Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. RS
Usia : 4 Tahun
Jenis Kelamin : Laki laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Cempaka Putih
Tanggal Pemeriksan : 12 Desember 2017
3.5.8 Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani pada keempat
kuadran
Palpasi : Nyeri tekan (-)
3.5.9 Ekstremitas : CRT<2detik,
akral hangat -/-, udem -/-
3.5.10 Status Dermatologis
Lokasi : di regio fossa cubiti
Efloresensi : Terdapat lesi berupa
plak eritematosa disertai eskoriasi distribusi
regional dengan batas tidak tegas
Lokasi : di regio coli posterior
sinistra
Efloresensi : Terdapat lesi berupa
multiple papul eritematosa yang
sebagian disertai dengan skuama halus
dan tidak berbatas tegas.
2.1.Pendahuluan
Dermatitis atopic (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis
residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu, terutama di wajah
pada bayi (fase infantile) dan bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak).
Dermatitis atopic kerap terjadi pada bayi dan anak, sekitar 50% menghilang pada saat
remaja, kadang dapat menetap atau bahkan baru mulai muncul saat dewasa. Istilah
“atopy” telah diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, asal kata
“atopos” (out of place) yang berarti berbeda; dan biasa, baik lokasi yang terkena,
maupun perjalanan penyakitnya. Penyakit kulit ini diturunkan secara genetik, ditandai
oleh inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan episode eksaserbasi dan remisi.
Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarga dan
orangorang terdekat pasien.1,3
2.2.Epidemiologi
Sulit memperoleh data akurat mengenai epidemiologi, insidens, maupun
prevalensi di Indonesia. Data kunjungan pasien baru dermatitis atopic (diagnosis
ditetapkan dengan kriteria Hanifin Rajka) kelompok usia 0-14 tahun di Divisi Kulit
Anak, Poliklinik Departmen IK Kulit dan Kelamin, RSCM, pada periode tahun 2005
– 2007.1
Berbagai penelitian DA telah dilakukan, hasilnya bergantung pada kriteria
diagnosis DA yang ditetapkan pada setiap penelitian serta Negara dan subjek yang
diteliti. Prevalensi DA bervariasi, sebagai contoh prevalensi DA yang di teliti di
Singapura tahun 2002 menggunakan kriteria United Kingdom (UK) working party
pada anak sekolah (usia 7-12) sebesar 20,8% dari 12.323 anak. Penelitian Hannover
(Jerman) prevalensi DA (menggunakan kriteria Hanifin Rajka) pada anak sekolah (5-
9) ditemukan sebesar 10.5% dari 4219 anak. Umumnya, pada penelitian
epidemiologi, diagnosis DA ditetapkan dengan menggunakan kriteria diagnostic UK
working party, karena lebih praktis dan mudah digunakan. Sedangkan penelitian di
rumah sakit banyak menggunakan kriteria Hanifin Rajka. 1
Kriteria diagnostic UK berbeda dengan kriteria DA menurut Hanifin – Rajka
yang lebih rinci dan lebih halus. Kriteria tersebut umumnya lebih tepat digunakan
untuk menegakkan diagnosis serta mengukur derajat keparahan penyakit. 1
2.3.6.Predisposisi genetic
Penelitian genetik berdasarkan silsilah kelurga menyatakan, bahwa
risiko DA pada kembar monozigot sebesar 77% dan pada kembar dizigot 25%.
Dermatitis atopik sering dijumpai pada sebuah keluarga, namun penurunannya
tidak mengikuti hukum mandel. Ada kecenderungan lebih banyak terjadi pada
perempuan dan ditemukan banyak gen yang terlibat pada DA, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pola warisan DA bersifat multifaktorial. Uehara dan
Kimura (1993) menyatakan bahwa 60% pasien DA mempunyai anak atopi.
Jika kedua orang tuanya menderita DA, maka 81% anaknya berisiko
menderita DA. Apabila salah satu orang tuanya menderita DA maka risiko
menderita DA menjadi 59%.1
Penelitian lain menemukan pada ibu berpenyakit DA menunjukan
risiko Odds (RO) anak kandung sebesar 2,66; sedangkan bila ayah yang
n=menderita DA maka risikonya menjadi 1,29. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa penurunan DA cenderung bersifat maternal.
Sejak lama telah diketahui keterikatan antara dermatitis atopik, asma bronkial,
rinitis alergik, dan peningkatan kadar IgE dalam serum dengan human
leukocyt antigen (HLA) pada kromosom 6 dan lokus yang berbeda. Hasil
penelitian sebagai berikut:
1. Kromosom 5 (interleukin cluster): banyak penelitian terhadap kromosom 5
memperlihatkan hubungan antara asma, atopi dan dermatitis atopi dengan
5q23-31 yang merupakan kluster sitokin. Sitokin tersebut adalah Il-4, IL-13,
CD14 antigen dan IL-12B.
