You are on page 1of 68

FAKULTAS BAHASA DAN BUDAYA

MODUL
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SEMARANG

MATERI KULIAH
INTRODUCTION TO TOURISM
( PENGANTAR PARIWISATA )

Disusun oleh:
Yusak L Diyono, M.Pd
Digunakan untuk kalangan sendiri
BAB I
PENDAHULUAN

A. Sejarah Perjalanan Manusia


Dalam sejarah perjalanan manusia disebutkan, sebelum manusia dapat membaca dan menulis mereka
telah mlakukan perjalanan ke seluruh pelosik dunia. Namun, sesuai dengan kondisi saat itu, motivasi
yang menggerakkan mereka untuk melakukan perjalanan sangat sederhana, antara lain perasaan ingin
tahu, perasaan takut, dan gila kekuasaan. Lambat laun perjalanan mereka cukup berarti, mereka
sering bepergian dan sering pula tidak kembali ke asalnya.
Dari studi literatur, tercatat beberapa bangsa, orang, dan peristiwa yang layak dicatat sebagai titik
tolak dari sejarah perjalanan manusia, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Uang sebagai alat pembayaran oleh bangsa Sameria di Babylonia ± 4000 SM. Sejak saat itu
merupakan titik awal perjalanan manusia dengan tujuan tujuan dagang.
2. Bangsa Sameria dari Babylonia dianggap sebagai bangsa yang pertama kali melakukan perjalanan
dari suatu tempat ke tempat lain, walaupun jumlahnya masih terbatas.
3. Jalan raya yang pertama dibuat di Tiongkok, pada masa pemerintahan Dinasti Chou (221-122
SM).
4. Sistem jalan raya ditemukan di Timur Tengah yang dibangun oleh Kerajaan Persia ± 560-330
SM, dari kaki Gunung Zagrep sampai Laut Aegean.
5. Sistem jalan raya di Roma dibangun pada zaman keemasan Kerajaan Romawi ± 312 SM.
Panjangnya dari Roma sampai Brundisium ialah 576 km. Proyek ini terkenal dengan nama The
Appian Way Project atau Via Appia. Pada masa itu, jalan raya ini merupakan objek wisata yang
menarik.
6. Nabi Nuh, dianggap sebagai orang yang pertama kali melakukan perjalanan melalui laut, walau
penumpangnya sebagian besar hanya terdiri dari binatang.
7. Bangsa Romawi, dianggap sebagai bangsa yang pertama kali melakukan perjalanan untuk tujuan
bersenang-senang. Mereka menempuh ratusan mil dengan kuda untuk melihat candi dan piramida.
8. Yunani, di Asia Kecil, dianggap sebagai daerah tujuan wisata (DTW) yang popular saat itu.
Bangsa Romawi sering berkunjung ke Yunani, untuk melihat pertandingan Olimpiade dan
mengunjungi sumber air panas (spa) untuk kesehatan. Menyaksikan atraksi kesenian rakyat dan
festival didekat tempat mereka menginap.
9. Ephesus (daerah Turki sekarang), tahun 334 SM, Alexander The Great sudah dapat menarik
wisatawan sebanyak 700.000 orang untuk menyaksikan acrobat, adu binatang buas, tukang sihir,
dan tukang sulap.

B. Orang Pertama sebagai Traveller


Orang-orang yang dianggap sebagai traveller dengan urutan waktu secara kronologis dapat
disebutkan di bawah ini.
1. Marco Polo (1254-1324), dianggap sebagai orang pertama yang mengadakan perjalanan
(traveller). Ia telah menjelajahi jalan raya dari Benua Eropa ke Tiongkok dan kemudian kembali
ke Venesia.
2. Ibnu Batuta, orang yang mengikuti jejak Marcopolo. Ia melakukan perjalanan pada abad XIV,
tepatnya hari Selasa tanggal 14 Juni 1325. Ibnu Batuta berangkat dari Tangier (Afrika Utara)
menuju Mekah dan Medinah dalam usia 22 tahun. Setelah mendapat pengakuan sebagai kadi
(hakim agama) barulah ia kembali ke Tangier. Ia menamakan dirinya The First Traveller of Islam.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 1
Berangkat pada usia 22 tahun dan kmbali pada usia 29 tahun. Ia melakukan perjalanan seorang
diri dengan berjalan kaki, menempuh jarak 75.000 mil.
3. Pangeran Hendry dari Potugal, terkenal sebagai Prince Hendry The Navigator (1394-1460),
banyak memberikan sumbangan dalam bidang kelengkapan navigasi, mengirim orang-orang
Portugis berlayar ke Kepulauan Azores, ke Afrika, dank e Asia termasuk Indonesia. Dikenal di
Benua Barat sebagai The Great Age of Discovery.
4. Christopher Columbus (1451-1506), dengan perahu berbendera Spanyol, pada tanggal 12
Oktober 1492, mendarat di Pegunungan Guanahani yang sekarang dikenal sebagai San Salvador.
Menemukan Cuba tanggal 28 Oktober 1492 dan Haiti pada tanggal 5 Desember 1492, yang
kemudian dinamakan Hispaniola.
Selanjutnya, ekspedisi yang kedua menemukan Puerto Rico, Keplauan Antilen Kecil, serta
Jamaica. Pada ekspedisi yang ketiga, menemukan Sungai Orinoco di Venezuela.
5. Akhir abad XV, Portugal menunjuk Alfonso d‟Albuqurque, Vasco da Gama, dan Fernando de
Magelhaens untuk menjelajahi kelima samudra.
6. Setengah abad kemudian, Kapten James Cook (1728-1779) seorang berbahasa Inggris,
mengelilingi dunia menjelajahi Hebrida Baru, Selandia Baru, dan Australia bagian timur (1768-
1771). Membuat peta perjalanan atau pelintasan Venus.

A. Asal Mula Hari Libur


Hari libur atau holiday, berasal dari kata holy dan day. Holy berarti suci dan Day berarti hari. Jadi,
Holiday artinya hari suci. Sesuai dengan artinya, pada hari libur tersebut hanya digunakan untuk pergi
ke tempat-tempat suci. Karena masih ada waktu luang, dilanjutkan dengan rekreasi dan menyaksikan
entertainment atau melakukan hal-hal yang ada kaitannya dengan kegiatan amusement lainnya.
Permulaan berlakunya hari libur umum, dilakukan pada zaman Kerajaan Romawi. Hari libur pada
masa itu dinamakan Saturnalia, yaitu pesta Saturnus di bulan Desember. Pada waktu itu, semua orang
tanpa memandang kasta bersendau gurau memanjakan dirinya, termasuk budak-budak.
Perkembangan selanjutnya, Raja Edward VI, mengeluarkan act yang mengatur hari libur
(holiday) dan hari-hari untuk berpuasa (fasting-days). Sejak saat itu, kantor-kantor swasta dan semi
pemerintah sering ditutup pada hari-hari suci tertentu.
Konsep modern tentang hari libur setiap tahun, baru terjadi setelah Revolusi Industri. Hal ini
setelah terjadi perubahan besar di Inggris. Hari-hari libur di Inggris, antara lain Hari Natal
(Christmas), Easter, dan Whitsuntide. Akibat Revolusi Industri, selama abad XIX, selanjutnya hari-
hari libur merupakan hasil kesepakatan antara buruh dengan pengusaha pabrik.
Pemisahan hari-hari libur dengan kegiatan keagamaan akhirnya berlangsung secara bertahap
sampai sekarang ini, contohnya libur cuti dan hari raya.

D. Dari Inn Menuju Hotel Modern


Pada dasarnya manusia perlu tempat untuk beristirahat, agar terhindar dari panas, dingin, dan hujan.
Manusia pada zaman purba tidur di gua-gua, diperbukitan, di atas pohon, atau di lembah yang curam.
Bentuk penginapan sudah ada pada waktu Mariam dan Yusuf yang membutuhkan tempat tempat
untuk menginap, ketika Mariam akan melahirkan Nabi Isa. Penginapan waktu itu berbentuk Inn.
Karena semua kamar telah terisi, mereka menginap di kandang domba dan Nabi Isa lahir di tempat
yang sederhana itu.
Pada masa itu, dikenal juga mansions sebagai bentuk penginapan yang berlokasi di sepanjang
jalan yang dibangun oleh Kerajaan Romawi. Kemudian pada abad pertengahan, peraturan yang
bersifat keagamaan di Eropa, memerintahkan agar dibangun tempat-tempat di sepanjang jalan yang
dilalui orang-orang (roadside inn).

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 2
Marcopolo, ketika mengadakan perjalanan sudah menemukan penginapan yang kita sebut
sekarang sebagai guest house, di Mongolia. Guest house itu, disediakan bagi mereka yang melakukan
perjalanan dan juga pengantar surat. Penginapan semacam ini dikembangkan dengan sistem self-
service.
Kemudian berkembanglah penginapan yang melayani makanan bagi yang membutuhkan.
Hotel dengan standar yang lebih baik, pertama kali didirikan di Inggris, disusul Perancis, Swiss,
dan beberapa Negara terkemuka lainnya. Tahun 1774, di Convent Garden didirikan hotel yang
bergandengan dengan bioskop dekat West-Minster di kota London. Selama abad XIX, di Eropa
banyak hotel yang bertaraf lux didirikan. Tahun 1809, Hotel Savoy dibuka di London, kemudian
resort mulai bermunculan di Riviera Perancis dan Italia. City Hotel, dibangun di New York tahun
1794, dianggap hotel yang pertama dibangun di AS. Baru tahun 1829, dibangun The Tremont House
di Boston. Selain memberikan pelayanan untuk tinggal, juga menyediakan ruangan untuk konferensi.
Tahun 1830 dan 1850, didirikan The Palmer House dan The Sherman House di Chicago, Planters
di St. Louise, dan Palace Hotel di San Fransisco. Tahun 1890 menyusul Ellsworth Milton Statler di
Buffalo dan di New York, hotel yang dibangun untuk kepentingan business travelers dan merupakan
yang pertama pada masa itu.

E. Travel Agent Pertama di Dunia


Setelah permulaan abad XIX, banyak kemajuan dalam bidang transportasi baik darat, laut, maupun
udara. Beberapa peristiwa yang dianggap sebagai rintisan kegiatan travel agent adalah sebagai
berikut.
1. Thomas Cook, lahir 22 November 1818, dianggap sebagai orang yang pertama menemukan
profesi sebagai travel agent. Beberapa gebrakannya antara lain sebagai berikut.
a. Tur yang bersejarah, A Round Tri Excursion, antara kota Leicester dan Lougborough RR,
masing-masing orang dengan biaya 1 shilling, pada tanggal 5 Juli 1841. Jumlah peserta 500
orang.
b. Tahun 1851, Thomas Cook menyelenggarakan tur ke London sebanyak 150.000 orang
pengikut untuk menyaksikan World Exposition.
c. Tahun 1855, membawa orang-orang Inggris ke Eropa untuk menyaksikan Paris Exhibitions di
Perancis. Tur ini dikenal Cook‟s Tour of Eropa.
d. Tahun 1868, dibuka kantor Cook‟s Travel Agent di London.
e. Jejaknya diikuti oleh anaknya John Mason Cook, pada tahun 1865, aktif menyelenggarakan
tur ke Eropa dan Amerika.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 3
BAB II
PARIWISATA MERUPAKAN FENOMENAL SOSIAL, EKONOMI, PSIKOLOGI,
GEOGRAFI, DAN BUDAYA

A. Fenomena Sosial
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, punya naluri untuk berhubungan dengan orang lain.
Dalam masalah kepariwisataan, perjalanan wisata dari satu daerah ke daerah lain merupakan gejala
sosial manusia yang selalu ingin melakukan hubungan dengan orang/bangsa lain. Pada saat mulainya
peradaban, bangsa Sameria telah melakukan perjalanan dengan motivasi yang sederhana, yakni ingin
tetap mempertahankan hidup, lalu berkembang ingin berdagang. Sedangkan Bangsa Romawi
melakukan perjalanan untuk bersenang-senang.
Dalam peradaban modern ini, pesatnya arus informasi, perkembangan teknologi komunikasi, ilmu
pengetahuan, dan seni, menyebabkan orang tergerak untuk melakukan perjalanan wisata ke luar
daerah bahkan ke luar batas wilayah negaranya.
Kegiatan pariwisata yang identik dengan rekreasi ini merupakan salah satu dari bentuk aktivitas
manusia, seperti dikemukakan oleh Michael Chubb, dkk. dalam bukunya One Third of Our Time.
Mengklarifikasikan aktivitas manusia menjadi lima hal, yaitu rekreasi, kebutuhan fisik, spiritual,
pekerjaan dan pendidikan, serta tugas-tugas keluarga dan kemasyarakatan (Michael Chubb, 1981).
Ilustrasi yang dikemukakan oleh Michael tersebut menggambarkan bahwa rekreasi adalah salah
satu kebutuhan dasar aktivitas manusia. Kebutuhan untuk berkomunikasi dengan orang lain ini
dilakukan dengan berkunjung ke Negara atau bangsa lain. Situasi hubungan antar kedua negara akan
mempengaruhi jalur lalu lintas perjalanan dari kedua negara tersebut. Keeratan hubungan antara
negara satu dengan lainnya, semakin membuka informasi dan memungkinkan seseorang mengetahui
informasi secara global dari suatu negara tujuan wisata.
Ilustrasi Michael dapat dilihat pada gambar berikut ini:

bodily
necessity role
- eating
- drinking
- etc.

recreation work and


role education
role
a
human
activity

spiritual duty role


role - family
- community
- organization

Figure 1:

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 4
Model showing the five basic roles that a human activity can assume; one or more
roles is assumed depending on the way in which the participant perceives the activity.

Derasnya arus informasi dan promosi negara tujuan wisata, semakin meningkatkan keinginan
manusia untuk saling berkunjung ke negara-negara tujuan wisata. Hal ini merupakan gejala yang
mendasar dari manusia, yakni ingin menjalin hubungan dengan bangsa lain. Pada zaman modern ini,
melakukan wisata atau melawat ke negara lain, juga merupakan kebutuhan sekunder, karena di
samping rekreasi mereka mempunyai motivasi yang beragam seperti untuk olahraga, pendidikan, dan
kebudayaan.
Dalam cakupan yang lebih luas, fenomena sosial yang erat kaitannya dengan kegiatan
kepariwisataan adalah perjalanan wisata yang dikaitkan dengan kegiatan sosial. Seorang penyanyi
yang melawat/melakukan perjalanan wisata untuk tur dan aksi sosial. Organisasi ibu-ibu
menyelenggarakan perjalanan wisata bagi anak-anak yatim piatu merupakan salah satu bentuk dari
perjalanan wisata sebagai perwujudan rasa sosial untuk membantu orang lain.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa fenomena sosial dalam kepariwisataan adalah
kebutuhan dasar manusia untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Di samping itu, lebih luas lagi
bisa diartikan sebagai kegiatan wisata yang dibarengi dengan aksi sosial.

B. Fenomena Ekonomi
Fenomena ekonomi dalam pariwisata mempunyai aspek yang cukup luas, secara makro (nasional)
kepariwisataan merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan umum ekonomi. Ada dua aspek
dampak kepariwisataan terhadap ekonomi, yakni keuntungan-keuntungan dalam negeri dan
kepariwisataan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan umum ekonomi. (Deparpostel, 1983).

Keuntungan-keuntungan dalam negeri dari kepariwisataan antara lain:


1. dorongan untuk memperluas lapangan kerja;
2. pasaran baru untuk hasil-hasil produksi tertentu;
3. efek penggandaan;
4. mendorong penanaman modal asing;
5. memajukan pengembangan daerah;
6. mendistribusikan kembali pendapatan nasional.

Sedangkan kepariwisataan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan umum ekonomi, antara lain
mencakup:
1. suatu alat pembangunan daerah;
2. kepariwisataan mengurangi pengangguran;
3. membangun kepariwisataan sebagai suatu ekspor yang tidak kelihatan (invinsible export);
4. kepariwisataan dan perbendaharaan negara;
5. kepariwisataan dan penanaman modal.

Secara mikro, aspek ekonomi dalam kepariwisataan dapat dijelaskan bahwa dengan adanya
perkembangan pariwisata akan memberi dampak positif bagi:
1. Pendapatan masyarakat sekitar daerah tujuan wisata (DTW) karena dengan meningkatnya arus
wisatawan di DTW, masyarakat di sekitar DTW dapat memanfaatkan untuk membuka usaha yang
kira-kira dibutuhkan oleh wisatawan. Dampak positif itu dirasakan, antara lain oleh pengusahaan
akomodasi (home stay), rumah makan, sampai dengan jasa-jasa yang lain seperti penyewaan
peralatan untuk olahraga air, mobil, masase, dan souvenirshop.
2. Pendapatan pemerintah daerah setempat, dengan perolehan pemasukkan kas daerah dari
pemungutan pajak, restribusi, dan sebagainya.
Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 5
3. Munculnya pedagang asongan yang beroperasi di sekitar DTW.
4. Meningkatnya permintaan hasil daerah setempat, seperti bahan-bahan mentah atau hasil pertanian
dan perkebunan yang dipasok ke hotel dan restoran. Meningkatnya permintaan barang-barang
kerajinan, handicraft, souvenir, serta barang-barang yang khas dari suatu daerah, seperti kain
tenun, sulaman, minuman khas, dan makanan khas.

Kepariwisataan sebagai fenomena ekonomi, dapat diartikan perjalanan wisata yang dilakukan
oleh orang-orang yang ekonominya sudah mapan. Dalam arti ada hubungan antara kemampuan
membayar suatu perjalanan wisata dengan kemampuan ekonomi seseorang. Dalam survey mengenai
kepariwisataan disebutkan “penghasilan seseorang banyak sekali menentukan, apakah ia dapat ikut
suatu perjalanan wisata atau tidak” (Oka A. Yoeti, 1985). Hal ini sesuai pula dengan ciri-ciri
wisatawan yang potensial. Seseorang memiliki potensi sebagai wisatawan apabila ia punya waktu
luang dan punya uang. Kesimpulannya, kondisi ekonomi seseorang memungkinkan bisa tidaknya ia
melakukan perjalanan wisata.

C. Fenomena Psikologis
Masyarakat di negara industri yang sudah maju, menghadapi permasalahan yang sangat kompleks
dan kompetitif. Di samping dilingkupi oleh teknologi yang maju, juga akibat urbanisasi sebagai salah
satu ciri dari kota metropolitan, banyak menarik kaum urban menuju pusat-pusat kota untuk mencari
nafkah Akibatnya, banyak orang dari negara industri yang terlibat dalam suasana yang tegang atau
stress. Salah satu pelariannya adalah melakukan rekreasi atau liburan di tempat-tempat wisata.
Mereka ingin rileks dan menikmati perubahan lingkungan dengan udara yang bersih, untuk
memulihkan kesegaran jasmani dan rohani agar segar dan siap untuk bekerja kembali.
Gejala yang bersifat psikologis ini dalam ruang lingkup pariwisata dikatakan sebagai “gejala
pengasingan diri” (withdrawal symptom). E. Barnet mengatakan bahwa “gejala pengasingan diri” ini
adalah seseorang berusaha melepaskan dirinya dari lingkungan pekerjaan hariannya, suasana
kebiasaan hidupnya atau hanya sekadar pergi nyepi ke tempat yang tenang untuk berkontemplasi
mencari ilham (Salah Wahab, 1989).
Lebih lanjut dikatakan oleh Salah Wahab, bahwa pariwisata menjadi suatu sarana untuk
memulihkan kesehatan moral seseorang dan untuk memantapkan kembali keseimbangan emosi
seseorang. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila kegiatan pariwisata dapat digunakan sebagai salah
satu terapi untuk menyembuhkan seseorang dari rasa tegang dan stress karena kesibukan kerja yang
cukup tinggi.
Michael, menyebutkan bahwa rekreasi merupakan salah satu kebutuhan dasar dari aktivitas
kehidupan manusia. Oleh karena itu, pariwisata tidak sekadar perjalanan wisata belaka, tetapi lebih
dari itu adalah suatu kebutuhan manusia yang paling mendasar.

D. Fenomena Geografi
Pariwisata merupakan fenomena geografi. Posisi suatu negara tujuan wisata atau letak geografis suatu
daerah tujuan wisata mempunyai peranan dalam pariwisata. Penampakan geografis yang khusus akan
merupakan daya tarik bagi wisatawan. Struktur geografis yang terdapat flora dan fauna, seperti di
Afrika, dapat dijadikan sebagai daerah wisata untuk berburu. Demikian juga Jeram Niagara, yang
merupakan air terjun alami dan posisi tujuan wisata di tengah lalu lintas internasional, akan
merupakan modal untuk menarik wisatawan mancanegara.
Dardji Darmodihardjo, mengemukakan fenomena geografis di Indonesia sebagai berikut,
“keadaan alam yang sukar dicari bandingannya merupakan daya tarik bagi bangsa asing dan adalah
modal yang besar bagi pariwisata”(Dardji Darmodihardjo, dkk, 1979). Kepulauan nusantara yang
oleh Multatuli digambarkan sebagai “pending zamrud yang membujur sepanjang katulistiwa” adalah

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 6
tidak terlalu berlebihan. Indonesia yang terdiri dari lebih kurang 13.500 pulau besar dan kecil yang
bertebaran di antara benua Asia dan Australia dan diantara samudra Psifik dan samudra Indonesia
merupakan posisi tujuan wisata yang strategis. Luas Indonesia 2.000.000 km², panjangnya dari
Sabang sampai Merauka 5.000 km, hampir seluas benua Eropa. Ragam budaya serta alam Indonesia
merupakan daya pikat tersendiri.
Banyak primadona yang dapat diandalkan dari geografi Indonesia, Gunung Krakatau,
Tangkubanprahu, Ijen, Bromo dengan lautan pasirnya. Taman laut Bunaken, konon terindah di Asia
Tenggara. Air terjun Moramo yang 57 tingkat, serta danau tiga warna Kilimutu yang “ajaib”
merupakan cirri-ciri geografis yang dapat dijadikan promosi pariwisata.

E. Fenomena Budaya
Pariwisata dapat dikatakan merupakan fenomena budaya. Dari sisi subjek (wisatawan) sendiri, hal ini
terkait dengan motivasi perjalanannya. Motivasi perjalanan yang meliputi aspek-aspek budaya antara
lain:
1. ingin melihat adat istiadat bangsa di negara lain;
2. ingin melihat upacara adapt, upacara keagamaan, dan upacara tradisional bangsa lain;
3. ingin melihat pertunjukan kesenian, festival seni, festival tari, festival nyanyi, dan festival drama;
4. untuk keperluan studi kebudayaan masyarakat yang masih mempunyai kebudayaan primitive atau
tradisional dan langka, seperti suku Asmat, suku Dayak, dan Toraja;
5. mengunjungi benda-benda bersejarah, monument, peninggalan nenek moyang, candi, piramid,
serta hasil-hasil budaya lainnya.
Fenomena budaya kepariwisataan ditinjau dari segi objek, merupakan daya tarik pariwisata
budaya. Sebagai contoh daerah tujuan wisata Bali merupakan pariwisata budaya, lebih khususnya
dapat dikatakan pariwisata budaya religius. Bali dengan pariwisata budayanya mempunyai “daya
tarik” yang cukup memikat. Alamnya, tariannya, upacaranya, hasil kerajinannya, candi-candinya,
pura-puranya, drama-drama tradisional, dan berbagai macam daya tarik lainnya.
Dampak positif adanya kegiatan pariwisata, yang terkait dengan kebudayaan adalah dengan
semakin dibutuhkannya penampilan dan pelestarian budaya tradisional. Kebudayaan yang sifatnya
tradisional yang semula hampir terlupakan diaktifkan kembali untuk dikemas dan disajikan kepada
wisatawan sebagai salah satu atraksi budaya yang menarik.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 7
BAB III
PARIWISATA DAN JENIS PARIWISATA

A. Penggunaan dan Arti Istilah Pariwisata


1. A Teeuw dalam bukunya Indonesisch-Nederlands Woorden boek:
Pariwisata : toerisme.
Berpariwisata : als tourist reizen; „n trip maken.
Kepariwisataan : toerisme.
Pariwisataan : tourist
2. S. Prawiroatmodjo dalam Bausastra Djawa-Indonesia:
Wisata : pergi, bepergian; tenteram, tetap hati, setia.
Darma : berdarmawisata, bertamasya, bepergian bersama, berpiknik.
3. L. Mardiwarsito dalam Kamus Jawa-Kuno Indonesia:
Wisata : tenteram; (dng) senagng, (tenang, enak); seenaknya.
4. W. J. S. Poerwadarminta dalam Kamus Bahasa Indonesia:
Pariwisata : perpelancongan (turisme).
5. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia:
Pariwisata : yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi; pelancongan; turisme.
6. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 12:
Pariwisata : atau turisme, merupakan kegiatan perjalanan seseorang atau serombongan
orang dari tempat tinggal asalnya ke suatu tempat ke kota lain atau di negara
lain dalam jangka waktu tertentu. Tujuan perjalanan itu dapat bersifat
pelancongan, bisnis keperluan ilmiah, bagian kegiatan keagamaan, muhibah,
atau juga silaturahmi. Boleh dikatakan hampir semua perjalanan ke daerah
lain dapat digolongkan sebagai kegiatan pariwisata, kecuali bila perjalanan
itu dilakukan untuk tujuan kerja atau mencari nafkah. Tetapi perjalanan
bisnis masih tetap digolongkan sebagai kegiatan pariwisata, karena
kebanyakan wisatawan bisnis hanya menggunakan waktu beberapa jam saja
dalam setiap harinya untuk mengurus bisnisnya, sedangkan waktu selebihnya
digunakannya untuk bersenang-senang.
7. Definisi Pariwisata
a. Definisi yang Bersifat Umum
Pariwisata adalah keseluruhan kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk
mengatur, mengurus, dan melayani kebutuhan wisatawan.
b. Definisi yang Lebih Teknis
Pariwisata merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh manusia baik secara
perorangan maupun kelompok di dalam wilayah negara sendiri atau di negara lain. Kegiatan
tersebut dengan menggunakan kemudahan, jasa, dan factor penunjang lainnya yang diadakan
oleh pemerintah dan atau masyarakat, agar dapat mewujudkan keinginan wisatawan.
Kemudahan dalam batasan pariwisata maksudnya antara lain berupa fasilitas yang
memperlancar arus kunjungan wisatawan. Misalnya dengan memberikan bebas visa, prosedur
pelayanan yang cepat di pintu-pintu masuk dan keluar, tersedianya transportasi dan
akomodasi yang cukup. Faktor penunjangnya adalah prasarana dan utilitas umum, seperti
jalan raya, penyediaan air minum, listrik, tempat penukaran uang, pos dan telekomunikasi,
dan sebagainya.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 8
B. Bentuk dan Jenis Pariwisata
Setelah kita pahami tentang istilah dan pengertian tentang pariwisata, berikut dikemukan tentang
bentuk dan jenis pariwisata.

