Professional Documents
Culture Documents
net/publication/323356160
CITATIONS READS
0 74
1 author:
Hengki Wijaya
Sekolah Tinggi Filsafat Jaffray Makassar
82 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Hengki Wijaya on 23 February 2018.
Hengki Wijaya
Rangkuman Artikel
Pendidikan merupakan salah satu instrumen utama pembangunan suatu bangsa. Banyak
negara di dunia membuktikan kemajuan yang mereka alami karena faktor pendidikan. John
Dewey sebagai pemikir pendidikan menyebut pendidikan sebagai alat untuk mencapai
kemajuan dan pembaruan sosial (Dewey, 2009). Cita-cita bangsa Indonesia untuk
“mencerdaskan kehidupan bangsa” tersebut masih terasa menjadi harapan yang utopis. Dalam
72 tahun lebih usia kemerdekaan Indonesia, sejumlah masalah dasar masih menghadang
terutama yang berkaitan dengan pemerataan dan mutu pendidikan. Masalah ini disadari, namun
belum sepenuhnya hendak diselesaikan.
Masalah-masalah itu adalah Data Statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menyebutkan bahwa secara nasional, sampai 2017 Angka Partisipasi Murni (APM) yang
menunjukkan semakin tinggi jenjang pendidikan maka nilai APM justru semakin menurun.
Demikian pula masalah besar juga masih ditemukan berkaitan dengan kualitas pendidikan di
Indonesia yang masih rendah. Hal itu setidaknya dilihat dari dua indikator, yaitu hasil ujian
nasional yang masih rendah dan pemeringkatan tes internasional yang masih rendah.
Hal itu terlihat pada tingkat internasional, kualitas pendidikan Indonesia juga belum
beranjak jauh dari posisi sebelumnya. Hasil tes Programme for International Students
Assessment (PISA) yang menguji kemampuan siswa usia 15 tahun atau setara dengan kelas IX
dan X menunjukkan bahwa negara Singapura pada peringkat 1 pada semua mata ujian
sedangkan Indonesia berada pada peringkat 62 (sains), 61 (membaca), dan 63 (matematika). Di
luar dua masalah utama tersebut, pendidikan Indonesia juga menghadapi fenomena munculnya
berbagai prilaku negatif para siswa yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa.
Dalam dokumen Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-
2019 (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015) telah memuat Rencana
Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang (RPPNJP) 2005—2025 yang menyebutkan
visi 2025 adalah: “Menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan
Paripurna).” Disebutkan pula Visi Kemendikbud 2019 yaitu: “Terbentuknya Insan serta
Ekosistem Pendidikan dan Kebudayaan yang Berkarakter dengan Berlandaskan Gotong
Royong.” Visi tersebut belum terelaborasi ke jenjang pendidkan dasar dan juga perlu
diperbaharui sesuai dengan dinamika lingkungan internal dan eksternal terutama yang berkaitan
dengan dinamika global.
Visi pendidikan perlu memperhatikan empat peranan pendidikan di abad 21, yaitu: (1)
kontribusinya terhadap pekerjaan dan masyarakat, (2) pengembangan bakat siswa, (3)
pengembangan tanggungjawab kewarganegaraan, dan (4) menjaga dan meneruskan nilai-nilai
dan tradisi (Trilling, Fadel, 2009). Keempat peranan tersebut sejalan dengan kecenderungan
1
munculnya era pengetahuan atau masyarakat pengetahuan di masa sekarang dan terlebih di
masa depan. Akhirnya visi pendidikan dasar juga harus mencerminkan pendidikan sebagai
pelayanan publik yang memuaskan. Itu sebabnya maka pendidikan dasar juga harus memenuhi
standar pelayanan minimal agar memberikan kepuasan kepada masyarakat.
Pendidikan dasar di Indonesia mengalami sejumlah masalah di antaranya pemerataan
dan mutu pendidikan. Selain itu, pendidikan dasar di Indonesia juga dihadapkan pada berbagai
tantangan terutama yang berkaitan dengan dinamika lingkungan global. Untuk itu maka
pendidikan dasar di Indonesia harus memiliki visi yang jelas yang paling tidak memuat
perspektif global, kemampuan akademik yang handal serta memiliki karakter yang kuat. Untuk
mewujudkan visi tersebut, pendidikan perlu didukung oleh: (1) kurikulum yang berorientasi
pada model pembelajaran mutakhir, (2) guru, kepala sekolah, dan pengawas yang kompeten,
(3) sarana dan prasarana yang memadai, dan (4) pembiayaan yang mencukupi.
