You are on page 1of 20

REFERAT

Penegakkan Diagnosis Sinusitis dengan Radiologi

Disusun Oleh:
Steven Lie
11-2015-325

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN RADIOLOGI
RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU
KUDUS
18 Juli – 30 Juli 2016
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karuniaNya sehingga referat ilmu radiologi dengan judul “Penegakkan Diagnosis Sinusitis
dengan Radiologi” dapat selesai. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan kepaniteraan ilmu radiologi di Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus.
Referat ini membicarakan peranan radiologi dalam penegakkan diagnosis sinusitis.
Seperti yang diketahui, sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek
dokter umum maupun spesialis. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan radiologi memegang peranan yang cukup penting dalam
menegakkan diagnosis sinusitis. Pemeriksaan yang paling sering digunakan adalah foto
rontgen kepala dengan berbagai posisi dan CT scan. Pemeriksaan MRI dilakukan apabila ada
kecurigaan kearah tumor atau sinusitis fungal.
Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada
banyak pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan referat ini, terutama kepada dr. Lisa
H, Sp. Rad, yang turut membimbing penulis selama kepaniteraan radiologi di Rumah Sakit
Mardi Rahayu, Kudus.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Penulis memohon maaf
apabila ada kesalahan dalam pemilihan kata-kata ataupun penulisan. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Terima kasih.

Kudus, Juli 2016

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................... 1

Daftar Isi .............................................................................................................. 2

Bab I Pendahuluan ................................................................................. 3

Bab II Tinjauan Pustaka .......................................................................... 4


Anatomi dan Perkembangan Sinus .............................................. 4
Sinusitis ........................................................................................ 4
J .................................................................................................... 3
Manifestasi Klinis ........................................................................ 3
I....................................................................... .............................5
Pemeriksa ..................................................................................... 5

Bab III Kesimpulan .................................................................................. 14

Daftar Pustaka ...................................................................................................... 15

2
BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis adalah infeksi atau peradangan dari mukosa sinus paranasal. Sinus paranasal
merupakan rongga-rongga di sekitar hidung dengan bentuk bervariasi dan terdiri dari empat
pasang sinus, yaitu sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus etmoidalis, dan sinus sfenoidalis.
Diperlukan pemahaman yang baik terhadap perkembangan sinus paranasal dan berbagai
variasinya bagi para radiologis agar dapat menginterpretasikan hasil pemeriksaan radiologi
dengan akurat.
Berdasarkan waktunya, sinusitis dibagi menjadi akut, subakut, dan kronis. Dikatakan
sinusitis akut apabila infeksi berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu dan terdapat
tanda-tanda radang akut. Dikatakan sinusitis subakut apabila infeksi berlangsung dari 4 minggu
sampai 3 bulan, tanda akut sudah reda, dan perubahan histologi mukosa sinus masih reversible.
Dikatakan sinusitis kronis apabila infeksi berlangsung lebih dari 3 bulan dan terjadi perubahan
yang irreversible.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas ( terutama
pada anak kecil), dan batuk pilek lama yang sering berulang. Pemeriksaan fisik dengan
rhinoskopi anterior didapatkan tanda khas berupa akumulasi cairan pada meatus medius ( pada
sinusitis maksilaris, etmoidalis anterior dan frontalis) atau di meatus superior ( pada sinusitis
etmoid posterior dan sfenoidalis). Pemeriksaan penunjang yang umumnya digunakan adalah
foto polos posisi waters, posteroanterior, dan lateral. Kelainan yang dapat terlihat adalah
perselubungan, batas udara - cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT scan sinus
merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, penyakit dalam
hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. MRI baru akan digunakan apabila ada
kecurigaan ke arah tumor atau sinusitis fungal.

3
BAB II
Tinjauan Pustaka

II. 1. Anatomi dan Perkembangan Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang.1 Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari
sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus etmoidalis, dan sinus sfenoidalis kanan dan
kiri. Semua sinus mempunyai muara ( ostium) ke dalam rongga hidung. Adapun
anatomi sinus paranasal sebagai berikut :1
1. Sinus maksilaris
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila
yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-
temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilari berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksilaris
adalah (1) dasar sinus maksilaris sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi
taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol
ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan
menyebabkan sinusitis; (2) sinusitis maksilaris dapat menimbulkan komplikasi
orbita; (3) ostium sinus maksilaris terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit.

