You are on page 1of 33

BAB I

LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. RS
Usia : 4 Tahun
Jenis Kelamin : Laki laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Cempaka Putih
Tanggal Pemeriksan : 12 Desember 2017

II. ANAMNESA (ALOANAMNESA)


2.1 Keluhan Utama
Gatal di lengan kanan dan di leher sebelah kiri sejak 2 bulan yang
lalu
2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSIJ Cempaka Putih
dengan keluhan gatal di lengan kanan sebelah kanan dan leher kiri
sejak 2 bulan yang lalu. Gatal disertai bercak kemerahan dan
tampak luka bekas garukan di lengan kanan. Orang tua pasien
mengatakan pasien makin gatal jika berkeringat setelah bermain.
Pasien sudah berobat ke dokter umum dan sudah mendapatkan obat
tetapi orang tua pasien lupa nama obatnya dan tidak membaik
keluhannya.
2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan ini baru pertama kali dirasakan oleh pasien. Saat bayi
pasien alergi susu sapi. Riwayat asma dan rhinitis alergi disangkal.

2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang pernah atau sedang mengalami keluhan
serupa. Kedua orang tua pasien mengaku suka bersin bersin saat pagi hari.
Riwayat asma dan dermatitis atopi disangkal.
2.5 Riwayat Pengobatan
Sudah pernah berobat namun lupa nama obat yang diberikan.
2.6 Riwayat Alergi
Pasien ada riwayat alergi susu sapi sejak bayi.
2.7 Riwayat Psikososial
Pasien sering bermain diluar saat cuaca panas. Mandi sehari 2x dan
rajin mengganti baju setelah mandi.

III. PEMERIKSAAN FISIS


3.1 Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
3.2 Kesadaran : Compos Mentis
3.3 Tanda-tanda vital :
3.3.1 Tekanan Darah : tidak dilakukan
3.3.2 Nadi : 92x/menit,
reguler kuat angkat
3.3.3 Respirasi : 22x/menit
3.3.4 Suhu : 36,7’C
3.4 Status Antopometri:
3.4.1 BB: 22 kg

3.5 Status Generalis


3.5.1 Kepala : Normocephal, rambut
hitam, distribusi merata
3.5.2 Mata : Konjunctiva anemis -/-,
sklera ikterik -/-
3.5.3 Hidung : Simetris, deviasi septum
(-), serumen -/-
3.5.4 Mulut : Mukosa bibir dan mulut
lembab, sianosis (-)
3.5.5 Telinga : Normotia, sekret -/-,
perdarahan -/-
3.5.6 Leher : Pembesaran KGB -/-
3.5.7 Thorax :
 Inspeksi : Pergerakan dada simetris
 Palpasi : Vocal fremitus yang
simetris
 Perkusi : Sonor pada kedua
lapang paru
 Auskultasi
o Jantung : BJ I & II reguler,
murmur (-), gallop (-).
o Paru : vesikuler +/+, wheezing
-/-

3.5.8 Abdomen :
 Inspeksi : Perut tampak datar
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Perkusi : Timpani pada keempat
kuadran
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
3.5.9 Ekstremitas : CRT<2detik,
akral hangat -/-, udem -/-
3.5.10 Status Dermatologis
Lokasi : di regio fossa cubiti
Efloresensi : Terdapat lesi berupa
plak eritematosa disertai eskoriasi distribusi
regional dengan batas tidak tegas
Lokasi : di regio coli posterior

sinistra
Efloresensi : Terdapat lesi berupa
multiple papul eritematosa yang
sebagian disertai dengan skuama halus
dan tidak berbatas tegas.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan
V. RESUME
An. RS, laki laki, 4 tahun datang ke poli dengan keluhan gatal di
tangan kanan dan leher kirinya sejak 2 bulan. Gatal disertai bercak
kemerahan dan tampak luka bekas garukan di lengan kanan. Orang tua
pasien mengatakan pasien makin gatal jika berkeringat setelah bermain.
Pasien sudah berobat ke dokter umum dan sudah mendapatkan obat tetapi
orang tua pasien lupa nama obatnya dan tidak membaik keluhannya.
Status Dermatologi: di region fossa cubiti tampak plak
hiperpigmentasi dengan dasar eritematosa dengan eskoriasi. Dan di regio
coli posterior sinistra tampak papul eritematosa dengan skuama multiple
VI. DIAGNOSIS
6.1 Dermatitis atopic
VII. DIAGNOSIS BANDING
 Dermatitis kontak alergi
 Dermatitis seboroik
 Iktiosis vulgaris
VIII. TERAPI
7.1 Non-medikamentosa
i. Menjaga kulit tetap lembab
ii. Hindari alergen penyebab dan keringat berlebih.
7.2 Medikamentosa
1. Topikal
Hidrokortison 1% 2x sehari selama 1 minggu
Emolien 2x1
2. Sistemik
Cetirizine syrup 1 ml 1x1 malam hari jika gatal
IX. PROGNOSIS
a. Qua ad Vitam : Bonam
b. Qua ad Fungtionam : Bonam
c. Qua ad Sanationam : Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
“DERMATITIS ATOPIK”

2.1.Pendahuluan
Dermatitis atopic (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis
residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu, terutama di wajah
pada bayi (fase infantile) dan bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak).
Dermatitis atopic kerap terjadi pada bayi dan anak, sekitar 50% menghilang pada saat
remaja, kadang dapat menetap atau bahkan baru mulai muncul saat dewasa. Istilah
“atopy” telah diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, asal kata
“atopos” (out of place) yang berarti berbeda; dan biasa, baik lokasi yang terkena,
maupun perjalanan penyakitnya. Penyakit kulit ini diturunkan secara genetik, ditandai
oleh inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan episode eksaserbasi dan remisi.
Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarga dan
orangorang terdekat pasien.1,3

2.2.Epidemiologi
Sulit memperoleh data akurat mengenai epidemiologi, insidens, maupun
prevalensi di Indonesia. Data kunjungan pasien baru dermatitis atopic (diagnosis
ditetapkan dengan kriteria Hanifin Rajka) kelompok usia 0-14 tahun di Divisi Kulit
Anak, Poliklinik Departmen IK Kulit dan Kelamin, RSCM, pada periode tahun 2005
– 2007.1
Berbagai penelitian DA telah dilakukan, hasilnya bergantung pada kriteria
diagnosis DA yang ditetapkan pada setiap penelitian serta Negara dan subjek yang
diteliti. Prevalensi DA bervariasi, sebagai contoh prevalensi DA yang di teliti di
Singapura tahun 2002 menggunakan kriteria United Kingdom (UK) working party
pada anak sekolah (usia 7-12) sebesar 20,8% dari 12.323 anak. Penelitian Hannover
(Jerman) prevalensi DA (menggunakan kriteria Hanifin Rajka) pada anak sekolah (5-
9) ditemukan sebesar 10.5% dari 4219 anak. Umumnya, pada penelitian
epidemiologi, diagnosis DA ditetapkan dengan menggunakan kriteria diagnostic UK
working party, karena lebih praktis dan mudah digunakan. Sedangkan penelitian di
rumah sakit banyak menggunakan kriteria Hanifin Rajka. 1
Kriteria diagnostic UK berbeda dengan kriteria DA menurut Hanifin – Rajka
yang lebih rinci dan lebih halus. Kriteria tersebut umumnya lebih tepat digunakan
untuk menegakkan diagnosis serta mengukur derajat keparahan penyakit. 1