2. Kromosom 6-Major Histocompability Complex (MHC)-II, yaitu pada alel
HLA-DR4 dan DR7.
3. Kromosom 16: telah terdeteksi keterikatan polimorfisme gen IL-4RA dengan
IL-4, IL-13, sitokin Th2, dan IgE dengan fenotip dermatitis atopik serta asma
bronchial.1
2.3.8.Faktor psikologis
Pada psikoanalisis didapatkan tingkat gangguan psikis pada DA tergolong
tinggi, antara lain berupa rasa cemas, stress, dan depresi. Rasa gatal yang
hebat memicu garukan yang terus menerus sehingga menyebabkan kerusakan
kulit, sebaliknya dengan melihat kerusakan kulit rasa cemas makin meningkat.
Rasa cema bertambah manakala pasien bertemu dengan saudara, teman
disekolah, dan kesukaran menghentikan garukan. Pada pasien DA mempunyai
kecenderungan bersifat temperamental, mudah marah, agresif, frustasi, dan
sulit tidur.1
2.3.9.Teori atau hipotesis hygiene
Awalnya diduga infeksi merupakan salah satu pencetus DA atau salah
satu sumber superantigen (antara lain sumber endotoksik SA). Jumlah anggota
keluarga yang sedikit menyebabkan sedikit pula pajanan terhadap infeksi
akibat kontak dengan saudara yang lebih tua (kakak) di satu keluarga. Pajanan
dini tersebut menyebabkan system imun pada anak berkembang secara
normal, sehingga tubuh membentuk pertahanan imun selular. Hal tersebut
akan meningkatkan kerentanan terhadap alergi sehingga menurunkan risiko
DA. Sampai saat ini hipotesis higine masih dalam penelitian. Beberapa hasil
diantaranya masih kontraversional, termasuk penelitian probiotik (lacto-
basillus acidophilus) pada pengendalian DA.1
DA Fase infantile
DA lebih sering muncul pada usia bayi (2 bulan – 2 tahun), umumnya awitan
DA terjadi pada usia 2 bulan. Tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua pipi dan
tersebar simetris. Lesi dapat meluas ke dahi, kulit kepala, telinga, leher, pergelangan
tangan, dan tungkai terutama di bagian volar atau fleksor.
Dan bertambahnya usia, fungsi motoric bertambah semputna, anak mulai
merangkak dan belajar berjalan, sehingga lesi kulit dapat ditemukan di bagian
ekstensor, misalnya lutut, siku, atau di tempat yang mudah mengalami trauma.
Gambaran klinis fase ini lebih mirip dermatitis akut, eksudatif, erosi dan eksoriasi.
Karena gatal dan garukan lesi mudah mengalami infeksi sekunder. Fase infantile
dapat mereda dan menyembuh. Pada sebagian pasien dapat berkembang menjadi fase
anak atau fase remaja.
Pada bayi usia kurang 1 tahun, beberapa alergen misalnya (susu sapi, telur,
dan kacang kacangan) kadang masih berpengaruh, tetapi pada usia yang lebih tua
alergen hirup dianggap lebih berpengaruh. Namun demikian, hal tersebut masih
diperdebatkan.
DA fase anak
Pada DA fase anak (usia 2-10 tahun) dapat merupakan kelanjutan dari fase
infantile. Tempat predileksi lebih dering di fosa kubiti dan popliteal, fleksor
pergelangan tangan, kelopak mata, dan leher, dan tersebar simetris. Kulit pasien DA
dan kulit pada lesi cenderung lebih kering. Lesi dermatitis cenderung menjadi kronis,
disertai hyperkeratosis, hiperpigmentasi, erosi, eksoriasi, krusta dan skuama. Pada
fase ini pasienn DA lebih sensitive terhadap alergen hirup, wol, dan bulu binatang.
