You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembelajaran matematika di sekolah tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi
saja, namun juga untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, seperti dalam meningkatkan
kemampuan berpikir siswa (Mahmudi dalam Rahayu, 2009). Pengembangan kemampuan
berpikir siswa menjadi fokus pembelajaran dan merupakan salah satu standar kelulusan.
Memberikan kesempatan bagi siswa untuk menggunakan pemikiran yang lebih tinggi akan
menyadarkan siswa bahwa kemampuan berpikir berhubungan dengan kemampuan untuk
menghubungkan informasi yang diperoleh melalui penyelidikan dan pengkajian secara
sistematis akan menghasilkan ide atau solusi dari suatu permasalahan (Bempah dalam Rahayu,
2014). Kemampuan berpikir yang berkaitan dengan pengumpulan informasi melalui
penyelidikan dan pengkajian secara sistematis adalah kemampuan berpikir kritis.
Dalam proses pembelajaran, guru cenderung menjelaskan materi yang ada di buku paket
dan kemudian memberikan soal latihan, siswa hanya mencatat dan menghafal rumus-rumus
yang diberikan, sedangkan penjelasan mengenai konsep rumus tersebut hanya sekedarnya
dijelaskan oleh guru. Kondisi pembelajaran seperti ini mengakibatkan siswa tidak terlatih
untuk berpikir kritis dalam menyelesaikan soal-soal latihan. Berpikir kritis diperlukan dalam
memecahkan masalah, karena berpikir kritis memberikan arahan yang tepat untuk siswa dalam
berpikir dan bekerja. Siswa yang berpikir kritis adalah siswa yang mampu mengidentifikasi,
mengevaluasi, mengkontruksi atau membangun argumen serta mampu memecahkan masalah.
Pembelajaran matematika yang didominasi dengan metode drill, ceramah dan tanya jawab,
sedangkan rumus-rumus yang ada hanya dihafal dan digunakan untuk menyelesaikan masalah,
pembelajaran seperti ini mengakibatkan siswa dengan tingkat kemampuan rendah akan sulit
memahami konsep dari materi yang diajarkan. Selain itu, siswa dengan tingkatan menengah
ataupun atas hanya bisa sekedar menyelesaikan soal dengan keterampilan dalam penggunaan
rumus tanpa memahami konsep dari materi yang diajarkan. Dalam mengatasinya, guru
biasanya memberikan latihan dengan soal yang sama namun dengan angka yang berbeda.
Pembelajaran yang seperti ini mengakibatkan siswa tidak berpartisipasi aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Pembelajaran yang berbasis hafalan menyebabkan siswa jarang bertanya
sehingga daya berpikir kritis siswa menjadi kurang terpacu. Kemampuan berpikir kritis dapat

1
meningkatkan dan mengembangkan pemahaman konsep dan pemikiran siswa, sehingga siswa
lebih mudah menyelesaikan soal yang lebih kompleks (Bempah dalam Rahayu, 2014). Hal
tersebut disebabkan karena siswa menggunakan pemikirannya untuk menganalisis dan
mengevaluasi informasi yang diberikan dengan alasan yang logis.
Kemampuan berpikir kritis akan timbul apabila siswa dilatih dan dibiasakan untuk
bereksplorasi, penemuan dan memecahkan masalah. Problem Based Learning (PBL) adalah
salah satu model pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, karena dalam model ini siswa dihadapkan pada masalah yang
menjadi fokus utama. Model PBL ditandai dengan adanya masalah, masalah yang diberikan
berhubungan dengan dunia nyata siswa, siswa kemudian mengidentifikasi masalah dengan
mengaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan masalah yang diberikan, yang pada akhirnya
membuat solusi dari masalah tersebut (Amir dalam Rahayu, 2011). Model PBL dirancang
untuk kemampuan berpikir, memecahkan masalah dan keterampilan intelektual. Model PBL
menyebabkan siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran, sehingga siswa dengan
sendirinya mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Selain itu, pembelajaran
dengan model PBL menuntut siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah dengan cara
mengkontruksi pengetahuan secara mandiri atau bersama-sama dalam kelompok.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis pada siswa yang belajar melalui
metode ceramah dan penugasan dengan siswa yang belajar melalui model PBL ?
1.2.2 Apakah model pembelajaran PBL mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa
pada pembelajaran matematika ?
1.3 Tujuan
Tujuan dalam peneliatian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model Problem Based
Learning (PBL) terhadap daya berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika.