2.3.Etiologi dan Patogenesis


Timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi berbagai faktor
internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor predisposisi genetic (melibatkan
banya gen) yang menghasilkan disfungsi sawar kulit serta perubahan pada sistem
imun, khususnya hipersensitivititas terhadap beberapa allergen dan antigen mikroba.
Faktor psikologis dapat merupakan penyebab atau sebagai dampak DA. 1
2.3.1.Hubungan disfungsi sawar kulit dan pathogenesis DA
Dermatitis atopic erat kaitannya dengan gangguan fungsi sawar kulit
akibat menurunya fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan
lorikrin), berkurangnya volume seramid serta meningkatnya enzim proteolitik
dan trans epidermal water loss (TEWL). TEWL pada pasien DA meningkat 2-
5x pada orang normal. Sawar kulit juga dapat menurun akibat terpajan
protease eksogen yang berasal dari tungau debu rumah (house dust mite) dan
superantigen Staphylococcus aureus serta kelembaban udara1
Perubahan sawar kulit mengakibatkan peningkatan absorpsi dan
hipersensitivititas terhadap allergen (misalnya allergen hirup tungau debu
rumah). Peningkatan TEWL dan penurunan kapasitas kemampuan
penyimpanan air (skin capacitance), serta perubahan lipis esensial kulit,
menyebabkan kulit DA lebih kering dan sesitivitas gatal terhadap berbagai
rangsangan bertambah. Garukan akibat gatal menyebabkan erosi atau eskoriasi
yang mungkin dapat meningkatkan penetrasi mikroba dan kolonisasi mikroba
di kulit. Peningkatan hipersensitivitas tersebut berdampak pula meningkatnya
sensitivitas respirasi pasien DA terhadap allergen di kemudian hari. 1

2.3.2.Perubahan sistem imun (imunopatologi)


Pada kulit pasien DA terjadi perubahan sistem imun yang erat
hubungannya dengan faktor genetic, sehingga manifestasi fenotip DA
bervariasi. Penelitian genetic terhadap pasien asma memperlihatkan gen yang
sama dengan pasien DA, yaitu gen pada 11q13 sebagai gen pengkode IgE.
Ekspresi reseptor gen IgE tersebut pada sel penyaji antigen dapat memicu
terjadinya rangkaian peristiwa imunologi pada DA.1

2.3.4.Keratinosit, sel Langerhans, sitokin, IgE, eosinophil, dan sel T


Kerusakan sawar kulit menyebabkan produksi sitoki n keratinosit {IL-
1, IL-6, IL-8, tumor necrosis factor-α (TNF-α)} meningkat dan selanjutnya
merangsang molekul adhesi sel endotel kapiler dermis sehingga terjadi
regulasi limfosit dan leukosit.1
Ishizaka dkk. tahun 1996 menyatakan bahwa pada DA terdapat
peningkatan kadar IgE yang menyebabkan reaksi eritema kulit. Terjadi
stimulasi interleukin-4 (IL-4) terhadap sel T (CD4+) dan IL-13 terhadap sel B
untuk memproduksi IgE, sebaliknya interferon γ (IFNγ) dapat mensupresi sel
B. jumlah dan potensi IL-4 lebih besar dari IFNγ. IL-5 berfungsi menginduksi
proliferasi sel eosinophil yang merupakan salah satu parameter DA.1
Lesi akut DA ditandai edema interselular (spongiosis) dan sebukan
infiltrate di epidermis yang terutama terdiri atas limfosit T. sel Langerhans
(LC) dan makrofag (sebagai sel dendritic pemajan antigen/antigen presenting
cell) mengekspresikan molekul IgE. Di dermis, sebukan sel radang terdiri atas
limfosit T dengan epitope CD3, CD4, dan CD45R, monosit – makrofag,
sedangkan sel eosinophil jarang erlihat, jumlah sel mast normal tetapi aktif
berdegranulasi.1
Lesi kronik DA ditandai dengan hiperplasi epidermis, pemanjangan
rate ridges, sedikit spongiosis dan hyperkeratosis. Terdapat peningkatan sel
Langerhans dan jumlah IgE di epidermis, infiltrate di dermis lebih banyak
mengandung sel mononuclear / makrofag, dan sel mast yang bergranulasi
penuh, banyak sel eosinophil, serta tidak ada neutrophil walaupun terdapat
peningkatan kolonisasi dan infeksi Staphylococcus aureus.1
Pada fase akut sel T-helper 2 (TH-2) melepaskan sitokin (IL-4 dan IL-
13) yang menginduksi pembentukan IgE dan ekspresi molekul adhesi sel
endotel, sedangkan IL-5 menginduksi dan memelihara sel eosinophil pada lesi
kronik DA.1
Pada fase kronik sitokin yang berperan adalah IL-12 dan IL-11, dan
transforming growth factors β-1.1

Sel efektor pada reaksi imunologi DA


I. Keratinosit memiliki berbagai kemampuan, antara lain sebagai signal
transducer (pencetus sinyal), sebagai sel asesori, dan sebagai sel
penyaji antigen (SPA); oleh karena itu, keratinosit sekarang lebih
dianggap sebagai pelaku aktif sistem imun di epidermis. Pada
mekanisme inflamasi di epidermis selain keratinosit, sel Langerhans
merupakan SPA poten (mengekspresikan MHC II dan memiliki
reseptor IgE) dan juga mengekspresikan molekul B7, ICAM-1, dan
LFA-1
II. Sel T dapat mengenal antigen berkat adanya T cell receptor dengan
rantai α dan β yang membentuk kompleks reseptor dengan CD30. Sel
T di dermis dalam keadaan teraktivasi dapat mengenali antigen dalam
ikatan major histocompability – II (MHC II) dan menampilkan
reseptor IL-2. Pada DA sel T helper (T-CD4+) lebih banyak daripada
sel supresor (T-CD8+), dan subset sel T helper -2 (TH-2) lebih
berperan. Th-2 memproduksi interleukin-4 (IL-4) dan IL-5. IL-4
berperan dalam menginduksi sel B menjadi sel plasma yang
memproduksi IgE, sedangkan IL-5 mampu menarik dan memelihara
eosinophil di jaringan . selain mampu bermigrasi ke jaringan,
eosinophil mampu memproduksi major basic protein yang
menyebabkan kerusakan jaringan (toksik)
III. Sel endotel berfungsi mengatur lalu lintas leukosit pada inflamasi dan
pada saat di induksi reaksi hipersensitivititas mengekspresikan
berbagai molekul adhesi, yaitu ICAM-1, ICAM 2, VCAM 1, ELAM-
1.1
Dapat disimpulkan bahwa pada reaksi inflamasi / alergik DA selain
faktor alergendan IgE, juga berperan berbagai sel inflamasi, mediator (sitokin)
sel endotel serta molekul adhesi. Allergen yang masuk ke kulit akan ditangkap
oleh SPA, diproses dan disajikan kepada sel T (TH-2), berikatam demgan
kompleks TCR, sehingga mampu mengeluarkan IL-4 dan membantu sel B
memproduksi IgE. IgE akan menempati reseptor di permukaan sel mast. IgE
berikatan dengan alergen memcau sel mast berdegranulasi dan meepaskan
berbagai mediator serta IL-4 dan IL-5. Interleukin-3, IL-4 dan IL-5 mampu
menarik eosinophil dan memeliharanya di jaringan. Faktor lain yang
menyebabkan migrasi eosinophil adalah eosinophilic factor for anaphylaxis
(ECF-A), leukotriene B4 dan histamine.1
Sitokin dan kemokin berperan penting pada reaksi inflamasi DA.
Beberapa sitokin, misalnya TNF-α dan IL-1 yang dihasilkan sel keratinosit, sel
mast, dan sel Langerhans, berikatan dengan reseptor sel endotel kapiler,
mengaktifkan sinyal jalur sel, dan mengaktifkan molekul adhesi sel endotel.
Peristiwa tersebut menyebabkan ekstravasasi sel inflamasi ke kulit dan segera
menujuj tempat peradangan atau infeksi.1
Pada pasien DA diketahui IgE berjumlah lebih banyak dan
menunjukan adanya afinitas yang tinggi pada reseptor di keratinosit dan sel
Langerhans, sehingga pathogenesis DA lebih diperankan oleh reaksi tipe I.
pada reaksi hipersensitivititas tipe I (IgE mediated), rangsangan zat/bahan
langsung pada sel mast dapat menyebabkan sel mast berdegranulasi dan
melepaskan berbagai mediator, antara lain histamine, kinin, bradikinin, tripsin,
papain, leukotriene B4, prostaglandin E2, dan 12 HETE. Mediator tersebut
menyebabkan vasodilatasi, reaksi inflamasi (migrasi sel, ekspresi adhesi
molekul dan lain lain), rasa gatal, dan manifestasi inflamasi di kulit. pasien
DA secara genetic menunjukan hipersensitivitas terhadap berbagai alergen,
misalnya debu rumah, tungau debu rumah, serbuk sari bunga / polen, makanan
dan Staphylococcus aureus. 1

