Professional Documents
Culture Documents
Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO
Dr.dr. M.Sofyan Harahap, SpAn, KNA
Seksi Usaha:
dr. Mochamat
Administrasi:
Maryani, Nik Sumarni
TINJAUAN PUSTAKA
Ifar Irianto Yudhowibowo, Doso Sutiyono, Yulia Wahyu Villyastuti
Pengaruh Anestesi Epidural Terhadap Supresi Imun Yang Diinduksi Stres Operasi Selama 42
Pembedahan
Blok epidural dari segmen dermatom T4 sampai S5, dimulai sebelum pembedahan,
mencegah peningkatan konsentrasi kortisol dan glukosa pada histerektomi.
PENELITIAN
ABSTRACT
ABSTRAK
Latar belakang penelitian: Perdarahan perioperatif merupakan masalah yang sering
dihadapi dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi induksi dikatakan mempunyai
pengaruh dalam agregasi trombosit
Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian propofol dan etomidat
terhadap agregasi trombosit.
Metode: Merupakan penelitian eksperimental pada 40 pasien yang menjalani anestesi
umum. Penderita dibagi 2 kelompok (n=20), kelompok I menggunakan propofol dan
kelompok II menggunakan etomidat, yang diberi sejak awal induksi dengan besar
pemberian propofol 2,5 mg/kg intravena, etomidat 0,3 mg/kg intravena bersama O2 : N2O
= 50% : 50%. Masing-masing kelompok akan diambil spesimen sebelum induksi dan 5
menit setelah induksi. Semua spesimen dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik untuk
dilakukan pemeriksaan Tes Agregasi Trombosit. Uji statistik menggunakan Paired T-Test
dan Independent T-Test (dengan derajat kemaknaan <0.05).
Hasil: Karakteristik data penderita maupun data variabel yang akan dibandingkan
terdistribusi normal. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan persen agregasi maksimal
trombosit yang bermakna sebelum dan sesudah pemberian propofol (p=0,001) dan tidak
bermakna untuk sebelum dan sesudah pemberian etomidat (p=0,089). Pada kelompok
propofol didapatkan rerata persen agregasi maksimal trombosit 66,07±8,28 dan etomidat
56,29+18,04 dan menunjukkan perbedaan yang bermakna antara keduanya (p=0,053).
Kesimpulan: Propofol secara bermakna menurunkan persen agregasi maksimal trombosit,
dibandingkan etomidat.
Kata kunci : Propofol, etomidat, ADP, agregasi platelet
ADP 10uM pada kelompok propofol etomidat secara statistik tidak terbukti
terbukti menyebabkan penurunan % menyebabkan penurunan % agregasi
agregasi maksimal trombosit yang secara maksimal trombosit dengan nilai p=0,089
statistik berbeda bermakna p=0,001 (p>0,05).
(p<0,05). Sedangkan pada kelompok
Tabel 3. Nilai rerata dan simpangan baku persen agregasi maksimal trombosit sebelum dan setelah perlakuan
pada kelompok propofol dan etomidat (dengan induktor ADP 10 uM)
* = bermakna (p<0,05)
40
20
0
Gambar 2. Perbedaan % agregasi maksimal
Sebelum Setelah trombosit antara sesudah pemberian propofol dan
sesudah pemberian etomidat
Gambar 1. Perbandingan perubahan % agregasi
maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah
Hasil Tes Agregasi Trombosit yang
perlakuan pada kelompok etomidat dan propofol terbaca oleh PACKS-4 selain
menunjukkan persen agregasi trombosit
juga menggambarkan pola kurva agregasi
Gambar 2 menunjukkan perbedaan rerata yang terbentuk oleh masing-masing dosis
% agregasi maksimal trombosit antara induktor ADP pada masing-masing
sesudah pemberian propofol dan sesudah kelompok perlakuan. Semua sampel pada
pemberian etomidat dengan ADP 10 uM kedua kelompok perlakuan sebelum
sebagai induktor. perlakuan mempunyai gambaran
normoagregasi. Kemudian setelah
dilakukan perlakuan gambaran dari 20
6. Lind SE. The bleeding time does not 16. De la Cruz JP, Paez MV, Carmona JA,
predict surgical bleeding. Blood 1991; Sanchez DC. Antiplatelet effect of the
77:2547-52 anesthetic drug propofol influence of red
7. Lehman CM. Discontinuation of BT cells and leucocytes. Br Med J
without detechable adverse clinical Pharmacol 1999; 128: 1538-44.
impact. Clin Chem 2001; 47:1204-11. 17. De la Cruz JP, Zanca A, Carmona JA,
8. Morgan GE, Mikhail MS, Murry MJ, Sanchez DC. Effect of propofol on
Larson CP. Inhalational Anesthetic. In oxidative stress in platelets from surgical
Clinical Anesthesiology. 3rd Ed. New patients. Anesth Analg 1999; 89: 1050-5.
York: Lange Medical Book/Mc Grew- 18. De la Cruz JP, Sedeno G, Carmona JA,
Hill Medical Publishing Edition, 2002; Sanchez DC. In vitro effect of propofol
127-51. on tissular oxidative stress in the rats.
9. Gepts E, Camu F, Cockshott D, Douglas Anesth Analg 1998; 87: 1141-615.
EJ. Disposition of Propofol administered 19. Mendez D, De la Cruz JP, Arrebola MM,
as constant rate intravenous infusion in Guerrero A, Gonzalez-Corea, Garcia
humans. Anaesth Analg 1987; 66:1256- Temboury E, et al. The effect of
63. propofol on the interaction of platelets
10. Stoelting RK, Hillier SC. Propofol. In: with leucocytes and erythrocyts in
Nonbarbiturate intravenous anesthetic surgical patients. Anesth Analg 2003;
drug. In: Pharmacology and Physiologi 96: 713-19.
in aneesthetic Practice, 4th ed. 20. Gries A, Weis S, Herr A, Graf BM,
Philadelphia: Lippincott 2006; 156-63. Seelos R, Martin E, et al. Etomidate and
11. Muacchio E, Rizzoli V, Bianchi M, thiopental inhibit platelet function in
Bindoli A, Galzigna L. Antioxidant patients undergoing infrainguinal
action of propofol on liver microsomes, vascular surgery. Acta Anaesthesiol
mitochondria, and brain synaptosomes in Scand 2001; 45: 449-57.
rat. Pharmacol. Toxicol 1991; 69:15-17. 21. Dordoni PL, Frassanito L, Bruno MF,
12. De la Cruz JP, Villalobos MA, Sedeno Proietti R, De Cristofaro R, Ciabattoni
G, Sanchez DC. Effect of propofol on G, et al. In vivo and in vitro effects of
oxidative stress in an in vitro model of different anaesthetics on platelet
anoxia-reoxygenation in the rat brain. function. Br Med J Haematol 2004; 125:
Brain Res 1998; 800:136-44. 79-82.
13. De la Cruz JP, Carmona JA, Paez MV, 22. Palolari A, Guamieri D, Alamanni F,
Blanco E, Sanchez DC. Propofol inhibits Toscano T, Tantalo V, Gherli T et al.
in vitro platelet aggregation in human Platelet function and anesthetics in
whole blood. Anesth Analg 1997; 84: cardiac surger. An in vitro and ex vivo
919-21. study. Anesth Analg 2007; 89: 26-31.
