You are on page 1of 64

JAI

Volume III Nomor 01, Maret 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia


Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia
melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan
Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif
(PERDATIN) Jawa Tengah
JAIJurnal Anestesiologi Indonesia Sejawat terhormat,

Pelindung: Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini


 Dekan Fakultas Kedokteran memuat artikel penelitian klinik dan preklinik.
Universitas Diponegoro
 Ketua Program Studi Anestesiologi Diantaranya mengenai pengaruh propofol dan
dan Terapi Intensif FK UNDIP etomidat terhadap agregasi trombosit, oral
 Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis hygiene menggunakan povidone iodine dan
Anestesi dan Terapi Intensif chlorhexidine, pengaruh pretreatment vitamin C
(PERDATIN) Jawa Tengah
terhadap kadar kortisol dan manfaat N2O untuk
Ketua Redaksi: mempercepat induksi dengan sevofluran.
dr. Uripno Budiono, SpAn
Dua tinjauan pustaka, mengenai mekanisme obat
Wakil Ketua Redaksi: anestesi lokal dan efek supresi imun pada
dr. Johan Arifin, SpAn, KAP anestesi epidural diharapkan menambah
Anggota Redaksi: pengetahuan kita dalam bidang anestesi.
dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA
dr. Hariyo Satoto, SpAn Semoga bermanfaat.
dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR
dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC Salam,
dr. Doso Sutiyono, SpAn
dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR
dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn
dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Uripno Budiono, SpAn
dr. Aria Dian Primatika, SpAn, Msi.Med
dr. Danu Soesilowati, SpAn
dr. Hari Hendriarto, SpAn, Msi.Med

Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO
Dr.dr. M.Sofyan Harahap, SpAn, KNA

Seksi Usaha:
dr. Mochamat

Administrasi:
Maryani, Nik Sumarni

Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per


tahun, setiap bulan Maret, Juli dan
November sejak tahun 2009. Harga
Rp.200.000,- per tahun.

Untuk berlangganan dan sirkulasi:


Ibu Nik Sumarni (081326271093)
Ibu Kamtini (081325776326) Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Alamat Redaksi:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Apabila akan menggunakannya sebagai acuan,
Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi, hendaknya mencantumkan artikel tersebut
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.
Telp. 024-8444346. sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.
DAFTAR ISI
PENELITIAN Hal
Sri Tabahhati, Uripno Budiono, Mohamad Sofyan Harahap
Perbedaan Pengaruh Pemberian Propofol Dan Etomidat Terhadap Agregasi Trombosit 1
Propofol secara bermakna menurunkan persen agregasi maksimal trombosit
dibandingkan etomidat.

Kurniadi Sebayang, Jati Listiyanto Pujo, Johan Arifin


Perbedaan Efektifitas Oral Hygiene Antara Povidone Iodine Dengan Chlorhexidine 10
Terhadap Clinical Pulmonary Infection Score Pada Penderita Dengan Ventilator Mekanik
Chlorhexidine 0,2% merupakan antiseptik orofaring yang lebih efektif menurunkan skor
CPIS dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada pasien dengan ventilator mekanik.
Tidak ada korelasi antara kenaikan skor GC plaque dengan penurunan skor CPIS.

Ratna Anggraeni, Hariyo Satoto, Widya Istanto Nurcahyo


Pengaruh Pretreatment Vitamin C 200 Miligram Terhadap Kadar Kolesterol Serum Pada 19
Induksi Etomidat
Pemberian vitamin C 200 mg intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek
depresi kortisol oleh pemberian etomidat 0,2 mg/kgBB.

Tinon Anindita, Witjaksono, Aria Dian Primatika


Pengaruh Nitrous Oxide Pada Induksi Sevofluran 8% Dengan Tehnik Single Breath Terhadap 27
Kecepatan Induksi Anestesi
Penambahan Nitrous oxide pada induksi anestesi dengan sevofluran 8% dengan teknik
single-breath, tidak mempercepat waktu induksi anestesi.

TINJAUAN PUSTAKA
Ifar Irianto Yudhowibowo, Doso Sutiyono, Yulia Wahyu Villyastuti
Pengaruh Anestesi Epidural Terhadap Supresi Imun Yang Diinduksi Stres Operasi Selama 42
Pembedahan
Blok epidural dari segmen dermatom T4 sampai S5, dimulai sebelum pembedahan,
mencegah peningkatan konsentrasi kortisol dan glukosa pada histerektomi.

Ratno Samodro, Doso Sutiyono, Hari Hendriarto Satoto


Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal 48
Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi)
dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada
membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan
perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai
sehingga potensial aksi tidak disebarkan.
Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Perbedaan Pengaruh Pemberian Propofol Dan Etomidat Terhadap Agregasi


Trombosit

Sri Tabahhati*, Uripno-Budiono*, Mohammad Sofyan Harahap*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background: Perioperative bleeding is a serious and common problem in surgery.


Induction anesthetic agent usage is known for the inhibition of platelet aggregation.
Objective: To determine the difference effect of propofol and penthotal administration on
platelet aggregation.
Method: An experimental study on 40 patients who received general anesthesia. Samples
were divided into two groups (n:20, each). The first group received propofol and the
second group received etomidat as the induction anesthetic agent during the procedure,
and five minutes post induction, with the rate of administration propofol 2,5 mg/ body
weight, etomidat 0,3 mg/ body weight and O₂ : N₂O ratio 50% : 50%. A specimens were
taken to the Clinical Pathology Laboratory for Platelet Aggregation testing. Statistical
analyses were performed using Paired T-Test and Independent T-Test (with level of
significance p<0,05).
Result: The result showed significant difference in percentage of maximal platelet
aggregation before and after the administration of propofol (p=0,001) and not significant
for etomidat group (p=0,089). In the propofol and etomidat group, the mean percentage of
maksimal platelet aggregation was 66,07 ± 18,04. Statistically, propofol caused less
significant hypo aggregation of plateled compared to etomidate, with (p=0,053).
Conclusion: Propofol significantly decreased the percentage of maximal plateled
aggregation, however the difference was not significant between two experiment groups.

Keywords : Propofol, etomidate, ADP, platelet aggregation

ABSTRAK
Latar belakang penelitian: Perdarahan perioperatif merupakan masalah yang sering
dihadapi dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi induksi dikatakan mempunyai
pengaruh dalam agregasi trombosit
Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian propofol dan etomidat
terhadap agregasi trombosit.
Metode: Merupakan penelitian eksperimental pada 40 pasien yang menjalani anestesi
umum. Penderita dibagi 2 kelompok (n=20), kelompok I menggunakan propofol dan

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 1


Jurnal Anestesiologi Indonesia

kelompok II menggunakan etomidat, yang diberi sejak awal induksi dengan besar
pemberian propofol 2,5 mg/kg intravena, etomidat 0,3 mg/kg intravena bersama O2 : N2O
= 50% : 50%. Masing-masing kelompok akan diambil spesimen sebelum induksi dan 5
menit setelah induksi. Semua spesimen dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik untuk
dilakukan pemeriksaan Tes Agregasi Trombosit. Uji statistik menggunakan Paired T-Test
dan Independent T-Test (dengan derajat kemaknaan <0.05).
Hasil: Karakteristik data penderita maupun data variabel yang akan dibandingkan
terdistribusi normal. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan persen agregasi maksimal
trombosit yang bermakna sebelum dan sesudah pemberian propofol (p=0,001) dan tidak
bermakna untuk sebelum dan sesudah pemberian etomidat (p=0,089). Pada kelompok
propofol didapatkan rerata persen agregasi maksimal trombosit 66,07±8,28 dan etomidat
56,29+18,04 dan menunjukkan perbedaan yang bermakna antara keduanya (p=0,053).
Kesimpulan: Propofol secara bermakna menurunkan persen agregasi maksimal trombosit,
dibandingkan etomidat.
Kata kunci : Propofol, etomidat, ADP, agregasi platelet

PENDAHULUAN kedua pemeriksaan tersebut dalam


menilai dua parameter tersebut dalam
Penyulit yang mungkin muncul dalam
perannya sebagai uji fungsi koagulasi.5
setiap operasi adalah risiko perdarahan.
Bila penyulit ini tidak diatasi dengan Uji perdarahan telah dilakukan beberapa
baik, dapat menyulitkan dan dekade dengan metode Duke. Beberapa
meningkatkan morbiditas dan mortalitas, modifikasi dilakukan oleh Ivy et al dan
serta berpengaruh terhadap proses Mielke et al. Uji pemeriksaan tersebut
hemodinamika selama dan sesudah banyak digunakan pertengahan tahun
operasi.1 Faktor yang terlibat dalam 1980-an, di mana muncul pertanyaan
proses hemostasis adalah vasospasme mengenai validitas pemeriksaan. De
pembuluh darah, reaksi trombosit Caterina melakukan analisis regresi linier
(adhesi, pelepasan, dan agregasi), dan untuk mengetahui sensitifitas,
faktor koagulasi.1,2 Interaksi obat-obatan spesifisitas, nilai prediktif positif dan
dengan trombosit dapat memperberat negatif dari BT. Nilai hasil pemeriksaan
risiko komplikasi perdarahan, mengingat BT dipengaruhi oleh jumlah trombosit,
peran trombosit yang penting pada proses dinding pembuluh darah, hematokrit,
hemostatis selama dan sesudah kualitas kulit, dan juga teknik yang
3
pembedahan. Clotting Time (CT) dan digunakan.6 Penelitian lain juga
Bleeding Time (BT) merupakan menunjukkan tidak ada korelasi statistika
pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk antara BT preoperatif dan jumlah
mengetahui jalur koagulasi intrinsik dan kehilangan darah atau kebutuhan produk
ekstrinsik.4 Beberapa penelitian darah.7
menyatakan bahwa kekurangan dalam

2 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Anestesi dibutuhkan pada hampir semua Penelitian Andre Gries (2004)


tindakan pembedahan, dan sebagian besar menunjukkan ekspresi P-selectin in vitro
dengan anestesi umum. Anestesi umum diinhibisi oleh Etomidat pada konsentrasi
berpengaruh secara intraseluler dan perlu 2 (28 %) dan 20ug/ml (38%). Pasien
mendapat perhatian dalam hal interaksi operasi vaskuler, induksi anestesi pada
obat anestesi dengan trombosit.8 kelompok ETO memberikan
Sebagian besar operasi yang dilakukan di pemanjangan waktu perdarahan in vitro
Instalasi Bedah Sentral RSUP dr. Kariadi dan inhibisi ADP dan agregasi tromobsit
Semarang dilakukan dengan anestesi yang diinduksi kolagen.20
umum. Propofol diketahui merupakan
Etomidat merupakan gold standar, di RS
agen anestesi yang berkontribusi terhadap
dr. Kariadi etomidat pernah dipakai
disfungsi trombosit melalui inhibisi
sebagai agen induksi, sekarang sudah
mobilisasi kalsium terhadap stimulasi
tidak digunakan lagi. Penelitian tentang
agonis.9 Propofol (2,6 diisopropylphenol)
etomidat ini merupakan penelitian
merupakan obat anestesi yang sering
payung di mana diharapkan sebagai obat
digunakan pada anestesi umum selain
gold standard etomidat dapat dipakai
ketamin.10,11 Propofol memiliki kemiripin
kembali.
struktur serupa dengan alfatokoferol dan
asam asetilsalisilat. Efek antioksidannya Etomidat mengurangi fungsi trombosit
disebabkan kesamaan struktur dengan baik ex vivo dan in vivo. Hasil penelitian
alfatokoferol.12,13 Pada penelitian yang Sarkar M, dkk pemberian etomidat untuk
dilatarbelakangi oleh keserupaan struktur induksi anestesi pada pasien pediatrik dan
propofol dengan asam salisilat, neonatus memberikan kesan bahwa
memperlihatkan bahwa zat anestesi ini etomidat tidak mengubah profil klinis
akan menghambat agregasi trombosit hemodinamika secara signifikan.21
pada whole blood secara in vitro dalam
kisaran konsentrasi serupa pada plasma Penelitian Aoki dkk di Jepang
manusia setelah pemberian intravena.14 menunjukkan propofol 2 mg/kg/jam
menghambat agregasi trombosit. Parolari
Efek hipoagregasi trombosit ini telah A, dkk mendapatkan setelah 5 menit
terlihat pada pemberian propofol pemberian propofol 2,5 mg/kg bolus
intravena terhadap pasien bedah.15,16 intravena, terjadi penurunan agregasi
Propofol memperlihatkan efek anti trombosit secara bermakna pada whole
agregasi ditemukan serupa pada PRC dan blood.14,22
whole blood.11,17 Efek ini terkait dengan
dua mekanisme dasar yaitu Agregasi trombosit dinilai melalui
penghambatan sintesis trombosit A2 dan pemeriksaan yang disebut Tes Agregasi
peningkatan sintesis NO oleh leukosit. Trombosit (TAT). Pemilihan jenis TAT,
Kedua efek dapat bergantian, terkait efek tergantung jenis obat yang digunakan.
antioksidan propofol.10,18,19 Agonis atau induktor yang dapat

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 3


Jurnal Anestesiologi Indonesia

digunakan adalah trombin, tromboksan METODE


A2, asam arakidonat, serotonin,
Penelitian ini merupakan penelitian
vasopresin, dan ADP yang dipakai pada
eksperimental uji klinik fase 4 dengan
Laboratorium Patologi Klinik di RSUP
rancangan randomized clinical control
Dr. Kariadi. TAT berdasarkan perubahan
trial. Penelitian dilakukan di Instalasi
transmisi cahaya masih dianggap baku
Bedah Sentral dan Laboratorium Patologi
memang untuk menilai fungsi agregasi
Klinik RSUP dr. Kariadi Semarang pada
trombosit. Setiap kenaikan transmisi
bulan Maret 2010 hingga April 2010.
cahaya yang dicatat sebagai suatu
agregasi trombosit. Hasilnya akan Sampel merupakan pasien bedah
didapatkan presentase agregasi maksimal onkologi di Instalasi Bedah Sentral
trombosit yang terjadi dengan pemberian RSUP dr. Kariadi yang memenuhi
ADP 2uM; 5uM dan 10uM sebagai kriteria inklusi yaitu menjalani operasi
induktor agonis trombosit.21 elektif dengan general anestesi, pasien
bedah, status fisik ASA I-II, usia 19 - 39
Berdasarkan temuan dari penelitian di
tahun, BB normal. Sampel yang ada
atas, akan dilakukan penelitian perbedaan
dikelompokkan dengan acak
pengaruh pemberian propofol 2,5 mg/kg
menggunakan randomized clinical
intravena dan etomidat 0,3 mg/kg
control trial double blind. Kelompok I
intravena terhadap agregasi trombosit
menggunakan Etomidat 0,3 mg/kg
(Dosis anestesi induksi propofol 2,5
intravena sebagai obat anestesi induksi
mg/kg ekuivalen dengan dosis induksi
sedangkan Kelompok 2 menggunakan
etomidat 0,3 mg/kg).6 Pada penelitian ini
Propofol 2,5 mg/kg intravena sebagai
ditambahkan hasil yang mempertim-
obat anestesi induksi. Sampel dieksklusi
bangkan interpretasi TAT dengan
jika menderita DM, hipertensi,
mengamati gambaran pola kurva
menggunakan NSAID, kadar trombosit
agregasi.22
<200.000/uL atau >400.000/mL, riwayat
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis merokok, riwayat pascastrok, riwayat
perbedaan pengaruh pemberian propofol penyakit jantung iskemik.
dan etomidate terhadap agregasi
Analisis data menggunakan Alpha = 0,05
trombosit.
perhitungan dengan SPSS 15 for
windows. Etika disetujui oleh komisi Etik
dan Penelitian FK UNDIP/RSUP dr.
Kariadi. Setiap pasien yang dilakukan
penelitian dimintai persetujuan.

4 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Karakteristik Umum Subjek pada Masing-Masing Kelompok

No Variabel Kel Etomidat Kel. Propofol P


(n=20) (n=20)
1 Umur (tahun) 34,5 + 3,7 33,70 + 3,388 0,761
2 Body Mass Index (kg/m2 21,1 + 1,7 21,2 + 1,9 0,953
3 Tekanan Darah Sistol (mmHg) 127,6 + 9,2 127,9 + 7,7 0,569
4 Tekanan Darah Diastol (mmHg) 74,6 + 7,7 73,9 + 6,0 0,689
5 Nadi (x/menit) 80,2 + 9,6 80.8 + 7.9 0,824
6 Status ASA
ASA I 17 16
ASA II 3 4

semua variabel yaitu umur, BMI, tekanan


darah sistole, tekanan darah diastol, nadi,
HASIL
dan status ASA sebelum dilakukan
Uji normalitas one-sample Kolmogorov penelitian.
Smirnov digambarkan pada tabel 1, di
Tabel 2 menunjukkan data sebelum dan
mana karakteristik umum subjek pada
sesudah penelitian pada kelompok I
masing-masing kelompok memiliki
(etomidat) dan II (propofol) didapatkan
distribusi yang normal (p>0,05), sehingga
hasil uji normalitas menunjukkan nilai %
untuk uji homogenitas diperlukan analisis
agregasi trombosit maksimal berdistribusi
statistik dengan Independent T Test.
normal dengan induktor 10uM ADP
Hasilnya didapatkan data yang homogen
(p>0,05).
(perbedaan tidak bermakna, p>0,05) dari

Tabel 2. Uji Normalitas Rerata % Agregasi Trombosit

Variabel Induktor Perlakuan P Keterangan


% Agregasi maks. 10 uM ADP Pre Kelp I 0,509 Distribusi normal
Trombosit
% Agregasi maks. 10 uM ADP Pre Kelp II 0,792 Distribusi Normal
Trombosit
% Agregasi maks. 10 uM ADP Post Kelp I 0,942 Distribusi normal
Trombosit
% Agregasi maks. 10 uM ADP Post Kelp II 0,935 Distribusi Normal
Trombosit

Data kemudian dianalisis secara maksimal trombosit antara sebelum dan


parametrik menggunakan uji Paired T sesudah perlakuan dengan 10 uM ADP.
Test untuk melihat perbedaan % agregasi
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebelum
dan sesudah perlakuan dengan induktor

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 5


Jurnal Anestesiologi Indonesia

ADP 10uM pada kelompok propofol etomidat secara statistik tidak terbukti
terbukti menyebabkan penurunan % menyebabkan penurunan % agregasi
agregasi maksimal trombosit yang secara maksimal trombosit dengan nilai p=0,089
statistik berbeda bermakna p=0,001 (p>0,05).
(p<0,05). Sedangkan pada kelompok

Tabel 3. Nilai rerata dan simpangan baku persen agregasi maksimal trombosit sebelum dan setelah perlakuan
pada kelompok propofol dan etomidat (dengan induktor ADP 10 uM)

No Keterangan Sebelum Sesudah p

1 Kel. Etomidat 73,45 + 7,33 66,07 + 8,28 0,089


2 Kel. Propofol 62,55 + 13,91 56,29 + 18,04 0,001*

* = bermakna (p<0,05)

160 % Agregasi maksimal trombosit


140
70
120
65
100 60
Etomidat % Agregasi
80 55 maksimal
Propofol
50 trombosit
60

40

20

0
Gambar 2. Perbedaan % agregasi maksimal
Sebelum Setelah trombosit antara sesudah pemberian propofol dan
sesudah pemberian etomidat
Gambar 1. Perbandingan perubahan % agregasi
maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah
Hasil Tes Agregasi Trombosit yang
perlakuan pada kelompok etomidat dan propofol terbaca oleh PACKS-4 selain
menunjukkan persen agregasi trombosit
juga menggambarkan pola kurva agregasi
Gambar 2 menunjukkan perbedaan rerata yang terbentuk oleh masing-masing dosis
% agregasi maksimal trombosit antara induktor ADP pada masing-masing
sesudah pemberian propofol dan sesudah kelompok perlakuan. Semua sampel pada
pemberian etomidat dengan ADP 10 uM kedua kelompok perlakuan sebelum
sebagai induktor. perlakuan mempunyai gambaran
normoagregasi. Kemudian setelah
dilakukan perlakuan gambaran dari 20