1. Bentuk Pariwisata
Nyoman S. Pendit dalam bukunya, Ilmu Pariwisata, Sebuah Pengantar Perdana, mengemukakan
bentuk pariwisata dapat dibagi menurut kategori sebagai berikut: menurut asal wisatawan,
menurut akibatnya terhadap neraca pembayaran, menurut jangka waktu, menurut jumlah
wisatawan, dan menurut alat angkut yang dipergunakan (Nyoman S. Pendit, 1990).

Adapun uraian singkat mengenai bentuk pariwisata tersebut antara lain seperti diuraikan di bawah
ini.
a. Menurut Asal Wisatawan
1. Dari dalam negeri disebut juga pariwisata domestik atau pariwisata nusantara.
2. Dari luar negeri disebut pariwisata internasional atau pariwisata mancanegara.
b. Menurut Akibatnya terhadap Neraca Pembayaran
1. Kedatangan wisatawan ke dalam negeri memberi efek positif terhadap neraca pembayaran
luar negeri. Pariwisata ini disebut pariwisata aktif.
2. Sebaliknya, warga negara yang ke luar negeri memberikan efek negative terhadap neraca
pembayaran luar negeri atau disebut pariwisata pasif.
c. Menurut Jangka Waktu
1. Pariwisata jangka pendek, apabila wisatawan yang berkunjung ke suatu DTW hanya
beberapa hari saja.
2. Pariwisata jangka panjang, apabila wisatawan yang berkunjung ke DTW waktunya sampai
berbulan-bulan.
Jadi, yang membedakan adalah lama tinggal.
d. Menurut Jumlah Wisatawan
1. Disebut pariwisata tunggal, apabila wisatawan yang bepergian hanya seorang, atau satu
keluarga.
2. Disebut pariwisata rombongan, apabila wisatawan yang bepergian satu kelompok atau
rombongan yang berjumlah 15 sampai dengan 20 orang atau lebih.
e. Menurut Alat Angkut yang Dipergunakan
Menurut kategori ini pariwisata dapat dibagi:
1. pariwisata udara;
2. pariwisata laut;
3. pariwisata kereta api;
4. pariwisata mobil.

2. Jenis Pariwisata
a. Wisata Budaya
Seseorang yang melakukan perjalanan wisata dengan tujuan untuk mempelajari adapt-istiadat,
budaya, tata cara kehidupan masyarakat dan kebiasaan yang terdapat di daerah atau negara yang
dikunjungi. Termasuk dalam jenis pariwisata ini adalah mengikuti misi kesenian ke luar negeri
atau untuk menyaksikan festifal seni dan kegiatan budaya lainnya.
b. Wisata Kesehatan
Disebut juga Wisata Pulih Sembuh. Artinya seseorang melakukan perjalanan denagn tujuan untuk
sembuh dari suatu penyakit atau untuk memulihkan kesegaran jasmani dan rohani. Objek wisata

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 9
kesehatan adalah tempat peristirahatan, sumber air panas, sumber air mineral dan fasilitas-fasilitas
lain yang memungkinkan seorang wisatawan dapat beristirahat sambil berwisata.
c. Wisata Olahraga
Seseorang yang melakukan perjalanan dengan tujuan untuk mengikuti kegiatan olahraga,
misalnya Olympiade, Thomas Cup, dan Sea Games.
d. Wisata Komersial
Istilah lainnya adalah wisata bisnis. Wisatawan yang masuk ke dalam jenis wisata ini adalah
mereka yang melakukan perjalanan untuk tujuan yang bersifat komersial atau dagang. Misalnya,
mengunjungi pameran dagang, pameran industri, pecan raya, dan pameran hasil kerajinan.
e. Wisata Industri
Perjalanan yang dilakukan oleh rombongan pelajar atau mahasiswa untuk berkunjung ke suatu
industri yang besar guna mempelajari atau meneliti industri tersebut. Misalnya: rombongan
pelajar dan mahasiswa yang berkunjung ke IPTN untuk melihat industri pesawat terbang.
f. Wisata Politik
Seseorang yang berkunjung ke suatu negara untuk tujuan aktif dalam kegiatan politik. Misalnya
kunjungan kenegaraan, menghadiri penobatan Kasar Jepang, penobatan Ratu di Inggris. Juga
konferensi politik atau kunjungan kenegaraan yang dilanjutkan dengan berdarmawisata
mengunjungi obyek-obyek wisata dan atraksi wisata.
g. Wisata Konvensi
Seseorang yang melakukan perjalanan dan berkunjung ke suatu daerah atau negara dengan tujuan
untuk mengikuti konvensi atau konferensi. Misalnya, KTT Non-Blok yang baru-baru ini
diselenggarakan di Jakarta. Wisata konperensi ini erat kaitannya dengan wisata politik. Di
samping disediakannya tempat-tempat untuk konvensi atau konferensi, biasanya juga ada post
conference tour, yakni acara berdarmawisata sesuai konferensi dengan mengunjungi objek dan
atraksi wisata.
h. Wisata Sosial
Kegiatan wisata sosial adalah kegiatan wisata yang diselenggarakan dengan tujuan non profit atau
tidak mencari keuntungan. Perjalanan wisata ini diperuntukkan bagi remaja, atau golongan
masyarakat ekonomi lemah maupun pelajar. Contoh lain: organisasi wanita yang mengajak siswa
dari panti asuhan untuk melakukan perjalanan wisata. Kegiatan ini termasuk juga wisata sosial.
i. Wisata Pertanian
Pengorganisasian perjalanan yang dilakukan dengan mengunjungi pertanian, perkebunan untuk
tujuan studi, dan riset atau studi banding. Contoh: petani dari Jawa Timur baru-baru ini ada yang
dikirim ke Jepang untuk mempelajari teknologi pertanian di negara tersebut.
j. Wisata Maritim (Marina) atau Bahari
Wisata Bahari ini sering dikaitkan dengan olah raga air, seperti berselancar, menyelam, berenang,
dan sebagainya. Objeknya adalah pantai, laut, danau, sungai, kepulauan, termasuk taman laut.
Karena kegiatannya di air, wisata ini disebut juga Wisata Tirta.
k. Wisata Cagar Alam
Jenis wisata ini adalah berkunjung ke daerah cagar alam. Di samping untuk mengunjungi
binatang atau tumbuhan yang langka juga untuk tujuan menghirup udara segar dan menikmati
keindahan alam. Objek wisata jenis ini adalah Kebun Raya Bogor, Taman Nasional Blauran, dan
sebagainya.
l. Wisata Buru
Kegiatan wisata ini dikaitkan dengan hobi berburu. Lokasi berburu ini tentu saja yang telah
dimaklumkan oleh pemerintah sebagai daerah perburuan, misalnya jenis binatang yang merusak
seperti banteng dan babi hutan. Tidak jarang pula dalam wisata buru ini ada lomba berburu.
m. Wisata Pilgrim

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 10
Jenis wisata ini dikaitkan dengan agama, kepercayaan ataupun adapt istiadat dalam masyarakat.
Wisata pilgrim ini dilakukan baik perseorangan maupun rombongan. Berkunjung ke tempat-
tempat suci, makm-makam orang suci atau orang-orang yang terkenal, dan pemimpin yang
diagungkan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan restu, berkah, kebahagiaan, dan ketentraman.
Di Indonesia tempat-tempat yang dapat dikategorikan sebagai objek wisata pilgrim, misalnya
makam Bung Karno, makam Wali Songo, makam Gunung Kawi, dan juga candi-candi.
n. Wisata Bulan Madu
Sesuai dengan namanya, orang yang melakukan perjalanan dalam jenis wisata ini adalah orang
yang sedang berbulan madu atau pengantin baru. Agen perjalanan atau Biro Perjalanan yang
menyelenggarakan wisata ini biasanya menyediakan fasilitas yang istimewa/khusus. Baik
dekorasi tempat penginapannya maupun sajian makanannya. Diharapkan wisatawan benar-benar
menikmati bulan madu dengan kesan-kesan khusus, indah, dan meninggalkan kenangan yang
istimewa bagi bulan madu mereka.

BAB IV
WISATAWAN

A. Definisi Wisatawan
1. Wisatawan dalam Arti Murni
Dalam The United Nation Conference on Customs Formalities for The Temporary Importation of
Private Road Motor Vehicles and for Tourism, dalam Pasal 1 ayat b) dikatakan sebagai berikut:
“Istilah wisatawan harus diartikan sebagai seorang, tanpa membedakan ras, kelamin, bahasa dan
agama, yang memasuki wilayah suatu negara yang mengadakan perjanjian yang lain daripada negara
di mana orang itu biasanya tinggal dan berada di situ kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 6 bula,
di dalam jangka waktu 12 bulan berturut-turut, untuk tujuan non-imigran yang legal, seperti
perjalanan wisata, rekreasi, olahraga, kesehatan, alas an keluarga, studi, ibadah keagamaan atau
urusan usaha (business)” (Oka A. Yoeti, 1988).

2. Menurut IUOTO
a. Wisatawan (tourist), yaitu pengunjung sementara yang paling sedikit tinggal selama 24 jam di
negara yang dikunjunginya dan tujuan perjalanannya dapat digolongkan ke dalam klarifikasi
berikut ini:
(a) Pesiar (leisure) seperti untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi, keagamaan, dan
olahraga.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 11
(b) Hubungan dagang (business), keluarga, konferensi, dan misi.
(c) Pelancong (excursionist),yaitu pengunjung sementara yang tinggal kurang dari 24 jam di
negara yang dikunjunginya (termasuk pelancong dengan kapal pesiar).

3. Menurut WTO (World Tourism Organization)


Untuk diketahui, cikal bakal WTO adalah IUTO (International Union of Tourism Organization) yang
didirikan di Den Haag, 1924. WTO sendiri didirikan pada tanggal 27 September 1970, namun baru
aktif pada 1 Januari 1976.
Rumusan wisatawan berikut ini merupakan salah satu rumusan hasil Sidang Umum IX WTO di
Buenos Aires, Argentina yang diselenggarakan dari tanggal 30 Sepetember hingga 4 Oktober 1991:
“Wisatawan (tourist), seorang pengunjung untuk sekurang-kurangnya satu malam tapi tidak lebih dari
satu tahun dan yang dimaksud utama kunjungannya adalah tidak lain dari melaksanakan suatu
kegiatan yang mendatangkan penghasilan bagi negeri yang sikunjungi” (Deparpostel, 1992).

4. Menurut INPRES No. 9 Tahun 1969


“Wisatawan (tourist) adalah setiap orang yang bepergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke
tempat lain dengan menikmati perjalanan dan kunjungannya itu.”

5. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan


Bab I Ketentuan Umum Pasal 1, ayat 1 dan 2:
1. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara
sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata;
2. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.

B. Jenis dan Macam Wisatawan


Berdasarkan sifat perjalanan, lokasi di mana perjalanan dilakukan, wisatawan dapat diklarifikasikan
sebagai berikut:

1. Wisatawan Asing (Foreign Tourist)


Orang asing yang melakukan perjalanan wisata, yang dating memasuki suatu negara lain yang
bukan merupakan negara di mana ia biasanya tinggal. Wisatawan asing disebut juga wisatawan
mancanegara atau disingkat wisman.
2. Domestic Foreign Tourist
Orang asing yang berdiam atau bertempat tinggal di suatu negara karena tugas, dan melakukan
perjalanan wisata di wilayah negara di mana ia tinggal. Misalnya, staf kedutaan Belanda yang
mendapat cuti tahunan, tetapi ia tidak pulang ke Belanda, tetapi melakukan perjalanan wisata di
Indonesia (tempat ia bertugas).
3. Domestic Tourist
Seorang warga negara suatu negara yang melakukan perjalanan wisata dalam batas wilayah
negaranya sendiri tanpa melewati perbatasan negaranya. Misalnya, warga negara Indonesia yang
melakukan perjalanan ke Bali atau ke Danau Toba. Wisatawan ini disebut juga wisatawan dalam
negeri atau wisatawan nusantara (wisnu).

4. Indigenous Foreign Tourist


Warga negara suatu negara tertentu, yang karena tugasnya atau jabatannya berada di luar negeri,
pulang ke negara asalnya dan melakukan perjalanan wisata di wilayah negaranya sendiri.
Misalnya, warga negara Perancis yang bertugas sebagai konsultan di perusahaan asing di

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 12
Indonesia, ketika liburan ia kembali ke Perancis dan melakukan perjalanan wisata di sana. Jenis
wisatawan ini merupakan kebalikan dari Domestic Foreign Tourist.
5. Transit Tourist
Wisatawan yang sedang melakukan perjalanan ke suatu negara tertentu, yang terpaksa mampir
atau singgah pada suatu pelabuhan/airport/stasiun bukan atas kemauannya sendiri.
6. Business Tourist
Orang yang melakukan perjalanan untuk tujuan bisnis, bukan wisata, tetapi perjalanan wisata
akan dilakukannya setelah tujuannya yang utama selesai. Jadi, perjalanan wisata merupakan
tujuan sekunder, setelah tujuan primer yaitu bisnis selesai dilakukan.

BAB V
INDUSTRI PARIWISATA DAN TUJUAN WISATA

A. Industri Pariwisata
1. Pariwisata sebagai Suatu Industri
Untuk memahami pariwisata sebagai suatu industri, dapat diberikan contoh dengan
menggambarkan seseorang yang melakukan perjalanan wisata. Seseorang yang melakukan
perjalanan wisata akan mengikuti alur kegiatan sebagi berikut.
a. Ketika ia akan mempersiapkan keberangkatannya ke daerah tujuan wisata, ia memerlukan jasa
Agen Perjalanan atau Biro Perjalanan Umum untuk memperoleh informasi mengenai Paket
Wisata, Reservation (Pemesanan), Daerah Tujuan Wisata, Tiket, Pengurusan Paspor, dan
sebagainya.
b. Setelah lengkap dokumen perjalanannya, ia memerlukan jasa taksi untuk sampai di
Pelabuhan/Bandara.
c. Selanjutnya ia naik pesawat/kapal untuk sampai di DTW atau negara tujuan wisata.
d. Setelah dating di DTW/Negara Tujuan Wisata ia memerlukan transport untuk menuju ke hotel.
e. Setelah di Hotel ia memerlukan makan dan minum, pada saat inilah ia memerlukan restoran
atau perusahaan pangan.
f. Selama di DTW ia memerlukan guide untuk memandunya ke objek wisata dan atraksi wisata,
dan membutuhkan souvenir shop untuk belanja oleh-oleh.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 13
g. Setelah puas di DTW, akhirnya ia kembali ke tempat asalnya semula.
Dari pemaparan di atas, sudah jelas bahwa industri pariwisata adalah keseluruhan rangkaian
dari usaha menjual barang dan jasa yang diperlukan wisatawan, selama ia melakukan perjalanan
wisata sampai kembali ke tempat asalnya. Jadi, adalah salah apabila industri pariwisata
diibaratkan sebuah pabrik yang mengolah barang-barang mentah menjadi barang jadi, serta ada
produknya. Industri pariwisata adalah keseluruhan usaha-usaha yang dapat dinikmati wisatawan
semenjak ia melangkahkan kakinya ke luar rumah sampai ia pulang kembali ke rumahnya.

2. Definisi Industri Pariwisata


Industri pariwisata merupakan rangkuman dari berbagai macam bidang usaha, yang secara
bersama-sama menghasilkan produk-produk maupun jasa-jasa/layanan-layanan atau services,
yang nantinya, baik secara langsung maupun tidak langsung akan dibutuhkan oleh para wisatawan
selama perlawatannya (R.S. Damardjati, 1992).

3. Perlengkapan Industri Pariwisata


Perlengkapan industri pariwisata, apabila dikelompokkan dapat dibagi menjadi 3 golongan besar,
yaitu:
a. transportasi;
b. akomodasi dan perusahaan pangan, dan
c. perusahaan jasa.

a. Transportasi
(1) dengan kapal: danau, sungai, laut;
(2) dengan kereta api
(3) dengan mobil dan bus
(4) pengangkutan dengan pesawat udara
b. Akomodasi dan Perusahaan pangan
(1) Jenis akomodasi: pension, herberg, inn, hospiz, kurt, hotel atau kurpension, schutzhutte,
apartemen, sanatorium, bungalow, pondok atau cottage, mess, homestay, roykan,
minshuku, motel, hostel atau asrama, perkemahan, pusat peristirahatan, dan sebagainya.
(2) Jenis perusahaan pangan: restoran, rumah makan, café, warung, cafeteria, kantin,
estaminet, bar, teahouse, cofferoom, beerhouse, buffet, pub, dan sebagainya.

c. Perusahaan Jasa
Perusahaan jasa: biro perjalanan, agen perjalanan,pelayanan wisata, pramuwisata, pelayanan
angkutan barang atau porter, perusahaan hiburan, penukaran uang, dan asuransi wisata.

B. Produk Industri Pariwisata


1. Definisi Produk Industri Pariwisata

a. Drs. Mohamad Ngafenan dalam Kamus Pariwisata: “Produk wisata (tourist product), segala
aspek wisata yang dialami oleh wisatawan selama mengadakan suatu perjalanan wisata,
meliputi atraksi wisata, fasilitas wisata, dan kemudahan-kemudahan yang didapatkannya”
(Mohammad Ngafenan, 1991).
b. Burkart dan Medlik:
“…The tourist product may be seen as a composite product, as an amalgam of attractions,
transport, accommodation and of entertainment” (Oka A. Yoeti, 1985).

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 14
Dikatakan bahwa produk industri pariwisata merupakan suatu susunan produk yang terpadu,
yang terdiri dari objek wisata, atraksi wisata, transportasi (angkutan), akomodasi dan hiburan,
di mana tiap unsure dipersiapkan oleh setiap perusahaan dan ditawarkan secara terpisah.

2. Ciri-Ciri Produk Industri Pariwisata


a. Hasil atau produk industri pariwisata itu tidak dapat dipindahkan.
b. Peranan perantara (middlemen) tidak diperlukan, kecuali Travel Agent atau Tour Operator.
c. Hasil atau produk industri pariwisata tidak dapat ditimbun.
d. Permintaan (demand) terhadap hasil atau produk industri tidak tetap dan sangat dipengaruhi
oleh factor-faktor non-ekonomis.
e. Calon konsumen tidak dapat mencicipi produk yang akan dibeli.
f. Hasil atau produk industri pariwisata banyak bergantung pada tenaga manusia.
g. Hasil atau produk industri pariwisata tidak mempunyai standar atau ukuran yang objektif.
h. Dari segi pemilikan usaha, penyediaan produk industri pariwisata memerlukan biaya besar,
resiko tinggi, dan elastis permintaan sangat peka.

C. Tujuan Wisata
1. Surjanto, dkk, dalam bukunya Kamus Istilah Pariwisata:
“daerah tujuan wisata; daerah-daerah yang berdasarkan kesiapan prasarana dan sarana dinyatakan
siap menerima kunjungan wisawatan di Indonesia. Saat ini terdapat 10 daerah tujuan wisata,
Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan” (Surjanto,
dkk, 1985).
2. Menurut Drs. Mohamad Ngafenan, dalam Kamus Pariwisata:
“tempat tujuan wisata, yakni tempat pemberhentian terakhir suatu perjalanan wisata dan harga
paket wisata tersebut” (Mohamad Ngafenan, 1991).

D. Pemukiman Wisata (Tourist Resort)


1. Wilayah Wisata (Tourist Resort)
Seperti tercantum dalam Istruksi Presiden RI No. 9 Tahun 1966 pasal 5 ayat 2, daerah pariwisata
dapat digabungkan sesuai dengan jenis dan lokasi wisata, dari yang terkecil sampai yang paling
luas cakupannya. Penggabungan itu adalah sebagai berikut:
a. proyek wisata;
b. unit wisata (gabungan dari beberapa proyek wisata);
c. lingkungan wisata (gabungan dari beberapa unit wisata);
d. daerah wisata (gabungan dari beberapa lingkungan wisata);
e. wilayah wisata (gabungan dari beberapa daerah wisata).

2. Tourist Resort
Suatu daerah, di mana para wisatawan mendapatkan akomodasi, dapat berekreasi dan fasilitas
lain-lain yang dibutuhkan selama mengunjungi daerah itu. Pada umumnya terdiri dari sarana-
sarana wisata, sarana-sarana pelengkap, ataupun sarana-sarana penunjang.

E. Objek dan Atraksi Wisata


1. Objek Wisata
a. Objek Wisata (Tourist Object).

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 15
Segala objek yang dapat menimbulkan daya tarik bagi para wisatawan untuk dapat
mengunjunginya. Misalnya, keadaan alam, bangunan bersejarah, kebudayaan, dan pusat-pusat
rekreasi modern. (M. Ngafenan, 1991).
a. Kamus Istilah Pariwisata menjelaskan istilah-istilah yang berkaitan dengan objek wisata,
antara lain sebagai berikut:
(1) Objek Wisata
Perwujudan ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya, sejarah bangsa, keadaan alam yang
mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan.
(2) Objek Wisata Alam
Objek wisata yang daya tariknya bersumber pada keindahan dan kekayaan alam.
(3) Objek Wisata Budaya
Objek yang daya tariknya bersumber pada kebudayaan, seperti peninggalan sejarah,
museum, atraksi kesenian, dan objek lain yang berkaitan dengan budaya.
(4) Objek Wisata Tirta
Kawasan perairan yang dapat digunakan, baik untuk rekreasi maupun untuk kegiatan olah
raga air. Dilengkapi dengan fasilitas, antara lain untuk:
a. menyelam/skin diving;
b. berselancar/surfing;
c. memancing;
d. berenang;
e. mendayung.

2. Atraksi Wisata
a. Atraksi wisata seni, budaya, warisan sejarah, tradisi, kekayaan alam, hiburan, jasa, dan lain-
lain hal yang merupakan daya tarik wisata di daerah tujuan wisata.
b. Atraksi wisata dapat berupa kejadian-kejadian tradisional, kejadian-kejadian yang tidak tetap,
dan pembuatan keramik di Kasongan. Beberapa atraksi wisata di Indonesia yang sering
dikunjungi wisatawan, misalnya Perayaan Sekaten di Yogya dan Sala, Upacara Ngaben di
Bali, gerhana matahari total, dan Pekan Raya Jakarta (Jakarta Fair). Berdasarkan pengertian
objek wisata dan atraksi wisata tersebut, dapatlah dikemukakan perbedaan dan persamaan
antara obyek wisata dan atraksi wisata.

3. Meningkatkan Daya Tarik


Agar suatu daerah tujuan wisata mempunyai daya tarik, di samping harus ada objek dan atraksi
wisata, suatu DTW harus mempunyai 3 syarat daya tarik, yaitu:
a. ada sesuatu yang bisa dilihat (something to see);
b. ada sesuatu yang dapat dikerjakan (something to do);
c. ada sesuatu yang bisa dibeli (something to buy).

Ketiga syarat tersebut merupakan unsure-unsur untuk mempublikasikan pariwisata.


Seorang wisatawan yang dating ke suatu DTW dengan tujuan untuk memperoleh manfaat
(benefit) dan kepuasan (satisfactions). Manfaat dan kepuasan tersebut dapat diperoleh apabila
suatu DTW mempunyai daya tarik. Prof. Marrioti menyebut daya tarik suatu DTW dengan istilah
attractive spontanee, yaitu segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan
daya tarik agar orang-orang mau dating berkunjung ke tempat tersebut.
Hal-hal yang dapat menarik orang untuk berkunjung ke suatu DTW antara lain dapat dirinci
sebagai berikut.
a. Benda-Benda yang Tersedia dan Terdapat di Alam Semesta (Natural Amenities)

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 16
1. Iklim:
cuaca cerah (clean air), kering (dry), banyak cahaya matahari (sunny day), panas (hot),
sejuk (mild), hujan (wet), dan sebagainya.
2. Bentuk tanah dan pemandangan (land configuration and landscape):
tanah yang datar (plains), gunung berapi (volcanos), lembah pegunungan (scenic
mountain), danau (lakes), pantai (beaches), sungai (river), air terjun (water-fall),
pemandangan yang menarik (panoramic views).
3. Hutan belukar (the sylvan elements), misalnya hutan yang luas (large forest), banyak
pepohonan (trees).
4. Fauna dan flora, seperti tanaman-tanaman yang aneh (uncommon vegetation), burung-
burung (birds), ikan (fish), binatang buas (wild life), cagar alam (national parks), daerah
perburuan (hunting and photographic safari), dan sebagainya.
5. Pusat-pusat kesehatan (health center):
sumber air mineral (natural spring of mineral water), mandi lumpur (mud-baths), dan
sumber air panas (hot spring).

b. Hasil Ciptaan Manusia (Man Made Supply)


Benda-benda bersejarah, kebudayaan dan keagamaan (historical, cultural and religious):
1. monumen bersejarah dan sisa peradaban masa lalu;
2. museum, art gallery, perpustakaan kesenian rakyat, dan handicraft;
3. acara tradisional, pameran, festival, upacara naik haji, upacara perkawinan, dan khitanan;
4. rumah-rumah beribadah, seperti masjid, gereja, kuil, candi maupun pura.

c. Tata Cara Hidup Masyarakat (The Way of Life)


Kebiasaan hidup, adat istiadat dan tata cara masyarakat merupakan daya tarik bagi wisatawan.
Sebagai contoh:
1. pembakaran mayat (ngaben) di Bali;
2. upacara pemakaman mayat di Tanah Toraja;
3. upacara Batagak Penghuku di Minangkabau;
4. upacara khitanan di daerah Parahiyangan;
5. tea ceremony di Jepang;
6. upacara Waisak di Candi Mendut dan Borobudur. (Oka A. Yoeti, 1985)

BAB VI
REKREASI DAN WAKTU SENGGANG

A. Pengertian Rekreasi
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan rekreasi sebagai berikut:
Rekreasi adalah penyegaran kembali badan dan pikiran; sesuatu yang menggembirakan hati dan
menyegarkan seperti hiburan, piknik: kita memerlukan rekreasi setelah lelah bekerja; berekreasi:
mencari hiburan; bermain-main santai; bersenang-senang.
2. Dictionary of Sociology, memberikan rumusan rekreasi sebagai berikut: “…any activity pursued
during leisure, either individual or collective, that is free and pleasureful, having its own
immediate necessity. Recreation includes play, games, sports, athletics, relaxation, pastime,
certain, art forms, hobbies, and avocations. A recreational activity may be engaged in during any
age period of the individual, the particular action being deter mined by the time elements, the
condition and attidu of the person, and the environmental situation”.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 17
3. George D. Butler dalam bukunya Introduction to Community Recretion memberikan definisi
sebagai berikut:
“Expressed in terms of activities, recreation may be considered as any activity which is
consciously performed for the sake of any reward beyond itself, which is usually engaged in
during leisure, which offers man an outlet for his physical, mental or creative powers, and in
which he engaged because of inner desire not because of other compulsion. The activity becomes
recreation for the individual because it elicits from him a pleasurable and satisfying response. In
short, recreation is any form of of experience or activity which an individual engages from choice
of the personal enjoyment and satisfaction which it brings directly to him. This concept
emphasizes the personal nature of recreation activities are as diversified as the interests on man”.

