You are on page 1of 26

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/272821540

PENGARUH PENETAPAN SNI GEMPA 2012


PADA DESAIN STRUKTUR RANGKA MOMEN
BETON BERTULANG DI...

Conference Paper · August 2014

CITATIONS READS

0 5,357

1 author:

Yoyong Arfiadi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
26 PUBLICATIONS 225 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Analytical solution to pre-defined compression steel ratios of RC beams View project

All content following this page was uploaded by Yoyong Arfiadi on 27 February 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file. All in-text references underlined in blue are added to the original document
and are linked to publications on ResearchGate, letting you access and read them immediately.
PENGARUH PENETAPAN SNI GEMPA 2012 PADA DESAIN
STRUKTUR RANGKA MOMEN BETON BERTULANG DI
BEBERAPA KOTA DI INDONESIA
Yoyong Arfiadi

ABSTRAK
Dalam tulisan ini ditinjau pengaruh beban gempa pada struktur rangka momen beton
bertulang akibat pemberlakuan SNI 1726: 2012 (SNI Gempa 2012). Mengingat SNI
Gempa 2012 mengacu pada ASCE/SEI 7-10 dan IBC 2009, sedangkan SNI 03-1726-
2002 (SNI Gempa 2002) mengacu pada UBC 1997, maka perlu diperhatikan perbedaan
gaya gempa yang mungkin timbul akibat diberlakukannya peraturan yang baru ini. Untuk
itu spektra desain yang ada dalam SNI Gempa 2012 dibandingkan dengan spektra
desain dalam SNI Gempa 2002, untuk 22 kota-kota di Indonesia yaitu: Yogyakarta,
Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Surakarta, Denpasar, Medan, Banda Aceh,
Padang, Makassar, Palu, Manado, Palembang, Jayapura, Bogor, Depok, Tangerang
(termasuk Tangerang Selatan), Bekasi, Mataram, Kupang, dan Ambon. Dari
perbandingan tersebut, tampak bahwa beberapa kota mengalami kenaikan nilai spektra
desain, sedangkan beberapa kota mengalami penurunan nilai spektra desainnya.
Kenaikan dan penurunan terjadi baik untuk spektra desain pada perioda pendek maupun
perioda 1 detik. Dari hasil perbandingan spektra desain, umumnya selisih terbesar
antara spektra desain berdasarkan SNI Gempa 2012 dan SNI Gempa 2002 adalah pada
kondisi tanah keras (situs klas C), kemudian berkurang untuk tanah sedang (situs klas
D), dan selisih yang terkecil adalah pada kondisi tanah lunak (situs klas E). Selanjutnya
diambil contoh perencanaan gaya gempa untuk kota Denpasar, yang mewakili
penurunan nilai spektra percepatan desain yang cukup signifikan. Dalam hal ini
penentuan gaya geser dasar ditentukan dengan memperhatikan koefisien modifikasi
respons gempa yang sesuai berdasarkan SNI Gempa 2012 dan SNI gempa 2002. Hasil
analisis menunjukkan nilai gaya internal akibat SNI Gempa 2012 masih lebih kecil, tetapi
perbedaannya semakin kecil pula. Hal ini dikarenakan kombinasi pembebanan pada SNI
Gempa 2012 memperhitungkan pengaruh gempa vertikal dan faktor redundansi struktur.
Mengingat hal ini, maka kenaikan nilai gaya internal diprediksi akan terjadi pada kota-
kota yang mengalami kenaikan spektra respons percepatan. Untuk kota-kota yang
mengalami kenaikan spektra desain yang cukup besar tersebut diperlukan perhatian
khusus terhadap gedung-gedung yang telah didesain berdasarkan SNI Gempa 2002.

Kata kunci: SNI Gempa 2012, perbandingan spektra desain, koefisien modifikasi
respons, rangka momen beton bertulang

1. PENDAHULUAN

SNI 1726-2012: tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan
gedung dan non gedung (selanjutnya disebut SNI Gempa 2012) telah disahkan oleh
Badan Standardisasi Nasional yang menjadi dasar perencanaan struktur tahan gempa di
Indonesia. Standar ini menggantikan SNI 1726-2002: tata cara perencanaan ketahanan
gempa untuk bangunan gedung (selanjutnya disebut SNI Gempa 2002).