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori


2.1.1 Kemampuan Berpikir Kritis
Berpikir merupakan sebuah aktivitas yang selalu dilakukan oleh manusia,
bahkan ketika sedang tertidur. Bagi otak, berpikir dan menyelesaikan masalah
merupakan pekerjaan yang paling penting, bahkan dengan kemampuan yang tidak
terbatas. Berpikir merupakan salah satu daya paling utama dan menjadi ciri khas yang
membedakan manusia dengan hewan. Berpikir adalah aktivitas mental yang tujuannya
merumuskan, mensintesis dan menarik kesimpulan (Sadirman dalam Nurhayati, 1996).
Ngalim Purwanto (2007) berpendapat bahwa berpikir merupakan suatu keaktifan
pribadi yang memiliki tujuan, yang menyebabkan suatu penemuan. Manusia berpikir
untuk menemukan atau memahami suatu hal yang dikehendakinya. Santrock (2011)
juga berpendapat bahwa berpikir adalah memanipulasi atau mengubah suatu informasi
ke dalam bentuk memori dalam otak manusia. Berpikir sering dilakukan untuk
membentuk konsep, bernalar, berpikir secara kritis, membuat keputusan dan
memecahkan masalah.
Jika berpikir merupakan bagian dari kegiatan untuk mengolah informasi dalam
mencapai tujuan, maka berpikir kritis juga merupakan bagian dari kegiatan berpikir
yang dilakukan oleh otak. Berpikir kritis adalah berpikir secara reklektif dan produktif
dengan mengevaluasi bukti (Santrock dalam Nurhayati, 2011). Jensen (2011)
berpendapat bahwa berpikir kritis merupakan proses mental yang efektif dalam
mengejar pengetahuan yang relevan dan benar tentang pengetahuan yang ada di dunia.
Cece Wijaya (2010) juga mengungkapkan pendapatnya mengenai berpikir kritis, yaitu
kegiatan menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, memilah,
mengidentifikasi, mengkaji dan mengembangkannya ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan mengenai pengertian
kemampuan berpikir kritis, yaitu kemampuan berpikir secara reflektif dan produktif
dengan cara menganalisis ide atau gagasan dengan mengevaluasi bukti, sehingga dapat
mengembangkannya ke arah yang lebih baik. Kemampuan berpikir kritis diperlukan
untuk menganalisis suatu permasalahan, menemukan suatu solusi, yang akhirnya

3
menyelesaikan permasalahan tersebut. Orang yang memiliki kemampuan berpikir
kritis tidak hanya mengenal satu penyelesaian, mereka akan mencoba kemungkinan
penyelesaian lain berdasarkan analisis informasi yang didapat dari suatu permasalahan.
Berpikir kritis berarti menalar, mencari tahu tentang “mengapa” dan “bagaimana”
proses pemecahan masalah tersebut.
Tujuan berpikir kritis adalah untuk menguji gagasan atau pendapat, dengan
melakukan pertimbangan berdasarkan gagasan yang diajukan (Sapriya dalam
Nurhayati, 2011). Pertimbangan-pertimbangan tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan. Kemampuan berpikir kritis dapat mendorong siswa
memunculkan gagasan atau ide-ide baru mengenai permasalahan yang diberikan.
Siswa akan dilatih bagaimana mengolah informasi yang didapat, menganalisis dan
memilah informasi yang diperoleh, sehingga dapat membedakan mana informasi yang
relevan dan tidak relevan serta mana informasi yang benar dan tidak benar.
Mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dapat membantu siswa membuat
kesimpulan dengan mempertimbangkan data dan fakta yang diperoleh.
Berpikir kritis tidak hanya dapat diajarkan, melainkan juga merupakan bagian
dari keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan di dunia (Jensen dalam
Nurhayati, 2011). Fokus pada keterampilan, kreativitas dan pemecahan masalah
membuat pengajaran mengenai pemikiran terutama berpikir kritis, bisa menjadi sangat
berarti dan produktif bagi siswa. Menurut Jensen (2011), ada beberapa keterampilan
yang harus ditekankan untuk mengembangkan berpikir kritis dalam pemecahan
masalah:
1) mengumpulkan informasi dan memanfaatkan sumber daya;
2) mengembangkan fleksibilitas dalam bentuk dan gaya;
3) meramalkan;
4) mengajukan pertanyaan bermutu tinggi;
5) mempertimbangkan bukti sebelum menarik kesimpulan;
6) menggunakan metafor dan model;
7) menganalisis dan meramalkan informasi;
8) mengkonseptualisasikan startegi (misalnya pemetaan pikiran, mendaftarkan pro
dan kontra, membuat bagan);