14. Aoki H, Mizobet, Nozuchi S, Hiramatsu 23. Shafer Al. Effects of nonsteroidal anti-
N. In vivo and in vitro studies of the inflammatory therapy on platelets. Clin
inhibitory effect of propofol on human Pharmacol J. 1999; 106: 25 S-36S.
platelet aggregation. Anesthesiology 24. Lisyani BS. Hasil tes agregasi trombosit
1998; 88: 362-70. pada subjek sehat kelompok usia 19-39
15. Dogan IV, Ovali E, Eti Z, Yayci A, tahun dibandingkan dengan 40 tahun ke
Gogusf Y. The in vitro effect of atas. Media Medika Indonesiana 2006;
isofluorane, isovofluorane, and propofol 41: 69-77.
on platelet aggregation. Anesth Analg
1999; 88: 432-36.
PENELITIAN
ABSTRACT
ABSTRAK
Latar belakang : Antiseptik oral hygiene merupakan salah satu cara non farmakologi
yang dapat menurunkan insiden Ventilation Associated Pneumonia (VAP) dengan
menurunkan skor Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) pada penderita dengan
ventilator mekanik. Chlorhexidine adalah antiseptik yang lebih mampu mencegah
pembentukan biofilm dibandingkan dengan povidone iodine.
Metode : Merupakan penelitian eksperimental, dua subjek dibagi dua kelompok sama
besar (n =16). Kelompok chlorhexidinee 0,2 % dan kelompok kontrol povidone iodine 1%.
Kedua kelompok sebelum dan setelah perlakuan dilakukan pemeriksaan CPIS, yaitu: suhu,
analisa gas darah, sekret trakea, darah rutin dan foto ronsen dada. Uji wilcoxon adalah uji
korelatif untuk melihat GC plaque sebelum dan setelah perlakuan.Sedangkan uji spearman
melihat korelasi GC plaque dan skor CPIS pada kelompok perlakuan.
Hasil : Hasil skor CPIS berbeda makna pada kelompok I (p<0,05). Analisis komparatif
selisih skor sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok berbeda bermakna (p<0,05).
Skor GC plaque sebelum [6,00 (5,60-7,00)] dan setelah aplikasi chlorhexidinee 0,2% [7,00
(6,80-7,20)] menunjukkan hasil berbeda bermakna (p= 0,000). Uji spearman skor GC
plaque dan CPIS menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna, hasil korelatif negatif.
Kesimpulan : Chlorhexidinee 0,2% merupakan antiseptik orofaring yang lebih efektif
menurunkan skor CPIS dibandingkan dengan povidone iodine 1% pada pasien dengan
ventilator mekanik. Tidak ada korelasi antara kenaikan skor GC plaque dengan penurunan
skor CPIS.
Kata kunci : Povidone iodine 1%, chlorhexidinee 0, 2%, ventilator mekanik, GC plaque
oral pada penderita dengan ventilator (PaO2/PaO2) dan foto thorak dan tes GC
mekanik) dan kelompok II (povidone plaque.
iodine 1% sebagai antiseptik oral Hasil analisis disajikan dalam bentuk
penderita dengan ventilator mekanik). tabel silang, grafik Box Plot. Analisis
analitik akan dilakukan untuk menguji
Sampel mengambil semua penderita Clinical Pulmonary Infection Score pada
dengan ventilator mekanik di ICU RSUP kedua kelompok perlakuan dengan uji
Dr. Kariadi pada bulan April- Juni 2010. non parametrik Mann Whithney,
Sampel dikelompokkan dengan cara Wilcoxon, Spearman. Semua uji analitik
berurutan dimana penderita pertama menggunakan Sofware Statistiscal
dimasukkan dalam kelompok 1(C), Package for Social Science (SPSS) 15.
penderita kedua dimasukkan kedalam
kelompok 2(P) secara cosecutive
sampling. Sampel adalah laki-laki dan HASIL
perempuan dewasa dengan GCS < 8 serta
keluarga setuju diikutsertakan dalam Secara berurutan pasien dibagi dalam dua
penelitian. Total sampel adalah 32 dan kelompok yaitu kelompok I yang
dibagi menjadi 2 kelompok sama rata. menerima chlorhexidine 0,2% dan
kelompok II yang menerima povidone
Pada kelompok 1 (C) diberikan iodine 1%.
chlorhexidine 0,2% sebanyak 25 ml. Data karakteristik pasien pada kedua
Pada kelompok 2(P) diberikan povidone kelompok dapat dilihat pada tabel 1 :
iodine 1% sebanyak 25 ml. Semua
penderita dengan ventilator mekanik
dilakukan pemeriksaan klinis
laboratorium, perbandingan tekanan
oksigen dengan fraksi oksigen
Uji normalitas dilakukan pada kedua pada kelompok II, tepatnya untuk skor
kelompok dengan menggunakan uji sebelum dan sesudah perlakuan, dengan
Saphiro-Wilk untuk mengetahui sebaran nilai p maisng-masing 0, 166 dan 0,061.
data masing-masing. Hanya terdapat dua
hasil sebaran yang merata (p>0,05) yaitu
Hasil uji Saphiro-Wilk, kelompok II sebelum dan setelah perlakuan adalah p= 0, 166 dan p = 0, 061
Ketiga puluh dua pasien tersebut dihitung bermakna. Selisih skor didapatkan dari
nilai CPIS-nya sebelum dan sesudah hasil pengurangan antara skor CPIS
perlakuan. Dari hasil uji komparatif setelah perlakuan dengan skor CPIS
Mann Whithey diketahui bahwa nilai sebelum perlakuan per pasien.
CPIS sebelum perlakuan dan setelah
perlakuan antara dua kelompok berbeda
Tabel 3. Uji komparatif selisih skor sebelum dan sesudah perlakuan kedua kelompok
Skor CPIS Sebelum perlakuan 1,50 ( 0,00-4,00 ) 4,00 ( 1,00- 6,00 ) 0,000
Skor CPIS Setelah perlakuan 0,50 (0,00- 4,00) 4,00 ( 1,00- 7,00 ) 0,000
Selisih skor CPIS 0,00 (-3,00- 2,00) 0,50 (-3,00 – 2,00) 0,051
Selain itu dilakukan juga uji komparatif menggunakan uji analsis Wilcoxon.
antara skor sebelum dan sesudah Didapatkan hasil yang berbeda bermakna
perlakuan secara terpisah pada masing- pada kelompok I (p <0,05), namun tidak
masing kelompok perlakuan dengan pada kelompok II (p> 0,05).
Tabel 4. Uji komparatif skor sebelum dan sesudah perlakuan secara terpisah.
Penelitian ini juga mengambil data skor plaque seperti halnya pada skor CPIS
GC plaque pada kelompok yang juga diambil sebelum dan sesudah
mendapat chlorhexidine 0, 2 %. Skor GC perlakuan.