SNI Gempa 2012 didasarkan pada studi yang dilakukan oleh Irsyam dkk. (2010) dan
telah mengacu pada standard dan peraturan terkini di negara maju, khususnya Amerika
Serikat (AS), yaitu ASCE/SEI 7-2010 (2010) dan FEMAP 750 (Building Seismic safety
Council, 2009). Kejadian-kejadian gempa besar setelah SNI 03 1726-2002 disusun,
misal gempa Aceh 2004 (Mw = 9,2), gempa Yogya (Mw = 6,3), gempa Nias 2005 (Mw =
8,7) dan Padang 2009 (Mw = 7,6) merupakan salah satu sebab perlunya dibuat peta
gempa yang baru (Irsyam dkk., 2010). Studi ini telah memperhatikan katalog gempa
terbaru sampai dengan tahun 2009 dan telah memperhatikan fungsi atenuasi yang
sesuai, termasuk fungsi atenuasi dari NGA (Next Generation Attenuation) model.

Perubahan pada standar gempa Indonesia merupakan suatu lompatan karena SNI
Gempa 2002 sebenarnya mengacu pada UBC 1997. Sedangkan di AS sendiri sebelum
diterbitkannya ASCE/SEI 7-10, telah digunakan standar ASCE 7-05, yang berbeda
dengan UBC 1997 dan SNI Gempa 2002.

Penentuan peta gempa menurut ASCE 7-05 didasarkan pada analisis bahaya seismik
probabilistik (probabilistic seismic hazard analysis = PSHA) dan analisis bahaya gempa
deterministik (deterministic seismic hazard analysis). Dalam hal ini analisis bahaya
seismik probabilistik didasarkan pada 2% kemungkinan terlampaui dalam kurun waktu
50 tahun, atau gempa dengan perioda ulang sekitar 2500 tahun. Sedangkan analisis
bahaya seismik deterministik dalam ASCE 7-05 diambil sebagai 1,5 kali median
respons spektral percepatan untuk suatu karakteristik gempa pada patahan aktif yang
diketahui dalam suatu wilayah tertentu. Dengan gempa ini, maka bangunan yang
direncanakan sesuai ASCE 7-05 merupakan bangunan dengan bahaya yang seragam
(uniform hazard), tetapi akan mempunyai kemungkinan keruntuhan (collapse
probability) yang tidak seragam (Luco dkk., 2007, Building Seismic Safety Council,
2012).

Dalam ASCE/SEI 7-10 peta gempa didasarkan pada analisis bahaya seismik
probabilistik dan deterministik. Analisis bahaya gempa probabilistik dalam ASCE/SEI 7-
10 didasarkan pada gempa dengan risiko tertarget. Gempa maksimum yang
dipertimbangkan risiko tertarget (MCER) diambil sebagai yang terkecil dari goncangan
tanah probabilistik dan deterministik. Sedangkan untuk analisis bahaya seismik
deterministik, ASCE/SEI 7-10 menggunakan 84th percentile ground motion dan diambil
sama dengan 1,8 nilai mediannya. Pengambilan gempa dengan risiko tertaget dalam
perencanaan diharapkan menghasilkan rerata frekuensi keruntuhan tahunan yang
seragam secara geografis, yaitu dengan 1% risiko keruntuhan dalam 50 tahun.
Perbedaan lain antara ASCE/SEI 7-10 dan ASCE 7-05 adalah dalam ASCE 7-05
digunakan geometric mean ground motion untuk 2 arah horisontal goncangan tanah
yang berbeda, sedangkan dalam ASCE/SEI 7-10 digunakan maximum-direction ground
motion (Building Seismic Safety Council, 2012).

Dalam SNI Gempa 2012 terdapat dua parameter yang penting dalam peta gempa yaitu
parameter respons spektral percepatan gempa tertimbang maksimum redaman 5% pada
perioda pendek (Ss), dan parameter respons spektral percepatan gempa tertimbang
maksimum redaman 5% pada perioda 1 detik (S1). Nilai Ss dan S1 yang dihitung
didasarkan pada fungsi-fungsi atenuasi atau persamaan prediksi goncangan tanah yang
dianggap sesuai.
2. PENGARUH KLASIFIKASI SITUS

Mengingat nilai Ss dan S1 adalah nilai percepatan pada batuan dasar, diperlukan suatu
faktor amplifikasi tertentu untuk memodifikasi nilai-nilai tersebut sesuai dengan kondisi
tanah yang ada. Faktor amplifikasi untuk percepatan ada perioda pendek (Fa) dan factor
amplifikasi pada perioda 1 detik (Fv) diambil sesuai dengan Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Koefisien situs perioda pendek Fa

