Professional Documents
Culture Documents
Virus) Yang Termasuk Dalam Famili Retroviridae. Penyakit Ini Ditandai Oleh Infeksi Oportunistik
Virus) Yang Termasuk Dalam Famili Retroviridae. Penyakit Ini Ditandai Oleh Infeksi Oportunistik
Definisi HIV/AIDS
AIDS dapat diartikan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus) yang termasuk dalam famili retroviridae. Penyakit ini ditandai oleh infeksi oportunistik
dan atau beberapa jenis keganasan tertentu. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan dengan AIDS
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yaitu: H= Human (manusia), I= Immuno
deficiency (berkurangnya kekebalan), V= Virus.
Maka dapat dikatakan HIV adalah virus yang menyerang dan merusak sel kekebalan
tubuh manusia sehingga tubuh kehilangan daya tahan dan mudah terserang berbagai penyakit
antara lain TBC, diare, sakit kulit, dll. Kumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh kita
itulah yang disebut AIDS, yaitu: A= Acquired (didapat), I= Immune (kekebalan tubuh),D=
Deficiency (kekurangan), S= Syndrome (gejala). Maka, selama bertahun-tahun orang dapat
terinfeksi HIV sebelum akhirnya mengidap AIDS. Namun penyakit yang paling sering
ditemukan pada penderita AIDS adalah sejenis radang paru-paru yang langka, yang dikenal
dengan nama pneumocystis carinii pneumonia (PCP), dan sejenis kanker kulit yang langka yaitu
kaposi’s sarcoma (KS).
Jadi AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem
kekebalan tubuh yang dibentuk setelah kita lahir dan disebabkan oleh HIV atau Human
Immunodeficiency Virus. AIDS bukan penyakit turunan, oleh sebab itu dapat menulari siapa saja.
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah
ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa
disembuhkan.
Penyakit ini kadang disebut “infeksi oportunistik”, karena penyakit ini menyerang dengan
cara memanfaatkan kesempatan ketika kekebalan tubuh menurun sehingga kanker dan infeksi
oportunistik inilah yang dapat menyebabkan kematian. Biasanya penyakit ini baru muncul dua
sampai tiga tahun setelah penderita didiagnosis mengidap AIDS. Orang yang mengidap KS
mempunyai kesempatan hidup lebih lama dibandingkan orang yang terkena infeksi oportunistik.
Akan tetapi belum ada seorang pun yang diketahui benar-benar sembuh dari AIDS. Seseorang
yang telah terinfeksi HIV belum tentu terlihat sakit. Secara fisik dia akan sama dengan orang
yang tidak terinfeksi HIV. Apakah seseorang sudah tertular HIV atau tidak hanya bisa diketahui
melalui tes darah. Oleh karena itu 90% dari pengidap AIDS tidak menyadari bahwa mereka telah
tertular virus AIDS, yaitu HIV karena masa inkubasi penyakit ini termasuk lama dan itulah
sebabnya mengapa penyakit ini sangat cepat tertular dari satu orang ke orang lain. Masa inkubasi
adalah periode atau masa dari saat penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh (saat penularan)
sampai timbulnya penyakit.
HIV/AIDS dapat juga dapat berupa sindrom akibat defisiensi imunitas seluler tanpa
penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik dan keganasan berakibat
fatal. Munculnya sindrom ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh
dimana proses ini tidak terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun.
A. Perberdaan HIV dan AIDS
Fase HIV adalah fase dimana virus masuk ke dalam tubuh dan tubuh mulai
melakukan perlawanan dengan menciptakan antibodi. Pada fase ini, sebagian besar orang tidak
merasakan gejalanya sehingga disebut fase tanpa gejala.
Fase AIDS, adalah saat tubuh sudah tidak mampu melawan penyakit-penyakit yang
masuk dan menginfeksi tubuh. Biasanya dikatakan fase AIDS setalah muncul 2 atau lebih gejala.
Misal flu yang sulit sembuh diiringi diare dan menurunnya berat badan hingga >10%. Untuk
memudahkan penjelasannya. Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) dibagi dalam 4 Stadium
perkembangan, yaitu:
1. Stadium awal infeksi HIV, menunjukkan gejala-gejala seperti : demam, kelelahan,
nyeri sendi, pembesaran kelenjar getah bening. Gejala-gejala ini menyerupai
influenza/monokleosis.