6 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

sampel untuk kelompok Etomidat bermakna respon trombosit terhadap


terdapat 2 orang hipoagregasi (10%), 4 ADP.20
orang hipoagregasi ringan (20%) dan
Kelompok propofol dengan induktor
sisanya 14 orang normoagregasi (70%).
10µM antara sebelum dan sesudah
Kelompok propofol terdapat 14 orang
perlakuan didapatkan perbedaan yang
hipoagregasi (70%), 3 orang hipoagregasi
bermakna p=0,001 (p<0,05). Hasil ini
ringan (15%), dan 3 orang normoagregasi
mendukung penelitian sebelumnya yang
(15%).
dilakukan oleh de La Cruz, dkk di mana
Secara statistik propofol secara bermakna dikatakan propofol 2,5mg/kg intravena
menyebabkan hipoagregasi daripada menghambat intensitas maksimum
pentotal, p=0,01 (p<0,05). Hal ini lebih agregasi trombosit. Propofol
jelas terlihat pada gambar 3. menghambat agregasi trombosit pada
whole blood secara in vitro.17,19 ADP
10µM diharapkan terjadi pelepasan
18
granula sekunder dari permukaan
16
14
trombosit dan terbentuklah agregasi
12 sekunder, di mana perlu diingat agregasi
10 sekunder terjadi akibat pelepasan granula
Etomidat
8 Propofol pada setelah terjadinya agregasi primer
6 sehingga kembali membuat jalur
4
arakidonat dan terbentuk tromboksan A2.
2
0
Tromboksan A2 ini akan menurunkan
Hipo Hipo Normo konsentrasi cAPMP yang berfungsi
ringan mengendalikan konsentrasi ion kalsium
bebas yang dibutuhkan dalam proses
agregasi. Kadar cAMP yang tinggi
Gambar 3. Perbedaan Propofol dan Etomidat
dalam menyebabkan hipoagregasi menyebabkan kadar ion kalsium bebas
dalam trombosit yang digunakan dalam
PEMBAHASAN proses agregasi.23
Hasil dari penelitian ini bahwa dengan Hasil penelitian ini memperkuat
ADP 10µM untuk kelompok etomidat pernyataan yang mengatakan pemberian
antara sebelum dan sesudah perlakuan propofol secara bermakna menurunkan
tidak memberi perbedaan bermakna aktivasi ADP pada proses terjadinya
p=0,089 (p>0,05), hal ini semakin agregasi trombosit bila dibandingkan
berbeda dengan pendapat yang dengan etomidat.13,19 Pemberian induktor
mengatakan bahwa etomidat bisa ADP 10 uM merupakan induktor terkuat
dikatakan dapat mempengaruhi secara yang umumnya digunakan sebagai
pedoman untuk penetapan keadaan

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 7


Jurnal Anestesiologi Indonesia

hipoagregasi bila nilai % agregasi ADP dalam menghambat agregasi


maksimal trombosit lebih rendah dari trombosit, dan tidak dilakukannya
rentang nilai rujukan terendah dan pemeriksaan pendahuluan untuk
disertai pola kurva agregasi reversibel. menyingkirkan variabel perancu yang
ADP paling tepat dalam menilai fungsi dapat mempengaruhi agregasi maksimal
agregasi trombosit, di mana hanya trombosit
selektif untuk agregasi tromobosit dan
stimulasinya bersifat langsung.24
SIMPULAN
Hasil penelitian ini mendukung penelitian
sejenis penelitian de La Cruz, dkk yang Berdasarkan hasil penelitian dapat
menyatakan propofol menurunkan disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
sensitivitas ADP terhadap terjadinya presentase agregasi maksimal trombosit
agregasi trombosit, namun penelitian sebelum dan setelah pemberian propofol
tersebut juga menghubungkan dengan 2,5 mg/kg intravena namun tidak terdapat
kejadian memanjangnya waktu perbedaan presentase agregasi maksimal
perdarahan secara signifikan ditemukan trombosit sebelum dan sesudah
hubungan kuat di antaranya. Walaupun pemberian etomidat 0,3 mg/kg intravena
peran agregasi trombosit pada serta propofol menurunkan agregasi
manifestasi memanjangnya waktu maksimal trombosit secara bermakna
perdarahan dianggap mempunyai peran dibandingkan etomidat.
besar, namun juga harus dipikirkan
penyebab lainnya di mana juga terjadi
relaksasi sel otot polos pembuluh darah
DAFTAR PUSTAKA
akibat halotan di samping akibat
pengaruh komponen lain seperti faktor 1. Baldy CM. Pembekuan. Dalam: Price
pembuluh darah dan faktor koagulasi.18 SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep
klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-4.
Sementara etomidat pada penelitian ini Jakarta: EGC, 1995; 264-5
2. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi
dinyatakan tidak bermakna p=0,089
kedokteran. Edisi ke 9. Jakarta: EGC.
(p>0,05) menurunkan rerata agregasi 1997; 579-82.
maksimal trombosit berarti tidak 3. Kartono D, Thaib MR. Masalah
mendukung penelitian - penelitian perdarahan pada pembedahan. Jakarta:
sebelumnya seperti Gries (2001) dkk di Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1986; 20-6.
mana etomidat memberikan
4. Macpherson DS. Preoperative laboratory
penghambatan trombosit secara testing: Should any test be routine before
20
bermakna. surgery? Med Clin North Am 1993;
77:289-90.
Keterbatasan penelitian ini adalah masih 5. Rodgers RPC. A critical reappraisal of
digunakannya ADP sebagai indikator, di bleeding time. Semin Thromb Haemost
mana diketahui etomidat mempengaruhi 1990; 16:131-44.

8 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

6. Lind SE. The bleeding time does not 16. De la Cruz JP, Paez MV, Carmona JA,
predict surgical bleeding. Blood 1991; Sanchez DC. Antiplatelet effect of the
77:2547-52 anesthetic drug propofol influence of red
7. Lehman CM. Discontinuation of BT cells and leucocytes. Br Med J
without detechable adverse clinical Pharmacol 1999; 128: 1538-44.
impact. Clin Chem 2001; 47:1204-11. 17. De la Cruz JP, Zanca A, Carmona JA,
8. Morgan GE, Mikhail MS, Murry MJ, Sanchez DC. Effect of propofol on
Larson CP. Inhalational Anesthetic. In oxidative stress in platelets from surgical
Clinical Anesthesiology. 3rd Ed. New patients. Anesth Analg 1999; 89: 1050-5.
York: Lange Medical Book/Mc Grew- 18. De la Cruz JP, Sedeno G, Carmona JA,
Hill Medical Publishing Edition, 2002; Sanchez DC. In vitro effect of propofol
127-51. on tissular oxidative stress in the rats.
9. Gepts E, Camu F, Cockshott D, Douglas Anesth Analg 1998; 87: 1141-615.
EJ. Disposition of Propofol administered 19. Mendez D, De la Cruz JP, Arrebola MM,
as constant rate intravenous infusion in Guerrero A, Gonzalez-Corea, Garcia
humans. Anaesth Analg 1987; 66:1256- Temboury E, et al. The effect of
63. propofol on the interaction of platelets
10. Stoelting RK, Hillier SC. Propofol. In: with leucocytes and erythrocyts in
Nonbarbiturate intravenous anesthetic surgical patients. Anesth Analg 2003;
drug. In: Pharmacology and Physiologi 96: 713-19.
in aneesthetic Practice, 4th ed. 20. Gries A, Weis S, Herr A, Graf BM,
Philadelphia: Lippincott 2006; 156-63. Seelos R, Martin E, et al. Etomidate and
11. Muacchio E, Rizzoli V, Bianchi M, thiopental inhibit platelet function in
Bindoli A, Galzigna L. Antioxidant patients undergoing infrainguinal
action of propofol on liver microsomes, vascular surgery. Acta Anaesthesiol
mitochondria, and brain synaptosomes in Scand 2001; 45: 449-57.
rat. Pharmacol. Toxicol 1991; 69:15-17. 21. Dordoni PL, Frassanito L, Bruno MF,
12. De la Cruz JP, Villalobos MA, Sedeno Proietti R, De Cristofaro R, Ciabattoni
G, Sanchez DC. Effect of propofol on G, et al. In vivo and in vitro effects of
oxidative stress in an in vitro model of different anaesthetics on platelet
anoxia-reoxygenation in the rat brain. function. Br Med J Haematol 2004; 125:
Brain Res 1998; 800:136-44. 79-82.
13. De la Cruz JP, Carmona JA, Paez MV, 22. Palolari A, Guamieri D, Alamanni F,
Blanco E, Sanchez DC. Propofol inhibits Toscano T, Tantalo V, Gherli T et al.
in vitro platelet aggregation in human Platelet function and anesthetics in
whole blood. Anesth Analg 1997; 84: cardiac surger. An in vitro and ex vivo
919-21. study. Anesth Analg 2007; 89: 26-31.
14. Aoki H, Mizobet, Nozuchi S, Hiramatsu 23. Shafer Al. Effects of nonsteroidal anti-
N. In vivo and in vitro studies of the inflammatory therapy on platelets. Clin
inhibitory effect of propofol on human Pharmacol J. 1999; 106: 25 S-36S.
platelet aggregation. Anesthesiology 24. Lisyani BS. Hasil tes agregasi trombosit
1998; 88: 362-70. pada subjek sehat kelompok usia 19-39
15. Dogan IV, Ovali E, Eti Z, Yayci A, tahun dibandingkan dengan 40 tahun ke
Gogusf Y. The in vitro effect of atas. Media Medika Indonesiana 2006;
isofluorane, isovofluorane, and propofol 41: 69-77.
on platelet aggregation. Anesth Analg
1999; 88: 432-36.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 9


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Perbedaan Efektifitas Oral Hygiene Antara Povidone Iodine Dengan


Chlorhexidine Terhadap Clinical Pulmonary Infection Score Pada Penderita
Dengan Ventilator Mekanik

Kurniadi Sebayang*, Jati Listiyanto Pujo*, Johan Arifin*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background : Oral hygiene antiseptic can reduce incidence of Ventilator Associated


Pneumonia (VAP) that reduce Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) in patients with
mechanical ventilation. Chlorhexidine can prevent formation of biofilm compare with
povidone iodine.
Objectives : This study was performed to find out wether chlorhexidine 0, 3 % was better
than povidone iodine 1 % on Clinical Pulmonary Infection Score in patients with
mechanical ventilation.
Methods : An experimental study, as consecutive sampling on 32 subjects was decided in
two groups (n = 16). Povidone iodine 1% was administrated in first group and
cholrhexidin 0,2 % in second group. Clinical Pulmonary Infection Score was determined
using Mann-Whitney before and after treatment in each group temperature, blood gas
analysis, tracheal secretion, blood analysis and chest x-ray. Statistical analysis was
performed with Wilcoxon test to compare CPIS and corelative test to analyzed GC plaque
and spearman test to analyzed the correlation between GC plaque score and CPIS.
Result : There were significant diference in the first group on CPIS (p<0,05) and no
difference in the second group (p>0,05). The difference score before and after treatment in
both group were significantly different (p=0,05). GC plaque score in chlorhexidinee group
were significantly different (p=0, 0000). There were no correlation between GC plaque
score and CPIS.
Conclusion : Chlorhexidinee 0,3% is more effective in oropharing decontaminated
antisepcic that decrease CPIS than povidone iodine on patients with mechanical
ventilation. No correlation between GC plaque score with score of CPIS.
Keywords : Povidone iodine 1 %, chlorhexidine 0, 2%, CPIS, mechanical ventilation, GC
plaque

10 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang : Antiseptik oral hygiene merupakan salah satu cara non farmakologi
yang dapat menurunkan insiden Ventilation Associated Pneumonia (VAP) dengan
menurunkan skor Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) pada penderita dengan
ventilator mekanik. Chlorhexidine adalah antiseptik yang lebih mampu mencegah
pembentukan biofilm dibandingkan dengan povidone iodine.

Tujuan : Mengetahui chlorhexidine 0,2% lebih efektif menurunkan angka Clinical


Pulmonary Infection Score (CPIS) dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada
penderita dengan ventilator mekanik.

Metode : Merupakan penelitian eksperimental, dua subjek dibagi dua kelompok sama
besar (n =16). Kelompok chlorhexidinee 0,2 % dan kelompok kontrol povidone iodine 1%.
Kedua kelompok sebelum dan setelah perlakuan dilakukan pemeriksaan CPIS, yaitu: suhu,
analisa gas darah, sekret trakea, darah rutin dan foto ronsen dada. Uji wilcoxon adalah uji
korelatif untuk melihat GC plaque sebelum dan setelah perlakuan.Sedangkan uji spearman
melihat korelasi GC plaque dan skor CPIS pada kelompok perlakuan.
Hasil : Hasil skor CPIS berbeda makna pada kelompok I (p<0,05). Analisis komparatif
selisih skor sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok berbeda bermakna (p<0,05).
Skor GC plaque sebelum [6,00 (5,60-7,00)] dan setelah aplikasi chlorhexidinee 0,2% [7,00
(6,80-7,20)] menunjukkan hasil berbeda bermakna (p= 0,000). Uji spearman skor GC
plaque dan CPIS menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna, hasil korelatif negatif.
Kesimpulan : Chlorhexidinee 0,2% merupakan antiseptik orofaring yang lebih efektif
menurunkan skor CPIS dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada pasien dengan
ventilator mekanik. Tidak ada korelasi antara kenaikan skor GC plaque dengan penurunan
skor CPIS.
Kata kunci : Povidone iodine 1%, chlorhexidinee 0, 2%, ventilator mekanik, GC plaque

PENDAHULUAN data di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang.


1,2,3,4

Penggunaan antiseptik terhadap oral


hygiene merupakan salah satu cara Patogenesis VAP sangat komplek. Kollef
farmakologi yang dapat menurunkan menyatakan insiden VAP tergantung dari
insiden Ventilation Associated lamanya paparan lingkungan, petugas
Pneoumonia (VAP) dengan menurunkan kesehatan dan faktor resiko lain.
skor Clinical Pulmonary Infection Score Penelitian terhadap 130 penderita yang
(CPIS) pada penderita dengan ventilator diintubasi, kuman gram negatif
mekanik. Di Indonesia belum ada data ditemukan dalam trakea 58% penderita
nasional kasus VAP, namun sudah ada yang mendapatkan pengobatan antasid,

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 11


Jurnal Anestesiologi Indonesia

antagonis H2 serta 30 % penderita yang Fourrier menyatakan bahwa


mendapatkan sukralfat. 4 chlorhexidine dapat menurunkan
pertumbuhan kuman penyebab VAP
Pemeriksaan CPIS meliputi beberapa sebesar 53%.9 Dengan menurunnya
komponen yaitu suhu tubuh, leukosit, pertumbuhan kuman di orofaring
sekret trakea, indeks oksigenasi, diharapkan insiden VAP juga menurun,
pemeriksaan radiologi dan kultur. Biakan hal ini dibuktikan dalam penelitian yang
kuman diambil berdasarkan teknik dilakukan oleh Tantipong dan Chan.9,10
protected specimen brush, Sedangkan menurut Houston, rerata
bronchoalveolar lavage ataupun blind penderita dengan pneumonia nosokomial
suctioning sekret. 1,5,6,7 lebih rendah dengan peridex
chlorhexidine 0,12% daripada kontrol
Pencegahan non farmakologi lebih dengan menggunakan phenolic mixture.
11
mudah dan lebih murah untuk
dilaksanakan bila dibandingkan dengan
pencegahan VAP secara farmakologi, Guide control (GC) plaque dan pH mulut
yang meliputi menghindari intubasi merupakan parameter kesehatan mulut
trakhea, penggunaan ventilasi mekanik yang dapat memberikan hasil diagnosis
sesingkat mungkin, pembagian kerja terhadap patogenesis plak. Tetapi belum
tenaga kesehatan, intubasi non nasal, ada data tentang penelitian GC plaque
menghindari manipulasi yang tidak perlu yang dihubungkan dengan penggunaan
pada sirkuit ventilator, posisi setengah antiseptik.9
duduk, dan mencuci tangan dan
pemakaian disinfektan sebelum dan Penyempurnaan dari penelitian
sesudah kontak dengan penderita.2,5 sebelumnya yang menganalisis dan
membandingkan efektifitas
Pencegahan VAP secara farmakologi dekontaminasi orofaring dengan
dilakukan dengan cara dekontaminasi menggunakan chlorhexidine 2%. Pada
selektif menggunakan antibiotika pada penelitian ini yang diberikan dalam dosis
saluran cerna (selective decontamination yang lebih kecil yaitu 0,2%. Karena
of the digestive tract (SDD)) dan berdasarkan penelitian sebelumnya
dekotaminasi orofaring (oropharyngeal terbukti dapat menurunkan insiden VAP
11,12,13
dencotamination (OD)) menggunakan
antiseptik. 8,9
METODE
De Riso menyatakan dalam penelitiannya
bahwa chlorhexidine yang digunakan Penelitian ini adalah penelitian
dalam dekontaminasi orofaring dapat eksperimental. Kelompok penelitian
menurunkan kejadian infeksi nasokomial dibagi menjadi dua yaitu kelompok I
saluran napas di ICU sampai 69%.8 (chlorhexidine 0,2% sebagai antiseptik

12 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

oral pada penderita dengan ventilator (PaO2/PaO2) dan foto thorak dan tes GC
mekanik) dan kelompok II (povidone plaque.
iodine 1% sebagai antiseptik oral Hasil analisis disajikan dalam bentuk
penderita dengan ventilator mekanik). tabel silang, grafik Box Plot. Analisis
analitik akan dilakukan untuk menguji
Sampel mengambil semua penderita Clinical Pulmonary Infection Score pada
dengan ventilator mekanik di ICU RSUP kedua kelompok perlakuan dengan uji
Dr. Kariadi pada bulan April- Juni 2010. non parametrik Mann Whithney,
Sampel dikelompokkan dengan cara Wilcoxon, Spearman. Semua uji analitik
berurutan dimana penderita pertama menggunakan Sofware Statistiscal
dimasukkan dalam kelompok 1(C), Package for Social Science (SPSS) 15.
penderita kedua dimasukkan kedalam
kelompok 2(P) secara cosecutive
sampling. Sampel adalah laki-laki dan HASIL
perempuan dewasa dengan GCS < 8 serta
keluarga setuju diikutsertakan dalam Secara berurutan pasien dibagi dalam dua
penelitian. Total sampel adalah 32 dan kelompok yaitu kelompok I yang
dibagi menjadi 2 kelompok sama rata. menerima chlorhexidine 0,2% dan
kelompok II yang menerima povidone
Pada kelompok 1 (C) diberikan iodine 1%.
chlorhexidine 0,2% sebanyak 25 ml. Data karakteristik pasien pada kedua
Pada kelompok 2(P) diberikan povidone kelompok dapat dilihat pada tabel 1 :
iodine 1% sebanyak 25 ml. Semua
penderita dengan ventilator mekanik
dilakukan pemeriksaan klinis
laboratorium, perbandingan tekanan
oksigen dengan fraksi oksigen

Tabel 1. Data karateristik pasien kedua kelompok

Usia Frekuensi Persentase (%)

< 20 Tahun 4 12,5


20–30 tahun 3 9,4
31–40 tahun 3 9,4
41-50 tahun 2 6,25
51-60 tahun 10 31
> 60 tahun 10 31
Total 32 100

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 13


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Uji normalitas dilakukan pada kedua pada kelompok II, tepatnya untuk skor
kelompok dengan menggunakan uji sebelum dan sesudah perlakuan, dengan
Saphiro-Wilk untuk mengetahui sebaran nilai p maisng-masing 0, 166 dan 0,061.
data masing-masing. Hanya terdapat dua
hasil sebaran yang merata (p>0,05) yaitu

Tabel 2. Uji normalitas sebaran data skor pada kedua kelompok

Kelompok Perlakuan Median (min-maks) Nilai p

Skor sebelum perlakuan Kelompok I 150 (0,00-4,00) 0,019


Kelompok II 4,00 (1,00- 6,00) 0,166
Skor sebelum perlakuan Kelompok I 0,50 (0,00-4 ,00) 0,001
Kelompok II 4,00 (1,00-7,00) 0,061
Selisih Skor Kelompok I 0,00 (-3,00-2,00) 0,026
Kelompok II 0,50 (-3,00- 2,00) 0,037

Hasil uji Saphiro-Wilk, kelompok II sebelum dan setelah perlakuan adalah p= 0, 166 dan p = 0, 061

Ketiga puluh dua pasien tersebut dihitung bermakna. Selisih skor didapatkan dari
nilai CPIS-nya sebelum dan sesudah hasil pengurangan antara skor CPIS
perlakuan. Dari hasil uji komparatif setelah perlakuan dengan skor CPIS
Mann Whithey diketahui bahwa nilai sebelum perlakuan per pasien.
CPIS sebelum perlakuan dan setelah
perlakuan antara dua kelompok berbeda

Tabel 3. Uji komparatif selisih skor sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok

Kelompok I Kelompok II Nilai p


[Median (min-maks)] [median (min-maks)]

Skor CPIS Sebelum perlakuan 1,50 ( 0,00-4,00 ) 4,00 ( 1,00- 6,00 ) 0,000
Skor CPIS Setelah perlakuan 0,50 (0,00- 4,00) 4,00 ( 1,00- 7,00 ) 0,000
Selisih skor CPIS 0,00 (-3,00- 2,00) 0,50 (-3,00 – 2,00) 0,051

Hasil uji komparatif selisih skor Mann Whitney adalah p = 0, 051.