2.3.5.Alergen dan superantigen


a. Alergen
Faktor eksogen, terutama alergen hirup (debu rumah, tungau
debu rumah) berperan penting pada terjadinya DA. Alergen hirup
lainnya yang sering mempengaruhi adalah human dander, animal
dander, molds, grasses, trees, ragweed, and pollen. Beberapa
penelitian membuktikan peningkatan IgE spesifik (IgE RAST)
terhadap tungau debu rumah lebih tinggi pada pasien DA dibandingakn
dengan kondisi lain (OR>20). Kadar IgE spesifik meningkat terhadap
debu rumah, bulu anjing, buu kucing, bulu kuda, dan jamur. Kadar IgE
spesifik meningkat terhadap alergen tungau debu rumah menginduksi
perubahan histopatologik berupa pembentukan infiltrat selular yang
diperantarai sel T (TH-2) serta ditemukan eosinofil dan basofil. Bukti
lain adalah berkurangnya reaksi alergi bila menghindari alergen.
Penelitan Ridhawati Muchtar tahun 2000 di devisi Kulit Anak,
Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM, pada 20 DA
anak kelompok usia 4-7 tahun didapatkan hasil uji tusuk terhadap TDR
positif pada 14 (70%) DA anak, dan uji atopic patch test (APT) positif
pada 10 (50%) DA anak, IgE spesifik terhadap TDR positif pada 12
(60%) DA anak.
Hasil penelitian alergi terhadap makanan bervariasi dalam jenis
dan frekuensi. Selain dilakukan anamnesis riwayat alergi makanan
pada kekamnuhan DA, atau dengan IgE RAST, dapat juga dibuktikan
dengan uji kulit antara lain uji tusuk (prick test), soft allergen food
patch test (SAFPT) atau atopi patch test, dan double blind placebo
controlled food challenge test (DBPCFCT). Data hasil satu penelitian
memperlihatkan urutan alergen yang sering ditemukan dan uji kulit
bereaksi positif pada DA adalah telur (69%), sus sapi (52%), kacang-
kacangan (peanuts) (42%), soya (34%), dan gandum (wheat) 33%,
serta lainnya terhadap ikan dan ayam.
b. Superantigen
Berbagai hasil penelitian pada lesi DA menunjukan
peningkatan kolonisasi Stapylococcus aureus (SA). Walupun demikian
sangat jarang terjadi komplikasi sepsis. Hasil intervensi antibiotik
menurunkan jumlah kolonisasi tersebut. Yang menarik adalah jumlah
kolonisasi SA tersebut juga menurun setelah pemberian kortikosteroid
topikal poten atau trakolimus topikal. Stapylococcus aureus mampu
melekat di kulit karena interaksi antara protein A2 dan asam teikoik
(teichoic acid) pada dinding sel dengan fibronektin, laminin, dan
fibrinogen. Pada DA perubahan komposis lipid serta berkurangnya
sfongosin dan natural antimicrobal agent memungkinkan SA tumbuh
dan berkolonisasi.
Sebagian galur SA memproduksi toksin yang bertindak sebagai
superantigen (Sag), antara lain enterotoksin A (SEA), enterotoksin B
(SEB), dan toksin SSS penyebab Staphyloccoccal scalded skin
syndrome (4S). Superantigen mempunyai efek imunomodulator,
menyebabkan apoptosis sel T, sel eosinofil, meningkatkan penglepasan
histamin dan leukotrien, sintesis IgE, serta menurunkan potensi
glukortikoid. Selain itu, hasil penelitian menunjukan bahwa Sag
menyebabkan inflamasi pada kulit DA (50-60%). Penelitian lain
memperlihatkan temuan IgE anti-stafilokokus pada sekitar 25% pasien
DA, sedangkan IgE antibodi terhadap Sag didapatkan pada 57% pasien
DA dewasa dan pada 34 pasien DA anak. Demikian pula terhadap
peningkatan IgE spesifik terhadap SEB. Superantigen memacu
kekambuhan lesi DA menjadi rekalsitran dan kronik serta menginduksi
influks cutaneus lymphocyte antigen (CLA) pada reseptor sel T.
Pada tahap pengobatan DA tehadap Sag dapat diberikan obat
golongan makrolid, yaitu takrolimus atau pimekrolimus yang
berpotensi menghambat kalsineurin yag diproduksi sel T dan
menghambat IL-2, IL-3, IL-4, TNF α, dan GSM-CSF. Tahun 1977 Aly
dkk, melaporkan bahwa 63% SA resisten terhadap penisilin, 14 %
terhadap tertasiklin, dan 20% terhadap eritromisin. Di Australia
ditemukan pada isolasi methicilin-resistant Stapylococcus aureus
(MRSA) pada 30% pasien dermatologi. Di Manchester, dari pasien DA
dapat diisolasi MRSA pada 6% dari 36 bayi, 10% dari 80 anak
kelompok usia 1-5 tahun, dan 19% dari 78 anak kelompok anak
terhadap DA oleh Deasy 2009 di RSCM, tidak menemukan MRSA
pada lesi DA dan nares. 1

2.3.6.Predisposisi genetic
Penelitian genetik berdasarkan silsilah kelurga menyatakan, bahwa
risiko DA pada kembar monozigot sebesar 77% dan pada kembar dizigot 25%.
Dermatitis atopik sering dijumpai pada sebuah keluarga, namun penurunannya
tidak mengikuti hukum mandel. Ada kecenderungan lebih banyak terjadi pada
perempuan dan ditemukan banyak gen yang terlibat pada DA, sehingga dapat
disimpulkan bahwa pola warisan DA bersifat multifaktorial. Uehara dan
Kimura (1993) menyatakan bahwa 60% pasien DA mempunyai anak atopi.
Jika kedua orang tuanya menderita DA, maka 81% anaknya berisiko
menderita DA. Apabila salah satu orang tuanya menderita DA maka risiko
menderita DA menjadi 59%.1
Penelitian lain menemukan pada ibu berpenyakit DA menunjukan
risiko Odds (RO) anak kandung sebesar 2,66; sedangkan bila ayah yang
n=menderita DA maka risikonya menjadi 1,29. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa penurunan DA cenderung bersifat maternal.
Sejak lama telah diketahui keterikatan antara dermatitis atopik, asma bronkial,
rinitis alergik, dan peningkatan kadar IgE dalam serum dengan human
leukocyt antigen (HLA) pada kromosom 6 dan lokus yang berbeda. Hasil
penelitian sebagai berikut:
1. Kromosom 5 (interleukin cluster): banyak penelitian terhadap kromosom 5
memperlihatkan hubungan antara asma, atopi dan dermatitis atopi dengan
5q23-31 yang merupakan kluster sitokin. Sitokin tersebut adalah Il-4, IL-13,
CD14 antigen dan IL-12B.
2. Kromosom 6-Major Histocompability Complex (MHC)-II, yaitu pada alel
HLA-DR4 dan DR7.
3. Kromosom 16: telah terdeteksi keterikatan polimorfisme gen IL-4RA dengan
IL-4, IL-13, sitokin Th2, dan IgE dengan fenotip dermatitis atopik serta asma
bronchial.1

