You are on page 1of 22

SMF/BAGIAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

TUGAS

DisusunOleh :

RIFKI KHAIRUL IMAM

120011012

SMF/ BAGIAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD DR. W. Z. JOHANNES

KUPANG

2018
MATA MERAH DENGAN VISUS NORMAL

PTERYGIUM
Definisi
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip daging yang
menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasive

Gambar : pterygium

Etiologi
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara
panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang,
dan degenerasi. Faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan pterygium antara lain uap kimia,
asap, debu dan benda-benda lain yang terbang masuk ke dalam mata. Beberapa studi
menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk kondisi ini.
Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang
menjalar ke kornea.
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva
akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi
inferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian
nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari
hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium
dibandingkan dengan bagian temporal.
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal
pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin.
Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic
yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang
basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat atau degenerasi
elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi.
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.
Gejala Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:
 mata sering berair dan tampak merah
 merasa seperti ada benda asing
 timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut, biasanya
astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga mengganggu
penglihatan
 pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun.
Pemeriksaan Fisik
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada
limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput
lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.

A. Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas
fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea

B. Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea

C. Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area
paling ujung

Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan badan.
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh
pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson ):
 Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
 Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea
 Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
 Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan
Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua
mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama
bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan
penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat
dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat
melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.
Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus terpengaruh.
Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut. Dengan
menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada
pseudopterigium.
Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3
kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan
pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.10
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan
angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik
secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang
rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren,
mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
3. Pengobatan tambahan
a. Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata) untuk
membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air mata. Nama
obat Merupakan obat tetes mata topikal atau air mata artifisial (air mata penyegar, Gen
Teal (OTC)—air mata artifisial akan memberikan pelumasan pada permukaan mata pada
pasien dengan permukaan kornea yang tak teratur dan lapisan permukaan air mata yang
tak teratur. Keadaan ini banyak terjadi pada keadaan pterygium.
 Dosis dewasa: 1 gtt empat kali sehari dan prn untuk irritasi
 Dosis anak-anak: Berikan seperti pada orang dewasa
 Kontra indikasi: Bisa menyebabkan hipersensitivitas
 Interaksi :Tak ada (tak pernah dilaporkan ada interaksi )
 Untuk ibu hamil: Derajat keamanan A untuk ibu hamil
 Perhatian: Bila gejala masih ada dan terus berlanjut pemakaiannya
b. Salep untuk pelumas topikal – suatu pelumas yang lebih kental pada permukaan ocular.
Nama obat Salep untuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M penyegar (OTC). Suatu
pelumas yang lebih kental untuk permukaan mata. Sediaan ini cenderung menyebabkan
kaburnya penglihatan sementara; oleh karena itu bahan ini sering dipergunakan pada
malam hari. Dosis obatnya Pergunakan pada cul de sac inferior pada mata yang terserang.
 Dosis anak-anak Sama dengan dewasa
 Kontra indikasi: Bisa menyebabkan terjadinya hipersensitivitas
 Interaksi: Tidak ada
 Untuk ibu hamil :Tingkat keamanan A untuk ibu hamil
 Perhatian: Karena menyebabkan kabur penglihatan sementara dan harus menghindari
aktivitas yang memerlukan penglihatan jelas sampai kaburnya hilang.
c. Obat tetes mata anti – inflamasi – untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan
jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat membantu dalam
penatalaksanaan pterygium yang inflamasi dengan mengurangi pembengkakan jaringan
yang inflamasi pada permukaan okular di dekat jejasnya. Nama obat Prednisolon asetat
(Pred Forte 1%) – suatu suspensi kortikosteroid topikal yang dipergunakan untuk mengu-
rangi inflamasi mata. Pemakaian obat ini harus dibatasi untuk mata dengan inflamasi
yang sudah berat yang tak bisa disembuhkan dengan pelumas topikal lain.
 Dosis dewasa: 1 gtt empat kali sehari pada mata yang terserang, biasanya hanya 1- 2
minggu dengan terapi yang terus menerus.
 Dosis anak-anak: Tidak boleh dipergunakan untuk anak-anak oleh karena kasus pterygia
sangat jarang pada anak-anak
 Kontra indikasi: Pasien dengan riwayat kasus herpes simpleks keratitis dentritis atau
glaukoma steroid yang responsif.
 Interaksi: Tak ada laporan interaksi
 Kehamilan Tingkat: keamanan B, biasanya aman akan tetapi kegunaannya harus di
perhitungkan dengan resiko yang di akibatkan
 Perhatian: Bisa diserap secara sistemik akan tetapi efek samping sistemik biasanya tak
diketemukan pada pasien yang mempergunakan obat tetes mataprednisolon asetat topikal
, yang bisa diekskresi pada ASI yang sedang menyusui.