14 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Selain itu dilakukan juga uji komparatif menggunakan uji analsis Wilcoxon.
antara skor sebelum dan sesudah Didapatkan hasil yang berbeda bermakna
perlakuan secara terpisah pada masing- pada kelompok I (p <0,05), namun tidak
masing kelompok perlakuan dengan pada kelompok II (p> 0,05).

Tabel 4. Uji komparatif skor sebelum dan sesudah perlakuan secara terpisah.

Skor CPIS sebelum perlakuan Skor CPIS setelah perlakuan Nilai p


[median (min-maks)] [median (min-maks)]

Kel I (0,00-4,00) 0,50 (0,00- 4,00) 0,000

Kel II 4,00 (1,00-6,00) 4,00 (1,00-7,00) 0,227

Hasil uji komparatif Wilcoxon adalah p= 0,000 dan p = 0, 227

Penelitian ini juga mengambil data skor plaque seperti halnya pada skor CPIS
GC plaque pada kelompok yang juga diambil sebelum dan sesudah
mendapat chlorhexidine 0, 2 %. Skor GC perlakuan.

Tabel 5. Uji korelasi skor GC plaque dan CPIS sebelum dan sesudah perlakuan

Jenis Skor Median Nilai p Korelasi

Sebelum Perlakuan GC plaque 6,00 (5,60-7,00) 0,122 -0,403


CPIS 1,50 (0,00-4,00)
Sesudah Perlakuan GC plaque 7,00 (6,80-7,20) 0,274 -0,291
CPIS 0,50 (0,00- 4,00)

Hasil uji Spearman adalah p= 0, 122 (-0, 403) dan p= 0, 274 (-0, 291)

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 15


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PEMBAHASAN menunjukan perbedaan bermakna baik


pada skor CPIS sebelum maupun setelah
VAP adalah inefksi nosokomial perlakuan. Namun, hasil ini tidak dapat
pneumonia yang terjadi pada pasien dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa
dengan bantuan ventilasi mekanik setelah chlorhexidine 0,2% lebih efektif
48 jam. 4,8,11. Etiologi yang paling sering dibandingkan dengan povidone iodine
adalah staphylococcus aureus, 1%. Karena skor CPIS antara kelompok I
pseudomonas aeroginosa dan dan II berbeda secara signifikan sebelum
7,8
enterobacteriacea. perlakuan, maka akan dijumpai
perbedaan yang juga signifikan setelah
CPIS sendiri berdasarkan komponennya perlakuan. Untuk itu, dilakukan uji
dapat CPIS modifikasi tidak disertai komparatif terhadap selisih skor CPIS
pemeriksaan kultur.12 CPIS modifikasi sebelum dan sesudah perlakuan antar
sangat menguntungkan negara-negara kedua kelompok perlakuan. Dari hasil uji
berkembang yang belum memiliki system didapatkan nilai p=0,051, hasil ini berada
pelayanan kesehatan yang sepenuhnya sangat dekat dengan nilai cutt off
terjamin oleh asuransi. Tidak adanya signifikasi dalam studi, yaitu 0,05.
pemeriksaan kultur pada negara-negara
tersebut tentunya akan mengurangi biaya Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon
kesehatan, dan pada akhirnya untuk menganalisis skor CPIS antara
menguntungkan pasien. kedua kelompok secara terpisah. Hasil uji
ini menunjukkan bahwa skor pada
Insiden VAP bervariasi antara 9- 27% kelompok I (p=0,000), namun tidak pada
dan angka kematiannya bisa melebihi kelompok II (p= 0,227). Hasil ini
50%.2,4 Di Indonesia belum ada data menunjukkan bahwa chlorhexidine 0,3 %
nasional tentang kasus VAP, termasuk di lebih efektif dibandingkan dengan
ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang, tempat povidone iodine 1% dalam menurunkan
penelitian ini dilakukan. Faktor-faktor kejadian VAP. Walaupun hasil uji
resiko terjadinya VAP yang telah komparatif selisih skor CPIS sebelum dan
dibuktikan lewat berbagai peneitian setelah perlakuan antara kedua kelompok
adalah usia, jenis kelamin, trauma, hanya menghasilkan nilai p borderline 0,
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) 051.
dan lama pemakaian ventilator. 4,5
Lebih efektifnya chlorhexidine 0, 2%
Penelitian ini menggunakan CPIS ditunjang kuat oleh cara kerja antiseptik
modifikasi sebagai parameter untuk ini yang tidak hanya membunuh bakteri
membandingkan antara antiseptik dalam rongga mulut, namun juga
chlorhexidine 0,2% dan povidone iodine mencegah timbulnya biofilm. Biofilm
1 %. Hasil analisis komparatif Mann- adalah awal terbentuknya plak dan
Whitney antara kelompok I dan II tempat berkumpulnya bakteri.14,15,16

16 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Selain CPIS, pada penelitian ini dihitung yang disampaikan Pugin et al dalam
pula GC plaque pada kelompok I yang publikasinya di tahun 1991 merupakan
mendapat chlorhexidine 0,2 %. Skor GC skor terpadu yang memuat variabel
plaque hanya dihitung pada kelompok I klinis, laboratorik dan radiologis. 19
berpegang pada penelitian-penelitian
sebelumnya menggunakan CPIS klasik
yang menyatakan bahwa chlorhexidine SIMPULAN
lebih unggul dibandingkan dengan
povidone iodine, selain itu pemberian Chlorhexidine 0,2% merupakan
chlorhexidine telah dianjurkan secara antiseptik dekontaminasi orofaring yang
internasional untuk menggantikan lebih efektif dibandingkan dengan
17,18
povidone iodine. povidone iodine 1 %. Tidak ada korelasi
antara skor GC plaque dengan skor CPIS.
Analisis Wilcoxon menunjukkan terdapat
perbedaan yang signifikan antara skor Sebaiknya penggunaan antiseptik
GC plaque sebelum dan sesudah chlorhexidine 0,2% dilaksanakan untuk
pemberian chlorhexidine 0,2%. Nilai GC menggantikan povidone iodine 1%
plaque yang lebih tinggi setelah sebagai dekontaminasi orofaring pada
pemakaian chlorhexidine 0,2% penderita ventilator mekanik.
menujukkan bahwa chlorhexidine
meningkatkan pH intraoral secara
signifikan. DAFTAR PUSTAKA

Hal ini berarti ada hubungan yang 1. Luna CM, Blanzaco D, Niedman MS,
berlawanan antara CPIS dan GC plaque Maturucco W, Brades NC, Desmery P,
et.al. Resolution of ventilator associated
pada pasien ICU dengan ventilator
pneumonia : prospective evaluation of
mekanik yang menerima chlorhexidine the clinical pulmonary infection score as
0,2 %. an early clinical predictor of outcome.
Crit Care Med 2003; 31: 676-82.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil 2. Chastre J, Fragon JY. Ventilator
associated pneomina. AM J Respir Crit
penelitian sebelumnya oleh Tantipong H
Care Med 2002; 65 :67-903.
et al,10 dan Genuit T et al.13 Yang 3. Kollef M. Prevention of hospital
mengatakan bahwa chlorhexidine 0,2% associated pneumonia and ventilator
merupakan antisptik yang efektif untuk associated pneumonia. Crit Care Med
menurunkan insiden VAP, walau 2004; 32: 1396-405.
4. Sallam SA, Arafa MA, Razek AA, Naga
penelitian ini menggunakan CPIS
M, Hamid MA : Device related
modifikasi sedangkan 3 penelitian nosocomial infection in intensive care
sebelumnya yang disebtkan di atas units of Alexandria University Students
menggunakan CPIS klasik. CPIS, seperti

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 17


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Hospital. East Med. Health J 2005 ;11 : patients undergoing heart surgey. Am J
52-61. Crit care 2002;(11) : 567-70.
5. Ibrahim EH, Tracy L, Hill C, faser VJ, 12. Koeman M, Van der van Andre, Hak E,
Kollef MH. The occurrence of ventilator Joore HCA, Kaasjager K, De Smet A,
associated pneumonia in a comunity et.al. Oral Decontamination with
hospital. Chest 2001; 120: 555-61. chlorhexidine 0, 2% Reduces the
6. Ewig E, Baueur T, Torres A. The incidience of ventilator- associated
pulmonary phsyician in critical care : pneumonia. Am J of Resp and Critical
nasocomial pneumonia. Thorax 2002 ; care Medeciene 2006; 173: 1348-1355.
57: 366-71. 13. Genuit T, Bochicchio G, Napolitano LM,
7. Cook DJ, Meade MO, Hand LE, et. Al : Mc Carter RJ, Roghman MC. Surg
toward understanding evidence uptake: Infection 2001;2(1):5-18.
semirecumbency for pneumonia 14. Pourbbasa R, Delazarb A, Chisaza MT.
prevention. Crit Care Med 2002;30 The effect of german chamomile
:1427-7. moyhwash on dental plaque and gingival
8. DeRiso AJ, et.al. Chlorhexidine inflamation Iranian Journal of
gluconate 0, 12 % oral; rinse reduces the pharmaceutical research 2005;2:105-
incidence of total nosocomial respiratory 109.
infection an non prophylactic systemic 15. Schiott CR, Loe H. The sensitivity of
antibiotic use in patients undergoing oral streptococci to chlorhexidine. J.
heart sugery. Chest 1996; 109:1556-61. Periodont. Res 1973;12:61.
9. Fpurrier F, Dubois D, Pronnier P, et al. 16. McGee DC, Gould MK : preventing
Effect of gingival and dental plaque comlications of central venous
antiseptic decontamination on catherization. N Engl Med
nosocomial infections acquired in the 2003;384:1123-33.
intensive care unit : A doubleblind 17. Gjermo P, Bonesvoll P, Rolla G.
placebo- controlled multicenter study. Relationship between plaque inhibiting
Crit care Med 2005;33:1728-36. effect and relation of chlorhexidine in
10. Tntipong H, Morckhareonpong C, the human oral cavity. Arch. Oral Biol.
jayindee S, Thamlikitkul V. Randomized 1974;19:1031.
contrrolled trial and meta- analysis of 18. Michel F, franceschini B, Berger P,
oral decontamination with 2 % Arnal JM, Gainier M, Sainty JM, et.al.
chlorhexidine solution for the prevention Early antibiotic treatment for BAL-
of ventilator associated pneumonia confirmed ventilator associated
infection Control Hosp Epidemiol 2008; pneumonia. Chest 2005;127:589-97.
29:131-6. 19. Pugin J, Auckenthaler R, mili N.
11. Houstun S, Hougland P, Anderson JJ, Diagnostic of ventilator associated
LaRocco M, Kenedy V, Gentry LO. pneumonia by bacteriologic analysis of
Effectiveness of 0, 12% chlorhexidine bronchocopic and
gluconate oral rinse in recuding nonbronchocospic―blind‖bronchoalveola
prevalence of nosocomial pneumonia in r lavage fluid. Am Rev Respir Dis 1991;
143:1121-9

18 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Pengaruh Pretreatment Vitamin C 200 Miligram Terhadap Kadar Cortisol


Serum Pada Induksi Etomidat
Ratna Anggraeni*, Hariyo Satoto*, Widya Istanto Nurcahyo*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Backgrounds: Etomidate is one of anesthetic agent which has minimal effect on
cardiovascular function. However, etomidate depress cortisol production. Vitamin C is one
of the agent that hamper the effect of etomidate toward cortisol production.
Objectives: To analyze the effect of pre-treatment with vitamin C 200 mg on cortisol serum
concentration in elective surgery under general anesthesia.
Method: This double blind, Randomized Controlled Trial with 30 subjects which divided
into two groups (n=15), control group and treatment group which received etomidate 0,2
mg/kgBW and combination of etomidate and vitamin C 200 mg in pre-operation
respectively. Each group was then examined for cortisol serum concentration pre-
anesthesia, 2 hours post induction, and 8 hours post induction. Wilcoxon Signed Rank Test
and Paired T Test was performed to compare cortisol serum concentration in each group.
While Mann Whitney and Independent Sample T Test was used to compare between control
and treatment group.
Results: Cortisol serum concentration in control group between pre-anesthesia ;244,15
(181,39-382,75)] and 2 hours post induction [185,52 ± 35,88]; and between 2 hours and 8
hours post induction [349,81 ± 121,28] was significantly different with value 0,002 and
0,000 respectively. It showed that decrement of etomidate dosage mo 0,2 mg/kgBW still
able to decrease cortisol serum production significantly. However, in treatment group
cortisol serum concentration pre-anesthesia [258,49 1"5,45-369,09)] and 2 hours post
induction [202,14 ± 45,3]; and between 2 hours and 8 hours post induction [251,39 ±
122,91] was non significant, with p value 0,256 and 0,691 respectively. It proved the
negative effect of vitamin C on cortisol depression effect of etomidate. Cortisol serum
concentration between control and treatment group was significantly different on 2 hours
post induction, but non significant on 8 hours post induction. It showed that the negative
effect of vitamin C in cortisol depression because of etomidate only significant during 8
hours post eduction
Conclusions: The effect of Vitamin C 200 mg iv 30 minutes pre-operation can minimize
Cortisol depression on administration of etomidate 0,2 mg/kgBW

Keywords: Pretreatment, vit c 200 mg, cortisol serum, etomidate

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 19


Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK
Latar Belakang: Etomidat adalah salah satu agen anestesi yang berefek minimal terhadap
kardiovaskular. Namun, etomidat mendepresi produksi kortisol. Salah satu agen yang
dapat meminimalisir efek depresi tersebut adalah vitamin C.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pretreatment vitamin C 200
mg pada operasi elektif dengan anestesi umum terhadap kadar kortisol serum.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian Randomized Contolled Trial dengan 30
subjek yang dibagi dalam dua kelompok sama besar (n=15), yaitu kelompok kontrol yang
menerima etomidat 0,2 mg/kgBB dan kelompok perlakuan yang menerima etomidat dan
vitamin C 200 mg iv preoperasi. Masing-masing kelompok tersebut selanjutnya diperiksa
kadar kortisolnya pre anestesi, 2 jam pasca induksi, 8 jam pasca induksi. Uji statistik
Wilcoxon Signed Rank Test dan Paired T Test digunakan untuk membandingkan kadar
kortisol di masing-masing kelompok. Uji Mann Whitney dan Independent Sample T Test
digunakan untuk membandingkan antar kelompok kontrol dan perlakuan.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok kontrol, kadar kortisol preanestesi
244,15 dan 2 jam pasca induksi 185,52 + 35,88 berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula
antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca induksi 349,81 + 121,28 (p=0,000). Sedangkan
pada kelompok perlakuan, kadar kortisol antara pre anestesi 258,49 (175,45-369,09) dan
2 jam pasca induksi 202,14 + 45,3 tidak berbeda bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam
pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi 251,39 + 122,91 (p=0,691).
Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin C 200 mg
intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek depresi kortisol oleh pemberian
etomidat 0,2 mg/kgBB.

Kata kunci: pretreatment, vit c 200 mg, cortisol serum, etomidat

PENDAHULUAN Sekarang ini tidak hanya satu jenis obat


saja yang biasa digunakan pada Rapid
Pemberian obat induksi anestesi
Sequence Induction (RSI), tetapi
berpotensi yang diikuti pemberian obat
beberapa obat bias digunakan tergantung
penghambat aktivitas neuromuskuler,
dari keuntungan, kondisi klinik, efek
bertujuan menghilangkan kesadaran dan
samping, serta kontra indikasinya2.
paralisis motorik akan menghasilkan
Etomidat merupakan obat sedasi-hipnotik
keadaan yang optimal dari suatu proses
yang secara kimia berbeda dengan obat-
intubasi dan juga dapat menurunkan
obat induksi sejenis lainnya1. Etomidat
serendah mungkin risiko aspirasi paru
mempunyai spesifikasi onset dan durasi
pada pasien-pasien yang tidak puasa1.
yang cepat, efek minimal pada parameter
kardiovaskuler, depresi nafas maupun
pada mekanisme lepasnya histamin3,4,5.