Gambar 2. Gambar di atas menunjukkan likenifikasi pada bagian leher dan bahu
pasien dermatitis atopic
Kriteria Major (Harus terdapat 3) Kriteria minor (harus terdapat 3 atau lebih)
1) Pruritus 1) Dryness
2) Rash on face and/or extensors in 2) Ichtyosis / palmar hiperlinearity,
infants and young children 3) keratosis pilaris
3) Lichenification in flexural areas 4) Type I allergy and increased serum IgE
in older children 5) Hand and foot dermatitis
4) Tendency toward chronic or 6) Cheilitis
chronically relapsing dermatitis 7) Nipple eczema
5) Personal or family history of 8) Increased presence of Staphylococcus
atopic disease: asthma, allergic aureus and herpes simplex
rhinitis, atopic dermatitis 9) Perifollicular keratosis
10) Pityriasis alba
11) Early age of onset
12) Recurrent conjunctivitis
13) Dennie – morgan infraorbital fold
14) Keratoconus
15) Cataract
16) Orbital darkning
17) Facial pallor/facial erythema
18) Anterior neck folds
19) Itch when sweating
20) Perifolliocular accentuation
21) Food intolerance
22) Course influenced by environmental
and emotional factors
23) White dermographism or delayed
blanch
Kriteria Williams:1
Harus Ada: Rasa gatal (Pada anak anak dengan bekas garukan
Ditambah 3 atau lebih:
Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar leher
(termasuk pipi pada anak dibawah 10 tahun)
Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever
Kulit kering secara menyeluruh pafa tahun terakhir
Ekzema pada lipatan (termauk pipi, kening, badan luar pada anak <4 tahun)
Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak <4 tahun
Pertimbangkan esensial,
Liken simpleks
chronicus Penyakit imunodefisiensi primer
• Penyakit imunodefisiensi campuran
Dermatitis numular
berat
Dermatosis
• Sindrom DiGeorge
palmoplantar • Hypogammaglobulinemia
Impetigo • Agammaglobulinemia
Erupsi obat • Sindrom Wiskolt-Aldrich
Dermatitis perioral • Ataxia-telangiectasia
erupsi cahaya
polimorfik; porphyrias) Sindrom genetik
HIV-dengan dermatosis
Lupus erytematosus Proliferative disorders
Graft-versus-host
disease
Pemfigus foliaceus
Dermatitis
herpetiformis
Penyakit
fotosensitivitas {hydroa
vacclniforme, erupsi
cahaya polimorfik;
porphyrias)
2.7. KOMPLIKASI
DA yang mengalami perluasan dapat menjadi eritroderma. Atrofi kulit dapat
terjadi akibat pemberian kortikosteroid jangka panjang.1
Okuler
Komplikasi pada mata yang berhubungan dengan dermatitis atopik berat
menyumbang untuk terjadinya morbiditas yang signifikan. Dermatitis kelopak
mata dan blefaritis kronik sering dikaitkan dengan dermatitis atopik serta sering
mengakibatkan gangguan visus yang terjadi akibat skar pada kornea.
Keratokonjungtivits atopik biasanya terjadi bilateral dan bisa disertai dengan
gejala lain seperti gatal, sensasi terbakar, mata yang berair, serta keluar cairan
mucoid yang banyak. Konjungtivitis vernal adalah proses inflamatori kronik berat
yang terjadi secara bilateral dan disertai dengan hipertrofi papilaris atau
cobblestone pada konjungtiva kelopak mata atas. Sensasi prutitus diperberat
dengan paparan terhadap iritan, cahaya, atau keringat. Keratokonus pula adalah
deformitas konikal pada kornea yang disebabkan oleh gosokan kronik pada mata
pasien dengan dermatitis atopik dan rhinitis alergi. Sekitar 21% pasien dengan
dermatitis atopik berat menderita katarak. Walaubagaimanapun, tidak diketahui
secara jelas manifestasi primer yang berlaku ini adalah disebabkan oleh dermatitis
atopik sendiri atau daripada penggunaan glukokortikoid topikal pada sekitar
daerah mata. 2
Infeksi
Dermatitis atopik biasanya dipersulit dengan infeksi viral pada kulit yang
rekuren disebabkan oleh defek pada fungsi sel T. Infeksi virus yang paling berat
adalah herpes simpleks yang mana penyakit ini bisa terjadi pada pasien di segenap
peringkat umur, menyebabkan terjadinya erupsi Kaposi variseliform atau ekzema
herpetikum. Setelah waktu inkubasi selama 5 hingga 12 hari, lesi yang multipel,
gatal, erupsi lesi vesikulopapuler yang menyebar dan berkelompok akan menjadi
hemoragik serta berkrusta. Erosi yang sangat nyeri serta punched out lesion turut
terjadi. Lesi ini bisa bergabung membentuk lesi yang sangat besar, menjadi