2. Sinus frontalis
Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada
lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Ukuran sinus
frontalis adalah 2,4 cm tingginya, lebar 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. sinus
frontalis biasanya berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau
lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontalis dipisahkan oleh tulang yang relative tipis dari orbita dan fosa
4
serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontalis mudah menjalar ke daerah
ini.

3. Sinus etmoidalis
Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sel-sel
yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os
etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5
cm, di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Berdasarkan letaknya, sinus etmoidalis dibagi menjadi
sinus etmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoidalis
posterior yang bermuara di meatus superior. Di daerah etmoidalis anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut resesus frontal yang dapat
menyebabkan sinusitis frontalis dan pembengkakkan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksilaris. Di belakang sinus etmoidalis posterior
berbatasan dengan sinus sfenoidalis.

4. Sinus sfenoidalis
Sinus sfenoidalis terletak di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoidalis
posterior. Sinus posterior dibagi oleh dua sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya
1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Batas - batasnya adalah
sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosa,
dan a. karotis interna ( sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

Pemahaman yang baik terhadap perkembangan sinus paranasal dan berbagai


variasi tulangnya sangat dibutuhkan bagi para radiologis agar dapat
menginterpretasikan hasil pemeriksaan radiologi dengan benar. Secara embriologik,
sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya
dimulai dari fetus usia 3 – 4 bulan, kecuali sinus sfenoidalis dan sinus frontalis. Sinus
maksilaris dan sinus etmoidalis sudah ada sejak saat bayi lahir, sedangkan sinus
frontalis berkembang dari sinus etmoidalis anterior pada anak yang berusia kurang lebih
5
8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoidalis dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari
bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya besar maksmal pada
usia antara 15-18 tahun.

Gambar 1. Anatomi sinus


Sinus maksilaris merupakan sinus pertama yang muncul ( 7 – 10 minggu masa
janin). Proses terbentuknya sinus maksilaris berasal dari ekspans infundibulum etmoid
ke dalam maksila hingga membuat suatu massa. Proses ekspansi tersebut menghasilkan
suatu rongga kecil pada saat lahir yang berukuran 7 x 4 x 4 mm. pertumbuhan dan
perkembangannya terus berlanjut pada masa anak-anak kira-kira 2 mm secara vertical
dan 3 mm anteroposterior. Proses perkembangan tersebut mulai menurun pada usia 7
tahun, diikuti fase pertumbuhan kedua berikutnya. Pada usia 12 tahun, pneumatisasi
mencapai bagian lateral, yaitu bagian bawah lateral dinding orbita pada sisipan
prosesus zigomatikus, secara inferior ke bagian dasar hidung dan setelah pertumbuhan
gigi (dentisi) kedua di bawah dasar hidung. Setelah proses dentisi, sinus hanya akan
membesar secara perlahan-lahan dan mencapai ukuran maksimal pada usia 17 – 18
tahun. Apabila terjadi kronik rhinosinusitis pada masa anak-anak, jelas akan
menghambat perkembangan sinus dan dapat menyebabkan hypoplasia sinus maksilaris.
Pada CT potongan coronal, hypoplasia sinus maksilaris dapat dikenali dengan mudah
yaitu dasar sinus maksilaris berada di atas dasar hidung dan atas sinus etmoidalis.
Perkembangan sinus etmoidalis terjadi selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6
– 7 lipatan muncul di bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan – lipatan
ini dipisahkan dari satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih dari seminggu
kemudian, lipatan-lipatan tersebut berfusi menjadi 3-4 puncak dengan sebuah bagian