20 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Birnbaumer menyatakan bahwa Etomidat kortisol serum yang sama sebelum


bersifat aman dan efektif untuk menjadi operasi, setelah pemberian infus etomidat
obat pilihan pada RSI di unit gawat durante operasi11.
darurat Amerika Serikat karena efeknya
Vitamin C berperan sebagai kofaktor
aman untuk aktivitas miokardium dan
dalam sejumlah reaksi hidroksilasi dan
perfusi serebral, serta insidensi yang
amidasi dengan memindahkan elektron
rendah terkait hipotensi2.
ke dalam enzim yang ion metalnya
Etomidat diketahui dapat menyebabkan berada dalam keadaan tereduksi, dan
supresi adrenal baik pada pemberian dalam keadaan tertentu sebagai
dosis tunggal maupun infus lama1,6. antioksidan. Onset kerja dari vitamin C
Makna klinis dari efek obat ini terus 30 menit pada orang sehat dan 1,5 jam
diperdebatkan, terkait adanya efek pada orang dengan diabetes mellitus12.
supresi adrenal7,8,9. Pada penggunaan
Kortisol sangat berperan penting untuk
dosis tunggal etomidat menyebabkan
kehidupan, berperan dalam
penurunan fungsi adrenokortikal selama
mempertahankan tekanan darah dengan
paling tidak 24 jam8.
cara meningkatkan sensitivitas vaskular
Penggunaan etomidat dosis tunggal pada untuk epinefrin dan norepinefrin, ekskresi
unit gawat darurat belum pernah air oleh ginjal, mempertahankan kadar
dilaporkan menyebabkan supresi gula darah, respon imun dan memiliki
adrenokortikal yang signifikan hingga efek anti inflamasi dengan mengurangi
menyeabkan kematian7. Penggunaan sekresi histamin serta menstabilkan
etomidat dosis tunggal pada pasien syok membran lisosomal. Stabilisasi membran
septik juga masih merupakan kontroversi lisosomal mencegah robeknya membran,
karena akan mempengaruhi fungsi sehingga mencegah kerusakan jaringan
kelenjar adrenal dalam 24 sampai 72 jam sehat. Kadar kortisol yang terlalu rendah
setelah pemakaian etomidat dengan cara mampu menyebabkan hipotensi, syok,
menghambat 11β hydroxylase yang akan demam, koma, dan pada akhirnya dapat
menambah angka kesakitan serta berujung pada kematian. Sedangkan
kematian pasien10. kadar kortisol yang meningkat terlalu
tinggi, juga akan menimbulkan gangguan
Etomidat seharusnya tidak digunakan
hemodinamik13. Pemberian vitamin C
untuk sedasi jangka lama di ruangan
500 mg pre operasi menurut studi
Intensive Care Unit (ICU) karena
Pirbudak L et al akan menormalkan
menyebabkan supresi adrenal, yang
kembali kadar kortisol pada 6 jam post
berakibat meningkatnya jumlah kematian
operasi14. Sedangkan menurut Nathan et
di ICU8.
al pemberian pretreatment infus vitamin
Penggunaan vitamin C sebelum tindakan C 1 gr dalam 500 ml glukosa sebelum
operasi akan mengembalikan kadar induksi dengan etomidat 0,3 mg/kgBB

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 21


Jurnal Anestesiologi Indonesia

memberikan gambaran insufisiensi sebelum induksi. Sampel harus


adrenal yang lebih tinggi15. Kontradiksi memenuhi kriteria inklusi : status fisik
kedua hasil studi ini menunjukkan adanya ASA I-II, usia 14-50 tahun, jenis operasi
dualitas efek vitamin C. Namun, menurut dengan anestesi umum, operasi dilakukan
Schraag S et al dalam artikel studinya antara jam 08.00 – 10.00 WIB, berat
menggunakan vitamin C dosis 500 mg badan normal (BMI 18-25 kg/m2),
dengan tambahan xylitol 0,25 mg/kg dengan kriteria eksklusi: alergi/
memaparkan hal yang berlawanan kontraindikasi terhadap obat yang dipakai
dengan kesimpulan studi Pirbudak et al.16 selama penelitian, pasien menggunakan
Maka dari itu di penelitian ini digunakan steroid, pasien dengan kadar kolesterol
dosis vitamin C yang lebih rendah yaitu >200 mg, pasien menggunakan
200 mg. kontrasepsi hormonal, pasien yang
mengkonsumsi vitamin C.

Total sampel adalah 30 orang dibagi


METODE
menjadi 2 kelompok masing-masing 15
Penelitian ini merupakan uji klinik fase 2 orang.
dengan bentuk rancangan eksperimental
Seleksi penderita dilakukan saat
ulang (pretest and posttest controlled
kunjungan prabedah di RSUP Dr. Kariadi
group design). Penelitian ini dilakukan di
Semarang pada penderita yang akan
Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr Kariadi
menjalani operasi elektif dengan anestesi
Semarang dan Laboratorium GAKY
umum. Penderita diberikan penjelasan
Semarang pada lingkup waktu bulan
dan mengisi formulir informed consent.
Maret sampai Mei 2010.
Pasien tidak mengetahui perilaku yang
Populasi dalam penelitian ini adalah akan diterima. Disediakan kertas undian
semua pasien yang menjalani operasi berlabel C dan E yang dilipat, masing-
dengan anestesi umum dan diinduksi masing berjumlah 15, satu hari sebelum
anestesi antara jam 08.00 sampai 10.00 operasi ahli anestesi yang bertugas
WIB pada bulan Maret sampai Mei 2010. mengambil undian tersebut. Perlakuan
Teknik pengambilan sampel yang dilakukan pada pasien sesuai label
menggunakan randomized clinical yang diambil saat undian.
controlled trial dibagi dalam dua
Semua pasien dipuasakan 6 jam sebelum
kelompok. Kelompok 1 (E)
operasi, kebutuhan cairan selama puasa
menggunakan obat anestesi induksi
dipenuhi sebelum operasi dengan
etomidate 0,2 mg/kgBB intravena tanpa
menggunakan cairan Ringer Laktat.
pretreatment vitamin C 200 mg
Pengambilan sampel sebelum perlakuan
intravena. Kelompok 2 (C) menggunakan
dilakuakan sekitar pukul 08.00 WIB saat
obat anestesi induksi etomidate 0,2
pasien tiba di kamar operasi sebelum
mg/kgBB intravena dengan pretreatment
dilakukan induksi anestesi. Sampel
vitamin C 200 mg intravena 30 menit

22 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

adalah darah vena perifer sebanyak 3 ml, diinkubasi pada suhu 37oC selama 15
yang kemudian dimasukkan dalam menit dan dihindarkan dari cahaya
tabung tanpa antikoagulan dan dibiarkan kemudian dilakukan penghentian reaksi
beku secara alami sampai serum/plasma dan selanjutnya dilakukan pengukuran
terpisah dari bekuan sesegera mungkin penyerapan pada 450 nm.
untuk menghindari hemolisis sel darah
Data yang dikumpulkan mencakup
merah. Sampel segera dikirim ke
karakteristik umum sampel (umur, jenis
Laboratorium GAKY FK Undip untuk
kelamin, MAP, tekanan arteri rata-rata,
dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol
status ASA) dan kadar kortisol serum
serum.
sebelum dan sesudah perlakuan. Uji
Setelah dipastikan jalur intravena lancar, statistic Wilcoxon Signed Rank Test dan
pasien dipremedikasi ondansetron 4 mg Paired T-Test digunakan untuk
30 menit sebelum operasi dan fentanyl membandingkan kadar kortisol di
1µg/kg 3 menit sebelum induksi. masing-masing kelompok. Uji Mann
Selanjutnya dilakukan induksi anestesi Whitney dan Independent Sample T-Test
dimana kelompok E menggunakan obat digunakan untuk membandingkan antar
anestesi induksi etomidat 0,2 mg/kg iv, kelompok kontrol dan perlakuan
sedangkan kelompok C menggunakan
pretreatment vitamin C 200 mg 30 menit
sebelum obat anestesi induksi etomidat HASIL DAN PEMBAHASAN
0,2 mg/kg iv. Anestesi dipertahankan
pada seluruh kasus dengan inhalasi Data karakteristik umum sampel yang
campuran N2O : O2 (50%:50%). telah diperiksa (data baseline) dilakukan
Pelumpuh otot menggunakan vecuronium uji komparatif untuk tiap variable dan
bromide 0,1 mg/kg. Pada semua didapatkan hasil yang tidak berbeda
kelompok sampel darah sesudah bermakna.
perlakuan diambil 2 jam dan 8 jam pasca
Data kadar kortisol yang didapatkan pada
induksi etomidat sebanyak 3ml
ketiga kelompok: preanestesi, 2 jam
dimasukkan dalam tabung tanpa
pasca induksi, dan 8 jam pasca induksi
antikoagulan dan segera dikirimkan ke
sebagian besar memperlihatkan distribusi
Laboratorium GAKY.
yang merata, kecuali kelompok kontrol
Sampel diberi nomer well kemudian preanestesi dan kelompok perlakuan 8
penambahan sampel dan konugat-HRP. jam post induksi. Kemudian dilakukan
Selanjutnya diinkubasikan selama 60 analisis data uji hipotesis dan didapatkan
menit pada suhu 37oC, pada akhir hasil analisis yang disajikan dalam tabel
inkubasi isi tiap well dibilas dengan 300 berikut.
µl aqua destilata. Selanjutnya dilakukan
pewarnaan dengan substrat TMB, plate

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 23


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Nilai distribusi tiap kelompok

Kelompok Nilai p

E 244,15 (181,39-382,75) 0,10


Pre anestesi
C 258,49 (175,45-369,09) 0,47

E 185,52 + 35,88 0,174


2 jam pasca induksi
C 202,14 + 45,3 0,121
E 349,81 + 121,28 0,487
8 jam pasca induksi
C 251,39 + 122,91 0,032

Tabel 2. Hasil uji hipotesis

Deskripsi uji hipotesis Nilai p

Pre vs 2 jam 0,002*


Etomidat
2 jam vs 8 jam 0,000**

Pre vs 2 jam 0,256*


Etomidat & vit C
2 jam vs 8 jam 0,691*

2 jam pasca induksi Etomidat vs vit C 0,300***


8 jam pasca induksi Etomidat vs vit C 0,036****

* Wilcoxon Signed Rank Test


**Paired T test
***Mann Whitney
****Independent Sample T Test

Hasil penelitian menunjukkan pada 8 jam pasca induksi dapat berbeda secara
kelompok kontrol, kadar kortisol bermakna.
preanestesi dan 2 jam pasca induksi
Sedangkan pada kelompok perlakuan,
berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula
kadar kortisol antara pre anestesi dan 2
antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca
jam pasca induksi tidak berbeda
induksi (p=0,000). Hal ini berarti efek
bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam
depresi kortisol etomidat tetap
pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi
berlangsung walau kadarnya telah
(p=0,691). Hal ini menunjukkan adanya
dikurangi sebanyak 0,1 mg/kgBB. Selain
efek negatif dari vitamin C terhadap efek
itu diperlihatkan pula bahwa efek depresi
depresi kortisol etomidat. Efek tersebut
kortisol tersebut terjadi secara bertahap,
telah muncul pada 2 jam pasca induksi
sehingga kadar kortisol antara 2 jam dan
dan dipertahankan hingga 8 jam paska
induksi. Hasil ini jauh lebih cepat

24 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dibandingkan hasil yang disajikan oleh 3. Morgan. GE, Mikhail MS, MUrry MJ.
studi Pirbudak et al. Nonvolatile agent anesthesia. In: Clinical
Anesthesiology. 3rd ed. New York: Large
Pada analisis komparatif antara kelompok Medical Books/McGrew-Hill Medical
Publishing Edition; 2002, 199-200
kontrol dan perlakuan didapatkan
4. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology and
perbedaan yang signifikan pada kadar physicology in anesthetic practice 3rd edition.
kortisol 8 jam pasca induksi, namun tidak Philadelphia: Lippincot-Raven; 1999, 141-3
pada 2 jam pasca induksi. Hal ini 5. Arden Pharmacology of etomidate. Available
menunjukkan bahwa efek depresi kortisol from http:/www.metrohealthanesthesia.com
6. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik,
etomidat hanya bertahan kurang dari 8
edisi 8 bahasa Indonesia. Bagian
jam pasca induksi. Temuan ini sekaligus Farmakologi Kedokteran Universitas
menyangkal kekhawatiran adanya depresi Airlangga. Surabaya: Salemba Medika; 2002,
kortisol yang memanjang pada pemberian 153-4
etomidat. Temuan di atas juga dapat 7. White PF. Nonopioid intravenous anesthesia.
In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK.
diartikan bahwa pemberian vitamin C
Clinical anesthesia 5th edition. Lippincott
mampu menstabilkan kadar kortisol Williams & Willkins; 2006,344-5
darah pada pemberian etomidat. 8. Chung DC, Lam AM, editors. Essential of
anesthesiology, 3rd edition. London: W.B
Saunders Company; 2001, 177-8
9. Oglesby AJ. Should etomidate be the
SIMPULAN induction agent of choice for rapid sequence
intubation in emergency department.
Pemberian Vitamin C 200 mg intra vena Emergency medical journal 2004; 21: 655-9
30 menit preoperasi dapat menurunkan 10. William L, Jacson jr. Should we use
efek depresi kortisol oleh pemberian etomidate as an intubation agent for
etomidate 0,2 mg/kgBB. Penurunan efek endotracheal intubation in patient with septic
shock. CHEST journal 2005; 127: 1031-8
depresi kortisol tersebut tidak
11. Boidin MP, Erdmann. The role of ascorbic
ditimbulkan lewat pengurangan dosis acid in etomidate toxicity. Europe journal
etomidat sebesar 0,3 mg/kgBB. Efek anesthesiology 1986: 417-22
depresi kortisol oleh etomidat hanya 12. National Academy of Science. Vitamin C In:
bertahan kurang dari 8 jam. Dietary reference intakes for vitamin, vitamin
e, selenium and carotenoids. Washington DC:
National academy press 2000: 95-131
13. Murray RK , Granner DK, Mayes PA,
DAFTAR PUSTAKA Rodwell VW. Biokimia Harper, edisi 25
bahasa Indonesia. Jakarta. EGC: 2003, 598-
1. Reves JG, Glass P. Intravenous anesthesia. 612
In: Miller RD, ed Miller anesthesia 7th 14. Pirbudak L, Balat O. Effects of ascorbic acid
edition. California: Churchill livingstone; on surgical stress response in gynecologic
2005 surgery. Journal of clinical practice
2. Licille B. Endotracheal intubation. Safe 2004:928-31
Anesthesia intubation 1996: 113-26

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 25


Jurnal Anestesiologi Indonesia

15. Nathan N, Vandroux JC. Role of vitamin C 16. Schraag S, Pawlink M, Mohl U. The role of
and adrenocortical effects of etomidate. Ann ascorbic acid and xylithol in etomidate-
fr anesthesiology reanimation journal induced adenocortical suppression in human.
1991:329-32 European journal 1996: 346-51

26 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Pengaruh Nitrous Oxide Pada Induksi Sevofluran 8% Dengan Tehnik Single Breath
Terhadap Kecepatan Induksi Anestesi

Tinon Anindita*, Witjaksono*, Aria Dian Primatika*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Backgrounds: The addition of Nitrous Oxide increase induction time of anesthesia


agent,because of second gas effect and concentration effect.

Objectives: The aims of this study is to compare induction time of 8% sevoflurane with and
without Nitrous oxide using a single-breath vital capacity induction.

Methods: Seventy two healthy unpremedicated patients were randomized to inhale a single-
breath, one of three gas mixture : 8% sevoflurane in Oksigen (group I), 8% sevoflurane in
50% Nitrous oxide (group II) and 8% sevoflurane in 66 2/3% Nitrous oxide (group 111).The
time to absent of the eyelash reflex and induction-related complications, if present, were
noted by independent observer. Blood pressure (systolic, diastolic and mean arterial
pressure/MAP), and heart rate were measured pre and post induction. Data was analyzed
using student T-Test and ANOVA at significancy level of 0,05.

Results: Three groups had similar distribution on sex,age,body weight, and early clinical state.
The time to absent of the eyelash reflex with 8% sevofllurane in 50% Nitrous oxide, 24,96 ±
4,14 second ,and for 8% sevoflurane in 66 2/3% Nitrous oxide , 24,81 ± 3,85 second, were
less than that with 8% sevoflurane in Oksigen, 27,21 ± 4,14 second, but this was no
significant (p = 0,098).Changes in blood pressure (systolic,diastolic, mean arterial
pressure), heart rate and oksigen saturation were no significant different on three
groups.The induction-related complications in the sevoflurane with Nitrous oxide groups
were less than that in the sevoflurane without Nitrous oxide group, but this was no
significant different.

Conclusions: The addition of Nitrous oxide do not increase induction time of anesthesia with a
single-breath of 8% sevoflurane.

Keywords: Sevoflurane,nitrous oxide, induction time.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 27


Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK

Latar Belakang: Penambahan nitrous oxide pada induksi anestesi akan mempercepat
waktu induksi, oleh karena adanya second gas effect dan concentration effect.

Tujuan: Membandingkan kecepatan induksi anestesi sevofluran 8% dengan atau tanpa


nitrous oxide, dengan menggunakan tehnik single breath vital capacity induction.

Metode: Tujuh puluh dua pasien tanpa diberikan premedikasi , dibagi dalam 3 kelompok
secara random dan diminta untuk menghirup salah satu dari tiga campuran gas dengan
tehnik single breath vital capacity : kelompok I diberikan sevofluran 8% + Oksigen,
keiompok II diberikan sevofluran 8% + 50% nitrous oxide dan kelompok III diberikan
sevofluran 8% + 66 2/3% nitrous oxide. Dicatat waktu saat hilangnya reflek bulu mata
dan komplikasi yang terjadi. Tekanan darah (sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata), laju
jantung dan saturasi oksigen diukur sebelum dan sesudah induksi. Data diuji dengan
Student T Test dan ANOVA dengan derajat kemaknaan < 0,05.

Hasil: Karakteristik penderita (umur, usia, berat badan dan lain-lain) pada ketiga
kelompok berbeda tidak bermakna. Waktu saat hilangnya reflek bulu mata untuk kelompok
sevofluran 8% + 50% nitrous oxide (24,96 ±4,14 detik), dan untuk kelompok sevofluran
8% + 66 2/3% nitrous oxide (24,81 ± 3,85 detik) lebih sepat dibandingkan dengan
kelompok sevofluran 8% + Oksigen (27,21 ±4,14 detik) , tetapi perbedaan ini tidak
bermakna (p=0,098), Perubahan tekanan darah (sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata),
laju jantung dan saturasi oksigen yang terjadi pada ketiga kelompok berbeda tidak
bermakna. Komplikasi induksi anestesi yang terjadi pada kelompok sevofluran 8% dengan
nitrous oxide lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok sevofluran 8% tanpa nitrous
oxide , tetapi perbedaan ini tidak bermakna .

Kesimpulan: Penambahan Nitrous oxide pada induksi anestesi dengan sevofluran 8%


dengan tehnik single-breath, tidak mempercepat waktu induksi anestesi.

