You are on page 1of 50

PRESENTASI KASUS

BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Bedah RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:
Andye Wahyu Putra S
2012 031 0175

Diajukan kepada:
dr. Wahyu Rathariwibowo, Sp.B

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Departemen Ilmu Bedah
Rumah Sakit Panembahan Senopati

1
HALAMAN PENGESAHAN
BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA

Disusun oleh:
Andye Wahyu Putra S
2012 031 0175

Disetujui dan disahkan pada tanggal:

Mengetahui,
Dosen Pembimbing

dr. Wahyu Rathariwibowo, Sp.B

2
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Berdasarkan laporan dari Biro Pusat Statistik (2000) bahwa jumlah

penduduk Indonesia sekitar 206 juta, lima persennya adalah laki-laki yang berusia

60 tahun keatas maka diperkirakan yang menderita PPJ sekitar 5 juta dan

berdasarkan prevalensi kejadian PPJ pada usia 60 tahun sekitar 50% dan hal ini

semakin meningkat menjadi 80% pada peningkatan usia 80 tahun, bahkan 100%

pada usai diatas 90 tahun (Berry et al., 1984.Lilly & PRB, 2001.Stoller et al.,

2004).

Mengingat kejadian PPJ pada umumnya usia dekade lima keatas sekitar

50% dan semakin meningkat usianya maka semakin meningkat pula resiko

terjadinya PPJ padahal dengan semakin meningkatnya usia justru terjadi

penurunan fungsi organ –organ tubuh karena proses degeneratif/penuaan dan

kadang disertai faktor komorbiditas lainnya seperti hipertensi ,diabetes mellitus,

penyakit jantung koroner,penurunan fungsi ginjal,hati maupun penyakit obstruktif

menahun serta penyakit sistemik lainnya sehingga persiapan praoperasi sangat

penting untuk menurunkan morbiditas maupun mortalitas yang mungkin bisa

terjadi pada pasien PPJ yang akan dilakukan operasi prostatektomi terbuka(

transvesical prostatectomi=TVP) ataupun secara tertutup(transurethral

prostatectomi =TURP

Prostatektomi terbuka merupakan tindakan operasi untuk mengambil

jaringan prostat secara terbuka transvesikal sesuai protokol yang ditetapkan oleh

sub bagian bedah urologi FK UGM Yogyakarta. Morbiditas awal pascaoperasi

3
adalah kondisi keadaan sakit pada pasien PPJ yang disebabkan oleh tindakan

operasi dimana selama periode pascaoperasi, pasien diamati terus hingga pasien

dinyatakan sembuh dari operasi yaitu dapat miksi dengan baik setelah kateter

dilepas,biasanya tujuh sampai sepuluh hari pascaoperasi. Sebelum dilakukan

pembedahan prostatektomi,penilaian kriteria Singh masih relevan untuk

digunakan sebagai salah satu landasan dasar dalam menilai prognosis terhadap

pasien PPJ agar dapat memperkecil morbiditas maupun mortalitas.

4
BAB II
IDENTITAS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama :S

Umur : 64 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

Alamat : Poncosari Srandakan Bantul

Tanggal masuk : 03/05/2017

Tanggal keluar : 10/05/2017


B. Anamnesa
12 Maret 2017 (IGD)

Keluhan Utama

Pasien datang dengan keluhan sulit buang air kecil sejak 2 tahun yang

lalu, keluhan memberat 3 HSMRS dan tidak bisa mengeluarkan sendiri

sehingga di bawa ke Poli Bedah dan dipasang pasang DC. Pasien

mengeluh sebelumnya sering kencing pada malam hari lebih dari 10 kali

dalam semalam. Pasien juga mengeluh tidak bisa menahan pipis, dan saat

pipis pancaranya lemah, dan perlu mengejan saat pipis. Keluah pusing,

mual dan muntah disangkal. Pasien merasakan nafsu makanya menurun,

pusing (-), mual (-), muntah (-). BAB tak ada keluhan

Keluhan Tambahan

Nafsu makan menurun

5
Riwayat Penyakit Sekarang

3 HSMRS: tidak bisa mengeluarkan BAK sendiri sehingga di bawa ke

Poli Bedah dan dipasang pasang DC.

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat Diabetes (-), Hipertensi (-), Alergi (-)

Riwayat penyakit keluarga

Tidak diketahui

C. Pemeriksaan fisik
Status Generalis

KU : sedang, composmentis

Vital sign : TD : 130/90 mmHg R : 24 x/menit N : 82 x/menit T :

36,0 oC

TB : 170 cm

BB : 54 kg

Kepala : CA (-)/(-), SI (-)/(-), edema fascia(-)

Leher : pemb. kel. limfonodi(-), pemb. kel. tyroid(-)

Thorax : simetris(+), retraksi(-), SDV(+)/(+), ST(-) S1 S2

reguler(+), bising jantung(-)

Abdomen : bising usus (+) , turgor baik (+) , nyeri

tekan suprapubik(+), supel(+)

Ekstremitas : hangat(+)/(+), edema(-)/(-) , nadi dorsalis pedis kuat

6
D. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan


HEMATOLOGI

Hemoglobin 14.8 14.0 - 16.0 g/dl

Lekosit 10.5 4.00 - 11.00 10^3/uL

Eritrosit 5.44 4.50-5.50 10^6/uL

Trombosit 261 150 – 450 10^3/uL

Hematokrit 48.3 42.0 - 52.0 vol%

HITUNG JENIS LEUKOSIT

Eosinofil 10 2-4 %

Basofil 0 0-1 %

Batang 4 2-5 %

Segmen 44 51-67 %

Limfosit 38 20-35 %

Monosit 4 4-8 %

Faktor Pembekuan

PTT 11.5 <37 U/l

APTT 30.4 <41 U/l

Control PTT 13.9 11-16

Control APTT 32.1 28-36.5

Ureum 27 17-43 mg/dl

Creatinin 0.92 0.90-1.30 mg/dl

E. Diagnosis Kerja
Benign Prostat Hiperplasia
F. Penatalaksanaan
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ceftriaxon 1gr/12jam
Inj. Ketorolac 1A/12jam

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Benign Prostat Hiperplasia

Benign Prostat Hyperplasi (BPH) atau pembesaran prostat jinak

(PPJ) adalah proses hiperplasi masa nodul fibromyoadenomatous pada

inner zone kelenjar prostat periuretral, sehingga jaringan prostat

disekitarnya terdesak dan membentuk kapsul palsu di sisi luar jaringan

yang mengalami hiperplasi.

Etiologi dan faktor risiko pembesaran prostat jinak masih belum

dapat diketahui dengan pasti. Menurut Sanda dkk, genetik merupakan

salah satu faktor resiko terjadinya pembesaran prostat jinak. Pada turunan

pertama dimana terdapat riwayat menderita pembesaran prostat jinak akan

mempunyai resiko empat kali lipat. Menurut Mc Connell (1995) pada

suatu studi ditemukan dua faktor yang berperan dalam pertumbuhan

prostat yaitu bertambahnya umur dan erat hubungannya dengan kadar

dihydrotestosterone (DHT).

