 1976. Pedoman umum pengelolaan wilayah pesisir. Lembaga Oseanologi
Nasional, Jakarta.
Sutrisno, C.T.1991. Teknologi penyediaan air bersih. Penerbit Rineka Cipta : Jakarta.97h.
Wetzel, R.G. 2001. Limnology; lake and river ecosystem (third edition). Academic press.
London
Whitton, B.A.1975. River Ecology Blackwell Scientific Publ. Oxford 125 P
Wijaya, K.H. 2009. Komunitas Perifiton Dan Fitoplankton Serta Parameter Fisika-Kimia
Perairan Sebagai Penentu Kualitas Air Di Bagian Hulu Sungai Cisadane, Jawa
Barat. [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK IPB
Yayasan Terangi. 2005. Terumbu karang Jakarta; Pengamatan terumbu karang Kepuluan
Seribu (2004-2005). Yayasan Terangi. Jakarta.

www.eoearth.org/article/River
www. Mollusca.com
www.usd.edu/esci/figures/158401.JPG
www.usda.gov/stream_restoration/chap1.htm

87
LAMPIRAN ALAT DAN BAHAN

Secchi disk Termometer lapang Transek kuadrat

Surber Ekman dredge Planktonnet

DO meter Wadah botol Wadah plastik


88
Mikroskop Penentuan titik dengan Pengukuran kecerahan
GPS

Pengukuran Suhu dan pH Pengukuran Suhu dan Pengukuran Salinitas


oksigen

89
Penandaan Pengambilan contoh Pengambilan contoh
plankton benthos dan sedimen

Sumber: Rangkuti, 2009

Pengambilan contoh perifiton

90
LAMPIRAN ORGANISME

Nitzchia sp. Navicula sp. Pleurosigma sp.

Surrilela sp. Closterium sp. Pleurosigma sp.

Ulothrix sp. Frustulla sp. Amphora sp.

Rhopalodia sp. Gyrosigma sp. Melosira sp.

Sumber: Wijaya (2009)

91
Pomacea caniculata Pila ampulacea

Achatian fulica Pila scutata

Anodonta sp. Tipula sp. Simulum sp.

92
Sumber: www. Mollusca.com

93
Oreochromis niloticus Pangio Oblonga Glypthotorax
Nama Lokal : Nila Nama Lokal : platypogonoides
Serewot Nama Lokal : Kehkel

Puntius binotatus Trochogaster Channa striata


Nama Lokal : trocopterus Nama Lokal : Gabus
Beunteur Nama Lokal : Sepat

Sumber; Gonawi 2009

94
Odonata (Damselfly)

95
Diptera

96
LAMPIRAN CONTOH PERHITUNGAN
1. Kecerahan

D1  D2
Kecerahan (m) =
2
30  26
=
2
= 28 cm
= 0,28 m
Keterangan :
D1 = Kedalaman pada saat secchi disk tepat menghilang (cm)
D2 = Kedalaman pada saat secchi disk tepat terlihat kembali (cm)

2. Kelimpahan Plankton
Banyaknya plankton yang terdapat dalam 1 liter air.

Uoi Vr 1 n
Ni  x x x
Op UVo Vs Up
3x342 mm2 30 ml 1 5individu
 x x x
1,306 mm2 3x0,05ml 100l 3 x5
= 496,17 ind/l
= 496 ind/l
Keterangan :
Ni : Kelimpahan plankton jenis ke i
Oi : Luas gelas penutup (mm2) = 324 mm2
Op : Luas penampang pandang (mm2) = 1,306 mm2
Vr : Volume botol contoh (ml) = 30ml
Vo : Volume 1 tetes air contoh (ml) = 0,05 ml
Vs : Volume air yang disaring pada plankton net (100 l)
n : Jumlah plankton jenis ke i yang tercacah (5 individu)
P : Jumlah lapang pandang (5)

97
U : Ulangan (3 kali)

3. Kepadatan Perifiton
2
Banyaknya perifiton yang terdapat dalam cm .

Uoi Vr 1 n
Ni  x x x
Op UVo A Up
3x342 mm2 30 ml 1 5individu
 x x x
1,306 mm2 3x0,05ml 0,004 m2 3 x5
2
= 124042879 ind/m
Keterangan :
Ni : Kepadatan perifiton jenis ke i
Oi : Luas gelas penutup (mm2) = 324 mm2
Op : Luas penampang pandang (mm2) = 1,306 mm2
Vr : Volume botol contoh (ml) = 30ml
Vo : Volume 1 tetes air contoh (ml) = 0,05 ml
A : Luas kerikan = 4 cm2
n : Jumlah perifiton yang tercacah (5 individu)
P : Jumlah lapang pandang (5)
U : Ulangan (3)