Berdasarkan rumusan definisi tentang rekreasi tersebut dapat didefinisikan cirri-ciri dari rekreasi,
antara lain sebagai berikut:
1. Rekreasi adalah suatu aktivitas, kegiatan tersebut bersifat fisik, mental, maupun emosional.
Rekreasi menghendaki aktivitas dan tidak selalu bersifat non-aktif.
2. Aktivitas rekreasi tidak mempunyai bentuk dan macam tertentu, semua kegiatan yang dapat
dilakukan oleh manusia dapat dijadikan aktivitas rekreasi asalkan saja dilakukan dalam waktu
senggang dan memenuhi tujuan dan maksud-maksud positif dari rekreasi.
3. Rekreasi dilakukan karena terdorong oleh keinginan atau mempunyai motif. Motif tersebut
sekaligus memilih gerakan atau bentuk dan macam aktivitas yang hendak dilakukan.
4. Rekreasi hanya dilakukan pada waktu senggang (leisure time), ini berarti semua kegiatan yang
tidak dilakukan dalam waktu senggang tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan
rekreasi.
5. Rekreasi dilakukan secara bebas dari segala bentuk dan macam pelaksanaan. Hal ini penting
bagi sifat kegiatan rekreasi sebagai outlet for the creative powers (Butler) dan sebagai sarana
untuk dapat memilih salah satu kegiatan rekreasi, ia juga secara bebas dapat melakukan
aktivitas tersebut, dan secara bebas pula ia dapat memilih temannya untuk bersama-sama
berekreasi. Rekreasi dilakukan dalam suasana kebebasan dan secara sukarela.
6. Rekreasi bersifat universal; rekreasi hingga batas-batas tertentu telah merupakan bagian dari
kehidupan manusia, dari semua bangsa, dan tidak terbatas oleh umur, jenis kelamin, pangkat,
dan kedudukan sosial. Rekreasi telah dilakukan oleh manusia-manusia zaman purba sekarang
dan pada masa mendatang. Meskipun demikian, sebagian besar dari umat manusia belum
mendapat kesempatan untuk berekreasi karena belum mempunyai cukup uang. Keinginan
akan berekreasi mereka masih dalam keadaan laten.
7. Rekreasi dilakukan selalu secara sungguh-sungguh dan mempunyai maksud-maksud tertentu.
Banyak orang menganggap rekreasi tidak bersifat sungguh-sungguh karena justru ingin
mendapatkan kepuasan dan kesenangan. Anggapan tersebut kurang tepat dan merupakan salah
pengertian (misconception). Justru karena ingin mendapatkan kesenangan dan kepuasan
rekreasi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, atau dengan kata lain kesungguhan
merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan kepuasan dan kesenangan.
8. Rekreasi adalah fleksibel. Artinya rekreasi tidak dibatasi oleh tempat (indoor recreation dan
outdoor recreation), di mana saja, sesuai dengan bentuk dan macam kegiatan rekreasi.
Selanjutnya, rekreasi dapat juga dilakukan oleh perorangan maupun oleh sekelompok kawan.
Rekreasi tidak dibatasi oleh kemampuan seseorang. Miskin maupun kaya dapat menikmatinya.
Rekreasi tidak dibatasi oleh fasilitas atau alat-alat tertentu. Rekreasi dapat dilakukan dengan
alat-alat sederhana maupun dengan alat-alat tertentu. Rekreasi dapat dilakukan dengan alat-
alat sederhana maupun dengan alat-alat baru mekanisme termodern (Wing Haryono, 1978).

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 18
B. Kegunaan Rekreasi
Wing Haryono dalam bukunya Pariwisata Rekreasi dan Entertainment mengatakan kegunaan rekreasi
adalah: (1) untuk kesehatan, (2) untuk kesehatan mental, (3) membentuk character building,
(4)pencegahan kriminalitas, (5) untuk pendidikan moral, dan (6) untuk tujuan ekonomi.

1. Rekreasi dan Kesehatan


Rekreasi dapat menambah dan memelihara kesegaran dan kesehatan jasmani masing-masing
individu. Aktivitas yang mempergunakan otot besar merangsang pertumbuhan dan merupakan
esensi bagi perkembangan organ vital, memperlancar peredaran darah, memperlancar pengeluaran
zat-zat yang tak berguna, menambah kegiatan pernapasan, dan meningkatkan pencernaan.

2. Rekreasi dan Kesehatan Mental


Rekreasi dapat membina sikap hidup yang sehat dan membahagiakan. Kehiatan ini
memungkinkan seseorang untuk menyalurkan tenaga fisik dan daya pikiran yang kurang
dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, rekreasi, khususnya music, kesenian,
dan pekerjaan tangan adalah tepat sekali untuk memperbaiki atau merehabilitir rasa harga diri.

3. Rekreasi dan Character Building


Rekreasi dapat mengembangkan sifat-sifat manusia, dan sangat mempengaruhi perkembangan
kehidupan sosial. Membina kerjasama dan menghargai hak-hak orang lain.

4. Rekreasi dan Pencegahan Kriminalitas


Rekreasi dapat digunakan sebagai terapi untuk mencegah terjadinya kenalakan remaja. Rekreasi
bukan untuk menghilangkan kenakalan remaja, tetapi berguna untuk media penyaluran ambisi
dan emosi aktivitas remaja kearah kegiatan yang lebuh bermanfaat.

5. Rekreasi dan Moral


Rekreasi dengan aktivitas-aktivitas yang tepat dapat menimbulkan semangat hidup dan berjuang
kembali. Menghilangkan tekanan hidup serta rasa kurang percaya diri. Di samping itu, dengan
rekreasi akan dapat menumbuhkan inspirasi.

6. Rekreasi dan Ekonomi


Kegiatan rekreasi merupakan investasi jangka panjang untuk kesejahteraan dan perkembangan
individu. Rekreasi merupakan salah satu alat yang bersifat preventif untuk menghindarkan
seseorang dari tindak kejahatan dan sakit jiwa. Oleh karena itu, secara ekonomis menguntungkan,
dibanding apabila sudah terkena salah satu penyakit, yang tentunya akan membutuhkan
perawatan dan biaya yang cukup besar.

C. Mengapa Rekreasi?
1. Rekreasi merupakan kegiatan atau aktivitas yang dilakukan pada waktu senggang.
2. Rekreasi yang identik dengan bermain, dapat membantu seseorang untuk selingan setelah lelah
bekerja atau belajar. Baik bagi anak-anak maupun orang dewasa. Ny. Singgih Gunarsa dalam
bahasanya tentang bermain bagi anak memberikan pendapatnya sebagai berikut.
a. Bagi anak bermain sering mempunyai arti dalam membantu perkembangan anak.
b. Dengan bermain anak melakukan kegiatan-kegiatan dengan senang hati. Bahkan orang
dewasa pun memperoleh kesenangan dalam bermain.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 19
c. Di samping penyaluran energy yang berlebihan dalam permainan, mereka dapat menyalurkan
perasaan-perasaan terpendam. Perasaan terpendam dan merupakan perasaan yang memang
sulit disalurkan karena tidak ada objeknya.
3. Rekreasi merupakan salah satu kebutuhan dasar aktivitas kehidupan manusia, seperti yang
disampaikan oleh Michael the five basic roles, salah satunya adalah recreation role.
4. Pada abad ini, kehidupan manusia semakin kompleks, terutama masyarakat di kota industry dan
kaum urban. Menimbulkan ada semacam kecenderungan untuk melakukan “pengasingan diri”
dari rutinitas kehidupan. Di samping untuk berlibur, mencari ketenangan dan udara segar, juga
untuk menghindari stress.
5. Sejak zaman purba sampai abad 20 inim rekreasi merupakan salah satu kebutuhan yang tidak bisa
tidak, harus dilakukan dengan bentuk sesuai dengan kondisi sosial-economi masing-masing
keluarga atau individu.
D. Waktu Senggang (Leisure Time)
1. Pengertian Waktu Senggang
Untuk menghayati lebuh detail mengenai pengertian leisure time, maka berukut ini dikemukakan
rumusan tentang leisure time.
“Leisure time is time beyond that which is required for existence, the things which we must do,
biologically, to stay alive (e.g. eat, sleep, eliminate, etc.), and subsistence, the things we must do
to make a living, as in work, or prepare to make living, as in school. Leisure is time which our
feelings of compulsion should be minimal. It is discretionary time, time to used according to our
own judgement or choice.”

If time were to be divided into the major uses of it, it might appear as follow:

TIME
Type of time How used
I. Existence eat, sleep, bodily care
II. Subsistence work, study, social
III. Leisure Play-reaction, rest

(Harold D. Meyer and Brightbill, Charles K, 1964).

Selanjutnya, Charles dan Broghtbill menambahkan:


“Just there are different kind of time, there are two types of leisure – true leisure and enforced
leisure. True leisure is the kind of leisure which is not imposed upon the individual. Enforced
leisure, however, is not the leisure which people seek or want. It is the time one has on his hands
when he is unemployed, ill, or make to retire from his work when he wants to continue.”
Selanjutnya, dalam Dictionary of Sociology tentang leisure time dijelaskan sebagai berikut:
“Leisure is the free time after the practical necessities of live have been attended to. The
adhective means being unoccupied by the practical necessities, as, leisure hours; the adverb
leisurely applies to slowm deliberate, unhurried undertakings. Conceptions of leisure vary from
the arithmetical one of time devoted to workm sleepm and other necessitiesm substracted from 24
hours – which gives the surplus time – to the general nation of leisure as the time which one uses
as he pleases.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan yang dimaksud dengan „senggang‟ adalah
terluang atau lapang (tentang waktu); tidak sibuk. Dengan demikian, waktu senggang adalah
waktu yang luang atau waktu yang tidak disibukkan oleh pekerjaan atau tugas. Sedangkan Salah

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 20
Wahab mengartikan waktu luang adalah waktu seseorang dalam keadaan bebas dari segala
hambatan dan yang dapat dimanfaatkan atau dihabiskan sesuka hati seseorang.

2. Pariwisata dan Waktu Senggang


Diperkirakan oleh pakar pariwisata, kemudian hari peradaban masyarakat digambarkan menjadi
suatu “masyarakat santai.” Mengapa demikian? Karena jam kerja di Negara-negara industry telah
dibatasi hanya 40 jam per minggu. Semula jumlah jam kerjanya lebih dari 40 jam, karena dampak
dari efisiensi dan efektifitas, serta perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga
ditemukan suatu sistim kerja yang praktis dan efisien. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Jean
Faurastie yang optimis pada tahun 1995, diprakirakan jumlah jam kerja per minggunya hanya 30
jam saja. Dengan banyaknya waktu senggang bagaimanakah cara pemanfaatan waktu tersebut?
Pemanfaatan waktu senggang bergantung pada tingkat social ekonomi mereka, yang
berpenghasilan sedang cukup hanya rekreasi di negaranya sendiri. Sedangkan yang mempunyai
penghasilan yang cukup tinggi pergi ke mancanegara.
Dengan demikian, dapatlah dikemukakan kegiatan pariwisata kegiatan pariwisata merupakan
salah satu alternative untuk mengisi waktu senggang. Walaupun demikan kegiatan pariwisata
tidak dapat dilakukan sembarang waktu, misalnya akhir pecan yang hanya paling banyak 2 hari.
Apalagi diperpanjang waktu liburnya atau libur akhir tahun (cuti).
Secara urutan efisiensi matematis, jumlah jam kerja per minggu adalah 48, 40, 35 dan 30 jam
kerja. Dengan penyusutan jam kerja tersebut, apabila jumlah waktu senggangnya dijadikan satu
dalam satu tahun, maka akan diperoleh angka-angka sebagai berikut:
a. Dengan 35 jam kerja per minggu, berarti akan tersedia lebih dari 1 bulan hari libur per
tahunnya.
b. Dengan 30 jam kerja per minggu, berarti akan tersedia 3 bulan hari libur per tahunnya.

3. Kegiatan Manusia dan Hubungannya dengan Waktu Senggang


Kehidupan manusia secara global terbagi atas 4 kelompok kegiatan utama, yaitu: kegiatan untuk
mencari nafkah, kegiatan untuk memenuhi kebutuhan biologis, kegiatan untuk menunaikan tugas
rumah tangga dan kegiatan social, dan kegiatan waktu senggang. Keempat kegiatan ini tidak
dapat terpisah antara satu dengan yang lain, namun bersambung bersama-sama dengan proses
waktu. Adapun uraian secara singkat makna dari keempat kegiatan tersebut antara lain adalah
sebagai berikut:

a. Kegiatan mencari nafkah


Yang dimaksud dengan kegiatan ini adalah guna mendapatkan gaji/uang yang diperlukan
setiap orang untuk menghidupi dirinya. Biasanya waktu seseorang banyak tersita oleh
kegiatan yang sehubungan dengan pekerjaannya, sehingga waktu untuk rileks serta waktu
luang sangat sempit.
b. Kegiatan Pemenuhan Kebutuhan-Kebutuhan Biologis
Setiap orang harus memuaskan kebutuhan jasmaninya, misalnya makan dan tidur. Kegiatan
ini menghabiskan sebagian waktu seseorang dan umumnya tercakup dalam waktu kerjam
karena kegiatan ini membuktikan kelanjutan kehidupan jasmani.

c. Kegiatan Penunaian Tugas Rumah Tangga dan Kegiatan Sosial


Kegiatan ini mencakup antara lain sebagai berikut:
(1) Tugas-tugas sehubungan dengan anggota keluarga di rumah.
(2) Tugas-tugas yangberkaitan dengan kelompok masyarakat.
(3) Tugas-tugas belanja harian.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 21
d. Waktu Senggang
Waktu senggang adalah waktu seseorang dalam keadaan bebas dari segala hambatan dan yang
dapat dimanfaatkan atau dihabiskan sesuka hatinya.

4. Pembagian Waktu Senggang


Waktu senggang dapat dibagi menjadi 3 bagian, yakni:

a. Waktu Senggang Sesudah Jam Kerja (After Work Leisure Time)


Waktu senggang setelah pulang kantor/bekerja ini biasanya dapat dilakukan untuk kegiatan-
kegiatan yang bersifat rekreatif walaupun hanya selingan pengisi waktu. Misalnya: nonton TV,
nonton bioskop, kegiatan seni tari, memancing, sport, main kartu, membaca bukum dll. Ini
merupakan kegiatan untuk menghilangkan kejenuhan seusai kerja rutin, walaupun waktunya
jelas sangat terbatas.

b. Waktu Senggang Akhir Pekan (Week End Leisure Time)


Kesempatan hari libur akhir pecan ini dapat digunakan untuk bepergian wisata jarak pendek,
misalnya:
(1) ke villa di pegunungan atau di tepi pantai atau menginap di hotel di luar kota di daerah
pedalaman;
(2) ke tempat perkemahan, tempat caravan dan sejenisnya;
(3) ke pusat-pusat rekreasi perawatan kesehatan;
(4) ke kawasan sport dan klub-klub.
c. Waktu Senggang Selama Cuti (Holiday Leisure Time)
Masa cuti akhir tahun, biasanya berkisar antara 2 minggu sampai 4 minggu atau lebih. Waktu
inilah yang nampaknya tepat untuk melakukan wisata guna refreshing. Waktunya cukup lama,
sehingga memungkinkan untuk melakukan perjalanan wisata ke daerah-daerah yang jaraknya
agak jauhm seperti Bali dan Danau Toba.

BAB VII
ENTERTAINMENT DAN AMUSEMENT

A. Beberapa Pengertian
1. Dalam Kamus Inggris-Belanda, entertainment berarti onthaal dan vermakelijkheid. Sedangkan
dalam Kamus Belanda, onthaal artinya perjamuan makan atau disambut dengan baik (M.A. Tair
dan MR. H. Van Der Tas, 1972). Jadi, entertainment diartikan menerima atau menjamu tamu-
tamu atau kawan-kawan dengan meriah, merupakan suatu pesta di mana tamu atau kawan-kawan
juga disuguhi hiburan-hiburan (Wing Haryono, 1978).
2. Peter Salim dalam The Contemporary English-Indonesian Dictionary mengartikan kedua istilah
sebagai berikut.
Amusement : hiburan, kesenangan. He sings for amusement (Ia bernyanyi sebagai
hiburan).
Amusement Park : taman hiburan
Amusement Center : tempat hiburan. He always comes to the amusement center (Ia selalu
datang ke tempat hiburan).
Entertainment : 1. hiburan. He gives numerous entertainments to his friends (Ia
memberikan banyak hiburan kepada teman-temannya).

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 22
The entertainments at the new theater changes nightly (pertunjukan di
teater baru itu berganti setiap malam).
3. John M. Echols dan Hassan Shadily dalam Kamus Inggris-Indonesia:
Amusement : 1. hiburan.
I went there only for amusement. (Saya ke sana hanya untuk hiburan
saja).
2. Kegirangan, kesenangan
The clown’s antics caused a great deal of amusement. (Kejenakaan
pelawak itu mendatangkan banyak kegirangan).
Entertainment : 1. hiburan
2. pertunjukan
Entertainment tax = pajak pertunjukan.
Entertainment allowance = uang untuk hiburan, dana untuk menghibur
nasabah.

Dari beberapa pengertian kedua istilah asing tersebut, keduanya berbeda dalam arti maksud,
tujuan, dan waktu penyelenggaraan. Namun demikian, dalam pengertian arti kedua istilah itu tidak
jauh berbeda, keduanya adalah pertunjukan dan hiburan. Bisa juga diartikan keduanya adalah
tontonan dan hiburan.
Entertainment dan amusement ini sekarang banyak terdapat di kota-kota besar. Ada yang sifatnya
menetap, permanen seperti gedung bioskop, dan sebagainya. Ada pula yang sifatnya berpindah-
pindah sepert sirkus, sulap, sepakbola, dan sebagainya. Ada pula yang mengartikan bahwa
amusement itu termasuk hiburan yang penontonnya pasif, hanya menikmati, menyaksikan saja
(Surjanto, cs, 1985). Dan mengartikan entertainment sebagai hiburan yang melibatkan penontonnya,
yaitu seperti room or hall containing pintables, gambling machines, etc. (A.S. Hornby, dll.).
Tetapi pada hakikatnya kedfua istilah tersebut, amusement dan entertainment adalah untuk
hiburan bagi yang menyaksikan, apakah penonton pasif maupun aktif dan ikut terlibat karena
hiburannya berbentuk semacam permainan (game).
B. Entertainment dan Amusement dalam Masyarakat Modern
Dewasa ini perkembangan hiburan atau tontonan sudah maju pesat seiring dengan perkembangan
zaman. Wing Haryono (1978) mengatakan bahwa “salah satu cirri dari perkembangan masyarakat
modern adalah perkembangan pesat dari hiburan massa dan rekreasi yang dikomersilkan”.
Contoh-contoh dari hiburan ini, antara lain: televisi, radio, harian-harian, majalah-majalah, buku-
buku komik, bioskop, dan tempat-tempat hiburan massa. Sport events nasional maupun internasional
merupakan bentuk-bentuk hiburan massa yang menarik banyak penonton.
Dewasa ini, Entertainment dan amusement di hotel-hotel, antara lain berupa:
(1) karaoke;
(2) band;
(3) video;
(4) televisi dengan fasilitas parabola, sehingga dapat memancarkan program-program selain TVRI,
seperti TV3, RCTI, SCTV, dan program-program TV dari luar negeri;
(5) bilyard;
(6) pub;
(7) pameran-pameran;
(8) festival;
(9) mode show;
(10) atraksi kesenian tradisional;
(11) hiburan lain yang sifatnya permanen maupun insidental.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 23
Jenis hiburan di masyarakat perkotaan, banyak pula ragamnya. Mulai dari olahraga, yaitu bola
sodok (bilyard), tenis, bowling, golf, renang, dan pacuan kuda. Bioskop yang dikemas secara modern
dengan Cineplex, serta peralatan canggih, dan fasilitas lainnya, semakin membuat daya tarik
tersendiri. Pub, bar, diskotik dan sejenisnya. Tontonan yang sifatnya insidental dan mengundang
massa seperti sirkus, festival musik rock, konser, dan sebagainya. Hiburan kompetisi sepak bola pun
sekarang dapat memberikan jaminan suatu tontonan yang banyak menarik peminat, sehingga banyak
kompetisi yang meraih keuntungan besar. Tempat-tempat rekreasi yang terdapat pemandangan dan
keindahan alam, selalu ramai di hari-hari libur, seperti pantai, daerah pegunungan, peristirahatan, dan
sebagainya.
Tentu saja tontonan atau hiburan yang dapat menarik massa tersebut digelar, untuk menghibur
masyarakat dan meraih keuntungan. Oleh karena itu, tontonan dan hiburan tersebut dapat dikatakan
sifatnya komersial.

C. Segi Positif dan Negatif


1. Segi-segi Positif
a. Memenuhi kebutuhan masyarakat akan hiburan.
b. Memberi keuntungan kepada kas pemerintah setempat dan kepada pengusaha swasta.
Pemerintah setempat umumnya tidak mempunyai modal dan petugas untuk menyediakan
dan menyelenggarakan hiburan-hiburan masyarakat. Pengusaha swasta dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pemerintah setempat mendapatkan hasil dari pajak yang
dapat dipungut dari tempat hiburan massa, sedangkan pengusaha mendapatkan keuntungan
yang agak lumayan.
c. Hiburan-hiburan massa relatif tidak mahal sehingga sebagian besar masyarakat kota dapat
melihatnya. Hiburan-hiburan massa umumnya dapat diselenggarakan setiap hari sehingga
hasil dari penerimaan terus menerus dapat masuk.
d. Pemusatan tempat-tempat hiburan massa menimbulkan usaha perdagangan pelengkap yang
tentunya dapat menambah hasil dari pajak pemerintah.
e. Hiburan-hiburan massa menyajikan lapangan kerja baru bagi sejumlah penganggur.

2. Segi-Segi Negatif
a. Hiburan-hiburan massa lebih banyak bersifat pasif, orang-orang yang membeli hiburan
duduk saja sambil menonton pertunjukkan-pertunjukkan yang disajikan; secara emosional
memang para penonton juga aktif.
b. Dari segi komersial, penonton membeli hiburan yang sifatnya “murah” dipandang dari segi
mutu atau nilai hiburan-hiburan tersebut. Hal itu disebabkan para pengusaha menyediakan
hiburan-hiburan kepada masyarakat ramai yang tingkat apresiasinya belum demikian tinggi
untuk menghargai dan dapat menilai pertunjukkan-pertunjukkan yang lebih tinggi nilainya.
c. Hiburan-hiburan massa yang kurang tinggi mutunya dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh
demoralisasi. Misalnya, orang yang berjudi menjadi kurang jujur dan tidak dapatdipercaya.
Jumlah kejahatan bertambah karena pengaruh hiburan yang kurang tinggi mutunya
demikian pula kemiskinan dan kenakalan remaja.
d. Di dalam industry hiburan massa, umumnya orang-orang yang melayani para penonton dan
yang mempertunjukkan sesuatu diexploitir oleh pengusaha-pengusaha yang berusaha
mendapatkan keuntungan sebesar mungkin.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 24
BAB VIII
MOTIVASI PERJALANAN WISATA

A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Berwisata


Sebelum membahas motivasi secara khusus, terlebih dulu perlu diketahui faktor-faktor yang
mendorong seseorang sehingga tertarik untuk melakukan perjalanan wisata. Faktor-faktor ini dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok yakni faktor-faktor irasional (dorongan bawah sadar) dan
faktor-faktor rasional (dorongan yang disadari).

1. Faktor-Faktor Irasional (Dorongan Bawah Sadar)


Yang dimaksud faktor-faktor rasional adalah sebagai berikut:
a. lingkup pergaulan dan ikatan-ikatan keluarga;
b. tingkah laku prestise;
c. tiruan dan mode;
d. pengalaman pribadi (dalam pola tingkah laku);
e. perasaan-perasaan keagamaan;
f. hubungan masyarakat dan promosi pariwisata;
g. iklan dan penyebaran informasi pariwisata;
h. kondisi ekonomi (faktor pendapatan dan biaya).

2. Faktor-Faktor Rasional (Dorongan yang Disadari)


Yang dimaksud faktor-faktor rasional adalah sebagai berikut:
a. sumber-sumber wisata alam (asset wisata): alam, panorama, warisan budaya, perayaan-perayaan
sosial;
b. fasilitas wisata (pengorganisasian industri pariwisata di dalam negara tersebut, transportasi);
c. fasilitas wisata (prosedur kunjungan, bea cukai, dan lain-lain);
d. kondisi lingkungan (sikap masyarakat setempat terhadap orang asing, keramahtamahan, dan sikap
mudah bergaul);
e. susunan kependudukan (umur, jenis kelamin dan urbanisasi);
f. situasi polotik (kestabilannya, tingkat kebebasan warganya);
g. keadaan geografis (jarak dari Negara pasaran sumber wisatawan, keindahan panorama, dan lain-
lain).

B. Jenis Motivasi Perjalanan Wisata


Ada berbagai macam versi motivasi perjalanan wisata, berikut ini akan dikemukakan tiga versi
motivasi perjalanan wisata antara lain versi Drs. Oka A. Yoeti, versi MacIntosh, dan versi
Deparpostel.