B. Epidemiologi

Di abad-21 ini jumlah penduduk lanjut usia akan menunjukan

peningkatan dengan cepat, hal ini sebagai konsekuensi dari

berkembangnya ilmu kesehatan yang berdampak pada peningkatan angka

harapan hidup (WHO, 70th sedangkan Indonesia, 65th) sehingga secara

langsung ini berpengaruh terhadap prevalensi kemungkinan terjadinya

penyakit PPJ karena pengaruh dari usia (Kirby et al.,1995.). Pada

8
penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1995 bahwa sukarelawan yang

diperiksa pada usia 60 – 69 tahun didapatkan angka kejadian PPJ cukup

tinggi yaitu 51% sedangkan yang memberi gejala dan memerlukan

penanganan medis separuhnya. Berdasarkan data otopsi secara

mikroskopis bahwa kejadian PPJ pada laki-laki usia 40– 50 tahun sekitar

25%, usia 50 – 60 tahun sekitar 50%, usia 60 – 70 tahun sekitar 65%, usia

70 – 80 tahun sekitar 80% dan usia 80 – 90 tahun sekitar 90% sedangkan

berdasarkan gejala klinis bahwa laki-laki yang berusia 50 – 74 tahun yang

menderita PPJ sekitar 5 – 30%,yang menimbulkan keluhan LUTS (Lower

Urinary Tract Symphtoms) sekitar 40% dan yang meminta pertolongan

medis yaitu separuhnya

Anatomi dan Embriologi

Prostat mulai terbentuk pada minggu ke 12 dari kehidupan

mudigoh dibawah pengaruh hormon androgen yang berasal dari testis

fetus. Sebagian besar kompleks prostat berasal dari sinus urogenitalis,

sebagian dari duktus ejakulatorius, sebagian veromontanum dan sebagian

dari bagian asiner prostat (zona sentral) berasal dari duktus wolfii.

Prostat merupakan kelenjar kelamin laki-laki yang terdiri dari

jaringan fibromuskuler (30 – 50%) stroma dan asiner (50 – 70%) yang

berupa sel epitel glanduler. Komponen fibromuskuler terutama disisi

anterior sedangkan elemen glanduler terutama dibagian posterior dan

lateral. Secara anatomi prostat berbentuk suatu konus atau piramida

terbalik seperti buah pear yang terletak pada rongga pelvis tepat di

9
bawah tepi inferior tulang simfisis pubis dan sebelah anterior ampula recti.

Bagian atas berlanjut sebagai leher buli-buli, apeknya menempel pada sisi

atas fascia dari diafragma urogenital. Prostat ini dilewati (ditembus)

urethra dari basis ke arah apek membuat angulasi 35° pada veramontanum.

Ukuran prostat normal pada orang dewasa lebarnya 3–4 cm, panjangnya

4–6 cm dan ketebalannya 2 – 3 cm sedangkan beratnya 20 gr.

Gambaran khas dari prostat laki-laki dewasa menurut Mc Neal

(1970) terdiri atas empat gambaran morpologi yang berbeda yaitu :

I. Zona periter (periferal zone)

Merupakan 70% dari volume prostat, muara dari kelenjarnya pada dinding

uretra dari veromontanum sampai dekat spingter ekterna. keganasan

sering terjadi pada zona perifer

II. Zona sentral yang kecil (central zone)

Merupakan bagian terbesar kedua pada prostat, berbentuk konus dengan

dasarnya yang membentuk bagian dasar prostat, dan bagian apikalnya

berada pada veromontanum. Aliran kelenjarnya bermuara disekitar

muara duktus ejakulatorius. Zona terbesar ketiga adalah stroma

fibrimuskular anterior yang tidak mengandung komponen kelenjar hanya

terdiri atas jaringan ikat

10
III. Zona transisional (transisional zone)

Merupakan lobus yang kecil, merupakan 2% dari keseluruhan volume

prostat, muara kelenjarnya pada bagian proksimal uretra prostatika dekat

dengan spingter ekterna. Daerah terdekat dengan zona transisional adalah

daerah periuretral, suatu daerah yang menonjol, membentuk duktus kecil

dan asinus yang tersebar dalam spingter preprostatika dan bermuara pada

bagian posterior dari uretra proksimal. Terletak di periurethral sekitar

verumontanum dan tampaknya bagian ini yang dapat mengalami

hiperplasia yang menimbulkan gejala-gejala pembesaran prostat jinak.

Prostat hiperplasi berasal dari zona transisional dan periuretral yang berada

sepanjang uretra proksimal diantara spingter otot polos leher buli sampai

dengan veromontanum

Jaringan kelenjar dari zona transisi identik dengan zonal perifer hanya saja

zona transisi tidak pernah mengalami perubahan keganasan.

Zone perifer dan sentral kira-kira 95% dari seluruh kelenjar prostat dan 5%

adalah zone transisional. Sedangkan kecurigaan keganasan prostat sekitar

60 – 76% berasal dari zona periter, 10-20% dari zona transisional dan 5 –

10% dari zona sentral.

11
Prostat mempunyai 4 permukaan yaitu,

1 fasies posterior

1 fasies anterior

2 fasies inferior lateral

2 fasiesinferior medial.

Batas belakang kelenjar prostat berhubungan erat dengan

permukaan depan ampula recti dan dipisahkan oleh septum recto vesicalis

(fascia Denonvilier). Urethra pars prostatika merupakan bagian urethra

posterior mulai dari kandung kemih sampai spingter urethra bagian luar

diafragma urogenitalia. Verumontanum merupakan proyeksi prostat pada

dinding posterior urethra ini dimana terdapat sinus tempat keluar ductus

ejakulatorius, coliculus seminalis.

Letak prostat diantara leher kandung kemih (orifisium urethra

internum) dan diafragma urogenitalis. Bentuk piramid terbalik dengan

basis di atas, puncak di bawah, permukaan depan dan belakang serta

permukaan samping kanan dan kiri, berbatasan dengan bangunan

sekitarnya. Kelenjar prostat dikelilingi oleh kapsul fibrosa (true capsule)

dan diluar kapsul fibrosa terdapat selubung fibrosa, yang merupakan

bagian dari lapisan visceral fascia pelvis. Diantara kapsul fibrosa dan

selubung fibrosa prostat ini terdapat plexus venosus.

12
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan

testoteron estrogen, karena produksi testoteron menurun dan terjadi

konversi testoteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer.

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah

dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini

terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomik.

13
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada

leher vesika dan daerah prostat meningkat dan detrussor menjadi lebih

tebal. Penonjolan serat detrussor ke dalam kandung kemih dengan

sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli

balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat detrusor. Tonjolan

mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut

divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot

dinding. Apabila keadaan berlanjut maka detrussor menjadi lelah dan

akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk

berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.

C. Patofisiologi

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi.

Gejala obstruksi, yaitu

1. Hesitency  Gejala harus menunggu pada permulaan

miksi

2. Intermitency  Miksi terputus

3. Terminal dribling  Menetes pada akhir miksi

4. Pancaran miksi menjadi lemah,

5. Rasa belum puas sehabis miksi.

14
Gejala iritatif yaitu

1. Frequency  Bertambahnya frekuensi miksi

2. Nokturia

3. Urgency  Miksi sulit ditahan dan

4. Dysuria  Nyeri pada waktu miksi

Gejala obstruksi disebabkan oleh karena detrusor gagal

berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama

sehingga kontraksi terputus-putus sedangkan gejala iritatif disebabkan oleh

karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau

15
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesika, sehingga

vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh.

Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin

sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung

kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini

berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita

tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka pada

suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan

intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi

daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia

paradoks.

Retensi kronik menyebabkan refluks vesico-ureter, hidroureter,

hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila

terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan

sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena

selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung

kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan

hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi

refluks, dapat terjadi pielonefritis.

Ada 2 faktor patofisiologi yang telah diketahui mutlak terjadinya

pembesaran prostat jinak yaitu : bertambahnya umur dan pengaruh

hormon androgen.

16
Menurut Caine (1996) pembesaran kelenjar prostat, pada

hakekatnya mengakibatkan suatu sumbatan leher kandung kemih melalui 2

mekanisme yang penting, yaitu

1. Mekanisme mekanik atau statis, yaitu apabila kelainan itu bersifat

anatomik terjadi akibat perubahan volume, konsistensi dan bentuk

kelenjar prostat

2. Mekanisme dinamik atau fungsional, yakni bersifat kelainan

neuromuskuler oleh serabut otot polos pada urethra pars prostatika,

kelenjar prostat dan kapsula.

Pada tahun 1983 Mc.Neal membuktikan terdapat perbedaan yang sangat

jelas mengenai morfologi fungsional dan patologi pada kelenjar prostat.

Dan membagi kelenjar prostat dalam 4 lobus yaitu :

(1) Stroma fibromuscular anterior,

(2) Zona perifer,

(3) Zona sentral

(4) Jaringan pre prostatik.

Jaringan pre prostatik merupakan lapisan tebal terdiri atas epitel

kelenjar dan serabut otot polos silindris bercampur, mengelilingi urethra

pars prostatika proximal, berfungsi sebagai spincter mencegah refluk

semen ke kandung kemih pada waktu ejakulasi. Sebelah dalam lapisan ini

17
terdapat kelenjar periurethral, dengan ductus–ductusnya yang meluas

kesamping dan sebelah luar lapisan tersebut pada titik pertemuan segmen

proximal dan distal urethra pars prostatika disebut zona transitional.

Tempat dimana timbul proses patologi hipertropi kelenjar prostat ini

adalah zona transitional dan zona perifer urethral, yang mendesak kelenjar

prostat sebenarnya (true prostat) ke zona perifer (Outer zone) membentuk

capsul (False capsul) dari serabut otot polos. Dan mendesak ke arah

urethra pars prostatika menyebabkan aliran kemih lemah sampai menetes

dengan tekanan mengejan yang meningkat

Timbulnya perubahan-perubahan pada kelenjar prostat dimulai

sejak umur dekade ke empat, meliputi 3 proses yang berdiri sendiri, yaitu

(1) Pembentukan nodul.

(2) Pertumbuhan difus zone transitional

(3) Pertumbuhan nodul.

Nodul ini timbul di zone transitional dan jaringan periurethral dari

kelenjar prostat (Inner zone). Pada pria umur 50-70 tahun volume zona

transisional bertambah 2 kali lipat, dan nodule hanya merupakan 14% dari

massa zona transitional. Tetapi mulai bertambahnya umur 70-80 tahun

terdapat peningkatan yang dramatis, massa nodul, merupakan sebagian

besar dari pembesaran kelenjar prostat. Pemeriksaan mikroskopis pada

nodul tersebut adalah khas suatu proses hiperplasia dari epitel dan stroma

dalam berbagai proporsi dan tingkatan bentuk.

18
Gambaran histologis menurut Franks (1976) ada lima tipe bentuk :

(1) Stroma,

(2) Fibromuscular,

(3) Muscular,

(4) Fibroadenomatous

(5) Fibromyoadenomatous.

Paling banyak adalah bentuk Fibroadenomatous yang terdiri dari

komponen stroma jaringan otot dan kolagen, elemen kelenjar beberapa

bentuk asinus dan kistik. Pada proses hipertropi kelenjar prostat tidak

terdapatnya gambaran mitosis sel epitel masih merupakan teka-teki.

Hiperplasia nodul kelenjar prostat menyebabkan perubahan mekanik, dan

mempengaruhi vascularisasi yang akan menyebabkan perubahan mekanik,

dan mempengaruhi vascularisasi yang akan menyebabkan infark. Terdapat

sedikitnya 25% infark jaringan hiperplasi, infark kelenjar prostat

menimbulkan hematuri dan kenaikan serum asam fosfatase.

Pertumbuhan nodul peri urethral cenderung ke proximal yang

disebut lobus medius membesar ke atas dan merusak sphincter vesicae

pada leher kandung kemih hebat. Pembesaran uvula vesicae (akibat

pembesaran lobus medius) mengakibatkan pembentukan kantung

19
pengumpul urin dibelakang orificium urethra internum. Urine yang

tertimbun akan mengalami infeksi dan terjadi sistitis sebagai keluhan

tambahan. Pembesaran lobus medius dan lobus lateralis menimbulkan

pemanjangan, kompresi kesamping dan distori urethra sehingga penderita

mengalami kesulitan berkemih dan pancaran lemah

Spingter interna merupakan jaringan otot yang kompleks tersusun

atas otot polos dari proximal dan serabut seran lintang dari distal. Bagian

proximal terdiri atas serabut otot polos sirkuler urethra dan serabut otot

polos longitudinal lanjutan dari otot polos ureter distal, trigonum vesica

dan leher kandung kemih, sebagai spingter urethra interna diinervasi oleh

saraf otonom. Dan bagian distal serabut otot seran lintang berasal dari

musculus sphincter urethra externa. Mekanisme kontrol kemih tergantung

pada integritas kedua spingter tersebut. Sebagai komponen pasif (sphincter

urethra interna) dan komponen aktif (sphincter urethra externa),

kerusakan otot kompleks ini menyebabkan terjadinya inkontinensia urine

Perubahan kandung kemih akibat sumbatan pada leher kandung kemih

karena hiperplasia kelenjar prostat adalah sebagai berikut :

1. Fase kompensata

Terjadi hipertropi musculus detrusor sehingga dinding kandung kemih

bertambah kekuatan untuk mengatasi tahanan tersebut dan dapat

mengosongkan diri. Akibat hipertropi otot detrusor tersebut pada mucosa

terbentuk tonjolan-tonjolan yang disebut trabekula. Disamping itu mukosa

juga mengalami penonjolan extra mural yang disebut sellulae dan

20
sakkulae bila besar tonjolan ini terus bertambah besar dan menerobos

lapisan otot keluar menjadi divertikulum. Karena divertikulum tidak

dilapisi otot maka tidak mampu untuk mengosongkan diri walaupun faktor

penyebab sudah dihilangkan (perubahan irreversibel), maka perlu

dilakukan tindakan pembedahan.

2. Fase dekompensata,

Keadaan dimana kandung kemih tidak dapat lagi mengosongkan air

kemih dengan sempurna, karena nilai ambang batas terlampaui, terjadi

atoni musculus detrusor, sehingga pada akhir miksi masih terdapat sisa

dalam kandung kemih. Dan suatu saat, bila sumbatan bertambah hebat

dan sisa air kemih bertambah banyak dalam kandung kemih, pasien

tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya meskipun kemauan

kemih ada, disebut retensio urine.

