You are on page 1of 20

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Umumnya, untuk mencapai produksi tanaman secara optimum dilakukan

budidaya tanaman dengan pola tanam monokultur tidak terkecuali budidaya

jagung dan kedelai. Namun ternyata pola tanam tersebut berdampak negatif

terhadap lingkungan. Hal ini terjadi karena pola tanaman monokultur mempunyai

diversitas rendah sehingga stabilitas juga rendah (Ma’rif, 2012). Menurut

Sembaring, dkk. (2015) usaha tani monokultur pada lahan sempit kurang

menguntungkan, kegagalan panen berarti kerugian sangat besar.

Salah satu teknik budidaya yang ramah lingkungan adalah pola tanam

multiple cropping atau tumpangsari dengan maksud meningkatkan diversitas

sehingga stabilitas juga meningkat (Gomez dan Gomez, 1983 dalam Permanasari

dan Dody, 2012). Tumpangsari merupakan suatu usaha menanam beberapa jenis

tanaman pada lahan dan waktu yang sama, yang diatur sedemikian rupa dalam

barisan-barisan tanaman. Sistem tanam tumpangsari mempunyai banyak

keuntungan yang tidak dimiliki pada pola tanam monokultur. Keuntungan pada

pola tumpangsari menurut Sutidjo (1986) dalam (Kriswantoro dan Hermanto,

2013) antara lain: memanfaatkan tempat-tempat yang kosong, menghemat

pengolahan tanah, memanfaatkan kelebihan pupuk yang diberikan pada tanaman

pokok, menambah penghasilan per satuan luas tanah dan memberikan penghasilan

per satuan luas tanah dan memberikan penghasilan sebelum tanaman pokok

dipanen.

2
Produktivitas tanaman yang ditanam secara tumpangsari dipengaruhi oleh

populasi tanaman, pemupukan, model tumpang sari, penggunaan varietas unggul,

pemeliharaan dan penanganan pasca panen (Suprapto dan Marzuki, 2002).

Penanaman jagung dan kedelai secara tumpang sari memiliki kelebihan baik dari

segi agronomi maupun lingkungan. Hal ini dikarenakan kedelai merupakan jenis

tanaman legume yang mampu mengikat N di udara. Menurut Suarna, dkk. (1985)

dalam (Sarjito dan Hartanto, 2007) keberadaan kedelai mampu menambah

nitrogen sebanyak 84 kg N hingga 160 Kg N, bergantung pada kondisi

lingkungannya.

Jika lebih dari satu jenis tanaman ditanam bersama, maka berbagai jenis

tanaman terssebut akan saling mempengaruhi satu sama lain. Artinya, baik dalam

pola tanam mono ataupun multiple cropping akan terjadi persaingan antar

individual tanaman dari spesies yang sama (intraspesies) maupun antar tanaman

dari spesies yang berbeda (interspesies). Adanya persaingan tersebut akan

mempengaruhi pertumbuhan dan hasil produksi tanaman (Adiyoga, dkk., 2004).

Praktikum ini dilakukan dengan membuat petak percobaan dengan jumlah

kombinasi perlakuan 9 kombinasi dan diulang 3 kali. Setiap perlakuan terdiri atas

dua faktor, dimana faktor 1 adalah sistem tanam dan faktor 2 adalah dosis pupuk.

Adapun tujuan praktikum ini yaitu untuk mengetahui pola pertumbuhan dan

produksi tanaman yang ditanam dengan system mono dan multiple cropping dan

membandingkan dengan Land Equivalency Ratio (LER).

3
B. Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui pola pertumbuhan dan

produksi tanaman yang ditanam dengan system mono dan multiple cropping dan

membandingkan dengan Land Equivalency Ratio (LER).

4
II. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Bahan yang dibutuhkan dalam praktikum ini antara lain benih kedelai dan

jagung manis, pestisida, pupuk NPK, dan 1 buah bamboo. Alat yang diperlukan

antara lain cangkul, kored, light intensity meter, termohygrometer, oven, mistar,

timbangan, selang air, dan ember.