gundul, dan bagian yang berdarah bisa menyebar ke seluruh tubuh. Pada
dermatitis atopik, vaksin bagi cacar bisa menyebabkan terjadinya erupsi berat
yang menyeluruh (dikenali juga dengan vaksinatum ekzema) memberikan
gambaran seperti ekzema herpetikum. Dengan itu, vaksinasi merupakan
kontraindikasi pada pasien dermatitis atopik kecuali ada bukti yang jelas
menunjukkan pasien beresiko tinggi untuk terkena penyakit cacar. Infeksi jamur
superfisial juga sering didapatkan pada pasien dermatitis atopik dan menyumbang
kepada severitas penyakit ini. Pasien dermatitis atopik juga mempunyai tingkat
prevalensi yang tinggi untuk terjadinya infeksi Tricophyton rubrum berbanding
dengan pasien non-atopik.2
Dermatitis eksfoliatif
Pasien dengan keterlibatan bagian kulit yang ekstensif bisa terkena dermatitis
eksfoliatif. Penyakit ini ditandai dengan gejala seperti lesi yang kemerahan,
berskuama, kadang-kadang lesi tersebut luruh/gugur, berkrusta, terjadi toksisitas
sistemik, limfedenopati dan demam. Walaupun komplikasi ini jarang terjadi,
namun ianya bisa mengakibatkan kematian. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh
superinfeksi akibat produksi toksin oleh S.aureus atau infeksi herpes simpleks,
iritasi kulit yang menetap atau terapi yang tidak benar. Dalam kasus tertentu,
terminasi penggunaan glukokortikoid harus dilakukan untuk mengawal severitas
dermatitis atopik2
2.8. TATALAKSANA
Terapi yang bisa dilakukan adalah hidrasi kulit, terapi farmakologik dan
identifikasi serta eliminasi faktor pencetus dermatitis atopik seperti bahan iritan,
deterjen, alergen, agen infeksi, dan stres emosional. Terdapat banyak faktor
menyumbang kepada simptom dermatitis atopik yang kompleks. Oleh sebab itu,
rencana terapi berbeda-beda dan unik pada bagi setiap pasien karena reaksi kulit
pada setiap individu dan faktor pencetusnya adalah berbeda. 2
2.9.1.1.Hidrasi kutaneus
Pasien dermatitis atopik mempunyai kulit yang kering dan fungsi sawar kulit
yang terganggu. Kondisi ini bisa menyumbang kepada morbiditas dengan cara
membentuk mikrofisura dan celahan pada kulit sekaligus menjadi port de entry
bagi patogen kulit, bahan iritan, dan alergen, sekaligus mengakibatkan infeksi
sekunder. Kondisi ini bisa menjadi lebih parah ketika musim dingin. Untuk
mengurangi gejala secara simptomatis, dapat dilakukan mandi dengan air hangat
selama 20 menit diikuti dengan aplikasi emolien yang oklusif untuk
mengembalikan kelembapan kulit. Kombinasi penggunaan emolien yang efektif
dengan terapi hidrasi membantu mengembalikan dan mempertahankan sawar
stratum korneum serta mengurangkan frekuensi aplikasi glukokortikoid topikal.
Pelembap tersedia dalam berbagai sediaan antaranya krem, losion, atau ointment.
Namun begitu, sesetengah losion dan krem bersifat mengiritasi akibat
penambahan substansi lain seperti preservatif, pelarut, dan pewangi. Losion yang
mengandungi air bisa mengering disebabkan oleh efek evaporasi. Ointment
hidrofilik tersedia dalam berbagai viskositas tergantung dari kebutuhan pasien.
Ointment yang oklusif kadangkala tidak bisa ditoleransi dengan baik karena
mengganggu fungsi duktus ekrin dan bisa menginduksi terjadinya folikulitis.2
Jika memakai tabir surya, emolien diaplikasikan setengah jam sebelum
memakai tabir surya. Dermatitis atopik ringan sering kali membaik hanya dengan
pemakaian emolien, tetapi pada keadaan inflamasi akut, dibutuhkan tambahan
steroid topikal yang dapat digunakan sebelum penggunaan emolien agar
efektivitasnya tidak berkurang.3
Pasien dermatitis atopik lebih sensitif terhadap bahan iritan berbanding dengan
orang normal. Oleh itu, adalah penting bagi pasien untuk mengidentifikasi dan
mencegah faktor yang bisa mencetuskan itch-scratch cycle (siklus gatal-garuk).
Faktor pencetus ini antaranya adalah sabun dan deterjen, kontak dengan bahan
kimia, asap, memakai pakaian baru, dan paparan pada suhu dan kelembapan yang
ekstrim. Apabila menggunakan sabun, pasien harus mengurangkan durasi kontak
dengan bahan tersebut dan menggunakan sabun yang mempunyai pH yang
menghampiri pH neutral.pakaian baru harus dicuci terlebih dahulu sebelum
dipakai untuk mengurangkan kadar formaldehid dan bahan kimia yang lain.