Ulasan Artikel
Pendahuluan
Pendidikan dasar adalah dasar awal untuk penguatan pendidikan pada jenjang yang
lebih tinggi. Data Statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwa
secara nasional, sampai 2017 Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah dasar baru mencapai
93,73 persen. Dan semakin menurun pada jenjang yang lebih tinggi maka fenomena ini
menunjukkan bahwa partisipasi tinggi pada pendidikan dasar. Namun hal ini menunjukkan
persoalan besar bahwa stakeholder pendidikan dan pemerintah tidak mampu mendorong
peserta didik pada tingkat dasar untuk meneruskan pendidikannya pada jenjang yang lebih
tinggi. Ibaratnya ada seleksi alamiah yang dimulai dengan pendidikan dasar. Hal tersebut dalam
segi kuantitas. Sebagaimana kuantitas yang semakin rendah pada jenjang yang lebih tinggi
SMA, maka kualitas pendidikan dasar dalam hal ini membaca, ilmu pengetahuan, dan berhitung
juga masih rendah (peringkat 62). Penulis mereviu dan mempertegas tulisan yang disimpulkan
sebagai berikut:
Pendidikan dasar di Indonesia harus memiliki visi yang jelas yang paling tidak memuat
perspektif global, kemampuan akademik yang handal serta memiliki karakter yang kuat. Untuk
mewujudkan visi tersebut, pendidikan perlu didukung oleh: (1) kurikulum yang berorientasi
pada model pembelajaran mutakhir, (2) guru, kepala sekolah, dan pengawas yang kompeten,
(3) sarana dan prasarana yang memadai, dan (4) pembiayaan yang mencukupi.
Suatu ungkapan bahwa bila tidak ada visi maka liarlah manusia. Visi adalah sesuatu
yang tidak terlihat, namun dapat dialami dan diwujudkan. Visi membuat seorang pemimpin
sekolah memiliki motivasi kuat, dan mimpi yang besar untuk mewujudkan visi tersebut.
Seorang pemimpin visioner tetap setia pada visi sekalipun banyak tantangan yang dihadapi.
Sayangnya visi sekolah hanyalah simbol dan kata-kata belaka. Pemahaman visi yang benar dan
bukan baik akan membawa pemahaman visi pemimpin kepada bawahan dan pelaksanaannya
menjadi benar dan tidak kehilangan arah tujuan pendidikan.
Visi adalah apa yang ingin dicapai misalnya memiliki pendidikan yang berkualitas dan
pelatihan untuk pengembangan diri. Sementara misi adalah cara untuk mencapai visi misalnya
untuk bekerja dengan pemangku kepentingan pendidikan lainnya untuk memberikan,
mempromosikan dan mengoordinasikan pelatihan dan penelitian berkualitas untuk
pembangunan pendidikan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab secara kewarganegaraan.
2
Visi dan misi pernyataan pendidikan yang ditetapkan untuk mewujudkan hasil pendidikan yang
lebih baik dalam sistem yang diberikan. Itu adalah cita-cita nilai dan kepercayaan adalah awal
dari visi yang kuat. Pernyataan misi memberi motivasi pendidikan lebih kuat dan memberi
orang tua gambaran yang jelas tentang nilai sekolah apa adanya (Thomas, 2013:98).
Visi dan misi lahir dari pergumulan filsafat pendidikan yang dituangkan dalam tujuan
pendidikan nasional yang diaplikasikan dalam adaministrasi sekolah. Melalui administrasi
sekolah ini maka visi dan misi sekolah tercetus. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di
bawah ini sebagai contoh pendidikan nasional Oman (Al-ani, 2014:174).
3
ketidakpahamannya yang nanti tercermin dalam ketidakmampuannya menjawab tes yang
diberikan (Musyaddad, 2013:53). Selain itu, substansi kurikulum dalam hal kepadatan materi
tidak signifikan dengan alokasi waktu tersedia. Ini juga merupakan salah satu sebab bahwa
materi yang dibelajarkan di kelas kurang bermakna dan kurang terlihat relevansinya bagi siswa
(Suyanto, 2002: 23).