1. Jenis Motivasi Perjalanan Wisata


a. Alasan Pendidikan dan Kebudayaan
(1) Ingin melihat bagaimana rakyat negara lain bekerja dan bagaimana cara hidupnya (the way of
life).
(2) Ingin melihat kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh negara lain.
(3) Ingin menyaksikan tempat-tampat bersejarah, peninggalan-peninggalan kuno, monument-
monumen, kesenian rakyat, industri kerajinan, festival, events, keindahan alam dan lain-lain.
(4) Untuk mendapatkan saling pengertian dan ide-ide baru ataupun penemuan-penemuan baru.
(5) Untuk berpartisipasi dalam suatu festival kebudayaan, kesenian, dan lain-lain.
b. Alasan Santai, Kesenangan, dan Petualangan

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 25
(1) Menghindarkan diri dari kesibukan sehari-hari dan kewajiban rutin.
(2) Untuk melihat daerah-daerah baru, masyarakat asing untuk mendapatkan pengalaman.
(3) Untuk mendapatkan atau menggunakan kesempatan yang ada atau untuk memperolah
kegembiraan.
(4) Untuk mendapatkan suasana romantic yang berkesan, terutama bagi pasangan-pasangan yang
sedang melakukan bulan madu.
c. Alasan Kesehatan, Olahraga, dan Rekreasi
(1) Untuk beristirahat dan mengembalikan kekuatan setelah bekerja keras dan menghilangkan
ketegangan pikiran.
(2) Untuk melatih diri dan ikut dalam pertandingan olah raga tertentu, seperti Olimpiade, Asean
Games, dan sebagainya.
(3) Untuk menyembuhkan diri dari suatu penyakit tertentu.
(4) Melakukan rekreasi dalam menghabiskan masa libur.
d. Alasan Keluarga, Negeri Asal, dan Tempat Bermukim
(1) Untuk mengunjungi tempat di mana kita berasal atau dilahirkan.
(2) Untuk mengunjungi suatu tempat di mana kita pernah tinggal atau berdiam pada masa lalu.
(3) Untuk mengunjungi family dan kawan-kawan.
(4) Untuk pertemuan dengan keluarga atau kawan-kawan dalam rangka suatu reuni.
e. Alasan Bisnis, Sosial, Politik, dan Konferensi
(1) Untuk menyaksikan suatu pameran, kamar dagang, karya wisata atau meninjau suatu proyek,
dan lain-lain.
(2) Menghadiri konferensi, seminar, symposium dan pertemuan ilmiah lainnya.
(3) Mengikuti perjanjian kerjasama, pertemuan politik, dan undangan negara lain yang
berhubungan dengan kenegaraan.
(4) Untuk ikut dalam suatu kegiatan sosial.
f. Alasan Persaingan dan Hadiah
(1) Untuk memperlihatkan kepada orang lain, bahwa yang bersangkutan juga mampu melakukan
perjalanan jauh.
(2) Untuk memenuhi keinginan agar dapat bercerita tentang negeri lain pada kesempatan-
kesempatan tertentu.
(3) Agar tidak dikatakan orang ketinggalan zaman.
(4) Merealisasikan hadiah yang diberikan oleh seseorang.

2. Jenis Motivasi Menurut MacIntosh


MacIntosh membagi jenis motivasi perjalanan menjadi 4 kelompok sebagai berikut:
a. Physical Motivations
Motivasi yang erat kaitannya dengan pengembalian kondisi fisik seseorang. Untuk beristirahat
atau sekedar bersantai, olah raga maupun untuk pemeliharaan kesehatan, pemulihan kesehatan
jasmani agar dapat menumbuhkan kembali kegairahan bekerja.

b. Cultural Motivation
Motivasi yang berhubungan dengan keinginan untuk melihat tata cara masyarakat hidup di
Negara lain, khususnya yang berkaitan dengan adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya Negara
tersebut.
c. Interpersonal Motivations

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 26
Motivasi seseorang untuk melakukan perjalanan karena ingin mengadakan hubungan dengan
keluarga, teman, atau sekadar untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang bersifat rutin sehari-
hari.
d. Status and Prestige Motivation
Seseorang yang melakukan perjalanan dengan maksud untuk memperlihatkan siapa dirinya,
kedudukannya, ststusnya dalam masyarakat untuk prestige pribadinya. Jadi, sifatnya hanya
emosional serta ada kaitannya dengan bisnis, dinas, pendidikan, maupun hobi.

3. Jenis Motivasi Menurut Deparpostel


Menurut versi Deparpostel berdasarkan motif-motif tertentu berbagai macam atau jenis pariwisata
dapat dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain sebagai berikut:
a. Pariwisata untuk Menikmati Perjalanan (Pleasure Tourism)
Jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dengan
tujuan untuk:
(1) berlibur;
(2) mencari udara segar yang baru;
(3) memenuhi keingintahuannya;
(4) mengendorkan ketegangan syaraf-syarafnya;
(5) melihat sesuatu yang baru;
(6) menikmati keindahan alam;
(7) mengetahui cerita rakyat setempat;
(8) mendapatkan ketenangan dan kedamaian di daerah luar kote atau sebaliknya:
(a) menikmati hiburan di kota-kota besar
(b) ikut serta dalam keramaian di pusat-pusat wisatawan
b. Pariwisata untuk Rekreasi (Recreation Tourism)
Jenis periwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang memanfaatkan hari-hari libur untuk:
(1) beristirahat;
(2) memulihkan kembali kesegaran jasmani dan rohaninya;
(3) menyegarkan keletihan dan kelelahan.
Karena tujuannya untuk kesegaran jasmani atau kesehatan maka biasanya orang-orang tersebut
memerlukan waktu yang lama di tempat rekreasi tersebut. Tempat tujuan wisata yang menjamin
agar orang-orang tersebut dapat memulihkan kesegaran dan rohaninya antara lain adalah tepi
pantai, pegunungan, di pusat-pusat peristirahatan atau pusat-pusat kesehatan. Karena tempatnya
yang khusus ini maka tempat ini dikenal sengan sebutan health resort.
c. Pariwisata Kebudayaan (Cultural Tourism)
Pariwisata jenis ini ditandai dengan adanya rangkaian keinginan untuk:
(1) belajar dan studi di pusat-pusat pengajaran dan penelitian;
(2) mempelajari adat istiadat, kelembagaan, dan cara hidup rakyat Negara lain;
(3) mengunjungi pusat-pusat kesenian, pusat-pusat keagamaan, ikut serta dalam festival-festival
keagamaan, ikut serta dalam festival-festival seni music, teater, tarian rakyat, dan sebagainya.
d. Pariwisata Olahraga (Sport Tourism)
Jenis pariwisata ini dapat dibagi menjadi dua jenis sebagai berikut:
(1) Big Sport Events, yaitu peristiwa-peristiwa olah raga besar seperti Olympic Games, kejuaraan
Ski Dunia, Kejuaraan Tinju Dunia. Yang menarik perhatian bagi olahragawan juga penonton
atau penggemar.
(2) Sport Tourism of the Practitioners, yaitu pariwisata olahraga bagi mereka yang ingin berlatih
dan mempraktekkannya sendiri. Seperti, pendakian gunung, olah raga naik kuda, berburu,
memancing, dan lain-lain.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 27
e. Pariwisata untuk Urusan Usaha (Business Tourism)
Istilah business tourism tidak hanya berlaku untuk Professional Trips yang dilakukan oleh para
pengusaha dan industrialis, tetapi juga yang dilakukan oleh para traveler yang berkunjung untuk
tujuan pameran. Kaum pengusaha tidak hanya bersikap dan berbuat sebagai wisatawan biasa.
Dalam pengertian sosiologis, mengambil dan memanfaatkan keuntungan dari atraksi yang
terdapat di negara tersebut.
Berdasarkan kenyataan ini, pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehakiman
mengeluarkan SK Menteri Kehakiman Nomor M..02-IZ.01.02 tahun 1986. Memberikan
kebebasan dari keharusan memiliki visa bagi wisatawan yang berkunjung ke Indonesia.

f. Pariwisata untuk Tujuan Konferensi (Convention Tourism)


Pariwisata bentuk ini makin berkembang dan makin penting dilihat dari sudut penerimaan devisa.
Jumlah wisata konvensi internasional berkembang pesat. Jika pada tahun 1968 terdapat 4.000
konvensi, dengan peserta 2.000.000, maka pada tahun 1985 terdapat 98.000 konvensi dengan
peserta sebanyak 49.000.000 (atau 15% dari jumlah wisata internasional sejumlah 325.000.000).
Di Indonesia, pada tahun 1981 terdapat 165 konvensi dengan peserta sebanyak 18.141. Pada
tahun 1986 telah diselenggarakan 273 konvensi dengan peserta sebanyak 57.170 peserta, atau
kenaikan rata-rata 26% per tahun.
Dari data-data Direktorat Bina Hubungan Lembaga Wisata Internasional, Dirjen Pariwisata,
Deparpostel tentang “Wisata Konvensi” (Deparpostel, 1991-1992) menunjukkan perkembangan
wisata konvensi di Indonesia sangat pesat. Hal ini dapat dilihat pada table berikut ini:

TABEL 2

Market Segment 1986 1987 1988 1989 1990


events peserta events peserta events peserta events peserta events peserta
International 86 8.046 72 9.341 31 6.100 30 3.579 13 2.964
Congresses

Assosiation 41 1.607 26 11.125 36 14.190 58 10.350 57 13.052


Convention

Company / 8 6.581 106 10.850 82 6.540 73 9.361 353 44.339


Corporate-Events

Programmes 35 2.071 78 7.561 15 1.900 44 5.159 73 1.027

Trade Fairs /
Exhibitions

Sport Events 48 29.595 59 21.350 55 40.425 65 45.500 62 31.002

Jumlah 273 56.900 341 60.227 219 69.155 270 73.939 558 101.651

Sumber: Deparpostel, WISATA KONVENSI, 1991-1992.

Tabel di atas, menunjukkan pertumbuhan Wisata Konvensi Indonesia dari tahun ke tahun
sangat pesat.
Dari 60.227 peserta dalam tahun 1987, meningkat 69.115 dalam tahun 1988, meningkat lagi
menjadi 73.939 peserta dalam tahun 1989. Perkiraan dalam tahun 1990 adalah 101.651 peserta,
bila dihitung kenaikannya dalam presentase adalah sebagi berikut:
Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 28
(1) 5,8 persen dalam tahun 1987.
(2) 14,8 persen dalam tahun 1988.
Dari bagian penutup Wisata Konvensi (Deparpostel, 1991-1992) disimpulkan bahwa wisata
konvensi sangat potensial, karena wisata konvensi:
(1) dapat dipakai sebagai dinamisator promosi biasa;
(2) dari segi penerimaan devisa, merupakan pendapatan yang tinggi disbanding dengan wisata
biasa;
(3) dari segi pasaran, stabil dan tidak goyah oleh naik turunnya keadaan ekonomi dunia;
(4) dapat menstimulir lapangan kerja baru dan membuka kesempatan berusaha, karena
persyaratan mengharuskan untuk ditangani secara professional.

C. Kesimpulan
Dari pembahasan berbagai macam motivasi perjalanan wisata yang dikemukakan oleh pakar
pariwisata di atas, maka dapat diidentifikasikan motif-motif yang mendorong seseorang
melakukan wisata, antara lain:
(a) bisnis (k) sosial
(b) pendidikan (l) politik
(c) kebudayaan (m) persaingan
(d) santai (n) hadiah
(e) kesenangan (o) konvensi
(f) petualangan (p) prestise
(g) kesehatan (q) berlibur
(h) olah raga (r) istirahat
(i) rekreasi (s) status
(j) negeri asal

Apabila kita ingin mendapatkan informasi secara langsung dari wisatawan mancanegara
tentang motivasi yang mendorong mereka melakukan perjalanan wisata, kita bisa melakukan
dengan mengajak mereka berdialog. Dari jawaban-jawaban mereka dapat ditemukan motivasi
yang bervariasi, sesuai dengan motivasi wisatawan.

BAB IX
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG
BERKEMBANGNYA PARIWISATA MODERN

A. Faktor-Faktor Sosial dan Ekonomi


Pesatnya perkembangan kepariwisataan pada dasa warsa terakhir ini, menunjukkan perjalanan wisata
bukan hanya milik segolongan orang saja. Sebagian besar masyarakat pada saat ini sudah mampu
untuk melakukan perjalanan wisata. Hal ini karena adanya berbagai factor antara lain sebagai berikut.

1. Undang-Undang Sosial
Seusai Perang Dunia I, Undang-Undang Sosial (Social Legislation) telah membatasi jumlah jam kerja.
Menjamin adanya waktu istirahat mingguan dan liburan tahunan yang dibayar, bagi semua karyawan,
pegawai dan buruh-buruh yang bekerja. Undang-Undang tersebut merupakan prakarsa dari ILO
(International Labour Organization). Setelah mengalami berbagai hambatan akhirnya ditetapkan
pada tahun 1936, kemudian diperbaharui tahun 1949 dengan menetapkan pemberian libur minimum
enam hari kerja setiap tahun dengan mendapatkan upah penuh.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 29
Konvensi ILO tahun 1954 mengubahnya menjadi dua minggu libur setiap tahun, dan konvensi tahun
1970 meningkat menjadi tiga minggu libur setiap tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, di
berbagai negara yang ekonominya sudah maju bahkan menambahkan hari libur dari ketentuan di atas
dengan membayar penuh gaji mereka selama libur.
Dengan semakin meningkatkan waktu senggang (leisure time) tersebut, senakin banyak peluang
untuk melakukan perjalanan wisata.

2. Pendapatan yang Meningkat


Faktor yang mendorong perkembangan pariwisata terutama di negara-negara industry yang sudah
maju ialah adanya peningkatan pendapatan masyarakatnya. Semakin meningkat pendapatan
masyarakat, kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan sebagai kebutuhan dasar manusia dapat
terpenuhi. Oleh karena itu, makin besar pendapatan seseorang, makin besar pula dana yang dapat
disisihkan untuk biaya perjalanan wisata murah bagi masyarakat yang mempunyai penghasilan
rendah dan belum dapat melakukan perjalanan wisata.

3. Pendidikan dan Dambaan Ingin Tahu


Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi ini, semakin
memperbanyak informasi tentang keberadaan Negara lain. Hal ini semakin menumbuhkan
keingintahuan terhadap Negara lain. Di samping untuk melanjutkan studi, juga untuk mengetahui
keindahan alam, budaya seni, dan teknologi yang sudah maju.

4. Urbanisasi dan kebutuhan untuk Menghindari Kebisingan Kota


Keberadaan kota sebagai pusat industry dan dagang, semakin menarik masyarakat yang berdomisili
di daerah pinggiran atau pedesaan. Mereka berbondong-bondong ke kota untuk mencari nafkah atau
mencari pekerjaan. Hal ini mengakibatkan semakin padatnya penduduk di kota-kota besar.
Dampaknya, kota-kota industry dan dagang di samping semakin padat oleh penduduk, juga
permasalahannya semakin kompleks. Kondisi yang ramai, bising, padat menyebabkan ketegangan
syaraf bagi penduduk perkotaan. Oleh karena itu, timbul hasrat untuk menjauhkan diri sementara dari
lingkungan yang ruti serta padat tersebut. Mereka lalu menghilangkan stress dengan melakukan
perjalanan wisata.

5. Hasrat Untuk Meniru


Faktor lain yang tidak bisa dilupakan ialah kebutuhan sosiologis seseorang untuk meniru orang lain.
Hal ini menjadikan dambaan seseorang, setelah mendengarkan kesan-kesan mereka yang telah
melakukan perjalanan wisata, baik saudara, teman, maupun tetangganya. Di Negara yang sudah maju
serta bagi orang the have, melakukan perjalanan wisata adalah wisata prestise atau mode yang harus
mereka lakukan. Sementara itu, bagi masyarakat yang termasuk dalam strata menengah, ingin pula
meniru kalangan the have untuk melakukan perjalanan wisata guna mencari kesenangan dan
kepuasaan di daerah tujuan wisata.

B. Faktor Administrasi
Gerakan liberalisasi ketatnya pengawasan administrasi atau lalu lintas manusia, dan tuntutan
pengakuan hak bagi masing-masing orang dalam mengadakan perjalanan wisata di Negara lain,
dimulai dari tahun 1948. Pada bulan Desember tahun yang sama, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa mengesahkan “Universal Declaration of Human Right”, di mana dalam pasal 13 dinyatakan
adanya kebebasan bergerak yang dimaksudkan.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 30
Beberapa tahun kemudian, banyak negara yang menandatangani konvensi bilateral maupun
multirateral untuk saling mencabut formalitas lintas batas yang ada, serta memberikan keringanan
pada formalitas sementara sebagai gantinya. Gerakan liberalisasi tersebut merupakan sumbangan
besar atas pertumbuhan dan perkembangan pariwisata sampai sekarang.
Kemudian formalitas atas lalu lintas manusia di Indonesia, diberlakukan dengan ketentuan-ketentuan
yang memberikan kemudahan bagi wisatawan mancanegara. Antara lain mengenai: bebas visa 2
bulan, memberlakukan jalur hijau dan jalur merah (akan dijelaskan pada bab khusus Peranan Pabean),
pembukaan pintu gerbang utama di laut dan di darat, dan ketentuan-ketentuan yang ada pada
dasarnya memberikan kemudahan bagi wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia.

C. Faktor Teknis: Kemajuan Dunia Angkutan


Kemajuan pesat di bidang angkutan, khususnya angkutan udara, sangat membantu perkembangan
pariwisata internasional. Pesawat yang besar dan cepat, memberikan peluang kepada seseorang untuk
menjelajahi seluruh pelosok bumi. Munculnya pesawat jumbo-jet dan supersonic menyebabkan alat
angkutan tradisional (misalnya, Kereta Api dan Kapal Uap) harus bersaing dengan ketat dengan cara
menawarkan fasilitas yang lengkap, nyaman dan murah. Di Indonesia, banyak gerbong Kereta Api
Cepat yang disulap untuk konsumsi wisatawan, seperti Kereta Api Wisata, Kereta Api VIP, Kereta
Eksekutif. Kapal laut menawarkan kapal penyebrangan antar pulau yang cepat dan mewah, serta
tambahan fasilitas yang lebih baik.
Persaingan antar perusahaan penerbangan pun semakin tajam, setiap perusahaan menawarkan jasa
angkutannya dengan memberikan tambahan fasilitas-fasilitas pelayanan yang cepat, aman dan
nyaman. Di samping perusahaan penerbangan milik BUMN, swasta nasional, sekarang banyak pula
penerbangan asing yang membuka cabangnya. Hal ini semakin menambah ketatnya persaingan antar
perusahaan penerbangan dalam memasarkan jasa layanannya. Dari hasil survey, menunjukkan jasa
angkutan udara paling banyak diminati. Data dari BPP PHRI memaparkan “Lebih dari 98%
wisatawan mancanegara menggunakan jalur udara ke Indonesia.” (BPP PHRI, 1991).
D. Membaiknya Hubungan Antar Negara
Salah satu faktor yang mendorong wisatawan mancanegara berkunjung ke suatu negara tujuan wisata
adalah pertimbangan hubungan yang baik antara dua Negara tersebut. Di samping juga situasi politik
negara tujuan wisata tersebut stabil.
Sebaliknya, apabila hubungan kedua negara kurang harmonis mengakibatkan wisatawan enggan
utnuk berkunjung ke negara tersebut. Sebagai contoh, ketika Indonesia sedang mempunyai masalah
dengan negara Malaysia. Calon wisatawan dari Malaysia maupun Indonesia tidak tertarik untuk
saling mengunjungi. Situasi keamanan di negara tujuan wisata, sangat mempengaruhi minat
wisatawan untuk berkunjung.
Situasi negara yang sedang kacau, konflik dan adanya pemberontakan menyebabkan calon wisatawan
mengurungkan niatnya untuk berkunjung walaupun banyak objek dan atraksi wisata yang dapat
disaksikan.
Demikian pula adanya negara yang termasuk dalam kategori “kasus” internasional. Ada perbedaan
jaminan kemudahan untuk berkunjung ke negara tersebut ataupun warga negara dari negara tersebut
untuk berkunjung ke negara lain. Misalnya, dalam hal bebas visa 2 bulan untuk di Indonesia, yang
juga merupakan kesepakatan internasional bagi 31 negara, kecuali Israel dan Afrika Selatan.
Demikian pula dalam posper, bagi warga negara Indonesia yang akan ke luar negeri, berlaku untuk
semua negara kecuali Taiwan dan Israel. Perbedaan pemberlakuan kemudahan kunjungan ini erat
kaitannya dengan situasi politik di negara-negara tersebut. Dengan adanya diskriminasi itu, tentu saja
akan mengurangi minat dan lalu lintas wisatawan mancanegara.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 31
BAB X
PERANAN PABEAN

A. Pengertian dan Tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai


1. Pengertian
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dahulu oleh orang awam disebut Douane. DJBC adalah
salah satu Direktorat Jenderal yang berada dalam lingkungan Departemen Keuangan RI.
DJBC dipimpin oleh sekarang Direktur Jenderal yang membawahi:
a. Sekretariat
b. Direktorat Pabean
c. Direktorat Cukai
d. Direktorat Pemberantasan Penyelundupan
e. Direktorat Sarana Perhubungan
f. Direktorat Perencanaan dan Penerimaan
g. Pusat Pengolahan Data dan Informasi (PUSLATASI) yang masing-masing dipimpin oleh
Sekretaris dan Direktur dan Kepala

2. Tugas DJBC
DJBC ditugaskan untuk memungut pajak tidak langsung serta menjadi petugas pertama yang
berhadapan langsung dengan penumpang atau barang. Baik wisatawan, pedagang serta barang-barang
yang dimasukkan dari daerah luar pabean (impor).
Dengan tugas itu, sikap petugas BC dituntut memberikan pelayanan yang sopan, luwes, formal dan
tanggap. Di samping tugas pokok tersebut, DJBC juga menerima tugas titipan dari instansi lain.

3. Daerah Pabean
Menurut Undang-Undang Tarif Indonesia, yang dimaksud daerah pabean adalah seluruh bagian-
bagian Indonesia di mana dipungut Bea Masuk dan Bea Keluar, untuk sementara bea keluar
dibekukan daerah ini dihitung 12 mil laut dari pantai pada waktu air laut surut.

B. Pelayanan terhadap Penumpang


1. Pengertian Penumpang oleh DJBC
Penumpang adalah semua orang yang berpergian atau dating dengan kendaraan darat, laut dan udara
dan hanya boleh diturunkan/dinaikkan pada tempat-tempat atau terminal yang telah ditentukan oleh
Undang-Undang.
Penumpang dapat dibagi sebagai berikut:

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 32
a. Penumpang Warga Negara Asing (WNA) terdiri dari:
(1) diplomat-diplomat/tamu negara;
(2) tenaga ahli;
(3) wisatawan;
(4) pejabat/tenaga ahli PBB;
(5) pengusaha/pedagang;
(6) awak kapal udara/laut, ferry dan kendaraan darat;
(7) rombongan atau perorangan dengan tujuan tertentu.

b. Penumpang Warga Negara Indonesia (WNI) terdiri dari:


(1) diplomat;
(2) pejabat negara (PNS/ABRI);
(3) pelajar/mahasiswa;
(4) awak kapal udara/laut/ferry dan kendaraan darat;
(5) jemaah haji;
(6) tenaga kerja Indonesia;
(7) pengusaha/pedagang;
(8) rombongan atau perorangan dengan tujuan tertentu;
(9) wisatawan.

2. Pengertian Barang Penumpang


Barang penumpang adalah barang yang dibawa serta oleh yang bersangkutan sendiri pada waktu
datang/berangkat atau dating kemudian, terdiri dari barang bukan dagangan dan barang dagangan.
a. Barang bukan dagangan adalah barang-barang untuk keperluan pribadi serta oleh-oleh/hadiah
yang tidak diperdagangkan. Batasan harga barang tersebut untuk perorangan sebesar US.$ 250
dan untuk satu keluarga US.$ 1.000.
b. Barang dagangan adalah barang yang dibawa penumpang yang bersangkutan bersamaan
datangnya atau kemudian yang nantinya diperdagangkan, bukan untuk dipakai pribadi.

3. Pelayanan terhadap Penumpang


Dengan diberlakukannya CFRS (Customs Fast Release System) pelayanan cepat di bidang pabean
terhadap penumpang/wisatawan diberlakukan jalur hijau dan jalur merah.
Di sini penumpang/wisatawan dituntut kejujurannya sebab jalur hijau untuk penumpang yang telah
menyatakan dirinya tidak membawa barang dagangan/hanya barang pribadi.
Jalur merah adalah untuk penumpang yang membawa barang yang dikenakan bea masuk. Pada jalur
hijau tidak mutlak bahwa penumpang tersebut tidak diperiksa.
Atas dasar informasi intelijen terhadap pemakai jalur hijau dapat dikenakan pemeriksaan atas barang
bawaannya. Di sini dituntut bahwa petugas BC harus jeli dan tanggap terhadap penumpang yang
tidak jujur menggunakan jalur hijau.

4. Pemeriksaan oleh Petugas BC


Menurut UU Tarif, terhadap barang yang dimasukkan/ diimpor ke dalam daerah pabean untuk dipakai
dikenakan Bea Masuk. Atas dasar tersebut, terhadap barang penumpang/wisatawan pada prinsipnya
dikenakan Bea Masuk.
Pada DJBC terhadap barang selalu dikenakan Bea Masuk, tetapi ada yang dibebaskan terhadap Bea
Masuknya.
Pembebasan Bea Masuk ini dibagi menjadi 2 golongan:
a. Pembebasan absolute/Bea (pada buku Bea Masuk bea Masuknya 0%)

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 33
b. Pembebasan relative (dibebaskan sebagian atau semua terhadap bea masuknya karena ketentuan
peraturan pemerintah).
Dalam UU Tarif pasal 2 ayat 5 diberitahukan, barang penumpang adalah barang keperluan pribadi
penumpang dan sisa bekal yang dibawanya.
Seperti uraian di atas, yang dimaksudkan adalah penumpang WNA dan penumpang WNI yang datang
dari luar daerah pabean prinsipnya bebas membawa barang namun atas dasar informasi dari intelijen,
pihak BC dapat mengadakan pemeriksaan.
Daerah-daerah yang rawan dengan penyelundupan, di Indonesia misalnya di sepanjang pantai timur
Sumatera, Kalimantan bagian barat, serta daerah perbatasan dengan negara tetangga. Pihak DJBC
perlu mengadakan pengawasan ekstra terhadap penumpang dari daerah tersebut. Namun, petugas BC
dituntut keluwesan serta sopan santunnya dalam melayani. Terhadap barang penumpang, petugas BC
dalam pemeriksaan selalu berpedoman pada Skep. Menteri Keuangan No. 287/MK/III/5/1970 tanggal
5 Mei 1970, yaitu:
a. yang dibebaskan dari bea masuk;
b. yang dikenakan bea masuk;
c. yang harus membuka LC
Adanya hal di atas, terhadap penumpang tertentu petugas BC menemui kesukaran dalam
membedakan.
Dan ini akan menimbulkan ketidakserasian keterangan penumpang terhadap barang bawaannya
dengan petugas BC.
Untuk hal tersebut maka setiap penumpang kapal laut/udara/ferry dan darat diwajibkan sebelum
memasuki daerah pabean mengisi sendiri daftar barang bawaannya (Customs Declaration atau
Passengers Declaration).
Jika Pos/Bandara/Pelabuhan/Station masuk daerah pabean, petugas BC hanya mencocokkan
barang dengan pemberitahuan tersebut. Namun, untuk turis telah ditentukan sendiri dengan Instruksi
Menteri Keuangan No. 02/IMK.05/1983 tanggal 31 Maret 1983 dibebaskan untuk mengisi secara
mendetail CD/PD, tetapi cukup mencantumkan nomor paspor serta perkataan Tourist.
Untuk barang-barang/peralatan sebernarnya terkena pembatasan/larangan. Barang cetakan,
remakan video, dan film yang menurut ketentuan khusus, diperbolehkan di bawa tourist menurut
kebijaksanaan Kepala Kantor BC setempat. Dengan syarat barang-barang tersebut tidak
membahayakan keamanan negara.