4
9) bertransaksi secara produktif dan ambiguitas, perbedaan dan kebaruan;
10) menghasilkan kemungkinan dan probabilitas (misalnya survei, formula, sebab dan
akibat);
11) mengembangkan keterampilan debat dan diskusi;
12) mengidentifikasi kesalahan, kesenjangan dan ketidak logisan;
13) memeriksa pendekatan alternatif;
14) mengembangkan strategi pengujian-hipotesis;
15) menganalisis risiko;
16) mengembangkan objektivitas;
17) mendeteksi generalisasi dan pola (mengidentifikasi dan mengorganisasikan
informasi, menterjemahkan informasi);
18) mengurutkan perisriwa.
Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan yang sangat
diperlukan dalam pemecahan masalah. Terdapat ciri-ciri tertentu yang dapat diamati
untuk mengetahui bagaimana tingkat kemampuan berpikir kritis seseorang. Berikut ini
ciri-ciri berpikir kritis menurut Cece Wijaya (2010):
1) mengenal secara rinci bagian-bagian dari keseluruhan;
2) pandai mendeteksi permasalahan;
3) mampu membedakan ide yang relevan dengan yang tidak relevan;
4) mampu membedakan fakta dengan diksi atau pendapat;
5) mampu mengidentifikasi perbedaan-perbedaan atau kesenjangan- kesenjangan
informasi;
6) dapat membedakan argumentasi logis dan tidak logis;
7) mampu mengembangkan kriteria atau standar penilaian data;
8) suka mengumpulkan data untuk pembuktian faktual;
9) dapat membedakan diantara kritik membangun dan merusak;
10) mampu mengidentifikasi pandangan perspektif yang bersifat ganda yang
berkaitan dengan data;
11) mampu mengetes asumsi dengan cermat;
12) mampu mengkaji ide yang bertentangan dengan peristiwa dalam lingkungan;

5
13) mampu mengidentifikasi atribut- atribut manusia, tempat dan benda, seperti dalam
sifat, bentuk, wujud, dan lain-lain;
14) mampu mendaftar segala akibat yang mungkin terjadi atau alternatif pemecahan
terhadap masalah, ide dan situasi;
15) mampu membuat hubungan yang berurutan antara satu masalah dengan masalah
lainnya;
16) mampu menarik kesimpulan generalisasi dari data yang telah tersedia dengan
yang diperoleh dari lapangan;
17) mampu menggambarkan konklusi dengan cermat dari data yang tersedia;
18) mampu membuat prediksi dari informasi yang tersedia;
19) dapat membedakan konklusi yang salah dan tepat terhadap informasi yang
diterimanya;
20) mampu menarik kesimpulan dari data yang telah ada dan terseleksi; ...
Secara garis besar, ciri-ciri berpikir kritis tersebut dapat dibagi menjadi 6 pokok
indikator, berdasarkan langkah-langkah pendekatan model pembelajaran berbasis
masalah, sehingga dapat dijadikan indikator dalam mengamati kemampuan berpikir
kritis siswa (Nurhayati, 2014). Ciri-ciri tersebut antara lain: 1) Pandai mendeteksi
permasalahan; 2) Suka mengumpulkan data untuk pembuktian faktual; 3) Mampu
menginterpretasi gambar atau kartun; 4) Mampu membuat interpretasi pengertian,
definisi dan isu kontroversi; 5) Mampu mendaftar segala segala akibat yang mungkin
terjadi atau alternatif pemecahan terhadap masalah, ide dan situasi; 6) Mampu menarik
kesimpulan dari data yang telah ada dan terseleksi (Nurhayati, 2014).
2.1.2 Pembelajaran Matematika
Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap,
yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung, yang terjadi akibat hasil dari
suatu latihan atau pengelaman dengan lingkungan di sekitarnya (Sri Rumini dalam
Hariyanti, 2006). Menurut Arnie Fajar (2005), belajar adalah suatu proses perubahan
dalam diri seseorang berupa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku, seperti
peningkatan pengetahuan, daya pikir, sikap, kebiasaan dan lain-lain. Sedangkan
menurut M. Sobry Sutikno (2007) belajar adalah suatu proses yang dilakukan oleh
seseorang untuk memperoleh perubahan baru sebagai hasil dari pengalaman sendiri