Tabel 5. Uji korelasi skor GC plaque dan CPIS sebelum dan sesudah perlakuan
Hasil uji Spearman adalah p= 0, 122 (-0, 403) dan p= 0, 274 (-0, 291)
Selain CPIS, pada penelitian ini dihitung yang disampaikan Pugin et al dalam
pula GC plaque pada kelompok I yang publikasinya di tahun 1991 merupakan
mendapat chlorhexidine 0,2 %. Skor GC skor terpadu yang memuat variabel
plaque hanya dihitung pada kelompok I klinis, laboratorik dan radiologis. 19
berpegang pada penelitian-penelitian
sebelumnya menggunakan CPIS klasik
yang menyatakan bahwa chlorhexidine SIMPULAN
lebih unggul dibandingkan dengan
povidone iodine, selain itu pemberian Chlorhexidine 0,2% merupakan
chlorhexidine telah dianjurkan secara antiseptik dekontaminasi orofaring yang
internasional untuk menggantikan lebih efektif dibandingkan dengan
17,18
povidone iodine. povidone iodine 1 %. Tidak ada korelasi
antara skor GC plaque dengan skor CPIS.
Analisis Wilcoxon menunjukkan terdapat
perbedaan yang signifikan antara skor Sebaiknya penggunaan antiseptik
GC plaque sebelum dan sesudah chlorhexidine 0,2% dilaksanakan untuk
pemberian chlorhexidine 0,2%. Nilai GC menggantikan povidone iodine 1%
plaque yang lebih tinggi setelah sebagai dekontaminasi orofaring pada
pemakaian chlorhexidine 0,2% penderita ventilator mekanik.
menujukkan bahwa chlorhexidine
meningkatkan pH intraoral secara
signifikan. DAFTAR PUSTAKA
Hal ini berarti ada hubungan yang 1. Luna CM, Blanzaco D, Niedman MS,
berlawanan antara CPIS dan GC plaque Maturucco W, Brades NC, Desmery P,
et.al. Resolution of ventilator associated
pada pasien ICU dengan ventilator
pneumonia : prospective evaluation of
mekanik yang menerima chlorhexidine the clinical pulmonary infection score as
0,2 %. an early clinical predictor of outcome.
Crit Care Med 2003; 31: 676-82.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil 2. Chastre J, Fragon JY. Ventilator
associated pneomina. AM J Respir Crit
penelitian sebelumnya oleh Tantipong H
Care Med 2002; 65 :67-903.
et al,10 dan Genuit T et al.13 Yang 3. Kollef M. Prevention of hospital
mengatakan bahwa chlorhexidine 0,2% associated pneumonia and ventilator
merupakan antisptik yang efektif untuk associated pneumonia. Crit Care Med
menurunkan insiden VAP, walau 2004; 32: 1396-405.
4. Sallam SA, Arafa MA, Razek AA, Naga
penelitian ini menggunakan CPIS
M, Hamid MA : Device related
modifikasi sedangkan 3 penelitian nosocomial infection in intensive care
sebelumnya yang disebtkan di atas units of Alexandria University Students
menggunakan CPIS klasik. CPIS, seperti
Hospital. East Med. Health J 2005 ;11 : patients undergoing heart surgey. Am J
52-61. Crit care 2002;(11) : 567-70.
5. Ibrahim EH, Tracy L, Hill C, faser VJ, 12. Koeman M, Van der van Andre, Hak E,
Kollef MH. The occurrence of ventilator Joore HCA, Kaasjager K, De Smet A,
associated pneumonia in a comunity et.al. Oral Decontamination with
hospital. Chest 2001; 120: 555-61. chlorhexidine 0, 2% Reduces the
6. Ewig E, Baueur T, Torres A. The incidience of ventilator- associated
pulmonary phsyician in critical care : pneumonia. Am J of Resp and Critical
nasocomial pneumonia. Thorax 2002 ; care Medeciene 2006; 173: 1348-1355.
57: 366-71. 13. Genuit T, Bochicchio G, Napolitano LM,
7. Cook DJ, Meade MO, Hand LE, et. Al : Mc Carter RJ, Roghman MC. Surg
toward understanding evidence uptake: Infection 2001;2(1):5-18.
semirecumbency for pneumonia 14. Pourbbasa R, Delazarb A, Chisaza MT.
prevention. Crit Care Med 2002;30 The effect of german chamomile
:1427-7. moyhwash on dental plaque and gingival
8. DeRiso AJ, et.al. Chlorhexidine inflamation Iranian Journal of
gluconate 0, 12 % oral; rinse reduces the pharmaceutical research 2005;2:105-
incidence of total nosocomial respiratory 109.
infection an non prophylactic systemic 15. Schiott CR, Loe H. The sensitivity of
antibiotic use in patients undergoing oral streptococci to chlorhexidine. J.
heart sugery. Chest 1996; 109:1556-61. Periodont. Res 1973;12:61.
9. Fpurrier F, Dubois D, Pronnier P, et al. 16. McGee DC, Gould MK : preventing
Effect of gingival and dental plaque comlications of central venous
antiseptic decontamination on catherization. N Engl Med
nosocomial infections acquired in the 2003;384:1123-33.
intensive care unit : A doubleblind 17. Gjermo P, Bonesvoll P, Rolla G.
placebo- controlled multicenter study. Relationship between plaque inhibiting
Crit care Med 2005;33:1728-36. effect and relation of chlorhexidine in
10. Tntipong H, Morckhareonpong C, the human oral cavity. Arch. Oral Biol.
jayindee S, Thamlikitkul V. Randomized 1974;19:1031.
contrrolled trial and meta- analysis of 18. Michel F, franceschini B, Berger P,
oral decontamination with 2 % Arnal JM, Gainier M, Sainty JM, et.al.
chlorhexidine solution for the prevention Early antibiotic treatment for BAL-
of ventilator associated pneumonia confirmed ventilator associated
infection Control Hosp Epidemiol 2008; pneumonia. Chest 2005;127:589-97.
29:131-6. 19. Pugin J, Auckenthaler R, mili N.
11. Houstun S, Hougland P, Anderson JJ, Diagnostic of ventilator associated
LaRocco M, Kenedy V, Gentry LO. pneumonia by bacteriologic analysis of
Effectiveness of 0, 12% chlorhexidine bronchocopic and
gluconate oral rinse in recuding nonbronchocospic―blind‖bronchoalveola
prevalence of nosocomial pneumonia in r lavage fluid. Am Rev Respir Dis 1991;
143:1121-9
PENELITIAN
ABSTRACT
Backgrounds: Etomidate is one of anesthetic agent which has minimal effect on
cardiovascular function. However, etomidate depress cortisol production. Vitamin C is one
of the agent that hamper the effect of etomidate toward cortisol production.
Objectives: To analyze the effect of pre-treatment with vitamin C 200 mg on cortisol serum
concentration in elective surgery under general anesthesia.
Method: This double blind, Randomized Controlled Trial with 30 subjects which divided
into two groups (n=15), control group and treatment group which received etomidate 0,2
mg/kgBW and combination of etomidate and vitamin C 200 mg in pre-operation
respectively. Each group was then examined for cortisol serum concentration pre-
anesthesia, 2 hours post induction, and 8 hours post induction. Wilcoxon Signed Rank Test
and Paired T Test was performed to compare cortisol serum concentration in each group.