5. Cargo/Barang
Cargo adalah barang yang diangkut oleh suatu oleh suatu kendaraan, baik itu kapal udara, kapal laut,
dan kendaraan darat yang berupa barang pribadi, barang orang lain, dan barang dagangan. Untuk itu,
si pembawa barang (atas nama) diharuskan mengisi suatu daftar yang lazimnya disebut cargo
manifest. Kumpulan daftar barang yang diangkut itu harus ditandatangani oleh pimpinan alat
pengangkut (pilot, nahkoda, sopir sebagai wakil dari perusahaan). Manifest tersebut wajib
diberitahukan kepada petugas BC waktu kedatangannya (keterlambatan melapor dikenakan denda).
Di sini barang yang dibawa oleh kendaraan pengangkut dapat dibagi sebagai berikut:
a. Barang yang dating bersamaan dengan penumpangnya (companied baggage).
b. Barang yang dating tidak bersamaan dengan siempunya (incompanied baggage).
6. Barang Kiriman
Biasanya karena terjadi hubungan orang asing dengan penduduk setempat, maka terjalin persaudaraan.
Mereka akan saling mengirim berita ataupun barang atas rasa persahabatannya.
Untuk barang kiriman ini yang kadang-kadang disebut barang Souvernir, dibedakan:
a. Barang kiriman yang bebas bea dan yang dikenakan bea.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 34
b. Barang kiriman yang diharuskan/diwajibkan membuka LC diselesaikan dengan PPUD (sekarang
PIUD).

7. Untuk Keberangkatan
Untuk keberangkatan ini para penumpang kapal laut/udara, ferry, darat dibebaskan bea keluar
terhadap barang bawaannya, karena bea keluar untuk sementara dibekukan.
Mengenai barang-barang bebas dibawa keluar kecuali terhadap barang-barang yang terkena
larangan ataupun pembatasan/pengawasan yang berlaku.
Terhadap barang-barang yang dibawa keluar dari daerah pabean dapat dibawa langsung oleh
penumpang itu sendiri atau dikirim sendiri olehnya atau wakil (melalui biro jasa). Untuk ini si
empunya harus membuat daftar barang (surat permintaan pengiriman barang-barang kerajinan rakyat)
yang akan dikirim dan ditandatangani sendiri atau wakilnya (shipping request).
Barang-barang hadiah yang tidak diperdagangkan, dan tidak melebihi ketentuan yang dianggap
sebagai melakukan ekspor diharuskan membuat PEB.

C. Penjelasan tentang Pelayanan terhadap Penumpang dan Barang Bawaannya


1. Pelayanan terhadap Penumpang
a. Sistem Jalur Hijau dan Jalur Merah
Dalam usaha peningkatan pelayanan terhadap penumpang dan wisatawan beserta barang-barang
bawaannya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melaksanakan Sistem Jalur Hijau dan Jalur Merah.
(1) Jalur Hijau adalah jalur keluar penumpang yang tidak membawa barang bawaan yang wajib
diberitahukan kepada Pabean.
(2) Jalur Merah adalah jalur keluar penumpang yang membawa barang bawaan yang wajib
diberitahukan kepada Pabean.
b. Sikap Petugas Bea dan Cukai
Para petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang bertugas memberikan pelayanan kepada
penumpang harus bersikap sopan, luwes, formal dan tanggap.
(1) Sopan : Berpakaian rapi, tidak meroko sewaktu bertugas, bertutur kata yang baik tetapi tegas.
(2) Luwes : Berkepribadian, ramah, dan tidak sewenang-wenang.
(3) Formal : Bersikap resmi dan teliti.
(4) Tanggap : Mengerti apa yang harus dikerjakan.

c. Cara Pemeriksaan
(1) Melalui Jalur Hijau
(a) Sepanjang tidak ada informasi dan tidak menunjukkan hal-hal yang mencurigakan maka
penumpang yang bersangkutan dapat langsung dipersilakan keluar tanpa diperiksa barang
bawaannya.
(b) Apabila ada informasi atau terdapat kecurigaan sewaktu penumpang masih berada dalam antrian,
petugas mempersilakan penumpang yang bersangkutan untuk menuju jalur merah.

(2) Melalui Jalur Merah


Sebelum diadakan pemeriksaan, petugas menyampaikan ucapan salam kepada penumpang (misalnya
selamat pagi, siang, sore, malam). Selanjutnya, menanyakan kepada yang bersangkutan apakah ada
yang perlu diberitahukan. Kemudian apabila yang bersangkutan menjawab “Ya” dipersilakan kepada
yang bersangkutan untuk membuka barang bawaannya. Sambil melakukan pemeriksaan, petugas
dapat melakukan wawancara antara lain sebagai berikut:
(a) Dalam rangka apa Saudara datang ke Indonesia?
(b) Untuk berapa lama Saudara berada di Indonesia?

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 35
Setelah selesai pemeriksaan, penumpang dipersilakan untuk menutup kembali koper dan
memperlihatkan bahwa tidak ada barang bawaan yang tertinggal sewaktu pemeriksaan dilakukan.
Petugas pemeriksaan akhirnya mengucapkan terima kasih atas kerjasama penumpang tersebut turut
melancarkan jalannya pemeriksaan.
Apabila dijumpai penumpang membawa barang bawaan yang memerlukan pemeriksaan secara
teliti, sebaiknya dibawa ke ruangan khusus untuk menghindari kemacetan di meja pemeriksaan.
Kemudian petugas menanyakan apakah dapat diperlihatkan paspornya. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam paspor adalah sebagai berikut:
(1) Identitas diri penumpang sesuai atau tidak.
(2) Profesi penumpang.
(3) Negara-negara yang pernah dikunjungi penumpang sebelum tiba di Indonesia (perhatikan apakah
yang bersangkutan pernah berkunjung ke negara-negara penghasil narkotika).

Hasil Pemeriksaan:
(1) Jika pada pemeriksaan tidak terdapat barang wajib bea, penumpang yang bersangkutan
dipersilakan keluar.
(2) Jika pada pemeriksaan kedapatan barang yang wajib bea, petugas pemeriksa:
(a) membuat nota pemeriksaan, dengan menguraikan secara jelas dan lengkap jenis dan jumlah
barang kondisi dan negara asalnya;
(b) membubuhkan nama, tanda tangan, serta NIP, kemudian menyampaikan nota pemeriksaan
kepada perugas pemeriksa tariff dan harga.
(3) Petugas Memeriksa Tarif/Harga:
(a) Menentukan pos tariff, harga, dan memperhitungkan pungutan impornya.
(b) Membubuhkan nama, tanda tangan, serta NIP pada Nota Pemeriksaan.
(4) Petugas Kasir
(a) Setelah pungutan impor dibayar, emmbuat Register 9.
(b) Membubuhkan nomor dan tanggal Register 9 pada Nota Pemeriksaan.
(c) Membubuhkan nama, tanda tangan, serta NIP pada Nota Pemeriksaan dan Register 9.
(d) Menyerahkan Register 9 kepada penumpang yang bersangkutan.

2. Penyelesaian Barang Penumpang


a. Warga Negara Asing
(1) Diplomat/Tamu Negara:
(a) Memiliki paspor dengan tulisan Diplomatic.
(b) Tidak dilakukan pemeriksaan kepada yang bersangkutan dan barang bawaannya.
Perhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1957 tanggal 1 Maret 1957 tentang Pembebasan
dari bea masuk atas dasar hubungan internasional.
(a) Jika yang bersangkutan membawa barang/kelengkapan yang belum mendapatkan persetujuan
dari Departemen Luar Negeri RI/Sekretariat Kabinet RI agar diperhatikan uraian
penyelesaiannya..
(b) Untuk tamu Negara harus melalui tata cara protokoler.

(2) Tenaga Ahli


(a) Tenaga Ahli yang masuk ke Indonesia harus terdaftar/ada rekomendasi dari Pemerintah c.q.
Departemen Tenaga Kerja RI.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 36
(b) Perhatikan peraturan pemerintah Nomor 19 tanggal 1 Juni 1955 tentang peraturan
pembebasan dari bea masuk dan bea keluar untuk umum untuk keperluan golongan pejabat
dan ahli bangsa asing yang tertentu.
(c) Tenaga ahli yang dating tanpa sepengetahuan/tidak terdaftar/tidak ada rekomendasi dari
Pemerintah c.q. Departemen Tenaga Kerja RI agar diperhatikan uraian pada penyelesaiannya.

(3) Wisatawan
(a) Pada dasarnya terhadap wisatawan asing tidak dilakukan pemeriksaan badan atau barang
bawaannya (menggunakan fasilitas jalur hijau).
(b) Perlengkapan wisatawan tidak perlu di catat di dalam paspor.
(c) Jika terdapat kecurigaan atau informasi positif bahwa turis yang bersangkutan membawa
barang dicurigai. Dalam penyelesaiannya, petugas yang bersangkutan segera melaporkan
kepada atasannya dan membawa wisatawan tersebut ke ruangan khusus. Maksudnya, untuk
mendapat keterangan yang lebih rinci guna proses lebih lanjut.

(4) Pejabat/Tenaga Ahli


(a) Memiliki paspor dengan tulisan “United Nations”.
(b) Tidak dilakukan pemeriksaan kepada yang bersangkutan dan barang bawaannya.
(c) Perhatikan peraturan pemerintah Nomor 19 tanggal 1 Juni 1955 tentang peraturan
pembebasan dari bea masuk dan bea keluar umum untuk keperluan golongan pejabat dan ahli
bangsa asing tertentu.
(d) Jika yang bersangkutan membawa barang/kelengkaoan yang belum mendapatkan persetujuan
dari Sekretariat Kabinet RI agar diperhatikan uraian cara penyelesaiannya.

(5) Pengusaha/Pedagang
(a) Perhatikan:
1. Keputusan Menteri Keuangan RI tentang ketentuan terhadap barang impor barang kiriman,
barang penumpang dan barang anak buah kapal.
2. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 29/KMK/01/1989 tanggal 10 Januari 1989, tentang
Pengaturan pemasukan barang contoh (sampel).
3. Surat DJBC No. S-87/BC/1988 tanggal 26 Maret 1988.
4. Surat Edaran DJBC No. SE-02/BC/1989 tanggal 26 Maret 1988.
(b) Jika yang bersangkutan membawa barang-barang yang menurut sifatnya/tujuannya sebagai
promosi/contoh agar diperhatikan uraian cara penyelesaiannya.

(6) Awak Kapal Udara/Laut


Awak kapal udara/laut diberikan fasilitas batas bea masuk sesuai Keputusan Menteri Keuangan RI
tentang Keputusan terhadap impor barang kiriman, barang penumpang dan barang anak buah kapal.

(7) Rombongan atau Perorangan dengan Tujuan Khusus


(a) Rombongan atau perorangan dengan tujuan khusus adalah mereka yang dating ke Indonesia
dengan tujuan mengikuti/melakukan kegiatan misalnya olah raga, kesenian dan ilmiah.
(b) Ada rekomendasi tertulis dari instansi teknis terkait atau organisasi swasta penyelenggara.
(c) Dalam hal rombongan atau perorangan dimaksud membawa barang-barang yang akan
dibawa kembali ke luar Indonesia (re-ekspor), perhatikan cara penyelesaiannya.

b. Warga Negara Indonesia


(1) Diplomat:

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 37
(a) Memiliki paspor berwarna hitam dengan tulisan “Diplomatik”.
(b) Dapat dilakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan dan barang bawaannya.
(c) Terhadap barang-barang bawaannya harus dibedakan.
1. Jika yang bersangkutan telah menyelesaikan tugasnya sebagai diplomat di luar negeri
maka berlaku ketentuan barang pindahan. Perhatikan surat keterangan pindah dari
Perwakilan RI setempat.
2. Jika yang bersangkutan datang ke Indonesia dalam rangka dinas/cuti maka berlaku
ketentuan barang penumpang.

(2) Pejabat Negara/Pegawai Negeri Sipil/ABRI


(a) Memiliki paspor berwarna biru dengan tulisan “Official”.
(b) Terhadap barang-barang bawaannya harus dibedakan:
1. Jika yang bersangkutan telah menyelesaikan tugasnya di luar negeri maka berlaku
ketentuan barang pindahan.
2. Jika yang bersangkutan datang ke Indonesia dalam rangka dinas/cuti maka berlaku
ketentuan barang penumpang.

(3) Mahasiswa/Pelajar Swasta


(a) Memiliki paspor biasa berwarna hijau.
(b) Terhadap barang-barang bawaannya harus dibedakan:
1. Jika yang bersangkutan telah menyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswa/pelajar di luar
negeri maka berlaku ketentuan barang pindahan.
Perhatikan surat keterangan pindah dari KBRI setempat.
2. Jika yang bersangkutan datang ke Indonesia dalam rangka libur maka berlaku ketentuan
barang penumpang.

(4) Awak Kapal Udara/Laut


(a) Memiliki paspor biasa berwarna hijau.
(b) Awak kapal/laut diberikan fasilitas batas bebas area masuk sesuai Keputusan Menteri
Keuangan RI tentang Ketentuan terhadap impor barang kiriman, barang penumpang dan
barang anak buah kapal.

(5) Jemaah Haji


(a) Memiliki paspor biasa berwarna hijau.
(b) Perhatikan Surat Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Pemasukkan barang-barang oleh
jemaah haji.

(6) Tenaga Kerja Indonesia (TKI/TKW)


(a) Memiliki paspor biasa berwarna hijau.
(b) Terhadap barang-barang bawaannya harus dibedakan:
1. Jika yang bersangkutan telah menyelesaikan kontrak/hubungan kerjanya di luar negeri
maka berlaku ketentuan barang pindahan.
Perhatikan surat keterangan pindah dari KBRI setempat atau surat keterangan dari
Departemen Tenaga Kerja RI.
2. Jika yang bersangkutan dating ke Indonesia dalam rangka cuti/libut maka berlaku
ketentuan barang penumpang.

(7) Pengusaha/Pedagang

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 38
(a) Perhatikan penjelasan barang bagi pengusaha/pedagang.
(b) Jika yang bersangkutan membawa barang-barang yang menurut sifatnya/tujuannya sebagai
promosi/contoh.

(8) Rombongan atau Perorangan dengan Tujuan Khusus


Rombongan atau perorangan dengan tujuan khusus adalah mereka yang kembali dari luar negeri
dalam rangka mengikuti/melakukan kegiatan, misalnya olah raga, kesenian dan ilmiah.
(a) Ada rekomendasi tertulis dari instansi teknis terkait atau organisasi swasta penyelenggara.
(b) Dalam hal rombongan atau perorangan dimaksud membawa barang yang berasal dari
Indonesia (re-impor) dibebaskan dari pungutan impor.
(c) Ruang Lost dan Found, Ruang Kerangkeng Bea dan Cukai dan Entrepot Umum.

(1) Ruangan Lost dan Found


(a) Setiap pemasukan dan pengeluaran barang yang disimpan di ruang Lost & Found harus
dengan izin petugas Bea dan Cukai dan petugas perusahaan penerbangan masing-masing 1
(satu) buah.
(b) Setiap pengeluaran barang dari ruang Lost & Found harus diperiksa terlebih dahulu oleh
petugas Bea dan Cukai.

(2) Ruang Kerangkeng Bea dan Cukai


Barang penumpang yang tidak dapat diselesaikan pada saat penumpang tiba, yang
disebabkan:
(a) Penumpang tidak membawa cukup uang untuk membayar bea-bea.
(b) Barng tersebut merupakan barang larangan, pengawasan, dan pembatasan yang perlu
diproses lebih lanjut.
(c) Barang tersebut akan dibawa kembali ke luar negeri.
(d) Barang tersebut belum dilengkapi dengan surat-surat yang diperlukan sesuai ketentuan
yang berlaku.
(e) Disegel dan disimpan di ruang kerangkeng Bea dan Cukai dengan memberikan surat
tahanan atau surat titipan, untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh Hari). Barang
yang ditahan atau titipan, diselesaikan dengan PIUD, atau model 2A khusus dan Register (,
atau Surat Tahanan/Titipan itu sendiri (khusus untuk re-ekspor).
Petugas kerangkeng harus mengadministrasikan buku situasi kerangkeng dan menata
barang-barang di dalamnya dengan baik dan benar.

(3) Barang penumpang yang disimpan di ruang kerangkeng Bea dan Cukai, apabila tidak
diselesaikan/diurus lebih dari 30 (tiga puluh) hari, akan dinyatakan sebagai barang tidak
dikuasai dan setelah dicatat, kemudian dikirim ke Entrepot Umum untuk diproses
penyelesaian selanjutnya.

D. Penyelesaian Barang dengan Perlakuan Khusus


1. Pemasukan Sementara (Temporary Admission)
Penumpang yang jelas identitasnya sebagai tenaga ahli, di samping membawa barang keperluan diri
juga membawa barang-barang lainnya dalam rangka perjalanannya, dan barang-barang tersebut kelak
akan dibawa kembali keluar daerah pabean, tetapi persyaratan pabean untuk menggunakan fasilitas
pasal 23 OB belum dimiliki oleh tenaga ahli tersebut.
Dalam rangka peningkatan pelayanan terhadap mereka dapat diberikan kemudahan untuk
mengeluarkan barang-barang dengan syarat sebagai berikut:

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 39
a. Identitas jelas sebagai tenaga ahli.
Perhatikan paspor, visa, dan surat-surat lain yang mendukung.
b. Maksud kunjungan sesuai dengan profesinya.
c. Lama kunjungan tidak lebih dari 1 (satu) bulan.
d. Membuat surat pernyataan bahwa barang tersebut akan dibawa kembali (dalam formulir
Temporary Admission yang disediakan).
e. Membuat jaminan tunai/bank garansi atau jaminan tertulis dari instansi pemerintah atau jaminan
tertulis dari perusahaan swasta yang bonafid, sejumlah bea masuk dan pungutan lainnya yang
seharusnya dibayar.
f. Dibuat Nota Pemeriksaan oleh petugas atas barang-barang tersebut dan barang dapat dikeluarkan
pada saat itu juga dan PPUD diserahkan pada hari berikutnya.
g. Pada waktu dire-ekspor, bukti re-ekspor dinyatakan pada PPUD atau tanpa PPUD dinyatakan
pada Nota Pemeriksaan.
h. Apabila yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya untuk membuat PPUD, maka Kepala
Kantor Inspeksi wajib memberikan teguran tertulis.

2. Barang Milik Diplomat Asing atau Pejabat/Tenaga Ahli PBB


Penumpang yang menggunakan paspor diplomatic/PBB dan membawa barang yang harus
disediakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1955 atau Peraturan pemerintah
Nomor 8 tahun 1957. Yang bersangkutan tidak dapat menunjukkan surat keputusan pembebasan
bea dimaksud, petugas harus memberikan penjelasannya di tempat yang telah ditentukan dengan
mendapatkan tanda bukti penitipan barang yang dicantumkan, antara lain jumlah, jenis berat
collie dan ditandatangani oleh petugas serta pemilik barang. Barang tersebut dapat dikeluarkan
dari tempat penitipan setelah persyaratan pabeannya dipenuhi.

3. Barang Contoh
a. Yang Tidak Diragukan
Jika menurut penilaian sifat dan tujuannya tidak diragukan sebagai barang contoh, dapat diberikan
pembebasan pungutan impor.
b. Yang Diragukan
Jika menurut penilaian petugas, sifat dan tujuannya bukan merupakan barang contoh, maka dilakukan
tindakan sebagai berikut:
(1) Penyelesaiannya berdasarkan ketentuan yang berlaku dan melalui BAPEKSTA KEUANGAN.
(2) Barang contoh tersebut oleh pemiliknya dirusak/diberi tanda sehingga tidak mempunyai nilai jual,
tetapi tidak menghilangkan sifat hakiki sebagai barang contoh. Dan diberikan pembebasan
pungutan impor.

4. Barang Larangan, Pengawasan, dan Pembatasan


a. Barang Larangan
Majalah/buku porno, barang cetakan beraksara Cina, majalah/buku berbau komunisme dan ajaran
ekstrim lainnya.
(1) Kurang dari 2 kg langsung dimusnahkan di tempat.
(2) Lebih dari 2 kg, ditahan untuk diproses pemusnahan selanjutnya.
Perhatikan:
(a) Narkotika, senjata api/tajam, pistol mainan yang menyerupai aslinya, receiver, transceiver,
cordless telephone dan sebagainya ditahan untuk di proses lebih lanjut.
(b) Penumpang yang membawa narkotika, senjata api dan barang larangan lainnya harus ditahan
untuk diproses lebih lanjut.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 40
b. Barang Pembatasan/Diatur Impornya
(1) Buah-buah segar dan sejenisnya.
(a) Kurang dari 2 kg, langsung dimusnahkan di tempat.
(b) Lebih dari 2 kg, ditahan untuk diproses pemusnahan selanjutnya.
(2) Bahan kimia/obat-obatan, ditahan untuk diproses lebih lanjut.

c. Barang Pengawasan/Diperlukan Pemeriksaan Instansi Lain


(1) Hewan dan tumbuh-tumbuhan, harus melalui pemeriksaan karantina terlebih dahulu.
(2) Video, Laser Disc, Video Tape, Cassette Tape yang berisi rekaman, majalah/buku yang
disangsikan isinya harus melalui pemeriksaan Kejaksaan.

5. Barang Hadiah dan Cinderamata


Apabila penumpang membawa barang hadiah di luar ketentuan Keputusan Presiden nomor: 133/1953
tanggal 12 Agustus 1953 maka penyelesaian dilakukan sesuai penjelasan.

6. Barang Dagangan yang Memenuhi Persyaratan Tertentu


Untuk menyelesaikan barang penumpang yang dapat digolongkan sebagai barang dagangan, petugas
dapat menggunakan persyaratan sebagai berikut:
a. Dapat dibuktikan atau petugas yakin bahwa penumpang/pemilik barang adalah pengusaha
industry dalam negeri, kontraktor, konsultan proyek pemerintah atau tenaga ahli asing yang
bekerja pada pemerintah RI.
b. Dapat dibuktikan atau dapat dimengerti bahwa barang-barang tersebut sangat dibutuhkan untuk
keperluan:
(1) penggantian bagian-bagian yang rusak dari peralatan industri;
(2) pengetesan/pemeriksaan alat-alat industri;
(3) pemenuhan target produksi.
c. Harga di bawah FOB US $ 1.000
Perhatikan:
(1) Uraian barang pada nota Pemeriksaan harus jelas dan terinci.
(2) Bukti yang mendukung pemberian fasilitas ini harus disimpan bersama dengan Nota
Pemeriksaannya dan diadministrasikan dengan baik.

BAB XI
PELAYANAN PARIWISATA
(TOURISM SERVICE)

Pelayanan adalah factor yang utama dalam pengembangan kepariwisataan. Salah satu faktor yang
menentukan dalam pelayanan adalah kesiapan sarana prasarana kepariwisataan. Dalam bab ini akan
dibahas mengenai sarana dan prasarana kepariwisataan.

A. Prasarana
1. Pengertian
Prasana (infrastructures) adalah semua fasilitas yang memungkinkan proses perekonomian berjalan
dengan lancar sehingga memudahkan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhannya (Oka A. Yoeti,
1985).

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 41
2. Prasarana-Prasarana
Salah Wahab, Ph. D. dalam bukunya Tourism Management membagi prasarana menjadi tiga
kelompok, yaitu prasarana umum, kebutuhan pokok pola hidup modern, dan prasarana wisata.
a. Prasarana Umum
Prasarana umum meliputi
(1) sistem penyediaan air bersih,
(2) kelistrikan,
(3) jalur-jalur lalu lintas,
(4) sistem pembangunan limbah, dan
(5) sistem telekomunikasi
Prasarana ini menyangkut kebutuhan orang banyak (umum) yang pengadaannya bertujuan untuk
membantu kelancaran roda perekonomian.
b. Kebutuhan Pokok Pola Hidup Modern
Kebutuhan pokok pola hidup modern misalnya, rumah sakit, apotek, bank, pusat-pusat
perbelanjaan, salon, kantor-kantor pemerintahan, dan pompa-pomba bensin. Prasarana ini
merupakan prasarana yang mengangkut kebutuhan orang banyak.
c. Prasarana Wisata
Praarana yang diperuntukkan bagi wisatawan, meliputi tempat penginapan, tempat dan kantor
informasi, tempat promosi, tempat-tempat rekreasi, dan sport.
(1) Tempat Penginapan Wisatawan
Hotel, motel, pension, rumah susun, kamar keluarga yang disewakan, bangunan wisata social
(desa wisata, tempat perkemahan, pondok remaja dan sebagainya).
(2) Tempat Informasi Wisatawan
(a) Agen perjalanan dan biro perjalanan umum.
(b) Penyewaan kendaraan dan tour operator lokal.
(3) Kantor Informasi dan Promosi
Kantor penerangan wisata di pintu-pintu masuk suatu negara, kota atau daerah tertentu. Di
Indonesia terkenal dengan Tourist Information Service (TIC).
(4) Tempat-tempat Rekreasi dan Sport
Fasilitas sport, fasilitas perlengkapan sport darat dan air, dan lain-lain.
(5) Sarana Transportasi Penunjang
Kapal udara, laut, sungai, KA, dan alat transportasi darat lainnya.

B. Sarana Wisata
1. Pengertian
Sarana kepariwisataan adalah perusahaan-perusahaan yang memberikan pelayanan kepada wisatawan,
baik secara langsung atau tidak langsung dan hidup serta kehidupannya banyak bergantung pada
kedatangan wisatawan.

2. Sarana Kepariwisataan
Sarana kepariwisataan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: sarana pokok kepariwisataan, sarana
pelengkap kepariwisataan, dan sarana penunjang kepariwisataan.
a. Sarana Pokok Kepariwisataan
Sarana pokok kepariwisataan adalah perusahaan yang kehidupannya bergantung pada arus
kedatangan orang yang melakukan perjalanan.
Termasuk dalam kelompok ini adalah sebagai berikut:
(1) Travel Agent dan Tour Operator.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 42
(2) Perusahaan-perusahaan Angkutan Wisata.
(3) Hotel dan jenis akomodasi lainnya.
(4) Bar dan restoran serta rumah makan lainnya.
(5) Objek wisata dan atraksi wisata.

Tentang sarana pokok kepariwisataan ini, Nyoman S. Pendit menyebutkan dengan istilah
perusahaan utama langsung. Perusahaan utama langsung dapat dibagi menjadi dua, yaitu perusahaan
yang termasuk objek sentra dan subjek sentra. Adapun yang dimaksud dengan perusahaan utama
yang langsung adalah semua perusahaan yang tujuan pelayanannya khusus diperuntukkan bagi
perkembangan kepariwisataan dan kehidupannya benar-benar bergantung padanya.
Perusahaan utama yang termasuk dalam kategori objek sentra antara lain sebagai berikut:
(1) Perusahaan akomodasi: hotel, motel, asrama, bungalow, dan lain-lain.
(2) Perusahaan angkutan wisata: angkutan udara, darat, laut, dan KA.
(3) Perusahaan kerajinan tangan, barang-barang kesenian, dan lain-lain.
(4) Souvenir Shop, benda-benda khusus untuk wisatawan.
(5) Usaha liburan, pemandu wisata, penerjemah, dsb.
(6) Lembaga atau badan yang khusus promosi kepariwisataan.
(7) Tempat peristirahatan khusus, Spa, sanatorium, dsb.