6
dalam interaksi dengan lingkungan di sekitarnya. Berdasarkan beberapa pengertian
yang telah disampaikan oleh beberapa ahli, dapat disimpulkan belajar adalah proses
perubahan dalam diri seseorang berupa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah
laku, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung, yang terjadi akibat
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan pembelajaran
adalah upaya pengorganisasian lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi
para peserta didik (Zainal dalam Hariyanti, 2002). Upaya tersebut bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik menjadi warga masyarakat yang baik, sehingga dapat
berbaur dengan kehidupan masyarakat. Kegiatan pembelajaran melibatkan proses
mental dan fisik, yang dirancang sedemikian rupa melalui interaksi antar peserta didik,
peserta didik dengan guru, lingkungan dan sumber belajar lainnya untuk mencapai
kompetensi dasar (BSNP dalam Hariyanti, 2006). Berarti dapat dikatakan
pembelajaran adalah upaya untuk mengorganisasikan lingkungan belajar yang
kondusif bagi peserta didik, melibatkan proses mental dan fisik yang dirancang
sedemikian rupa melalui interaksi peserta didik, baik interaksi dengan sesama, guru,
lingkungan dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar.
Pembelajaran yang formal biasanya berlangsung di sekolah atau perguruan
tinggi, sedangkan pembelajaran yang informal bisa berlangsung dimana saja, biasanya
di lingkungan keluarga, kegiatan belajar dilakukan secara mandiri, sadar dan
bertanggung jawab. Salah satu pembelajaran yang berlangsung di sekolah adalah
pembelajaran matematika. Matematika secara etimologis berarti pengetahuan yang
diperoleh dari menalar (Erman Suherman dalam Hariyanti, 2003). Bukan berarti ilmu
yang lain tidak diperoleh melalui penalaran, hanya saja dalam matematika lebih
ditekankan pada penalaran, sedangkan pada ilmu lain lebih ditekankan pada hasil
observasi atau eksperimen. Herman Hudojo (2005) menyatakan matematika sebagai
ilmu yang menelaah bentuk atau struktur yang abstrak dan hubungannya. Objek yang
ditelaah matematika tidak sekedar kuantitas, tapi lebih fokus ke hubungan, pola, bentuk
dan struktur. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan, matematika adalah
ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar, menelaah bentuk, susunan, besaran
dan konsep-konsep abstrak yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.

7
Pembelajaran matematika yang diberikan kepada peserta didik berbeda di setiap
jenjang pendidikan. Pembelajaran matematika untuk anak sekolah menengah berbeda
dengan pembelajaran matematika untuk anak sekolah dasar. Hal ini dikarenakan anak
pada usia sekolah menengah sudah dapat belajar secara abstrak dengan penggunaaan
penalarannya. Piaget mengemukakan bahwa anak pada usia 11-18 tahun, ciri pokok
perkembangannya adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis, dengan
menggunakan pola pikir “kemungkinan”. Model berpikir ilmiah sudah mulai dimiliki
anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, mengembangkan dan menarik hipotesa
(Asri Budiningsih dalam Hariyanti, 2008). Tujuan pembelajaran matematika, yaitu
agar siswa memiliki kemampaun dalam menggunakan algoritma (prosedur pekerjaan);
melakukan manipulasi secara matematika; mengorganisasi data; memanfaatkan
simbol, diagram dan grafik; mengenal dan menemukan pola; menarik kesimpulan;
membuat kalimat atau model matematika; membuat interpretasi bangun dalam bidang
dan ruang; memahami pengukuran dan satuan-satuannya; serta menggunakan alat
hitung dan alat bantu matematika (Asep Jihad dalam Hariyanti, 2008). Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpullkan bahwa pembelajaran matematika adalah upaya
pengorganisasian lingkungan untuk mencipatakan kondisi belajar yang kondusif bagi
peserta didik, melibatkan proses mental dan fisik yang melalui interaksi peserta didik
dengan sesama, guru dan sumber belajar lainnya guna menelaah bentuk, struktur,
susunan, bentuk dan konsep-konsep abstrak serta hubungannya demi mencapai
kompetensi dasar.
2.1.3 Problem Based Learning (PBL)
Model pembelajaran menggambarakan cara mengajar yang dilakukan oleh guru.
Begitu banyak model pembelajaran yang bisa diterapkan oleh guru dalam mengajar,
masing-masing model berbeda langkah-langkahnya, namun tentunya semua model
pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran menjadi lebih baik.
Model pembelajaran adalah acuan guru untuk menyusun langkah-langkah dalam
kegiatan pembelajaran (Yamin dalam Okayana, 2013). Model pembelajaran dapat
dikatakan sebagai kerangka konseptual yang merupakan prosedur sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar (Sumantri
dalam Okayana, 2015).