While Mann Whitney and Independent Sample T Test was used to compare between control
and treatment group.
Results: Cortisol serum concentration in control group between pre-anesthesia ;244,15
(181,39-382,75)] and 2 hours post induction [185,52 ± 35,88]; and between 2 hours and 8
hours post induction [349,81 ± 121,28] was significantly different with value 0,002 and
0,000 respectively. It showed that decrement of etomidate dosage mo 0,2 mg/kgBW still
able to decrease cortisol serum production significantly. However, in treatment group
cortisol serum concentration pre-anesthesia [258,49 1"5,45-369,09)] and 2 hours post
induction [202,14 ± 45,3]; and between 2 hours and 8 hours post induction [251,39 ±
122,91] was non significant, with p value 0,256 and 0,691 respectively. It proved the
negative effect of vitamin C on cortisol depression effect of etomidate. Cortisol serum
concentration between control and treatment group was significantly different on 2 hours
post induction, but non significant on 8 hours post induction. It showed that the negative
effect of vitamin C in cortisol depression because of etomidate only significant during 8
hours post eduction
Conclusions: The effect of Vitamin C 200 mg iv 30 minutes pre-operation can minimize
Cortisol depression on administration of etomidate 0,2 mg/kgBW
ABSTRAK
Latar Belakang: Etomidat adalah salah satu agen anestesi yang berefek minimal terhadap
kardiovaskular. Namun, etomidat mendepresi produksi kortisol. Salah satu agen yang
dapat meminimalisir efek depresi tersebut adalah vitamin C.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pretreatment vitamin C 200
mg pada operasi elektif dengan anestesi umum terhadap kadar kortisol serum.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian Randomized Contolled Trial dengan 30
subjek yang dibagi dalam dua kelompok sama besar (n=15), yaitu kelompok kontrol yang
menerima etomidat 0,2 mg/kgBB dan kelompok perlakuan yang menerima etomidat dan
vitamin C 200 mg iv preoperasi. Masing-masing kelompok tersebut selanjutnya diperiksa
kadar kortisolnya pre anestesi, 2 jam pasca induksi, 8 jam pasca induksi. Uji statistik
Wilcoxon Signed Rank Test dan Paired T Test digunakan untuk membandingkan kadar
kortisol di masing-masing kelompok. Uji Mann Whitney dan Independent Sample T Test
digunakan untuk membandingkan antar kelompok kontrol dan perlakuan.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok kontrol, kadar kortisol preanestesi
244,15 dan 2 jam pasca induksi 185,52 + 35,88 berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula
antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca induksi 349,81 + 121,28 (p=0,000). Sedangkan
pada kelompok perlakuan, kadar kortisol antara pre anestesi 258,49 (175,45-369,09) dan
2 jam pasca induksi 202,14 + 45,3 tidak berbeda bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam
pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi 251,39 + 122,91 (p=0,691).
Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin C 200 mg
intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek depresi kortisol oleh pemberian
etomidat 0,2 mg/kgBB.
adalah darah vena perifer sebanyak 3 ml, diinkubasi pada suhu 37oC selama 15
yang kemudian dimasukkan dalam menit dan dihindarkan dari cahaya
tabung tanpa antikoagulan dan dibiarkan kemudian dilakukan penghentian reaksi
beku secara alami sampai serum/plasma dan selanjutnya dilakukan pengukuran
terpisah dari bekuan sesegera mungkin penyerapan pada 450 nm.
untuk menghindari hemolisis sel darah
Data yang dikumpulkan mencakup
merah. Sampel segera dikirim ke
karakteristik umum sampel (umur, jenis
Laboratorium GAKY FK Undip untuk
kelamin, MAP, tekanan arteri rata-rata,
dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol
status ASA) dan kadar kortisol serum
serum.
sebelum dan sesudah perlakuan. Uji
Setelah dipastikan jalur intravena lancar, statistic Wilcoxon Signed Rank Test dan
pasien dipremedikasi ondansetron 4 mg Paired T-Test digunakan untuk
30 menit sebelum operasi dan fentanyl membandingkan kadar kortisol di
1µg/kg 3 menit sebelum induksi. masing-masing kelompok. Uji Mann
Selanjutnya dilakukan induksi anestesi Whitney dan Independent Sample T-Test
dimana kelompok E menggunakan obat digunakan untuk membandingkan antar
anestesi induksi etomidat 0,2 mg/kg iv, kelompok kontrol dan perlakuan
sedangkan kelompok C menggunakan
pretreatment vitamin C 200 mg 30 menit
sebelum obat anestesi induksi etomidat HASIL DAN PEMBAHASAN
0,2 mg/kg iv. Anestesi dipertahankan
pada seluruh kasus dengan inhalasi Data karakteristik umum sampel yang
campuran N2O : O2 (50%:50%). telah diperiksa (data baseline) dilakukan
Pelumpuh otot menggunakan vecuronium uji komparatif untuk tiap variable dan
bromide 0,1 mg/kg. Pada semua didapatkan hasil yang tidak berbeda
kelompok sampel darah sesudah bermakna.
perlakuan diambil 2 jam dan 8 jam pasca
Data kadar kortisol yang didapatkan pada
induksi etomidat sebanyak 3ml
ketiga kelompok: preanestesi, 2 jam
dimasukkan dalam tabung tanpa
pasca induksi, dan 8 jam pasca induksi
antikoagulan dan segera dikirimkan ke
sebagian besar memperlihatkan distribusi
Laboratorium GAKY.
yang merata, kecuali kelompok kontrol
Sampel diberi nomer well kemudian preanestesi dan kelompok perlakuan 8
penambahan sampel dan konugat-HRP. jam post induksi. Kemudian dilakukan
Selanjutnya diinkubasikan selama 60 analisis data uji hipotesis dan didapatkan
menit pada suhu 37oC, pada akhir hasil analisis yang disajikan dalam tabel
inkubasi isi tiap well dibilas dengan 300 berikut.
µl aqua destilata. Selanjutnya dilakukan
pewarnaan dengan substrat TMB, plate
Kelompok Nilai p
Hasil penelitian menunjukkan pada 8 jam pasca induksi dapat berbeda secara
kelompok kontrol, kadar kortisol bermakna.
preanestesi dan 2 jam pasca induksi
Sedangkan pada kelompok perlakuan,
berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula
kadar kortisol antara pre anestesi dan 2
antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca
jam pasca induksi tidak berbeda
induksi (p=0,000). Hal ini berarti efek
bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam
depresi kortisol etomidat tetap
pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi
berlangsung walau kadarnya telah
(p=0,691). Hal ini menunjukkan adanya
dikurangi sebanyak 0,1 mg/kgBB. Selain
efek negatif dari vitamin C terhadap efek
itu diperlihatkan pula bahwa efek depresi
depresi kortisol etomidat. Efek tersebut
kortisol tersebut terjadi secara bertahap,
telah muncul pada 2 jam pasca induksi
sehingga kadar kortisol antara 2 jam dan
dan dipertahankan hingga 8 jam paska
induksi. Hasil ini jauh lebih cepat
dibandingkan hasil yang disajikan oleh 3. Morgan. GE, Mikhail MS, MUrry MJ.