Perusahaan yang termasuk dalam kategori subjek sentra antara lain sebagai berikut:
(1) Perusahaan penerbitan kepariwisataan untuk promosi wisata.
(2) Bank pariwisata, travel credit, badan pariwisata sosial.
(3) Asuransi wisata.

b. Sarana Pelengkap Kepariwisataan


Sarana pelengkap kepariwisataan adalah perusahaan atau tempat yang menyediakan fasilitas rekreasi
yang fungsinya melengkapi sarana pokok kepariwisataan dan membuat para wisatawan dapat lebih
lama tinggal pada suatu DTW.
Termasuk dalam kelompok ini adalah:
(1) sarana olah raga, seperti
(a) lapangan tenis,
(b) lapangan golf,
(c) kolam renang,
(d) permainan bowling,
(e) daerah perburuan,
(f) berlayar, dan
(g) berselancar.
(2) sarana ketangkasan, seperti
(a) permainan bola sodok (bilyard),
(b) jackpot, dan
(c) amusement lainnya.

c. Sarana Penunjang Kepariwisataan


Sarana penunjang kepariwisataan adalah perusahaan yang menunjang sarana pelengkap dan
sarana pokok. Berfungsi tidak hanya membuat wisatawan lebih lama tinggal pada suatu DTW,
tetapi fungsi yang lebih penting adalah agar wisatawan lebih banyak mengeluarkan uangnya di
tempat yang dikunjunginya.
Yang termasuk dalam kelompok ini, ialah

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 43
(1) Night Club,
(2) Steam baths, dan
(3) Casinos.

BAB XII
SEJARAH DAN ORGANISASI KEPARIWISATAAN INDONESIA

A. Sejarah Kepariwisataan Indonesia


Sejarah perkembangan kepariwisataan di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang-
surut, seiring dengan situasi zaman. Untuk mengetahui perkembangan kepariwisataan di Indonesia
sesuai urutan kronologis historisnya, berikut ini akan dikemukakan secara garis besar sejarah
perkembangan kepariwisataan di Indonesia.
1. Sebelum Perang Dunia II
a. Tahun 1910
Kegiatannya: menyelenggarakan perjalann wisata bagi orang-orang Belanda di Indonesia.
Objek wisata pada waktu itu: Brastagi, Danau Toba di Sumatera Utara, Bogor, Lembang,
Pengalengan, dan Bandung (“Parijs van Java”) di Jabar. Sarangan, Tawangmangu, Tretes di
Jatim, Bali dan sebagainya

b. Tahun 1926
Didirikan beberapa hotel, misalnya Hotel des Indes dan Hotel der Nederlander di Batavia
(Jakarta), Hotel Savoy Homan, dan Grand Hotel Preager di Bandung. Hotel Simpang di
Surabaya, Hotel de Boer di Medan, Hotel Balu di Denpasar serta beberapa losmen dan
pesanggrahan lainnya.
Perusahaan yang berkaitan dengan perjalanan pada waktu itu adalah sebagai berikut:
Perusahaan Kereta Api : Staat Spoor (s.s.).
Perusahaan Angkutan Udara : Koninklijke Paket vaart Maatschappij (KPM).
Perusahaan Angkutan Udara : Koninklijke Lucht vaart Maatschappij (KLM).

c. Tahun 1926
Pemerintah Belanda mendirikan perusahaan perjalanan “LISSONNE LINDEMAN
(LISLIND) di Batavia.

2. Zaman Pendudukan Jepang

3. Tahun 1945 sampai dengan 1957


a. Tahun 1947
Daerah Yogyakarta, Solo, Madiun, Sarangan, Malang, Purwokerto, Pekalongan, Cirebon dan
Sukabumi dikuasai RI, terdapat hotel milik Belanda. Untuk mengelola hotel-hotel tersebut

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 44
pemerintah mendirikan Perusahaan Negara Hotel Negara dan Tourisme (Honet) di bawah Kementrian
Perhubungan.

b. Tahun 1953
Beberapa pengusaha hotel swasta mendirikan Serikat Gabungan Hotel dan Tourisme Indonesia
(Sergahti).

c. Tahun 1955
Berdiri Yayasan Tourisme Indonesia (Y.T.I), diprakasai dan dipimpin oleh Prof. Dr. Hendarmin
(Ketua), Wongsonegoro (Wakil Ketua) dan R.M. Harjoto (Sekretaris).
Pihak Pemerintah, Bank Industri Negara, mendirikan National Hotels and Tourisme Ltd. (Natour
Ltd.), mengelola: Hotel Simpang di Surabaya, Bali Hotel di Denpasar, Kuta Beach Hotel di Kuta Bali,
Sindhu Beach Hotel di Sanur Bali dan Hotel Numbai di Jayapura Irian Jaya.

d. Tahun 1956
Pemerintah menyelenggarakan Pekan Raya di Jakarta yang disebut 1956 Tourism and Entertainment
Fair dipimpin oleh Ny. Fatmawati Soekarno.

e. Tahun 1957
Pada tanggal 12-14 Januari 1957 di Tugu Bogor, diselenggarakan Musyawarah Nasional Tourisme I,
yang melahirkan Dewan Tourisme Indonesia (DTI) sebagai pengganti Yayasan Tourisme Indonesia,
dengan status semi pemerintah. Dengan pengurus sebagai berikut:
Ketua : Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Wakil Ketua : Sri Boedjono
Sekretaris : M.S Harris
Diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 129 tahun 1957, pada Kementrian Perhubungan
dibentuk bagian tourisme di bawah Biro Sekretariat Jenderal Kementrian Perhubungan.

4. Tahun 1958 sampai dengan 1964


a. Tahun 1958
Di Tretes Jawa Timur, diselenggarakan Musyawarah Nasional Tourisme II, menghasilkan istilah
pariwisata sebagai istilah tourisme.

b. Tahun 1959
Dewan Tourisme Indonesia bekerjasama dengan PATA mengadakan riset dan survey kepariwisataan
Indonesia.

c. Tahun 1960
(1) Diterbitkan SK menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Telegrap Nomor H. 2/3/10
tanggal 14 Maret 1960. Menetapkan dewan Tourisme Indonesia ditunjuk sebagai satu-satunya
badan yang bertanggung jawab penuh untuk mengatur dan menyelenggarakan segala kegiatan
tourisme Indonesia.
(2) SK Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Telegrap Nomor H.2/4/9 tanggal 30
Maret 1960. NITOUR ditunjuk sebagai satu-satunya perusahaan yang mengurus perjalanan
wisatawan asing Indonesia.
(3) Tahun 1960 Dewan Tourisme Indonesia diubah menjadi Dewan Pariwisata Indonesia (Depari).
(4) Tehun 1960 dibentuk Depatemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata
dengan menterinya Letjen. GPH. Djatikusumo.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 45
Khusus bidang kepariwisataan, diangkat seorang Pembantu menteri Urusan Pariwisata (Pupar)
yaitu Letkol. (L) Djali Aznam.
(5) Tahun 1960 dibentuk Badan Konsultasi Souvenir Shop sebagai suatu himpunan pengusaha-
pengusaha toko souvenir.
(6) Beberapa kegiatan tersebut:
(a) Pembangunan Hotel Indonesia di Jakarta, Samudera Beach Hotel di Pelabuha Ratu (Jabar),
Ambarukmo Palace Hotel di Yogyakata dan Bali Beach Hotel di Denpasar. Dibangun 1962
dibiayai dengan pampasan perang dari Jepang.
(b) Pembangunan pembangunan teater terbuka Roro Jonggrang di Kompleks Candi Prambanan
(Jateng) untuk pertunjukkan sendratari Ramayana.
(c) Kampanye kepariwisataan Indonesia Floating Fair 1961 ke Singapura, Hongkong, Tokyo,
Osaka, Honolulu, dan Manila dengan misi kebudayaan Indonesia.
(d) Tahun 1963, pertama kali Indonesia sebagai tuan rumah konferensi di Hotel Indonesia dan
lokakarya di Gedung Merdeka Bandung.
(7) SK Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata Nomor U.14/9/12
tanggal 16 Juni 1964, dibentuk Direktorat Kepariwisataan. Selanjutnya, dalam perkembangannya
diubah menjadi Inspektorat Pariwisata dengan inspekturnya letkol. (L) Djali Aznam.

5. Kurun Waktu 1965 – Sekarang


a. Tahun 1965, pengembangan kepariwisataan di Indonesia ditangani oleh Departemen dengan
dibentuknya Departemen Pariwisata dengan Menterinya Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
b. Tahun 1966, pemerintah membentuk PT Hotel Indonesia Internasional; (PT HII) dengan tugas
pokok mengelola hotel-hotel Negara yang didirikan tahun 1962, yaitu Hotel Indonesia,
Ambarukmo Palace Hotel, Samudra Beach Hotel dan Bali Beach Hotel.
c. Tahun 1966, dibentuk Lembaga Kepariwisataan Republik Indonesia (Gatari) menggantikan
Departemen Wisata. Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 103/U/Kep/1966 tanggal 7
Desember 1966, Lembaga Kepariwisataan Republik Indonesia diubah menjadi Lembaga
Pariwisata Nasional (LPN) diketuai Brigadir Jenderal Subroto Kusmardjo.
d. Tahun 1967, berdiri 2 perhimpunan Biro Perjalanan yaitu Majelis Travel Association Indonesia
(Matrai) yang merupakan perhimpunan Biro-Biro Perjalanan Anggota IATA dan Indonesia Tours
and Travel Association (ITTRA) yang merupakan perhimpunan Biro-Biro Perjalanan bukan
anggota IATA (non IATA).
e. Tahun 1969, awal pemantapan dalam pengembangan kepariwisataan Indonesia antara lain sebagai
berikut:
(1) Keputusan Presiden Nomor 18 tahun 1969 dibentuk Sektor L yang diketuai oleh Menteri
Perhubungan dengan tugas melaksanakan Koordinasi, Integrasi dan Sinkronisasi (KIS)
kegiatan-kegiatan operasional pembangunan bidang kepariwisataan.
(2) Keputusan Presiden Nomor 30 tahun 1969 tanggal 22 Maret 1969 dibentuk:
Dewan Pertimbangan Kepariwisataan Nasional (Deparnas), yang bertugas membantu Presiden
dalam penetapan kebijakan umum di bidang kepariwisataan.
Direktur Jenderal Pariwisata, di bawah struktur organisasi Departemen Perhubungan.
(3) Inpres Nomor 9 tahun 1969 tanggal 6 Agustus 1969, dibentuk Badan Pengembangan
Kepariwisataan Daerah (Bapparda) sebagai badan Konsultatif Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I di Bidang Kepariwisataan kepada Daerah Tingkat I Dinas Pariwisata Daerah
(Diparda).
f. Tanggal 8 Februari 1969, di bidang perhotelan, dibentuk perhimpunan Indonesia Tourist Hotels
Association (ITHA). Tanggal 8 Februari 1969 diubah menjadi Indonesia Hotels and Restaurant

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 46
Association (IHRA), atau dalam bahasa Indonesia disebut Perhimpunan Hotel dan Restoran
Indonesia (PHRI).
g. Tahun 1971, Matrai dan Ittra bergabung dengan nama Himpunan Perusahaan Perjalanan
Indonesia (HPPI) lebih dikenal dengan nama Association of the Indonesian Tours & Travel
Agencies (Asita).
h. Tahun 1972, Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1972 dibentuk Badan Pengembangan Rencana
Induk Pariwisata Bali (BPRIP Bali).
i. Tahun 1974, kedua kalinya Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi PATA. Konferensi di Balai
Sidang Senayan Jakarta dan Lokakarya diselenggarakan di Bali Beach Hotel Bali.
j. Tahun 1978, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.147/OT/202-Phb-77 tanggal 31
Desember 1977 dan Nomor KM.121/OT/Phb-78 tanggal 21 April 1978, dibentuk Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pariwisata di 10 daerah tujuan wisata.
k. Tahun 1979, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1979 tentang Penyerahan
Sebagian Urusan Pemerintah dalam Bidang Kepariwisataan kepada Daerah Tingkat I.
l. Tahun 1980, diadakan penyempurnaan organisasi dan tata kerja Direktorat jenderal Pariwisata,
berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.164/OT/002/Phb-80 tanggal 14 Juli
1980.

B. Organisasi Kepariwisataan Indonesia Dewasa Ini


1. Tingkat Pusat
a. Dewan Pertimbangan Kepariwisataan Nasional (Deparnas) merupakan badan yang bertugas
membantu presiden dalam menetapkan kebijakan umum di bidang pengembangan kepariwisataan.
Susunan keanggotaan Deparnas adalah sebagai berikut:
Ketua merangkap anggota: Menteri Ekuin
Anggota-anggota:
Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri
Kehakiman, Menteri HANKAM, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial,
Menteri Penerangan, Gubernur Bank Sentral dan Ketua BAPPENAS.

b. Direktorat Jenderal Pariwisata


Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.164/OT.002/Phb-80 tanggal 14 Juli
1980 Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Pariwisata ditetapkan sebagai berikut:
(1) Tugas Pokok
Melaksanakan sebagian tugas Departemen Perhubungan di bidang kepariwisataan berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan.
(2) Fungsi
(a) Perumusan kebijakan teknis, pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian
perizinan di bidang kepariwisataan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menteri
dan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
(b) Pelaksanaan sesuai dengan tugas pokok Direktorat Jenderal Pariwisata, dan berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku.
(c) Pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas pokok Direktorat Jenderal Pariwisata sesuai
dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri serta berdasarkan peraturan perundangan
yang berlaku.
(3) Organisasi Direktorat Jenderal Pariwisata terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:
(a) Secretariat Direktorat Jenderal Pariwisata
(b) Direktorat Bina Pelayanan Wisata

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 47
(c) Direktorat Bina Pemasaran Wisata

c. Badan Pengembangan Pariwisata Nasional (Bapparnas)


Merupakan badan konsultatif Menteri Perhubungan. Di dalam melaksanakan tugasnya, Bapparnas
mengadakan kerjasama yang sebaik-baiknya dengan Direktorat Jenderal Pariwisata.
Keanggotaan Bapparnas ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor
SK.32/OT/001/Phb-78 tanggal 12 April 1978, dengan susunan sebagai berikut:
 Ketua : Menteri Perhubungan
 Wakil Ketua : Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan
 Ketua Pengurus Harian/Anggota : Direktur Jenderal Pariwisata
 Sekretaris I/Anggota : Kepala Direktorat Bina Layanan Wisata
 Sekretaris II/Anggota : Sekretaris PHRI

Anggota-anggota terdiri dari:


 Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan ,
 Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum,
 Direktur Jenderal Imigrasi,
 Direktur Jenderal Kebudayaan,
 Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah & Olah Raga,
 Direktur Jenderal Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah,
 Direktur Jenderal Perhubungan Udara/Ketua Komite Nasional Facilitation Airlines (FAL)
Indonesia,
 Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler,
 Direktur Jenderal Aneka Industri dan Kerajinan,
 Direktur Jenderal Kehutanan,
 Direktur Utama PT Garuda,
 Direktur Utama MNA,
 Ketua Umum ASITA,
 Ketua Umum PHRI dan Ketua Badan Pengembangan Rencana Induk Pariwisata Bali.

Untuk melaksanakan tugas sehari-hari dibentuk suatu pengurus harian, dengan susunan
keanggotaan sebagai berikut:
 Ketua/Anggota : Direktur Jenderal Pariwisata
 Sekretaris I/Anggota : Kepala Direktorat Bina Pelayanan Wisata
 Sekretaris II/Anggota : Sekretaris Jenderal PHRI
 Anggota-Anggota : Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah
(PUOD), Ketua Umum ASITA, dan Ketua Umum PHRI.

2. Tingkat Daerah
a. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pariwisata
KWDJP merupakan instansi vertikal Direktorat Jenderal Pariwisata. Dengan memperhatikan segi
kesiapan prasarana dan sarana, pada tahap pertama dibentuk Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pariwisata di 10 daerah tujuan wisata. Yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi
Selatan, dan Sulawesi Utara. Susunan organisasi dan tata kerjanya diatur dalam Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor KM.147/OT.202/Phb-77 tanggal 31 Desember 1977 sebagai berikut:
(1) Tugas
Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 48
Menyelenggarakan tugas Direktorat Jenderal Pariwisata di wilayah kewenangannya, sesuai
dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pariwisata.

(2) Fungsi
Untuk menyelenggarakan tugas di atas, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pariwisata
mempunyai fungsi sebagai berikut;
(a) Memberikan bimbingan dan pembinaan di bidang kepariwisataan dalam wilayahnya. Sesuai
dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pariwisata dan berdasarkan
peraturan-peraturan yang berlaku.
(b) Mengawasi dan mengamankan pelaksanaan, berdasarkan kebijakan Direktorat Jenderal
Pariwisata berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
(c) Memberikan informasi dan bantuan teknis kepada perwakilan Departemen Perhubungan di
wilayahnya.

(3) Organisasi
Kantor Wilayah terdiri dari:
(a) Bagian Tata Usaha
(b) Bidang Bina Pelayanan Wisata

b. Badan Pariwisata Daerah (Diparda)


Diparda merupakan unsur pelaksana dari Pemerintah Daerah Tingkat I di bidang pariwisata.
Adapun urusan-urusan di bidang kepariwisataan yang ditangani oleh Dinas Pariwisata Daerah
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1979. Tentang penyerahan sebagian urusan
pemerintah dalam bidang kepariwisataan kepada Daerah Tingkat I (Deparpostel, 1981).

BAB XIII
UPAYA PENGEMBANGAN PARIWISATA

A. PARIWISATA ALTERNATIF
Istilah Pariwisata Alternatif atau Alternative Tourism mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. Sebagai salah satu bentuk kepariwisataan yang timbul sebagai reaksi terhadap dampak-dampak
negatif dari pengembangan dan perkembangan pariwisata konvensional;
2. Sebagai bentuk kepariwisataan yang berbeda (yang merupakan alternatif) dari pariwisata
konvensional untuk menunjang kelestarian lingkungan.
Untuk memahami hakikat pariwisata alternatif, baik yang merupakan reaksi dari dampak-dampak
negatif pariwisata konvensional maupun yang sengaja dimunculkan untuk menunjang kelestarian
lingkungan, perlu juga dibahas perkembangan pariwisata dari perspektif historis.

a. Pariwisata Modern atau Konvensional?


Bentuk pariwisata seperti yang kita kenal dewasa ini yang sering disebut pariwisata modern
bermula dari suatu bentuk periwisata yang dipelopori oleh Thomas Cook. Ia
menyelenggarakan suatu inclusive tour dari Leicester ke Loughbourough p.p. pada tanggal 5
Juli 1842 dengan biaya 1 Shilling/orang. Paket wisata (package tour) atau inclusive tour itu
diikuti oleh 570 orang berkat upaya promosi yang dilakukan melalui iklan. Keberhasilan

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 49
Thomas Cook itu kemudian ditiru oleh orang lain dengan mendirikan perusahaan-perusahaan
perjalanan (tour operators) yang menyelenggarakan berbagai paket wisata atau packaged tour.
Pada akhirnya usaha itu menjadi semakin berkembang serta menyebar ke seluruh dunia,
termasuk Indonesia. Karena waktu itu bentuk kegiatan wisata/pariwisata seperti yang
diperkenalkan oleh Thomas Cook tersebut merupakan suatu hal atau fenomena batu maka
Thomas Cook kemudian dijuluki sebagai Bapak atau Arsitek Pariwisata Modern.
Jenis atau bentuk kegiatan wisata yang dikemas dalam paket-paket wisata itulah yang
sebelumnya disebut sebagai bentuk kepariwisataan alternative, maka apa yang dulu disebut
sebagai pariwisata modern itu kini disebut sebagai pariwisata konvensional.

b. Pariwisata Berskala Besar


Sejak berakhirnya Perang Dunia II, terutama sejak tahun 1960-an, dengan dimulainya
pengoperasian pesawat-pesawat terbang berbadan lebar, kegiatan wisata internasional maupun
domestic, dan badan-badan usaha kepariwisataan (Industri Pariwisata) berkembang pesat
sekali. Dewasa ini per tahunnya ada lebih dari 500 juta international tourism arrivals dengan
lebih dari US$ 400 milyar belanja wisatawan internasional (International tourism
expenditures). Belum lagi kegiatan wisata domestik dan pengeluaran wisatawan domestik.
Sehubungan dengan itu maka dewasa ini badan-badan usaha kepariwisataan telah berkembang
menjadi satuan industry pariwisata yang terbesar di dunia (the biggest single industry in the
world).

B. CIRI PARIWISATA KONVENSIONAL


Ciri-ciri dari pariwisata konvensional adalah:
1. Kegiatan wisata tersebut memiliki jumlah yang besar (mass tourism).
2. Sebagian dikemas dalam satuan paket wisata (package tour).
3. Pembangunan sarana dan fasilitas kepariwisataan berskala besar dan mewah.
4. Memerlukan tempat-tempat yang dianggap strategis dengan tanah yang cukup luas.

Dengan semakin pesatnya perkembangan industri pariwisata, maka persaingan di antara mereka
menjadi semakin ketat sehingga pengembangan dan perkembangan pariwisata serta industri
pariwisata menjadi sangat eksploitatif terhadap:
a. Sumber daya manusia, khususnya masyarakat/penduduk setempat.
Berbagai dampak negatif pariwisata terhadap masyarakat/penduduk setempat antara lain sebagai
berikut:
1) terjadinya degradasi nilai-nilai sosial-budaya,
2) nilai-nilai degradasi nilai-nilai moral.
3) komersialisasi prostitusi, termasuk prostitusi anak-anak,
4) penggusuran penduduk, kemiskinan dan lain sebagainya.
b. Sumber Daya Alam
Pariwisata ternyata juga memberikan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan, antara lain:
1) pencemaran lingkungan,
2) kerusakan lingkungan dan ekosistem.

C. REAKSI
Berbagai dampak negatif yang terjadi akibat adanya kegiatan pariwisata, terutama sekali yang terjadi
pada masyarakat/penduduk setempat, menimbulkan keprihatinan di kalangan rohaniawan,

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 50
cendekiawan dan tokoh-tokoh masyarakat. Keprihatinan ini mendorong mereka, dengan sponsor dari
The Christian Conference of Asia, untuk menyelenggarakan serangkaian lokakarya internasional
(internasional workshop).
Berbagai lokakarya yang pernah mereka lakukan antara lain:
1. Tanggal 9-16 Juni 1975 di Penang, Malaysia. Pada lokakarya ini ditemu-kenali hal-hal sebagai
berikut:
a. Terjadinya berbagai dampak negatif seperti yang sudah disebutkan di atas.
b. Terjadinya berbagai hal positif, seperti perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan
masyarakat dan pemerintah, termasuk devisa.
Adanya dampak positif ini menimbulkan sikap mendua seperti yang tercermin dari judul
prosiding lokakarya tersebut, Tourism: The Asian Dilemma.
2. Tanggal 12-25 September 1980, di Manila, Filipina, di mana disadari bahwa pariwisata:
a. tidak bisa dibendung
b. bukan lagi suatu bentuk kegiatan dari kelompok elit saja, tetapi juga dilakukan oleh lapisan
masyarakat bawah.
3. Tanggal 26 April – 8 Mei 1984 di Chiangmai, Thailand, di mana tim melaporkan hasil kerja
mereka, antara lain:
a. memperkenalkan konsep Alternatif Tourism
b. membentuk sebuah wadah bernama Ecuminical Coalition on Third Word Tourism (ECTWT).
Lembaga itu kemudian menerbitkan:
1) sebuah kala warta (newsletter) bernama Contours, singkatan dari Concern for Tourism.
2) berbagai buku panduan atau manual-manual tentang pengembangan Alternative Tourism.
3) buku-buku dan penerbitan lainnya yang menggambarkan berbagai dampak negatif pariwisata.

Mereka juga menyelenggarakan pertemuan-pertemuan di berbagai negara untuk mengulas


pengembangan dan perkembangan pariwisata secara kritis beserta dengan berbagai dampak
negatifnya.
Karena pada hakikatnya gerakan tersebut merupakan reaksi terhadap (dampak negatif) pariwisata
konservatif, maka berbagai pandangan yang mereka kemukakan dan juga perilaku gerakan mereka
pada umumnya diwarnai oleh sikap antipariwisata.
Rumusan definisi tentang pengertian Pariwisata Alternatif adalah sebagai berikut:
Alternative Tourism is a process which promotes a just form of between members of different
communities. It seeks to achive mutual understanding, solidarity and equality among participants.

D. MENUNJANG KELESTARIAN LINGKUNGAN


Jenis pariwisata alternatif, yang merupakan alternatif dari pariwisata konvensional, timbul karena:
1. Adanya suatu asumsi bahwa pariwisata memerlukan lingkungan yang baik,
2. Kesadaran bahwa pariwisata dapat digunakan sebagai instrument untuk menjunjang upaya
pelestarian lingkungan.

Salah satu bentuk pariwisata alternatif, dalam artian jenis atau bentuk pariwisata yang berbeda
dari pariwisata konvensional, disebut dengan ecotourism. Semula ecotourism masih di identikkan
dengan nature tourism atau wisata alam biasa seperti yang tercermin dari definisi yang dirumuskan
oleh Hector Coballos-Lascurain, yang memperkenalkan istilah ecotourism, pada tahun 1987, yaitu:

Nature or ecotourisme is tourism that consists in travelling to relatively undisturbed or


uncontaminated natural areas with the specific objective of studying, admiring, and enjoying the

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 51
scenery and its wild plants and animals, as well as any existing cultural manifestations (both past
and present) found in these areas.

Sementara itu para pemerhati/pakar lingkungan mulai menyadari bahwa berbagai upaya untuk
menjaga lingkungan tidak akan efektif jika tidak didukung oleh masyarakat luas, khususnya
penduduk setempat; dan penduduk setempat akan mendukungnya jika mereka dapat memperoleh
manfaat dari lingkungan yang lestari itu, yang berupa peningkatan kesejahteraan hidup.
Sehubungan dengan itu maka pada tahun 1993 The Ecotourism Society, suatu organisasi nirlaba
yang didirikan di Amerika Serikat pada tahun 1991, member rumusan definisi yang bersifat proaktif
tentang pengertian ecotourism, yaitu:

Ecotourism is responsible travel to natural areas which conserves the environment and improves
the welfare of local people.