Klasifikasi situs Ss
Ss  Ss = Ss = Ss = Ss ≥
0,25 0,5 0,75 1,0 1,25
Batuan keras (SA) 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
Batuan (SB) 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
Tanah sangat padat dan batuan lunak 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0
(SC)
Tanah sedang (SD) 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0
Tanah lunak (SE) 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9
Tanah khusus (SF) SS SS SS SS SS

Tabel 2. Koefisien situs perioda panjang Fv

Klasifikasi situs S1
S1  S1 = S1 = S1 = S1 ≥
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
Batuan keras (SA) 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
Batuan (SB) 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
Tanah sangat padat dan batuan lunak 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3
(SC)
Tanah sedang (SD) 2,4 2 1,8 1,6 1,5
Tanah lunak (SE) 3,5 3,2 2,8 2,4 2,4
Tanah khusus (SF) SS SS SS SS SS

Notasi SS pada Tabel 1 dan 2 menunjukkan situs yang memerlukan investigasi


geoteknik spesifik dan analisis respons spesifik.

Dengan memperhatikan Tabel 1 dan 2, parameter spektrum respons percepatan yang


telah disesuaikan dengan pengaruh klasifikasi situs (jenis tanah), baik untuk perioda
pendek maupun perioda 1 detik, dapat dihitung dengan persamaan:

SMS  Fa Ss (1)
SM1  Fv S1 (2)

dengan SMS = parameter respons spektral percepatan gempa tertimbang maksimum


dengan risiko tertarget (MCER) pada perioda pendek yang sudah disesuaikan terhadap
pengaruh kelas situs, SM1 = parameter respons spektral percepatan gempa tertimbang
maksimum dengan risiko tertarget (MCER) pada perioda 1 detik yang sudah disesuaikan
dengan pengaruh kelas situs, Fa = koefisien situs untuk perioda pendek (pada perioda
0,2 detik), dan Fv = koefisien situs untuk perioda panjang (pada perioda 1 detik).

3. PARAMETER SPEKTRA DESAIN

Parameter spektral percepatan desain pada perioda pendek dan perioda 1 detik dihitung
dengan persamaan sebagai berikut:
2
SDS  SMS (3)
3
2
SD1  SM1 (4)
3

dengan SDS = parameter respons spektral percepatan pada perioda pendek dengan 5%
redaman kritik, SD1 = parameter respons spektral percepatan pada perioda 1 detik
dengan 5% redaman kritik, SMS = parameter respons spektral percepatan MCER pada
perioda pendek yang sudah disesuaikan terhadap pengaruh kelas situs, dan SM1 =
parameter respons spektral percepatan MCER pada perioda 1 detik yang sudah
disesuaikan dengan pengaruh kelas situs.

4. PERBANDINGAN SPEKTRA DESAIN BEBERAPA KOTA

Dengan diberlakukannya SNI Gempa 2012, tentu akan mempengaruhi perencanaan


bangunan terhadap pembebanan gempa. Untuk itu spektra desain beberapa kota
dibandingkan untuk melihat sejauh mana perbedaan spektral respons percepatannya.
Perbandingan spektra desain dilakukan untuk 22 kota di Indonesia, yaitu: Yogyakarta,
Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Surakarta, Denpasar, Medan, Banda Aceh,
Padang, Makassar, Palu, Manado, Palembang, Jayapura, Bogor, Depok, Tangerang
(termasuk Tangerang Selatan), Bekasi, Mataram, Kupang, dan Ambon. Data ini
merupakan pengembangan dari data sebelumnya (Arfiadi dan Satyarno, 2013). Spektra
percepatan desain untuk SNI Gempa 2012 diambil berdasarkan perangkat lunak Desain
Spektra Indonesia (2013), yang dapat dilihat pada situs
http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011/. Dalam SNI Gempa
2002, walaupun notasi SDS dan SD1 tidak dikenal, diambil padanan: (a) bagian datar nilai
C pada SNI Gempa 2002 sebagai SDS, dan (b) angka pada bagian lengkung di T = 1
detik pada SNI Gempa 2002 sebagai nilai SD1. Dengan pendekatan padanan ini maka
khusus untuk tanah lunak dalam SNI 2002 nilai SDS akan sama dengan SD1.