studi Pirbudak et al. Nonvolatile agent anesthesia. In: Clinical
Anesthesiology. 3rd ed. New York: Large
Pada analisis komparatif antara kelompok Medical Books/McGrew-Hill Medical
Publishing Edition; 2002, 199-200
kontrol dan perlakuan didapatkan
4. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology and
perbedaan yang signifikan pada kadar physicology in anesthetic practice 3rd edition.
kortisol 8 jam pasca induksi, namun tidak Philadelphia: Lippincot-Raven; 1999, 141-3
pada 2 jam pasca induksi. Hal ini 5. Arden Pharmacology of etomidate. Available
menunjukkan bahwa efek depresi kortisol from http:/www.metrohealthanesthesia.com
6. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik,
etomidat hanya bertahan kurang dari 8
edisi 8 bahasa Indonesia. Bagian
jam pasca induksi. Temuan ini sekaligus Farmakologi Kedokteran Universitas
menyangkal kekhawatiran adanya depresi Airlangga. Surabaya: Salemba Medika; 2002,
kortisol yang memanjang pada pemberian 153-4
etomidat. Temuan di atas juga dapat 7. White PF. Nonopioid intravenous anesthesia.
In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK.
diartikan bahwa pemberian vitamin C
Clinical anesthesia 5th edition. Lippincott
mampu menstabilkan kadar kortisol Williams & Willkins; 2006,344-5
darah pada pemberian etomidat. 8. Chung DC, Lam AM, editors. Essential of
anesthesiology, 3rd edition. London: W.B
Saunders Company; 2001, 177-8
9. Oglesby AJ. Should etomidate be the
SIMPULAN induction agent of choice for rapid sequence
intubation in emergency department.
Pemberian Vitamin C 200 mg intra vena Emergency medical journal 2004; 21: 655-9
30 menit preoperasi dapat menurunkan 10. William L, Jacson jr. Should we use
efek depresi kortisol oleh pemberian etomidate as an intubation agent for
etomidate 0,2 mg/kgBB. Penurunan efek endotracheal intubation in patient with septic
shock. CHEST journal 2005; 127: 1031-8
depresi kortisol tersebut tidak
11. Boidin MP, Erdmann. The role of ascorbic
ditimbulkan lewat pengurangan dosis acid in etomidate toxicity. Europe journal
etomidat sebesar 0,3 mg/kgBB. Efek anesthesiology 1986: 417-22
depresi kortisol oleh etomidat hanya 12. National Academy of Science. Vitamin C In:
bertahan kurang dari 8 jam. Dietary reference intakes for vitamin, vitamin
e, selenium and carotenoids. Washington DC:
National academy press 2000: 95-131
13. Murray RK , Granner DK, Mayes PA,
DAFTAR PUSTAKA Rodwell VW. Biokimia Harper, edisi 25
bahasa Indonesia. Jakarta. EGC: 2003, 598-
1. Reves JG, Glass P. Intravenous anesthesia. 612
In: Miller RD, ed Miller anesthesia 7th 14. Pirbudak L, Balat O. Effects of ascorbic acid
edition. California: Churchill livingstone; on surgical stress response in gynecologic
2005 surgery. Journal of clinical practice
2. Licille B. Endotracheal intubation. Safe 2004:928-31
Anesthesia intubation 1996: 113-26
15. Nathan N, Vandroux JC. Role of vitamin C 16. Schraag S, Pawlink M, Mohl U. The role of
and adrenocortical effects of etomidate. Ann ascorbic acid and xylithol in etomidate-
fr anesthesiology reanimation journal induced adenocortical suppression in human.
1991:329-32 European journal 1996: 346-51
PENELITIAN
Pengaruh Nitrous Oxide Pada Induksi Sevofluran 8% Dengan Tehnik Single Breath
Terhadap Kecepatan Induksi Anestesi
ABSTRACT
Objectives: The aims of this study is to compare induction time of 8% sevoflurane with and
without Nitrous oxide using a single-breath vital capacity induction.
Methods: Seventy two healthy unpremedicated patients were randomized to inhale a single-
breath, one of three gas mixture : 8% sevoflurane in Oksigen (group I), 8% sevoflurane in
50% Nitrous oxide (group II) and 8% sevoflurane in 66 2/3% Nitrous oxide (group 111).The
time to absent of the eyelash reflex and induction-related complications, if present, were
noted by independent observer. Blood pressure (systolic, diastolic and mean arterial
pressure/MAP), and heart rate were measured pre and post induction. Data was analyzed
using student T-Test and ANOVA at significancy level of 0,05.
Results: Three groups had similar distribution on sex,age,body weight, and early clinical state.
The time to absent of the eyelash reflex with 8% sevofllurane in 50% Nitrous oxide, 24,96 ±
4,14 second ,and for 8% sevoflurane in 66 2/3% Nitrous oxide , 24,81 ± 3,85 second, were
less than that with 8% sevoflurane in Oksigen, 27,21 ± 4,14 second, but this was no
significant (p = 0,098).Changes in blood pressure (systolic,diastolic, mean arterial
pressure), heart rate and oksigen saturation were no significant different on three
groups.The induction-related complications in the sevoflurane with Nitrous oxide groups
were less than that in the sevoflurane without Nitrous oxide group, but this was no
significant different.
Conclusions: The addition of Nitrous oxide do not increase induction time of anesthesia with a
single-breath of 8% sevoflurane.
ABSTRAK
Latar Belakang: Penambahan nitrous oxide pada induksi anestesi akan mempercepat
waktu induksi, oleh karena adanya second gas effect dan concentration effect.
Metode: Tujuh puluh dua pasien tanpa diberikan premedikasi , dibagi dalam 3 kelompok
secara random dan diminta untuk menghirup salah satu dari tiga campuran gas dengan
tehnik single breath vital capacity : kelompok I diberikan sevofluran 8% + Oksigen,
keiompok II diberikan sevofluran 8% + 50% nitrous oxide dan kelompok III diberikan
sevofluran 8% + 66 2/3% nitrous oxide. Dicatat waktu saat hilangnya reflek bulu mata
dan komplikasi yang terjadi. Tekanan darah (sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata), laju
jantung dan saturasi oksigen diukur sebelum dan sesudah induksi. Data diuji dengan
Student T Test dan ANOVA dengan derajat kemaknaan < 0,05.
Hasil: Karakteristik penderita (umur, usia, berat badan dan lain-lain) pada ketiga
kelompok berbeda tidak bermakna. Waktu saat hilangnya reflek bulu mata untuk kelompok
sevofluran 8% + 50% nitrous oxide (24,96 ±4,14 detik), dan untuk kelompok sevofluran
8% + 66 2/3% nitrous oxide (24,81 ± 3,85 detik) lebih sepat dibandingkan dengan
kelompok sevofluran 8% + Oksigen (27,21 ±4,14 detik) , tetapi perbedaan ini tidak
bermakna (p=0,098), Perubahan tekanan darah (sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata),
laju jantung dan saturasi oksigen yang terjadi pada ketiga kelompok berbeda tidak
bermakna. Komplikasi induksi anestesi yang terjadi pada kelompok sevofluran 8% dengan
nitrous oxide lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok sevofluran 8% tanpa nitrous
oxide , tetapi perbedaan ini tidak bermakna .