Tidak semua fenotip DA diekspresikan oleh genotip. Gen predisposisi


atopi pada ras atau negara tertentu hasilnya bervariasi. Keadaan ini lazim
ditemukan pada pola penurunan yang bersifat multifaktor.1
Wollenberg dan Bleiber tahun 2002 mengumpulkan berbagai hasil
penelitian hubungan antara gen yang diduga berperan (candidate gene) pada
DA dengan region gen terkait. Publikasi Kluken, Weiner dan Bleiber 2003
menyampaikan temunan gen yang diduga berperan pada dermatitis atopik.1
Farida Tabri pada disertasinya tahun 2011 membuktikan bahwa pada
pasien DA fase anak, terjadi mutasi gen polimorfisme CTLA-4 dan penurunan
kadar IL-6 dalam serum. Selain itu, tak seorang pun anak dengan DA yang
megidap cacing usus. 1
2.3.7.Mekanisme pruritus pada dermatitis atopic
Patofisiologi pruritus pada DA belum diketahui pasti. Pada umumnya para
pakar berpendapat bahwa sensasi gatal dan nyeri disalurkan melalui saraf C
tidak bermielin di daerah taut dermoepidermal. Ransangan ke reseptor gatal
tersebut menjalar melalui saraf spinal sensorik kemudian ke hipotalamus
kontralateral dan selanjutnya ke korteks untuk dipersepsikan1.
Ransangan ringan dan superficial dengan intensitas rensah menyebabkan
rasa gatal, namun bila lebih dalam dan intensitas tinggi dapat menyebabkan
sensasi nyeri. Pathogenesis DA berkaitan dengan factor genetic dan
hipersensitivitas tipe I fase lambat (IgE mediated, late phase). Namun,
kemudian dianggap pada DA dapat terjadi reaksi yang diperantarai
hipersensitivitas tipe IV dan tipe I.1
Untuk memahami pathogenesis pruritus pada DA, perlu memahami lebih
dulu berbagai faktor yang berpengaruh pada DA, antara lain IgE, sel inflamasi
DA, mediator, sitokin, serta faktor lainnya. Telah ditemukan peningkatan
kadar histamine di kulit pasien dengan peningkatan tersebut tidak disertai
dengan peningkatan di dalam darah. Hasil salah satu penelitian
memperhatikan antihistamin hanya member efek minimal sampai sedang
dalam mengatasi pruritus pada DA. Hal tersebut terjadi karena mungkin
histamine bukan satu-satunya zat pruritogenik. Perlu dipikirkan kemungkinan
mediator lain yang dikeluarkan oleh sel mas atau faktor non-imunologik yang
diduga sebagai penyebab pruritus, yaitu zat tergolong neuropeptida, protease,
opoid, eikosanoid, dan sitokin.1

2.3.8.Faktor psikologis
Pada psikoanalisis didapatkan tingkat gangguan psikis pada DA tergolong
tinggi, antara lain berupa rasa cemas, stress, dan depresi. Rasa gatal yang
hebat memicu garukan yang terus menerus sehingga menyebabkan kerusakan
kulit, sebaliknya dengan melihat kerusakan kulit rasa cemas makin meningkat.
Rasa cema bertambah manakala pasien bertemu dengan saudara, teman
disekolah, dan kesukaran menghentikan garukan. Pada pasien DA mempunyai
kecenderungan bersifat temperamental, mudah marah, agresif, frustasi, dan
sulit tidur.1
2.3.9.Teori atau hipotesis hygiene
Awalnya diduga infeksi merupakan salah satu pencetus DA atau salah
satu sumber superantigen (antara lain sumber endotoksik SA). Jumlah anggota
keluarga yang sedikit menyebabkan sedikit pula pajanan terhadap infeksi
akibat kontak dengan saudara yang lebih tua (kakak) di satu keluarga. Pajanan
dini tersebut menyebabkan system imun pada anak berkembang secara
normal, sehingga tubuh membentuk pertahanan imun selular. Hal tersebut
akan meningkatkan kerentanan terhadap alergi sehingga menurunkan risiko
DA. Sampai saat ini hipotesis higine masih dalam penelitian. Beberapa hasil
diantaranya masih kontraversional, termasuk penelitian probiotik (lacto-
basillus acidophilus) pada pengendalian DA.1

2.4. Manifestasi klinis


Manifestasi dan tempat predileksi DA pada masing masing fase dapat
berbeda. Dibandingkan dengan dermatitis lainnya, DA secara subjektif lebih gatal.
Rasa gatal dan garukan yang terus menerus memicu kerusakan barrier kulit, sehingga
memudahkan masuknya alergen dan iritan. Keadaan tersebut menyebabkan DA sering
berulang (kronik-residif). Perjalanan penyakit yag demikian berdampak gangguan
fisik dan emosi pasien, sehingga kualitas hidup pasien menurun.1

 DA Fase infantile
DA lebih sering muncul pada usia bayi (2 bulan – 2 tahun), umumnya awitan
DA terjadi pada usia 2 bulan. Tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua pipi dan
tersebar simetris. Lesi dapat meluas ke dahi, kulit kepala, telinga, leher, pergelangan
tangan, dan tungkai terutama di bagian volar atau fleksor.
Dan bertambahnya usia, fungsi motoric bertambah semputna, anak mulai
merangkak dan belajar berjalan, sehingga lesi kulit dapat ditemukan di bagian
ekstensor, misalnya lutut, siku, atau di tempat yang mudah mengalami trauma.
Gambaran klinis fase ini lebih mirip dermatitis akut, eksudatif, erosi dan eksoriasi.
Karena gatal dan garukan lesi mudah mengalami infeksi sekunder. Fase infantile
dapat mereda dan menyembuh. Pada sebagian pasien dapat berkembang menjadi fase
anak atau fase remaja.
Pada bayi usia kurang 1 tahun, beberapa alergen misalnya (susu sapi, telur,
dan kacang kacangan) kadang masih berpengaruh, tetapi pada usia yang lebih tua
alergen hirup dianggap lebih berpengaruh. Namun demikian, hal tersebut masih
diperdebatkan.

 DA fase anak
Pada DA fase anak (usia 2-10 tahun) dapat merupakan kelanjutan dari fase
infantile. Tempat predileksi lebih dering di fosa kubiti dan popliteal, fleksor
pergelangan tangan, kelopak mata, dan leher, dan tersebar simetris. Kulit pasien DA
dan kulit pada lesi cenderung lebih kering. Lesi dermatitis cenderung menjadi kronis,
disertai hyperkeratosis, hiperpigmentasi, erosi, eksoriasi, krusta dan skuama. Pada
fase ini pasienn DA lebih sensitive terhadap alergen hirup, wol, dan bulu binatang.

 DA fase remaja dan dewasa


DA fase remaja dan dewasa (usia > 13 tahun) dapat merupakan kelanjutan dari
fase infantile atau fase anak. Tempat predileksi mirip pada fase anak, dapat meluas
mengenai kedua telapak tangan, jari jari, pergelangan tangan, bibir, leher bagian
anterior, scalp, dan putting susu. Manifestasi klinis bersifat kronis, berupa plak
hiperpigmentasi, hyperkeratosis, likenifikasi, eksoriasi, dan skuama. Rasa gatal lebih
hebat saat beristirahat, udara panas dan berkeringat. Fase ini berlangsung kronik –
residif sampai usia 30 tahun, bahkan lebih. 1
Gambar 1. Gambar kiri menunjukkan bayi dengan lesi dermatitis atopik . Gambar
kanan menunjukkan lesi dermatitis atopik yang berkrusta pada anak ini.

Gambar 2. Gambar di atas menunjukkan likenifikasi pada bagian leher dan bahu
pasien dermatitis atopic

2.5. Kriteria Diagnosis DA


Diagnosis DA dapat ditegakkan secara klinis dengan gejala utama gatal,
penyebaran simetris di tempat predileksi (sesuai usia), terdapat dermatitis yang kronik
residif, riwayat atopi pada pasien atau keluarganya. Kriteria tersebut disebut sebagai
kriteria mayor Hanifin – Rajka, untuk memastikan diagnosis dibutuhkan 3 tanda
minor lainnya. 1,2,4

Kriteria Major (Harus terdapat 3) Kriteria minor (harus terdapat 3 atau lebih)
1) Pruritus 1) Dryness
2) Rash on face and/or extensors in 2) Ichtyosis / palmar hiperlinearity,
infants and young children 3) keratosis pilaris
3) Lichenification in flexural areas 4) Type I allergy and increased serum IgE
in older children 5) Hand and foot dermatitis
4) Tendency toward chronic or 6) Cheilitis
chronically relapsing dermatitis 7) Nipple eczema
5) Personal or family history of 8) Increased presence of Staphylococcus
atopic disease: asthma, allergic aureus and herpes simplex
rhinitis, atopic dermatitis 9) Perifollicular keratosis
10) Pityriasis alba
11) Early age of onset
12) Recurrent conjunctivitis
13) Dennie – morgan infraorbital fold
14) Keratoconus
15) Cataract
16) Orbital darkning
17) Facial pallor/facial erythema
18) Anterior neck folds
19) Itch when sweating
20) Perifolliocular accentuation
21) Food intolerance
22) Course influenced by environmental
and emotional factors
23) White dermographism or delayed
blanch