Komplikasi lebih lanjut akibat aliran balik (refluk) terjadi

hidroureter dan hidronefrosis, dan akhirnya terjadi kegagalan ginjal.

D. Etiologi

PPJ sampai saat ini secara pasti belum diketahui.Beberapa teori

telah kemukakan sebagai faktor penyebab terjadinya PPJ akan tetapi ada

dua faktor penyebab pasti yang diyakini sebagai faktor penyebab

terjadinya PPJ yaitu faktor hormon androgen yang diproduksi secara

21
normal oleh testis dan pengaruh dari peningkatan usia. Adapun teori-

teori tesebut yang dianggap sebagai penyebab terjadinya PPJ sebagai

berikut :

1. Teori Dehidrotestosteron (Teori DHT)

Dasar teori ini bahwa testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig pada

testis (90%) dan kelenjar adrenal (10%) akan diikat olehglobulin menjadi

sex hormon binding globulin (SHBG) sekitar 98% berda dalam peredaran

darah dan 2% dalam bentuk testosteron bebas.

Testosteron bebas inilah yang menjadi target cell yaitu sel prostat

melewati membran sel langsung masuk kedalam cytoplasma.Di dalam sel

,testosteron di reduksi oleh 5 α reduktase menjadi 5 dehidrotestosteron

(DHT) yang kemudian bertemu dengan reseptor androgen di dalam

cytoplasma menjadi hormon androgren reseptor complek. Hormon

reseptor komplek ini mengalami transformasi reseptor menjadi nuclear

reseptor yang masuk kedalam inti sel (Nukleus) untuk kemudian melekat

pada chromatin dan mengalami transkripsi RNA (mRNA) sehingga

menyebabkan terjadinya sintesa protein.

2. Teori ketidakseimbangan estrogen-testosteron.

Kirby et al(1995) menyatakan bahwa prevalensi PPJ secara histologis

,klinik dan symptom sangat berhubungan dengan peningkatan usia.

Berdasarkan teori ini bahwa dengan terjadinya proses penuaan akan

terjadi ketidakseimbangan antara estrogen dengan testosteron. Pada

22
proses penuaan kadar testosteron bebas dalam sirkulasi darah

menurun secara bertahap sementara kadar estrogen tidak ada

perubahan sehingga secara gradual tidak signifikan dengan

peningkatan rasio antara estrogen bebas (estradiol bebas) di

bandingkan dengan testosteron. Hal ini menunjukan bahwa estrogen

memegang peranan penting di dalam proses terjadinya PPJ dimana terjadi

sensitisasi prostat oleh hormon estrogen bebas (estradiol) dengan

peningkatan kadar reseptor androgen sedangkan di lain pihak terjadi

penurunan jumlah kematian sel-sel prostat dan estrogen juga ternyata

menyebabkan hiperplasia sel-sel stroma prostat.

Pada usia lanjut hormon testosteron menurun, sedang horman estrogen

tetap sehingga rasio menjadi kecil. Penurunan ini mulai usia 40-an sampai

60-an. Testes dan sel Leydignya memproduksi hormon testosteron.

dipacu 5 alpha reduktase

Testosteron DHT+ Reseptor Androgen (RA)

dihambat 5 alpha reduktase inhibito

proses hiperplasia (jumlah sel menjadi banyak)

Mengapa timbul pada usia tua ? padahal secara mikroskopik hiperplasi

terjadi sejak usia 35 tahun. Karena pada usia tua jumlah sel leydig

23
menurun sehingga jumlah hormon testosteronpun menjadi berkurang,

diduga aktifitas androgen reseptorlah yang meningkat.

3. Teori interaksi stroma – epithel

Peranan faktor pertumbuhan (growth factor) sangat penting terhadap

terjadinya PPJ dimana terjadi interaksi antara faktor jaringan ikat

(stroma) dengan faktor ephitel glanduler prostat yang di pengaruhi oleh

hormon androgen.PPJ secara langsung di pengaruhi oleh hormon

androgen melalui berbagai mediator yang berasal dari stroma ataupun sel-

sel ephitel prostat di sekitarnya seperti epidermal growth factor (EGF),

transforming growth factor alpha (TGF α ), fibroblast growth factor (FGF)

dan transforming growth factor beta (TGF ß) inhibitor sebagai

penyeimbang agar tidak tumbuh terus prostatnya.

Stroma akan menjadi jaringan ikat / trabekulasi, adalah tonjolan

m.destrusor akibat hiperplasi dan akibat pengaruh Growth factor yang

mana mengakibatkan tidak bisa kencing.

E. Gambaran Klinik

Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus

sfingter anus, mukosa rektum, kalainan lain seperti benjolan di dalam

rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur harus diperhatikan

konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya

kenyal), asimetri,nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba.

24
Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan yang

konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat asimetri dengan

bagian yang lebih keras. Dengan colok dubur dapat pula diketahui batu

prostat bila teraba krepitasi.

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah

sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur

urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula

diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.

Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi

untuk melakukan intervensi pada hipertrofi prostat. Derajat berat

obstruksi dapat pula diukur dengan menggunakan pancaran urin pada

waktu miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih

rat-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik.

Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antar 6-8 ml/detik, sedang

maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang. Kelemahan detrusor

dan obstruksi intravesikal tidak dapat dibedakan dengan pengukuran

pancaran kemih. Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih

sehingga mengangu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan

infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab

obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan

secara teratur.

Mengenai pembesaran prostat jinak ini sering kita jumpai istilah-istilah

yang dicoba dipakai untuk menggambarkan keadaan dan patologi

25
pembesaran prostat jinak. Istilah yang sering dipakai ialah BPH = Benign

Prostatic Hyperplasia, yang sebenarnya merupakan terminologi untuk

menyatakan adanya perubahan patologi anatomik. Istilah lain, BPE =

Benign Prostate Enlargement, juga merupakan istilah anatomik, sedang

BOO = Benign Outflow Obstruction, merupakan suatu istilah yang

menggambarkan adanya gangguan fungsi dan BPO = Benign Prostatic

Obstruction juga istilah gangguan fungsi dan LUTS = Lower Urinary

Tractus Symptoms, juga merupakan gangguan fungsi.

Biasanya gejala-gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi

Gejala iritatif terdiri dari sering kencing (frequency), tergesa-gesa kalau

mau kencing (urgency), kencing malam lebih dari satu kali (nokturia)

dan kadang-kadang kencing susah ditahan (urge incontinence).

Gejala obstruktif yaitu, pancaran melemah, terakhir miksi merasa

belum kosong, kalau mau kencing harus menunggu lama (hesitancy),

harus mengedan (straining) dan kencing terputus-putus (intermitency)

dan juga waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine

dan inkontinen karena “ overflow “ .

G. Penatalaksanaan

Modalitas terapi pasien pembesaran prostat jinak berdasarkan muktamar

XI Ikatan Ahli Urologi Indonesia di bandung tahun 2000 sebagai berikut :

1. Watchfull Waiting (Observasi)

26
Dalam hal ini penderita di observasi secara berkala sampai penderita merasa

terganggu atau ditemukan tanda-tanda komplikasi akibat adanya pembesaran

prostat jinak dan masa ini dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan

(IPSS≤ 7 atau Madsen Iversen ≤ 9).