Sementara itu banyak pakar yang menyadari bahwa pariwisata, meskipun membutuhkan
lingkungan yang baik, termasuk ecotourism, juga dapat menimbulkan sebagai dampak negatif
terhadap lingkungan seperti pencemaran, kerusakan lingkungan dan ekosistem dalam segala bentuk
manifestasinya. Sehubungan dengan itu maka timbullah berbagai istilah lainnya seperti, misalnya
responsible tourism, acceptable tourism, community based tourism, sustainable tourism dan lain
sebagainya. Meskipun masing-masing mempunyai pendekatan yang berbeda, namun semuanya
mengacu pada bentuk/jenis pariwisata yang menunjang upaya pelestarian lingkungan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

E. PERUBAHAN PERSEPSI
Berbagai dampak negatif pariwisata terutama disebabkan oleh pengembangan periwisata yang
dilakukan semata-mata dengan pendekatan ekonomi di mana pariwisata dipersepsikan sebagai
instrument untuk meningkatkan pendapatan, terutama pada bidang usaha swasta dan pemerintah.
Persaingan yang semakin ketat menyebabkan pengembangan dan perkembangan pariwisata menjadi
sangat eksploitatif terhadap sumber daya manusia dan sumber daya alam.
Pola perkembangan seperti itu telah berlangsung cukup lama, paling tidak sejak tahun 1960-an,
sehingga sudah melekat pada hampir semua upaya pengembangan dan perkembangan pariwisata,
termasuk perkembangan Alternative Tourism dan bentuk-bentuk pariwisata alternatif lainnya.
Sehubungan dengan hal itu maka pengembangan Alternative Tourism dan bentuk-bentuk pariwisata
alternatif lainnya itu termasuk ecotourism mudah terjerat dalam kesalahan yang sama dengan
pengembangan pariwisata konservatif (seperti yang telah disinggung di atas) sehingga Alternative
Tourism juga dapat menimbulkan dampak negatif yang sama.
Untuk menghindari berbagai kekeliruan tersebut maka diperlukan pendekatan-pendekatan yang
berbeda:
1. Perubahan persepsi tentang pariwisata
Pariwisata harus dipersepsikan sebagai suatu alat atau instrument untuk meningkatkan:
a. Kualitas hubungan antarmanusia.
b. Kualitas hidup penduduk setempat.
c. Kualitas lingkungan hidup.
2. Kriteria-kriteria pengembangan pariwisata
Untuk memberikan arahan yang lebih jelas tentang pengembangan perlu ditetapkan beberapa
criteria seperti yang diperkrnalkan oleh Rev Ron O‟Grady berikut ini:
a. Decision-making about the form of tourism in any place must be made in consultation with
the local people and be acceptable to them.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 52
b. A reasonable share of the profits derived from tourism must return to the people.
c. Tourism must be based on sound environmental and ecological principles, be sensitive to
local cultural and religious traditions and should not place any members of the host
community in a position of inferiority.
d. The number of tourism visiting any area should not be such that they overhelm the local
population and deny the possibility of genuine human encounter.
3. Pengembangan pariwisata perlu dijadikan sebagai bagian dari pembangunan nasional yang
berkelanjutan (sustainable development).
Karena merupakan bagian dari pembangunan nasional yang berkelanjutan (sustainable
development) maka pengembangan pariwisata harus dilakukan dalam kesatuan yang terpadu
dengan sektor-sektor pembangunan lainnya.

F. KEBIJAKSANAAN PENGEMBANGAN WISATA ALAM


Kebijaksanaan ini diikuti oleh paket kebijaksanaan lainnya, baik yang secara langsung maupun
yang tidak langsung memberikan dampak terhadap usaha pengembangan industry pariwisata. Dari
segi ekonomi, periwisata alam akan dapat menciptakan lapangan pekerjaan di daerah-daerah terpencil.
Dibandingkan dengan pariwisata tradisional, pariwisata alam membutuhkan investasi yang relatif
lebih besar untuk pembangunan sarana dan prasarananya. Untuk itu diperlukan evaluasi yang teliti
terhadap kegiatan pariwisata alam tersebut. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa pariwisata
alam yang berbentuk ekoturisme belum berhasil berperan sebagai alat konservasi alam maupun untuk
mengembangkan perekonomian. Salah satu penyebabnya adalah masih sulitnya mendapatkan dana
pengembangan kegiatannya. Kalaupun ada keuntungan yang didapatkan dari penyelenggaraan
pariwisata jenis tersebut, namun masih relatif kecil jumlah yang dialokasikan untuk mendukung
usaha konservasi dan pengembangan ekonomi.

1. Pendapatan dan permintaan


Pengelolaan kawasan wisata alam banyak menggunakan dana dari pengunjung; sebagai
mekanisme pengembalian biaya pengelolaan dan pelestarian alam atau program pengembangan
masyarakat. Secara umum pendapatan dari kegiatan pariwisata alam belum tercapai secara optimal.
Di dalam pelaksanaan pengembangan pariwisata alam di kawasan pelestarian alam diperlukan
suatu pengusahaan bisnis pariwisata alam agar mampu menyerap wisatawan, baik wisatawan
mancanegara maupun wisatawan domestic, antara lain dengan mengembangkan aktivitas-aktivitas
tradisional, menata objek dan daya tarik alam yang khas, konservasi dan pemberian insentif wisata
alam terhadap wisatawan local.
Kajian tentang tingkat pemulihan biaya perlu dipertimbangkan untuk mengetahui biaya untuk
menutup investasi pengembangan pariwisata alam, pengeluaran investasi pembangunan pariwisata
alam, pengeluaran investasi pembangunan pariwisata alam dan pengoperasiannya dan di samping
juga harus mampu menutup biaya tidak langsung akibat dampak negative kegiatan pariwisata tersebut
terhadap masyarakat (social cost) yang mana biaya tersebut sulit dikuantifikasikan.
Agar dapat memperoleh keuntungan, pendapat yang ditentukan harus lebih besar dari semua
biaya yang dikeluarkan dalam rangka pengusahaan pariwisata. Namun untuk pengelolaan kawasan
pelestarian alam, keuntungan yang dicari adalah keuntungan yang optimal. Optimasilsasi keuntungan
dari pengelolaan kawasan pelestarian alam dalam pengusahaan pariwisata ala mini tidak sama dengan
memaksimalkan pendapatan dengan menarik wisatawan sebanyak-banyaknya. Keuntungan maksimal
juga dapat dicapai pada tingkat kunjungan yang lebih rendah karena biaya fungsional, pelestarian

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 53
alam dan biaya social dapat meningkat lebih cepat daripada pendapatan pada tingkat kunjungan yang
lebih tinggi.

2. Kesempatan kerja dan usaha bagi masyarakat


Salah satu peluang bagi masyarakat di sekitar objek wisata alam adalah kesempatan bekerja pada
objek wisata, baik sebagai tenaga staf maupun sebagai tenaga buruh kerja. Pengembangan suatu
objek wisata akan member dampak positif bagi kehidupan perekonomian masyarakat, yaitu membuka
kesempatan berusaha seperti usaha penyediaan makanan, minuman dan usaha transportasi baik
tradisional maupun konvensional. Hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No. 5/1990 pasal
34 ayat 4, yaitu member kesempatan kepada rakyat untuk ikut berperan dalam usaha di kawasan
pelestarian alam.
Dengan terbukanya berbagai kesempatan usaha tersebut diharapkan akan dapat terjadi interaksi
yang positif antara masyarakat dan objek wisata alam, yang selanjutnya akan menimbulkan rasa ikut
memiliki yang pada gilirannya perasaan itu akan terwujud dalam bentuk partisipasi baik langsung
maupun tak langsung dalam kegiatan pariwisata, misalnya pengamanan kawasan, ketertiban dan
kebersihan kawasan, penyediaan sarana dan prasarana, termasuk kebutuhan akomodasi (homestay).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengelolaan objek wisata alam secara professional
memungkinkan untuk berkembangnya kegiatan pengusahaan pariwisata alam yang memberikan
dampak positif bagi masyarakat sekitar.

3. Pengusahaan Wisata Alam


Untuk menciptakan iklim usaha dan peluang ekonomi yang secara professional memanfaatkan
kegiatan wisata alam, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijaksanaan. Departemen
Kehutanan telah mengantisipasinya sejak tahun 1989, yaitu dengan diterbitkannya SK Menteri
Kehutanan No. 68/Kpts II/1989 tentang Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan
Raya dan Taman Wisata Laut. Ketentuan mengenai pengusahaan pariwisata alam kemudian diperkuat
dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Taman Wisata Alam. Demikian pula dalam pengembangan Wisata Buru, telah diterbitkan Peraturan
Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam pengusahaan pariwisata alam tersebut diharapkan akan dapat
meningkatkan minat swasta untuk menjadi mitra kerja yang dapat menunjang pembangunan
pariwisata alam di masa mendatang.
Gambaran perkembangan pengusahaan pariwisata alam di Indonesia adalah sebagai berikut (label
terlampir):
 Sebelum ada SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1989, terdapat 4 perusahaan wisata alam
di 4 lokasi kawasan pelestarian alam.
 Sesudah adanya SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1989, ada 12 perusahaan pariwisata
alam baru di 34 lokasi kawasan pelestaria alam.
 Sesudah terbitnya Peraturan Pemerintah No. 18/1994, bertambah 2 perusahaan wisata alam
baru di 3 lokasi kawasan pelestarian alam.

Sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, peluang


pengembangan pariwisata alam masih perlu ditingkatkan dengan peningkatan mutu pelayanan dan
diversifikasi usaha agar dapat menghasilkan nilai tambah, baik dari segi mutu penikmatan objek
maupun pelayanan, sehingga dapat memenuhi permintaan jasa wisata alam baik dari wisatawan
mancanegara maupun wisatawan domestik.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 54
4. Penerimaan Negara
Prospek kegiatan pariwisata alam dalam memberikan andil dalam penerimaan negara cukup besar,
baik untuk penerimaan langsung (karcis masuk, pungutan iuran pengusahaan pariwisata alam/PIPPA
dalam pungutan usaha pariwisata alam/PUPA) maupun tak langsung melalui pengeluaran wisatawan.
Pada Repelita VI ditetapkan sasaran jumlah kunjungan wisata, yaitu 6,5 juta wisatawan mancanegara
dan 84 juta wisatawan domestik dengan perkiraan jumlah penerimaan 8 s/d 9 milyar USD dari
wisatawan mancanegara dan Rp 8,424 milyar dari wisatawan domestik. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 13,02% merupakan pengunjung objek wisata alam (antara lain gunung dan pantai) (BPS,
1992).
Dengan telah ditetapkannya peraturan perundangan tentang pengusahaan pariwisata alam, maka
sumber penerimaan negara berupa pajak retribusi masuk kawasan wisata alam, pungutan usaha
pariwisata alam dan iuran usaha pariwisata alam, meskipun sementara ini pemasukan dari pungutan
pariwisata alam tersebut masih kecil (sampai tahun 1994 ± Rp 3 milyar), namun diharapkan untuk
masa yang akan datang akan terus meningkat sejalan dengan pembenahan pengelolaannya. Kendala-
kendala antara lain adalah jangka waktu usaha yang belum menjanjikan keuntungan dan peraturan
pemerintah yang belum dapat mewadahi iklim usaha pariwisata alam.

5. Peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata alam


Untuk mengembangkan pariwisata alam di suatu daerah mutlak diperlukan kerjasama dengan
masyarakat sekitar. Untuk menjamin pelaksanaannya diperlukan suatu wadah, lembaga atau badan
hukum untuk mengelola dan memanfaatkannya sebagai suatu tourist attraction.
Pembentukan yayasan atau badan hukum yang mengelola atau mengusahakan objek wisata alam
tersebut akan memberikan manfaat terutama bagi upaya perlindungan dan pelestarian serta
pemanfaatan potensi dan jasa lingkungan sumber daya alam. Di lain pihak peran serta masyarakat
dapat terwujud oleh karena manfaatnya dapat secara langsung dirasakan melalui terbukanya
kesempatan kerja dan usaha jasa wisata yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan pendapatan
mereka. Dengan demikian diharapkan bahwa situasi tersebut akan dapat menggugah keterlibatan
masyarakat sehingga mereka mau ikut berperan di dalamnya, baik secara aktif maupun pasif.
Peran serta aktif dilaksanakan secara langsung, baik secara peorangan maupun secara bersama-
sama, yang secara sadar ikut membantu program pemerintah dengan inisiatif dan kreasi mau
melibatkan diri dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam atau melalui pembinaan rasa ikut
memiliki di kalangan masyarakat. Peran serta pasif adalah timbulnya kesadaran masyarakat untuk
tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menggangu atau merusak lingkungan alam. Dalam
peran serta pasif itu masyarakat cenderung sekedar melaksanakan perintah dan mendukung
terpeliharanya konservasi sumber daya alam. Upaya peningkatan peran serta pasif dapat dilakukan
melalui penyuluhan maupun dialog dengan aparat pemerintah, penyebaran informasi mengenai
pentingnya upaya pelestarian sumber daya alam di sekitar kawasan objek wisata alam yang juga
mempunyai dampak positif terhadap perekonomian. Keikutsertaan masyarakat sekitar kawasan objek
wisata alam dapat berbentuk usaha dagang atau pelayanan jasa, baik di dalam maupun di luar
kawasan objek wisata, antara lain:
- Jasa penginapan atau homestay.
- Penyediaan/usaha warung makanan dan minuman.
- Penyediaan/toko souvenir/cinderamata dari daerah tersebut.
- Jasa pemandu/penunjuk jalan.
- Photografi.
- Menjadi pegawai perusahaan/pengusahaan wisata alam, dan lain-lain.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 55
Kegiatan usaha masyarakat tersebut akan dapat menciptakan suasana rasa ikut memiliki tempat
mata pencaharian yang pada akhirnya akan mendorong masyarakat untuk ikut berperan dalam
menjaga kelestarian lingkungan.
Pengelolaan lingkungan alam dapat pula dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar dengan
membentuk suatu wadah yayasan atau badan hukum untuk memperoleh konsesi pengusahaan
pariwisata alam.
Salah satu sebab terjadinya gangguan terhadap kawasan objek wisata alam adalah kurangnya
kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan objek wisata.
Sesuai dengan strategi pemerintah dalam pengembangan pariwisata alam yang terkait dengan
pengembangan peran serta masyarakat, pengembangan pariwisata alam diharapkan mampu
meningkatkan kesempatan dan peluang bagi masyarakat untuk menikmati manfaatnya, sehingga
perkembangan kegiatan pariwisata alam ikut membantu untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

6. Pengembangan pariwisata alam yang berwawasan lingkungan


Kegiatan pariwisata alam selain memberikan dampak positif juga dapat membawa dampak
negatif terhadap lingkungan, baik terhadap lingkungan objek wisata alam maupun terhadap
lingkungan sosial budaya setempat. Dampak negative terhadap alam umumnya terjadi sebagai akibat
perencanaan pengelolaan objek wisata alam yang kurang baik, misalnya perencanaan pengembangan
kegiatan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan kurangnya pengetahuan,
kendaraan, serta pendidikan masyarakat dan wisatawan terhadap kelestarian lingkungan.
Pemanfaatan kawasan konservasi, baik dalam bentuk Kawasan Pelestarian Alam maupun
Kawasan Suaka Alam atau kawasan hutan lainnya, tidak lepas dari prinsip pengembangan yang
berwawasan lingkungan, sesuai dengan pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 bahwa konservasi
sumber daya hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
- Perlindungan system peyangga kehidupan.
- Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
- Pemanfaatan yang lestari atas sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Usaha pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari merupakan
penggunaan suatu objek wisata alam yang diatur sedemikian rupa sehingga dalam pelaksanaannya
membatasi atau mencegah hal-hal yang dapat merusak lingkungan. Untuk ini pemerintah telah
menetapkan kebijaksanaan pengembangan yang berlandaskan peraturan dan perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam menyebutkan
bahwa Pengusahaan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam sebagai objek dan
daya tarik wisata alam memberikan dampak positif dalam menciptakan perluasan kesempatan kerja
dan kesempatan berusaha, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan Negara
dan pemasukan devisa. Di samping itu pariwisata alam juga meningkatkan rasa cinta tanah air dan
budaya bangsa, pemerataan pembangunan dan pengembangan wilayah serta meningkatkan ketahanan
nasional. Penyelenggaraan pengusahaan pariwisata alam harus dilaksanakan dengan memperhatikan:
- Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
- Kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan kehidupan ekonomi dan sosial budaya.
- Nilai-nilai agama, adat istiadat serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
- Kelestarian budaya dan mutu lingkungan.
- Keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pengaturan pengusahaan pariwisata alam berprinsip kepada pembangunan dan pengembangan


yang berwawasan lingkungan atau ramah terhadap lingkungan, yaitu dengan ketentuan bahwa

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 56
pemanfaatan hanya terbatas pada zona pemanfaatan di dalam Taman Nasional atau blok pemanfaatan
Taman Wisata Alam dan Tahura serta pemanfaatam terbatas pada kawasan konservasi lainnya.
Dalam penyelenggaraannya pengusahaan pariwisata alam dibebani kewajiban yang mengarah
kepada pembatasan kerusakan lingkungan, serta kewajiban untuk menjaga dan melestarikan objek
wisata alam seperti yang tertuang pada pasal 11 PP No. 18/94, yaitu:
- Merehabilitasi kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan usaha/kegiatan wisata alam.
- Menjamin keamanan dan ketertiban para pengunjung.
- Turut menjaga kelestarian fungsi Kawasan Pelestarian Alam.

Yang dimaksud dengan merehabilitasi kerusakan adalah menjaga kelestarian objek dan daya tarik
wisata alam terutama pada lokasi yang berijin. Pada dasarnya kegiatan untuk menjaga kelestarian
fungsi kawasan pelestarian alam menjadi tanggung jawab pemerintah, namun demikian pengusaha
pariwisata alam wajib membantu pemerintah dalam menjaga kelestarian.
Alternatif penanggulangan dampak negatif terhadap lingkungan kawasan konservasi/pelestarian
alam akibat kegiatan pengembangan pariwisata alam adalah dengan sistem pengelolaan dan
pengusahaan yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 berikut penjelasan serta penjabarannya dalam
peraturan pemerintah ataupun keputusan Menteri Ketuhanan. Bentuknya antara lain adalah membagi
kawasan pelestarian, seperti Tamana nasional ke dalam zonasi-zonasi, yaitu zona pemanfaatan atau
blok pemanfaatan pada Taman Wisata Alam dan Tahura, zona insentif, zona perlindungan dan zona
lainnya. Penempatan jenis aktivitas dan jenis fasilitas penunjang untuk setiap zona dilakukan dengan
menggunakan klasifikasi kesesuaian lahan dan klasifikasi aktivitas serta fasilitas wisata yang menurut
Bovy (1987) adalah sebagi berikut:
- Jenis aktivitas dan fasilitas terbatas ditempatan pada zona perlindungan terbatas.
- Jenis aktivitas dan fasilitas sedang ditempatkan pada zona penunjang.
- Jenis aktivitas dan fasilitas besar ditempatkan pada zona intensif atau pemanfaatan.

Dengan mengklasifikasikan seperti di atas maka diharapkan akan dapat menghindari dan
memperkecil dampak negative terhadap lingkungan alam.
Jadi pengembangan wisata alam sebaiknya perlu mempertimbangkan aspek daya dukung
lingkungan alam, binaan dan sosial baik dari segi potensi yang dapat dimanfaatkan maupun dari segi
keterbatasan-keterbatasan aspek daya dukung lingkungan alam serta binaan sosial tersebut.
Hal di atas merupakan suatu usaha untuk merealisasikan konsep pengembangan periwisata alam
yang berwawasan lingkungan, suatu bahan pemikiran dalam menyerasikan pembangunan pariwisata
dan konservasi sumber daya alam yang akan semakin kompleks di masa yang akan datang.
Perlu dilakukan pengendalian dalam pemberian hak pengusahaan pariwisata alam dalam rangka
pengamanan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Hal tersebut dilakukan melalui beberapa
tahapan kegiatan, dari taraf perencanaan sampai ke taraf pelaksanaan, termasuk kewajiban untuk
menyusun Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam.
Pembangunan sarana dan prasarana dilakukan dengan pertimbangan adaptasi lingkungan (back to
nature), pengendalian melalui analisis dampak lingkungan, pengaturan pengunjung dengan
memperhatikan daya dukung kawasan maupun daya dukung sarana dan prasarana. Namun demikian
pada dasarnya kawasan yang diusahakan tersebut masih tetap dikendalikan oleh pemerintah yang
mempunyai tanggung jawab penuh atas keutuhan dan kelestarian alam.

G. GLOBALISASI DALAM KEPARIWISATAAN


Tantangan terbesar yang harus dihadapi dalam pengembangan kepariwisataan Indonesia adalah
akan segera dilakukannya globalisasidi segala sector, yang secara bertahap akan dimulai dengan
pemberlakuan AFTA pada tahun 2003 yang dilanjutkan dengan APEC pada tahun 2010. Kondisi ini

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 57
akan memberikan akibat dan dampak langsung terhadap proses pembangunan kepariwisataan dan
industri pariwisata. Proteksi pemerintah terhadap industry pariwisata yang melahirkan infant industry
tidak akan dapat dinikmati lagi olah sector swasta. Dalam kaitan inilah terlihat betapa pentingnya
kesiapan SDM pariwisata.
Kendala-kendala pengembangan kepariwisataan nasional sungguh sangat banyak, antara lain
tampak dalam mutu produk wisata yang belum dapat terposisikan secara tepat yang mengakibatkan
lemahnya daya saing di pasar regional maupun internasional, dan globalisasi pasar yang semakin
kompetitif di kawasan destinasi pariwisata dunia, Kawasan Asia-Pasifik, maupun di kawasan Asean.
Pemasaran kepariwisataan nasional pun belum dapat mengikuti current trend dan juga belum dapat
secara proaksi mengantisipasi future trentd pusat-pusat kepariwisataan dunia ( main tourist market).
Kendala yang sangat mendasaryang menjadi salah satu titik lemah kepariwisataan nasional memang
terletak pada kesiapan sumber daya manusia pariwisata, baik yang berfungsi sebagai Pembina
maupun yang berperan sebagai pelaksana kepariwisataan nasional. Faktor kesiapan sumber daya
manusia pariwisata Indonesia ini sangat perlu dicermati secara teliti.
Dilihat dari kemampuan menarik wisatawan mancanegara dikawasan Asean, Indonesia masih
berada di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand, walaupun dalam lama tinggal dan jumlah
pengeluaran Indonesia dapat berada di atas beberapa Negara tersebut. Berdasarkan pada indicator-
indikator tersebut maka diperlukan actor-aktor penggerak kepariwisataan nasional. Dalam hal ini
sector privat, institusi, serta lembaga terkait harus berperan secara sungguh-sungguh agar
perkembangan kepariwisataan dapat berjalan secara optimal.
Dalam konteks inilah peran sumber daya manusia pariwisata memegan peran kuci di dalam
menghadapi tantangan globalisasi. Peningkatan kinerja kepariwisataan untuk meningkatkan daya
saing di pasar internasional melalui perumusan program-program pengembangan pariwisata sangat
tergantung pada kualitas SDM yang berperan untuk merumuskan, melaksanakan, dan sekaligus
mengevaluasi program-program tersebut, baik pada unsure pemerintah, privat, maupun institusi
pendidikan. Oleh sebab itu perlu diciptakan system dan mekanisme pendidikan dan pelatihan sumber
daya manusia pariwisata yang tepat dan sesuai serta berorientasi pada pengembangan kepariwisataan
nasional maupuninternasional melaluipenciptaan tenaga trampil, ahli, dan pemikir yang mampu
mengantisipasi dan melihat ke depan perkembangan kepariwisataan yang semakin kompleks.

H. TANTANGAN GLOBALISASI TERHADAP SEKTOR PARIWISATA


Dalam era globalisasi, dengan perubahan ekonomi dunia yang berjalan semakin capat dan
persaingan yang semakin meningkat, di mana perkembangan teknologi berjalan begitu cepat,
mengakibatkan peran tenaga kerja pekasana (blue colour labour) semakin berkurang. Dalam situasi
yang demikian berlimpahnya tenaga kerja yang tidak disertai dengan kualitas yang tinggi tidak akan
lagi merupakan kaunggulan komparatif, melainkan merupakan beban Negara, bukan saja karena
Negara harus menyediakan lapangan kerja tetapi juga harus meningkatkan kualitas mereka agar
mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif.
Peningkatan kualitas SDM merupakan hajat besar yang menyangkut berbagai aspek dan multi
kompleks serta memerlukan waktu yang lama. Berlakunya globalisasi di segala aspek menuntut
kesiapan masing-masing Negara untuk berkompetisi secara bebas dengan memperlihatkan
keunggulan serta kelebihan yang mereka miliki.
Bentuk-bentuk tantangan globalisasi terhadap sector pariwisata mencakup factor-faktor sebagai
berikut:
1. Mutu Produk
Pada dasarnya produk wisatameliputi tiga unsure, yaitu alam, budaya, serta buatan. Ketiga unsure
produk tersebut tidak secara otomatis dimiliki oleh Negara destinasi wisatawan. Kondisi daya
tarik wisata saat ini, dalam konteks global Negara-negara Asean (khususnya Indonesia), memiliki

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 58
banyak kesamaan, yaitu masih tergantung pada keindahan alam, kacuali Singapura yang
merupakan Negara industry dan perdagangan yang kekuatanya justru terletak pada aset yang
bersifat buatan. Kegiatan pariwisata social (social tourist) masih baru merupakan unsure
pendukung karena pada kenyataannya 1) persentase motivasi berwisata atas daya tarik alam masih
dominan, dan 2) Negara-negara berkembang yang pada umumnya masih sedang mencari bentuk
dalam pembangunan nasionalnya belum cukup mampu untuk mengeksploitasi secara khusus dan
detail atas aspek-aspek yang bersifat social karena beberapa kosideran yang mempengaruhinya,
seperti stabilitas politik dan ekonomi, kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih
tinggi, kasiapan infrastruktur, dan sebagainya.
2. Mekanisme Pasar
Mekanis pasar akan menentukan dan mengatur siapa yang terbaik di antara masing-masing
Negara dengan segala komoditas dan produk pelayanan terbaik yang dimilikinya. Peran dan
campur tangan pemerintah dalam mengatur mekanisme pasar cenderung semakin kecil. Oleh
karena itu peran sector privat dituntut untuk semakin berkualitas dengan segala kemampuannya
agar dapat bertarung di pasar bebas tersebut.
3. Akses Informasi
Kemajuan teknologi yang memungkinkan manusia untuk menyalurkan segala bentuk
keinginannya telah menjadikan dunia sebagai suatu tempat yang tanpa batas. Meluasnya jaringan
internet secara missal akan menciptakan mekanisme informasi yang lengkap. Masukan informasi
yang lengkap tentunya akan menyebabkan para wisatawan semakin mudah untuk menyeleksi
kawasan-kawasan yang akan mereka kunjungi. Namun demikian di sisi lain, bagi para produsen,
kondisi ini justru mengakibatkan naiknya tingkat kompetisi di antara sesame Negara destinasi.
Hanya Negara yang mampu menginformasikan keunggulan produk pariwisatanya secara tepat
sasaran dan mampu mengantisipasi kecenderungan pasarlah yang akan unggul dalam persaingan
global tersebut.
Sebagai gambaran, hingga tahun 1994 Indonesia baru mamiliki 7 kantor PPPI di luar negari yang
berfungsi sebagai marketing intelligences di samping juga berperan sebagai salah satu ujung
tombak pemasaran pariwisata nasional. Jumlah ini jauh lebih sedikit apabila di bandingkan
dengan Filipina (10 kantor), Singapura (16 kantor), Thailand (11 kantor), serta Malaysia (13
kantor).
4. Daya Saing
Aspek daya saing merupakan cerminan kasiapan dan kemampuan produk wisata serta penguasaan
terhadap pasar dan informasi yang diformulasikan serta tepat pada strategi dan program
pengembangan pariwisata.
Faktor-faktor yang memperlihatkan daya saingkepariwisataan Indonesia antara lain:
a. Peta pendapatan: dalam lima tahun terakhir peringkat pertama pendapatan nasional Negara-
nagara Asean di pegang oleh Singapura, yaitu sebesar 32,73% dari total pengeluaran
wisatawan di Asean. Posisi Indonesia pada peringkat ke-3 atau sebesar 18,88%.
b. Peta jumlah wisatawan: secara kuantitas Malaysia pada posisi pertama sebesar 29,5%
sementara Indonesia pada urutan ke-4 (9,98%)
c. Peta asal wisatawan: Thailand adalah Jepang dan Eropa, Malaysia adalah Singapore,
Singapore adalah Jepang dan Eropa, Filipina adalah Amerika Utara, dan Indonesia adalah
Singapura.
d. Peta lama tinggal: Filipina menduduki peringkat pertama (11,5 hari) dan Indonesia pada
urutan ke-2 (10,5 hari).
Keempat peta dominasi tersebut memperhatikan bahwa daya saing pariwisata Indonesia di antara
sesame Negara Asean masih lemah, berada di bawah Singapura dan Thailand serta berimbang dengan
Malaysia.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 59
Antisipasi Indonesia terhadap keempat tantangan globalisasi pariwisata internasional di atas
adalah menciptakan keunggulan kompetitif yang lestari (systainable competitive advantage) yang
menuntut kemampuan sumber daya manusia yang baik dalam menghadapi gangguan perilaku
pesaingserta evoluasi industry secara global.