8
Salah satu model pembelajaran yang standar dalam pelaksanaan kurikulum 2013
adalah model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Model Problem Based
Learning (PBL) dikembangkan dari konsep-konsep model pembelajaran Discovery
Learning yang dicetuskan oleh Jerome Bruner. Konsep Discovery Learning
memberikan dukungan teoritis terhadap pengembangan PBL yang orientasinya dalam
hal kemampuan mengolah informasi. PBL merupakan model pembelajaran yang
menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar” bekerja sama dalam kelompok
untuk mencari solusi dari permasalahan yang nyata bagi siswa (Kemendikbud dalam
Okayana, 2014). Menurut Kurniasih (2014), PBL adalah model pembelajaran yang
bersifat kontekstual, yang artinya siswa disajikan berbagai permasalahan nyata dalam
kehidupan sehari-hari yang tujuannya merangsang siswa untuk belajar. Dapat
disimpulkan, bahwa PBL adalah sebuah model pembelajaran yang menyajikan
permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari, bersifat kontekstual, sehingga siswa
terangsang untuk belajar.
Setiap model pembelajaran memiliki karakteristik untuk membedakan model
yang satu dengan model yang lainnya. PBL tentunya memiliki karakteristik yang
membedakannya dengan model pembelajaran yang lain. Rusman (2014)
mengungkapkan karakteristik model PBL, antara lain :
1) Permasalahan menjadi starting point dalam belajar.
2) Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan di dunia nyata yang tidak
terstruktur.
3) Permasalahan membutuhkan perspektif ganda.
4) Permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki siswa, sikap dan kompetensi
yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru
dalam belajar.
5) Belajar pengarahan diri menjadi yang utama.
6) Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya dan evaluasi
sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBL.
7) Belajar adalah kolaboratif, komunikatif dan kooperatif.

9
8) Pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya
dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah
permasalahan.
9) Sintesis dan integrasi dari sebuah proses pembelajaran.
10) PBL melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar.
Proses pembelajaran di dalam kelas tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai,
sehingga dalam proses belajar siswa memperoleh sesuatu. Model PBL memiliki tujuan
yang ingin dicapai, yaitu membantu siswa mengembangkan pengetahuan fleksibel
yang dapat diterapkan dalam situasi yang berlawanan (Yamin dalam Okayana, 2013).
Tujuan PBL adalah kemampuan untuk berpikir kritis, analitis, sistematis dan logis
untuk menemukan alternatif pemecahanan masalah dengan mengolah informasi secara
empiris untuk membentuk sikap ilmiah (Sanjaya dalam Okayana, 2013). Sedangkan
menurut Ibrahim dan Nur ( dalam Okayana, 2014) mengemukakan tujuan model PBL
lebih rinci, yaitu membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, belajar
berbagai peran orang dewasa melalui keterlibatan mereka dalam pengelaman nyata dan
menjadi siswa yang otonom dan mandiri. Berdasarkan penjelasan dari beberapa ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujual PBL yaitu mengembangkan kemampuan
berpikir kritis, analitis, sistematis dan logis dalam pemecahan masalah dengan
melibatkan siswa ke dalam pengalaman nyata untuk membentuk sikap ilmiah siswa,
serta menjadikan siswa otonom dan mandiri.
Setiap model pembelajaran tentunya memiliki kekurangan dan kelebihan,
sebegaimana model PBL memiliki kelebihan dan kelemahan yang perlu dicermati
untuk keefektifan penggunaannya. Menurut Susanto (dalam Okayana, 2014) kelebihan
PBL antara lain :
1) Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup baik dalam memahami
pembelajaran.
2) Pemecahan masalah dapat menantang pengetahuan siswa dan memberikan
kepuasan saat menemukan pengetahuan baru.
3) Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
4) Pemecahan masalah dapat membantu siswa bagaimana menggunakan pengetahuan
mereka untuk memahami masalah nyata.

10
5) Pemecahan masalah membantu siswa mengembangkan kemampuan barunya dan
bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.
6) Pemecahan masalah lebih menarik dari diskusi siswa.
7) Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dan
mengembangkan kemampuan untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru
siswa.
8) Pemecahan masalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan
pengetahuan mereka dalam dunia nyata.
Sedangkan kelemahan model PBL antara lain:
1) Bila siswa tidak memiliki niat dan ragu mampu memecahkan masalah, siswa
menjadi enggan untuk mencoba.
2) Membutuhkan cukup waktu untuk melakukan persiapan.
3) Tanpa pemahaman siswa dalam memecahkan masalah yang akan dipelajari, maka
siswa tidak akan belajar dari apa yang mereka pelajari.
Setelah mengetahui karakteristik, tujuan, kelebihan dan kelemahan model PBL,
seorang guru dalam model PBL harus mengetahui peranannya, mengingat model PBL
menuntut siswa untuk berpikir kritis. Peran guru dalam model PBL berbeda dengan
peran guru di dalam kelas. Peran guru dalam model PBL yaitu menyiapkan perangkat
berpikir siswa, menekankan belajar kooperatif, memfasilitasi pembelajaran kelompok
kecil dalam model PBL, serta melaksanakan PBL (Rusman dalam Okayana, 2014).
Sedangkan menurut Kemendikbud (dalam Okayana, 2014), peran guru anatar lain
bertanya tentang pemikiran, memonitor pembelajaran, menantang siswa untuk
berpikir, mengatur dinamika kelompok dan menjaga keberlangsungan kelompok.
Menyiapkan perangkat berpikir siswa, tujuannya adalah agar siswa benar-benar siap
untuk mengikuti pembelajaran dengan model PBL. Dalam hal ini, guru bisa membantu
siswa dalam mengubah cara berpikir siswa, membuat siswa merasa memiliki masalah,
serta mengkomunikasikan tujuan, hasil dan harapan. Guru menekankan siswa untuk
belajar secara kooperatif, karena dalam prosesnya model PBL berbentuk inquiry yang
bersifat kolaboratif. Siswa bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah yang
penting, sehingga siswa dapat memahami bahwa bekerja dalam tim penting untuk
mengembangkan kemampuan siswa. Dalam hal ini, guru memfasilitasi siswa untuk