4.1. Klas situs SE (tanah lunak)

Nilai-nilai SDS dari SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012 untuk 22 kota di Indonesia
dibandingkan seperti terlihat pada Gambar 1. Sedangkan rasio nilai SDS SNI Gempa
2012 terhadap SNI Gempa 2002 dapat dilihat pada Gambar 2. Label angka pada
Gambar 1 menunjukkan nilai SDS untuk SNI Gempa 2012. Dari Gambar 1 dan 2 tampak
bahwa ada beberapa kota yang mengalami kenaikan nilai SDS dan ada beberapa kota
yang mengalami penurunan nilai SDS pada kondisi tanah lunak.

Kenaikan nilai SDS terbesar terjadi pada kota Palu sebesar 1,39 kali SDS SNI gempa
2002. Yang menarik adalah penurunan nilai SDS untuk kota Banda Aceh dan Padang,
yang telah dilanda gempa besar pada tahun 2006 dan 2009 setelah diberlakukannya
SNI Gempa 2002. Nilai SDS kota Palu dan Bandung juga lebih besar dari kota Banda
Aceh dan Padang.
Penurunan nilai SDS tanah lunak yang cukup signifikan terjadi pada kota Denpasar dan
Manado, yaitu berturut-turut 0,67 dan 0,69 kali nilai SDS pada SNI Gempa 2002.

Gambar 1. SDS tanah lunak SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012

Gambar 2. Rasio SDS tanah lunak


Untuk nilai SD1 tanah lunak, kota yang mengalami kenaikan adalah Palu dan Semarang,
sedangkan kota-kota lain umumnya mengalami penurunan nilai SD1 atau hampir sama.
Kota-kota yang mengalami penurunan signifikan nilai SD1 pada tanah lunak adalah
Kupang, Makassar, Denpasar, Tangerang dan Manado, dengan rasio penurunan
berturut-turut sebesar 0,62; 0,65; 0,67; 0.67; dan 0,69.

Gambar 3. SD1 tanah lunak SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012

Gambar 4. Rasio SD1 tanah lunak


4.2. Klas situs SD (tanah sedang)

Nilai-nilai SDS dan rasio SDS untuk tanah sedang dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
Hampir sama dengan SDS pada tanah lunak, nilai SDS tanah sedang beberapa kota
umumnya mengalami kenaikan. Rasio kenaikan terbesar terjadi pada kota Semarang
dan Palu (Gambar 6). Sedangkan nilai SDS terbesar pada kota yang diamati adalah di
kota Palu.

Gambar 5. SDS tanah sedang SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012

Dari Gambar 5, tampak pula bahwa nilai SDS tanah sedang kota Bandung, Jayapura dan
Ambon lebih besar daripada nilai SDS kota Banda Aceh dan Padang. Sedangkan kota-
kota yang mengalami penurunan SDS tanah sedang yang cukup signifikan adalah kota-
kota Palembang, Tangerang, Tangerang Selatan, Denpasar, Makassar, dan Medan
dengan rasio penurunan berturut-turut 0,74; 0,83; 0,85; 0,87; 0,87 dan 0,88.
Gambar 6. Rasio SDS tanah sedang

Untuk SD1 tanah sedang, sebagian besar kota mengalami kenaikan nilai SD1 seperti
tampak pada Gambar 7 dan 8. Hal ini agak berbeda dengan nilai SD1 pada tanah lunak
di mana sebagian besar kota mengalami penurunan nilai SD1.

Gambar 7. SD1 tanah sedang SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012
Untuk kondisi tanah sedang ini, nilai SD1 terbesar dan kenaikan terbesar juga terjadi
pada kota Palu. Berbeda dengan kondisi pada tanah lunak, pada kondisi tanah sedang
nilai SD1 kota Bandung lebih kecil dari SD1 kota Banda Aceh dan Padang. Rasio
penurunan terbesar untuk SD1 tanah sedang terjadi pada kota Kupang dan Denpasar
dengan rasio berturut-turut 0,71 dan 0,80.

Gambar 8. Rasio SD1 tanah sedang

4.3. Klas situs SC (tanah keras)

Untuk kondisi tanah keras, nilai SDS sebagian besar mengalami kenaikan seperti terlihat
pada Gambar 9 dan 10. Kota yang mengalami kenaikan terbesar adalah Semarang dan
Palu yang mengalami kenaikan sebasar 2,18 kali nilai SDS pada SNI Gempa 2002. Kota-
kota yang mengalami penurunan nilai SDS pada kondisi tanah keras di antaranya adalah
Denpasar, Medan, Makassar, Palembang dan Tangerang.
Gambar 9. SDS tanah keras SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012

Gambar 10. Rasio SDS tanah keras


Untuk nilai SD1 pada kondisi tanah keras, hampir semua kota mengalami kenaikan nilai
SD1, kecuali untuk kota Denpasar dan Kupang seperti ditunjukkan pada Gambar 11 dan
12. Rasio kenaikan terbesar terjadi pada kota Semarang dan Palu, yaitu berturut-turut
sebesar 2,15 dan 2,10.

