You are on page 1of 16

MANAJEMEN PERPAJAKAN

Tax Planning dan Pengendalian atas Pajak Pertambahan Nilai

Dosen: Sugeng, M.Si., Ak., CA

Disusun Oleh:

Anisa Nurul Margiani 17/414038/EE/07203


Hanifiyatun Fahmi 17/414047/EE/07212
Linda Fatmala 17/414052/EE/07217

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTAN

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2018
1. Kapan Seharusnya Mendaftar Sebagai PKP?

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan


Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1983 dan
perubahannya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012 tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
68/PMK.03/2010, tentang batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai yang
merubah batasan Rp 600 juta untuk wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
menjadi Rp 4,8 milyar, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Berdasarkan sistem self assessment setiap WP yang memenuhi persyaratan


subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan wajib mendaftarkan diri untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
sebagai indentitas WP dan sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan cara:

a. Datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan WP,
b. Melalui internet di situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat www.pajak.go.id

Untuk dikukuhkan menjadi PKP, pengusaha yang dikenai PPN, wajib


melaporkan usahanya pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Pengusaha orang
pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha berbeda dengan tempat
tinggal, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, juga wajib
mendaftarkan diri ke KPP di tempat kegiatan usaha dilakukan.
Pengusaha kecil yang memlilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib
mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha kecil yang
tidak memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi sampai dengan suatu masa pajak
dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang
ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya.
Tempat pendaftaran WP Tertentu & Pelaporan Bagi Pengusaha Tertentu adalah sebagai
berikut:
a. Seluruh WP BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan WP BUMD (Badan Usaha
Milik Daerah) di wilayah DKI Jakarta, di KPP BUMN Jakarta;
b. WP PMA (Penanaman Modal Asing) yang tidak go public, di KPP PMA kecuali
yang telah terdaftar di KPP lama dan WP PMA di kawasan berikat dengan
permohonan diberikan kemudahan mendaftar di KPP setempat;
c. WP Badan dan Orang Asing (Badora), di KPP Badora;
d. WP go public, di KPP Perusahaan Masuk Bursa (Go Public), kecuali WP
BUMN/BUMD serta WP PMA yang berkedudukan di kawasan berikat;
e. WP BUMD diluar Jakarta, di KPP setempat;
f. Untuk WP BUMN/BUMD, PMA, Badora, Go Public di luar Jakarta, khusus PPh
Pemotongan/pemungutan dan PPN/PPnBM di tempat kegiatan usaha atau cabang.

NPWP memiliki berfungsi sebagai sarana dalam administrasi perpajakan, Tanda


pengenal diri atau Identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya
dan Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi
perpajakan. Setiap WP hanya diberikan satu NPWP. Disamping itu Pengukuhan PKP
memiliki fungsi sebagai pengawasan dalam melaksanakan hak dan kewajiban PKP di
bidang PPN dan PPn BM serta sebagai identitas PKP yang bersangkutan.
Bila berdasarkan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak ternyata WP
memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP atau PKP maka KPP dapat menerbitkan
NPWP dan Pengukuhan PKP secara jabatan, apabila WP tidak memenuhi kewajiban
mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP, sehingga
dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat
6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling tinggi 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
Pidana tersebut di atas ditambah 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana,
apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1
(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Setiap
orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya
tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau
melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2
(dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan
yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

2. Pengendalian atas Faktur Pajak Keluaran Maupun Faktur Pajak Masukan


Agar Memenuhi Syarat Formal dan Materil.

Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak. Faktur Pajak harus memenuhi dua
persyaratan yaitu persyaratan formal dan persyaratan material sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 13 ayat (9) UU PPN yang berbunyi:
”Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material” hal ini supaya faktur
pajak dapat berfungsi sebagai bagian dari mekanisme pengkreditan Pajak Masukan
dengan Pajak Keluaran,

Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas dan benar
sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan wewenang yang
diberikan oleh ayat (6).

Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang


kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal
dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum
dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan Pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak
atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut
tidak memenuhi syarat material.

a. Persyaratan Formal

Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (9), Faktur Pajak dikatakan telah


memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat Pasal 13 ayat (5) yaitu Faktur Pajak harus
mencantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:

a) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f) kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g) nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Persyaratan formal dari faktur pajak diatas wajib dipenuhi oleh Pengusaha Kena
Pajak yang menjual BKP/JKP karena apabila tidak dipenuhi, Faktur Pajak yang
diterbitkan dianggap cacat sehingga tidak dapat dijadikan Pajak Masukan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menjadi lawan transaksinya (oleh PKP pembeli). Selain itu
kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit Faktur Pajak, sesuai bunyi Pasal 5 ayat (2)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan
dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, akan dikenakan sanksi
berupa bunga sebesar 2% dikalikan nilai transaksi yang tercantum dalam Faktur Pajak
tersebut. Ada pengecualian dari pengenaan sanksi apabila Pengusaha Kena Pajak keliru
atau tidak mengisi secara lengkap nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak dan keliru atau tidak mengisi secara
lengkap nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak serta nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani
Faktur Pajak dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang
eceran.
Kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit faktur pajak tidak lengkap tersebut tidak
dikenakan sanksi denda pasal 14 ayat (1) sebesar 2%, namun Pengusaha Kena Pajak
yang penerima tidak dapat menjadikan Faktur Pajak tersebut sebagai Pajak Masukan.

b. Persyaratan Material
Persyaratan material dari Faktur Pajak adalah telah terpenuhi apabila keterangan
yang tercantum dalam faktur pajak jelas dan sesuai dengan kejadian transaksi yang
sebenarnya dari BKP atau JKP yang diperjualbelikan. Berikut sebagian bunyi penjelasan
Pasal 13 ayat (9) UU PPN: ”Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi
keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, Ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang
Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.”

Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang


kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal
dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum
dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak
atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut
tidak memenuhi syarat material”.

Di luar batasan pemenuhan persyaratan formal dan material dari Faktur pajak,
dalam rangka pengkreditan Faktur Pajak Pajak Masukan terdapat hal yang perlu
diperhatikan yang sudah diatur secara pasti dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN yaitu
mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Jadi, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan


dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang
sebenarnya atau sesungguhnya mengenai:

a) Penyerahan BKP/JKP
b) Ekspor BKP Berwujud,
c) Ekspor BKP Tidak Berwujud,
d) Ekspor JKP,
e) Impor BKP,
f) Atau pemanfaatan JKP dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean

Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) UU PPN pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana tidak
dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:

1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak;
2. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;
5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9)
atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih
dengan penerbitan ketetapan pajak;
8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
Jangka Waktu pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Pasal 9 ayat (9) adalah
”Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang
belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.”