B. Prosedur Kerja

Persiapan

1. Persiapan di lahan untuk penanaman dengan luasan tertentu.

2. Petak-peta percobaan dibuat sesui dengan jumlah perlakuan yaitu 9

kombinasi diulang 3 kali ada 27 petak, dibuat 3 unit percobaan total ada 81

petak percobaan dengan ukuran 2 x 3 m2.

Pelaksanaan

1. Alat-alat yang dibutuhkan disiapkan.

2. Lahan yang sudah ditentukan oleh pihak kampus, diukur luasnya yaitu 2 x 3

m2 .

3. Petakan lahn dibersihan dari gulma dan kotoran, kemudian dicangkul untuk

mengemburkan tanah.

4. Dari tiap bedengan dengan luasan 2 x 3 m2 sekelilingnya dibuat parit kira-

kira kebar 30 cm dari petakan lain dan dalam sekitar 40 cm ( kelompok

kami 3 petak lahan).

5
5. Tanah diolah dengan dicampur pupuk kandang sebanyak 7,5 kg tiap petak

lahan. Tanah atau petakan yang telah diplah dibiarkan selama 2 hari

sebelum penanaman.

6. Setelah 2 hari, dilakukan penanaman pada petak lahan.

7. Petak I, ditananam monokuktur jagung (I1), petak II intercropping jagung-

kedelai (I2) dan petak III ditanman monokultur kedelai (I3).

8. Monokuktur jagung (I1) , benih jagung ditanman dengan jarak tanam 75 cm

x 25 cm.

9. Petak II intercropping jagung-kedelai (I3) , benih jagung ditanam dengan

jarak tanam 75 x 25 cm sementara kdelelai di tanman diantara barisan

jagung dengan jarak 25 x 25 cm.

10. Petak III ditanman monokultur kedelai (I2). Beih ditanam dengan jarak

tanam 25 x 25 cm.

11. Setiap petakan ditanam 1 nenih untuk setiap lubang pada masing-masing

tanaman.

12. Pupuk diberikan sesuai dengan perlakuan ( kelompok kami I1 P1;I2P1; I3P2 ,

dimana P1 = tanpa NPK ; P2 = dengan 50% NPK; P3 = dengan 100%

NPK).

13. Pemeliharaan terdiri dari penyiangan, penyiraman dan pemupukan

dilakukan secara berkala.

14. Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu pada

tanman sample, dimana yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun,

suhu dan kelembaban.

6
15. Destruksi dilakukan di minggu terakhir, dengan pencabutan dan oemanenan

pada tanman yang telah dijadikan sampel.

16. Variabel yang diamati untuk tanman jagung adalah bobot tongkol+klobot,

panjang tongkol, tinggi tanman dan jumlah daun.

17. Variabel pengamatan pada tanaman kedelaai adalah bobot polong,jumlah

polong, tinggi tanaman, jumlah daun dan keadaa bintil akar.

18. Setiap variabel diukur dan data yang didapatkan ditabulasikan dan saling

ditukar dengan kelompok atau rombongan lain.

19. Kemudian dari semua data yang diperoleh dianalisis menggunakan aplikasi

Dsastat.

7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Terlampir.

8
B. Pembahasan

Pertanaman tunggal atau monocropping adalah salah satu cara budidaya di

lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Kelebihan

pola tanam ini adalah pola tanam monokultur memiliki pertumbuhan dan hasil

yang lebih besar daripada pola tanam lainnya. Hal ini disebabkan karena tidak

adanya persaingan antar tanaman dalam memperebutkan unsur hara maupun sinar

matahari. Akan tetapi, pola tanam lainnya lebih efisien dalam penggunaan lahan

karena tanaman yang ditanaman lebih dari satu jenis. Kelebihan pola tanam ini

yaitu teknis budidayanya relatif mudah karena tanaman yang ditanam maupun

yang dipelihara hanya satu jenis. Keuntungan lainnya dari pertanaman monokultur

adalah perhitungan biaya input dan output juga lebih mudah diperhitungkan.