Gambar 11. SD1 tanah keras SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012

Gambar 12. Rasio SD1 tanah keras


Mengamati rasio nilai SDS dan SD1 dari Gambar 2, 4, 6, 8, 10, dan 12, tampak bahwa nilai
rasio baik SDS maupun SD1 meningkat dengan meningkatnya klas situs, yaitu dari tanah
lunak, tanah sedang dan tanah keras. Hal ini berarti untuk kota yang mengalami
kenaikan nilai SDS atupun SD1 maka semakin meningkat kekerasan tanah akan semakin
besar rasio kenaikan nilai SDS maupun SD1. Sebaliknya untuk kota-kota yang mengalami
penurunan nilai SDS dan SD1 pada SNI Gempa 2012, rasio penurunan akan semakin kecil
(selisih semakin besar) jika kekerasan tanah berkurang.

5. PERENCANAAN GAYA GESER DASAR


Gaya geser dasar seismik dalam arah yang ditetapkan dapat dihitung dengan
persamaan:

V  Cs W (5)

dengan C s = koefisien respons seismik, dan W = berat seismik efektif.

Koefisien respons seismik dihitung berdasarkan persamaan:

SDS
Cs  (6)
R / Ie 
dengan R = koefisien modifikasi respons (Tabel 9, SNI Gempa 2012), dan Ie = faktor
keutamaan gempa (Tabel 2, SNI Gempa 2012).

Nilai Cs yang dihitung dengan persamaan (6) tidak perlu lebih besar dari
SD1
Cs  (7)
TR / Ie 
dengan T = perioda fundamental struktur.

Nilai Cs minimum ditentukan dengan persamaan:

Cs min  0,044SDS Ie  0,01 (8)

Untuk daerah dengan nilai S1  0,6 g , nilai Cs minimum harus diambil sebesar:
0,5 S1
Cs min  (9)
R / Ie 
Nilai koefisien modifikasi respons R dalam SNI Gempa 2012 tergantung dari jenis
struktur penahan gaya seismik. Sedangkan sistem penahan gaya seismik yang dapat
dipilih perencana ditentukan berdasarkan KDS (Kategori Desain Seismik).

KDS ditentukan berdasarkan level spektral percepatan S1 dan Ss, atau SD1 dan SDS,
serta kategori risiko dari bangunan yang akan dirancang. Kategori risiko bangunan
ditentukan berdasarkan jenis pemanfaatan bangunan tersebut. Untuk bangunan dengan
pemanfaatan yang kurang penting mempunyai kategori risiko yang rendah. Kategori
risiko untuk bangunan gedung dan non gedung dapat dilihat pada Tabel 1 SNI Gempa
2012.

Jika S1 >0.75 g dan pemanfaatan gedung termasuk ke dalam kategori risiko I/II/III,
maka KDS E; sedangkan untuk bangunan dengan pemanfaatan kategori risiko IV, maka
KDS F. Untuk nilai spektral percepatan yang rendah, yaitu jika S1  0,04 g dan Ss  0,15
g, maka KDS A.

Untuk nilai spektral percepatan yang lain, KDS ditentukan berdasarkan nilai SDS dan SD1
sesuai dengan Tabel 3 dan 4, dan dipilih yang paling menentukan (yang tingkatannya
paling tinggi). Tabel 3 dan 4 merupakan adopsi dari Tabel 6 dan 7 SNI Gempa 2012.

Tabel 3. Kategori Desain Seismik (KDS) berdasarkan kategori risiko dan SDS

KDS
Nilai SDS Kategori Risiko Kategori Risiko
I / II / III IV
SDS < 0,167 A A
0,167  SDS <0,33 B C
0,33  SDS <0,50 C D
SDS ≥ 0,50 D D

Tabel 4. Kategori Desain Seismik (KDS) berdasarkan kategori risiko dan SD1

KDS
Nilai SD1 Kategori Risiko Kategori Risiko
I / II / III IV
SD1 < 0,067 A A
0,067  SD1 <0,33 B C
0,133  SD1 <0,20 C D
SD1 ≥ 0,20 D D

Setelah KDS bangunan diperoleh dan sistem penahan beban gempa ditentukan maka
nilai koefisien modifikasi respons dapat diperoleh dari Tabel 9 SNI Gempa 2012.