Indikasi Operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanit
KONJUNGTIVITIS
Definisi
Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang menutupi
belakang kelopak mata dan bola mata dalam bentuk akut maupun kronis yang disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur, klamidia, alergi, toksik, maupun iritasi.

Gambar: konjuntivitis
Patofisiologi
Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar. Kemungkinan konjungtiva terinfeksi
dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan Konjungtiva terutama oleh karena adanya tear
film atau lapisan air mata pada konjungtiva yang berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran
dan bahan-bahan yang toksik kemudian mengalirkan melalui saluran lakrimalis ke meatus nasi
inferior.Lapisan air mata mengandung beta lisin, lisosim, IgA, dan IgG yang berfungsi untuk
menghambat pertumbuhan kuman.
Konjungtivitis infeksi terjadi apabila terdapat mikroorganisme patogen yang mampu
menembus pertahanan tersebut atau dengan kata lain Konjuntivitis infeksi timbul sebagai akibat
penurunan daya imun penjamu dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat
menginvasi dari tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di dalam sel
mukosa konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan viral memulai reaksi bertingkat dari
peradangan leukosit atau limfositik meyebabkan penarikan sel darah merah atau putih ke area
tersebut. Sel darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva dan berakumulasi di sana dengan
berpindah secara mudahnya melewati kapiler yang berdilatasi dan tinggi permeabilitas.
Berbeda dengan konjungtivitis infeksi, konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon
imun tipe 1 terhadap alergen. Alergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE
terjadi, menyebabkan degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi bertingkat dari
peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, juga mediator lain termasuk
triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. histamin
dan bradikinin dengan segera menstimulasi nosiseptor, menyebabkan rasa gatal, peningkatan
permeabilitas vaskuler, vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi konjungtiva.
Etiologi
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti :
a. infeksi oleh virus atau bakteri.
b. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang.
c. iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya; sinar ultraviolet.
d. pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang.
Manifestasi Klinis
Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu tergores atau panas,
sensasi penuh di sekitar mata, gatal dan fotofobia. Sensasi benda asing dan tergores atau terbakar
sering berhubungan dengan edema dan hipertrofi papiler yang biasanya menyertai hiperemi
konjungtiva. Adanya nyeri menandakan inflamasi pada kornea.Tanda penting konjungtivitis
adalah hiperemia, mata berair, produksi cairan eksudat, pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis
(edem stroma konjungtiva), folikel (hipertrofi lapis limfoid stroma), pseudomembranosa dan
membran, granuloma, dan adenopati pre-aurikuler.3, Gejala-gejala yang timbul pada
konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai injeksi konjungtiva baik segmental ataupun
menyeluruh. Selain itu sekret pada kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada
konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering dijumpai edema pada kelopak mata.
Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada konjungtivitis bakteri namun
mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan debris pada lapisan air mata sedangkan reaksi
pupil masih normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat pada pagi
hari sewaktu bangun tidur.
Konjungtivitis bacterial yang ditandai dengan eksudat purulen disebabkan oleh
N.gonorroeae, N. kochii dan N. meningitidis. Konjungtivitis menigococcus kadangkadang terjadi
pada anak-anak. Konjungtivitis mukopurulen sering terdapat dala bentuk epidemik dan disebut
“mata merah” oleh orangawam. Penyakit ini ditandai dengan hiperemi konjungtiva secara akut,
dan jumlah eksudat mukopurulen sedang.
Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi
Bila konjungtivitis disebabkan oleh mikroorganisme, pasien harus diajari
bagaimana cara menghindari kontaminasi mata yang sehat atau mata orang lain. Perawat
dapat memberikan intruksi pada pasien untuk tidak menggosok mata yang sakit dan
kemudian menyentuh mata yang sehat, mencuci tangan setelah setiap kali memegang
mata yang sakit, dan menggunakan kain lap, handuk, dan sapu tangan baru yang terpisah
untuk membersihkan mata yang sakit.
2. Farmakologi
Terapi spesifik terhadap konjungtivitis bakterial tergantung temuan agen
mikrobiologinya. Sebelum mendapatkan hasil kultur bakteri penyebab konjugtivitis
dilakukan penatalaksanaan terapi empirik.3 Terapi sistemik diberikan pada pasien dengan
infeksi N. gonorrhoeae and N. meningitidis. Norfloxacin 1.2 gm sehari selama 5 hari,