Selain itu kerugian lainnya penggunaan lahan, sarana dan prasarana kurang efektif

dan efisien serta sifat ketergantungan lebih besar dan resiko kerugian yang terjadi

tidak ada kompensasinya. Menurut Sutoro, dkk. (1988) dalam Marliah, dkk.

(2010) penanaman monokultur dirasakan kurang menguntungkan karena

mempunyai resiko yang besar, baik dalam keseimbangan unsure hara yang

tersedia, maupun kondisi hama penyakit dapat menyerang tanaman secara

eksplosif sehingga menggagalkan panen.

Intercropping atau tumpangsari adalah sistem format pola tanam dengan

penanaman secara pola baris sejajar rapi dan konservasi tanah dimana pengaturan

jarak tanamnya sudah ditetapkan dan pada format satu baris terdiri dari satu jenis

tanaman dari berbagai jenis tanaman. Kegunaan sistem ini yaitu biasanya

digunakan pada tanaman yang mempunyai umur berbuah lebih pendek, sehingga

9
dalam pengolahan tanah tidak sampai membongkar lapisan tanah yang paling

bawah atau bedrock, sehingga dapat menekan penggunaan waktu tanam (Beets,

1982).

Menurut Jumin (2002), tumpangsari ditujukan untuk memanfaatkan

lingkungan (hara, air, dan sinar matahari) sebaik-baiknya agar diperoleh produksi

maksimal. Thahir dan Hadmadi (1985) dalam Marliah, dkk. (2010) menyatakan

bahwa tumpangsari bertujuan untuk mendapatkan hasil panen lebih dari satu kali

dari satu jenis atau beberapa jenis tanaman dalam setahun pada lahan yang sama.

Tumpangsari dapat dilakukan dengan tanaman semusim yang saling

menguntungkan, misalnya antara jagung dan kacang-kacangan.

Tumpangsari sering dijumpai di daerah sawah tadah hujan, tegalan dataran

rendah maupun dataran tinggi. Tumpangsari di dataran rendah biasanya terdiri

atas berbagai macam palawija, sedangkan di dataran tinggi biasanya terdiri atas

berbagai macam tanaman hortkutura khususnya sayuran. Tumpangsari adalah

praktik budi daya pertanian yang dapat meningkatkan daya guna input yang

diberikan maupun sumber daya alam yang ada. Pertanaman secara tumpangsari

mempunyai empat aspek pengelolaan, yaitu:

1. Pengelolaan jarak tanam dan pola tanam

2. Pengelolaan populasi tanaman

3. Pengelolaan waktu yang tepat

4. Pengelolaan pemupukan (Rifai, dkk., 2014).

Menurut Ratri, dkk. (2015) tumpangsari mengakibatkan terjadinya

kompetisi antara tanaman pokok dengan tanaman sela. Kompetisi dapat

10
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Menurut

Firman (1992) aspek pengelolaan dalam tumpangsari perlu diperhatikan untuk

mengurangi kompetisi diantara tanaman atau dapat saling mendukung untuk

pertumbuhan dan produksi. Penerapan empat aspek pengelolaan tumpangsari

secara tepat juga dapat meningkatkan produktivitas per satuan luas lahan (Ratri,

dkk., 2015).

Tidak hanya tumpangsari, sistem pertanaman monokultur juga terjadi

kompetisi. Hal ini sangat alami karena setiap makhuk dalam suatu ekosistem akan

melakukan interaksi. Interaksi tersebut dapat berupa interaksi positif yang saling

menguntungkan dapat juga interaksi negatif. Kompetisi merupakan salah satu

contoh interaksi negatif. Kompetisi terjadi bila kedua individu mempunyai

kebutuhan sarana pertumbuhan yang sama sedangkan lingkungan tidak

menyediakan kebutuhan tersebut dalam jumlah yang cukup. Persaingan ini akan

berakibat negatif atau menghambat pertumbuhan individu-individu yang terlibat

(Fadlah, 2011).