Kriteria Williams:1
Harus Ada: Rasa gatal (Pada anak anak dengan bekas garukan
Ditambah 3 atau lebih:
 Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar leher
(termasuk pipi pada anak dibawah 10 tahun)
 Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever
 Kulit kering secara menyeluruh pafa tahun terakhir
 Ekzema pada lipatan (termauk pipi, kening, badan luar pada anak <4 tahun)
 Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak <4 tahun

2.6. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding DA bergantung pada fase atau usia, manifestasi kinis, serta
lokasi DA. Pada fase bayi dapat mirip dermatitis seboroik, psoriasis, dan dermatitis
popok. Sedangkan pada fase anak dapat mirip dengan dermatitis numularis, dermatitis
intertrigenosa, dan dermatitis kontak. Sedangkan pada fase dewasa lebih mirip dengan
neurodermatitis atau liken simpleks kronik.1,2

Diagnosa banding Dermatitis Atopik2


Paling sering Jarang ditemukan pada bayi dan anak-anak
 Dermatitis kontak  Metabolik/nutrisional
(alergi dan iritan) • Fenylketonuria
 Dermatitis seboroik • Defisiensi Prolidase
 Skabies • Deficiency karboksilase multipel
 Psoriasis • Defisiensi zat besi (acrodermatitis

 Iktiosis vulgaris enleropathica; prematur; defisiensi

 Keratosis pilaris zat besi dalam ASI; kista fibrotik)

 Dermatofitosis • Lain-lain: biotin, asam lemak

Pertimbangkan esensial,

 Ekzema asteatotik Asiduria organik

 Liken simpleks
chronicus  Penyakit imunodefisiensi primer
• Penyakit imunodefisiensi campuran
 Dermatitis numular
berat
 Dermatosis
• Sindrom DiGeorge
palmoplantar • Hypogammaglobulinemia
 Impetigo • Agammaglobulinemia
 Erupsi obat • Sindrom Wiskolt-Aldrich
 Dermatitis perioral • Ataxia-telangiectasia

 Pityriasis alba • Sindrom Hiperimmunoglobulin E

 Penyakit fotsensitivitas • Chronic mukokutaneous kandidiasis

(hydroa vacciniforme; • Sindrom Omenn

erupsi cahaya
polimorfik; porphyrias)  Sindrom genetik

 Dermatitis moluskum • Sindrom Netherton


• Sindrom Hurler

Jarang ditemukan pada remaja


dan dewasa  Inflammatory, autoimmune disorders

 Limfoma kutaneus sel • Eosinophilic gastroenteritis

T (mycosis fungoides • Gluten-sensitive enteropati

atau Sindrom Sezary) • Neonatal lupus erythematosus

 HIV-dengan dermatosis
 Lupus erytematosus  Proliferative disorders

 Dermatomiositis • histiositosis sel Langerhans

 Graft-versus-host
disease
 Pemfigus foliaceus
 Dermatitis
herpetiformis
 Penyakit
fotosensitivitas {hydroa
vacclniforme, erupsi
cahaya polimorfik;
porphyrias)

2.7. KOMPLIKASI
DA yang mengalami perluasan dapat menjadi eritroderma. Atrofi kulit dapat
terjadi akibat pemberian kortikosteroid jangka panjang.1
 Okuler
Komplikasi pada mata yang berhubungan dengan dermatitis atopik berat
menyumbang untuk terjadinya morbiditas yang signifikan. Dermatitis kelopak
mata dan blefaritis kronik sering dikaitkan dengan dermatitis atopik serta sering
mengakibatkan gangguan visus yang terjadi akibat skar pada kornea.
Keratokonjungtivits atopik biasanya terjadi bilateral dan bisa disertai dengan
gejala lain seperti gatal, sensasi terbakar, mata yang berair, serta keluar cairan
mucoid yang banyak. Konjungtivitis vernal adalah proses inflamatori kronik berat
yang terjadi secara bilateral dan disertai dengan hipertrofi papilaris atau
cobblestone pada konjungtiva kelopak mata atas. Sensasi prutitus diperberat
dengan paparan terhadap iritan, cahaya, atau keringat. Keratokonus pula adalah
deformitas konikal pada kornea yang disebabkan oleh gosokan kronik pada mata
pasien dengan dermatitis atopik dan rhinitis alergi. Sekitar 21% pasien dengan
dermatitis atopik berat menderita katarak. Walaubagaimanapun, tidak diketahui
secara jelas manifestasi primer yang berlaku ini adalah disebabkan oleh dermatitis
atopik sendiri atau daripada penggunaan glukokortikoid topikal pada sekitar
daerah mata. 2

 Infeksi
Dermatitis atopik biasanya dipersulit dengan infeksi viral pada kulit yang
rekuren disebabkan oleh defek pada fungsi sel T. Infeksi virus yang paling berat
adalah herpes simpleks yang mana penyakit ini bisa terjadi pada pasien di segenap
peringkat umur, menyebabkan terjadinya erupsi Kaposi variseliform atau ekzema
herpetikum. Setelah waktu inkubasi selama 5 hingga 12 hari, lesi yang multipel,
gatal, erupsi lesi vesikulopapuler yang menyebar dan berkelompok akan menjadi
hemoragik serta berkrusta. Erosi yang sangat nyeri serta punched out lesion turut
terjadi. Lesi ini bisa bergabung membentuk lesi yang sangat besar, menjadi
gundul, dan bagian yang berdarah bisa menyebar ke seluruh tubuh. Pada
dermatitis atopik, vaksin bagi cacar bisa menyebabkan terjadinya erupsi berat
yang menyeluruh (dikenali juga dengan vaksinatum ekzema) memberikan
gambaran seperti ekzema herpetikum. Dengan itu, vaksinasi merupakan
kontraindikasi pada pasien dermatitis atopik kecuali ada bukti yang jelas
menunjukkan pasien beresiko tinggi untuk terkena penyakit cacar. Infeksi jamur
superfisial juga sering didapatkan pada pasien dermatitis atopik dan menyumbang
kepada severitas penyakit ini. Pasien dermatitis atopik juga mempunyai tingkat
prevalensi yang tinggi untuk terjadinya infeksi Tricophyton rubrum berbanding
dengan pasien non-atopik.2

M.furfur turut mempunyai peran dalam penyakit DA ini. Jamur yang


mempunyai yis lipofilik ini sering terdapat pada area yang terkena seboroik pada
kulit. Antibodi IgE bagi M.furfur dapat ditemukan pada pasien DA dan sering
terdapat pada dermatitis di kepala dan leher. Sensitisasi IgE terhadap M.furfur
sangat jarang ditemukan pada pasien lain atau pasien dengan asma. Tes tempel
alergen terhadap yis ini menunjukkan hasil positif. S.aureus ditemukan lebih dari
90% pada kulit dengan lesi DA. Krusta yang berwarna kuning seperti madu,
folikulitits, dan pioderma merupakan indikator terjadinya infeksi sekunder akibat
S.aureus dan memerlukan rawatan antibiotik. Limfadenopati regional turut sering
ditemukan. Pada pasien dengan DA berat dan disertai dengan infeksi S.aureus,
bisa diberikan kombinasi terapi antistafilokokal dan topikal glukokortikoid.
Walaupun pustulosis stafilokokal yang rekuren menjadi masalah yang signifikan
pada DA, namun infeksi aureus yang lebih dalam jarang ditemukan dan perlu
mempertimbangkan kemungkinan yang mengarah ke sindrom imunodefisiensi
seperti sindrom hiper IgE. 2
 Dermatitis pada tangan
Pasien DA sering menunjukkan gejala non-spesifik dermatitis iritan pada
tangan. Ianya sering diperberat apabila kondisi tangan sentiasa dalam keadaan
basah dan lembap serta mencuci tangan menggunakan sabun, deterjen dan
disinfektan yang mengiritasi. Pasien DA dengan pekerjaan yang melibatkan kerja
basah lebih rentan untuk terjadinya dermatitis tangan dalam jangka waktu yang
lama. Hal ini sering menjadi kausa bagi disabilitas dalam melakukan pekerjaan.2