Kriteria eksklusi terdiri dari : kelainan Kecepatan waktu induksi kelompok lebih
paru-paru, kelainan kardiovaskuler. cepat dibandingkan dengan kelompok II
dan I. sedangkan kelompok II lebih cepat
HASIL
dibandingkan kelompok I, tetapi secara
Telah dilakukan penelitian terhadap 72 statistik menunjukkan berbeda tidak
sampel yang terbagi menjadi 3 kelompok, bermakna di antara ketiga kelompok
masing-masing kelompok dilakukan tersebut (p=0,098). Berdasarkan uji
induksi anestesi dengan sevofluran 8% keorelasi, hubungan konsentrasi N2O
dengan tehnik single breath (aliran gas dengan waktu induksi menunjukkan
segar sesuai dengan volume semenit), hubungan linier negative, dengan
dimana kelompok I (n = 24 ) diberikan koefisien korelasi = r = -0,553 (Tabel 2)
O2 murni, kelompok 11 (n=24) diberikan
Karakteristik penderita pada ketiga
50% N2O + 50% O2 dan kelompok III (n-
kelompok berdasarkan statistik berbeda
24) diberikan 66 2/3% N2O + 33 1/3%
O2. Penelitian ini membandingkan waktu tidak bermakna (p > 0,05).
induksi anestesi antara kelompok I Kecepatan waktu induksi kelompok lebih
dengan kelompok II, kelompok II dengan cepat dibandingkan dengan kelompok II
kelompok III dan kelompok III dengan dan I. sedangkan kelompok II lebih cepat
kelompok I. Uji statistik dengan ANOVA dibandingkan kelompok I, tetapi secara
dan t-test, dengan uji kemaknaan statistik menunjukkan berbeda tidak
digunakan p dua ekor (two tail bermakna di antara ketiga kelompok
significance), dengan derajat kemaknaan tersebut (p=0,098). Berdasarkan uji
p < 0,05. keorelasi, hubungan konsentrasi N2O
dengan waktu induksi menunjukkan
Karakteristik penderita seperti umur,
hubungan linier negative, dengan
jenis kelamin, berat badan, tinggi badan,
BMI (body mass index), TDSP (tekanan koefisien korelasi = r = -0,553 (Tabel 2)
darah sistolik premedikasi), TDDP Grafik 1 menunjukkan waktu induksi
(tekanan darah diastolik premedikasi) , kelompok III lebih cepat dibanding
LJP (laju jantung premedikasi), LNP kelompok II dan kelompok I , serta
(laju napas premedikasi) dan status ASA kelompok II lebih cepat dibanding
penderita pada ketiga kelompok kelompok I, tetapi secara statistik
ditunjukkan pada tabel 1. berbeda tidak bermakna.
Karakteristik penderita pada ketiga
kelompok berdasarkan statistik berbeda
tidak bermakna (p > 0,05).
laki-laki 11 10 11
perempuan 13 14 13
ASA 0.949*
I 18 19 18
II 6 5 6
Keterangan : BB = berat badan, TB = tinggi badan , BMI = body mass index, TDSP=tekanan darah sistolik
premedikasi, TDDP = tekanan darah diastolik premedikasi, LJP=laju jantung premedikasi dan LNP = laju
napas premedikasi, FGF =fress gas flow.Uji statistik dengan ANOVA dan Chi square* .
WAKTU INDUKSI
30
25
20
15 waktu induksi
10
5
Kel. I Kel.II Kel.III
Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 1 menunjukkan waktu induksi kelompok III lebih cepat dibanding kelompok II dan kelompok I , serta
kelompok II lebih cepat dibanding kelompok I, tetapi secara statistik berbeda tidak bermakna.
128
126
124
Series 1
122
Series 2
120
118
Kel. I Kel.II Kel.III
Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 2. Tekanan Darah Sistolik Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III.
Tabel 3. Tekanan Darah Sistolik,Tekanan Darah Diastolik, Tekanan arteri Rerata dan Laju jantung Sebelum
dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III..
TDS :
TDD:
TAR:
LJ
Keterangan : TDS = tekanan darah sistolik, TDD = tekanan darah diastolik, TAR = tekanan arteri rerata, : LJ
= Laju jantung, p* = uji statistik denganANOVA, p' = uji statistik dengan / test
Grafik 2 menunjukkan penurunan takanan darah sistolik antara sebelum dan sesudah
induksi pada masing-masing kelompok dan antara ketiga kelompok, tetapi secara statistik
berbeda tidak bermakna
80
78
76 Sebelum Induksi
Setelah Induksi
74
72
Kel.I Kel.II Kel.III
Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 3. Tekanan Darah Diaslotik Sebelum dan sesudah induksi pada Kelompok I,II, dan III.
94
92
90 Sebelum Induksi
Setelah Induksi
88
86
Kel.I Kel.II Kel.III
Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 4. Tekanan Arteri Rerata Sebelum dan Sesudah Induksi Pada Kel. I, II, dan III.
LAJU JANTUNG
90
88
86
Sebelum Induksi
84
Setelah Induksi
82
80
Kel.I Kel.II Kel.III
Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 5. Laju jantung Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I. II dan III.
Tabel 4. Saturasi Oksigen Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III.
Sa02
Keterangan : SaO2 = saturasi oksigen, p* = uji statistik dengan v4M9K4, p' = uji statistik dengan t test
SATURASI OKSIGEN
100
99
98 Sebelum Induksi
Setelah Induksi
97
96
Kel.I Kel.II Kel.III
Induksi sevoflurane 8 %
Grafik 6. Saturasi Oksigen Sebelum dan Sesudah Induksi pada Kelompok I, II dan III.
capacity, kira-kira 20 detik), hal ini akan N2O = 38 ± 8 detik ) dan penelitian
menyebabkan konsentrasi sevofluran di Tatang Bisri pada wanita hamil
alveoli menjadi lebih tinggi, (kelompok 60% N2O = 24,25 detik
dibandingkan bila sampel sedangkan kelompok tanpa N2O = 25,08
mengeluarkan napasnya lagi. detik), di mana penelitian-penelitian
Konsentrasi sevofluran di alveoli yang tersebut menyimpulkan bahwa pemberian
tinggi , menyebabkan konsentrasi obat N2O pada induksi anestesi dengan
dalam darah juga makin tinggi, sehingga sevofluran 8% dengan tehnik single
akan mempercepat waktu induksi breath tidak mempercepat induksi
anestesi5,6,7,8. Waktu induksi anestesi juga anestesi (berbeda tidak bermakna)2,4,14.21.