I. AKTOR/PELAKU PEMBENTUK SDM PARIWISATA


Untuk dapat menciptakan dan membantu SDM pariwisata yang berkualitas dan sesuai dengan
tuntutan perkembangan kapariwisataan nasional, regional, maupun internasional diperlukan
keterlibatan pelaku secara berimbang dan menyeluruh dalam suatu kerangka (comprehensive
framework) yang jelas adapun pelaku tersebut adalah:
1. Pemerintah, yang berperan dalam penciptaan kebijakan, regulasi serta instrument kebijakan yang
sesuai dan dapat mengatur serta mendorong maupun mengarahkan terbentuknya proses SDM
pariwisata.
2. Salah satu srtategi dasar pemerintah yang dijadikan sebagai acuan pembentukan SDM pariwisata
yakni Strategi 234.
Institusi pendidikan, yang berperan dalam menciptakan dan merencanakan program-program
pendidikan dalam system pendidikan nasional dari berbagai tingkat yang sesuai dengan tuntutan
dan mekanisme perkembangan kapariwisataan.

BAB XIV
PENGUKURAN POTENSI PASARAN WISATA

A. Pasaran Wisata
Pasar didefinisikan sebagai kumpulan dari seluruh pembeli actual atau potensial dari suatu produk.
Pasar terdiri dari individu-individu yang mempunyai baik kebutuhan atau hasrat terhadap produk atau
jasa maupun kemampuan, keinginan dan wewenang untuk membeli produk itu. Dalam hal ini pasar
yang akan kita bicarakan adalah pelancong (travelers)
Pasar wisata secara keseluruhan terlalu luas dan beranekaragam kebutuhannya untuk dapat di
puaskan oleh suatu daerah dengan produk wisata yang tertentu. Oleh karena itu diperlukan suatu
sasaran (target) strategi pemasaran yang didasarkan atas segmentasi pasar. Segmentasi pasar tersebut
harus sedemikian rupa sehingga memiliki nilai desain strategi pemasaran tertentuuntuk suatu segmen
tertentu. Langkah-langkah yang diperlukan untuk proses tersebut adalah:
1. Membedakan antara kelompok-kelompok (groups atau segments) yang berlainan yang
membentuk pasar.
2. Memilih satu atau lebih dari segmen ini untuk jadi focus perhatian, dan
3. Mengembangkan produk yang akan disajikan dan strategi-strategi pemasaran yang sesuai dengan
kebutuhan pasar yang dipilih sebagai sasaran.

1. Segmentasi Pasar
Segmentasi pasar adalah proses pembagian suatu pasar sebagai suatu keseluruhan (total market)
ke dalam kelompok-kelompok (groups) orang yang berbeda dan berarti, yang mempunyai
kebutuhan-kebutuhan produk yang relative sama dan harus digarap melalui strategi-strategi
pemasaran secara terpisah.
Prinsip pokok pikiran di dalam menggunakan suatu pendekatan segmentasi adalah bahwa di
dalam suatu pasar yang heterogen adalah lebih baik untuk mengembangkan suatu strategi
pemasaran yang tepat bagi suatu segmen dari pasar secara keseluruhan dari pada mendesain suatu
rencana pemasaran yang diperuntukkan bagi kebutuhan semua orang.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 60
2. Mengidentifiksai Orang Yang Melakukan Perjalanan / Customer
Untuk mengembangkan strategi pemasaran dibutuhkan identifikasi dari pelanggan (customers),
yang dalam hal ini adalah orang-orang yang melakukan perjalanan pada waktu sekarang dan yang
potensial menurut siapa saja mereka itu, misalnya demografi, tempat asal, maksud / tujuan
perjalanan, yang disenangi dan tidak disenangi, besar rombongan dan semua factor yang
diperkirakan ikut menentukan jenis-jenis khusus dari produk, promosi, harga dan distribusi.
Dengan identifikasi terhadap pelanggan ini maka pemasaran produk wisata atau daerah / kawasan
akan dapat dilakukan secara efektif.
Evaluasi terhadap sejumlah variable dan proses coba-coba (trial and error) merupakan cara yang
biasa dilakukan untuk menentukan karakteristik konsemem guna menghasilkan definisi-definisi
yang berarti tentang segmen pasar.
Penantuan segmen pasar dapat dilakukan berbagai cara, yang masing-masing memiliki memiliki
kelemahan dan keunggulan sendiri-sendiri. Diskusi berikut mengidentifikasikan karakteristik-
karakteristik tadi (variables) yang dianggap paling berguna dan banyak digunakan dalam berbagai
studi. Titik mulai (start) yang paling logis adalah dengan analisis terhadap komposisi demografis
dan distribusi geografis dari para wisatawan sekarang ke daerah (wilayah) tertentu. Sebagai
tambahan terhadap berbagai variable tersebut makadapat dilakukan analisis terhadap berbagai
karakteristik perilaku (behavioral characteristics) dan variable-variabel sosialogis atau
psikografis untuk melengkapi profil dari wiswtawan.

Variabel-variabel yang telah terbukti sangat berhasil dalam studi-studi kepariwisataan meliputi:
Variabel-variabel Demografi
a. Karakteristik Keluarga: status perkawinan, besarnya keluarga, umur anak terkecil.
b. Umur.
c. Pekerjaan.
d. Pendidikan.
e. Penghasilan.
Variabel-variabel Geografi
a. Tempat asal.
b. Daerah tujuan.
c. Disribusi regional dari penduduk.
d. Komposisi urban / rural dari penduduk.
Variabel-variabel Perilaku (Behavioral Variables)
a. Mode transportasi.
b. Kegiatan-kegiatan selama perjalanan.
c. Lama perjalanan.
d. Kapan perjalanan dilakukan (musim, hari libur, akhir minggu)
e. Melakukan perjalanan dengan siapa.
Variabel-variabel Sosiologis / Psikografis
a. Alasan (motif) melakukan perjalanan.
b. Faktor-faktor yang dianggap paling menentukan dalam memilih tempat tujuan wisata.
c. Pengaruh anggota keluarga dalam menentukan perilaku perjalanan tertentu.

3. Menentukan Kebutuhan Pelancong / wisatawan


Identifikasi pelancong/wisatawan berdasarkan karakteristik-karakteristik demografi dan perilaku
(behavior) merupakan langkah pertama dalam mengidentifikasi pasar target potensial. Langkah
berikutnya adalah bagaimana kita mengerti dan menafsirkan kebutuhan-kebutuhan

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 61
pelancong/wisatawan, motivasinya melakukan perjalanan, dan sikapnya terhadap daerah-daerah
tujuan wisata.

Ada bermacam-macam alas an orang melakukan perjalanan:


a. Mengetahui dan menikmati keindahan alam ditempat-tempat jauh (di Negara lain).
b. Mengerti dan menghayati kebudayaan-kebudayaan masyarakat Negara lain.
c. Mengembalikan kesegaran fisik.
d. Beristirahat dan menjauhkan diri dari tugas dan kesibukan rutin.
e. Kunjungan keluarga.
f. Mempererat hubungan antar bangsa.
g. Mengikuti konperensi, tugas tertentu, olah raga.
h. Dalam rangka studi dan menambah pengalaman, dan lain-lain.

Adalah jarang sekali terjadi bahwa suatu perjalanan dilakukan hanya terbatas untuk memuaskan
satu kebutuhan saja. Biasanya suatu perjalanan diharapkan akan dapat menghasilkan pengalaman-
pengalaman yang dapat memuaskan banyak kebutuhan.

Setiap pelancong/wisatawan memiliki aneka kebutuhan fisik, sosial dan pribadi, yang
mengharapkan pemuasan dalam rangka pengalaman perjalanannya. Akomodasi dan makanan
jelas merupakan kebutuhan fisik, tetapi latar belakang sosial si wisatawan dan keadaan sosial si
penyaji juga akan mempengaruhi tingkat kepuasan si wisatawan. Jelasnya, pemilihan akomodasi
dan restoran oleh mereka yang mengikuti konvensi akan berbeda dengan pilihan wisatawan
dengan tujuan rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation).

Kebutuhan masing-masing wisatawan sulit untuk dinilai secara khusus karena biasanya manusia
tidak begitu memperhatikan semua kebutuhan yang akan dipuaskannya selama melakukan
perjalanan. Konsekuensi dari hal ini adalah perlu dilakukannya pengukuran tidak langsung untuk
menilai sejauh mana produk yang disajikan tersebut dapat melayani berbagai kebutuhan dan
segmen-segmen target yang dipilih.

Maksud/tujuan perjalanan dapat memberikan berbagai indikasi tentang bagaimana


pelancong/wisatawan mungkin mendapatkan kepuasan untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu.
Kategori maksud perjalanan berikut ini sudah baku sehingga dianjurkan untuk digunakan dalam
pengumpulan data primer agar hasilnya dapat dibandingkan (comparable):
a. Business
b. Convention
c. Visiting Friends and relatives
d. Outdoor recreation
e. Sightseeing
f. Entertainment
g. Other (shopping trips, trips for medical reasons), dll.

Pada setiap kategori maksud perjalanan tersebut terdapat berbagai variasi dalam preferensinya.
Misalnya, pada rekreasi di alam terbuka, ada yang keranjingan main golf, tenis dan berenang
sehingga wisatawan jenis ini tentu akan mencari suatu resort/kawasan yang dapat memberikan
fasilitas untuk itu. Yang lain lebih suka pada kegiatan mendaki gunung, berjemur di pantai,
berselancar (surfing), memancing, berburu, dan lain-lain.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 62
Tujuan utama dari penilaian terhadap kebutuhan wisatawan adalah menentukan factor-faktor apa
yang mempengaruhi si wisatawan untuk memilih suatu daerah tujuan wisata tertentu. Berbagai
jenis perjalanan liburan perlu mendapat perhatian khusus, karena perjalanan bisnis dan perjalanan
dalam rangka kunjungan keluarga atau pribadi memiliki daerah tujuan yang ditentukan oleh
hakikat daripada bidang usaha dan kunjungan keluarga/pribadi itu sendiri, yang oleh karenannya
tidak begitu terpengaruh oleh suatu strategi pemasaran.

Dalam suatu survai, di antara pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut perilaku perjalanan, ada
baiknya ditanyakan, “If your trip was primarily a pleasure trip, net for business or family reasons,
what were the main reasons for deciding to visit Bali/Yogyakarta/North Sumatra rather than
some other place?”

Sering diidentifikasikan empat kelompok factor yang mempengaruhi penentuan pilihan daerah
tujuan wisata, seperti:
a. Fasilitas: akomodasi, atraksi, jalan, tanda-tanda penunjuk arah.
b. Nilai estatis: pemandangan (panorama), iklim santai/terpencil, cuaca.
c. Waktu/biaya: jarak dari tempat asal (rumah), waktu dan biaya perjalanan, harga-harga/tarif-
tarif pelayanan.
d. Kualitas hidup (quality of life): keramah-tamahan penduduk, bebas dari pencemaran,
penampilan perkotaan.

Daftar ini sekedar contoh, dan tidak selalu demikian, walau sering merupakan factor yang
dominan. Tentu saja faktor-faktor tersebut berikut kepentingan relatifnya akan berbeda untuk daerah
yang berbeda. Misalnya, kesempatan pendidikan atau aneka ragam hiburan dapat menggantikan nilai
estatis sebagai suatu factor untuk suatu wilayah tertentu. Faktor-faktor tersebut harus
diidentifikasikan berdasarkan kriteria yang dianggap penting menurut para wisatawan.
Sejalan dengan itu dapat pula dihimpun data mengenai penilaian wisatawan terhadap apa yang
disajikan oleh suatu daerah tujuan wisata. Faktor-faktor yang dapat dinilai meliputi;
a. things to do/activitics,
b. scenery/sightseeing attractions,
c. case of traveling around,
d. service received in facilities and at attractions,
e. cost of things, activitics, and services.

Hasil dari ranking demikian itu kemudian diklasifikasikan silang (cross classified) dengan
variable-variable demografis untuk menentukan pentingnya berbagai faktor terhadap kelompok-
kelompok wisatawan yang berbeda.

B. SUMBER DAN METODE PENGUMPULAN DATA/INFORMASI


Data/informasi yang dibutuhkan untuk analisis potensi pasar telah dijelaskan di depan. Data
sekunder dapat menyajikan informasi mengenai latar belakang tentang perilaku wisatawan, komposisi
dari pasar wisata/perjalanan, dan data perilaku dengan cakupan Negara bagian/propinsi atau nasional
untuk diperbandingkan dengan penemuan-penemuan yang berhubungan dengan karakteristik-
karakteristik pelancong/wisatawan local.

Data sekunder yang tersedia pada tingkat wilayah atau regional dapat dipergunakan untuk
melengkapi data sehingga dapat menghemat beaya. Data primer diperlukan terutama bagi

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 63
pelancong/wisatawan yang sedang malakukan perjalanan ke suatu wilayah, tetapi dapat juga
diperlukan untuk pelancong/wisatawan potensial.

Data sekunder merupakan data yang lebih banyak dikumpulkan oleh orang atau badan lain untuk
tujuan lain, tetapi data ini dapat menyediakan banyak informasi yang dibutuhkan, termasuk mengapa,
di mana, kapan dan bagaimana penduduk melakukan perjalanan, dan karakteristik-karakteristik
demografi dasar dari pelancong/wisatawan pada tingkat regional, Negara bagian/propinsi atau
nasional. Banyak data sekunder yang tersedia relevan untuk kebutuhan perbandingan profil
wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah tujuan.

Data sekunder tidak selalu merupakan data yang dipublikasikan. Banyak informasi yang tersedia
dalam bentuk mentah (raw), yakni data yang tidak pernah dianalisis untuk tujuan pengembangan
perjalanan/wisata. Namun demikian penggunaan data sekunder harus dilakukan dengan hati-hati. Ada
keterbatasan dalam setiap data sekunder sehingga perencanaan harus melalui reliabilitas dan
kegunaan dari data dan dibandingkan dengan waktu dan biaya pengumpulan data atau
mentrasformasikannya kedalam bentuk (form) yang dapat digunakan.

Pertanyaan-pertanyaan berikut ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk menilai data sekunder:
1. Siapa yang mengumpulkan data? (apakah organisasinya dapat dipercaya dan mempunyai
reputasi yang baik?)
2. Mengapa pandangan itu dikumpulkan? (apakah ada titik pangkal pandangan atau alas an
tertentu dari pengumpulan data yang dapat mempengaruhi penafsiran atau presentasi hasil-
hasilnya?)
3. Kapan data dikumpulkan? (apakah data masih berlaku untuk kebutuhan daerah)
4. Bagaimana data dikumpulkan? (Apakah prosedur pengumpulan data direncanakan dan
dilaksanakan secara hati-hati, apakah pengambilan sampel representative, dan sebagainya).
5. Apakah ada perbedaan definisi? (misalnya mengenai perjalanan (trip), wisatawan, dan
sebagainya).

C. MENGUMPULKAN DATA PRIMER


Kebanyakan data yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pasar hanya dapat
diperoleh dari orang yang melakukan perjalanan itu sendiri, seperti data mengenai sikap (attitude) dan
persepsi, data perilaku dan data pengeluaran.

Beberapa data yang diperlukan, seperti besarnya segmen-segmen pasar yang berbeda, bisa
diperoleh dari sumber-sumber data sekunder dengan ruang lingkup propinsi atau nasional, tetapi
survey terhadap mereka yang bebergian pada waktu sekarang merupakan bagian yang penting dalam
pengidentifikasian pasar target.

Untuk mengevaluasi potensi pasar dapat digunakan data sekunder, survey rumahtangga
(household survey), survey pelancong dan survey perusahaan-perusahaan perjalanan. Pelaksanaan
survey rumah tangga untuk mendapatkan sampel pelancong ke suatu daerah tujuan wisata tertentu
dalam jumlah yang cukup banyak akan memerlukan biaya yang sangat banyak. Oleh karenanya
survey ini jarang dilakukan.

Data Sensus Bureau dan Travel Data Center di Negara-negara pasar sering memuat karakteristik-
karakteristik dari orang-orang yang bepergian. Data yang disajikan kedua badan ini biasanya
didasarkan atas survey rumah tangga.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 64
Survey melalui pendekatan biro-biro perjalanan akan memberikan data mengenai volume dan
data local sebagai pelengkap yang meliputi karakteristik-karakteristik perilaku, seperti besarnya
rombongan, waktu bepergian, dan asal geografis. Tetapi pendekatan seperti ini hanya memberi data
perilaku atau demografi secara terbatas dan tidak akan dapat diperoleh data mengenai sikap dan
persepsi.

Survey wisatawan dapat dilakukan pada waktu mereka sedang melakukan perjalanan di suatu
daerah tujuan wisata tertentu. Ada dua pendekatan untuk mengidentifikasikan dan mengadakan
kontak dengan wisatawan, yaitu :
1. Di tapal batas atau pintu-pintu masuk keluar;
2. Di tempat-tempat yang banyak menarik perhatian atau digunakan wisatawan, seperti obyek
wisata ata akomodasi, restoran, terminal, pusat informasi.

Di tempat-tempat seperti itu bisa diperoleh keterangan mengenai lama perjalanan si wisatawan,
apakah dia bermalam ataukah sekedar mampir dalam rangka perjalanan ke daerah tujuan lain.

Ada baiknya juga dilakukan survey terhadap wisatawan di daerah tujuan wisata milik Negara
tetangga yang banyak dikunjungi wisatawan. Walaupun sekarang mereka belum masuk ke dalam
sasaran, tetapi untuk masa mendatang mereka dapat dijadikan sebagai sasaran yang baik dari
pemasaran.

Setiap survey harus menjalankan prosedur sampling bertahap. Tahap-tahap pemilihan sampel
meliputi :
a. Stratifikasi
1) Musim
Pengaruh musim di negeri pasar wisata perlu mendapat perhatian. Sejalan dengan adanya
empat musim dalam setahun di negara-negara pasar wisata tertentu maka peling tidak ada
empat gelombang survey yang harus dilakukan. Walaupun selama berkunjung ke negara
kita mereka hanya akan mendapatkan satu atau dua musim, tetapi musim sepi (off-season)
pun harus juga termasuk dalam sampel.
Gelombang sample harus direncanakan sesuai dengan kegiatan bepergian menurut musim-
musim tersebut. Pengumpulan data pada tiap gelombang harus dilakukan untuk kurun
waktu yang sama panjangnya dan jumlah respondenpun harus ditetapkan sama besarnya.
2) Wilayah/Kawasan
Jika terdapat berbagai perbedaan wilayah/kawasan di dalam daerah tujuan wisata maka
untuk tiap wilayah/kawasan tadi harus ditetapkan sejumlah sampel secara proposional
sesuai dengan tingkat heteroginitas wilayah tersebut.
Supaya diperoleh responden-responden yang benar-benar representatif maka kawasan
yang memiliki variasi daya tarik yang lebih besar diwakili oleh sampel dengan proporsi
yang lebih besar pula.
3) Aksesbilitas
Untuk memudahkan jangkauan pengelolaan dan pengawasan survey serta demi efisiensi
maka dianjurkan untuk mengatur dengan baik proses pelaksanaan survey (interview
dengan mempertimbangkan factor waktu dan biaya. Jika jarak wilayah survey berjauhan
maka jadwal waktu pelaksanaan perlu direncanakan sesuai dengan persediaan tenaga
pertugas lapangan (pewawancara).

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 65
b. Pengelompokan (clustering)
1) Di dalam wilayah
Di dalam tiap wilayah dipilih tempat-tempat yang representatif. Di wilayah perkotaan
harus mencakup lingkungan pusat perbelanjaan dan satu atau lebih lingkungan rekreasi.
2) Di dalam cluster
Di dalam tiap cluster dipilih lagi lokasi-lokasi representative (subclusters), seperti lokasi
hotel/penginapan, atraksi-atraksi, dan fasilitas-fasilitas rekreasi.

c. Pemilihan Responden
1) Waktu/Hari
Pelaksanaan interview di suatu daerah tujuan wisata, misalnya dijadwalkan mulai 08.00
pagi sampai jam 09.00 malam. Agar interview dapat menjangkau semua jenis pengunjung,
maka tempat-tempat pelaksanaan interview harus berubah disepanjang hari dipusatkan di
hotel-hotel dan restoran-restoran. Tengah hari dilakukan di tempat-tempat rekreasi dan
atraksi, sore hari di hotel-hotel lagi dan kemudian pada malam hari di tempat-tempat
hiburan. Pelaksanaan interview harus didistribusikan sepanjang minggu untuk menjamin
tercakupnya semua jenis pengunjung.
2) Responden
Pemilihan responden secara random di tempat atau di lokasi tidaklah praktis. Oleh
karenanya petugas lapangan harus terlebih dahulu mendapat petunjuk pelaksanaan
pemilihan sampel untuk individu-individu yang mewakili pengunjung menurut menurut
kelasnya, seperti orang-orang bepergian dalam rangka bisnis, konvensi, olahraga, liburan,
pengunjung yang bermalam dan pengunjung harian. Survey harus dirancang sedemikian
rupa lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan awal yang dapat menyeleksi mana yang
tergolong tamu perdatang dan mana yang domestic penduduk local.
Cara pemilihan sampel responden wisatawan yang akan meninggalkan Indonesia (bisa juga
diterapkan untuk daerah tujuan wisata yang bukan pintu gerbang masuk keluar dilakukan sebagai
berikut:
a) Pelaksanaan interview ditenteukan satu kali dalam dua hari, atau tiap kali diselang satu hari
istirahat. Misalnya pelaksanaan interview dijadwalkan pada hari-hari Senin, Rabu, Jumat,
Minggu, Selasa dan seterusnya (dilakukan selama tiga bulan, sehingga boleh dikatakan
sampel mewakili tiap hari dalam tiap bulan).
b) Responden harus mewakili semua penumpang dari semua perusahaan penerbangan yang akan
meninggalkan Indonesia. Untuk keperluan itu diperlukan daftar jadwal penerbangan berikut
nomor penerbangan ke semua jurusan. Sampel pesawat yang akan berangkat pada hari
tertentu ditentukan secara proposional sesuai dengan frekuensi penerbangan.
c) Pemilihan responden penumpang pesawat yang telah ditentukan dilakukan pada antrian
menjelang counter urusan imigrasi.
d) Responden yang dipilih merupakan orang yang ke-n, misalnya tiap kali orang yang ke-3 atau
ke-5, dan seterusnya, dalam antrian diberi kuesioner. Proses bisa bermacam-macam
tergantung pada situasi dan kondisi dilapangan.
e) Wawancara dilakukan di ruang tunggu.
DAFTAR PUSTAKA

Wiwoho, Ratna Pudjowati, Yulia Himawati, Pariwisata Citra Dan Manfaatnnya, Bina Rena
Pariwisata, Jakarta, 1990.
Gamal Suwantoro, Perencanaan Produk Wisata, Dinas Pariwisata, Yogyakarta, 1994.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 66
H. Kodhyat, Sejarah Pariwisata dan Perkembangannya di Indonesia, PT. Gramedia
Widiasa.
Lijphart A. Tourism Traffic And Integration Potential, Journal of Common Market Studies,
2 (Februari) 1964, 251262.
Linberg, K. And Hawkens. D.E, The Ecotourism Society, North Bennington, USA, 1993.
Oka A Yoeti, Pengantar Ilmu Pariwisata, Angkasa Offset Bandung, 1992.
Ramaini, Geografi Pariwisata, Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta 1992.
Richer, LK, The Polities of Tourism In ASIA, The University of Hawaii Press, Honolulu,
Hawaii, 1989.
Susetyo Prabowohadi, Teknik Memandu Wisata, Ria, Yogyakarta, 1983.
Bahan Baku Penyuluhan Sadar Wisata, Direktorat Jendral Pariwisata, Jakarta, 1990.
Bahan Pelatihan Manajemen Kepariwisataan, Sekolah Tingii Pariwisata, Bali, 1995.
Bahan Pelatihan Pembangunan Pariwisata Daerah Terpadu, Sekolah Tinggi Pariwisata,
Bandung, 1996.
Kebijaksanaan Pariwisata Nasional, Direktorat Jendral Pariwisata, Jakarta, 1996.
Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 1997.
Undang-undang No. 9 Tahun 1990, tentang Kepariwisataan, Direktorat Jendral Pariwisata,
Jakarta, 1994.

Modul: Introduction To Tourism – Fakultas Bahasa dan Budaya – UNTAG Semarang, by. Yusac L. Diyono, M.Pd Page 67

You might also like