Professional Documents
Culture Documents
MAJAK Sesi 11
MAJAK Sesi 11
Disusun Oleh:
2018
1. Kapan Seharusnya Mendaftar Sebagai PKP?
a. Datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan WP,
b. Melalui internet di situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat www.pajak.go.id
Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak. Faktur Pajak harus memenuhi dua
persyaratan yaitu persyaratan formal dan persyaratan material sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 13 ayat (9) UU PPN yang berbunyi:
”Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material” hal ini supaya faktur
pajak dapat berfungsi sebagai bagian dari mekanisme pengkreditan Pajak Masukan
dengan Pajak Keluaran,
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas dan benar
sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan wewenang yang
diberikan oleh ayat (6).
a. Persyaratan Formal
a) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f) kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g) nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Persyaratan formal dari faktur pajak diatas wajib dipenuhi oleh Pengusaha Kena
Pajak yang menjual BKP/JKP karena apabila tidak dipenuhi, Faktur Pajak yang
diterbitkan dianggap cacat sehingga tidak dapat dijadikan Pajak Masukan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menjadi lawan transaksinya (oleh PKP pembeli). Selain itu
kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit Faktur Pajak, sesuai bunyi Pasal 5 ayat (2)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan
dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, akan dikenakan sanksi
berupa bunga sebesar 2% dikalikan nilai transaksi yang tercantum dalam Faktur Pajak
tersebut. Ada pengecualian dari pengenaan sanksi apabila Pengusaha Kena Pajak keliru
atau tidak mengisi secara lengkap nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak dan keliru atau tidak mengisi secara
lengkap nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak serta nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani
Faktur Pajak dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang
eceran.
Kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit faktur pajak tidak lengkap tersebut tidak
dikenakan sanksi denda pasal 14 ayat (1) sebesar 2%, namun Pengusaha Kena Pajak
yang penerima tidak dapat menjadikan Faktur Pajak tersebut sebagai Pajak Masukan.
b. Persyaratan Material
Persyaratan material dari Faktur Pajak adalah telah terpenuhi apabila keterangan
yang tercantum dalam faktur pajak jelas dan sesuai dengan kejadian transaksi yang
sebenarnya dari BKP atau JKP yang diperjualbelikan. Berikut sebagian bunyi penjelasan
Pasal 13 ayat (9) UU PPN: ”Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi
keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, Ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang
Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.”
Di luar batasan pemenuhan persyaratan formal dan material dari Faktur pajak,
dalam rangka pengkreditan Faktur Pajak Pajak Masukan terdapat hal yang perlu
diperhatikan yang sudah diatur secara pasti dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN yaitu
mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
a) Penyerahan BKP/JKP
b) Ekspor BKP Berwujud,
c) Ekspor BKP Tidak Berwujud,
d) Ekspor JKP,
e) Impor BKP,
f) Atau pemanfaatan JKP dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) UU PPN pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana tidak
dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak;
2. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;
5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9)
atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih
dengan penerbitan ketetapan pajak;
8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
Jangka Waktu pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Pasal 9 ayat (9) adalah
”Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang
belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.”
Dasar hukum pemusatan PPN diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 12
ayat (2) tentang perubahan ketiga atas UU nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN barang dan
jasa dan PPnBM. PER-28/PJ/2012 yang berlaku sejak 1 Januari 2013 tentang tempat
pendaftaran dan/atau pelaporan usaha bagi WP pada KPP di lingkungan Kanwil DJP
WP Besar, KPP di lingkungan Kanwil DKP Jakarta Khusus, dan KPP Madya. Surat
edaran nomor SE-45/PJ/2013 tentang prosedur penerbitan surat keputusan pemusatan
tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang dalam rangka pelaksanaan peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2012 tentang tempat pendaftaran dan/atau pelaporan
usaha bagi Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan pajak
Madya.
Pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas
pembayaran PPN atau PPnBM kecuali dalam hal : (Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP 1
Tahun 2012)
a) pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau pemberi
jasa; atau
b) pembeli BKP atau penerima JKP dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.
Tanggung renteng melekat pada pembeli BKP atau penerima JKP atas transaksi
pembelian BKP dan/ atau JKP di dalam Daerah Pabean. (Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
PP 1 Tahun 2012)
Tanggung jawab renteng ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Strategi untuk menghadapi temuan dari pemeriksa pajak (fiscus) apabila kredit
pajak tidak dapat dikonfirmasi, maka PKP harus melakukan rekonsiliasi secara rutin dan
memenuhi persyaratan baik formal maupun material guna memastikan bahwa faktur
pajak masukan yang diterima adalah valid dan dapat dikonfirmasi.
5. Rekonsiliasi DPP PPN dengan peredaran usaha dalam SPT PPh Badan
Rekonsiliasi / Ekualisasi PPN adalah proses pencocokan antara data di SPM PPN
dengan SPT Tahunan Perusahaan. Rekonsiliasi yang menyangkut PPN dan/atau
PPnBM(kalau ada) ini penting karena akan berhubungan langsung dengan pengakuan
pendapatan perusahaan. Setiap bentuk Penjualan (atau istilah pajak disebut juga
Penyerahan) akan menimbulkan Pajak Pertambahan Nilai. Meskipun idealnya
rekonsiliasi atas PPN ini dilakukan setiap bulan, tetapi rekonsiliasi di akhir tahunnya
menjadi perlu sekali karena terkait dengan pengakuan pendapatan di SPT Badan 1771
nantinya.
Pada umumnya perbedaan yang timbul antara pengakuan pendapatan perusahaan
menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan nilai penyerahan menurut SPM PPN bisa
timbul karena dua kondisi:
Tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya: penjualan aktiva
tetap bekas (Pasal 16D), pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan lain-lain.
Kurs valuta asing yang digunakan untuk mengakui penjualan disesuaikan dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK), yang dilakukan
dengan taat asas. Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur bahwa setiap transaksi dalam
mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya
transaksi. Namun dalam praktek di lapangan, kurs yang dipakai tidak selalu
menggunakan kurs transaksi. Kadangkala Wajib Pajak menggunakan kurs rata-rata
dalam seminggu atau sebulan, menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain.
Sedangkan dalam membuat Faktur Pajak, penyerahan BKP atau JKP yang
menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs Menteri Keuangan yang
berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.
Pada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan apabila pembeli
dapat membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo / syarat pembayaran yang telah
disepakati sebelumnya. Diskon tambahan ini disebut dengan Cash Discount. Cash
Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan Pajak yang tercantum dalam Faktur
Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika pembeli memanfaatkan Cash Discount
tersebut maka omset yang tercantum di SPT Masa PPN akan lebih besar daripada
omset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.
Perbedaan omset menurut PPh dan PPN juga dapat timbul atas kesalahan tulis
atau kesalahan hitung (human error) dalam pembuatan Faktur Pajak atau pengisian SPT
Masa PPN. Ada baiknya pekerjaan rekonsiliasi atau ekualisasi PPN ini dilakukan secara
rutin tiap bulannya, karena apabila timbul perbedaan akan jauh lebih mudah ditelusuri.
Apabila ternyata perbedaan timbul karena human error, maka dapat langsung diambil
tindakan antisipasi untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Jumlah A + B CCC
Selisih (C – D) EEE
Bila kolom H seperti formula di atas masih terdapat selisih, kemungkinan besar
selisih berasal dari retur penjualan dengan faktur pajak sederhana atau karena memang
ada kesalahan dalam penghitungan obyek PPN maupun Omzet PPh Badan.
Referensi
UU Nomor 42 Tahun 2009
https://www.online-pajak.com/id/pengukuhan-pkp-cara-syarat-pengajuan-pkp . Diakses 19
April 2018