Cefoxitim 1.0 gm or cefotaxime 500 mg. IV atau ceftriaxone 1.0 gm IM perhari selama 5
hari, atau Spectinomycin 2.0 gm IM selama 3 hari.1 Antibiotik topikal seperti tetes mata
chloramphenicol (1%), gentamycin (0.3%) atau framycetin 3-4 kali sehari. bila tidak
merepon dapat diberikan antibiotik topikal seperti ciprofloxacin (0.3%), ofloxacin (0.3%)
atau gatifloxacin (0.3%).1,10 Irigasi conjunctival dengan larutan garam fisiologis dua
kali suatu sehari membantu dengan pemindahan material yang mengganggu. pemberian
Anti- Inflammatory dan obat penghilang sakit seperti ibuprofen dan paracetamol dapat
diberi selama 2-3 hari untuk mengurangi keluhan yang dialami pasien. Pemberian
steroids tidak direkomendasikankarena dapat memperberat infeksi ke jaringa kornea
Trakoma
Trakoma adalah suatu bentuk keratokonjungtivitis kronis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Chlamydia trachomatis.
Etiologi
Trakoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotipe A, B, Ba dan C. Masing-
masing serotipe ditemukan di tempat dan komunitas yang berbeda beda. Chlamydia adalah gram
negatif, yang berbiak intraseluler. Spesies C trachomatis menyebabkan trakoma dan infeksi
kelamin ( serotipe D-K) dan limfogranuloma venerum ( serotipe L1-L3). Serotipe D-K biasanya
menyebabkan konjungtivitis folikular kronis yang secara klinis sulit dibedakan dengan trakoma,
termasuk konjungtivitis folikular dengan pannus, dan konjungtiva scar. Namun, serotype genital
ini tidak memiliki siklus transmisi yang stabil dalam komunitas. Karena itu, tidak terlibat dalam
penyebab kebutaan karena trakoma.
Patofisiologi
Infeksi menyebabkan inflamasi, yang predominan limfositik dan infiltrate monosit
dengan plasma sel dan makrofag dalam folikel. Gambaran tipe folikel dengan pusat germinal
dangan pulau- pulau proliferasi sel B yang dikelilingi sebukan sel T. Infeksi konjungtiva yang
rekuren menyebabkan inflamasi yang lama yang menyebabkan konjungtival scarring. Scarring
diasosiasikan dengan atropi epitel konjungtiva, hilangnya sel goblet, dan pergantian jaringan
normal, longgar dan stroma vaskular subepitel dengan jaringan ikat kolagen tipe IV dan V.
Gejala kilnis
Tanda awal infeksi yang kurang spesifik adalah vasodilatasi dari pembuluh darah
konjungtiva. Perubahan spesifik terjadi beberapa minggu setelah infeksi, yaitu dengan
munculnya folikel-folikel pada konjungtiva fornics, konjungtiva tarsal dan limbus. Folikel adalah
adalah limfoid germinal dan ditemukan dibawah lapisan epitel. Folikel terlihat sebagai massa
abu-abu atau creamy dengan diameter 0,2-3,0 mm. Tidaklah normal bila ditemukan satu atau dua
folikel pada mata yang sehat, tertama di canthi lateral atau medial. Karena lapisan superfisial dari
stroma konjungtiva memiliki sedikit jaringan limfoid sampai kurang lebih 3 bulan setelah lahir,
neonatus tidak mampu menahan respon folijular terhadap infeksi mata oleh Chlamydia. Papil
juga dapat terlihat pada fase ini :pada kasus ringan terlihat titik-titik merah kecil dengan mata
telanjang.
Dengan bantuan slit lamp, papil terlihat sebagai pembengkakan kecil konjungtiva, dengan
vaskularisasi di tengahnya. Ketika inflamasi bertambah berat, reaksi papilar pada konjungtiva
tarsal diasosiasikan dengan penebalan konjungtiva, pertambahan vaskularisasi pembuluh tarsal,
dan kadang kadang edema palpebra. Bila kornea terlibat pada proses inflamasi, keratitis punctata
superficialis dapat dideteksi dengan tes flouresensi. Infiltrat superficial atau pannus (infiltrasi
subepitel dari jaringan fibrovaskular ke perifer kornea) mengindikasikan inflamasi kornea.
Folikel, papil dan tanda kornea lain adalah tanda dari fase aktif, namun pannus dapat bertahan
setelah fase aktif.
Resolusi dari folikel ditandai dengan terjadinya scarring pada subepitel konjungtiva.
Deposisi dari skar biasanya di konjungtiva tarsal atas, walaupun konjungtiva fornces,
konjungtiva bulbi dan daerah atas kornea dapat terkena. Di daerah endemis trakoma, sikatrik
pada daerah tarsal karena episode infeksi berulang menjadi dapat terlihat secara makroskopis
dengan mengeversi palpebramatas, nampak seperti plester putih dengan latar konjungtiva yang
eritematous.
Di limbus, pergantian folikel menjadi scar mengahasilkan formasi depresi translusen
pada corneoscleral junction yang disebut Herbert’s pits. Bila scar pada konjungtiva tarsal cukup
banyak berkumpul, menyebabkan kelopak mata atas menekuk ke dalam dan menyebabkan bulu
mata mengenai bola mata, hal ini disebut trikiasis. Ketika semua bagian kelopak mengarah ke
dalam disebut entropion. Trikiasis sangat mengiritasi. Penderita kadang mencabut sendiri bulu
mata atau memplester kelopak mata agar mengahadap ke luar. Selain nyeri, trikiasis juga
mencederai kornea, sebagai efek abrasi kornea dapat terjadi infeksi sekunder oleh jamur atau
bakteri. Karena sikatrik bersifat opak maka penglihatan dapat terganggu bila mengenai daerah
sentral kornea.
Penatalaksanaan
Kunci pentalaksanaan trakoma yang dikembangkan WHO adalah strategi SAFE (Surgical
care, Antibiotics, Facial cleanliness, Environmental improvement).