Nasehat yang diberikan pada penderita yang di observasi yaitu mengurangi

minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,menghindari obat-

obat dekongestan (parasympatolitik),mengurangi minum kopi dan melarang

minum alkohol agar tidak terlalu sering kencing. Dilakukan evaluasi terhadap

perkembangan score symptom,Qmax,residu urin dan pemeriksaan secara

berkala TRUS setiap tiga bulan sehingga apabila terjadi kemunduran maka

sebaiknya mulai dilakukan pengobatan medikomentosa atau operasi

2. Medikomentosa

Dasar pertimbangan pengobatan medikomentosa diberikan karena terjadi

peningkatan nilai score symptom(IPSS > 7,Qmax >5ml/detik,Residual

urin<100 ml, rasa yang mengganggu seperti inkontinensia,rasa ingin buang

air kecil terus,frekuensi) sehingga hal-hal tersebut di atas dapat menjadi salah

satu dasar pertimbangan pemberian pengobatan medikomentosa,pemilihan

jenis obat yang diberikan dan juga melakukan evaluasi terhadap hasil

pengobatan. Tiga macam dasar pertimbangan dalam pengobatan

medikomentosa yang dianggap rasional yaitu :

a. Penghambatan α adrenergik(α blocker )→merelaksasi tonus leher kandung

kemih

27
b. Penghambatan androgen(Supresor androgen)→menghambat pertumbuhan

prostat

c. Phytoterapi

Ketiga pengobatan tersebut harus dievaluasi untuk menilai perubahan atau

perkembangan antara sebelum dan sesudah pengobatan diberikan dan ini

dievaluasi selama tiga sampai enam bulan.

Adapun daya kerja dan jenis obat yang digunakan adalah sebagai berikut

1. Penghambat α adrenergik

Berdasarkan persarafan daerah leher kandung kemih di dominasi oleh saraf

otonom yang bersifat simpatomimetik sehingga bila diberikan obat

penghambat α adrenergik (adrenergik blocking agent/ α adrenoseptor

antagonist) diharapkan dapat mengurangi tonus leher kandung kemih agar

proses kencing dapat lancar.

Obat penghambat α adrenergik ini dapat bersifat :

 Selective long acting α blocker : Doxazosin,tamsulosin,terasosin

 Selective short acting α blocker: Prazosin,Alfuzosin,Indoramin

 Non selective Fenoksibenzamin

Berdasarkan persarafan bahwa daerah leher vesika urinaria,otot polos di

trigonum vesicae,prostat dan kapsul prostatika secara dominan dipersarafi

28
oleh saraf parasimpatis dengan reseptornya α1adrenergik sehingga stimulasi

dari reseptor ini menyebabkan meningkatnya tonus otot-otot di daerah

tersebut sedangkan bila reseptornya di hambat (α adrenoseptor antagonist)

dapat menurunkan tonus otot di daerah tersebut (terjadi relaksasi) akibatnya

tekanan pada daerah uretra pars prostatika turun sehingga meringankan proses

kencing menjadi lancar.

Evaluasi hasil pengobatan sangat penting dalam menilai keberhasilan suatu

terapi apalagi obat ini mempunyai efek samping antara lain penurunan

tekanan darah yang dapat menimbulkan keluhan pusing-pusing

(dizziness),capek,sumbatan hidung dan rasa lemah (fatique) disamping efek

yang di harapkan untuk merelaksasi tonus otot di leher vesika urinaria

maupun pada prostatnya sendiri agar menurunkan obstruksinya sehingga

kencing menjadi lancar dan obat α blocker ini sudah direkomendasikan oleh

The 3rd and The 4thInternational Consultation on BPH 1995 and 1997

2. Menghambat pertumbuhan prostat(Supresor Androgen)

Asumsi dari teori ini yaitu dengan dilakukan kastrasi maka tidak terjadi

pembesaran prostat dan pria yang mempunyai kelainan defisiensi enzim 5α

reduktase,kelenjar prostatnya tidak berkembang walaupun potensi seksualnya

tetap positif. Berdasarkan pada teori DHT (Dehidrotestosteron) bahwa

penyebab terjadinya pembesaran prostat apabila terjadi reduksi testosteron

menjadi DHT yang memerlukan enzim 5α reduktase sehingga dengan

menghambat kerja enzim tersebut maka tidak terjadi proses reduksi

testosteron akibatnya tidak terbentuk DHT. Atas dasar asumsi-asumsi tersebut

29
diatas maka supresi androgen dapat terjadi dengan memberikan sebagai

berikut :

 Penghambat enzim 5α reduktase

 Anti androgen

 Analog Luteinizing hormone releasing hormone (LHRH)

Obat penghambat enzim 5α reduktase yang terdapat di pasaran yaitu golongan

finasteride dengan nama dagang di Indonesia yaitu Proscar dalam bentuk

tablet dengan dosis 5 mg diberikan peroral sekali sehari.Selain itu ada

golongan episterid dan untuk melihat efek terapi di butuhkan waktu 3-6 bulan

dilakukan evaluasi secara berkala bila menunjukan perbaikan maka terapi

diteruskan akan tetapi bila tidak ada perbaikan parameter antara sebelum dan

sesudah maka dipertimbangkan untuk terapi pembedahan.

Hal yang harus diperhatikan dari pemberian finasterid mempunyai efek

samping berkurangnya libido dan impotensi,ini terjadi sekitar 3-4 % dan

reversibel.

Parameter evaluasi sebelum pengobatan dengan 5α reduktase

No PARAMETER SYARAT KETERANGAN

1 Skor keluhan Ringan dan Untuk yang berat

sedang dianjurkan terapi

30
operasi

2 Volume prostat Derajat I,II,III Volume prostat

: dalam ml menurun sampai

30%
- colok dubur

- USG

(optional)

3 Sedimen Urin – Normal/Negatif Bila tidak normal

Biakan perlu evaluasi

lebih lanjut dan

bila biakan

positif perlu

diterapi lebih

dahulu

5 Kreatinin Normal Bila tidak normal

serum perlu evaluasi

lebih lanjut

6 PSA(Prostatic ≤ 4 ng/ml Dengan

Specific pengobatan

Antigen) biasanya

menurun 50%

dalam 6 bulan

31
bila meningkat

perlu biopsi

7 Flowmetri Qmax :> 10 Biasanya

ml/det membaik rata-

rata 2,7 ml/det

3. Pengobatan Phyto terapi

Pengobatan ini menggunakan bahan dari tumbuh-tumbuhan seperti Hypoxis

Rooperis,Pygeum Africanum,Urtica sp,Sabal Serulla,Curcubita pepo,Populus

temula,Echinacea pupurea dan cereale. Zat aktif yang terdapat di dalam

tumbuhan tersebut belum semuanya di ketahui cara kerjanya.Pygeum

Africanum misalnya dapat mempengaruhi kerja Growth Factor terutama ß

FGF dan EGF sedangakan obat yang lain di katakan kemungkinan

mempunyai efek antara lain anti estrogen,anti androgen,menurunkan sex

binding hormon globulin,menghambat sel prostat berproliferasi,

mempengaruhi metabolisme prostaglandine,anti inflamasi dan menurunkan

tonus leher buli-buli.