Langkah-langkah hitungan untuk penentuan beban geser dan distribusi beban gempa
untuk struktur beton bertulang selanjutnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

6. CONTOH PEBANDINGAN PERENCANAAN


Selanjutnya ditinjau perencanaan struktur rangka momen bertingkat 5 yang akan
dibangun di kota Denpasar pada kondisi tanah lunak (situs kelas E). Struktur yang
ditinjau ditunjukkan pada Gambar 13 dengan jarak antar kolom arah-x: 8 m, 7 m, dan 8
m; sedangkan jarak antar kolom arah-y: 5 m. Tebal plat lantai = 125 mm, ukuran balok
tipikal: 300 x 600 (mm) untuk balok induk, dan 250 x 500 (mm) untuk balok anak. Ukuran
kolom tingkat-1 sampai dengan tingkat-3: 600 x 600 (mm), dan tingkat-4 sampai dengan
tingkat-5: 500 x 500 (mm). Tinggi antar-lantai = 4 m untuk tingkat paling bawah dan
paling atas, sedangkan untuk tingkat lainnya tinggi antar-lantai = 3,8 m. Beban lantai
tipikal (di luar berat plat) untuk atap: 1,45 kN/m2, sedangkan untuk lantai lainnya = 2,57
kN/m2. Hitungan beban gempa sesuai SNI Gempa 2012 mengikuti langkah yang
terdapat pada Lampiran 1.

Selanjutnya analisis perencanaan beban gempa sesuai dengan SNI Gempa 2012
dibandingkan dengan perencanaan beban sesuai dengan SNI Gempa 2002. Hasil
analisis untuk tanah lunak (situs klas E) disajikan pada Tabel 5. Distribusi beban gempa
baik menurut SNI Gempa 2002 maupun SNI Gempa 2012 disajikan pada Tabel 6.

Gambar 13. Contoh struktur yang ditinjau

Tabel 5. Perbandingan variabel perencanaan gempa kota Denpasar tanah lunak

Variabel SNI Gempa 2002 SNI Gempa 2012


SDS 0,9 0,604
SD1 0,9 0,604
To (detik) 0,2 0,203
Ts (detik) 1,0 1,015
KDS - D
Sistem penahan gempa SRPMK SRPMK
R 8.5 8
T terpakai (detik) 0,94 0.94
Cs 0,1059 0,0755
V (kN) 2039,31 1454,14

Tabel 6. Perbadingan gaya gempa pada setiap lantai

F (kN)
Lantai
SNI Gempa 2002 SNI Gempa 2012
5 578.6 451.3

4 567.3 420.6

3 437.0 304.4

2 301.2 192.3

1 155.1 85.5
Dari hasil Tabel 5, tampak bahwa untuk kota Denpasar nilai gaya geser dasar akibat
gempa pada kondisi tanah lunak yang sesuai dengan SNI Gempa 2012 = 71,3 % dari
gaya geser dasar menurut SNI Gempa 2002.

Untuk melihat perbandingan gaya internal struktur, selanjutnya dilakukan analisis


struktur dengan ETABS Non linear V9.0. Dalam analisis struktur, momen inersia batang
(I) diambil sesuai dengan Building Seismic Safety Council (2012), yaitu untuk balok: I
efektif balok = 30% I balok utuh, sedangkan untuk kolom: I efektif kolom = 50% I kolom
utuh. Sedangkan untuk memperhitungkan pengaruh flens pada balok T, momen inersia
tampang T didekati dengan 2 kali momen inersia tampang empat persegi panjang.
Dalam pemodelan, karena plat lantai dimodelkan sebagai obyek struktur dalam ETABS,
maka tinggi balok dikurangi dengan tebal plat lantai. Luas geser tampang efektif
mengikuti Welt (2010) dan diambil sama dengan 40% luas geser tampang utuh.

Dalam perencanaan menurut SNI Gempa 2012, kombinasi beban gempa harus
disesuaikan dengan memperhatikan pengaruh gempa vertikal sebagai berikut:

E = Eh + Ev (10)

E = Eh – Ev (11)

dengan Eh = pengaruh gempa horisontal, dan Ev = pengaruh gempa vertikal.

Persamaan (10) digunakan untuk menambah pengaruh gaya desak, sedangkan


persamaan (11) digunakan untuk menambah pengaruh gaya tarik. Nilai Eh dan Ev
dihitung dengan persamaan:

Eh =  QE (12)

Ev = 0,2 SDS D (13)

dengan  = faktor redundansi struktur, QE = pengaruh gaya gempa horisontal dari


distribusi beban V, dan D = pengaruh beban mati.