11
belajar dalam kelompok yang kecil, karena dengan kelompok yang kecil, lebih mudah
untuk guru mengontrolnya. Sehingga guru dapat menggunakan berbagai teknik belajar
kooperatif, kemudian menggabungkan kelompok-kelompok tersebut untuk
menyatukan ide. Dalam pelaksanaannya, guru harus mampu mengatur kondisi belajar
yang melibatkan siswa dalam pemecahan masalah. Selain itu, guru juga berperan
sebagai fasilitator dalam proses belajar siswa dalam kelompok.
Dalam penerapannya, model PBL memiliki sintaks atau langkah-langkah dalam
proses pembelajaran. Yang pertama, yaitu memberikan orientasi mengenai
permasalahan yang akan dibahas kepada siswa, guru membahas tujuan pembelajaran,
mendiskripsikan dan memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah.
Kedua, mengorganisasi siswa untuk mandiri, dalam hal ini guru membantu dan
mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait dengan masalah tersebut. Ketiga,
membantu investigasi individu atau kelompok, guru mendorong siswa untuk mencari
informasi yang tepat, melakukan eksperimen, kemudian mendapatkan penjelasan dan
mencari solusi. Keempat, mengembangkan dan mempresentasikan hasil, guru
membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil yang telah diperoleh
(seperti laporan), serta membantu siswa menyampaikannya kepada siswa yang lain.
Langkah terakhir adalah menganalisis dan mengevaluasi pemecahan masalah, guru
membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap materi yang telah dipelajari
dan proses-proses yang telah digunakan (Kemendikbud dalam Okayana, 2014).
2.2 Hipotesis Tindakan
Dalam pembelajaran matematika, dengan menerapkan model pembelajaran Problem
Based Learning (PBL) dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.

12
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian


Pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan
berpikir kritis siswa pada pembelajaran matematika di sekolah.
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode eksperimen. Metode eksperimen
merupakan metode penelitian yang dapat menguji hipotesis dengan benar, yang menyangkut
hubungan sebab-akibat (Gay dalam Emzir, 1981). Metode eksperimen adalah metode yang
paling banyak dipilih dan paling produktif dalam penelitian. Dalam metode eksperimen, ada
istilah variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas, disebut juga variabel penyebab atau
variabel perlakuan, karena karakteristiknya mampu membuat suatu perbedaan. Variabel bebas
biasa dimanipulasi, misalnya dalam metode mengajar, kondisi lingkungan, materi ajar dan
ukuran kelompok belajar. Sedangkan variabel terikat dianggap sebagai variabel pengaruh,
sebagai contoh kemampuan berpikir kritis. Perubahan atau perbedaan dalam suatu kelompok
merupakan hasil dari manipulasi variabel bebas (Gay, dalam Emzir, 1981).
Langkah-langkah dalam penelitian eksperimen pada dasarnya sama dengan langkah-
langkah dalam penelitian lain, yaitu memilih dan merumuskan masalah, memilih subjek dan
instrumen pengukuran, memilih desain penelitian, melaksanakan prosedur, menganalisis data,
serta merumuskan kesimpulan. Dalam penelitian eksperimen, terdapat minimal satu hipotesis
yang menyatakan hubungan sebab-akibat dari apa yang diharapkan. Peneliti dalam keadaan
siap sejak awal, mulai membentuk atau memilih kelompok, memutuskan perubahan apa yang
akan terjadi pada kelompok, mencoba mengontrol semua faktor agar tidak ada variabel bebas
lain yang mempengaruhi variabel terikat, serta mengobservasi atau mengukur pengaruh pada
kelompok diakhir studi. Suatu eksperimen melibatkan dua kelompok, satu kelompok
eksperimental dan yang satunya kelompok kontrol. Kelompok eksperimental menerima hal
baru, perlakuan yang di dapat berbeda dari biasanya (sesuatu di bawah penyelidikan),
sedangkan kelompok kontrol mendapatkan perlakuan seperti biasa. Tujuannya untuk melihat
apakah perlakuan baru yang diterima kelompok eksperimental lebih efektif dari perlakuan
biasa yang diterima kelompok kontrol (Emzir, 2014).