Solusi bagi persoalan ini adalah hal yang dapat dibenahi adalah pelaksanaan dan
tuntutan yang diberikan kepada pelaksana kurikulum ini. Contohnya, jika guru di sekolah
diberikan keleluasaan dalam menjalankan kurikulum (asal masih berada pada koridornya) maka
janganlah guru dituntut untuk menghabiskan materi. Bukankah pembelajaran akan lebih
bermakna jika siswa benar-benar memahami materi walaupun sedikit, daripada banyak tapi
yang diketahui hanya permukaannya saja (Musyaddad, 2013:55).
Kurikulum hendaknya memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada guru untuk
berkreativitas sesuai kebutuhan siswa dan budaya sekolah yang berbeda-beda dengan daerah
lain. Dengan kata lain, guru memiliki otonomi untuk mengembangkan kurikulum yang benar-
benar terfokus kepada siswa dan tidak terfokus pada kebijakan pemerintah pusat. Kurikulum
yang mengabaikan potensi lokal atau kearifan lokal dan letak geografis suatu daerah tentunya
akan memengaruhi pencapaian siswa dalam belajar. Bukan apa yang hendak guru lakukan,
tetapi apa yang dibutuhkan siswa itulah yang dipikirkan guru untuk dilakukan. Artinya budaya
sekolah dengan beragam budaya dalam kelas di mana siswanya memiliki perbedaan budaya dan
budaya pendidikan didalam rumah atau keluarga maka perlu dikondisikan sekolah yang dapat
mengakomodir semua keberagaman tersebut.
Suatu hasil penelitian pada etnik Thailand menunjukkan kesimpulan bahwa pendidikan
dasar untuk kelompok etnis Thailand masih memiliki beberapa masalah yang mengakar.
Sebagai contoh, kurikulum tidak sesuai dengan budaya dan kepercayaan kelompok etnis
Thailand di dataran tinggi dan daerah perbatasan. Masalah dengan kekurangan personil dalam
pendidikan di dataran tinggi masih bertahan. Selain itu, guru tidak mengerti gaya hidup etnik,
yang telah terbukti menjadi hambatan yang utama. Akibatnya, penyediaan pendidikan dasar
untuk kelompok etnis Thailand harus memasukkan hal berikut dalam kurikulumnya:
pengetahuan kelompok etnis Thailand, pengelolaan sekolah, dan penyusunan kebijakan
pendidikan untuk kelompok etnis Thailand. Faktor-faktor ini disarankan untuk membuat
Kebijakan pendidikan dasar untuk kelompok etnis Thailand yang berkelanjutan. Pelaku kunci
ditemukan sebagai yang terpenting penggerak kebijakan dan mekanisme untuk
mempromosikan pendidikan dasar untuk kelompok etnis Thailand, terdiri dari: 1) Kantor
Pelayanan Wilayah Pendidikan Dasar, 2) masyarakat setempat, 3) rohaniawan, 4) organisasi
masyarakat sipil, dan 5) sekolah atau pendidikan institut (Keawsomnuk, 2017:104).
4
lebih efektif mengenai masalah pedagogis, berdasarkan pada kebutuhan mereka yang berbeda.
c) Pembuatan sistem penilaian kriteria sehingga kompetensi profesional guru dapat dievaluasi.
d) Konfigurasi kerangka evaluasi, evaluasi diri, pelatihan profesional guru. Data ini
berkontribusi pada pemahaman guru terhadap diri mereka sendiri, terlepas dari konteks di mana
mereka bekerja, karena kualifikasi dasar yang berkontribusi terhadap keefektifannya dibuat
sketsa (Liakopoulou, 2011:73-74).
Penelitian di Negeria memberikan kesimpulan bagaimana mengembangkan kompetensi
guru dengan melakukan beberapa hal: (Olateru-olagbegi, 2015:8)
Pertama, untuk mempersiapkannya pelajar untuk kehidupan efektif di abad 21 ini,
proses instruksional harus beralih dari metodologi berbasis buku teks dan berbasis guru ke arah
fleksibel, metodologi yang kreatif, inovatif dan terpelajar (Akudolu, 2012). Juga strategi
instruksional harus mengatasi bias saat ini untuk kuliah dan termasuk proyek dan kerja berbasis
lapangan menggunakan TIK untuk mendorong pengetahuan kolaboratif aplikasi dan ciptaan
oleh peserta didik (Bose, 2011:2; Akudolu, 2012).