Kata kunci : sevofluran, nitrous oxide, waktu induksi

LATAR BELAKANG bila digunakan untuk induksi anestesi,


tidak menyenangkan bagi pasien dan ahli
Sejak ditemukan obat anestesi intravena
anestesi karena sifat-sifat tersebut sering
pada tahun 1935, induksi dengan obat
menyebabkan pasien batuk, menahan
anestesi inhalasi atau induksi inhalasi
napas, spasme laring dan waktu induksi
mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan
karena obat anestesi inhalasi bersifat yang lama. 1,2
merangsang/ bau kurang enak dan Penemuan halotan pada tahun 1951, yang
mengiritasi saluran pernafasan sehingga bersifat tidak merangsang saluran

28 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pernafasan serta mempunyai koefisien induction menggunakan sevofluran


partisi darah/ gas yang rendah, konsentrasi tinggi 8% dan setelah napas
memungkinkan untuk dilakukan kembali dalam sesuai dengan vital capacity,
induksi inhalasi dan berhasil baik pasien diminta menahan napas selama
terutama pada pasien anak2. mungkin (lebih 20 detik), hal ini
inenyebabkan konsentrasi sevofluran di
Pada tahun 1968, ditemukan obat anestesi
alveoli menjadi lebih tinggi,
inhalasi baru, yaitu sevofluran.
dibandingkan bila pasien langsung
Sevofluran mempunyai sifat-sifat : bau
mengeluarkan napasnya lagi.
enak, koefisien partisi darah/ gas rendah
Konsentrasi sevofuran di alveoli yang
(lebih rendah dari halotan, enfluran dan
tinggi, ini menyebabkan konsentrasi obat
isofluran), dan tidak mengiritasi saluran
dalan darah juga akan makin tinggi,
pernapasan, sehingga mendorong para
sehingga efek terhadap organ tubuh
ahli anestesi untuk mengembangkan
seperti otak dan sistem kardiovaskuler
kembali induksi inhalasi pada semua
akan makin besar, tetapi konsentrasi
pasien1,2.
dalam darah dibutuhkan hanya untuk
Induksi inhalasi dapat dilakukan dengan menidurkan pasien (sampai reflek bulu
berbagai tehnik, yaitu : tehnik gradual mata negatif)4,5,6,7,8
induct induction, tehnik, single-breath
N2O (Nitrous oxide) adalah obat anestesi
vital capacity induct ion dan tehnik
inhalasi yang mempunyai sifat-sifat:
triple-breath (multiple-breath) vital
kelarutan dalam darah dan jaringan
capacity induction. Tehnik triple-breath
rendah dan tidak mengiritasi saluran
vital capacity merupakan variasi dari
pernapasan sehingga ditoleransi baik
tehnik single-breath vital capacity
untuk induksi dengan masker. Pemberian
induction3.
N2O pada saat induksi akan
menyebabkan peningkatan konsentrasi
Teknik single-breath vital capacity
alevolar dari suatu obat anestesi inhalasi,
induction diperkenalkan oleh Brourne
oleh karena sifat second gas effect dan
pada tahun 19544. Tehnik ini
concentration effect dari N2O, sehingga
membutuhkan sifat kooperatif dari
pemberian N2O pada saat induksi anestesi
pasien dan obat anestesi inhalasi yang
dapat mempercepat induksi anestesi.
bersifat: bau tidak menyengat, iritasi
Seorang penderita menerima 70%-75%
saluran pernapasan minimal, koefisien
N2O, akan menyerap sampai 1000
partisi darah/ gas rendah dan dapat
ml/menit N2O saat fase awal induksi,
digunakan dengan konsentrasi tinggi.
sehingga menghasilkan perubahan
Sevofluran memenuhi persyaratan
signifikan pada laju penyerapan gas lain.
tersebut, sehingga dapat digunakan untuk
Seorang penderita menerima 10%-25%
induksi inhalasi dengan tehnik ini.
N2O, akan menyerap hanya 150 ml/menit
Tehnik single-breath vital capacity
N2O, hal ini tidak menghasilkan

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 29


Jurnal Anestesiologi Indonesia

perubahan signifikan pada laju METODE


penyerapan gas lain9,10,11. Penelitian ini merupakan uji klinik tahap
N2O menurunkan koefisien partisi darah/ 2. Rancangan penelitian yang digunakan
gas halotan dan isofluran, sehingga akan adalah eksperimental sederhana (post test
mempercepat pengambilan halotan dan only control group design) untuk variabel
isofluran12. Penelitian menggunakan waktu induksi dan eksperimental ulang
halotan dan isofluran13 dengan tehnik (pretest-posttest control group design)
single-breath membuktikan bahwa untuk variabel tekanan darah, laju
pemberian N2O pada saat induksi jantung dan saturasi oksigen.
anestesi, akan mempercepat induksi Populasi pada penelitian ini adalah
anestesi. Laporan-laporan penelitian penderita yang menjalani operasi elektif
tentang pemberian N2O pada induksi di Instalasi Bedah Sentral RSUP dr
dengan sevofluran bersifat kontroversial. Kariadi Semarang dengan anestesi
Pada orang dewasa, pemberian N2O : O2 ; umum, ASA I-II, setelah penderita
2 : 1 pada induksi sevofluran 8% dengan terseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan
tehnik single-breath ternyata tidak eksklusi. Pemilihan sampel dilakukan
mempercepat induksi anestesi. Begitu dengan cara consecutive random
pula pada anak-anak, pemberian 66% sampling dimana setiap penderita yang
N2O pada induksi sevofluran 8% dengan memenuhi kriteria dimasukkan dalam
tehnik single-breath tidak mempercepat sampel penelitian sampai jumlah yang
induksi anestesi. 14,15,16 diperlukan terpenuhi.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka
Data dikumpulkan dan dicatat dalam
kami akan meneliti pengaruh pemberian lembar khusus penelitian yang telah
50% N2O, 66 2/3% N2O dan O2 saja, disediakan serta diolah dengan komputer
terhadap kecepatan induksi anestesi, pada menggunakan program SPSS dan
induksi anestesi dengan sevofluran 8%, dinyatakan dalam rerata ± simpang baku
dengan tehnik single-breath vital (mean ± SO) disertai kisaran (range). Uji
capacity induction. statistik dengan ANOVA, T Test dan Chi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Square, Two-Fail Significance, dan
mencari bukti obyektif pengaruh derajat kemaknaan< 0,05. Penyajian
pemberian 50% N2O, 66 2/3% N2O dan dalam bentuk tabel dan grafik.
O2 saja, terhadap kecepatan induksi Kriteria inklusi terdiri dari : Pasien RSUP
anestesi, pada induksi anestesi dengan Dr. Kariadi yang akan menjalani operasi
sevofluran 8%, tehnik single-breath vital elektif dengan anestesi umum, laki-laki
capacity induction. dan wanita, umur 16-40 tahun, BMI
(Body Mass Index) 20-25 kg/m2, dan
tanpa pemberian obat-obat premedikasi.

30 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kriteria eksklusi terdiri dari : kelainan Kecepatan waktu induksi kelompok lebih
paru-paru, kelainan kardiovaskuler. cepat dibandingkan dengan kelompok II
dan I. sedangkan kelompok II lebih cepat
HASIL
dibandingkan kelompok I, tetapi secara
Telah dilakukan penelitian terhadap 72 statistik menunjukkan berbeda tidak
sampel yang terbagi menjadi 3 kelompok, bermakna di antara ketiga kelompok
masing-masing kelompok dilakukan tersebut (p=0,098). Berdasarkan uji
induksi anestesi dengan sevofluran 8% keorelasi, hubungan konsentrasi N2O
dengan tehnik single breath (aliran gas dengan waktu induksi menunjukkan
segar sesuai dengan volume semenit), hubungan linier negative, dengan
dimana kelompok I (n = 24 ) diberikan koefisien korelasi = r = -0,553 (Tabel 2)
O2 murni, kelompok 11 (n=24) diberikan
Karakteristik penderita pada ketiga
50% N2O + 50% O2 dan kelompok III (n-
kelompok berdasarkan statistik berbeda
24) diberikan 66 2/3% N2O + 33 1/3%
O2. Penelitian ini membandingkan waktu tidak bermakna (p > 0,05).
induksi anestesi antara kelompok I Kecepatan waktu induksi kelompok lebih
dengan kelompok II, kelompok II dengan cepat dibandingkan dengan kelompok II
kelompok III dan kelompok III dengan dan I. sedangkan kelompok II lebih cepat
kelompok I. Uji statistik dengan ANOVA dibandingkan kelompok I, tetapi secara
dan t-test, dengan uji kemaknaan statistik menunjukkan berbeda tidak
digunakan p dua ekor (two tail bermakna di antara ketiga kelompok
significance), dengan derajat kemaknaan tersebut (p=0,098). Berdasarkan uji
p < 0,05. keorelasi, hubungan konsentrasi N2O
dengan waktu induksi menunjukkan
Karakteristik penderita seperti umur,
hubungan linier negative, dengan
jenis kelamin, berat badan, tinggi badan,
BMI (body mass index), TDSP (tekanan koefisien korelasi = r = -0,553 (Tabel 2)
darah sistolik premedikasi), TDDP Grafik 1 menunjukkan waktu induksi
(tekanan darah diastolik premedikasi) , kelompok III lebih cepat dibanding
LJP (laju jantung premedikasi), LNP kelompok II dan kelompok I , serta
(laju napas premedikasi) dan status ASA kelompok II lebih cepat dibanding
penderita pada ketiga kelompok kelompok I, tetapi secara statistik
ditunjukkan pada tabel 1. berbeda tidak bermakna.
Karakteristik penderita pada ketiga
kelompok berdasarkan statistik berbeda
tidak bermakna (p > 0,05).

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 31


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Karakteristik Penderita pada Kelompok I, II dan III.

Kelompok I Kelompok II kelompok III


Variabel p
(n = 24 ) (n - 24) (n = 24)

Umur (tahun) 26,79 ± 6,79 27,58 ±7,29 26,04 ±6,86 0,747

Jenis kelamin 0,346*

laki-laki 11 10 11

perempuan 13 14 13

BB(kg) 55,79 ±7,19 58,71± 5,52 57,25 ± 5,67 0,269

TB (cm) 160,7117,36 163,21±5,09 161,63 ±5,62 0,362

BM1 (kg/m2) 21,55 ± 1,26 21,75±1,32 22,08 ±1,45 0,400

TDSP (mmHg) 122,29 ±5,71 122,08±5,50 12 1,88 ±7,04 0,973

TDDP (mmHg) 76,88 ±4,62 75,63±4,73 76,67 ±4,58 0,610

LJP (x/memt) 85,79 + 6,04 84,63±7,11 85,00 ± 6,23 0,817

LNP (x/menit) 14, 13 ±1,45 14,64±1,33 14,00 ±1,29 0.949

FGF (L/memt) 7,83 ±0,76 8, 17 ±0,82 8,00±0,82 0,378

ASA 0.949*

I 18 19 18
II 6 5 6

Keterangan : BB = berat badan, TB = tinggi badan , BMI = body mass index, TDSP=tekanan darah sistolik
premedikasi, TDDP = tekanan darah diastolik premedikasi, LJP=laju jantung premedikasi dan LNP = laju
napas premedikasi, FGF =fress gas flow.Uji statistik dengan ANOVA dan Chi square* .

Tabel 2. Waktu Induksi Anestesi pada Kelompok I, II, dan III.

Variabel Kelompok I Kelompok II Kelompok III P*

WI 27,21±4,71 24,96±4,14 24,81±3,85 0,098

Keterangan : WI = berlaku induksi (dalam detik), p* =uji statistik dengan ANOVA

32 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Pada ketiga kelompok terjadi penurunan kelompok menunjukkan berbeda tidak


tekanan darah sistolik, tekanan darah bermakna (p>0,05), begitu pula pada
distolik, tekanan arteri rerata dan laju masing-masing kelompok juga
jantung sesudah induksi dibandingkan menunjukkan berbeda tidak bermakna (p
dengan sebelum induksi, tetapi 0,05).(Tabel3)
perbandingan uji statistik antara ketiga

WAKTU INDUKSI

30
25
20
15 waktu induksi
10
5
Kel. I Kel.II Kel.III

Induksi sevoflurane 8 %

Grafik 1 menunjukkan waktu induksi kelompok III lebih cepat dibanding kelompok II dan kelompok I , serta
kelompok II lebih cepat dibanding kelompok I, tetapi secara statistik berbeda tidak bermakna.

TEKANAN DARAH SISTOLIK

128

126

124
Series 1
122
Series 2

120

118
Kel. I Kel.II Kel.III

Induksi sevoflurane 8 %

Grafik 2. Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 33


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Tekanan Darah Sistolik,Tekanan Darah Diastolik, Tekanan arteri Rerata dan Laju jantung Sebelum
dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III..

Variabel kelompok. I kelompok. II kelompok III p*

TDS :

-Sebelum induksi 124,92 ±6,95 124,71 ±7,39 124,83 ±7,09 0,995

-Setelah induksi 123,42 ±4,49 123, 13 ±4,70 122,38 ±5,27 0,636

P' 0,382 0,089 0,115

TDD:

-Sebelum induksi 78,29 ± 5,42 78,04 ± 6,05 78,33 + 5,91 0,982

-Setelah induksi 77,17±4,10 76,67 ±3,51 76,96 ±4,58 0,914

P' 0,444 0,258 0,207

TAR:

-Sebelum induksi 92,42 ± 5,69 92,25 ±6,32 92,50 + 6,17 0,989

-Setelah induksi 91,29 ± 4,19 90,46 ± 3,49 90,75 ± 4,59 0,777

P' 0,460 0,156 0,134

LJ

-Sebelum induksi 86,04 ± 6,96 86,38 ±5,24 86,29 + 4,80 0,978

-Setelah induksi 84,67 ±9,41 83,46 ± 6,98 83,29 ± 8,46 0,824

P' 0,615 0,179 0,208

Keterangan : TDS = tekanan darah sistolik, TDD = tekanan darah diastolik, TAR = tekanan arteri rerata, : LJ
= Laju jantung, p* = uji statistik denganANOVA, p' = uji statistik dengan / test

Grafik 2 menunjukkan penurunan takanan darah sistolik antara sebelum dan sesudah
induksi pada masing-masing kelompok dan antara ketiga kelompok, tetapi secara statistik
berbeda tidak bermakna

34 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

TEKANAN DARAH DIASTOLIK

80

78

76 Sebelum Induksi
Setelah Induksi
74

72
Kel.I Kel.II Kel.III

Induksi sevoflurane 8 %

Grafik 3. Tekanan Darah Diaslotik Sebelum dan sesudah induksi pada Kelompok I,II, dan III.

Grafik 3 menunjukkan penurunan kelompok dan di antara ketiga kelompok,


tekanan darah diastolik antara sebelum tetapi secara statistik berbeda tidak
dan sesudah induksi pada masing-masing bermakana.
TEKANAN ARTERI RERATA

94

92

90 Sebelum Induksi
Setelah Induksi
88

86
Kel.I Kel.II Kel.III

Induksi sevoflurane 8 %

Grafik 4. Tekanan Arteri Rerata Sebelum dan Sesudah Induksi Pada Kel. I, II, dan III.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 35


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Grafik 4 menunjukkan penurunan kelompok dan antara ketiga kelompok,


takanan arteri rerata antara sebelum dan tetapi secara statistik berbeda tidak
sesudah induksi pada masing-masing bemakna.

LAJU JANTUNG

90

88

86
Sebelum Induksi
84
Setelah Induksi
82

80
Kel.I Kel.II Kel.III

Induksi sevoflurane 8 %

Grafik 5. Laju jantung Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I. II dan III.

Grafik 5 menunjukkan penurunan laju berdasarkan perbandingan uji statistik


jantung antara sebelum dan sesudah antara ketiga kelompok menunjukkan
induksi pada masing-masing kelompok berbeda tidak bennakna (p > 0,05),
dan antara ketiga kelompok, tetapi secara begitu pula pada masing-masing
statistik berbeda tidak bemakna. kelompok juga menunjukkan berbeda
tidak bemakna (p > 0,05). (tabel 4)
Perubahan saturasi oksigen antara
sebelum dan sesudah induksi,

Tabel 4. Saturasi Oksigen Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III.

Variabel kelompok. I kelompok. II kelompok III P*

Sa02

-Sebelum induksi 99,29 ± 0,62 99,25 ± 0,79 99,29 ± 0,69 0,973

-Setelah induksi 99,42 ± 0,58 99,33 ± 0,64 99,17 ± 0,56 0,340

P' 0,450 0,604 0,417

Keterangan : SaO2 = saturasi oksigen, p* = uji statistik dengan v4M9K4, p' = uji statistik dengan t test

36 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

SATURASI OKSIGEN

100

99

98 Sebelum Induksi
Setelah Induksi
97

96
Kel.I Kel.II Kel.III

Induksi sevoflurane 8 %

Grafik 6. Saturasi Oksigen Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III.

Grafik 6 menunjukkan perubahan saturasi premedikasi, tekanan darah diastolik


oksigen antara sebelum dan sesudah premedikasi laju jantung premedikasi laju
induksi pada masing-masing kelompok napas premedikasi dan status ASA
dan antara ketiga kelompok, tetapi secara berdasarkan uji statistik berbeda tidak
statistik berbeda tidak bermakna. bermakna , sehingga ketiga kelompok
cukup homogen dan layak
Komplikasi induksi anestesi
diperbandingkan.
menunjukkan hasil berbeda tidak
bermakna antara ketiga kelompok (p = Induksi Anestesi adalah peralihan
0,259). Komplikasi yang timbul adalah dari keadaan sadar dengan reflek
batuk, yaitu , 3 orang pada kelompok perlindungan masih utuh sampai dengan
yang diberikan O2, 1 orang pada hilangnya kesadaran (ditandai dengan
kelompok yang diberikan 50% N2O + hilangnya reflek bulu mata) akibat
17,18
50% 02 dan 1 orang pada kelompok pemberian obat-obat anestesi Pada
diberikan 66 2/3% N2O + 33 1/3% O2. Penelitian ini induksi anestesi
menggunakan sevofluran 8% dengan
PEMBAHASAN
tehnik single breath vital capacity
Karakteristik sampel seperti umur jenis induction, yaitu sampel diberikan
kelamin, berat badan, tinggi badan BMI sevofluran konsentrasi tinggi ( 8%) dan
(Bodv Mass Index), tekanan darah sistolik setelah napas dalam (sesuai dengan vital

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 37


Jurnal Anestesiologi Indonesia

capacity, kira-kira 20 detik), hal ini akan N2O = 38 ± 8 detik ) dan penelitian
menyebabkan konsentrasi sevofluran di Tatang Bisri pada wanita hamil
alveoli menjadi lebih tinggi, (kelompok 60% N2O = 24,25 detik
dibandingkan bila sampel sedangkan kelompok tanpa N2O = 25,08
mengeluarkan napasnya lagi. detik), di mana penelitian-penelitian
Konsentrasi sevofluran di alveoli yang tersebut menyimpulkan bahwa pemberian
tinggi , menyebabkan konsentrasi obat N2O pada induksi anestesi dengan
dalam darah juga makin tinggi, sehingga sevofluran 8% dengan tehnik single
akan mempercepat waktu induksi breath tidak mempercepat induksi
anestesi5,6,7,8. Waktu induksi anestesi juga anestesi (berbeda tidak bermakna)2,4,14.21.
akan dipercepat dengan pemberian N2O, Penelitian lain menyimpulkan bahwa
oleh karena sifat second gas effect dan N2O tidak potensiasi dengan sevofluran
concentration effect19,20. tetapi potensiasi dengan halotan dan
isofluran (Lerman dkk), serta pemberian
Waktu induksi pada kelompok yang
N2O akan menurunkan koefisien partisi
diberikan N2O (kelompok 50% N2O =
darah/gas halotan dan isofluran. (Gou
24,96 ± 4,14 detik dan kelompok 66
dkk)2,12,21. Penelitian induksi anestesi
2/3% N2O = 24,81 ± 3,85 detik) lebih
menggunakan halotan dan isoflurane
cepat dibandingkan kelompok tanpa
membuktikan bahwa pemberian N2O
pemberian N2O (kelompok O2 saja
akan mempercepat induksi anestesi
=.27,20 ± 4,71 detik ) dan makin besar
secara bermakna13,14,22.
konsentrasi N2O yang diberikan akan
makin mempercepat waktu induksi Kecepatan induksi anestesi antara lain
(kelompok 66 2/3% N2O - 24,81 ± 3,85 dipengaruhi oleh konsentrasi zat anestesi
detik, sedangkan kelompok 50% N2O = dan pemindahan zat anestesi dari alveoli
24,96 ±4,14 detik), tetapi berdasarkan ke darah. Pemindahan zat anestesi dari
uji statistik didapatkan hasil berbeda alveoli ke darah dipengaruhi oleh
tidak bermakna sehingga pemberian N2O koefisien partisi darah/gas dan aliran
pada induksi anestesi dengan sevofluran darah5,6. Pada penelitian ini digunakan
8% dengan tehnik single breath tidak sevofluran konsentrasi tinggi yaitu 8%
mempercepat induksi anestesi dan dan sevofluran sendiri mempunyai
semakin besar konsentrasi N20 tidak koefisien partisi darah/gas 0,63 , sedikit
semakin mempercepat induksi anestesi. lebih tinggi dibanding N2O (0,47) tetapi
Hasil ini sama dengan penelitian- lebih rendah dibanding halotan, isofluran
penelitian induksi sevofluran 8% dengan (1,4) dan enfluran (1,91), sehingga
tehnik single breath yang dilakukan oleh menyebabkan induksi anestesi
Yurino dan Kimura (kelompok N2O : O2 berlangsung dengan cepat. Konsentrasi
(2 :1) = 41 ± 16 detik sedangkan sevofluran yang tinggi dan koefisien
kelompok tanpa N20 = 48+16 detik), partisi darah/gas yang rendah tersebut
Ross dkk (kelompok 66 % N2O = 34 seakan-akan menutup efek N2O (second
±12 detik sedangkan kelompok tanpa gas effect dan concentration effect),