Kompetisi dapat didefenisikan sebagai salah satu bentuk interaksi antar

tumbuhan yang saling memperebutkan sumber daya alam yang tersedia terbatas

pada lahan dan waktu sama yang menimbulkan dampak negatif terhadap

pertumbuhan dan hasil salah satu jenis tumbuhan atau lebih. Sumber daya alam

tersebut, contohnya air, hara, cahaya, CO2, dan ruang tumbuh. Definisi kompetisi

sebagai interaksi antara dua atau banyak individu apabila (1) suplai sumber yang

diperlukan terbatas, dalam hubungannya dengan permintaan organisme atau (2)

kualitas sumber bervariasi dan permintaan terhadap sumber yang berkualitas

11
tinggi lebih banyak.organisme mungkin bersaing jika masing-masing berusaha

untuk mencapai sumber yang paling baik di sepanjang gradien kualitas atau

apabila dua individu mencoba menempati tempat yang sama secara simultan

(Kastono,2005).

Sistem pertanaman monokultur merupakan sistem penanaman satu jenis

tanaman yang dilakukan sekali atau beberapa kali dalam setahun tergantung jenis

tanamannya, sedangkan tumpangsari adalah penanaman dua jenis tanaman atau

lebih pada sebidang tanah dalam waktu yang sama (Prasetyo, dkk., 2009).

Umumnya, dalam sistem monokultur terjadi kompetisi intraspesies. Namun

apabila dalam lahan budidaya monokultur terdapat spesies lain, seperti gulma

maka terjadi pula kompetisi interspesies. Dalam sistem tumpangsari juga terjadi

kompetisi baik antar tanaman spesies yang sama (intraspesies) maupun

berbeda/interspesies (dengan tanaman sela atau gulma). Artinya, semua jenis

sistem pertanaman memungkinkan terjadinya kompetisi baik intra maupun

interspesies. Kompetisi tersebut dapat berupa kompetisi biotik maupun abiotik

(Ernita dan Yunis, 2011).

Kompetisi abiotik merupakan persaingan yang dilakukan organisme-

organisme dalam memperebutkan kebutuhan ruang (tempat), unsur hara, air, dan

cahaya matahari. Kompetisi biotik merupakan persaingan yang dilakukan

organisme-organisme dalam memperebutkan agen penyerbukan dan agen

dispersal. Unsur hara, air, dan cahaya merupakan faktor yang sangat penting

untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tanaman jagung

yang ditanam secara monokultur secara nyata mempunyai tinggi tanaman yang

12
lebih besar karena tanaman memperoleh semua unsure hara yang dibutuhkan

dengan baik. Jagung yang ditanam secara tumpang sari mengalami kompetisi

dengan kedelai dalam memperebutkan unsure-unsur yang diperlukan untuk

pertumbuhan tanaman. Jagung yang ditumpangsarikan dengan kedelai

mempunyai umur berbunga dan umur panen yang lebih lama dibandingkan yang

ditanam secara monokultur. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan cahaya dan

unsure hara yang diserap tanaman (Permanasari dan Dody, 2012). Sedangkan

agen penyerbukan dan agen dispersal merupakan oganisme yang membantu

penyerbukan. Untuk menghindari hal tersebut maka waktu tanam sangat penting

untuk diperhatikan.

Masing-masing sistem pertanaman (monocropping dan intercropping)

mempunyai keuntungan dan kerugian. Untuk mengevaluasi keuntungan atau

kerugian yang ditimbulkan dari pola tanam tumpang sari dengan monokultur

dapat dihitung dari Nilai Kesetaraan Lahan (NKL). Nilai NKL ini

menggambarkan suatu areal yang dibutuhkan untuk total produksi monokultur

yang setara dengan satu Ha produksi tumpang sari (Prasetyo, dkk., 2009). Jika

pada hasil analisis diperoleh nilai NKL lebih besar 1 (>1), hal tersebut

menunjukkan bahwa pola tanam tumpangsari lebih produktif dibandingkan

monokultur. Untuk menghitung peningkatan produksi lahan yang dihasilkan,

digunakan rumus sebagai berikut (Rifai, dkk., 2014).