13
3.3 Populasi dan Sampel
Nilai atau hasil dari menghitung ataupun pengukuran, baik bersifat kuantitatif maupun
kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua kumpulan anggota yang jelas sifat-
sifatnya dinamakan populasi. Sedangkan sebgaian yang diambil dari populasi disebut sampel.
Melakukan sensus, berarti meneliti setiap anggota dalam sebuah populasi tanpa terkecuali dan
mengambil sampling jika hanya sebagian dari populasi yang akan diteliti. Pengambilan sampel
harus dilakukan dengan cara yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan agar
kesimpulannya dapat dipercaya. Sampel harus bersifat representatif, yang artinya sampel
mencerminkan karakteristik dari populasi. Sensus tidak dapat dilakukan pada populasi yang
tak hingga, meskipun ada populasi yang terhingga, sensus belum tentu dapat dilakukan,
dikarenakan ada faktor yang harus diperhitungkan, seperti tidak praktis, tidak ekonomis,
kekurangan biaya, waktu terlalu singkat, dan lain-lain. Oleh karena itu, pengambilan sampel
harus dilakukan, data dari sampel dikumpulkan kemudian dianalisis, dari hal itu dapat dibuat
kesimpulan tentang karakteristik dari populasinya (Sudjana, 2005).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah metode atau cara-cara yang dapat digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data. Data yang dikumpulkan dalam penelitian akan digunakan
untuk menguji hipotesis atau menjawab permasalahan yang telah dirumuskan, yang pada
akhirnya akan digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan. Oleh karena itu, data
harus merupakan data yang baik dan benar, agar data yang dikumpulkan baik dan benar maka
instrumen penelitiannya juga harus baik dan benar. Dalam proses pengumpulan data statistik,
perlu diperhatikan tiga prinsip, yaitu mengumpulkan data selengkap-lengkapnya,
mempertimbangkan ketepatan data (meliputi jenis data, kegunaan data, waktu pengumpulan
data dan relevansi data), serta kebenaran data (dapat dipercaya sumber maupun data itu sendiri)
(Dodiet, 2013).
Teknik pengumpulan data dapat berupa teknik observasi, teknik komunikasi (wawancara,
angket/kuesioner), teknik pengukuran, teknik sosiometris dan teknik dokumenter. Teknik
observasi, dapat diartikan sebagai pengamatan dan mencatat gejala pada objek penelitian
secara sistematis, dilakukan di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa. Teknik
komunikasi dapat berbentuk lisan maupun tulisan, misalnya wawancara atau angket

14
(kuesioner). Teknik pengukuran dapat berupa tes, daftar inventori kepribadian, teknik
proyektif dan skala.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen atau alat pengumpul data merupakan alat yang digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data, agar menjadi lebih mudah dan sistematis. Instrumen penelitian adalah
alat yang digunakan untuk memperoleh, mengelola dan menginterpretasikan informasi dari
para responden dengan pola pengukuran yang sama. Instrumen penelitian dirancang untuk satu
tujuan, sehingga tidak bisa digunakan pada penelitian yang lain. Setiap penelitian memiliki
karakter tersendiri, sehingga peneliti harus merancang sendiri instrumen yang akan digunakan.
Susunan instrumen peneliti yang satu dengan peneliti yang lain tidak selalu sama, karena
tujuan dan mekanisme kerja dalam setiap penelitian berbeda-beda. Untuk mengumpulkan data
dalam suatu penelitian, dapat menggunakan instrumen yang sudah disediakan atau peneliti
dapat membuat sendiri (Dodiet, 2013).
Instrumen penelitian dapat berupa tes, angket, wawancara, observasi dan dokumentasi.
Tes adalah sejumlah pertanyaan atau latihan yang digunakan untuk mengukur keterampilan,
intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Tes dibuat
dalam bentuk tugas yang sudah standar, kemudian diberikan kepada individu atau kelompok
untuk dikerjakan atau dijawab dalam bentuk tertulis maupun lisan. Angket atau kuesioner
adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan
informasi mengenai hal pribadi atau hal-hal yang responden ketahui. Angket berbentuk
pertanyaan untuk diisi dan dijawab oleh responden. Jika angket merupakan instrumen
penelitian dalam bentuk tulisan, maka wawancara adalah instrumen dalam bentuk verbal
(lisan). Wawancara adalah pertukaran informasi atau ide yang dilakukan secara tatap muka
melalui tanya jawab oleh peneliti dengan responden. Wawancara biasanya digunakan untuk
mencari informasi mengenai keadaan siswa, kondisi sekolah, dan lain-lain. Di dalam
penelitian, observasi diartikan sebagai pengamatan yang dilakukan secara langsung. Pedoman
observasi berisi jenis kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati.
3.6 Teknik Analisis Data
Analisis dalam penelitian apapun merupakan cara berpikir kritis. Analisis data adalah
proses mencari dan menyusun data yang diperoleh melalui, wawancara, tes, dan sebagainya
secara sistematis, kemudian data diolah, dijabarkan, melakukan sintesa, menyusun ke dalam