6
anterior “ ascending” dan sebuah bagian posterior ”descending” ( ramus ascendens dan
ramus descendens). Semua struktur permanen etmoid berkembang dari puncak
tersebut. Sinus sfenoidalis memiliki hubungan dengan nervus kranial, yaitu N. III, N.
IV, N. V.1, N. V.2, dan N. VI.
Sinus etmoidalis merupakan struktur berisi cairan pada bayi yang baru
dilahirkan. Selama masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh sel
posterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai dewasa berumur 12 tahun. Sel
ini tidak dapat dilihat dengan sinar X sampai berumur 1 tahun. Septa yang berangsur-
angsur tipis dan pneumatisasi berkembang sesuai usia. Sel etmoid bervariasi dan sering
ditemukan di atas orbita, sfenoid lateral, ke atas maksila, dan sebelah anterior diatas
sinus frontalis. Sel ini disebut sel supraorbital dan ditemukan 15% dari pasien. Sel yang
berada pada dasar sinus maksilaris ( infraorbital) disebut Haller’s sel dan dijumpai pada
10% populasi. Sel – sel ini dapat menyumbat ostium maksilaris dan membatasi
infundibulum mengakibatkan gangguan dari fungsi sinus. Sel yang meluas ke lateral
anterior sinus sfenoidalis disebut Onodi sel. Variasi dari sel ini penting pada saat
preoperative untuk memperjelas anatomi pasien secara individu.
Sinus frontalis dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagian besar sel-sel
etmoidalis anterior. Os frontalis masih berupa selaput (membrane) pada saat kelahiran
dan tulang mulai mengeras sekitar usia 2 tahun. Secara radiologi, jarang bisa terlihat
struktur selaput ini, perkembangannya mulai dari usia 5 tahun dan berlnajut sampai usia
11 tahun.

II. 2 Sinusitis
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi
virus, bakteri maupun jamur.1,2 Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus
yang ada. Semua keadaan anatomik atau fisiologik yang dapat menimbulkan sumbatan
drainase dari sinus, menyebabkan statis sekret, dan hal ini menimbulkan infeksi. Penyebab
lokal lainnya yang merupakan predisposisi terjadinya sinusitis adalah polip alergi dengan
lokasi yang dekat dengan hiatus semilunaris, karena menyebabkan sumbatan relative
terhadap drainase dari sinus anterior. Infeksi dari akar gigi yang menonjol ke dalam dasar
sinus maksilaris juga dapat menyebabkan sinusitis. Hal ini terutama terjadi jika gigi yang
terinfeksi diangkat dan terjadi fistel ke dalam sinus maksilaris, atau jika bagian dari akar
gigi secara tidak sengaja hilang di dalam lumen sinus.

7
Aktivitas silia yang rusak dapat mengganggu pembersihan sinus yang menyebabkan
infeksi sisa yang berkepanjangan. Sebagai tambahan efek buruk dari merokok dan polusi
udara terhadap aktivitas mukosiliar, deviasi septum dapat mengubah arus konveksi aliran
udara inspirasi sedemikian rupa, sehingga terdapat daerah kering yang dapat merusak
aktivitas silia.3 Dengan demikian menimbulkan rangkaian keadaan, mulai dari statis sekret
dan berakhir dengan infeksi. Pada organ yang menderita sinusitis setelah berenang,
mungkin terkena infeksi dari kuman patogennya sendiri, yang secara mekanik masuk ke
dalam rongga akibat tekanan air. Untuk mencegah keadaan ini hindari berenang pada saat
menderita penyakit respiratorius yang aktif atau laten.
Angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dalam 1000 orang, sedangkan sinusitis
kronis lebih jarang kira-kira 1 dalam 1000 orang. Keluhan utama rhinosinusitis ialah hidung
tersumbat disertai nyeri tekan/ rasa tekanan pada muka dan sekret purulent yang seringkali
turun ke tenggorok (post nasal drip).4 Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis
akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi
menandakan sinusitis maksilaris, nyeri di antara atau dibelakang kedua bola mata
menandakan sinusitis etmoidalis, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis
frontalis. Pada sinusitis sfenoidalis, nyeri dirasakan di vertex, oksipital, belakang bola mata
dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksilaris kadang-kadang terdapat nyeri alih ke telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak.
Keluhan sinusitis kronis tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang- kadang hanya 1
atau 2 dari gejala-gejala berikut, yaitu sakit kepala kronis, post nasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronis muara tuba Eustachius,
gangguan ke paru seperti bronchitis ( sino- bronchitis), bronkiektasism dan serangan asma
yang meningkat dan sulit diobati.4

Patogenesis
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling
bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat di alirkan. Maka terjadi
gangguan drainase dan ventilasi di dalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan
lendir yang di produksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang
baik untuk tumbuhnya bakteri patogen.5 Bila sumbatan berlangsung terus menerus akan
terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya
8
terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan kista. Polip nasi
dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid berasal dari edema
mukosa, dimana stroma akan terisi oleh cairan intraseluler sehingga mukosa yang sembab
menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin
membesar dan kemduain turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai,
sehingga terjadinya polip.