38 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

sehingga N2O tidak dapat bekerja terhadap kardiovaskuler akan makin


optimal untuk mempercepat peningkatan besar , tetapi konsentrasi sevofluran yang
konsentrasi sevofluran di alveoli dan tinggi ini dibutuhkan hanya untuk
darah.. Hal tersebut mungkin yang menidurkan pasien sampai hilangnya
menyebabkan mengapa pemberian N2O reflek bulu mata.Penelitian terdahulu
tidak mempercepat induksi anestesi menyimpulkan bahwa pemberian
dengan sevofluarne7,14,23 Meskipun sevofluran 4% dan sevofluran 8%
pemberian N2O tidak mempercepat mempunyai pengaruh penurunan tekanan
induksi sevofluran, tetapi berdasarkan uji darah dan laju jantung yang sama pada
korelasi, terayata hubungan konsentrasi saat reflek bulu mata negatif, yang
N2O dengan waktu induksi menunjukkan berbeda adalah waktu induksinya24,25
hubungan linier negatif (koefisisen
Perubahan saturasi oksigen menunjukkan
korelasi r = - 0, 553) , berarti terdapat
hasil berbeda tidak bermakna antara
kecenderungan makin tinggi konsentrasi
ketiga kelompok dan antara sebelum
N20 yang diberikan ,maka akan makin
dengan sesudah induksi pada masing-
mempercepat waktu induksi anestesi
masing kelompok. Sehingga penambahan
sevofluran.
N2O sampai konsentrasi 662/3% tidak
Penelitian ini menunjukkan bahwa mempengaruhi saturasi oksigen pada saat
sevofluran dapat menjamin stabilitas induksi anestesi. Hal ini mungkin
kardiovaskuler. Ini terlihat dan hasil disebabkan oleh waktu induksi
pengukuran tekanan darah (sistolik dan sevofluran yang cepat dan oksigenasi
diastolik), tekanan arteri rerata dan laju sebelum induksi cukup efektif untuk
jantung menunjukkan perubahan berbeda meningkatkan cadangan oksigen(4,7,14).
tidak bermakna antara keadaan sebelum
Komplikasi induksi anestesi pada
dengan setelah induksi pada masing-
masing-masing kelompok adalah minimal
masing kelompok dan antara ketiga
dan menunjukkan hasil berbeda tidak
kelompok. Penelitian-penelitian
bermakna. Komplikasi yang terjadi
sebelumnya menunjukkan bahwa induksi
adalah batuk, yaitu 3 orang pada
sevofluran 8% dengan tehnik single
kelompok 02 , 1 orang pada kelompok
breath memberikan kestabilan
4,7,14,24 50% N2O dan 1 orang pada kelompok 66
hemodinamik yang baik dan
2/3% N2O. Hal ini mungkin disebabkan
pemberian N2O akan menyebabkan efek
oleh karena sifat-sifat sevofluran dan
klinis yang signifikan terhadap tekanan
N2O, yaitu iritasi jalan napas minimal dan
darah dan laju jantung apabila diberikan
koefisien partisi darah/ gas yang rendah,
lebih 80% 24. Penurunan tekanan darah
sehingga induksi berjalan mulus dan
(sistolik dan diastolik), tekanan arteri
cepat. Kelompok yang diberikan N2O,
rerata dan laju jantung yang terjadi
komplikasi induksi lebih sedikit
diakibatkan pemberian sevofluran
dibandingkan tanpa N2O. Hal ini
konsentrasi tinggi yaitu 8% sehingga efek

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 39


Jurnal Anestesiologi Indonesia

disebabkan pemberian N2O akan DAFTAR PUSTAKA


menyebabkan sedasi ringan (mulai 25%) 1. Bisri T. Konsep VIMA dengan
dan peningkatan konsentrasi akan sevofluran. Bandung, 1998 : 2-22
menyebabkan penurunan sensasi 2. Bisri T. Sevofluran untuk VIMA pada
perasaan khusus misalnya bau sehingga pediatnk anestesi. Dalam : Kumpulan
Makalah Simposium Anestesi Pediatrik.
mengurangi komplikasi induksi. 4,7,14,26.
Bandung : Bagian Anestesiologi FK
Unpad / RSUP dr. Hasan Sadikin dan
IDSAI Jawa Barat, 1998.
SIMPULAN 3. Rushman GB, Davies NJH, Cashyman
JN. Administration of Volatile
Pemberian N2O pada induksi anestesi anaesthetics and gases. In A Synopsis of
dengan sevofluran 8% dengan tehnik Anesthesia. 12th ed. Oxford :
Butterworth Co, 1999 ; 152-63.
single breath , tidak mempercepat waktu
4. Agnor RC, Sikich NB, Leman J. Single-
induksi anestesi. Induksi anestesi dengan breath vital capacity rapid inhalation
sevofluran 8% dengan atau tanpa N2O , induction in children : 8% sevofluran
dengan tehnik single breath versus 5% halothane. Anesthesiology
menunjukkan gejolak kardiovaskuler 1998 ; 89 : 379 - 84.
5. Handoko T. Anestetik umum. Dalam :
yang minimal (tekanan darah, tekanan
Gan S, penyunting. Farmakologi dan
arteri rerata dan laju jantung). Induksi Terapi. Edisi III. Jakarta : Bagian
anestesi dengan sevofluran 8% dengan Farmakologi FK. UI, 1987 ; 103 - 15.
atau tanpa N2O ,dengan tehnik single 6. Joenoerham J, Latif SA. Anestesia
breath berjalan lancar tanpa komplikasi Umum. Dalam : Muhiman M, Sunatrio,
Dahlan R, penyunting. Anestesiologi.
yang berarti.
Jakarta : CV Infomedia, 1989 ; 80- 1.
Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah 7. Yurino M, Kimura H. Induction of
anesthesia with sevofluran, Nitrous
sampel yang lebih besar dan bervariasi
oxide and Oxygen : A Comparison of
sehingga akan dapat diketahui dengan spontaneus ventilation and vital capacity
tepat pengaruh Nitrous oxide terhadap rapid inhalation induction tehniques.
kecepatan induksi anestesi dengan Anesthesia and Analgesia 1993 ; 76 :
sevofluran. Perlu dilakukan penelitian 598 - 601.
8. Nishiyama T, Aibiki M, Hanaoka K.
tentang pengaruh pemberian Nitrous
Haemodynamic and catecholamin
oxide pada induksi anestesi, dengan changes during rapid sevofluran
menggunakan obat anestesi inhalasi yang induction with tidal volume breathing.
mempunyai koefisien partisi darah/ gas Canadian Journal of Anesthesia 1997;
sama atau lebih rendah dari Nitrous 44: 1066-1070.
9. Baswell MV, Collins VJ. Pharmacology
oxide, sehingga dapat diketahui apakah
of Inorganic Gas Anesthetics. In :
second gas effect dan concentration effect Collins VJ, ed. Physiologic and
dari Nitrous oxide masih dapat berefek Pharmacologic Bases of Anesthesia.
maksimal atau tidak. Chicago : Willim and Wilkins, 1996;
712-23.

40 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

10. Morgan E, Mikhael M. Inhalational WF, Perese DA, eds. Clinical Anesthesia
Anesthetics. In : Clinical Procedures of the Masachusetts General
st
Anesthesiology. 1 ed Connecticut: Hospital. 4th ed. Boston : Little, Brown
Prentice-Hall International Inc, 1992 ; and Company, 1993 ; 143 - 50.
105 - 07. 19. Guyton AC. Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. Korman W, Maplesson WW. 5. Jakarta : EGC, 1983 : 6 - 8.
Concentration and second gas effect : 20. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi :
can the accepted explanation be Konsep klinis proses-proses penyakit.
improved ? British Journal of Cetakan I. Jakarta: EGC, 1995 : 667 -77.
Anaesthesia 1997 ; 78 : 618 - 625. 21. Colins VJ. Anatomical aspects of
12. Gou M, Alex M, Rolf L. Nitrous oxide respiration. In : Physiologic and
decrease solubility of Halotan and Pharmacologic Bases of Anesthesia.
isoflurane in blood. Anesthesia and Chicago : Williams and Wilkins, 1996 ;
Analgesia 1993 ; 77 : 761 – 5. 2 - 12.
13. Lambert J. Single-breath induction of 22. Haloday DA. Elimination of inhalation
anesthesia with isoflurane. Br J Anaesth anesthetics. In : Collins VJ, ed.
1987 ; 59 : 1214- 18. Physiologic and Pharmacologic Bases of
14. Yurino M, Kimura H. Comparison of Anesthesia. Chicago : Williams and
induction time and characteristics Wilkins, 1996 ; 730.
between sevofluran and sevofluran / 23. Bisri, T. Neuroanestesi. Edisi 1.
nitrous oxide. Anaesthesiology 1995 ; 39 Bandung 1996 : 1 - 15.
: 356 - 8. 24. Walpole R, Logan M. Effect of
15. Smith I, Nathanson HM, White PF. sevofluran concentration on inhalation
Sevofluran - a long-awaited volatile induction of anaesthesia in the elderly.
anaesthetic. British Journal of British Journal of Anaesthesia 1999 ; 82
Anaesthesia 1996 ; 76 : 435 - 45. : 2 - 24.
16. Cousins M, Seaton H. Volatile 25. Baum VC, Yemen TA. Immediate 8%
anaesthetic agents and their delivery sevofluran induction in children : A
systems. In : Healy T, Cohen PJ, eds. A Comparison with incremental sevofluran
Practise of Anaesthesia 6lh ed. London : anf incremental halothane. Anaethesia
Edward Arnold, 1995 ; 117 -119. and analgesia 1997 ; 85:313-16.
17. Baswell MV, Collins VJ. Fluorinated 26. Philip BK, Lombard LL, Roaf ER.
Ether Anesthetic. In : Collins VJ, ed. Comparison of vital capacity induction
Physiologic and Pharmacologic Bases of with sevofluran to intravenous with
Anesthesia. Chicago : William and propofol for adult ambulatory anesthesia.
Wikins, 1996 ; 700 - 3. Anesthesi and analgesia, 1999 ; 89 : 623
18. Lennon P. Intravenous and Inhalation – 7.
Anesthetic. In : Davison KJ, Eckhardt

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 41


Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Anestesi Epidural Terhadap Supresi Imun Yang Diinduksi Stres


Operasi Selama Pembedahan

Ifar Irianto Yudhowibowo*, Doso Sutiyono*, Yulia Wahyu Villyastuti*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Major surgery associated with dysfunction of the innate immune system. More recently,
demonstrated that the stress of surgery can rapidly induce a temporary reduction of the
blood response to endotoxin from 2 hours after incision and that plasma IL-10 increased
during surgery, contributes to reducing the response.

It has been reported that epidural anesthesia has beneficial effects on immune reactions
and response to the stress of surgery. Some researchers have reported that epidural
anesthesia maintains NK cell activity and reduced stress response in patients undergoing
hysterectomy. Epidural block from T4 to S5 dermatomal segments, starting before surgery,
to prevent an increase in cortisol and glucose concentrations in the hysterectomy.
Regional anesthesia techniques for major surgery may reduce the release of cortisol,
adrenaline (epinephrine) and other hormones, but has little effect on the cytokine response.
Recent studies (Kawasaki et al., 2007) suggests that the innate immune system, such as
phagocytosis, suppressed by the stress of surgery and that epidural anesthesia did not
prevent this decline in immune responsiveness during upper abdominal surgery

ABSTRAK

Operasi besar berhubungan dengan disfungsi sistem kekebalan tubuh bawaan. Baru-baru
ini, dibuktikan bahwa stres akibat pembedahan dapat dengan cepat menginduksi
penurunan respon sementara dari darah terhadap endotoksin sejak 2 jam setelah insisi
dan bahwa IL-10 plasmayang meningkat selama pembedahan, berperan dalam penurunan
respon ini.

Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural memiliki efek menguntungkan pada reaksi
imunitas dan respon terhadap stres akibat pembedahan. Beberapa peneliti telah
melaporkan bahwa anestesi epidural mempertahankan aktivitas sel NK dan mengurangi
respon stres pada pasien yang menjalani histerektomi. Blok epidural dari segmen
dermatom T4 sampai S5, dimulai sebelum pembedahan, mencegah peningkatan
konsentrasi kortisol dan glukosa pada histerektomi. Teknik anestesi regional untuk operasi
besar dapat mengurangi pelepasan kortisol, adrenalin (epinefrin) dan hormon lain, namun
memiliki pengaruh kecil pada respon sitokin.

42 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Penelitian terbaru (kawasaki et al.,2007) menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh


bawaan, misalnya fagositosis, ditekan oleh stres akibat pembedahan dan bahwa
anestesi epidural tidak mampu mencegah penurunan respon kekebalan tubuh ini selama
operasi perut bagian atas.

PENDAHULUAN pasien yang menjalani pembedahan perut


bagian bawah. Namun demikian, beberapa
Banyak peneliti telah melaporkan bahwa
peneliti telah melaporkan bahwa anestesi
stres akibat pembedahan dapat
epidural tidak berefek terhadap stres
menginduksi imunosupresi. Operasi besar
operasi pada pasien yang menjalani
berhubungan dengan disfungsi sistem
pembedahan perut bagian atas.
kekebalan tubuh bawaan. Baru-baru ini,
dibuktikan bahwa stres akibat
pembedahan dapat dengan cepat
RESPON IMUN TERHADAP STRES
menginduksi penurunan respon sementara
OPERASI
dari darah terhadap endotoksin sejak 2
jam setelah insisi dan bahwa IL-10 plasma Sitokin memiliki peran utama dalam
yang meningkat selama pembedahan, respon inflamasi terhadap pembedahan,
berperan dalam penurunan respon ini. trauma dan mekanisme nyeri. Sitokin
Penurunan ini meningkatkan risiko memiliki efek lokal menjadi mediator dan
terjadinya komplikasi paska operasi, mempertahankan respon inflamasi pada
seperti SIRS (systemic inflammatory jaringan yang cedera, dan juga memacu
response syndrome), sepsis, dan terjadinya beberapa perubahan sistemik.
kegagalan multi organ. Setelah operasi besar, sitokin utama yang
diproduksi adalah interleukin-1 (IL-1),
Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural
memiliki efek menguntungkan pada reaksi tumor necrosing factor (TNF-) dan
imunitas dan respon terhadap stres akibat interleukin-6 (IL-6). IL-6 adalah sitokin
pembedahan. Beberapa peneliti telah utama yang bertanggung jawabuntuk
melaporkan bahwa anestesi epidural menginduksi perubahan sistemik yang
mempertahankan aktivitas sel NK dan dikenal sebagai respon fase akut.1,2,3,4
mengurangi respon stres pada pasien yang Dalam 30-60 menit setelah pembedahan
menjalani histerektomi. Blok saraf dimulai, konsentrasi IL-6 mulai
simpatis yang disebabkan oleh anestesi meningkat; perubahan konsentrasinya
epidural dapat mengurangi respon stres menjadi signifikan setelah 2-4 jam.
akibat pembedahan dari katekolamin dan Produksi sitokin mencerminkan tingkat
kortisol plasma serta meningkatkan kerusakan jaringan, sehingga prosedur
beberapa respon imun, seperti dengan tingkat invasif dan traumatis
sitotoksisitas sel Natural Killer (NK) pada minimal dapat menyebabkan pelepasan

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 43


Jurnal Anestesiologi Indonesia

sitokin paling sedikit, misalnya bedah jam setelah insisi dan bahwa IL-10
laparoskopi. Peningkatan IL-6 terbesar plasmayang meningkat selama
terjadi setelah operasi besar seperti pembedahan, berperan dalam penurunan
operasi penggantian sendi, operasi respon ini.6
pembuluh darah utama dan operasi
Berdasarkan hasil penelitian (kawasaki et
kolorektal. Setelah operasi ini, konsentrasi
al,2007) terhadap 20 pasien yang
sitokin mencapai tingkat maksimal setelah
menjalani operasi gastrektomi parsial
24 jam dan tetap tinggi sampai 48-72 jam
didapatkan: Aktivitas fagositosis neutrofil
setelah operasi (Sheeran dan Hall, 1997).5
menurun secara signifikan 2 jam setelah
Tabel 1. Jenis – jenis sitokin pada inflamasi akut. operasi dimulai dan pulih ke tingkat pra-
operasi pada hari keempat paska operasi,
SITOKIN YANG TERLIBAT DALAM
konsentrasi IL-10 plasma meningkat
INFLAMASI AKUT
secara signifikan2 jamsetelah operasi
Sitokin Aksi dimulai dan mencapai puncaknyapada
TNF- Pro-inflamasi; pelepasan leukosit akhiroperasi, konsentrasi IL-10 kembali
olehsumsum tulang; aktivasi leukosit ke tingkat pra-operasi pada hari keempat
dansel endotel paska operasi; produksi TNF-α menurun
IL-1 Demam; aktivasi sel T dan makrofag secara signifikan 2 jam setelah operasi
dimulai dan mencapai nilai minimum
IL-6 Pertumbuhan dan diferensiasi
pada akhir operasi. Produksi TNF-α yang
limfosit;aktivasi respon protein fase-
akut
diinduksi-LPS pulih ke tingkat pra-operasi
pada hari pertama paska operasi.6
IL-8 Kemotaksis untuk neutrofil dan sel T

IL-10 Menghambat fungsi kekebalan tubuh


PENGARUH ANESTESI EPIDURAL
(TNF = tumor necrosis factor; IL = interleukin)
TERHADAP SUPRESI IMUN YANG
DIINDUKSI STRES OPERASI
SUPRESI IMUN YANG DIINDUKSI Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural
STRES OPERASI memiliki efek menguntungkan pada reaksi
Banyak peneliti telah melaporkan bahwa imunitas dan respon terhadap stres akibat
stres akibat pembedahan dapat pembedahan.6,7,8 Beberapa peneliti telah
menginduksi imunosupresi. Operasi besar melaporkan bahwa anestesi epidural
berhubungan dengan disfungsi sistem mempertahankan aktivitas sel NK dan
kekebalan tubuh bawaan. Baru-baru ini, mengurangi respon stres pada pasien yang
dibuktikan bahwa stres akibat menjalani histerektomi.9 Blok epidural
pembedahan dapat dengan cepat dari segmen dermatom T4 sampai S5,
menginduksi penurunan respon sementara dimulai sebelum pembedahan, mencegah
dari darah terhadap endotoksin sejak 2 peningkatan konsentrasi kortisol dan
glukosa pada histerektomi.10 Teknik