𝐻𝐴1 𝐻𝐵1
NKL = +
𝐻𝐴2 𝐻𝐵2

Keterangan:

HA1 = hasil jenis tanaman A yang ditanam secara tumpangsari

13
HB1 = hasil jenis tanaman B yang ditanam secara tumpangsari

HA2 = hasil jenis tanaman A yang ditanam secara monokultur

HB2 = hasil jenis tanaman B yang ditanam secara monokultur

Tabel 1. Bobot tongkol jagung monocropping dan intercropping

Komoditas Sistem tanam Perlakuan Blok Bobot tongkol


P1 1 195.3
P2 1 18.2
P3 1 227.2
P1 2 188.5
Mono P2 2 91.6
P3 2 206.2
P1 3 32
P2 3 172.5
P3 3 27
Jumlah 1158.5
Rata-rata 128.722
Jagung
P1 1 151.9
P2 1 174.2
P3 1 52
P1 2 183.74
Inter P2 2 64.4
P3 2 64.4
P1 3 144.6
P2 3 158.2
P3 3 39.6
Jumlah 1033.04
Rata-rata 114.782

Tabel 2. Bobot polong kedelai monocropping dan intercropping

Komoditas Sistem tanam Perlakuan Blok Bobot polong


P1 1 44.3
P2 1 58.4
Kedelai Mono P3 1 97
P1 2 151.2
P2 2 62.4

14
P3 2 25
P1 3 191.2
P2 3 10.6
P3 3 47.8
Jumlah 687.9
Rata-rata 76.4333333
P1 1 45.1
P2 1 28.5
P3 1 4.1
P1 2 14
Inter P2 2 70.2
P3 2 63.8
P1 3 37
P2 3 101.2
P3 3 66.2
Jumlah 430.1
Rata-rata 47.7888889
Diketahui :

HA1 (inter jagung) = 114.782 HB1 (inter kedelai) = 47.7888889

HA2 (mono jagung) = 128.722 HB2 (mono kedelai) = 76.4333333

𝐻𝐴1 𝐻𝐵1
NKL = +
𝐻𝐴2 𝐻𝐵2
114.782 47.7888889
NKL = 128.722 + 76.4333333 = 0.892 + 0.625 = 1.517

Kesimpulan: NKL tumpangsari Jagung-Kedelai (1.517) > 1, artinya pola tanam

tumpangsari lebih produktif dibandingkan monokultur.

Berdasarkan perhitungan diatas dapat dijelaskan bahwa hasil pola tanam

tumpangsari jagung dengan kedelai setelah dibandingkan dengan hasil tanaman

jagung dan kedelai monokultur mempunyai NKL sebesar 1.517. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2012) dengan jarak yang sama

yaitu 75 x 25 cm, yang menyebutkan bahwa tingkat efisiensi lahan tertinggi pada

perlakuan jarak tanam jagung 75 x 25 cm yaitu NKL 1,54.

15
Hasil penelitian Ernita dan Yunis (2011) serta Permanasari dan Doddy

(2012) menunjukkan bahwa NKL tumpangsari jagung-kedelai > 1. Hal ini dapat

terjadi karena pemilihan jenis tanaman yang tepat. Menurut Ernita dan Yunis

(2011) pemilihan jenis tanaman akan menentukan peningkatan nilai NKL pola

tanam secara tumpangsari. Dikatakan oleh Sarman (2001) dalam Ernita dan Yunis

(2011) bahwa kombinasi yang memberikan hasil baik pada tumpangsari adalah

jenis-jenis tanaman yang mempunyai kanopi daun yang berbeda. Marta (2013)

menambahkan bahwa pemilihan jenis tanaman yang ditumpangsarikan akan dapat

meningkatkan produksi karena dengan pemilihan tanaman yang tepat dengan

habitus dan system perakaran yang berbeda diharapkan dapat mengurangi

kompetisi dalam penggunaan faktor tumbuh.