Deterjen yang tertinggal pada pakaian turut bisa menyebabkan iritasi kulit.
Sebaiknya, penggunaan deterjen serbuk diganti dengan deterjen cecair sahaja.2
Kondisi persekitaran seperti suhu panas dan lembap serta berkeringat harus
disesuaikan mengikut kondisi pasien agar tidak memperberat penyakit. Walaupun
sinaran cahaya matahari memberi manfaat kepada penderita dermatitis atopik,
namun paparan yang berlebihan harus dicegah.2
2.9.1.4 Pruritus
2.9.4 Fototerapi
Cahaya matahari memberi banyak kebaikan pada pasien dermatitis atopik.
Walaubagaimanapun, sinaran yang terlalu panas bisa mencetuskan pruritus yang
memperberat kondisi pasien. Broadband UVB, Broadband UVA, Narrowband
UVB (311 nm), UVA-1 (340 hingga 400 nm) dan kombinasi fototerapi dengan
UVA-B menjadi terapi adjuvan (tambahan) yang bermanfaat untuk pasien
dermatitis atopik. Investigasi dari mekanisma fotoimunologi yang
bertanggungjawab terhadap efektifitas terapi menunjukkan bahwa sel Langerhans
epidermis dan eosinofil mungkin merupakan sasaran dari UVA fototerapi dengan
dan tanpa psoralen, sedangkan UVB yang diberikan menghasilkan efek
imnunosupresif dengan cara memblokir fungsi antigen-presenting Langerhans
cell dan mengubah produksi keratinosit sitokin. Indikasi bagi fotokemoterapi
dengan psoralen dan UVA adalah pasien dengan dermatitis atopik yang parah dan
menyebar. Efek samping jangka waktu pendek bagi fototerapi adalah eritema,
nyeri kulit, pruritus, dan pigmentasi. Efek samping jangka panjang pula adalah
2
proses penuaan yang prematur dan juga maligna kulit.
2.9.6.2. Siklosporin
Siklosporin merupakan imunosupresif poten yang bekerja pada sel T dengan
mensupresi transkripsi sitokin. Banyak studi menyatakan bahwa terapi siklosporin
jangka pendek bisa memberi kebaikan kepada pasien dermatitis atopik dewasa
dan anak-anak. Dosis 5mg/kgBB biasanya diberikan dengan jangka waktu pendek
dan jangka waktu panjang (1 tahun). Ada juga sumber yang mengatakan bahwa
siklosporin dalam bentuk mikroemulsi bisa diberikan setiap hari pada pasien
dewasa dengan dosis 150 mg (dosis rendah) dan 300 mg (dosis tinggi). Terapi
dengan siklosporin menunjukkan perbaikan pada kondisi pasien dan memperbaiki
kualitas hidup mereka. Efek dari diskontinuitas obat ini adalah relaps penyakit
kulit yang cepat, peningkatan serum kreatinin atau gangguan fungsi renal yang
signifikan, dan hipertensi.2
2.9.6.3 Antimetabolit
Pemberian monoterapi dengan mycophenolate mofetil peroral dalam jangka
pendek sebanyak 2 g setiap hari bisa menghilangkan lesi pada pasien dewasa
dermatitis atopik yang resisten terhadap terapi lain termasuk glikokortikoid
topikal dan sistemik, dan fototerapi psoralen dan UVA. Namun begitu, tidak
semua pasien yang berespon baik dengan obat ini. Terapi dengan obat ini harus
dihentikan jika pasien tidak menunjukkan respon setelah 4 hingga 8 minggu
perawatan. 2
2.9. PROGNOSIS
1. Boediardja, Siti Aisah. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin. Dermatitis
Atopik. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 167 – 189
2. Susan B, Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al:, Atopic Dermatitis.
Fitzpatricks’s Dermatology in general medicine. 8 th ed. Volumes 1. 2012. p 165-
181
3. Movita, Theresia. 2014. Tatalaksana Dermatitis Atopik. CDK-222/ vol. 41 no.
11. P 828 – 831. Diakses dari:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/1_10_222Tatalaksana%20Dermatitis%20At
opik.pdf tanggal: 13 Desember 2017.
4. Tada, Joji. 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. Journal of the Japan
Medical Association (Vol. 126, No. 1, 2001, pages 22–26) diakses dari:
http://www.med.or.jp/english/pdf/2002_11/460_465.pdf. Tanggal: 13 Desember
2017