44 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

anestesi regional untuk operasi besar menunjukkan bahwa anestesi epidural


dapat mengurangi pelepasan kortisol, menekan peningkatan konsentrasi kortisol
adrenalin (epinefrin) dan hormon lain, serum selama pembedahan.Sebaliknya,
namun memiliki pengaruh kecil pada pada pasien yang menjalani operasi perut
respon sitokin.3 bagian atas, ada beberapa laporan bahwa
anestesi epidural tidak memperbaiki
Anestesi lokal dapat mengurangi respon
penekanan sistem imun atau respon
inflamasi pascaoperasi melalui dua cara:
terhadap stres. Tonnesen dkk, Melaporkan
memblokir transmisi sarafpada
bahwa aktivitas sel NK selama operasi
lokasikerusakan jaringan dan mengurangi
perut bagian atas menurun secara
inflamasi neurogenik (Coderre et al,
signifikan selama anestesi umum dan
1993); anestesi lokal juga memiliki sifat
anestesi umum yang digabung dengan
anti-inflamasi sistemik sendiri (Hollmann
anestesi epidural.6
danDurieux, 2000).Tampaknya hanya
teknik anestesi regional saja yang dapat Penelitian terbaru (kawasaki et al.,2007)
menurunkan respon stres jangka panjang.2 menunjukkan bahwa sistem kekebalan
tubuh bawaan, misalnya fagositosis,
Terdapat perbedaan produksi IL-6 yang
ditekan oleh stres akibat pembedahan dan
signifikan antara pasien yang mendapat
bahwa anestesi epidural tidak mampu
analgetik terkontrol (patient controlled
mencegah penurunan respon kekebalan
analgesia-PCA), pasien yang mendapat
tubuh ini selama operasi perut bagian
analgetik epidural terkontrol (patient-
atas.6
controlled epidural analgesia-PCEA) dan
pasien yang mendapat rejimen opiat
intermiten(intermittent opioates-IOR)
RINGKASAN
selama 72 jam. Kadar IL-6tidak terlalu
meningkat pada kelompok PCEA, hampir Operasi besar berhubungan dengan
kembali ke nilai preoperatif setelah 72 disfungsi sistem kekebalan tubuh bawaan.
jam. Sebaliknya, IL-6 paling banyak Baru-baru ini, dibuktikan bahwa stres
meningkat pada kelompok IOR dan masih akibat pembedahan dapat dengan cepat
meningkat setelah 72 jam, sedangkan menginduksi penurunan respon sementara
kadar IL-6 di kelompok PCA naik secara dari darah terhadap endotoksin sejak 2
intermediet (Beilin et al., 2003).2,11 jam setelah insisi dan bahwa IL-10
plasmayang meningkat selama
Hole dkk,Menunjukkan bahwa fungsi
pembedahan, berperan dalam penurunan
limfosit dan monositakan tersupresi di
respon ini.
bawah anestesi umum, namun bisa
dipertahankan di bawah anestesi epidural Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural
pada pasien yang menjalani penggantian memiliki efek menguntungkan pada reaksi
panggul total. Selain itu, mereka juga imunitas dan respon terhadap stres akibat

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 45


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pembedahan.Beberapa peneliti telah production during and after upper abdominal


melaporkan bahwa anestesi epidural surgery [homepage on the Internet]. c2005
[update 2005 Okt 21; cited 2010 Jan 26].
mempertahankan aktivitas sel NK dan
Available from:
mengurangi respon stres pada pasien yang http://xa.yimg.com/kq/groups/1864568/287187
menjalani histerektomi. Blok epidural dari 149/name/Interleukin10+Production.pdf
segmen dermatom T4 sampai S5, dimulai 5. Hermawan A G. Sitokin yang berperan dalam
sebelum pembedahan, mencegah SIRS dan sepsis. SIRS, sepsis dansyok septik.
Surakarta: UNS press, 2008; 23.
peningkatan konsentrasi kortisol dan
6. Kawasaki T, Ogata M, Kawasaki C, Okamoto
glukosa pada histerektomi. Teknik K, Sata T. Effects of epidural anaesthesia on
anestesi regional untuk operasi besar surgical stress-induced immunosuppression
dapat mengurangi pelepasan kortisol, during upper abdominal surgery [homepage on
adrenalin (epinefrin) dan hormon lain, the Internet]. c2006 [update 2007 Jan 11; cited
2010 Sep 26]. Available from:
namun memiliki pengaruh kecil pada
http://bja.oxfordjournals.org/content/98/2/196.f
respon sitokin. ull.pdf

Penelitian terbaru (kawasaki et al.,2007) 7. Sendasgupta C, Makhija N, Kiran U,


menunjukkan bahwa sistem kekebalan Choudhary S K, Lakshmy R, Das S N. Caudal
tubuh bawaan, misalnya fagositosis, epidural sufentanil and bupivacaine decreases
stress response in paediatric cardiac surgery
ditekan oleh stres akibat pembedahan dan
[homepage on the Internet]. c2008 [update
bahwa anestesi epidural tidak mampu 2010 Apr 6; cited 2010 Sep 26]. Available
mencegah penurunan respon kekebalan from:
tubuh ini selama operasi perut bagian atas. http://www.anestesiadolor.org/repositorio/Anes
tesia-en-pediatria/regional/Sufenta-
bupi%20caudal%20en%20ninos.pdf
8. Willmore DW, Kehlet H. Management of
DAFTAR PUSTAKA patients in fast track surgerty {homepage on
the Internet}.c2001{cited 2010 Sep 26}.
1. Choileain N N, Redmond H P. Cell response to Available from ;
surgery [homepage on the Internet]. c2006 http://www.bmj/content/322/7284/473.full.pdf.
[cited 2010 Okt 5]. Avalaible from: 9. Gottschalk A, Ford J G, Regelin C C, You J,
http://archsurg.ama-assn.org/cgi/reprint/ Mascha E J, Sessler D I, et al. Association
141/11/1132.pdf between epidural analgesia and cancer
2. Goluovska I, Vanags I. Anaesthesia and stress recurrence after colorectal cancer surgery
response to surgery [homepage on the Internet]. {homepage on the internet}.c2010{cited 2010
c2008 [cited 2010 Okt 26]. Available from: Sep 26}. Available from :
http://versita.metapress.com/content/17101800 http://www.mendeley.com/reserch/association-
28u232l2/fulltext.pdf between-epidural-analgesia-and-cancer-
3. Walsh T S. The metabolic response to injury recurrence-after-colorectal-cancer-surgery/
[homepage on the Internet]. c2007 [cited 2010 10. Desborogh J P. The stress response to trauma
Sep 26]. Available from: and surgery {Homepage on the Internet}.c2000
http://www.medicaltextbooksrevealed.com/file {cited 2010 Sept}. Available from :
s/11217-53.pdf http://bja.oxfordjournals.org/content/85/1/109.f
ull.pdf.
4. Kato M, Honda I, Hitoshi Suzuki H, Murakami
M, Matsukawa S, Hashimoto Y. Interleukin-10

46 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

11. Yokoyama M, Itano Y, Katayama H, esophagectomy [homepage on the Internet].


Morimatsu H, Takeda Y, Takahashi T, et al. c2005 [cited 2010 Sep 26]. Available from:
The effects of continuous epidural anesthesia http://www.anesthesia-
and analgesia on stress response and immune analgesia.org/content/101/5/1521.full.pdf
function in patients undergoing radical

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 47


Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal

Ratno Samodro*, Doso Sutiyono*, Hari Hendriarto Satoto*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Regional anesthesia is growing and expanding its use, given the variety of benefits offered,
such as relatively cheap, minimal systemic effects, produce adequate analgesia and the
ability to prevent the stress response is more perfect.

Local anesthetic drug is chemically divided into two major categories, namely the class of
Amide and ester groups. These chemical differences are reflected in differences in the
metabolism of the place, where the ester group is mainly metabolized by the enzyme
pseudo-cholinesterase in the plasma while the Amide groups mainly through enzymatic
degradation in the liver. This difference is also related to the magnitude of the possibility
of allergies, in which the ester group derived from p-amino-benzoic acid has a greater
frequency of allergic tendencies. Local anesthetic commonly used in our country for the
class of esters are procaine, whereas the Amide groups are lidocaine and bupivacaine.

Mechanism of action of local anesthetic drugs to prevent transmission of nerve impulses


(conduction blockade) by inhibiting the delivery of sodium ions through selective sodium
ion gates in neuronal membranes. Failure of the sodium ion permeability of the gate to
increase the speed of depolarization of the slowdown as a potential threshold was not
reached so that action potentials are not propagated. Local anesthetic did not alter the
resting potential or transmembrane potential threshold.

Pharmacokinetics of the drug include absorption, distribution, metabolism and excretion.


Complications of local anesthetic is a local side effects can occur at the injection site
hematoma and abscess while systemic side effects such as neurological in the central
nervous, respiratory, cardiovascular, immunological, musculoskeletal, and hematologic

Some local anesthetic drug interactions include coadministration may increase the potency
of each drug. decreased metabolism of local anesthetics as well as increase the potential
for intoxication.

ABSTRAK
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai
keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang
minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress
secara lebih sempurna.

48 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester
dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat
metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-
kolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis
di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi,
dimana golongan ester turunan dari p-amino-benzoic acid memiliki frekwensi
kecenderungan alergi lebih besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita
untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan
bupivakain.

Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi)
dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada
membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan
perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai
sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial
istirahat transmembran atau ambang batas potensial.

Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Komplikasi


obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat suntikan dapat timbul hematom
dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain neurologis pada Susunan Saraf
Pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi ,muskuloskeletal dan hematologi

Beberapa interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat
meningkatkan potensi masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi lokal
serta meningkatkan potensi intoksikasi.

PENDAHULUAN pengetahuan tentang farmakologi obat


anestesi lokal.1
Anestesi regional semakin berkembang
dan meluas pemakaiannya, mengingat
berbagai keuntungan yang ditawarkan,
SEJARAH
diantaranya relatif lebih murah, pengaruh
sistemik yang minimal, menghasilkan Carl Koller (1884), seorang ahli mata
analgesi yang adekuat dan kemampuan telah memperkenalkan untuk yang
mencegah respon stress secara lebih pertama kali penggunaan kokain secara
sempurna. Namun demikian bukan berarti topikal pada operasi mata. Gaedicke
bahwa tindakan anestesi lokal tidak ada (1885) mendapatkan kokain dalam bentuk
bahayanya. Hasil yang baik akan dicapai ester asam benzoat yang diisolasi dari
apabila selain persiapan yang optimal tumbuhan koka (erythroxylon coca) yang
seperti halnya anestesi umum juga disertai

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 49


Jurnal Anestesiologi Indonesia

banyak tumbuh di pegunungan Andes.


Kemudian olah Albert Naiman (1860)
dalam bentuk ekstrak. William Halsted
(1884), seorang ahli bedah telah Penggolongan Obat Anestesi Lokal
menggunakan kokain intradermal dan
blok saraf fasialis, pudendal, tibialis Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi
posterior dan plexus brachialis. dalam dua golongan besar, yaitu golongan
Selanjutnya August Bier (1898), ester dan golongan amide. Perbedaan
menggunakan 3 ml kokain 0,5% intratekal kimia ini direfleksikan dalam perbedaan
untuk anestesi spinal dan pada 1908 tempat metabolisme, dimana golongan
memperkenalkan anestesi regional ester terutama dimetabolisme oleh enzim
intravena (Bier Block). Alfred Einhorn pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan
(1904) mensintesa prokain dan pada tahun golongan amide terutama melalui
yang sama digunakan untuk anestesi lokal degradasi enzimatis di hati.1,2,3,4
oleh Heinrich Braun. Penambahan Perbedaan ini juga berkaitan dengan
epinefrin untuk memperpanjang aksi besarnya kemungkinan terjadinya alergi,
anestetik lokal dilakukan pertama kali dimana golongan ester turunan dari p-
oleh Heinrich Braun. 1,2,3 amino-benzoic acid memiliki frekuensi
kecenderungan alergi lebih besar.3
Ferdinand Cathelin dan Jean Sicard
(1901) memperkenalkan anestesi epidural Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal
kaudal dan Frigel Pages (1921) dibedakan berdasarkan potensi dan lama
memperkenalkan anestesi epidural lumbal kerjanya menjadi 3 group. Group I
yang diikuti oleh Achille Doglioti (1931). meliputi prokain dan kloroprokain yang
Selanjutnya Lofgren (1943) mensintesa memiliki potensi lemah dengan lama kerja
anestesi lokal amide, yaitu lidokain yang singkat. Group II meliputi lidokain,
menghasilkan blokade konduksi lebih kuat mepivakain dan prilokain yang memiliki
daripada Prokain dan menjadi potensi dan lama kerja sedang. Group III
pembanding semua anestesi lokal. meliputi tetrakain, bupivakain dan
Penggunaan klinis lidokain sejak 1947. etidokain yang memiliki potensi kuat
Sebelumnya dibukain (1930), tetrakain dengan lama kerja panjang.2,3 Anestesi
(1932) dan sesudah itu kloroprokain lokal juga dibedakan berdasar pada mula
(1955), mepivakain (1957), prilokain kerjanya. Kloroprokain, lidokain,
(1960), bupivakain (1963), etidokain mepevakain, prilokain dan etidokain
(1972). memiliki mula kerja yang relatif cepat.
Bupivakain memiliki mula kerja sedang,
Ropivakain dan levobupivakain adalah sedangkan prokain dan tetrakain bermula
obat baru dengan aksi durasi hampir sama kerja lambat.3
seperti bupivacain tetapi kardio dan
neurotoksisitasnya lebih kecil.1-4 Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di
negara kita untuk golongan ester adalah

50 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

prokain, sedangkan golongan amide menghasilkan blockade konduksi impuls


adalah lidokain dan bupivakain. Secara saraf seperti obat anestesi local ester atau
garis besar ketiga obat ini dapat dibedakan obat anestesi amide (Gambar 2).
sebagai berikut : 1-4 Perbedaan penting antara obat anestesi
lokal ester dan amide berkaitan dengan
Tabel 1. Jenis anestesi lokal
tempat metabolisme dan kemapuan
Prokain Lidokain Bupivakai menyebabkan reaksi alergi.2-7
n
Golongan Ester Amide Amide
Mula Kerja 2 menit 5 menit 15 menit
Lama Kerja 30 – 45 45 – 90 2–4
menit menit jam
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis 12 6 2
maksimal
(mg/kgBB)
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 2 10 Gambar 1. Obat anestesi local terdiri dari bagian
lipofilik dan hidrofilik yang dihubungkan dengan
ikaran rantai hidrokarbon.
HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS

Anestesi lokal terdiri dari kelompok


lipofilik—biasanya dengan cincin
bezene—dibedakan dari kelompok
hidrofilik—biasanya amin tersier—
berdasarkan rantai intermediat yang
memiliki cabang ester atau amida. ).
Kelompok hidrofilik biasanya amine
tersier, seperti dietilamine, dimana bagian
lipofilik biasanya merupakan cincin
aromatic tak jenuh, seperti asam
paraaminobenzoat. Bagian lipofilik
penting untuk aktivitas obat anestesi, dan
secara terapeutik sangat berguna untuk
obat anestesi local yang membutuhkan
keseimbangan yang bagus antara
kelarutan lipid dan kelarutan air. Pada
hampir semua contoh, ikatan ester (-CO-)
atau amide (-NHC-) menghubungkan
rantai hidrokarbon dengan rantai aromatic
Gambar 2. Obat anestesi local ester dan amide.
lipofilik. Sifat dasar ikatan ini adalah Mepivacaine, bupivacaine dan ropivacaine adalah
dasar untuk mengklasifikasikan obat yang obat khiral karena molekulnya memiliki atom
karbon asimetris.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 51


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Potensi berkorelasi dengan kelarutan Larutan anestesi lokal dipersiapkan secara


lemak, karena itu merupakan kemampuan komersial dalam bentuk garam
anestesi lokal untuk menembus membran, hidroklorida yang larut-air (pH 6-7).
lingkungan yang hidrofobik. Secara Karena epinefrin tidak stabil dalam
umum, potensi dan kelarutan lemak suasana alkali, maka larutan anestesi lokal
meningkat dengan meningkatnya jumlah yang tersedia, yang mengandung
total atom karbon pada molekul. Onset epinefrin, dibuat dalam suasana asam (pH
dari kerja obat bergantung dari banyak 4-5). Sebagai konsekuensi langsung,
faktor, termasuk kelarutan lemak dan sediaan ini memiliki konsentrasi basa
konsentrasi relatif bentuk larut-lemak bebas yang lebih rendah dan onset yang
tidak-terionisasi (B) dan bentuk larut-air lebih lambat dibanding dengan epinefrin
terionisasi (BH+), diekspresikan oleh pKa. yang ditambahkan oleh klinisi saat akan
Pengukurannya adalah pH dimana jumlah digunakan. Hal yang sama, rasio basa-
obat yang terionisasi dan yang tidak kation ekstraselular diturunkan dan onset
terionisasi sama. Obat dengan kelarutan dihambat sewaktu anestesi lokal diinjeksi
lemak yang lebih rendah biasanya ke dalam jaringan yang bersifat asam
memiliki onset yang lebih cepat.2,3 (misal: jaringan yang terinfeksi).
Walaupun masih merupakan kontroversi,
Anestesi lokal dengan pKa yang
beberapa peneliti melaporkan bahwa
mendekati pH fisiologis akan memiliki
alkalinisasi larutan anestesi lokal
konsentrasi basa tak-terionisasi lebih
(biasanya sediaan komersial, yang
tinggi yang dapat melewati membran sel
mengandung epinefrin) dengan
saraf, dan umumnya memiliki onset yang
menambahkan sodium bikarbonat (misal,
lebih cepat. Onset dari kerja anestesi lokal
1 mL 8,4% sodium bikarbonat dalam tiap
dalam serat saraf yang terisolasi secara
10 mL lidokain) akan mempercepat onset,
langsung berkorelasi dengan pKa. Onset
memperbaiki kualitas dari blokade dan
klinis dari kerja anestesi lokal dengan pKa
memperpanjang durasi blokade dengan
yang sama tidak identik. Faktor-faktor
meningkatkan jumlah basa bebas yang
lain, seperti kemudahan berdifusi melalui
tersedia. Yang menarik, alkalinisasi juga
jaringan ikat, dapat mempengaruhi onset
menurunkan nyeri saat dilakukan infiltrasi
kerja in vivo. Lebih lagi, tidak semua
pada jaringan.2,3
anestesi lokal berubah menjadi bentuk
terionisasi (contoh: benzocaine) anestesi Durasi kerja umumnya berkorelasi dengan
ini kemungkinan beraksi dengan kelarutan lemak. Anestesi lokal dengan
mekanisme yang bergantian (contoh: kelarutan lemak tinggi memiliki durasi
memperlebar membran lipid).2,4 yang lebih panjang, diperkirakan karena
lebih lama dibersihkan dari dalam darah.
Hal yang penting dari bentuk ionisasi dan
tak-terionisasi adalah implikasi klinisnya.