1. Terapi antibiotic
WHO merekomendasikan dua antibiotik untuk trakoma yaitu azitromisisn oral dan salep
mata tetrasiklin.
 Azitromisin lebih baik dari tetrasiklin namun lebih mahal.
 Program pengontolan trakoma di beberapa negara terbantu dengan donasi
azitromisin.
 Konsentrasi azitromisin di plasma rendah, tapi konsentrasi di jaringan tinggi,
menguntungkan untuk mengatasi organisme intraselular.
 Azitromisin adalah drug of choice karena mudah diberikan dengan single dose.
Pemberiannya dapat langsung dipantau. Karena itu compliance nya lebih tinggi
dibanding tetrasiklin.
 Azitromisin memiliki efikasi yang tinggi dan kejadian efek samping yang rendah.
Ketika efek samping muncul, biasanya ringan; gangguan GI dan rash adalah efek
samping yang paling sering.
 Infeksi Chlamydia trachomatis biasanya terdapat juga di nasofaring, maka bisa
terjadi reinfeksi bila hanya diberi antibiotik topikal.
 Keuntungan lain pemberian azitromisin termasuk mengobati infeksi di genital,
sistem respirasi, dan kulit.
 Resistensi C. trachomatis terhadap azitromisin dan tetrasiklin belum
dikemukakan.
 Azitromisin : dewasa 1gr per oral sehari; anak anak 20 mg/kgBB per oral sehari
 Salep tetrasiklin 1% : mencegah sintesis bakteri protein dengan binding dengan
unit ribosom 30S dan 50S. Gunakan bila azitromisin tidak ada. Efek samping
sistemik minimal. Gunakan di kedua mata selama 6 minggu
2. Tindakan bedah
 Pembedahan kelopak mata untuk memperbaiki trikiasis sangat penting pada
penderita dengan trikiasis, yang memiliki resiko tinggi terhadap gangguan visus
dan penglihatan.
 Rotasi kelopak mata membatasi perlukaan kornea. Pada beberapa kasus, dapat
memperbaiki visus, karena merestorasi permukaan visual dan pengurangan
sekresi okular dan blefarospasme
Penatalaksanaan

Kunci pentalaksanaan trakoma yang dikembangkan WHO adalah strategi SAFE (Surgical care,
Antibiotics, Facial cleanliness, Environmental improvement).