 Dermatitis eksfoliatif
Pasien dengan keterlibatan bagian kulit yang ekstensif bisa terkena dermatitis
eksfoliatif. Penyakit ini ditandai dengan gejala seperti lesi yang kemerahan,
berskuama, kadang-kadang lesi tersebut luruh/gugur, berkrusta, terjadi toksisitas
sistemik, limfedenopati dan demam. Walaupun komplikasi ini jarang terjadi,
namun ianya bisa mengakibatkan kematian. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh
superinfeksi akibat produksi toksin oleh S.aureus atau infeksi herpes simpleks,
iritasi kulit yang menetap atau terapi yang tidak benar. Dalam kasus tertentu,
terminasi penggunaan glukokortikoid harus dilakukan untuk mengawal severitas
dermatitis atopik2

2.8. TATALAKSANA
Terapi yang bisa dilakukan adalah hidrasi kulit, terapi farmakologik dan
identifikasi serta eliminasi faktor pencetus dermatitis atopik seperti bahan iritan,
deterjen, alergen, agen infeksi, dan stres emosional. Terdapat banyak faktor
menyumbang kepada simptom dermatitis atopik yang kompleks. Oleh sebab itu,
rencana terapi berbeda-beda dan unik pada bagi setiap pasien karena reaksi kulit
pada setiap individu dan faktor pencetusnya adalah berbeda. 2

2.9.1 Terapi topikal

2.9.1.1.Hidrasi kutaneus
Pasien dermatitis atopik mempunyai kulit yang kering dan fungsi sawar kulit
yang terganggu. Kondisi ini bisa menyumbang kepada morbiditas dengan cara
membentuk mikrofisura dan celahan pada kulit sekaligus menjadi port de entry
bagi patogen kulit, bahan iritan, dan alergen, sekaligus mengakibatkan infeksi
sekunder. Kondisi ini bisa menjadi lebih parah ketika musim dingin. Untuk
mengurangi gejala secara simptomatis, dapat dilakukan mandi dengan air hangat
selama 20 menit diikuti dengan aplikasi emolien yang oklusif untuk
mengembalikan kelembapan kulit. Kombinasi penggunaan emolien yang efektif
dengan terapi hidrasi membantu mengembalikan dan mempertahankan sawar
stratum korneum serta mengurangkan frekuensi aplikasi glukokortikoid topikal.
Pelembap tersedia dalam berbagai sediaan antaranya krem, losion, atau ointment.
Namun begitu, sesetengah losion dan krem bersifat mengiritasi akibat
penambahan substansi lain seperti preservatif, pelarut, dan pewangi. Losion yang
mengandungi air bisa mengering disebabkan oleh efek evaporasi. Ointment
hidrofilik tersedia dalam berbagai viskositas tergantung dari kebutuhan pasien.
Ointment yang oklusif kadangkala tidak bisa ditoleransi dengan baik karena
mengganggu fungsi duktus ekrin dan bisa menginduksi terjadinya folikulitis.2
Jika memakai tabir surya, emolien diaplikasikan setengah jam sebelum
memakai tabir surya. Dermatitis atopik ringan sering kali membaik hanya dengan
pemakaian emolien, tetapi pada keadaan inflamasi akut, dibutuhkan tambahan
steroid topikal yang dapat digunakan sebelum penggunaan emolien agar
efektivitasnya tidak berkurang.3

Terapi topikal untuk menggantikan lipid epidermal yang abnormal,


memperbaiki hidrasi kulit, dan disfungsi sawar kulit bisa diberikan pada pasien
dermatitis atopik ini. Hidrasi dengan mandi dan kompres basah (wet dressing)
merangsang penetrasi glukokortikoid topikal. Kompresi basah tersebut juga bisa
melindungi lesi dari garukan yang persisten, seterusnya menggalakkan proses
penyembuhan lesi ekskoriasi. Kompresi basah direkomendasikan pada bagian
yang terkena dermatitis atopik berat atau bagian yang melibatkan terapi dalam
jangka waktu yang lama. Namun, penggunaan kompresi basah yang berlebihan
bisa mengakibatkan maserasi dan dipersulit dengan infeksi sekunder. Kompresi
basah dan mandi berpotensi untuk membuat kulit menjadi kering dan membentuk
fisura sekiranya tidak diikuti dengan aplikasi emolien topikal. Oleh sebab itu,
kompres basah sebaiknya hanya untuk dermatitis atopik yang sukar dikawal dan
harus diobservasi oleh dokter.2

2.9.1.2. Terapi glukokortikoid topikal


Terapi glukokortikoid topikal merupakan dasar untuk anti-inflamatorik lesi
kulit yang ekzematous. Disebabkan oleh efek sampingnya, kebanyakan dokter
menggunakan glukokortikoid topikal hanya untuk mengawal eksaserbasi akut
dermatitis atopik. Walaubagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa kontrol
dermatitis atopik bisa dilaksanakan dengan regimen terapi setiap hari dengan
glukokortikoid topikal. Kontrol untuk jangka waktu yang lama bisa dikekalkan
pada sesetengah pasien dengan mengaplikasikan fluticasone pada bagian kulit
yang telah sembuh tetapi beresiko untuk terjadinya ekzema sebanyak 2 kali dalam
seminggu.2
Penjelasan dan instruksi menggunakan glukokortikoid topikal harus diberikan
secara jelas dan lengkap untuk mencegah terjadinya efek samping. Glukokortikoid
fluorinated yang poten tidak boleh diaplikasikan ke wajah, genitalia dan bagian
lipatan kulit, tetapi preparasi glukokortikoid yang berpotensi rendah bisa
diaplikasikan ke bagian ini. Pasien juga harus diberikan instruksi supaya
mengaplikasikan glukokortikoid pada bagian lesi sahaja dan aplikasi emolien pada
bagian kulit yang sehat. Kadangkala penyebab kegagalan terapi dengan
glukokortikoid topikal adalah disebabkan oleh aplikasi atau penggunaan obat yang
tidak mencukupi. Jumlah topikal glukokortikoid yang diperlukan untuk diaplikasi
ke seluruh tubuh adalah kira-kira 30 gram krem atau ointment. Jadi, untuk
merawat seluruh tubuh sebanyak 2 kali sehari selama 2 minggu memerlukan kira-
kira 840 gram (2 lb) glukokortikoid topikal.2

Terdapat 7 golongan bagi glukokortikoid topikal dan diatur mengikut potensi


berdasarkan vasoconstrictor assay. Disebabkan oleh efek sampingnya,
glukokortikoid yang sangat poten hanya digunakan untuk jangka waktu pendek
dan pada bagian yang mengalami likenifikasi tetapi bukan pada daerah wajah atau
lipatan kulit. Tujuan utama penggunaan emolien adalah untuk menghidrasi kuli
dan glukokortikoid potensi rendah adalah untuk terapi maintenance.
Glukokortikoid potensi sedang bisa digunakan untuk jangka waktu panjang bagi
merawat dermatitis atopik kronik yang melibatkan bagian badan dan ekstrimitas.
Glukokortikoid gel yang disediakan dengan basa glycol propylene sering
mengiritasi serta menyebabkan kekeringan pada kulit. Obat ini tidak boleh
diaplikasikan pada daerah kulit kepala atau jenggot.2
Faktor yang berperan mempengaruhi potensi dan efek samping glukokortikoid
termasuk struktur molekuler kompaun, vehikulum, jumlah obat yang diaplikasi,
durasi aplikasi, sifat oklusif, serta faktor si pemakai seperti umur, luas permukaan
badan dan berat, inflamasi pada kulit, anatomi kulit, dan perbedaan metabolisme
kutaneus dan sistemik pada setiap individu. Efek samping glukokortikoid topikal
berkait langsung dengan susunan potensi kompaun dan durasi penggunaannya.
Selain itu, ointment mempunyai resiko tinggi untuk mengoklusi epidermis,
seterusnya meningkatkan absorbsi sistemik jika dibandingkan dengan krem. Efek
samping dari glukokortikoid dapat dibagi menjadi dua yaitu efek samping lokal
dan efek samping sistemik yang disebabkan oleh supresi hypothalamus pituitary-
adrenal. 2
Efek sampingnya termasuklah striae, atrofi kulit, dermatitis perioral dan akne
rosasea. Glukokortikoid poten bisa mengakibatkan supresi adrenal (terutamanya
pada bayi dan anak kecil). Glukokortikoid sedang (fluticasone propionate) 0.05%
krem pada bagian wajah dan bagian tubuh lain yang signifikan adalah aman untuk
digunakan pada anak-anak berumur 1 bulan sampai 3 bulan. Pada penggunaan
fluticason 0.05% krem juga bisa diaplikasikan pada anak-anak seawal umur 3
bulan selama maksimal 4 minggu. Fluticason losion pula bisa digunakan pada
anak-anak 12 bulan dan ke atas. Krem dan ointment mometason bisa digunakan
pada anak-anak berumur 2 tahun dan ke atas.2