Ada tiga hal problem dalam pengobatan dengan obat-obatan yaitu kapan

pengobatan di mulai dan berapa lama,bagaimana dengan efek sampingnya

dan harga obat yang masih tinggi sementara pengobatan dalam waktu yang

lama serta disiplin pasien dalam meminum obat dalam waktu yang lama perlu

mendapat perhatian dokter dalam program pengobatan konservatif pasie

32
Konservatif  Medika mentosa bila score IPSS < 18

Finasteride / Proscar 5 mg/hr (3-6 bl), Tamsulosin/Flomax 0,4 mg 2-4 mgg ,

Harnal 0,2 mg  kerjanya mengeblok enzim 5 alpha reductase membentuk

DHT

3. Pembedahan

Pasien pembesaran prostat jinak pada umumnya sudah dalam stadium berat

yaitu mengalami retensi akut dengan atau tanpa komplikasi sehingga tindakan

pembedahan merupakan cara yang paling efisien mengatasi masalah tersebut

apalagi tidak semua pasien yang mendapatkan pengobatan medikomentosa

berhasil yaitu sekitar 40-70 %(Emberton,1999) Mengingat kejadian penderita

pembesaran prostat pada umumnya usia dekade lima keatas sekitar 50% dan

semakin meningkat usianya maka semakin meningkat pula resiko terjadinya

pembesaran prostat jinak padahal dengan semakin meningkatnya usia justru

terjadi penurunan fungsi organ –organ tubuh karena proses

degeneratif/penuaan sehingga persiapan praoperasi sangat penting untuk

menurunkan morbiditas maupun mortalitas yang mungkin bisa terjadi pada

pasien pembesaran prostat jinak yang akan dilakukan operasi prostatektomi

baik secara TVP ataupun TURP. Faktor usia lanjut ini biasanya disertai juga

oleh faktor komorbiditas lainnya seperti hipertensi ,diabetes mellitus, penyakit

jantung koroner,penurunan fungsi ginjal,hati maupun penyakit obstruktif

menahun serta penyakit sistemik lainnya.

Sedangkan faktor komorbiditas lainnya yang biasanya menyertai pada

penderita pembesaran prostat jinak seperti anemia, malnutrisi juga harus

33
mendapat perhatian serius sebelum melakukan operasi prostatektomi baik

secata transurethral (TURP) maupun secara transvesikal(TVP).

Indikasi absolut pembedahan antara lain sebagai berikut :

 Sisa kencing lebih dari 100 ml

 Infeksi saluran kencing berulang

 Adanya batu buli-buli

 Adanya hematuri secara makroskopis berulang

 Adanya divertikel buli-buli yang besar

 Adanya penurunan fungsi ginjal karena PPJ

 Retensi urin berulang

Indikasi relatifnya yaitu adanya residu urin lebih dari100 ml,Qmax kurang

dari 10 ml/detik atau dengan pengobatan lain tidak menunjukan perbaikan

sedangkan keduanya mempunyai resiko penyulit yang hampir sama sebagai

berikut :

Penyulit durante operasi :

 Perdarahan (< 4 %):bila sinus venosus peri prostatika tereseksi.

 TUR Syndrome :Terjadi bila sinus venosus terbuka dan cairan

irigasi masuk sirkulasi sehingga terjadi hiponatremia.

34
 Perforasi : Apabila dinding buli-buli daerah trigonum ataupun

kapsula prostatika robek pada saat prostatektomi secara

transurethral.

 Infeksi saluran kemih sampai septikemia : Operasi

prostatektomi termasuk jenis operasi bersih terkontaminasi karena

berhubungan dengan saluran kemih apalagi bila hasil biakan urin

positif maka termasuk jenis operasi kotor sehingga pemberian

obat antibiotika bersifat terapeutik apabila hasil biakan urin

positif sedangkan bila biakan urinnya negatif maka bersifat

profilaksis.Apalagi bila mempunyai penyakit sistemik seperti

diabetes mellitus,penyakit paru obstruktif menahun dan lainnya

merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi dan

septikemia.Insidensinya berkisar antara 2-5%

Penyulit pasca operasi dini

 Retensi bekuan darah (± 3%): Ini bisa terjadi sebelum atau

sesudah kateter di lepas.Bila ini terjadi sebelum kateter dilepas

maka dilakukan spuling dengan larutan aquabidest atau dengan

Nacl 0,9% apabila tidak berhasil maka dilakukan evakuasi

jendalan darah tersebut dan apabila terjadi setelah pelepasan

kateter maka dapat dilakukan pemasangan kateter ulang untuk

beberapa hari sampai bekuan darah tersebut lisis atau dilakukan

evakuasi jendalan tersebut bila tetap retensi urin .Upaya

pencegahannya dengan melakukan perawatan perdarahan sebaik-

35
baiknya saat operasi dan mengontrol irigasi secara kontinue pasca

operasi serta melakukan traksi pada kateter tersebut.

 Retensi urin (± 10%): Ada beberapa penyebab terjadinya retensi

urin disini : -Tersumbat bekuan darah→diirigasi

-Tersumbat serpihan prostat →dievakuasi

-Muskulus detrusor masih dalam fase

dekompensata→dipasang kateter

 Perdarahan sekunder :perdarahan ini terjadi setelah sebelumnya

urin jernih sehingga biasanya akan berhenti sendiri apabila tidak

berhenti maka diperlakukan seperti pada retensi bekuan darah

karena dapat menyebabkan tejadinya jendalan darah di kateter.

 Inkontinensia Urin : Ini terjadi karena rusaknya spingter uretra

eksterna yang tereseksi saat prostatektomi akan tetapi apabila

kerusakannya ringan dapat sembuh sendiri (temporer sekitar 2%)

sedangkan apabila kerusakannya berat dapat menyebabkan

inkontinensia permanen(sekitar 0,5%).Cara mengatasinya dengan

mengklem penis,menyuntikkan silikon sekitar spingter uretra

ekterna atau memasang protewsa spingter

Penyulit pasca operasi lambat

 Impotensi (± 4-20%):Terjadi apabila bundel neurovasculer

(n.pudendus) yang mempersarafi penis rusak atau putus karena

36
nervus pudendus tersebut terletak di posterolateral dari kelenjar

prostat sehingga pada operasi prostatektomi secara transvesical

(TVP) secara teori tidak terkena karena manipulasi prostat di

daerah anterior sedangkan pada operasi prostatektomi secara

transuretral(TURP)trauma termal dan elektrik dapat

menyebabkan kerusakan dari neurovasculer bundel tersebut

 Ejakulasi retrograd : Kejadian ini hampir selalu terjadi pasca

operasi prostatektomi terutama bila berat prostatnya besar dimana

pasien mengeluh saat ejakulasi tidak keluar cairan sperma melalui

urethra akan tetapi masuk ke buli-buli.Ini tidak berbahaya dan

tidak perlu penanganan khusus hanya diberitahu sebelumnya.