Berdasarkan lokasinya, sinusitis dibagi menjadi :


1. Sinusitis maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga antrum highmore, merupakan sinus yang sering terinfeksi
karena merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar
sehingga aliran sekret ( drainase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia.
Selain itu, ostium maksilaris terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris
yang sempit sehingga mudah tersumbat.

2. Sinusitis etmoidalis
Sinusitis etmoidalis sering bermanifestasi sebagai selulitis orbita karena dinding lateral
labirin etmoidalis ( lamina papirasea) seringkali merekah. Gejala berupa nyeri yang
dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola mata atau
belakangnya, terutama bila mata digerakkan, nyeri alih di pelipis dan sumbatan hidung.

3. Sinusitis frontalis
Sinusitis frontalis akut hamper selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis
anterior. Gejala subjektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis
mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian
perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa
dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakkan supra orbita.

4. Sinusitis sfenoidalis
Pada sinusitis sfenoidalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang bola
mata, dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih sering ditemukan menjadi
bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi
sinus lainnya.

9
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, sinusitis dibagi menjadi :
1. Sinusitis akut, bila infeksi berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu dan
terdapat tanda-tanda radang akut.
2. Sinusitis subakut, bila infeksi berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan, tanda
akut sudah reda, dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversible
3. Sinusitis kronism bila infeksi berlangsung lebih dari 3 bulan, terjadi perubahan yang
ireversibel, misalnya menjadi jaringan granulasi atau polipoid.
Perluasan infeksi dari sinus ke bagian lain dapat terjadi melalui suatu tromboflebitis dari vena
yang perforasi, perluasan langsung melalui bagian dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik,
dengan terjadinya defek, atau juga dapat melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia.
Komplikasi dari sinusitis yang dapat terjadi antara lain :
1. Osteomyelitis dan abses subperiosteal.
2. Selulitis orbita, abses orbita
3. Meningitis, abses ekstradural, abses otak, trombosis sinus kavernosus.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.


Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas ( terutama pada anak),
berupa batuk pilek yang lama dan berulang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior
didapatkan adanya akumulasi sekret pada meatus media atau meatus superior.
Pemeriksaan radiologi bertujuan untuk mendapatkan informasi dan evaluasi sinus paranasal
dengan pemeriksaan foto kepala berbagai posisi, dan CT scan.

II. 3. Peranan Foto Rontgen pada Sinusitis


Pemeriksaan foto polos kepala adalah pemeriksaan yang cukup baik untuk
mengevaluasi sinus paranasal. Posisi pasien yang paling baik adalah duduk agar dapat
mengevaluasi adanya air fluid level pada sinus-sinus. Pemeriksaan foto polos kepala dilakukan
dengan berbagai macam posisi antara lain :
1. Proyeksi Waters
Tujuan dilakukan posisi ini adalah untuk menampakkan patologi sinusitis,
osteomyelitis dan polip. Teknik pemeriksaan :
a. Posisi pasien : berdiri
b. Posisi objek :
a. Pasien diminta untuk berdiri menghadap bucky stand atau posisi kepala PA
dengan MSP tubuh tepat pada mid line kaset.
10
b. Kedua telapak tangan menempel pada dinding
c. Posisikan kepala dan dagu sehingga MSP tegak lurus pada bidang film.
d. Ekstensikan kepala pada posisi yang benar
e. Atur kepala sehingga orbito meatal line membentuk sudut ( 37o) dari bidang
film.
f. Atur luas kolimasi atau luas lapangan penyinaran sesuai objek yang akan
difoto, tidak terlalu luas tidak terlalu kecil.
g. Jangan lupa gunakan marker R atau L sebagai penandan objek kkiri atau
kanan
h. Jangan lupa gunakan grid untuk menyerap radiasi hambur supaya gambaran
yang dihasilkan baik.
i. Lindungi gonad pasien dengan menggunakan apron atau karet timbal
j. Jika posisi pasien sudah siap seluruhnya, dilakukan eksposi dengan faktor
eksposi yang sudah ditentukan untuk pemotretan sinus paranasal proyeksi
waters.
c. Sinar pusat : atur arah horizontal tegak lurus pertengahan kaset keluar dari
acanthion, minimum SID 100 cm.
d. Kolimasi : pada semua rongga sinus
e. Pernapasan : pasien tahan napas saat ekspos berlangsung
f. Kriteria radiograf : sinus maksilaris tampak tidak superposisi dengan prosesus
alveolar dan petrous ridge. Inferio orbital rim tampak sinus frontal.