3. Terapi antibiotic
WHO merekomendasikan dua antibiotik untuk trakoma yaitu azitromisisn oral dan salep
mata tetrasiklin.
 Azitromisin lebih baik dari tetrasiklin namun lebih mahal.
 Program pengontolan trakoma di beberapa negara terbantu dengan donasi
azitromisin.
 Konsentrasi azitromisin di plasma rendah, tapi konsentrasi di jaringan tinggi,
menguntungkan untuk mengatasi organisme intraselular.
 Azitromisin adalah drug of choice karena mudah diberikan dengan single dose.
Pemberiannya dapat langsung dipantau. Karena itu compliance nya lebih tinggi
dibanding tetrasiklin.
 Azitromisin memiliki efikasi yang tinggi dan kejadian efek samping yang rendah.
Ketika efek samping muncul, biasanya ringan; gangguan GI dan rash adalah efek
samping yang paling sering.
 Infeksi Chlamydia trachomatis biasanya terdapat juga di nasofaring, maka bisa
terjadi reinfeksi bila hanya diberi antibiotik topikal.
 Keuntungan lain pemberian azitromisin termasuk mengobati infeksi di genital,
sistem respirasi, dan kulit.
 Resistensi C. trachomatis terhadap azitromisin dan tetrasiklin belum
dikemukakan.
 Azitromisin : dewasa 1gr per oral sehari; anak anak 20 mg/kgBB per oral sehari
 Salep tetrasiklin 1% : mencegah sintesis bakteri protein dengan binding dengan
unit ribosom 30S dan 50S. Gunakan bila azitromisin tidak ada. Efek samping
sistemik minimal. Gunakan di kedua mata selama 6 minggu
4. Tindakan bedah
 Pembedahan kelopak mata untuk memperbaiki trikiasis sangat penting pada
penderita dengan trikiasis, yang memiliki resiko tinggi terhadap gangguan visus
dan penglihatan.
 Rotasi kelopak mata membatasi perlukaan kornea. Pada beberapa kasus, dapat
memperbaiki visus, karena merestorasi permukaan visual dan pengurangan
sekresi okular dan blefarospasme
Xeroftalmia
Definisi
Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan vitamin A termasuk
terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi sel retina yang dapat berakibat
kebutaan. Xeroftalmia berasal dari bahasa Yunani (xeros=kering;
Opthalmos=mata) yang berarti kekeringan pada mata akibat mata gagal memproduksi air mata
atau yang dikenal dengan dry eye yang mengakibatkan konjungtiva dan kornea kering.
Etiologi
Penyebab terjadinya xeroftalmia adalah karena kurangnya Vitamin A. Factor-faktor yang
menjadi penyebab tingginya kasus Xeroftalmia di Indonesia:
1. Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup Vitamin A atau Pro Vitamin A untuk
jangka waktu yang lama.
2. Bayi tidak diberikan ASI eksklusif
3. Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein, Zn/seng atau zat gizi lainnya)
yang diperlukan untuk penyerapan Vitamin A dan penyerapan Vitamin A dalam tubuh
4. Adanya gangguan penyerapan Vitamin A atau Pro Vitamin A seperti pada penyekit-
penyakit antara lain, diare kronik, KEP dan lain-lain.
5. Adanya kerusakan hati seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronis, menyebabkan
gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein) dan prealbumin yang penting
dalam penyerapan Vitamin A.
Patofisiologi
Gejala kekeringan mata pada defisiensi vitamin A yang disebut xeroftalmia berturutturut
terdiri atas buta senja, xerosis conjunctiva dan xerosis kornea yaitu kekeringan epitel biji mata
dan kornea karena sekresi glandula lacrimalis menurun. Kornea kemudian mengoreng karena
sel-selnya menjadi lunak disebut keratomalasia dan dapat mengakibatkan kebutaan. Pada
penyembuhan luka kornea ini dapat terjadi luka parut yang terdiri atas jaringan yang tidak
tembus cahaya. Luka parut ini kadangkadang membonjol keputihan (atau kemerahan) disebut
leucoma (biji kapas). Terdapat kelainan pada sklera di sebelah lateral dari kornea yang disebut
bercak Bitot.
Kelainan ini tampak sebagai kumpulan gelembung-gelembung busa sabun yang dapat
dihapus dengan kapas dan meninggalkan epitel kering dengan pigmen kecoklatan. Xeroftalmia