 Striktur uretra (±4-5%) :Biasanya terjadi pada daerah meatus

atau fosa navikulare serta daerah sekitar uretra pars prostatika

karena infeksi.

 Stenosis leher buli-buli : Dapat terjadi saat mereseksi prostat

terlalu berlebihan atau karena pemasangan kateter yang terlalu

lama.

 Pembesaran prostat jinak berulang (sekiatar 4,2% pada TVP dan

17,6% pada TURP) :Pada operasi prostatektomi baik secara TVP

ataupun TURP tidaklah membuang seluruh jaringan prostat

sehingga kemungkinan kambuh kembali bisa terjadi.

Catatan :

37
Operatif  IPSS > 18

Indikasi 1. Hematuri

2. ISK berulang

3. Retensi urin berulang / akut

4. Penurunan faal ginjal / hidronefrosis

5. Vesicolithiasisi

6. Divertikel buli2 besar

A. Pembedahan terbuka (TVP=Transvesikal prostatektomi)

Pembedahan prostatektomi secara suprapubik transvesikal pertama kali

dilaporkan oleh Belfield dari Chicago pada tahun 1887 dan Sir Peter Freyer

dari London pada tahun 1900 melaporkan tehnik pembedahan yang sama

pada pertemuan Internasional di Paris sehingga terkenal dengan prostatektomi

menurut Freyer yang kemudian di modifikasi oleh Hrynzack sehingga

terkenal dengan tehnik Hrynzack modifikasi Freyer. Setengah abad kemudian

pada tahun 1945 diperkenalkan tehnik prostatektomi retropubik transkapsuler

oleh Teernce Millin.

Pembedahan minimal invasif secara TURP masih merupakan standart emas

dalam penanganan pasien PPJ sekitar 95% akan tetapi ada juga pasien PPJ

yang dilakukan operasi prostatektomi secara terbuka (TVP) sekitar 5%nya

Prostatektomi transvesikal (TVP) dikerjakan pada :

38
 PPJ yang besar yang diperkirakan tidak dapat di reseksi dengan

sempurna dalam waktu satu jam

 PPJ yang disertai penyulit seperti adanya batu buli-buli yang

diameternya lebih dari 1/2cm atau multiple,adanya divertikel besar.

 Bila tidak tersedia fasilitas untuk melakukan TURP baik sarana maupun

tenaga ahlinya (Rahardjo,1999;Singodimedjo,2002)

Teknik Operasi Prostatektomi Transvesikal (TVP)


 Dalam stadium anestesi,pasien dalam posisi supine
,kandung kemih diisi udara/air 250 ml.
 Dilakukan a/aseptik medan operasi dengan alkohol
70% kemudian dilanjutkan dengan betadin.
 Insisi suprapubik bisa secara pfanenstiel atau
longitudinal,perdalam dari kutis sampai
subkutis,vagina muskuli rekti dan apneurosis
m.oblikus eksterna di potong transversal dan dibuat
flap ke arah superior dan inferior sehingga nampak
mm.rektus abdominis dan mm.piramidalis kemudian
dipisahkan secara tajam antara sisi kanan dan kiri
.Pada kedua sisi muskuli rekti di pasang hook langen
back,tampak prevesikal fat dan peritoneum di
sisihkan ke kranial ,tampak pleksus vesikalis dan
buli-buli ,dilakukan taugle di dua tempat proksinmal-
distal.
 Dilakukan insisi buli-buli dengan cauter diantara dua
taugle tersebut sambil mengontrol perdarahannya
sampai ke mukosanya terbuka,dilakukan sucksen dari
cairan buli-buli yang keluar kemudian dipasang hook
buli-buli.
 Identifikasi muara ureter dan keadaan buli-buli
lainnya
 Insisi prostat sekitar OUI sampai tampak kelenjar
prostatnya kemudian dilakukan enukleasi prostat
sampai bebas dari kapsula sirurgikum .
 Kontrol perdarahan dari prostatik bed pada jam 5,7,11

39
 Pasang daur kateter no.24 dan kunci awal sekitar
20ml,pasang daur kateter no.14 untuk irigasi dan di
kunci 5 ml.
 Jahit luka buli-buli pada mukosa dengan benang plan
cut gut 3.0 secara continous with locking kemudian
bagian muskulernya dijahit dengan benag cromic 2.0
secara continous without locking. Selam a penjahitan
buli-buli irigasi di alirkan dan daur kateter no.24 nya
di traksi terus.
 Pasang drain cavum retzii
 Tutup luka operasi lapis demi lapis
 Operasi selesai

Perawatan pascaoperasi
 Awasi keadaan umum,vital sign,aliran irigasi dan warnanya
 Traksi kateter dipertahankan selama 24 jam
 Berikan Antibiotik profilaktif bila hasil biakan urin belum ada dan
analgetik
 Irigasi : -Hari 0→grojok
-Hari I→40tetes/detik

-Hari II-III→30 tetes/detik

-Hari IV→coba di

stop/klem,dengan pesan bila merah irigasi di alirkan lagi

-Hari V →Irigasi di aff

-Hari VI→mobilisasi duduk dan minum banyak

-Hari VII→DC di aff

-Hari VIII→ Drain cavum retzii di aff dan rawatjalan

B. Pembedahan minimal invasif secara transurethral(TURP)

Prosedur TURP ini masih merupakan good standart dalam pengobatan

PPJ di seluruh dunia sekitar 95% .Ada empat hal kelebihan TURP

dibandingkan TVP yaitu

40
 Perdarahan lebih terkontrol karena bisa terlihat langsung

 Lama rawat inap lebih sedikit

 Tidak ada luka operasi yang terlihat dari luar

 Resiko infeksi lebih kecil

Sedangkan kemungkinan terjadinya faktor penyulit pascaoperasi

mempunyai kans yang hampir sama antara TVP dan TURP.

Catatan

Tertutup ( Reseksi Transurethral prostatektomi )

 Berat prostat < 60 gram

 Dilakukan dalam waktu kurang dari 1 jam  menghindari Sindroma reseksi

transurethral akibat banyaknya cairan irigasi masuk pembuluh darah

(intoksikasi air)

Gejala : gelisah, somnolen, tekanan darah naik, bradikardi

 ES: retrograde ejaculation

 Beberapa Istilah :

1. Pseudo TUR  reseksi 30% mis pada lobus medius saja

41
2. Partial TUR  30-90%

 Paliative resection

 Subtotal resection

3. TURP total  Sebagian trigonum vesika,leher kandung kemih &

kapsul prostat direseksi

4. Subradical TUR  Pada kelenjar prostat yang mengarah keganasan

C. Perkembangamn Tehnologi baru pada penanganan PPJ

1. Laser (VILAP=Visual Laser Ablation of the Prostate) :

Nd YAG mempunyai kemampuan koagulasi dan evaporasi dapat

menimbulkan lubang-lubang pada jaringan adenoma kalau disalurkan

melalui serat laser yang dapat membelokkan sinar laser 900(side firing

fibers)sehingga secara perlahan adenoma akan terlepasdan akan

menghasilkan kanal pada daerah urethra pars prostatika.