Menurut Indrati (2009) jagung dan kedelai serasi untuk ditanam secara

tumpangsari karena kedelai termasuk tanaman C3 dan jagung merupakan tanaman

C4. Sebagai tanaman C4, jagung mampu beradaptasi dengan baik pada faktor

pembatas pertumbuhan dan produksi. Sifat lain tanaman jagung sebagai tanaman

C4 menurut Falah (2009) yaitu laju fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan

tanaman C3, fotorespirasi dan transpirasi rendah, serta efisien air. Ditinjau dari

morfologinya menurut Ernita dan Yunis (2011), jagung mempunyai akar serabut

dan kedelai mempunyai akar tunggang sehingga persaingan unsure hara relatif

kecil. Selain itu jagung mempunyai batang yang tidak bercabang dan daun yang

berbentuk helaian melekat pada buku batang sehingga tidak menghalangi sinar

matahariuntuk sampai ke tanaman kedelai.

16
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa dosis pupuk, system tanam serta

interaksi dosis pupuk dan system tanam tidak berpengaruh nyata terhadap variabel

yang diamati baik pada komoditas jagung maupun kedelai. Variabel jagung yang

diamati antara lain: bobot segar tongkol, panjang tongkol, jumlah daun dan tinggi

tanaman. Variabel kedelai yang diamati antara lain: bobot polong, jumlah polong,

jumlah daun serta tinggi tanaman.

Sistem tanam tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman jagung.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ernita dan Yunis (2011) tidak

berpengaruhnya pola tanam terhadap tinggi tanaman jagung karena tidak terjadi

persaingan dalam mendapatkan cahaya matahari yang signifikan antara tanaman

jagung dengan tanaman jagung, tanaman kedelai dengan kedelai, ataupun

persaingan antara tanaman jagung dengan tanaman kedelai.

Dosis pupuk tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, bobot

tongkol dan panjang tongkol pada tanaman jagung. Menurut Pratikta, dkk. (2012)

perlakuan penambahan pupuk NPK yang berpengaruh tidak berbeda nyata

terhadap parameter bobot tongkol, panjang tongkol, tinggi tanaman serta jumlah

daun bisa disebabkan terjadi kehilangan pupuk karena tercuci, menguap, maupun

fiiksasi. Faktor lain yang menyebabkan dosis pupuk menjadi tidak berpengaruh

terhadap variabel yang diamati yaitu curah hujan yang tinggi pada saat praktikum

dilaksanakan. Menurut Pratikta, dkk. (2012) curah hujan yang relative tinggi

mengakibatkan kurangnya intensitas matahari yang mengakibatkan terganggunya

proses fotosintesis.

17
Dosis pupuk juga tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun,

bobot polong, dan jumlah polong pada tanaman kedelai. Hasil yang didapat

bertentangan hasil penelitian Permanasari, dkk., 2014). Penyebab tidak

berpengaruhnya dosis pupuk terhadap variabel yang diamati yaitu adanya faktor

interaksi genetic kedelai dengan lingkungan tempat tumbuh kedelai (Pratikta,

dkk. 2012).

18
IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Perlakuan dosis pupuk, system tanam serta interaksi dosis pupuk dan system

tanam tidak berpengaruh nyata terhadap variabel yang diamati baik pada

komoditas jagung maupun kedelai.

2. NKL tumpangsari Jagung-Kedelai (1.517) > 1, artinya pola tanam tumpangsari

lebih produktif dibandingkan monokultur.

B. Saran

Diharapkan untuk praktikum selanjutnya dilakukan perhitungan LER karena

berdasarkan tujuan acara ini mahasiswa diharapkan untuk dapat mengetahui pola

pertumbuhan dan produksi pada monokulltur dan tumpangsari serta

membandingkan dengan LER

19
DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, dkk. 2004. Karakteristik Teknis Sistem Pertanaman Polikultur Sayuran


Dataran Tinggi. J. hort. Vol. 14 No. 4:287-301.