dibagi dalam 4 stadium yaitu stadium I (hemeralopia), stadium II (xerosis konjungtiva dengan
atau tanpa hemeralopia dengan atau tanpa bercak Bitot), stadium III (stadium II ditambah xerosis
kornea dan sering disertai ulkus kornea), stadium IV (keratomalasi). Pada stadium III dapat
timbul ulkus kornea dan pada stadium IV kornea menjadi lembek seperti bubur berwarna
keputih-putihan dan mudah mengalami perforasi. Umumnya keratomalasia timbul pada anak
dengan defisiensi vitamin A kronis yang menderita campak atau penyakit berat lainnya.
Penderita xeroftalmia sering juga ditemukan pada penderita malnutrisi energi protein.
Ciri histopatologis dari xeroftalmia berupa timbulnya bintik-bintik kering pada epitel
kornea dan konjungtiva, pembentukan filamen, hilangnya sel goblet konjungtiva, pembesaran
abnormal sel epitel non-goblet, peningkatan stratifikasi sel, dan peningkatan keratinisasi.
Diagnosa
1. Gejala klinis
Klasifikasi xeroftalmia berdasarkan WHO (1982), gejala klinisnya yaitu :
 XN (Xerosis Nyctalopia)
Ketidaksanggupan melihat pada cahaya remang-remang.
 X1A (Xerosis Konjungtiva)
Penderita tidak dapat melihat di sore hari (nocturnal amblyopia) Rasa tidak
nyaman pada mata seperti terasa panas. Mata terlihat xerotic
 X1B (Bercak Bitot / bitot’s spot)
Terdapat bercak putih kekuningan seperti busa atau sabun
 X2 (Xerosis Kornea)
Pandangan mata menjadi kabur,Penglihatan pasien menurun pada ruangan terang,
Penderita melihat halo pada sekitar objek.
 X3A (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)
Pada tahap ini, pasien mengalami penurunan penglihatan yang irreversible.
 X3B (Ulserasi Kornea / Keratomalasia)
Pada tahap ini pasien tidak dapat melihat apapun (total blindness).
 XS4
Pada stadium ini gejala yang dirasakan pasien bervariasi tergantung dari tingkat
keparahan penyakitnya. Keparahan gangguan penglihatan tergantung dari letak
sikatriks.
Pemeriksaan Penunjang
1. Tes adaptasi gelap
Jika pasien menabrak sesuatu ketika cahaya diremangkan tiba-tiba di dalam ruangan
maka kemungkinan pasien mengalami buta senja. Tes adaptasi gelap juga dapat
menggunakan alat yang bernama adaptometri. Adaptometri adalah suatu alat yang
dikembangkan untuk mengetahui kadar vitamin A tanpa mengambil sampel darah
menggunakan suntikan. Derajat gelap yang dijadikan patokan berdasarkan kondisi
seseorang yang berada di dalam ruang gelap tersebut tidak dapat melihat huruf berukuran
tinggi 10 sentimeter dan tebal 1,5 sentimeter dengan tinta hitam pada kertas putih.
2. Sitologi impresi konjungtiva
Dari pemeriksaan sitologi konjungtiva didapatkan keberadaan sel goblet dan sel-sel epitel
abnormal yang mengalami keratinisasi.
3. Uji Schirmer, untuk menilai kuantitas air mata, menilai kecepatan sekresi air mata dengan
memakai kertas filter Whatman 41 bergaris 5 mm–30 mm dan salah satu ujungnya
berlekuk berjarak 5 mm dari ujung kertas . Kertas lakmus merah dapat juga dipakai
dengan melihat perubahan warna. Perbedaan kertas lakmus dengan kertas filter hanya
sedikit. Rata–rata hasil bila memakai Whatman 41 adalah 12 mm (1 mm–27 mm)
sedangkan lakmus merah 10 mm (0 mm–27 mm).
a. Uji Schirmer I dilakukan tanpa anestesi topikal, ujung kertas berlekuk diinsersikan ke
sakus konjuntiva forniks inferior pada pertemuan medial dan 1/3 temporal palpebra
inferior. Pasien dianjurkan menutup mata perlahan– lahan tetapi sebagian peneliti
menganjurkan mata tetap dibuka dan melihat keatas. Lama pemeriksaan 5 menit dan
diukur bagian kertas yang basah, diukur mulai dari lekukan. Nilai normal adalah 10
mm–25 mm 11, 10 mm– 30 mm 12
b. Uji Schirmer II dengan penetesan anestesi topikal untuk menghilangkan efek iritasi
lokal pada sakkus konjuntiva. Kemudian syaraf trigeminus dirangsang dengan
memasukkan kapas lidi kemukosa nasal atau dengan zat aromatic. amonium, maka