2. Stadium tanpa gejala, yaitu stadium dimana ODHA nampak sehat, namun dapat
merupakan sumber penularan infeksi HIV. Masa ini bisa mencapai 5 hingga 10
tahun, bergantung dengan kekebalan tubuh dan kesehatan seseorang.
3. Stadium ARC (AIDS Related Complex), memperlihatkan gejala-gejala seperti
demam lebih dari 38oC secara berkala/terus-menerus, menurunnya berat badan
lebih dari 10% dalam waktu 3 bulan, pembesaran kelenjar getah bening,
diare/mencret secara berkala/terus-menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab
yang jelas, kelemahan tubuh yang menurunkan aktifitas fisik, berkeringat pada
waktu malam.
B. Epidemiologi HIVAIDS
HIV pertama kali ditemukan oleh Dr. Luc Montagnier dan kawan-kawan dari Institut
Pasteur perancis pada Januari 1983. Virus ini diisolasi dari kelenjar getah bening yang
membengkak pada tubuh ODHA, sehingga virus ini pertama-tama dinamakan Limphadenopathy
Associated Virus (LAV). Pada bulan Juli 1984 Dr. Robert Gallo dari lembaga kanker nasional
(NIC), di Amerika Serikat juga menyatakan bahwa dia menemukan virus baru dari seorang
ODHA dengan memberikan nama Human T-Lymphocytic Virus tipe III (HTLV III).
Imnuan lain J. Levy juga menemukan virus penyebab AIDS yang ia namakan AIDS
Related Virus disingkat ARV. Akhir Mei 1986, komisi taksonomi internasional sepakat untuk
menyebut nama virus penyebab AIDS ini adalah Human Immunodificeincy Virus (HIV). Di
Indonesia kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada 1987 yang menimpa seorang warga negara
asing di Bali. Tahun berikutnya mulai dilaporkan adanya kasus di beberapa provinsi.
Karena AIDS bukan penyakit maka AIDS tidak menular, yang menular adalah HIV
yaitu virus yang menyebabkan kekebalan tubuh mencapai masa AIDS. Virus ini terdapat dalam
larutan darah, cairan sperma dan cairan vagina, dan bisa menular pula melaui kontak darah atau
cairan tersebut. Pada cairan tubuh lain konsentrasi HIV sangat rendah sehingga tidak bisa
menjadi media atau saluran penularan.
Tidak ada gejala khusus jika seseorang sudah terinfeksi HIV atau dengan kata lain
orang yang mengidap HIV tidak bisa dikenali melalui diagnosis gejala tertentu, disamping itu
orang yang terinfeksi HIV bisa tidak merasakan sakit. Berbulan-bulan atau tahun seseorang yang
sudah terinfeksi dapat bertahan tanpa menunjukkan gejala klinis yang khas tetapi baru tampak
pada tahap AIDS.
Secara epidemiologik yang penting sebagai media perantara virus HIV adalah semen,
darah dan cairan vagina atau serviks. Penularan virus HIV secara pasti diketahui melalui
hubungan seksual (homoseksual, biseksual dan hetero-seksual) yang tidak aman, yaitu berganti-
ganti pasangan, seperti pada promiskuitas. Penyebaran secara ini merupakan penyebab 90%
infeksi baru di seluruh dunia. Penderita penyakit menular seksual terutama ulkus genital,
menularkan HIV 30 kali lebih mudah dibandingkan orang yang tidak menderitanya. Parenteral,
yaitu melalui suntikan yang tidak steril, misalnya pada pengguna narkotik suntik, pelayanan
kesehatan yang tidak memperhatikan sterilitas, mempergunakan produk darah yang tidak bebas
HIV, serta petugas kesehatan yang merawat penderita HIV/AIDS secara kurang hati-hati.
Perinatal, yaitu dari ibu yang mengidap HIV kepada janin yang dikandungnya. Transmisi HIV-I
dari ibu ke janin dapat mencapai 30%, sedangkan HIV-2 hanya 10%. Penularan secara ini
biasanya terjadi pada akhir kehamilan atau saat persalinan. Bila antigen p24 ibu jumlahnya
banyak, dan atau jumlah reseptor CD4 kurang dari 700/ml, maka penularan lebih mudah terjadi.
Ternyata HIV masih mungkin ditularkan melalui air susu ibu.
Berdasarkan cara penularan, insidensi tertinggi penularan AIDS melalui hubungan
heteroseksual diikuti pengguna narkotika (nafza). Secara umum ada 5 faktor yang perlu
diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa
agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entree).