Gambar 2. Foto polos kepala posisi waters

11
Gambar 3. Foto polos waters dngan sinusitis maksilaris kiri.

2. Proyeksi lateral
Tujuan dilakukannya proyeksi lateral adalah untuk menampakkan patologi sinusitis,
osteomyelitis dan polip.
Teknik pemeriksaan :
a. Posisi pasien : berdiri
b. Posisi objek :
1. Pasien diminta untuk berdiri menghadap bucky stand dengan MSP tubuh tepat
pada mid line kaset.
2. Kedua telapak tangan menempel pada dinding
3. Posisikan kepala dan dagu sehingga MSP tegak lurus pada bidang film.
4. Ekstensikan kepala pada posisi yang benar
5. Atur kepala sehingga orbito meatal line membentuk sudut ( 37o) dari bidang
film.
6. Atur luas kolimasi atau luas lapangan penyinaran sesuai objek yang akan difoto,
tidak terlalu luas tidak terlalu kecil.
7. Jangan lupa gunakan marker R atau L sebagai penandan objek kiri atau kanan
8. Jangan lupa gunakan grid untuk menyerap radiasi hambur supaya gambaran
yang dihasilkan baik.
9. Lindungi gonad pasien dengan menggunakan apron atau karet timbal
10. Jika posisi pasien sudah siap seluruhnya, dilakukan eksposi dengan faktor
eksposi yang sudah ditentukan untuk pemotretan sinus paranasal proyeksi
lateral

12
c. Sinar pusat : atur arah horizontal tegak lurus pertengahan kaset, titik bidik
tegak lurus terhadap kaset diantara outer canthus dan EAM, dan minimum SID 100
cm.
d. Kolimasi : pada semua rongga sinus
e. Pernapasan : pasien tahan napas saat ekspos berlangsung
f. Kriteria radiograf : tampak sinus maksilaris, sfenoid, dan etmoidalis secara lateral.

3. Proyeksi Caldwell
Tujuan dilakukannya proyeksi lateral adalah untuk menampakkan patologi sinusitis,
osteomyelitis dan polip. Teknik pemeriksaan :
a. Posisi pasien : berdiri
b. Posisi objek :
1. Pasien diminta untuk berdiri menghadap bucky stand dengan MSP tubuh
tepat pada mid line kaset.
2. Kedua telapak tangan menempel pada dinding
3. Posisikan kepala dan dagu sehingga MSP tegak lurus pada bidang film.
4. Ekstensikan kepala pada posisi yang benar
5. Atur kepala sehingga orbito meatal line membentuk sudut ( 37o) dari bidang
film.
6. Atur luas kolimasi atau luas lapangan penyinaran sesuai objek yang akan
difoto, tidak terlalu luas tidak terlalu kecil.
7. Jangan lupa gunakan marker R atau L sebagai penandan objek kiri atau
kanan
8. Jangan lupa gunakan grid untuk menyerap radiasi hambur supaya gambaran
yang dihasilkan baik.
9. Lindungi gonad pasien dengan menggunakan apron atau karet timbal
10. Jika posisi pasien sudah siap seluruhnya, dilakukan eksposi dengan faktor
eksposi yang sudah ditentukan untuk pemotretan sinus paranasal proyeksi
lateral
c. Sinar pusat : atur arah horizontal sejajar dengan kaset, titik bidik keluar
nasion, minimum SID 100 cm.
d. Kolimasi : pada semua rongga sinus
e. Pernapasan : pasien tahan napas saat ekspos berlangsung