3. Tax Planning Pemilihan Tempat Pajak Terutang


Dengan diberlakukannya kebijakan atas transaksi penyerahan barang kena pajak
dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya sebagai penyerahan yang terutang PPN,
akan menimbulkan cost of compliance bagi PKP yang bersangkutan. Cost of compliance
dapat berupa beban administrasi bagi PKP dimana PKP tersebut harus mengurus
pendaftaran sebagai PKP bagi cabang-cabangnya, mengurus pelaporan pajaknya setiap
bulannya, membuat faktur pajak dan menghadapi pemeriksaan pajak dan lain sebaginya.
Bila PKP lalai dalam menjalankan kewajiban perpajakan, misalnya tidak membuat atau
terlambat dalam membuat faktur pajak atas transaksi penyerahan barang kena pajak dari
kantor pusat ke cabang akan berdampak pada sanksi perpajakan. Sanksi perpajakan
tersebut seharusnya memang tidak semestinya ada, manakala penyerahan barang kena
pajak dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya tidak dijadikan sebagai objek PPN.
Namun, oleh karena kelalaian atau ketidaktahuan PKP, menyebabkan sesuatu yang
tadinya beban pajaknya kecil atau mungkin tidak ada, malah ada atau bahkan menjadi
lebih besar.
Disisi lain tentu saja kebijakan tersebut tidak sejalan dengan salah satu prinsip
pemungutan pajak yaitu ease of administration. Hal ini dikarenakan PKP harus
membuat faktur pajak atas transaksi penyerahan barang kena pajak di lingkungan
internal PKP sendiri. Setelah faktur pajak dibuat, PKP disibukkan lagi dengan pelaporan
pajaknya. Administrasi yang sulit akan cenderung mendorong PKP menghindari
kewajiban perpajakannya. Prinsip kemudahan administrasi juga merupakan hasil
reformasi perpajakan nasional. Disamping tidak sejalan dengan prinsip ease of
administration, kebijakan pengenaan PPn antar cabangpun kurang selaras dengan
karakter PPN, yaitu netral dalam kegiatan ekonomi. Netral dalam arti bahwa pengenaan
PPN terhadap suatu barang atau jasa semata-mata untuk kepentingan aktivitas ekonomi,
bukan atas pertimbangan politik misalnya. Belum lagi bila dikaitkan dengan prinsip
akuntansi yang berlaku adalah tidak dibenarkan apabila dalam satu entitas melakukan
kegiatan transaksi.
Kebijakan penyerahan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang atau
sebaliknya, tentu tidak lepas dari kebijakan pemusatan PPN. Untuk mengimbangi
kebijakan tersebut di atas, diatur dalam pasal 1A ayat 2c UU PPN yaitu bagi PKP yang
telah mendapat ijin pemusatan PPN terutang, maka penyerahan barang kena pajak dari
kantor pusat ke cabang atau sebaliknya bukan merupakan objek pajak.

Dasar hukum pemusatan PPN diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 12
ayat (2) tentang perubahan ketiga atas UU nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN barang dan
jasa dan PPnBM. PER-28/PJ/2012 yang berlaku sejak 1 Januari 2013 tentang tempat
pendaftaran dan/atau pelaporan usaha bagi WP pada KPP di lingkungan Kanwil DJP
WP Besar, KPP di lingkungan Kanwil DKP Jakarta Khusus, dan KPP Madya. Surat
edaran nomor SE-45/PJ/2013 tentang prosedur penerbitan surat keputusan pemusatan
tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang dalam rangka pelaksanaan peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2012 tentang tempat pendaftaran dan/atau pelaporan
usaha bagi Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan pajak
Madya.