nilai schirmer akan bertambah oleh adanya reflek sekresi. Pemeriksaan ini yang
diukur adalah sekresi basal karena stimulasi dasar terhadap refleks sekresi telah
dihilangkan.
4. Pemeriksaan osmolaritas air mata, air mata mempunyai osmolaritas 302 + 6,3 mOsm/l
pada individu normal, pada KCS osmolaritas air mata meningkat antara 330 dan 340
mOsm/l karena penurunan aliran dan peningkatan evaporasi dari air mata. Osmolaritas air
mata mempunyai sensitivitas 90 % dan spesifisitas 95%, sayang besarnya biaya dan
terbatasnya mikroosmolmeter untuk mengukur osmolaritas air mata mempunyai
kegunaan klinis yang terbatas.
5. Pemeriksaan Stabilitas film air mata (Tear Film Break Up Time) Pada pasien xeroftalmia
kekurangan musin berakibat tidak stabilnya lapisan air mata yang mengakibatkan lapisan
tersebut mudah pecah. Hal ini mengakibatkan terbentuk “Bintik-bintik kering” dalam
film air mata (meniskus) sehingga epitel kornea atau konjungtiva terpajan ke dunia luar.
Pada tes ini akan positif didapatkan sel epitel yang rusak dilepaskan dari kornea sehingga
meninggalkan daerah-daerah yang kecil yang dapat dipulas dan daerah tersebut akan
tampak jika dibasahi flourescein Pada mata normal, TBUT sekitar > 15 detik dan
berkurang pada penggunaan anastetik lokal, manipulasi mata atau dengan menahan
palbebra tetap terbuka. Pasien dengan TBUT kurang dari 3 detik dklasifikasikan dalam
mata kering. Jika terdapat defisiensi air, maka film air mata akan tampak lebih tipis.
Penatalaksanaan
Secara garis besar pengobatan xeroftalmia tebagi menjadi 4 hal yaitu:
a. Memberi makanan TKTP (tinggi kalori tinggi protein) Umumnya penderita xeroftalmia
merupakan penderita PEM karena itu diperlukan pendapat ahli gizi untuk memperbaiki
gizi anak dan dalam membantu pengobatan penyakit infeksi yang diderita.
b. Mengobati penyakit infeksi ataupun gangguan yang mendasarinya Umumya anak dengan
defisiensi vitamin A diikuti dengan infeksi ataupun gangguan-gangguan lainnya
diantaranya campak, penyakit paru, gangguan elektrolit, dehidrasi dan gastroentritis.
Karenanya diperlukan juga pengobatan terhadap penyakit-penyakit infeksi yang diderita
anak.
c. Memberi vitamin A (dosis terapeutik)
Pemberian vitamin A yang dilarutkan dalam minyak dapat diberikan oral sedangkan
vitamin A yang dilarutkan dalam air dapat diberikan dalam bentuk injeksi. Vitamin A
dapat diberikan dengan dosis total 50.000-75.000 IU/kgBB dengan dosis maksimal
400.000 IU. Pemberian vitamin A berdasarkan WHO dijadwalkan sebagai berikut:
 Usia > 1 tahun:
200.000 IU secara oral atau 100.000 secara injeksi muskular perlu diberikan
segera dan diulang esoknya atau 4 minggu kemudian.
 Usia < 1 tahun atau berat badan < 8 kg: Diberikan dosis setengah dari pasien
diatas 1 tahun
 Wanita dalam usia reproduktif (baik hamil atau tidak): Pada wanita yang
menderita rabun senja, bercak bitot hingga xerosis konjungtiva perlu diberikan
vitamin A dengan dosis 100.000 IU secara oral setiap harinya selama 2 minggu.
Sedangkan pada penderita dengan gangguan pada korneanya diberikan dosis
vitamin A sesuai dengan dosis pada anak diatas 1 tahun
d. Tindakan Operatif
Tindakan operatif pada xeroftalmia berupa pemasangan sumbatan di punctum
yang bersifat temporer ( kolagen ) atau untuk waktu yang lebih lama ( silicon ). Tindakan
ini untuk menahan sekret air mata. Penutupan puncta dan kanalikuli secara permanen
dapat dilakukan dengan terapi termal ( panas ), kauter listrik, atau dengan laser.
Episkleritis Dan Skleritis
Definisi
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh
destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.
Etiologi
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses imunologi
yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan
disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan
pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal,
misalnya bedah katarak.