akan dipercepat dengan pemberian N2O, Penelitian lain menyimpulkan bahwa
oleh karena sifat second gas effect dan N2O tidak potensiasi dengan sevofluran
concentration effect19,20. tetapi potensiasi dengan halotan dan
isofluran (Lerman dkk), serta pemberian
Waktu induksi pada kelompok yang
N2O akan menurunkan koefisien partisi
diberikan N2O (kelompok 50% N2O =
darah/gas halotan dan isofluran. (Gou
24,96 ± 4,14 detik dan kelompok 66
dkk)2,12,21. Penelitian induksi anestesi
2/3% N2O = 24,81 ± 3,85 detik) lebih
menggunakan halotan dan isoflurane
cepat dibandingkan kelompok tanpa
membuktikan bahwa pemberian N2O
pemberian N2O (kelompok O2 saja
akan mempercepat induksi anestesi
=.27,20 ± 4,71 detik ) dan makin besar
secara bermakna13,14,22.
konsentrasi N2O yang diberikan akan
makin mempercepat waktu induksi Kecepatan induksi anestesi antara lain
(kelompok 66 2/3% N2O - 24,81 ± 3,85 dipengaruhi oleh konsentrasi zat anestesi
detik, sedangkan kelompok 50% N2O = dan pemindahan zat anestesi dari alveoli
24,96 ±4,14 detik), tetapi berdasarkan ke darah. Pemindahan zat anestesi dari
uji statistik didapatkan hasil berbeda alveoli ke darah dipengaruhi oleh
tidak bermakna sehingga pemberian N2O koefisien partisi darah/gas dan aliran
pada induksi anestesi dengan sevofluran darah5,6. Pada penelitian ini digunakan
8% dengan tehnik single breath tidak sevofluran konsentrasi tinggi yaitu 8%
mempercepat induksi anestesi dan dan sevofluran sendiri mempunyai
semakin besar konsentrasi N20 tidak koefisien partisi darah/gas 0,63 , sedikit
semakin mempercepat induksi anestesi. lebih tinggi dibanding N2O (0,47) tetapi
Hasil ini sama dengan penelitian- lebih rendah dibanding halotan, isofluran
penelitian induksi sevofluran 8% dengan (1,4) dan enfluran (1,91), sehingga
tehnik single breath yang dilakukan oleh menyebabkan induksi anestesi
Yurino dan Kimura (kelompok N2O : O2 berlangsung dengan cepat. Konsentrasi
(2 :1) = 41 ± 16 detik sedangkan sevofluran yang tinggi dan koefisien
kelompok tanpa N20 = 48+16 detik), partisi darah/gas yang rendah tersebut
Ross dkk (kelompok 66 % N2O = 34 seakan-akan menutup efek N2O (second
±12 detik sedangkan kelompok tanpa gas effect dan concentration effect),
10. Morgan E, Mikhael M. Inhalational WF, Perese DA, eds. Clinical Anesthesia
Anesthetics. In : Clinical Procedures of the Masachusetts General
st
Anesthesiology. 1 ed Connecticut: Hospital. 4th ed. Boston : Little, Brown
Prentice-Hall International Inc, 1992 ; and Company, 1993 ; 143 - 50.
105 - 07. 19. Guyton AC. Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. Korman W, Maplesson WW. 5. Jakarta : EGC, 1983 : 6 - 8.
Concentration and second gas effect : 20. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi :
can the accepted explanation be Konsep klinis proses-proses penyakit.
improved ? British Journal of Cetakan I. Jakarta: EGC, 1995 : 667 -77.
Anaesthesia 1997 ; 78 : 618 - 625. 21. Colins VJ. Anatomical aspects of
12. Gou M, Alex M, Rolf L. Nitrous oxide respiration. In : Physiologic and
decrease solubility of Halotan and Pharmacologic Bases of Anesthesia.
isoflurane in blood. Anesthesia and Chicago : Williams and Wilkins, 1996 ;
Analgesia 1993 ; 77 : 761 – 5. 2 - 12.
13. Lambert J. Single-breath induction of 22. Haloday DA. Elimination of inhalation
anesthesia with isoflurane. Br J Anaesth anesthetics. In : Collins VJ, ed.
1987 ; 59 : 1214- 18. Physiologic and Pharmacologic Bases of
14. Yurino M, Kimura H. Comparison of Anesthesia. Chicago : Williams and
induction time and characteristics Wilkins, 1996 ; 730.
between sevofluran and sevofluran / 23. Bisri, T. Neuroanestesi. Edisi 1.
nitrous oxide. Anaesthesiology 1995 ; 39 Bandung 1996 : 1 - 15.
: 356 - 8. 24. Walpole R, Logan M. Effect of
15. Smith I, Nathanson HM, White PF. sevofluran concentration on inhalation
Sevofluran - a long-awaited volatile induction of anaesthesia in the elderly.
anaesthetic. British Journal of British Journal of Anaesthesia 1999 ; 82
Anaesthesia 1996 ; 76 : 435 - 45. : 2 - 24.
16. Cousins M, Seaton H. Volatile 25. Baum VC, Yemen TA. Immediate 8%
anaesthetic agents and their delivery sevofluran induction in children : A
systems. In : Healy T, Cohen PJ, eds. A Comparison with incremental sevofluran
Practise of Anaesthesia 6lh ed. London : anf incremental halothane. Anaethesia
Edward Arnold, 1995 ; 117 -119. and analgesia 1997 ; 85:313-16.
17. Baswell MV, Collins VJ. Fluorinated 26. Philip BK, Lombard LL, Roaf ER.
Ether Anesthetic. In : Collins VJ, ed. Comparison of vital capacity induction
Physiologic and Pharmacologic Bases of with sevofluran to intravenous with
Anesthesia. Chicago : William and propofol for adult ambulatory anesthesia.
Wikins, 1996 ; 700 - 3. Anesthesi and analgesia, 1999 ; 89 : 623
18. Lennon P. Intravenous and Inhalation – 7.
Anesthetic. In : Davison KJ, Eckhardt
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRACT
Major surgery associated with dysfunction of the innate immune system. More recently,
demonstrated that the stress of surgery can rapidly induce a temporary reduction of the
blood response to endotoxin from 2 hours after incision and that plasma IL-10 increased
during surgery, contributes to reducing the response.
It has been reported that epidural anesthesia has beneficial effects on immune reactions
and response to the stress of surgery. Some researchers have reported that epidural
anesthesia maintains NK cell activity and reduced stress response in patients undergoing
hysterectomy. Epidural block from T4 to S5 dermatomal segments, starting before surgery,
to prevent an increase in cortisol and glucose concentrations in the hysterectomy.
Regional anesthesia techniques for major surgery may reduce the release of cortisol,
adrenaline (epinephrine) and other hormones, but has little effect on the cytokine response.
Recent studies (Kawasaki et al., 2007) suggests that the innate immune system, such as
phagocytosis, suppressed by the stress of surgery and that epidural anesthesia did not
prevent this decline in immune responsiveness during upper abdominal surgery
ABSTRAK
Operasi besar berhubungan dengan disfungsi sistem kekebalan tubuh bawaan. Baru-baru
ini, dibuktikan bahwa stres akibat pembedahan dapat dengan cepat menginduksi
penurunan respon sementara dari darah terhadap endotoksin sejak 2 jam setelah insisi
dan bahwa IL-10 plasmayang meningkat selama pembedahan, berperan dalam penurunan
respon ini.