4. Strategi Menghadapi Temuan Pemeriksa Tentang Konfirmasi PPN Yang


Dinyatakan ”Tidak Ada”
Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak (fiskus) mengoreksi
Pajak Masukan manakala konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat
jawaban “tidak Ada” dari Kantor pajak lainnya. Asumsinya, kalau jawabannya “Tidak
Ada”, maka Faktur Pajak dari Pajak Masukan tersebut dianggap fiktif. Bahkan ada juga
beberapa orang yang mengaitkannya dengan soal tanggung jawab renteng PPN. Kedua
anggapan tersebut semuanya tidak benar karena fiktif dan tanggung jawab renteng PPN
punya klasifikasi dan definisi sendiri-sendiri.
Terkait dengan soal konfirmasi atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen Pajak
sebenarnya telah menerbitkan sebuah aturan khusus bernomor KEP-754/P1/2001
tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi Sistem
Informasi Perpajakan. Keputusan Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26 Desember
2001. Terkait dengan soal konfirmasi atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen Pajak
sebenarnya telah menerbitkan sebuah aturan khusus bernomor KEP-754/PJ./2001
tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi Sistem
Informasi Perpajakan. Keputusan Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26 Desember
2001. Tetapi hingga saat ini masih belum dinyatakan dicabut alias masih berlaku dan
bisa dijadikan referensi peraturan.
Lampiran I KEP-754/PJ./2001 ditegaskan bahwa apabila jawaban klarifikasi dari
KPP tempat PKP dikukuhkan menyatakan:
1. “Ada dan Sesuai” dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum direkam
KPP domisili PKP penjual atau Faktur Pajak tersebut terlambat dilaporkan oleh PKP
penjual, maka Faktur Pajak tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan;
2. “Tidak Ada” dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum dilaporkan oleh
PKP penjual dan KPP domisili PKP penjual telah menerbitkan SKP-KB atau SKP-
KBT atas Faktur Pajak yang belum dilaporkan tersebut, maka Faktur Pajak tersebut
dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
3. “Tidak Ada” dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut tidak sah karena
pengusaha yang menerbitkan belum dikukuhkan sebagai PKP, atau PKP penjual
tidak pernah melakukan penyerahan BKP/JKP kepada PKP pembeli yang
bersangkutan, maka Faktur Pajak tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan; dan
4. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirimkan jawaban
klarifikasi belum/tidak diterima dan apabila berdasarkan hasil pengujian arus barang
dan atau arus uang dapat dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut sah adanya, maka
Faktur Pajak yang dimintakan klarifikasi tersebut dapat diperhitungkan sebagai
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak (fiskus) mengoreksi
Pajak Masukan manakala konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat
jawaban “Tidak Ada” dari Kantor pajak lainnya. Asumsinya, kalau jawabannya “Tidak
Ada”, maka Faktur Pajak dan Pajak Masukan tersebut dianggap fiktif. Bahkan ada juga
beberapa orang yang mengaitkannya dengan soal tanggung jawab renteng PPN. Kedua
anggapan tersebut semuanya tidak benar karena fiktif dan tanggung jawab renteng PPN
punya klasifikasi dan definisi sendiri-sendiri. Jika sudah begitu, maka koreksi tersebut
tentu akan membuat WP susah dan terpaksa harus menempuh jalur hukum Keberatan
dan Banding. Kedua proses ini harus ditempuh WP selama lebih dari 24 (dua puluh
empat) bulan atau sekitar 2 (dua) tahunan lebih.
Pada proses Keberatan, yang memakan waktu sekira 12 (dua belas) bulan,
biasanya koreksi pemeriksa pajak terhadap Pajak Masukan tersebut tetap dipertahankan
oleh rekan mereka di tim penelaah/peneliti Keberatan. Alasannya biasanya sama dengan
alasan pemeriksa pajak yang sebelumnya.Namun pada saat Banding, Majelis Hakim di
Pengadilan Pajak umumnya berfokus hanya pada soal fiktif atau tidaknya Faktur Pajak
yang dikreditkan oleh WP. Para hakim biasanya tidak peduli apakah Faktur Pajak
tersebut sudah dilaporkan oleh PKP penjualnya atau belum. Artinya selama WP yang
mengajukan Banding bisa membuktikan bahwa transaksi dan Faktur Pajak yang
dikreditkannya di SPT Masa PPN tidak fiktif, maka koreksi pemeriksa pajak akan
dibatalkan oleh Majelis Hakim. Permohonan Banding WP terkait dengan Faktur Pajak
tersebut umumnya bisa dikabulkan.
Hakim di Pengadilan Pajak umumnya berpedoman pada prinsip bahwa
kesalahan PKP penjual karena tidak melaporkan Faktur Pajak tidak dapat direntengkan
kepada WP/PKP pembeli yang mengkreditkan Faktur Pajak tersebut. Sebab sesuai
dengan ketentuan umum UU PPN pembeli dalam hal ini memang sudah diwajibkan
untuk membayar PPN dan PPn-BM kepada PKP penjual. Kecuali jika pembeli berstatus
sebagai Wapu PPN, maka pembeli tidak diwajibkan untuk membayar PPN dan PPn-BM
kepada PKP penjual.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3A ayat (1) UU PPN, PKP yang melakukan
penyerahan BKP/JKP wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN maupun PPn-
BM yang terutang. Ini artinya pembeli diwajibkan untuk membayar PPN maupun PPn-
BM kepada PKP penjual. Dan sebagai bukti bahwa pembeli sudah membayar PPN
maupun PPn-BM kepada PKP penjual, pembeli akan mendapatkan Faktur Pajak dari
PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dibayar kepada PKP penjual ini disebut dengan
Pajak Masukan. Kemudian dalam Pasal 9 UU PPN secara umum ditegaskan bahwa
Pajak Masukan (PM) dapat atau boleh dikreditkan. Pengkreditan PM ini bisa dilakukan
pada bulan yang sama dengan Pajak Keluaran atau dikreditkan paling lambat tiga bulan
berikutnya setelah bulan (Masa Pajak) dari Faktur Pajak Masukan tersebut.
Dalam Pasal 9 UU PPN disebutkan beberapa kriteria PM yang tidak boleh
dikreditkan. Begitu pun dalam ketentuan Pasal 16B UU PPN, ada beberapa kriteria PM
yang tidak dapat dikreditkan. Tetapi dari kriteria yang ditetapkan oleh kedua pasal
tersebut, tidak satupun kriteria pelaporan oleh PKP penjual. Artinya di kedua pasal
tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa apabila penjual belum atau tidak
melaporkan Faktur Pajak Keluarannya, maka hilang pula hak pengkreditan Pajak
Masukan (PM) oleh pembeli.