13
f. Kriteria radiograf : tampak sinus frontal di atas sutura frontonasal, cairan anterior
etmoid tergambarkan secara lateral terhadap tulang nasal langsung di bawah sinus
frontal.
Pada foto polos rontgen, sinusitis akan tampak penebalan mukosa, airfluid level,
perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu/ lebih sinus paranasal,
penebalan dinding sinus dengan sklerotik pada kasus kronis.4,5
Pemeriksaan radiologi sinus maksilaris terbaik menggunakan foto posisi waters.
Sebagian besar bentuknya asimetris antara kanan dan kiri. Selain menilai pneumatisasi
tulang maksila, foto waters juga menilai dasar dinding orbita dan zygoma, sehingga
cukup memberikan tambahan informasi pada penyakit fibrous dysplasia, giant cell
tumor, dan paget’s disease. Foto polos lateral kepala diperlukan untuk mengevaluasi
dasar sinus maksila yang berhubungan dengan akar gigi dan palatum durum.
Evaluasi sinus etmoidalis paling baik memggunakan posisi Caldwell. Kekurangannya
selules etmoid terhalang dengan selule etmoid lain. Bila terdapat perselubungan sulit
ditentukan apakah inflamasi atau neoplasma, tapi lamina papirasea dan fovea
etmoidalis dapat terlihat jelas walaupun tidak sedetail CT scan. Foto waters hanya dapat
melihat sinus etmoidalis anterior karena bagian sinus etmoid lainnya terhalang fosa
nasalis.
Gambaran sinus frontal dapat terlihat pada foto waters dan Caldwell. Yang penting
untuk diperhatikan adalah garis mukoperiosteal yaitu garis yang memisahkan mukosa
sinus frontal dengan os frontal. Pada foto lateral kepala dapat terlihat resesus frontalis
yang berbentuk konkaf dan gambaran fraktur dinding depan sinus frontal apabila ada
riwayat trauma. Tampak gambaran osteomyelitis dinding sinus frontal pada beberapa
kasus paget’s disease.
Untuk evaluasi sinus sfenoid, karena letaknya dikelilingi oleh beberapa tulang dan
dalam dekat basis kranii, sehingga sulit dilakukan foto polos kepala.

II. 4. Peranan CT scan pada sinusitis


CT scan sinus paranasal baik dalam memperlihatkan destruksi tulang dan mempunyai
peranan penting dalam perencanaan terapi serta menilai respon terhadap radioterapi.6,7
CT scan sinus paranasal memberikan tampilan yang memuaskan atas sinus dana dapat
menilai opasitas, penyebab, dan jenis kelainan dari sinus.
Sebelum melakukan pemeriksaan CT scan perlu dilakukan persiapan :
1. Semua benda metalik harus di singkirkan dari daerah yang diperiksa
14
2. Pasien diinstruksikan agar mengosongkan vesika urinaria sebelum pemeriksaan.
3. Menjelaskan alasan penggunaan kontras( bila di perlukan) kepada pasien
4. Mengkomunikasikan kepada pasien sejelas-jelasnya prosedur pemeriksaan.

Gambar 4. CT scan potongan coronal sinus.


Ada lima bentuk inflamasi yang bisa dilihat dengan CT scan pada rhinosinusitis, yaitu:
1. Bentuk inflamasi infudibular, disebabkan oleh obstruksi pada infundibulum etmoid
yang merupakan rute drainase sinus maksilaris
2. Bentuk inflamasi osteomeatal (OMC) disebabkan oleh obstruksi meatus media
yang menjadi rute drainase akhir pada sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal
yang terkena.
3. Bentuk ketiga disebabkan oleh obstruksi sphenoetmoid recess (SER) yang menjadi
rute drainase sinus sphenoid dan sinus etmoid posterior ipsilateral.
4. Bentuk keempat adalah polyposis sinonasal bilateral yang ditandai dengan
pelebaran infundibulum etmoid dimana kavum nasal terisi polip.
5. Bentuk kelima disebut bentuk inflamasi sporadic, yaitu mencakup semua bentuk
opasitas yang tidak termasuk ke dalam keempat bentuk di atas, misalnya polip
soliter, kista retensi, penebalan mukosa pasca operasi, dan sebagainya.