Telah dilaporkan bahwa anestesi epidural memiliki efek menguntungkan pada reaksi
imunitas dan respon terhadap stres akibat pembedahan. Beberapa peneliti telah
melaporkan bahwa anestesi epidural mempertahankan aktivitas sel NK dan mengurangi
respon stres pada pasien yang menjalani histerektomi. Blok epidural dari segmen
dermatom T4 sampai S5, dimulai sebelum pembedahan, mencegah peningkatan
konsentrasi kortisol dan glukosa pada histerektomi. Teknik anestesi regional untuk operasi
besar dapat mengurangi pelepasan kortisol, adrenalin (epinefrin) dan hormon lain, namun
memiliki pengaruh kecil pada respon sitokin.
sitokin paling sedikit, misalnya bedah jam setelah insisi dan bahwa IL-10
laparoskopi. Peningkatan IL-6 terbesar plasmayang meningkat selama
terjadi setelah operasi besar seperti pembedahan, berperan dalam penurunan
operasi penggantian sendi, operasi respon ini.6
pembuluh darah utama dan operasi
Berdasarkan hasil penelitian (kawasaki et
kolorektal. Setelah operasi ini, konsentrasi
al,2007) terhadap 20 pasien yang
sitokin mencapai tingkat maksimal setelah
menjalani operasi gastrektomi parsial
24 jam dan tetap tinggi sampai 48-72 jam
didapatkan: Aktivitas fagositosis neutrofil
setelah operasi (Sheeran dan Hall, 1997).5
menurun secara signifikan 2 jam setelah
Tabel 1. Jenis – jenis sitokin pada inflamasi akut. operasi dimulai dan pulih ke tingkat pra-
operasi pada hari keempat paska operasi,
SITOKIN YANG TERLIBAT DALAM
konsentrasi IL-10 plasma meningkat
INFLAMASI AKUT
secara signifikan2 jamsetelah operasi
Sitokin Aksi dimulai dan mencapai puncaknyapada
TNF- Pro-inflamasi; pelepasan leukosit akhiroperasi, konsentrasi IL-10 kembali
olehsumsum tulang; aktivasi leukosit ke tingkat pra-operasi pada hari keempat
dansel endotel paska operasi; produksi TNF-α menurun
IL-1 Demam; aktivasi sel T dan makrofag secara signifikan 2 jam setelah operasi
dimulai dan mencapai nilai minimum
IL-6 Pertumbuhan dan diferensiasi
pada akhir operasi. Produksi TNF-α yang
limfosit;aktivasi respon protein fase-
akut
diinduksi-LPS pulih ke tingkat pra-operasi
pada hari pertama paska operasi.6
IL-8 Kemotaksis untuk neutrofil dan sel T
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRACT
Regional anesthesia is growing and expanding its use, given the variety of benefits offered,
such as relatively cheap, minimal systemic effects, produce adequate analgesia and the
ability to prevent the stress response is more perfect.
Local anesthetic drug is chemically divided into two major categories, namely the class of
Amide and ester groups. These chemical differences are reflected in differences in the
metabolism of the place, where the ester group is mainly metabolized by the enzyme
pseudo-cholinesterase in the plasma while the Amide groups mainly through enzymatic
degradation in the liver. This difference is also related to the magnitude of the possibility
of allergies, in which the ester group derived from p-amino-benzoic acid has a greater
frequency of allergic tendencies. Local anesthetic commonly used in our country for the
class of esters are procaine, whereas the Amide groups are lidocaine and bupivacaine.
Some local anesthetic drug interactions include coadministration may increase the potency
of each drug. decreased metabolism of local anesthetics as well as increase the potential
for intoxication.
ABSTRAK
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai
keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang
minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress
secara lebih sempurna.
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester
dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat
metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-
kolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis
di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi,
dimana golongan ester turunan dari p-amino-benzoic acid memiliki frekwensi
kecenderungan alergi lebih besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita
untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan
bupivakain.
Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi)
dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada
membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan
perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai
sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial
istirahat transmembran atau ambang batas potensial.
Beberapa interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat
meningkatkan potensi masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi lokal
serta meningkatkan potensi intoksikasi.
adalah larut-lemak. Waktu onset dan tambahan ini yang bertanggung jawab
durasi kerja sama, namun ropivacaine terhadap sebagian besar reaksi alergi.
memblok motorik lebih rendah, yang Anestesi lokal dapat membantu
sebabkan potensi lebih rendah, mengurangi respon inflamasi karena
ditunjukkan dalam beberapa penelitian. pembedahan dengan cara menghambat
Yang paling menjadi perhatian, pengaruh asam lysophosphatidic dalam
ropivacaine memiliki index terapi yang mengaktivasi neutrofil.
besar karena 70% lebih sedikit
E. Muskuloskeletal
menyebabkan intoksikasi kardia
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot
dibandingkan dengan bupivacaine.
skeletal (trigger-point injeksi), anestesi
Ropivacain dikatakan memiliki toleransi
lokal adalah miotoksik (bupivacaine >
terhadap sistem saraf pusat yang lebih
lidocaine > procaine). Secara histologi,
besar. Keamanan dari ropivacaine ini
hiperkontraksi miofibril menyebabkan
mungkin disebabkan karena kelarutan
degenarasi litik, edema, dan nekrosis.
lemaknya yang rendah atau
Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4
availibilitasnya sebagai isomer S(-) yang
minggu. Steroid tambahan atau injeksi
murni, yang bertolak belakang dengan
epinefrin memperburuk nekrosis otot.
struktur dari bupivacaine.
Data penelitian hewan menunjukkan
Levobupivacaine, merupakan isomer S(-)
bahwa ropivacaine menghasilkan
dari bupivacain, yang tidak lagi tersedia di
kerusakan otot yang tidak terlalu berat
Amerika Serikat, dilaporkan memiliki
dibanding bupivacaine.
efek samping terhadap cardiovaskular dan
serebral yang lebih kecil dari pada struktur F. Hematologi
campuran; penelitian mengatakan bahwa Telah dibuktikan bahwa lidokain
efeknya terhadap kardiovaskular hampir menurunkan koagulasi (mencegah
menyerupai efek ropivacaine. trombosis dan menurunkan agregasi
platelet) dan meningkatkan fibrinolisis
D. Imunologi
dalam darah yang diukur dengan
Reaksi hipersensitivitas murni terhadap
thromboelastography. Pengaruh ini
agent anestesi lokal—yang bukan
mungkin berhubungan dengan penurunan
intoksikasi sistemik karena konsentrasi
efikasi autolog epidural setelah pemberian
plasma yang berlebihan—merupakan hal
anestesi lokal dan insidensi terjadinya
yang jarang. Ester memiliki
emboli yang lebih rendah pada pasien
kecenderungan menginduksi reaksi alergi
yang mendapatkan anestesi epidural.
karena adanya derivat ester yaitu asam p-
aminobenzoic, yang merupakan suatu Interaksi Obat
alergen. Sediaan komersial multidosis dari
amida biasanya mengandung Anestesi lokal meningkatkan potensi
methylparaben, yang memiliki struktur blokade otot non-depolarisasi. Suksinil
kimia mirip dengan PABA. Bahan kolin dan anestesi lokal ester bergantung