15
pola, memilih mana yang penting dan mana yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan,
sehingga mudah di pahami oleh diri sendiri dan orang lain (Sugiyono, 2006). Analisis data
juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk cara berpikir untuk melaksanakan dan mengolah data
ke dalam bentuk informasi, kemudian dari informasi tersebut dapat bermanfaat untuk
menjawab permasalahan yang berkaitan dengan penelitian.
Teknik analisis data ada dua, yaitu teknik analisis data kuantitatif dan teknik analisis data
kualitatif. Proses analisis data dalam penelitian kualitatif dimulai sebelum peneliti memasuki
lapangan. Kemudian dilanjutkan kembali pada saat peneliti sudah berada di lapangan, sampai
peneliti menyelesaiakan penelitiannya. Analisis dilakukan terhadap data pada sebelum
memulai penelitian yang digunakan untuk menentukan fokus penelitian, data ini bersifat
sementara yang nantinya akan berkembang pada saat melakukan penelitian. Data penelitian
kuantitatif yang telah dikumpulkan pada dasarnya masih mentah. Untuk dapat menggunakan
data tersebut sebagai landasan untuk menjawab rumusan masalah atau menguji hipotesis, maka
data tersebut perlu dianalisis dan diolah. Kegiatan menganalisis data meliputi pengolahan dan
penyajian data, melakukan perhitungan untuk mendiskripsikan data, serta melakukan analisis
untuk menguji hipotesis. Perhitungan dan menganalisis data kuantitatif dilakukan dengan
teknik statistika.

16
DAFTAR PUSTAKA

Aditya, Dodiet. 2013. Data dan Metode Pengumpulan Data Penelitian. Surakarta : Poltekkes
Surakarta Press.
Amir Taufiq, M. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Jakarta : Kencana.
Aqib, Zainal. 2002. Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran. Surabaya : Insan Cendikia.
Bempah Octaviani, Haryati. 2014. Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematika Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Matematika Pada Mata Kuliah Kalkulus I Pada Materi Limit Fungsi.
Artikel. Universitas Negeri Gorontolo.
BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan
Dasar dan Menengah. Jakarta : Depdiknas.
Budiningsih, Asri. 2008. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Emzir. 2014. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Fajar, Arnie. 2005. Portofolio dalam Pembelajaran IPS. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Gay, L. R. 1981. Educational Research: Competencies For Analysis & Application. Colombus :
Charles E. Merril Publishing Company.
Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta :
Widyaiswara PPPPTK Matematika.
Jensen, Eric. 2011. Pembelajaran Berbasis Otak: Paradigma Pengajaran Baru. Jakarta : Indeks.
Jihad, Asep. 2008. Pengembangan Kurikulum Matematika. Yogyakarta : Multi Pressindo.
Kemendikbud. 2014. Materi Guru Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta : Pusat
Pengembangan Profesi Pendidik Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan
Dan Kebudayaan Dan Penjaminan Mutu Pendidikan.
Kurniasih, Imas dan Berlin S. 2014. RPP. Yogyakarta : Kata Pena.
Mahmudi, Ali. 2009. Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa melalui Pembelajaran
Matematika Realistik. Makalah Seminar Nasional. Yogyakarta : Universitas Negeri
Yogyakarta.
Ngalim Purwanto, MP. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Nurhayati. 2014. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Dalam Pembelajaran IPS
Melalui Pendekatan SAVI Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Kelas VII SMP Negeri
3 Godean. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
Rumini, Sri. 2006. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta : UNY Press.
Rusman. 2014. Model-Model Pembelajaran. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

17
Sadirman. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sanjaya, Wina. 2013. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses pendidikan. Jakarta :
Kencana.
Santrock, John W. 2011. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta : Kencana.
Sapriya. 2011. Pendidikan IPS: Konsep dan Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung : Tarsito.
Suherman, Erman. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : JICA UPI.
Sumantri, Muhamad Syarif. 2015. Strategi Pembelajaran. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Susanto, Ahmad. 2014. Pengembangan Pembelajaran IPS. Jakarta : Prenadamedia Group.
Sutikno, M Sobry. 2007. Startegi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum dan
Konsep Islami. Jakarta : PT Refika Aditama.
Wijaya, Cece. 2010. Pendidikan Remidial: Sarana Pengembangan Mutu Pendidikan Sumber
Daya Manusia. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Yamin, Martinis. 2013. Strategi & Metodel dalam Model Pembelajaran. Jakarta : GP Press Group.

18

You might also like