2.9.1.3. Inhibitor calcineurin topikal


Takrolimus dan pimekrolimus topikal adalah imunomodulator non-steroid.
Ointment takrolimus 0.03% bisa digunakan untuk terapi intermiten pada penderita
dermatitis atopik anak-anak (≥ 2 tahun) dengan tingkat severitas sedang hingga
berat. Ointment takrolimus 0.1% pula bisa digunakan pada orang dewasa,
manakala dalam sedian krem (1%) digunakan untuk terapi bagi pasien ≥ 2 tahun
dengan tingkat severitas dermatitis atopik dari ringan sampai sedang. Kedua-dua
obat ini efektif dan aman digunakan selama 4 tahun (ointment takrolimus) dan 22
tahun (krem pimekrolimus). Efek samping bagi penggunaan obat ini adalah rasa
sensasi terbakar pada kulit. Obat ini tidak mengakibatkan atrofi kulit. Oleh itu,
obat ini bisa dipakai pada wajah dan lipatan kulit.2

2.9.2 Identifikasi dan Eliminasi Faktor Pencetus

Pasien dermatitis atopik lebih sensitif terhadap bahan iritan berbanding dengan
orang normal. Oleh itu, adalah penting bagi pasien untuk mengidentifikasi dan
mencegah faktor yang bisa mencetuskan itch-scratch cycle (siklus gatal-garuk).
Faktor pencetus ini antaranya adalah sabun dan deterjen, kontak dengan bahan
kimia, asap, memakai pakaian baru, dan paparan pada suhu dan kelembapan yang
ekstrim. Apabila menggunakan sabun, pasien harus mengurangkan durasi kontak
dengan bahan tersebut dan menggunakan sabun yang mempunyai pH yang
menghampiri pH neutral.pakaian baru harus dicuci terlebih dahulu sebelum
dipakai untuk mengurangkan kadar formaldehid dan bahan kimia yang lain.
Deterjen yang tertinggal pada pakaian turut bisa menyebabkan iritasi kulit.
Sebaiknya, penggunaan deterjen serbuk diganti dengan deterjen cecair sahaja.2
Kondisi persekitaran seperti suhu panas dan lembap serta berkeringat harus
disesuaikan mengikut kondisi pasien agar tidak memperberat penyakit. Walaupun
sinaran cahaya matahari memberi manfaat kepada penderita dermatitis atopik,
namun paparan yang berlebihan harus dicegah.2

2.9.1.1 Alergen spesifik


Alergen yang berpotensi untuk mengeksaserbasi dermatitis atopik adalah
seperti berikut: makanan, inhalasi (debu/habuk, bulu haiwan, pollen bunga).
Alergen ini harus diidentifikasi secara teliti dalam anamnesis dengan pasien serta
dilakukan tes tusuk (skin prick test) dan test serum IgE pada pasien.2

2.9.1.2 Stres emosional


Stres bukanlah penyebab terjadinya dermatitis atopik, tetapi ianya bisa
mengeksaserbasi gejala dari penyakit ini. Dermatitis atopik biasanya berespon
dengan pasien yang sedang dalam kondisi stres, malu frustasi dan berbagai stres
emosional yang lain. Respon ini disertai dengan rasa gatal dan diikuti degan
tindakan menggaruk. Kadangkala, perilaku menggaruk ini menjadi kebiasaan
pada sesetengah pasien. Relaksasi dan modifikasi perilaku dapat membantu pasien
mengatasi kebiasaan ini.2

2.9.1.3 Agen infeksi


Bagi pasien yang telah terkena infeksi atau kolonisasi S.aureus berat, terapi
dengan antibiotik anti-stafilokokal sangat membantu. Pasien yang tidak
terkolonisasi dengan tipe aureus yang resisten bisa dirawat dengan sefalosporin
atau penicillinase resistant-penicillin (dicloxacilin, oxacilin, cloxacilin). Akibat
dari peningkatan satfilokokus yang resisten-eritromisin, maka telah diperkenalkan
obat-obatan baru seperti makrolida yang baru untuk merawat dermatitis atopik.2
Herpes simpleks bisa memprovokasi dermatitis yang rekuren dan sering
tersalah diagnosa dengan infeksi S.aureus. Jika terdapat punched-out lesion,
vesikel, dan/atau lesi pada kulit yang terinfeksi tetapi tidak berepon dengan
antibiotik oral, maka pemeriksaan penunjang yang mengarah ke H.simpleks harus
dilakukan. Antara pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah pewarnaan
Giemsa dengan smear Tzanck (sampel diambil dari dasar vesikel), test direct
immunofluorescence assay, identifikasi material genetik herpes dengan PCR, atau
dengan kultur virus. Untuk infeksi yang dicurigai disebabkan oleh herpes
simpleks, obat anti-inflamatorik harus dihentikan seketika. Pada orang dewasa
dengan lesi herpes simpleks pada kulit, terapi yang bisa diberikan kepada pasien
adalah acyclovir 400 mg peroral 3 kali sehari selama 10 hari atau 200 mg peroral
4 kali sehari selama 10 hari. Terapi intravena juga bisa diberikan pada pasien
dengan ekzema herpeticum berat yang menyebar. Infeksi dermatofita bisa
mempersulit dermatitis atopik dan menyumbang kepada eksaserbasi aktivitas
penyakit. Pasien dengan infeksi dermatofita bisa di rawat dengan anti-jamur
sistemik atau topikal.2

2.9.1.4 Pruritus

Terapi pruritus harus mengarah langsung ke penyebab utamanya. Reduksi


inflamasi kulit dan kulit kering dapat diatasi dengan cara mengaplikasikan
glukokortikoid topikal dan hidrasi kulit. Tindakan ini dipercayai dapat
mengurangkan efek pruritus. Beberapa anti-histamin mempunyai efek ansiolitik
ringan dan bisa mengurangkan gejala simptomatik melalui efek penenang dan
sedatif. Disebabkan pruritus bertambah berat pada malam hari, antihistamin yang
mempunyai efek sedatif (eg: hydroxyzine atau diphenhydramine) mampu
memberi banyak kelebihan pada pasien. Sekiranya pruritus nokturnal bertambah
berat, maka penggunaan jangka pendek obat sedatif dapat diberikan. Rawatan
antibiotik dengan antihistamin topikal tidak direkomendasikan karena berpotensi
mencetuskan sensitisasi pada kulit. Namun begitu, aplikasi krem topikal doxepin
5% selama 1 minggu dapat mereduksi severitas pruritus tanpa mengakibatkan
sensitisasi.2