4. Kepadatan Bentos
2
Banyaknya jumlah bentos yang terdapat per satuan luas (m )

X  n / 3
= 2/3x0,00045
2
= 1481,48 ind/m
2
= 1481 ind/ m
Keterangan :
X : Kepadatan bentos (Ind/m2)
n : Jumlah individu per satuan alat (2 individu)
µ : Luas bukaan mulut alat
98
5. Kecepatan Arus
Perbandingan antara jarak arus yang mengalir per satuan waktu.

V  S /t
= 1/20
= 0,05 m/s
Keterangan :
S : Jarak yang ditempuh bola pingpong (1 m)
t : Waktu yang ditempuh bola pingpong (20 detik)
V : kecepatan arus

6. Debit Air
Perbandingan antara banyaknya volume air yang mengalir per satuan waktu.

Axw
Q
t
20 m2 x1,5m

20
3
= 1,5 m /s
atau dapat juga menggunakan rumus
Q = V x W x lebar sungai
= 0,05 m/s x 1,5 m x 20 m
3
= 1,5 m /s
Keterangan :
Q : Debit air (m3/s)
V : Kecepatan Arus (m2/s) (0,05 m/s)
t : Waktu (sekon) (20)
A : Luas transek (1x20 m2)
W : Kedalaman Perairan (1,5 m) (rata-rata)
99
Ls : Lebar sungai (20 m)

7. Indeks Nilai Penting Mangrove


Spesies : Rhizophora sp.
 Kerapatan Jenis (Di)
Di = ni / A
2
Di= 41 / 100 = 0.41 ind/m
 Kerapatan relative jenis (RDi)
RDi = ( ni / n ) x 100
RDi= ( 41 / 41 ) x 100 = 100
 Frekuensi jenis ( Fi )
Fi = Pi / P
Fi = 1 / 1 = 1
 Frekuensi Relatif Jenis ( RFi )
RFi = ( Fi / F ) x 100
RFi = ( 1 / 1 ) x 100 = 100
 Penutupan Jenis ( Ci )
Ci =  ( BA ) / A
Ci = 4831.7108 / 100 = 48.317108
 Penutupan Relatif Jenis ( RCi )
RCi = ( Ci / C ) x 100
RCi = (48.317108 / 48.317108 ) x 100 = 100
 Indeks Nilai Penting ( INP )
INP = RDi + RFi + RCi
INP= 100 + 100 + 100 = 300

8. Kerapatan Lamun

100
Stasiun 1
Spesies : Enhalus sp. Kedalaman : 82 cm
Kelas Nilai tengah (Mi) Frekuensi (f) Mi x f
5 75 6 450
4 37,5 4 150
C = 734.42/25
3 18,75 4 75
= 52.75%
2 9,38 5 46,9
1 3,13 4 12,52
0 0 2 0
Total 25 734,42
Stasiun 7
Spesies : Enhalus sp. Kedalaman : 140 cm
Kelas Nilai tengah (Mi) Frekuensi (f) Mi x f C = 96.93/25
5 75 1 75 = 7.88%
4 37,5 0 0
3 18,75 2 37,5
2 9,38 8 75,04
1 3,13 3 9,39
0 0 11 0
Total 25 196,93

Stasiun 8
Spesies : Enhalus sp. Kedalaman : 140 cm
Kelas Nilai tengah (Mi) Frekuensi (f) Mi x f
5 75 0 0
4 37,5 0 0
C = 0/25
3 18,75 0 0
=0%
2 9,38 0 0
1 3,13 0 0
0 0 25 0

101
Total 25 0

9. Penutupan Terumbu Karang


% penutupan jenis ke-i = Panjang total kategori ke-i x 100%
Panjang transek
DC = 2157/3000 X 100 CS = 36/3000 X 100
= 3.83% = 1.67%
CF = 24/3000 X 100 MA = 437/3000 X 100
= 0.8% = 14.57