Gambaran insidensi jumlah penderita AIDS berdasarkan cara penularan AIDS dapat dilihat pada
grafik.
Pada 10 tahun pertama sejak penderita AIDS pertama ditemukan di Indonesia,
peningkatan jumlah kasus AIDS masih rendah. Pada akhir 1997 jumlah kasus AIDS kumulatif
153 kasus dan HIV positif baru 486 orang yang diperoleh dari serosurvei di daerah sentinel. Pada
akhir abad ke 20 terlihat kenaikan yang sangat berarti dari jumlah kasus AIDS dan di beberapa
daerah pada sub-populasi tertentu, angka prevalensi sudah mencapai 5%, sehingga sejak itu
Indonesia dimasukkan kedalam kelompok negara dengan epidemi terkonsentrasi. Peningkatan
jumlah penderita AIDS di Indonesia tiap tahun ditunjukkan pada gambar.
Karakteristik HIV:
a. Tidak dapat hidup di luar tubuh manusia
b. Merupakan virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia
c. Kerusakan sistem kekebalan tubuh menimbulkan kerentanan terhadap infeksi penyakit
d. Semua orang dapat terinfeksi HIV
e. Orang dengan HIV + terlihat sehat dan merasa sehat
f. Orang dengan HIV + tidak tahu bahwa dirinya sudah terinfeksi HIV
g. Seorang pengidap HIV yang belum menunjukkan gejala dapat menularkan kepada orang lain.
Satu-satunya cara untuk mendapatkan kepastian infeksi HIV yaitu dengan tes darah.
Virus HIV termasuk virus RNA positif yang berkapsul. Diameternya sekitar 100 nm
dan mengandung dua salinan genom RNA yang dilapisi oleh protein nukleokapsid seperti terlihat
pada gambar. Pada permukaan kapsul virus terdapat glikoprotein transmembran gp41 dan
glikoprotein permukaan gp120. Di antara nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein.
Selain itu juga terdapat tiga protein spesifik untuk virus HIV, yaitu enzim reverse transkriptase
(RT), protease (PR), dan integrase (IN). Retrovirus juga memiliki sejumlah gen spesifik sesuai
dengan spesies virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi struktural dan
sintesis DNA), serta env (untuk fusi kapsul virus dengan membran plasma sel pejamu).
Infeksi HIV terjadi saat HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper
dengan melekatkan dirinya pada protein permukaan CD4+. CD4+ berikatan dengan gp120
berupa glikoprotein yang terdapat pada selubung virus HIV. Setelah terjadi ikatan maka RNA
virus masuk kedalam sitoplasma sel dan berubah menjadi DNA dengan bantuan enzim RT.
Setelah terbentuk DNA, virus menerobos masuk kedalam inti sel. Dalam inti sel, DNA HIV
disatukan pada DNA sel yang terinfeksi dengan bantuan enzim integrase. Waktu sel yang
terinfeksi menggandakan diri, DNA HIV diaktifkan dan membuat bahan baku untuk virus baru.
Virus yang belum matang mendesak ke luar sel yang terinfeksi dengan proses yang disebut
budding atau tonjolan. Virus yang belum matang melepaskan diri dari sel yang terinfeksi.
Setelah melepaskan diri, virus baru menjadi matang dengan terpotongnya bahan baku oleh enzim
protease dan kemudian dirakit menjadi virus yang siap bekerja. Keseluruhan siklus hidup HIV
dapat dilihat pada gambar.
E. Patogenesis HIV/AIDS
Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk
menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan
HIV. Penyakit HIV/AIDS dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh
respons imun adaptif dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan
progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan
jumlah sel CD4+ dalam darah.
Setelah terjadi infeksi primer, sel dendrit di epitel akan menangkap virus kemudian
bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yaitu CCR5 yang
berperan dalam pengikatan HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke
jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel CD4+ melalui
kontak langsung antar sel. Dari jaringan limfoid, HIV masuk ke dalam aliran darah dan
kemudian menginfeksi organ-organ tubuh.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah
banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai
dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya).
Setelah terjadi penyebaran infeksi HIV, terbentuk respons imun adaptif baik humoral maupun
selular terhadap antigen virus. Respons imun ini dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan
produksi virus yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan
pertama.