Dengan memerhatikan persamaan (12) dan (13). maka kombinasi beban yang sesuai
dengan SNI Gempa 2012 ditentukan seperti terlihat pada Tabel 7, dengan factor
redundansi struktur diambil  = 1,3. Selanjutnya dibandingkan gaya-gaya yang terjadi
pada kolom-kolom tepi pada tingkat paling bawah; dengan ketentuan kolom K1 = kolom
kiri bawah, K2 = kolom kanan bawah, K3 = kolom kanan atas, dan K4 = kolom kiri atas.
Hasil gaya-gaya internal disajikan pada Tabel 8.

Dari Tabel 8, tampak bahwa, walaupun nilai gaya-gaya oleh SNI Gempa 2002 masih
lebih besar, namun selisih nilai gaya-gaya antara SNI Gempa 2012 dan SNI Gempa
2002 menjadi relatif kecil. Hal ini dikarenakan kombinasi pembebanan yang digunakan
berbeda. Dalam hal ini kombinasi beban pada SNI Gempa 2012 memperhitungkan
pengaruh gempa vertikal dan faktor redundansi struktur.
Tabel 7. Kombinasi beban yang digunakan sesuai SNI Gempa 2012

No Kombinasi
1 1,4 D
2 1,2 D + 1,6 L
3 (1,2 + 0,2 SDS) D + 1,0 L + ρ Ex + 0,3 ρ Ey
4 (1,2 + 0,2 SDS) D + 1,0 L + ρ Ex - 0,3 ρ Ey
5 (1,2 + 0,2 SDS) D + 1,0 L - ρ Ex + 0,3 ρ Ey
6 (1,2 + 0,2 SDS) D + 1,0 L - ρ Ex - 0,3 ρ Ey
7 (1,2 + 0,2 SDS) D + 1,0 L + 0,3 ρ Ex + ρ Ey
8 (1,2 + 0,2 SDS) D + 1,0 L - 0,3 ρ Ex + ρ Ey
9 (1,2 + 0,2 SDS) D + 1,0 L + 0,3 ρ Ex - ρ Ey
10 (1,2 + 0,2 SDS) D + 1,0 L - 0,3 ρ Ex - ρ Ey
11 (0,9 - 0,2 SDS) D + ρ Ex + 0,3 ρ Ey
12 (0,9 - 0,2 SDS) D + ρ Ex - 0,3 ρ Ey
13 (0,9 - 0,2 SDS) D - ρ Ex + 0,3 ρ Ey
14 (0,9 - 0,2 SDS) D - ρ Ex - 0,3 ρ Ey
15 (0,9 - 0,2 SDS) D + 0,3 ρ Ex + ρ Ey
16 (0,9 - 0,2 SDS) D - 0,3 ρ Ex + ρ Ey
17 (0,9 - 0,2 SDS) D + 0,3 ρ Ex - ρ Ey
18 (0,9 - 0,2 SDS) D - 0,3 ρ Ex - ρ Ey

Tabel 8. Perbandingan gaya-gaya pada kolom tingkat bawah

SNI Gempa 2002 SNI Gempa 2012


Kolom Pu min Pu maks M2u M3u Pu min Pu maks M2u M3u
(kN) (kN) (kNm) (kNm) (kN) (kN) (kNm) (kNm)
K1 132.59 1075.92 -326,02 -369,86 82.78 1129,42 -305,82 -348,80
K2 132.59 1075.92 -326,02 369,86 82.78 1129,42 -305,82 348,80
K3 132.59 1075.92 326,02 369,86 82.78 1129,42 305,82 348,80
K4 132.59 1075.92 326,02 -369,86 82.78 1129,42 305,82 -348,80

Dengan memperhatikan kecenderungan ini, walaupun tidak dilakukan analisis, maka


untuk kota-kota dengan nilai SDS dan SD1 akibat SNI Gempa 2012 yang mengalami
kenaikan dibandingkan dengan nilai-nilai SDS dan SD1 akibat SNI Gempa 2002, diprediksi
akan terjadi kenaikan secara signifikan pula pada nilai gaya internal. Untuk itu, dengan
diberlakukannya SNI Gempa 2012 ini perlu dilakukan evaluasi terhadap ketahanan
struktur-struktur yang dibangun, terutama yang mengalami kenaikan nilai SDS dan SD1.
7. KESIMPULAN

Perbandingan respons spektral percepatan dari SNI Gempa 2002 dan SNI Gempa 2012
untuk 22 kota telah dibahas dalam tulisan ini. Ada beberapa kota yang mengalami
kenaikan ada pula yang mengalami penurunan nilai respons spectral percepatan baik
pada perioda pendek maupun pada perioda 1 detik. Dari 22 kota yang ditinjau, kota Palu
dan Semarang mengalami kenaikan respons spektral percepatan yang signifikan baik
untuk perioda pendek maupun perioda 1 detik.