Kedua, kualitas guru harus ditingkatkan melalui peningkatan remunerasi sehingga
terus-menerus menggunakan lulusan terbaik untuk profesinya. Juga, penekanan pada pelatihan
dan pelatihan ulang guru untuk membantu mereka berkembang dalam keterampilan
instruksional dan keahlian dalam penggunaan teknologi pendidikan. Juga fasilitas pelatihan
guru harus memiliki staf yang memadai.
Ketiga penyediaan infrastruktur dan fasilitas instruksional yang memadai seperti
komputer, peralatan laboratorium, furnitur, toilet, bengkel dan peralatan untuk mata pelajaran
kejuruan di sekolah adalah terpenting.
Ketujuh, pengawasan transparan atas sektor pendidikan dan kerja sama dari semua
pemangku kepentingan dalam pendidikan sangat penting
5
4. Pembiayaan Yang Mencukupi
Biaya pendidikan mahal? Sebagian besar masyarakat biaya pendidikan masih dianggap
mahal. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun, yang sejatinya masih menjadi pekerjaan rumah
bagi kita. Karena pada kenyataannya banyak anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah atau
putus sekolah dengan alasan biaya. Padahal ada dana bantuan dari pusat seperti dana BOS, tapi
tetap saja ada pungutan-pungutan liar yang dilakukan sekolah berkedok kesepakatan antara
sekolah dan orang tua siswa. Tapi serta merta kita tidak bisa menyalahkan sekolah saja. Praktik
di luar, dana bantuan dari pusat tidak utuh sampai di sekolah. Entah di tingkat mana dana-dana
tersebut dipangkas oleh oknum-oknum yang terhormat (Musyaddad, 2013:53).
Masalah biaya, jika semua pemangku pendidikan menjalakan program dengan benar,
anggaran pendidikan di negara ini tidaklah kurang. Sayangnya dengan adanya permainan
oknum-oknum, segala hal menjadi kurang, pemerataan penerimaan dana pendidikan pun tidak
seimbang. Pendidikan yang berkualitas memang tidak murah, atau tepatnya bisa kita katakan
tidak harus murah atau gratis. Pemerintah seharusnya menjamin bahwa setiap warga
negaranya memperoleh pendidikan. Menjamin pula bahwa masyarakat bawah bisa mengakses
pendidikan yang bermutu. Idealnya pendidikan di Indonesia harus dapat dikenyam oleh anak
usia sekolah minimal SMA sederajat, tanpa memandang anak tersebut berasal dari keluarga
kaya ataupun miskin (Musyaddad, 2013:55-56).
Dengan demikian, anak-anak yang pada saat ini ada di TK dan SD nantinya dapat
menikmati jenjang yang lebih tinggi, dan dapat lebih baik daripada generasi sebelumnya. Saat
ini Indonesia harus bekerja lebih keras untuk pemerataan pendidikan di bangsa tercinta ini
termasuk kurikulum berbasis karakter yang multikultural ataupun pengembangan kurikulum
berbasis budaya lokal untuk satu tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan visi yang
benar.
Daftar Pustaka
Al-ani, By Wajeha Thabit. 2014. “Core Values Matrix of the Philosophy of Basic Education
in Oman ( PBEO ),” no. May:167–82.
Keawsomnuk, Phathombut. 2017. “Management of Basic Education for Ethnic Groups in
Highland and Border Regions of Thailand.” Kasetsart Journal of Social Sciences 38 (2).
Elsevier Ltd:97–104. https://doi.org/10.1016/j.kjss.2016.11.004.
Liakopoulou, Maria. 2011. “The Professional Competence of Teachers : Which Qualities ,
Attitudes , Skills and Knowledge Contribute to a Teacher ’ S Effectiveness ?”
International Journal of Humanities and Social Science 1 (21):66–78.
Musyaddad, Kholid. 2013. “Problematika Pendidikan Di Indonesia.” Edu-Bio 4.
Olateru-olagbegi, Adesikeola. 2015. “A Critical Review of the Revised 9-Year Basic
Education Curriculum ( BEC ) in Nigeria,” 1–13.
Suyanto. 2002. Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru:Tantangan Global Pendidikan
Nasional. Jakarta : Grasindo.
Thomas, Eric. 2013. “Philosophy as a Key Instrument in Establishing Curriculum ,
Educational Policy , Objectives , Goals of Education , Vision and Mission of Education.”
4 (11):95–102.