Setelah terjadi infeksi akut dilanjutkan dengan fase kedua dimana kelenjar getah
bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun
masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis
infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase
ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel tidak mengandung HIV. Kendati demikian,
penghancuran sel CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel CD4+ yang
bersirkulasi semakin berkurang. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel CD4+ yang
hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun siklus infeksi virus, kematian sel dan
infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ di
jaringan limfoid dan sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain dan r espons imun
terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi
seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan
viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma,
kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal dan degenerasi susunan saraf pusat. Gambaran
jumlah CD+ dalam perjalanan infeksi HIV sampai tahap AIDS dapat dilihat pada gambar.
Virus HIV yang menginfeksi seseorang dapat menimbulkan gejala klinis berbeda-
beda. Lesi-lesi yang muncul sesuai dengan tahap infeksi, mulai dari akut sampai dengan
gambaran AIDS yang sempurna (full-blown AIDS). Kecepatan perkembangan penyakit
bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan hingga lebih 20 tahun. Waktu yang diperlukan
untuk berkembang menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun. Perjalanan infeksi HIV dapat dilihat
pada gambar.
F. Diagnosis HIV/AIDS
Dalam menentukan diagnosis HIV positif dapat ditegakkan berdasarkan beberapa
hal. Dalam menentukan diagnosis awal dapat dilihat dari riwayat penyakit-penyakit yang pernah
diderita yang menunjukkan gejala HIV dan pada pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda infeksi
opurtunistik. Selain itu riwayat pergaulan dapat membantu dalam menegakkan diagnosa AIDS
karena dapat menjadi sumber informasi awal penularan penyakit, hal ini seperti yang terlihat
pada tabel
I. Komplikasi HIV/AIDS
1. Penyakit Saluran Pernapasan.
Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP jarang dijumpai pada orang sehat yang
memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis,
perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini
umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih
merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya
indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL. Tuberkulosis
(TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat
ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia
dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV,
serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap
berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena
digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah
demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada
stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-
paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang
menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya
bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai
infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan,
hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat. Dengan demikian,
gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit
ekstrapulmoner.
2. Penyakit Saluran Pencernaan.
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari
mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur
(jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat
disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena
berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella,
Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak
umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan
virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang
digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu
sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan
untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi
HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan
menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang
berhubungan dengan HIV.
3. Penyakit Syaraf dan Jiwa.
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada
syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf
yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut
Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut
(toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada
mata dan paru-paru. Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi
otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat
menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin
mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang
menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga
merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya
terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem
kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang
cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam
waktu sebulan setelah diagnosis.
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia)
yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan
oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan
mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.
Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan
motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan
keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka
kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%, namun di India
hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya
perbedaan subtipe HIV di India.
4. Kanker dan Tumor Ganas.
Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik;
yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus
papiloma manusia (HPV).
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV.
Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu
pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili
gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma
Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi
dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel
darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt
(Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma
(DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang
terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada
beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh
virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini
disebabkan oleh virus papiloma manusia. Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor
lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun
demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus besar
(colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat
dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS,
kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang
sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang
terinfeksi HIV.
5. Infeksi oportunistik lainnya.
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,
terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi
Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan
gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang
pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang
disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi
oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang
positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
J. Penatalaksanaan HIV/AIDS
Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu pengobatan
untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), pengobatan untuk
mengatasi berbagai penyakit infeksi opportunistik menyertai infeksi HIV/AIDS dan pengobatan
suportif.
1. Terapi antiretroviral (ARV)
Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (Highly Active
Antiretroviral Therapy), yang menggunakan kombinasi minimal tiga obat antiretroviral. Terapi
ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus (viral load) sampai dengan kadar di bawah
ambang deteksi. Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena
obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. ARV dapat diberikan apabila infeksi HIV telah
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan dibuktikan secara laboratoris. Alur
pemberian terapi ARV.
Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala
yang termasuk dalam kriteria diagnoss AIDS atau menunjukkan gejala yang sangat berat tanpa
melihat jumlah CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan jumlah
limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350
sel/mm3 dapatditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit
CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat
dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan
jumlah limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.
Keadaan untuk memulai terapi ARV ditunjukkan pada table.
Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat ARV yang
berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim yang
diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse transcriptase (RT) dan protease. Inhibitor RT ini
terdiri dari inhibitor dengan senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan
nonnukleosid (nonnucleoside-based inhibitor). Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti
nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI), protease inhibitor (PI).
Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor atau NRTI merupakan
analog nukleosida. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptase
selama proses transkripsi RNA virus pada DNA host. Analog NRTI akan mengalami fosforilasi
menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida.
Akibatnya rantai DNA virus akan mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI akan berikatan
langsung dengan enzim reverse transkriptase dan menginaktifkannya. Obat yang termasuk dalam
golongan NRTI antara lain Abacavir (ABC), Zidovudine (AZT), Emtricitabine (FTC),
Didanosine (ddI), Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir. Obat yang termasuk
NNRTI antara lain Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP), Delavirdine.
Protese Inhibitor (PI) bekerja dengan cara menghambat protease HIV. Setelah
sintesis mRNA dan poliprotein HIV terjadi, tahap selanjutnya protease HIV akan memecah
poliprotein HIV menjadi sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan
perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius
terhadap sel. Yang termasuk golongan PI antara lain Ritonavir (RTV), Atazanavir (ATV), Fos-
Amprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir (LPV) and Saquinavir (SQV).
Terapi lini pertama yang direkomendasikan WHO adalah kombinasi dua obat
golongan NRTI dengan satu obat golongan NNRTI. Kombinasi ini mempunyai efek yang lebih
baik dibandingkan kombinasi obat yang lain dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena
terdapat generiknya. Analog thiacytadine (3 TC atau FTC) merupakan obat pilihan dalam terapi
lini pertama. 3 TC atau FTC dapat dikombinasi dengan analog nukleosida atau nukleotida seperti
AZT, TDF, ABC atau d4T. Didanosine (ddI) merupakan analog adenosine direkomendasikan
untuk terapi lini kedua. Obat golongan NNRTI, baik EFV atau NVP dapat dipilih untuk
dikombanasikan dengan obat NRTI sebagai terapi lini pertama. Terapi lini pertama dapat juga
dengan mengkombinasikan 3 obat golongan NRTI apabila obat golongan NNRTI sulit untuk
diperoleh. Pemilihan regimen obat ARV sebagai lini pertama.
Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan dapat
digunakan untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV. Kegagalan terapi
dapat dilihat secara klinis dengan menilai perkembangan penyakit secara imunologis dengan
penghitungan CD4+ dan atau secara virologi dengan mengukur viral-load. Kegagalan terapi
terjadi apabila terjadi penurunan jumlah CD4+.
Selain itu terjadinya toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek
samping dari obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat
dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil
pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam kombinasi obat yang dipakai.
Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom pemulihan kekebalan
(immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul pada
awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa
minggu setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang
semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan gangguan kebalan tubuh
yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari
infeksi oportunistik.
Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi lini pertama
dan didapat tanda terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan untuk mengganti terapi
Pada kegagalan terapi dianjurkan untuk mengganti semua obat lini pertama dengan
rejimen lini kedua. Rejimen lini kedua pengganti harus terdiri dari obat yang kuat untuk
melawan galur/strain virus. Terapi lini kedua yang direkomendasikan WHO terdiri dari
kombinasi 2 regimen obat golongan NRTI dengan regimen obat golongan PI dosis rendah.
Ritonavir merupakan pilihan utama golongan PI dalam terapi lini kedua. Golongan NRTI yang
menjadi pilihan untuk terapi lini kedua adalah ddI atau TDF. Penambahan golongan NNRTI
dapat digunakan apabila pada terapi lini pertama menggunakan 3 obat golongan NRTI.
Pemilihan regimen obat ARV untuk lini kedua dapat dilihat pada gambar.
2. Terapi Infeksi Opportunistik
Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas AIDS, dengan
angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik disesuaikan dengan infeksi-infeksi
yang sebetulnya berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita,
sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita.
3. Pencegahan
Kegiatan pencegahan bagi kemungkinan penyebarluasan HIV/AIDS dapat dilakukan
dengan tujuan:
1) Mencegah tertular virus dari pengidap HIV/AIDS.
2) Mencegah agar virus HIV tidak tertularkan kepada orang lain
Cara penularan dan beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tidak tertular oleh virus
HIV ini adalah :
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif M. 2000. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) Edisi III. Jakarta: Kapita
Selekta Kedokteran
Lan, Virginia M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit - Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) Edisi III. Jakarta: EGC
Merati, Tuti P. Respon Imun Infeksi HIV. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Nasronuddin. 2007. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial. Surabaya:
Airlangga University Press