Berikut ini adalah beberapa penyebab skleritis, yaitu:

Patofisiologi
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T dan makrofag
pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa
berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan
perforasi dari bola mata. Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit
imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara
umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh
kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III
dan respon kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah
bagian dari sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi
kompleks imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan
venula post kapiler dan respon imun sel perantara.
Diagnosis
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan didukung oleh
berbagai pemeriksaan penunjang.
 Pemeriksaan Fisik Sklera
1. Daylight
Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus. Setelah serangan yang
berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera dan translusen juga dapat muncul
dan juga terlihat uvea yang gelap. Area hitam, abu-abu dan coklat yang dikelilingi
oleh inflamasi yang aktif yang mengindikasikan adanya proses nekrotik. Jika jaringan
nekrosis berlanjut, area pada sklera bisa menjadi avaskular yang menghasilkan
sekuester putih di tengah yang dikelilingi lingkaran coklat kehitaman. Proses
pengelupasan bisa diganti secara bertahap dengan jarimgan granulasi meninggalkan
kinjugntiva.
2. Pemeriksaan Slit Lamp
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera dengan beberapa
bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior dan posterior cahaya slit
lamp bergeser ke depan karena episklera dan sclera edema. Pada skleritis dengan
pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial episklera yang pucat tanpa efek
yang signifikan pada jaringan dalam episklera.
3. Pemeriksaan Red-free Light
Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai kongesti vaskular
yang maksimum, area dengan tampilan vaskular yang baru dan juga area yang avaskular
total. Selain itu perlu pemeriksaan secara umum pada mata meliputi otot ekstra okular,
kornea, uvea, lensa, tekanan intraokular dan fundus.
Diagnosis Banding
Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding dari skleritis:
· Konjunctivitis alergika
· Episkleritis
· Gout
· Herpes zoster
· Rosasea okular
· Karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva
· Karsinoma sel skuamosa pada palpebra
· Uveitis anterior nongranulomatosa
Penatalaksanaan
Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis adalah obat anti
inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg perhari atau ibuprofen 300
mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri cepat mereda diikuti oleh pengurangan peradangan.
Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu atau segera setelah tampak penyumbatan vaskular
harus segera dimulai terapi steroid sistemik dosis tinggi. Steroid ini biasanya diberikan peroral yaitu
prednison 80 mg perhari yang ditirunkan dengan cepat dalam 2 minggu sampai dosis pemeliharaan
sekitar 10 mg perhari. Kadangkala, penyakit yang berat mengharuskan terapi intravena berdenyut
dengan metal prednisolon 1 g setiap minggu.
Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. 2 Siklofosfamid sangatbermanfaat
apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi steroid topikal saja tidak bermanfaat
tetapi dapat dapat menjadi terapi tambahan untuk terapi sistemik. Apabila dapat diidentifikasi adanya
infeksi, harus diberikan terapi spesifik. Peran terapi steroid sistemik kemudian akan ditentukan oleh
sifat proses penyakitnya, yakni apakah penyakitnya merupakan suatu respon hipersensitif atau efek
dari invasi langsung mikroba.Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi
sklera atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat
akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau poliarteritis nodosa yang
disertai penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat
peradangan jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma
langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah digunakan sebagai
tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali
apabila juga disertai pemberia kemoterapi.
Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila terapi diberikan pada
stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium ini jarang timbul gejala, sebagian besar kasus
tidak diobati sampai timbul penyulit

You might also like