Yang Bertanggung Jawab Secara Renteng (Pasal 4 Pp 1 Tahun 2012):

 Pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas
pembayaran PPN atau PPnBM kecuali dalam hal : (Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP 1
Tahun 2012)

a) pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau pemberi
jasa; atau
b) pembeli BKP atau penerima JKP dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.

 Tanggung renteng melekat pada pembeli BKP atau penerima JKP atas transaksi
pembelian BKP dan/ atau JKP di dalam Daerah Pabean. (Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
PP 1 Tahun 2012)

Tanggung jawab renteng ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Strategi untuk menghadapi temuan dari pemeriksa pajak (fiscus) apabila kredit
pajak tidak dapat dikonfirmasi, maka PKP harus melakukan rekonsiliasi secara rutin dan
memenuhi persyaratan baik formal maupun material guna memastikan bahwa faktur
pajak masukan yang diterima adalah valid dan dapat dikonfirmasi.

5. Rekonsiliasi DPP PPN dengan peredaran usaha dalam SPT PPh Badan
Rekonsiliasi / Ekualisasi PPN adalah proses pencocokan antara data di SPM PPN
dengan SPT Tahunan Perusahaan. Rekonsiliasi yang menyangkut PPN dan/atau
PPnBM(kalau ada) ini penting karena akan berhubungan langsung dengan pengakuan
pendapatan perusahaan. Setiap bentuk Penjualan (atau istilah pajak disebut juga
Penyerahan) akan menimbulkan Pajak Pertambahan Nilai. Meskipun idealnya
rekonsiliasi atas PPN ini dilakukan setiap bulan, tetapi rekonsiliasi di akhir tahunnya
menjadi perlu sekali karena terkait dengan pengakuan pendapatan di SPT Badan 1771
nantinya.
Pada umumnya perbedaan yang timbul antara pengakuan pendapatan perusahaan
menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan nilai penyerahan menurut SPM PPN bisa
timbul karena dua kondisi:

1. Karena karakteristik transaksi ; dan


2. Karena Peraturan yang berlaku memang mengakibatkan timbulnya perbedaan.

Perbedaan-perbedaan nilai peredaran usaha menurut SPT Tahunan PPh Badan


dan SPT Masa PPN, yang mungkin timbul antara lain disebabkan oleh:

a. Terdapat Objek PPN yang tidak tercatat dalam Akun Penjualan.

Tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya: penjualan aktiva
tetap bekas (Pasal 16D), pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan lain-lain.

b. Terdapat perbedaan kurs yang dipakai dalam mencatat Penjualan di laporan


keuangan dengan pembuatan Faktur Pajak.

Kurs valuta asing yang digunakan untuk mengakui penjualan disesuaikan dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK), yang dilakukan
dengan taat asas. Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur bahwa setiap transaksi dalam
mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya
transaksi. Namun dalam praktek di lapangan, kurs yang dipakai tidak selalu
menggunakan kurs transaksi. Kadangkala Wajib Pajak menggunakan kurs rata-rata
dalam seminggu atau sebulan, menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain.
Sedangkan dalam membuat Faktur Pajak, penyerahan BKP atau JKP yang
menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs Menteri Keuangan yang
berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.

b) Pemberian Cash Discount

Pada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan apabila pembeli
dapat membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo / syarat pembayaran yang telah
disepakati sebelumnya. Diskon tambahan ini disebut dengan Cash Discount. Cash
Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan Pajak yang tercantum dalam Faktur
Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika pembeli memanfaatkan Cash Discount
tersebut maka omset yang tercantum di SPT Masa PPN akan lebih besar daripada
omset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.

c) Adanya kesalahan tulis atau hitung

Perbedaan omset menurut PPh dan PPN juga dapat timbul atas kesalahan tulis
atau kesalahan hitung (human error) dalam pembuatan Faktur Pajak atau pengisian SPT
Masa PPN. Ada baiknya pekerjaan rekonsiliasi atau ekualisasi PPN ini dilakukan secara
rutin tiap bulannya, karena apabila timbul perbedaan akan jauh lebih mudah ditelusuri.
Apabila ternyata perbedaan timbul karena human error, maka dapat langsung diambil
tindakan antisipasi untuk memperbaiki kesalahan tersebut.

Untuk melakukan rekonsiliasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) caranya sangat


mudah dan sederhana, yaitu dengan mengambil angka Penjualan kemudian dikalikan
10%. Apabila sudah didapat nilai penjualan dan PPN keluarannya serta nilai pembelian
dan PPN masukannya, maka tinggal cross check dengan yang sudah dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Masa (SPM) PPN setiap bulannya. Apabila masih ada yang
tertinggal belum dilaporkan, kalau itu ada pada sisi PPN keluaran maka harus segera
dilakukan pembetulan SPM dan dibayar kekurangan pajaknya. Meskipun hal ini tetap
menjadi exposure (potensi kena denda). Namun apabila ditemukan faktur pajak
masukan yang belum dilaporkan sebagai PPN masukan, maka pilihannya adalah
melakukan pembetulan SPM atau membiarkannya dengan tidak mengkreditkan dalam
SPM dan pembukuan accounting akan mencatat sebagai beban tambahan.

Rekonsiliasi Omzet PPh vs Obyek PPN Keluaran


Omzet per SPT PPh Badan AAA

Obyek PPN Keluaran selain Omzet BBB


(Ex: uang muka, pendapatan lain-lain)

Jumlah A + B CCC

Obyek PPN Keluaran per SPT PPN DDD

Selisih (C – D) EEE

(+) Omzet Tahun Sebelumnya dilapor FFF


tahun ini

(-) Omzet Tahun Ini dilapor tahun GGG


berikutnya

Selisih (E+F-G) HHH

Bila kolom H seperti formula di atas masih terdapat selisih, kemungkinan besar
selisih berasal dari retur penjualan dengan faktur pajak sederhana atau karena memang
ada kesalahan dalam penghitungan obyek PPN maupun Omzet PPh Badan.

Referensi
UU Nomor 42 Tahun 2009

https://www.online-pajak.com/id/pengukuhan-pkp-cara-syarat-pengajuan-pkp . Diakses 19
April 2018

www.ortax.org. Diakses 19 April 2018

You might also like