ACB = 115/3000 X 100 ACD = 5/3000 X 100


= 0.17% = 3.83%
R = 50/3000 X 100 CM = 176/3000 X 100
= 5.87% = 1.6%

10. Komunitas
Tabel Komposisi jenis ikan yang tertangkap di berbagai segmen Sunagi Cimanuk
Segmen sungai (ekor)
Nama ikan
A G H
Lele, Clarias bathracus 2485 7890 2550
Gabus, Channa striata 1235 4560 6980
Paray, Rasbora argyrotaenia 675 0 0
Lalawak, Barbodes balleroides 5435 7345 6985
Nilem, Osteochilus hasselti 1435 2000 0
Kehkel, Glyplothorax platypogon 970 425 0
Beureum panon, Puntius orphoides 3570 2340 675

102
Hampal, Hampala macrolepidota 6790 9820 12000
Cingir putri, Xyphorus helleri 0 325 0
Seran, Lepidocephalichthys hasselti 0 0 0
Jambal, Mystus cavasius 9765 0 3245
Jumlah 32360 34705 32435

Tabel nilai Indeks Diversitas, keseragaman, dan dominansi tiap segmen Sungai Cimanuk
Segmen Sungai
Indeks A G H
Diversitas(H') 2,7074897 2,49909202 2,2194632
Keseragaman (E) 0,849265 0,78389643 0,6961845
Dominansi (D) 0,1861204 0,20191091 0,2455836

103
Segmen/Stasiun
A G H
Pi Pi Pi
N Log Log Pi^ Log Log Pi^ Log Log Pi^
o Spesies Pi Pi Pi 2 Pi Pi Pi 2 Pi Pi Pi 2
- - - - -
0,0 1,1 - 0,0 0,2 0,6 0,1 0,0 0,0 1,1 0,0 0,0
Lele, Clarias 767 146 0,0 058 273 433 462 516 785 050 867 061
1 bathracus 92 8 856 97 45 2 5 86 22 1 7 66
- - - - - -
0,0 1,4 0,0 0,0 0,1 0,8 0,1 0,0 0,2 0,6 0,1 0,0
Gabus, Channa 381 183 541 014 313 814 158 172 149 676 435 461
2 striata 64 4 3 57 93 3 1 64 35 9 1 97
-
0,0 - 0,0 0,0
Paray, Rasbora 208 1,6 350 004
3 argyrotaenia 59 807 6 35 0 0 0 0 0 0 0 0
- - - - -
Lalawak, 0,1 0,7 0,1 0,0 0,2 - 0,1 0,0 0,2 0,6 0,1 0,0
Barbodes 679 748 301 282 116 0,6 427 447 150 673 435 462
4 balleroides 54 1 3 09 41 744 3 92 89 8 5 63
- - - -
Nilem, 0,0 1,3 0,0 0,0 0,0 1,2 0,0 0,0
Osteochilus 443 531 600 019 576 393 714 033
5 hasselti 45 6 1 66 29 6 2 21 0 0 0 0
- - -
Kehkel, 0,0 1,5 0,0 0,0 0,0 - 0,0 0,0
Glyplothorax 299 232 456 008 122 1,9 234 001
6 platypogon 75 4 6 99 46 12 1 5 0 0 0 0
- - - - - -
Beureum panon, 0,1 0,9 0,1 0,0 0,0 1,1 0,0 0,0 0,0 1,6 0,0 0,0
Puntius 103 573 056 121 674 711 789 045 207 822 349 004
7 orphoides 21 4 2 71 25 8 7 46 85 5 7 32
Hampal, 0,2 - - 0,0 0,2 - - 0,0 0,3 - - 0,1
Hampala 098 0,6 0,1 440 829 0,5 0,1 800 695 0,4 0,1 365
8 macrolepidota 27 781 422 27 56 482 551 64 15 323 597 41

104
4 9 8 4 7 7
-
0,0 2,0 - 8,7
Cingir putri, 093 285 0,0 7E-
9 Xyphorus helleri 0 0 0 0 65 1 19 05 0 0 0 0
Seran,
1 Lepidocephalicht
0 hys hasselti 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
- - - -
0,3 0,5 0,1 0,0 0,0 1,0 0,0 0,0
1 Jambal, Mystus 017 203 570 910 999 003 999 099
1 cavasius 61 4 2 6 0 0 0 0 23 3 6 85
- - - - - -
10, 0,8 0,1 9,0 0,7 0,2 0,9 5,5 0,6 0,2
020 155 861 984 527 019 987 550 685 455
Jumlah 1 7 1 2 1 7 4 11 68 3 1 84

105

You might also like