Umumnya jika nilai spektra pada SNI Gempa 2012 lebih besar daripada nilai pada SNI
Gempa 2002, maka perbedaan akan semakin besar jika kekerasan tanah meningkat.
Artinya jika pada tanah lunak terdapat kenaikan nilai spektra percepatan, kenaikan nilai
spektra percepatan akan lebih signifikan untuk kondisi tanah keras. Demikian pula jika
nilai spektra pada SNI Gempa 2012 lebih kecil dibandingkan dengan nilai spektra
percepatan pada SNI Gempa 2002, maka perbedaan akan semakin besar jika
kekerasan tanah berkurang.

Untuk melihat pengaruh gaya–gaya gempa dan gaya internal yang terjadi dengan
ditetapkannya SNI Gempa 2012, ditinjau suatu struktur yang dibangun di kota Denpasar
pada kondisi tanah lunak. Dari hasil analisis, gaya geser dari SNI Gempa 2012 sama
dengan 71,3% gaya geser akibat gempa yang dihitung dengan SNI Gempa 2002.
Walaupun demikian, nilai-nilai gaya-internal yang terjadi tidak begitu besar
perbedaannya. Hal ini dikarenakan kombinasi pembebanan pada SNI Gempa 2012
memperhitungkan pengaruh gempa vertikal dan faktor redundansi. Dengan
memperhatikan hal ini, untuk kota-kota yang mengalami kenaikan spektra percepatan
akibat SNI Gempa 2012, ada kemungkinan akan terjadi kenaikan yang signifikan pula
pada nilai-nilai gaya internal struktur bangunan. Untuk itu, dengan diberlakukannya SNI
Gempa 2012 ini perlu dilakukan evaluasi terhadap ketahanan struktur-struktur yang
dibangun, terutama yang mengalami kenaikan nilai SDS dan SD1.

PUSTAKA

Arfiadi, Y dan Satyarno, I. (2013). Perbandingan spektra desain beberapa kota besar di
Indonesia dalam SNI gempa 2012 dan SNI Gempa 2002, Prosiding Konferensi
Nasional Teknik Sipil 7, Surakarta, 24-25 Oktober. Makalah no 233S, S299-S306.
ASCE 7-05 (2005). Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures, American
Society of Civil Engineers, Reston, Virginia.
ASCE/SEI 7-10 (2010). Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures,
American Society of Civil Engineers, Reston, Virginia.
Building Seismic Safety Council (2009) NEHRP Recommended Seismic Provisions for
New Buildings and Other Structures (FEMA P-750), Federal Emergency
Management Agency, Washington, D.C.
Building Seismic Safety Council (2012) 2009 NEHRP Recommended Seismic
Provisions: Design Examples: FEMA P-751, Washington, D.C.
BSN (2012), SNI 1726:2012: Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur
bangunan gedung dan non gedung. Jakarta.
Desain Spektra Indonesia, diakses 21 Maret 2013,
http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011/.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) Standar perencanaan
ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung, SNI 1726-2002, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Permukiman, Bandung.
Irsyam, M., Sengara, IW. Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Hilman, D.,
Kertapati, E, Meilno, I., Asrurifak, M. Ridwan, M, dan Suhardjono (2010).
Ringkasan hasil studi tim revisi peta gempa Indonesia 2010 (edisi 2). Kementerian
Pekerjaan Umum, Bandung.
Luco, N. Elingwood, B.R., Hamburger, R.O., Hooper, J.D., Kimball, J.K., dan Kircher,
C.A. (2007) “Risk-targeted versus current seismic design maps for the
conterminous United States”. Proceedings 2007 Structural Engineering Association
California (SEAOC) Convention, Lake Tahoe, CA., 163-175.
Welt, T. (2010). Evaluation of contemporary design of reinforced concrete lateral
resisting system using current performance objective assessment criteria, National
Institute of Standards and Technology.
Lampiran 1: Hitungan beban gempa sesuai SNI 1726:2012
View publication stats

You might also like