2. Thermo therapi dan Hyperthermi :

Di sini prinsipnya dengan memanaskan jaringan adenoma melalui alat

yang di masukkan ke urethra atau rektum sampai 450sehingga diharapkan

terjadi koagulasi.Keduanya dapat memberikan hasil perbaikan skor pada

42
±50%(hyperthermi) dan 70%(thermoterapi).Sedangkan termoterapi

lainnya yaitu :

 TUMT (Transurethral micriwave thermoterapi ) :Ini

menggunakan gelombang mikro untuk memanaskan dan

menghancurkan jaringan prostat untuk mengurangi

obstruksi.

 TUNA (Transurethral needle ablation) :Ini menggunakan

energi frekwensi radio tingkat rendah untuk membakar

bagian prostat yang dikehendaki.

 Laser Coagulation Technique

 HIFU

 Electrovaporisation

 Laser vaporization

4. Pengobatan Alternatif

Apabila sudah ada indikasi operasi prostatektomi akan tetapi pasien tidak

layak atau menolak maka dilakukan terapi pemasangan stent di urethra

pars prostatika sehingga bagian tersebut bisa terbuka terus.

43
Komplikasi

1. Singh et al, 1973 dan Argawal et al, 1993, mengemukakan bahwa PPJ

merupakan penyakit yang sering diderita pria umur 40 tahun keatas. Pada

periode tersebut telah terjadi perubahan-perubahan fisiologis yang akan

menimbulkan perubahan sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, ginjal dan

hormonal yang dipengaruhi banyak faktor. Diperkirakan penderita umur lebih

dari 40 tahun mempunyai resiko yang lebih besar bila dilakukan pembedahan

yaitu sebesar 10 % .

2. Sebelum pembedahan dilaksanakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan

dan dipertimbangkan yaitu suatu fakta menunjukkan bahwa semua pasien

adalah mereka yang telah berumur lanjut, pembedahan kelenjar prostat

termasuk pembedahan mayor dan kemungkinan dapat terjadi komplikasi atau

morbiditas selama atau sesudah pembedahan.

3. Sehingga sebelum pembedahan dilaksanakan harus dibuat persiapan teliti,

cermat terencana dan terarah dengan baik, sehingga hal-hal yang akan

mendatangkan kegiatan pada pasien dapat dihindari.

4. Komplikasi pasca pembedahan dibagi 2 yaitu :

Dini/awal,

5. Timbulnya kurang atau sama dengan 7 hari sejak saat pembedahan. meliputi :

retensi koagulum, perdarahan primer, infeksi luka operasi, infeksi saluran

kemih, gagal ginjal akut, henti jantung yang reversibel, infark myokard,

sumbatan vena dalam, dan serebrovaskuler accident.

44
6. Untuk mengurangi terjadinya morbiditas awal karena retensi koagulum

diperlukan irigasi selama dan setelah reseksi prostat transuretra dengan cairan

normal salin. Bila memang masih terjadi retensi koagulum, maka perlu

dilakukan tindakan spoelling/bladder washout lewat kateter.

7. Lanjut

8. Bila terjadi 7 hari sampai dengan 12 bulan pasca operasi, berupa : striktura

uretra, retrograd ejakulasi, inkontinensia urine karena kerusakan sfingter

uretra dan impotensi.

9. Pendarahan pasca reseksi prostat transuretra lebih banyak terjadi pada reseksi

kelenjar prostat yang besar. Kematian pasca operasi prostat (6-90 jam pasca

pembedahan) disebabkan karena problem pendarahan hebat. Faktor-faktor

yang dipakai untuk menentukan derajat perdarahan yaitu :

1. Banyaknya transfusi darah yang diperlukan untuk

mempertahankan volume sirkulasi

2. Hipotensi

3. Seringnya spuling

4. Retensi jendalan darah

5. Kadar Hb turun (> 2gr/dl) pasca pembedahan

6. Operasi ulang untuk menghentikan perdarahan (Aksan et al, 1993).

45
Diagnosis Banding

N
PENYAKIT KARAKTERISTIK
O

1 Striktur Usianya biasanya lebih muda

Uretra kausa biasanya jelas

 Pernah uretra

 Pernah trauma

panggul/perineum

 Pernah manipulasi urologik

Kateterisasi ada hambatan/gagal

uretrografi terdapat

penyempitan endoskopi tampak

penyempitan

2 Stenosis Biasanya terjadi sebagai

Leher Buli- penyulit operasi daerah ”

46
Buli bladder outlet” seperti

prostektomi, PRTU prostat.

Kelainan kongenital ] jarang

Akibat prostatik kronis ]

Diagnosis pasti dengan

endoskopi

3 Batu Buli- Gejala iritatif lebih menonjol

Buli atau pernah keluar batu bersama

Batu yang miksi

menyumbat
Foto rongen akan tampak batu
Uretra
bila bersifat radioopak
Posterior
Endoskopi untuk memastikan

diagnosa

4 Karsinoma RT : Nodule positif (+)

Prostat
Prostate specific antigen (PSA)

meningkat > 4mg%

USG : daerah Hipoekoik

47
5 Prostatitis/Pr  Biasanya usia lebih muda

ostatodinia
 Gejala iritatif lebih menonjol

 Bila akut nyeri tekan pada RT

 Pada prostatodinia : fisik dan

laboratorik tidak ada kelainan

tetapi bisanya trfaktor biasanya

terdapat faktor psikologik

6 Buli-Buli  Terdapat penyakit primer

Neuropati
 Trans spingter melemah

 Gangguan sensibilitas daerah

sakroperineal

 Perlu pemeriksaan

sistotometri/urodunamika

7 Pengaruh Terdapat penyakit primer yang

Obat-obatan memerlukan obat tersebut

- Simpatolitik

- Psikotropik

- Alfa

Adregenik

48
BAB IV
PEMBAHASAN

BPH (Benign Prostat Hyperplasia) yaitu terdapat hyperplasia sel-


sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Adapun gejala dari BPH
terdiri dari gejala obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi meliputi : Retensi
urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga urin tidak bisa keluar),
hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten
(kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi).
Sedangkan gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan
ingin miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).

Pada pasien ini dilakukan open prostatectomy dikarenakan hasil penilaian


berdasarkan IPSS skor menunjukkan gejala yang berat. Pengawasan urin
output pasca operasi sangat penting dilakukan. Komplikasi paling sering
terjadi ejakulasi retrograde. Pada pasien dengan skor IPSS ringan masih
dapat diberikan terapi konservatif.

49
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Barkin, J. 2011. Benign Prostatic Hyperplasiaand Lower Urinary Tract Symptoms:


Evidence and Approach for Best Case Management. The Canadian Journal of
Urology 18: 14-19.
Emil, A. et al, 2008. McAninch. Bacterial Infections of the Genitourinary Tract in
Smith’s General Urology 17th
European Association of Urology. Guidelines on Benign Prostatic Hyperplasia.2006.
edition. New York. Lange Medical Book.: 208-209. Ganong, William F, 2003. Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20
Irwan, A. et al.,2007. Guidelines Penatalaksanaan Infeksi Saluran Kemih (ISK) dan
Genetalia Pria.
Mc Vary KT. The Definition of Benign Prostatic Hyperplasia: Epidemiology and
Prevalence. In: Management Of Benign Prostatic Hypertophy. New Jersey:
Humana Press. 2004: 21-27.

50

You might also like