2.9.3 Preparat ter


Preparat ter mengandungi antipruritik dan anti inflamasi yang meberi efek
pada kulit walaupun efek yang dihasilkan tidak seperti glukokortikoid topikal.
Preparat ter bermanfaat dalam mengurangkan potensi glukokortikoid topikal pada
terapi maintenance dermatitis atopik kronik. Shampo ter juga bisa diberikan pada
pasien dengan dermatitis kulit kepala dan sering membantu mengurangkan
konsentrasi dan frekwensi aplikasi glukokortikoid topikal. Preparat ter ini tidak
bnoleh digunakan pada inflamasi kulit yang akut karena bisa menyebabkan iritasi
pada kulit. Efek samping dari preparat ter adalah folikulitis dan fotosensitivitas.
Ter juga dikatakan mengandung efek karsinogenik.2

2.9.4 Fototerapi
Cahaya matahari memberi banyak kebaikan pada pasien dermatitis atopik.
Walaubagaimanapun, sinaran yang terlalu panas bisa mencetuskan pruritus yang
memperberat kondisi pasien. Broadband UVB, Broadband UVA, Narrowband
UVB (311 nm), UVA-1 (340 hingga 400 nm) dan kombinasi fototerapi dengan
UVA-B menjadi terapi adjuvan (tambahan) yang bermanfaat untuk pasien
dermatitis atopik. Investigasi dari mekanisma fotoimunologi yang
bertanggungjawab terhadap efektifitas terapi menunjukkan bahwa sel Langerhans
epidermis dan eosinofil mungkin merupakan sasaran dari UVA fototerapi dengan
dan tanpa psoralen, sedangkan UVB yang diberikan menghasilkan efek
imnunosupresif dengan cara memblokir fungsi antigen-presenting Langerhans
cell dan mengubah produksi keratinosit sitokin. Indikasi bagi fotokemoterapi
dengan psoralen dan UVA adalah pasien dengan dermatitis atopik yang parah dan
menyebar. Efek samping jangka waktu pendek bagi fototerapi adalah eritema,
nyeri kulit, pruritus, dan pigmentasi. Efek samping jangka panjang pula adalah
2
proses penuaan yang prematur dan juga maligna kulit.

2.9.5 Rawat inap


Pasien dermatitis atopik dengan kondisi eritodermik atau menderita penyakit
ini dengan tingkat severitas yang berat tidak memungkinkan untuk di rawat jalan.
Pasien seperti ini harus di rawat inap sebelum mempertimbangkan terapi sistemik
alternatif yang lain. Pada kebanyakan kasus, tindakan mengisolasi pasien daripada
alergen yang ada di sekitarnya atau mengatasi stres emosional dan mengedukasi
pasien dengan benar biasanya bisa memperbaiki kondisi penyakit mereka. 2

2.9.6 Terapi sistemik

2.9.6.1. Glukokortikoid sistemik


Penggunaan glukokortikoid sistemik seperti prednison jarang diberikan pada
pasien dengan dermatitis atopik yang kronik. Sesetengah pasien dan dokter lebih
gemar menggunakan sistemik glukokortikoid tersebut untuk mencegah perawatan
kulit (hidrasi dan terapi topikal) yang mengambil waktu sangat lama.
Walaubagaimanapun, peningkatan perbaikan pada pasien yang mengkonsumsi
glukokortikoid sistemik biasanya berkait rapat dengan rebound yang parah selepas
terapi glukokortikoid sistemik dihentikan. Terapi jangka pendek glukokortikoid
oral sesuai untuk eksaserbasi akut dermatitis atopik. Sekiranya terapi dengan
glukokortikoid oral dimulakan, dosis yang diberikan harus dikurangi (tappering)
dan perawatan kulit juga harus dilakukan dengan cara aplikasi glukokortikoid
topikal dan sering mandi serta aplikasi emolien untuk mencegah terjadinya
rebound.2

2.9.6.2. Siklosporin
Siklosporin merupakan imunosupresif poten yang bekerja pada sel T dengan
mensupresi transkripsi sitokin. Banyak studi menyatakan bahwa terapi siklosporin
jangka pendek bisa memberi kebaikan kepada pasien dermatitis atopik dewasa
dan anak-anak. Dosis 5mg/kgBB biasanya diberikan dengan jangka waktu pendek
dan jangka waktu panjang (1 tahun). Ada juga sumber yang mengatakan bahwa
siklosporin dalam bentuk mikroemulsi bisa diberikan setiap hari pada pasien
dewasa dengan dosis 150 mg (dosis rendah) dan 300 mg (dosis tinggi). Terapi
dengan siklosporin menunjukkan perbaikan pada kondisi pasien dan memperbaiki
kualitas hidup mereka. Efek dari diskontinuitas obat ini adalah relaps penyakit
kulit yang cepat, peningkatan serum kreatinin atau gangguan fungsi renal yang
signifikan, dan hipertensi.2

2.9.6.3 Antimetabolit
Pemberian monoterapi dengan mycophenolate mofetil peroral dalam jangka
pendek sebanyak 2 g setiap hari bisa menghilangkan lesi pada pasien dewasa
dermatitis atopik yang resisten terhadap terapi lain termasuk glikokortikoid
topikal dan sistemik, dan fototerapi psoralen dan UVA. Namun begitu, tidak
semua pasien yang berespon baik dengan obat ini. Terapi dengan obat ini harus
dihentikan jika pasien tidak menunjukkan respon setelah 4 hingga 8 minggu
perawatan. 2

Methotrexate merupakan anti-metabolit yang mempunyai efek poten terhadap


sintesis inflamatorik sitokin dan kemotaksis sel. Methotrexate diberikan kepada
pasien dermatitis atopik dengan penyakit yang menetap. Azathioprine sering
digunakan pada pasien dengan dermatitis atopik berat. Efek samping dari
penggunaan obat ini adalah supresi sumsum tulang.2

2.9. PROGNOSIS

Keseluruhan proses dermatitis atopik tidak diketahui secara pasti. Prediksi


dermatitis atopik ini tidak bisa dilakukan dengan pasti pada setiap pasien, namun,
penyakit ini lebih berat dan persisten pada anak-anak. Waktu remisi muncul lebih
sering dengan pertambahan usia anak tersebut. Sekitar 40% hingga 60% anak-
anak yang mendapat dermatitis atopik dengan severitas ringan pada waktu bayi
sembuh secara spontan selepas mencecah umur 5 tahun. Walaupun studi awal
menunjukkan bahwa sekitar 84% anak-anak dengan dermatitis atopik akan lebih
cenderung untuk memiliki tingkat severitas yang lebih berat pada usia remaja,
namun, studi terbaru menunjukkan bahwa gejala dermatitis atopik hilang pada
20% anak-anak dengan dermatitis atopik yang didapat sejak bayi hingga usia
remaja., dan 65% pasien mempunyai gejala dermatitis atopik yang sedang. Selain
itu, lebih satu per dua dari remaja yang dirawat dengan dermatitis ringan akan
mengalami relaps pada usia dewasa.2

Pasien dewasa yang mempunyai riwayat terjadinya remisi dermatitis atopik


untuk beberapa tahun pada waktu anak-anak menunjukkan gejala dermatitis
tangan, terutamanya jika mereka terlibat dengan pekerjaan yang sering
menyebabkan tangan dalam kondisi yang basah dan lembap. Faktor yang diduga
menyebabkan prognosa buruk pada pasien dermatitis atopik adalah penyakit lesi
yang meluas pada waktu anak-anak, mempunyai riwayat keluarga dengan
penyakit asma atau rhinitis alergi (orang tua atau saudara), onset dermatitis atopik
yang terjadi sangat awal, anak tunggal, dan kadar serum IgE yang sangat tinggi.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Boediardja, Siti Aisah. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin. Dermatitis
Atopik. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 167 – 189
2. Susan B, Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al:, Atopic Dermatitis.
Fitzpatricks’s Dermatology in general medicine. 8 th ed. Volumes 1. 2012. p 165-
181
3. Movita, Theresia. 2014. Tatalaksana Dermatitis Atopik. CDK-222/ vol. 41 no.
11. P 828 – 831. Diakses dari:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/1_10_222Tatalaksana%20Dermatitis%20At
opik.pdf tanggal: 13 Desember 2017.
4. Tada, Joji. 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. Journal of the Japan
Medical Association (Vol. 126, No. 1, 2001, pages 22–26) diakses dari:
http://www.med.or.jp/english/pdf/2002_11/460_465.pdf. Tanggal: 13 Desember
2017

You might also like