II. 5. Peranan MRI pada Sinusitis

15
MRI cukup membantu dalam menilai komplikasi sinusitis jamur baik yang terbatas
pada ekstrakranial. Sinusitis jamur sering terjadi pada sinus maksila dan sinus etmoid.
MRI mempunyai kontras jaringan lunak yang lebih baik dibandingkan CTscan untuk
membedakan lesi/tumor dengan jaringan lunak disekitarnya. Selain itu tidak adanya
radiasi ion menyebabkan aman bagi pasien dan dapat dilakukan berulang-ulang. Tetapi
kurang baik menilai kelainan pada tulang dibandingkan CT scan, waktu pemeriksaan
yang lama, dan biaya yang lebih mahal. Selain itu gambaran edema mukosa hidung
akibat inflamasi mirip dengan edema pada siklus hidung. Apabila dicurigai komplikasi
intrakranial atau intraorbital diperlukan kontras gadolinium-diethylenetriamine
pentaacetic acid (Gd- PTA). Tidak ada gambaran khusus pada sinusitis jamur pada
MRI, hanya terdapat isointense atau sedikit hipodens dibandingkan jaringanskitarnya.
MRI lebih bermanfaat dalam menilai neoplasma karena dapat membedakan massa
tumor dengan kelainan akiabt sumbatan ostium sinus atau komplek osteomeatal.
Cairan tampak hipointens pada T1 dan hiperintens pada T2. Pembengkakkan mukosa
sering dikacaukan cairan pada T2. Jaringan tumor akan tampak hipointens
dibandingkan edema mukoa pada T2. Pada T2 edematous membrane dan mucus akan
tampak hiperintens.

Gambar 5. MRI sinus dengan massa.

16
Gambar 6. MRI sinus dengan kecurigaan neoplasma.

MRI tidak dapat menggambarkan tulang sebaik CT scan. Selain itu, kerugian
menggunakan MRI adalah tingginya angka positif palsu dan memakan biaya yang
mahal. Positif palsu biasanya terjadi pada remaja sehat, anak usia sekolah, dan anak-
anak dengan gejala sinusitis asimtomatik.

17
BAB III
Penutup

Pemeriksaan radiologi pada sinusitis dilakukan untuk mendapatkan informasi dan


mengevaluasi sinus paranasal. Dengan pemeriksaan radiologi tersebut para ahli radiologi dapat
memberikan gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan-kelainana patologis pada sinus
paranasal dan struktur tulang sekitarnya, sehingga dapat memberikan diagnosis yang lebih dini.
Ada tiga jenis pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan, yaitu foto polos kepala dengan
berbagai posisi, CT scan dan MRI. Pada foto polos kepala, sinusitis akan tampak penebalan
mukosa, air-fluid level, perselubungan homogeny atau tidak homogeny pada satu./ lebih sinus
paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik ( pada kasus-kasus kronik). Foto polos
tidak dapat membedakan antara penebalan mukosa dan gambaran fibrotic. CT scan sinus
paranasal merupakan pemeriksaan gold standard. Selain itu, foto polos kurang dapat
menggambarkan sinus etmoidalis dan membedakan tumor, infeksi, dan polip dari sinus yang
terlihat opak.
CT dapat memberiksan tampilan yang memuaskan atas sinus dan dapat menilai opasitas,
penyebab, dan jenis kelainan dari sinus. CT scan dengan kontras dimana apabila terjadi
enchance menunjukkan adanya inflamasi aktif, tetapi bila tidak terjadi enchance biasanya
jaringan fibrotic dan jaringan parut.
MRI sangat baik untuk melihat jaringan lunak pada sinus. MRI baru digunakan apabila ada
kecurigaan ke arah tumor atau sinusitis fungal. Akan tetapi, MRI tidak dapat menggambarkan
tulang sebaik CT scan. Selain itu, kerugian menggunakan MRI adalah tingginya angka positif
palsu, dan biaya yang mahal.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus paranasal. Dalam : Arsyad ES, Iskandar N,


Bashiruddin J. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok kepala dan
leher. Edisi ke-6. Jakarta : FKUI; 2010. H. 145-9
2. Eggesbo HB. Rhinosinusitis imaging. Marseglia GL, ed. Peculiar aspect of
rhinosinusitis. Croatia : INTECH ; 2011. P. 69-90
3. Brook I. Acute sinusitis. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/232670. Ed. Desember 2013. Tanggal 22 Juli
2016.
4. Ranchman MD. Sinus paranasal. Radiologi diagnostic. Ed. 2. Jakarta : FKUI; 2011.h.
431-8.
5. Ramanan RV. Sinusitis imaging. Diunduh dari :
http/emedicine.medscape.com/article/384649. Ed april 2013. Tanggal 22 Juli 2016.
6. Okuyemi K, Tsue T. Radiology imaging in the management of sinusitis. Am Fam
Physician. P. 1882-7
7. Ahmed A. Imaging of the paediatric paranasal sinuses. S. Afr J rad. 2013; 17 (3): 91-7.

19

You might also like