52 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Mekanisme Kerja sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi


lokal: autonom > sensorik > motorik2,4,6
Obat anestesi local mencegah transmisi
impuls saraf (blokade konduksi) dengan FARMAKOLOGI KLINIS
menghambat pengiriman ion natrium
Farmakokinetik
melalui gerbang ion natrium selektif pada
membrane saraf (Butterworth dan Karena anestesi lokal biasanya
Strichartz, 1990). Gerbang natrium sendiri diinjeksikan atau diaplikasikan sangat
adalah reseptor spesifik molekul obat dekat dengan lokasi kerja maka
anestesi local. Penyumbaatn gerbang ion farmakokinetik dari obat umumnya lebih
yang terbuka dengan molekul obat dipentingkan tentang eliminasi dan
anestesi local berkontribusi sedikit sampai toksisitas obat dibanding dengan efek
hampir keseluruhan dalam inhibisi klinis yang diharapkan.2,3,6
permeabilitas natrium. Kegagalan
permeabilitas gerbang ion natrium untuk A. Absorpsi
meningkatkan perlambatan kecepatan Sebagian besar membran mukosa
depolarisasi seperti ambang batas memiliki barier yang lemah terhadap
potensial tidak tercapai sehingga potensial penetrasi anestesi lokal, sehingga
aksi tidak disebarkan. Obat anestesi local menyebabkan onset kerja yang cepat.
tidak mengubah potensial istirahat Kulit yang utuh membutuhkan anestesi
transmembran atau ambang batas lokal larut-lemak dengan konsentrasi
potensial. tinggi untuk menghasilkan efek
2
analgesia.
Lokal anestesi juga memblok kanal
kalsium dan potasium dan reseptor N- Absorpsi sitemik dari anestesi lokal yang
methyl-D-aspartat (NMDA) dengan diinjeksi bergantung pada aliran darah,
derajat yang berbeda-beda. Beberapa yang ditentukan dari beberapa faktor di
golongan obat lain, seperti antidepresan bawah ini 2,5
trisiklik (amytriptiline), meperidine,
1. Lokasi injeksi—laju absorpsi
anestesi inhalasi, dan ketamin juga
sistemik proporsional dengan
memiliki efek memblok kanal sodium.
vaskularisasi lokasi injeksi :
Tidak semua serat saraf dipengaruhi sama intravena > trakeal > intercostal >
oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas caudal > paraservikal > epidural >
terhadap blokade ditentukan dari diameter pleksus brakhialis > ischiadikus >
aksonal, derajat mielinisasi, dan berbagai subkutaneus.
faktor anatomi dan fisiologi lain. Diameter 2. Adanya vasokonstriksi—
yang kecil dan banyaknya mielin penambahan epinefrin—atau yang
meningkatkan sensitivitas terhadap lebih jarang fenilefrin—
anestesi lokal. Dengan demikian, menyebabkan vasokonstriksi pada
tempat pemberian anestesi.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 53


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Sebabkan penurunan absorpsi dan 3. Massa jaringan—otot merupakan


peningkatan pengambilan reservoar paling besar untuk
neuronal, sehingga meningkatkan anestesi lokal karena massa dari
kualitas analgesia, memperpanjang otot yang besar.
durasi, dan meminimalkan efek
toksik. Efek vasokonstriksi yang Metabolisme dan Ekskresi
digunakan biasanya dari obat yang
Metabolisme dan ekskresi dari lokal
memiliki masa kerja pendek.
anestesi dibedakan berdasarkan
Epinefrin juga dapat meningkatkan 2,5
strukturnya :
kualitas analgesia dan
memperlama kerja lewat 1. Ester-anestesi lokal ester
aktivitasnya terhadap resptor dominan dimetabolisme oleh
adrenergik α2. pseudokolinesterase
3. Agen anestesi lokal—anestesi (kolinesterase palsma atau
lokal yang terikat kuat dengan butyrylcholinesterase). Hidrolisa
jaringan lebih lambat terjadi ester sangat cepat, dan
absorpsi. Dan agen ini bervariasi metabolitnya yang larut-air
dalam vasodilator intrinsik yang diekskresikan ke dalam urin.
dimilikinya. Procaine dan benzocaine
dimetabolisme menjadi asam p-
B. DISTRIBUSI aminobenzoiz (PABA), yang
Distribusi tergantung dari ambilan organ, dikaitkan dengan reaksi alergi.
yang ditentukan oleh faktor-faktor di Pasien yang secara genetik
bawah ini :1,6 memiliki pseudokolinesterase
yang abnormal memiliki resiko
1. Perfusi jaringan-organ dengan
intoksikasi, karena metabolisme
perfusi jaringan yang tinggi (otak,
dari ester yang menjadi lambat.
paru, hepar, ginjal, dan jantung)
2. Amida-anestesi lokal amida
bertanggung jawab terhadap
dimetabolisme (N-dealkilasi dan
ambilan awal yang cepat (fase α),
hidroksilasi) oleh enzim
yang diikuti redistribusi yang lebih
mikrosomal P-450 di hepar. Laju
lambat (fase β) sampai perfusi
metabolisme amida tergantung
jaringan moderat (otot dan saluran
dari agent yang spesifik
cerna
(prilocine > lidocaine >
2. Koefisien partisi jaringan/darah-
mepivacaine > ropivacaine >
ikatan protein plasma yang kuat
bupivacaine), namun secara
cenderung mempertahankan obat
keseluruhan jauh lebih lambat
anestesi di dalam darah, dimana
dari hidrolisis ester. Penurunan
kelarutan lemak yang tinggi
fungsi hepar (misal pada sirosis
memfasilitasi ambilan jaringan.
hepatis) atau gangguan aliran

54 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

darah ke hepar (misal gagal mengejutkan jika anestesi lokal dapat


jantung kongestif, vasopresor, menyebabkan intoksikasi sistemik. 2,4,5,7,11
atau blokade reseptor H2) akan
A. Neurologis
menurunkan laju metabolisme
Sistem saraf pusat merupakan
dan merupakan predisposisi
bagian yang paling rentan terjadi
terjadi intoksikasi sistemik.
intoksikasi dari anestesi lokal dan
Sangat sedikit obat yang
merupakan sistem yang dimonitoring awal
diekskresikan tetap oleh ginjal,
dari gejala overdosis pada pasien yang
walaupun metabolitnya
sadar. Gejala awal adalah rasa kebas,
bergantung pada bersihan ginjal.
parestesi lidah, dan pusing. Keluhan
sensorik dapat berupa tinitus, dan
Komplikasi obat Anestesi lokal.
penglihatan yang kabur. Tanda eksitasi
1.Efek samping lokal
(kurang istirahat, agitasi, gelisah,
Pada tempat suntikan, apabila saat
paranoid) sering menunjukkan adanya
penyuntikan tertusuk pembuluh darah
depresi sistem saraf pusat (misal, bicara
yang cukup besar, atau apabila penderita
tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, dan
mendapat terapi anti koagulan atau ada
tidak sadar). Kontraksi otot yang cepat,
gangguan pembekuan darah, maka akan
kecil dan spontan mengawali adanya
dapat timbul hematom. Hematom ini bila
kejang tonik-klonik. Biasanya diikuti
terinfeksi akan dapat membentuk abses
dengan gagal nafas. Reaksi eksitasi
Apabila tidak infeksi mungkin saja
merupakan hasil dari blokade selektif
terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi
pada jalur inhibitor. Anestesi lokal dengan
tanpa meninggalkan bekas.
kelarutan lemak tinggi dan pontensi tinggi
Tindakan yang perlu adalah konservatif menyebabkan kejang pada konsentrasi
dengan kompres hangat, atau insisi obat lebih rendah dalam darah dibanding
apabila telah terjadi abses disertai agen anestesi dengan potensi yang lebih
pemberian antibiotika yang sesuai. rendah. Dengan menurunkan aliran darah
Apabila suatu organ end arteri dilakukan otak dan pemaparan obat, benzodiazepin
anestesi lokal dengan campuran adrenalin, dan hiperventilasi meningkatkan batas
dapat saja terjadi nekrosis yang ambang terjadinya kejang karena anestesi
memerlukan tindakan nekrotomi, disertai lokal. Thiopental (1-2 mg/kg) dengan
dengan antibiotika yang sesuai.9-10 cepat dan tepat menghentikan kejang.
Ventilasi dan oksigenasi yang baik harus
tetap dipertahankan.
2. Pengaruh Pada Sistem Organ
Lidokain intravena (1,5 mg/kg)
Karena blokade kanal sodium
menurunkan aliran darah otak dan
mempengaruhi bangkitan aksi potensial di
menurunkan peningkatan tekanan
seluruh tubuh, sehingga bukan hal yang
intrakranial yang biasanya timbul pada

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 55


Jurnal Anestesiologi Indonesia

intubasi pasien dengan penurunan polos bronkhus. Lidokain intravena


komplians intrakranial. Lidokain dan (1,5mg.kg) terkadang mungkin efektif
prokain infus selama ini digunakan untuk memblok refleks bronkokonstriksi
sebagai tambahan dalam teknik anestesi saat dilakukan intubasi. Lidokain
umum, karena kemampuannya diberikan sebagai aerosol dapat sebabkan
menurunkan MAC dari anestesi inhalasi bronkospasme pada beberapa pasien yang
sampai 40%. menderita penyakit saluran nafas reaktif.

Dosis lidokain berulang 5% dan 0,5% C. Kardiovaskular


tetracaine dapat menjadi penyebab dari Umumnya, semua anestesi lokal
neurotoksik (sindroma kauda ekuina) mendepresi automatisasi miokard
setelah dilakukan infus kontinu melalui (depolarisasi spontan fase IV) dan
keteter bore-kecil pada anestesi spinal. menurunkan durasi dari periode refraktori.
Hal in terjadi mungkin karena adannya Kontraktilitas miokard dan kecepatan
pooling obat di kauda ekuina, yang konduksi juga terdepresi dalam
sebabkan peningkatan konsentrasi obat konsentrasi yang lebih tinggi. Pengaruh
dan kerusakan saraf yang permanen. ini menyebabkan perubahan membran otot
Penelitian pada hewan menunjukkan jantung dan inhibisi sistem saraf autonom.
neurotoksisitas pada pemberian berulang Semua anestesi lokal, kecuali cocaine,
melalui intratekal bahwa lidokain = merelaksasikan otot polos, yang sebabkan
tetracaine > bupivacaine > ropivacaine. vasodilatasi arteriolar. Kombinasi yang
terjadi, yaitu bradikardi, blokade jantung,
Gejala neurologis transien, yang terdiri
dan hipotensi dapat mengkulminasi
dari disestesia, nyeri terbakar, dan nyeri
terjadinya henti jantung. Intoksikasi pada
pada ekstremitas dan bokong pernah
jantung mayor biasanya membutuhkan
dilaporkan setelah dilakukan anestesi
konsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi
spinal dengan berbagai agent anestesi.
yang dapat sebabkan kejang. Injeksi
Penyebab dari gejala ini dikaitkan dengan
intravaskular bupivicaine yang tidak
adanya iritasi pada radiks, dan gejala ini
disengaja selama anestesi regional
biasanya menghilang dalam 1 minggu.
mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang
Faktor resikonya adalah penggunaan
berat, termasuk hipotensi, blok
lidokain, posisi litotomi, obesitas, dan
atrioventrikular, irama idioventrikular,
kondisi pasien.
dan aritmia yang dapat mengancam nyawa
B. Respirasi seperti takikardi ventrikular dan fibrilasi.
Lidokain mendepresi respon hipoksia. Kehamilan, hipoksemia, dan adisosis
Paralisis dari nervus interkostalis dan respiratorik merupakan faktor
nervus phrenicus atau depresi dari pusat predisposisi.
respirasi dapat mengakibatkan apneu
Ropivacaine memiliki banyak kesamaan
setelah pemaparan langsung anestesi
dalam psikokimia dengan bupivacaine
lokal. Anestesi lokal merelaksasikan otot
kecuali bahwa sebagian dari ropivacaine

56 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

adalah larut-lemak. Waktu onset dan tambahan ini yang bertanggung jawab
durasi kerja sama, namun ropivacaine terhadap sebagian besar reaksi alergi.
memblok motorik lebih rendah, yang Anestesi lokal dapat membantu
sebabkan potensi lebih rendah, mengurangi respon inflamasi karena
ditunjukkan dalam beberapa penelitian. pembedahan dengan cara menghambat
Yang paling menjadi perhatian, pengaruh asam lysophosphatidic dalam
ropivacaine memiliki index terapi yang mengaktivasi neutrofil.
besar karena 70% lebih sedikit
E. Muskuloskeletal
menyebabkan intoksikasi kardia
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot
dibandingkan dengan bupivacaine.
skeletal (trigger-point injeksi), anestesi
Ropivacain dikatakan memiliki toleransi
lokal adalah miotoksik (bupivacaine >
terhadap sistem saraf pusat yang lebih
lidocaine > procaine). Secara histologi,
besar. Keamanan dari ropivacaine ini
hiperkontraksi miofibril menyebabkan
mungkin disebabkan karena kelarutan
degenarasi litik, edema, dan nekrosis.
lemaknya yang rendah atau
Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4
availibilitasnya sebagai isomer S(-) yang
minggu. Steroid tambahan atau injeksi
murni, yang bertolak belakang dengan
epinefrin memperburuk nekrosis otot.
struktur dari bupivacaine.
Data penelitian hewan menunjukkan
Levobupivacaine, merupakan isomer S(-)
bahwa ropivacaine menghasilkan
dari bupivacain, yang tidak lagi tersedia di
kerusakan otot yang tidak terlalu berat
Amerika Serikat, dilaporkan memiliki
dibanding bupivacaine.
efek samping terhadap cardiovaskular dan
serebral yang lebih kecil dari pada struktur F. Hematologi
campuran; penelitian mengatakan bahwa Telah dibuktikan bahwa lidokain
efeknya terhadap kardiovaskular hampir menurunkan koagulasi (mencegah
menyerupai efek ropivacaine. trombosis dan menurunkan agregasi
platelet) dan meningkatkan fibrinolisis
D. Imunologi
dalam darah yang diukur dengan
Reaksi hipersensitivitas murni terhadap
thromboelastography. Pengaruh ini
agent anestesi lokal—yang bukan
mungkin berhubungan dengan penurunan
intoksikasi sistemik karena konsentrasi
efikasi autolog epidural setelah pemberian
plasma yang berlebihan—merupakan hal
anestesi lokal dan insidensi terjadinya
yang jarang. Ester memiliki
emboli yang lebih rendah pada pasien
kecenderungan menginduksi reaksi alergi
yang mendapatkan anestesi epidural.
karena adanya derivat ester yaitu asam p-
aminobenzoic, yang merupakan suatu Interaksi Obat
alergen. Sediaan komersial multidosis dari
amida biasanya mengandung Anestesi lokal meningkatkan potensi
methylparaben, yang memiliki struktur blokade otot non-depolarisasi. Suksinil
kimia mirip dengan PABA. Bahan kolin dan anestesi lokal ester bergantung

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 57


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pada pseudokolinesterase untuk pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan


metabolismenya. Pemberian bersamaan golongan amide terutama melalui
dapat meningkatkan potensi masing- degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini
masing obat. juga berkaitan dengan besarnya
kemungkinan terjadinya alergi, dimana
Dibucaine, anestesi lokal amida,
golongan ester turunan dari p-amino-
menghambat pseudokolinesterase dan
benzoic acid memiliki frekwensi
digunakan untuk mendeteksi kelainan
kecenderungan alergi lebih besar. Obat
genetik enzim.
anestesi lokal yang lazim dipakai di
Inhibitor pseudokolinaesterase dapat negara kita untuk golongan ester adalah
menyebaban penurunan metabolisme dari prokain, sedangkan golongan amide
anestesi lokal ester. adalah lidokain dan bupivakain.

Cimetidine dan propanolol menurunkan Mekanisme kerja obat anestesi local


aliran darah hepatik dan bersihan lidokain. mencegah transmisi impuls saraf (blokade
Level lidokain yang lebih tinggi dalam konduksi) dengan menghambat
darah meningkatkan potensi intoksikasi. pengiriman ion natrium melalui gerbang
ion natrium selektif pada membrane saraf.
Opioid (misal, fentanil, morfin) dan Kegagalan permeabilitas gerbang ion
agonis adrenergik α2 (contoh: epinefrin, natrium untuk meningkatkan perlambatan
klonidin) meningkatkan potensi kecepatan depolarisasi seperti ambang
penghilang rasa nyeri anestesi lokal. batas potensial tidak tercapai sehingga
Kloroprokain epidural dapat potensial aksi tidak disebarkan. Obat
mempengaruhi kerja analgesik dari morfin anestesi lokal tidak mengubah potensial
intraspinal.2-5 istirahat transmembran atau ambang batas
potensial.
RINGKASAN
Farmakokinetik obat meliputi absorpsi,
Anestesi regional semakin berkembang
distribusi, metabolisme dan ekskresi.
dan meluas pemakaiannya, mengingat
Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek
berbagai keuntungan yang ditawarkan,
samping lokal pada tempat suntikan dapat
diantaranya relatif lebih murah, pengaruh
timbul hematom dan abses sedangkan
sistemik yang minimal, menghasilkan
efek samping sistemik antara lain
analgesi yang adekuat dan kemampuan
neurologis pada Susunan Saraf Pusat,
mencegah respon stress secara lebih
respirasi, kardiovaskuler, imunologi
sempurna.
,muskuloskeletal dan hematologi
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi
dalam dua golongan besar, yaitu golongan Beberapa interaksi obat anestesi lokal
ester dan golongan amide. Perbedaan antara lain pemberian bersamaan dapat
kimia ini direfleksikan dalam perbedaan meningkatkan potensi masing-masing
tempat metabolisme, dimana golongan obat. penurunan metabolisme dari anestesi
ester terutama dimetabolisme oleh enzim

58 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011


Jurnal Anestesiologi Indonesia

lokal serta meningkatkan potensi 6. Gaiser RR. Pharmacology of Local


intoksikasi. Anesthetic. In : Longnecker DE, Murphy SL,
ed. Introduction to Anaesthesia. Philadelphia :
DAFTAR PUSTAKA WB Saunders Company, 1997 : 201-14.
7. Longnecker DE , Murphy FL . Introduction to
1. Marwoto, Primatika DA. Anestesi anesthesia . 9th edition .Philadelphia : WB
lokal/Regional. Dalam : Soenarjo, Jatmiko Saunders , 1997 : 201 – 14
DH. editor. Anestesiologi. Semarang : Bagian 8. Marwoto, Mudzakkir. Komplikasi anestesi
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas lokal dan penanganannya. Majalah Ilmiah
kedokteran UNDIP, 2010: 309-22. PKMI Mantap. Penerbit : Perkumpulan
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Kontrasepsi Mantap.Indonesia, No. 2 Tahun
Anesthetics. In: Clinical Anesthesiology. 4th XII, April – Juni 1992 : 44-9
edition. New York: Mc Graw Hill Lange 9. Raj Prithvi P. Local Anaesthetics In : Ross A,
Medical Books, 2006 : 151-52, 263-75. editors. Textbook of regional anesthesia.
3. Brown DL, Factor DA. Regional Anesthesia Philadelphia : Elsevier Science. 2003 :120-27.
and Analgesia. Philadelphia :WB Saunders, 10. Sweitzer B. Local Anaesthetics. In :
1996 : 188 – 205. Davidson JK, Eckhardt WF, Perese DA.
4. Miller RD. Anesthesia. 5th edition . Clinical Anaesthesia Procedure of the
Philadelphia : Churchill & Livingstone, 2000 : Massacluisets General Hospital, 4th ed, Little
491 – 515. Brown & Co Boston, Toronto, London 1993 :
5. Stoelting R Hillier SC. Pharmacology and 197 – 205.
Physiology in Anesthetics Practice. 4th ed. 11. Mehrkens H, Geiger MP. . Local
Philladelphia : JB Lippincott – Raven, 2006: Anaesthetics. In : Peripheral regional
179 - 83. Anaesthesia. 3rd. ed. Ulm 2005 : 16-9.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011 59


Jurnal Anestesiologi Indonesia

60 Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

You might also like