Beets, C Williem. 1982. Multiple Cropping and Tropical Farming Systems.


Gower. Western Press Carerina.

Ernita, R.M. dan Yunis, M. 2011. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung (Zea
mays L.) yang Ditumpangsarikan dengan Kedelai (Glycine max L.).
Agrista. Vol. 2 No. 3: 11-20.

Fadlah, R. N. 2011. Budidaya Jagung Manis. Balai Besar Pelatihan Pertanian


Lembang.

Firman, A. 1992. Tumpangsari tanaman Jagung Manis. BPTP. Maros.

Indrati, T.R. 2009. Pengaruh Pupuk Organik dan Populasi Tanam Terhadap
Pertumbuhan dan hasil Tumpangsari Kedelai dan Jagung. Tesis.
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Jumin, H. B. 2002. Agronomi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Kastono, 2005. Pemuliaan Kedelai Untuk Toleran Naungan dan Tumpang sari.
Buletin Agrobio 1 (2) : 15 – 20.

Kriswantoro, H. dan Hermanto. 2013. Kajian Sistem Tumpangsari Jagung Manis


dan Kedelai di Lahan Kering Kabupaten Musi Rawas. J. Lahan
Suboptimal. Vol. 2 No. 2: 181-189.

Ma’rif, B. 2012. Peran Densitas Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada Sistem
Tumpang Sari Deret Penggantian dengan Kacang Tanah (Arachis
hypogeal L.) Terhadap Hasil. Skripsi. Fakultas pertanian Universitas
Sebelas Maret, Surakarta.

Marliah, A. dkk. 2010. Pengaruh Jarak Tanam Antar Barisan pada Sistem
Tumpangsari Beberapa Varietas Jagung Manis dengan Kacang Merah
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil. Agrista. Vol. 14 No. 1: 30-38

Permanasari dan Dody K. 2012. Pertumbuhan Tumpangsari jagung dan Kedelai


pada Perbedaan Waktu Tanam ddan Pemangkasan Jagung. Vol. 3 No. 1:
13-20.

20
Prasetyo, dkk. 2009. Produktivitas Lahan dan NKL paa Tumpang Sari Jarak Pagar
dengan Tanaman Pangan. Jurnal Akta Agrosia. Vol. 12 No. 1: 51-55.

Pratikta, D. dkk. 2012. Pengaruh penambahan Pupuk NPK Terhadap Produksi


beberapa Tanaman Jagung (Zea mays L.). Berkala Ilmiah Pertanian. Vol.
1 No. 2: 31-40.

Ratri, C.H. dkk. 2015. Pengaruh waktu Tanam Barang Prei (Allium porum L.)
pada Sistem Tumpang Sari Terhadap Pertumbuhan dan Hasil tanaman
Jagung Manis (Zea mays saccharata). J. Produksi Tanaman. Vol. 3 no.
5: 406-412.

Rifai, A. dkk. 2014. Nilai Kesetaraan Lahan Budi Daya Tumpang Sari Tanaman
Tebu dengan Kedelai: Studi Kasus di Desa Karangharjo, Kecamatan
Sulang, Kabupaten Rembang. Widyariset. Vol. 17 No. 1: 59-70.

Sarjito, A. dan Hartanto. 2007. Respon Tanaman Jagung Terhadap Aplikasi


Pupuk Nitrogen dan penyisipan Tanaman Kedelai. J. Penelitian dan
Informasi Pertanian “Agrin”. Vol. 11 No. 2: 130-137.

Sembiring, A.S. dkk. 2015. Pengaruh Populasi Kacang Tanah (Arachis hypogeal
L.) dan Jagung (Zea mays L.) Pertumbuhan dan Produksi pada Sistem
Pola Tumpang Sari. Jurnal Online Agroteknologi. Vol. 3 No.1: 52-71.

Suprapto dan Marzuki. 2002. Bertanam Jagung. Penebar Swadaya, Jakarta.

21

You might also like