You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Endometriosis merupakan kondisi medis pada wanita yang ditandai
dengan tumbuhnya sel-sel endometrium di luar kavum uteri. Berbagai teori
menjelaskan mengenai etiologi dari endometriosis, namun teori yang paling
diterima adalah teori hormonal, dimana teori ini juga menjelaskan angka
kejadian endometriosis yang tinggi pada wanita usia reproduktif. Endometriosis
terjadi pada sekitar 5-10% wanita dan 50% diantaranya adalah wanita
perimenopause. Diperkirakan sekitar 7 juta wanita di Amerika Serikat dan lebih
dari 70 juta di seluruh dunia mengalami endometriosis. Angka kejadian di
Indonesia sendiri belum dapat diperkirakan karena kurangnya penelitian
epidemiologi. Di bagian obstetri dan ginekologi FK-UI RSCM pada tahun 1990
tercatat 15,7% kasus endometriosis yang datang ke poliklinik.1,2
Penderita endometriosis dapat asimptomatik, subfertil atau menderita
berbagai tingkat nyeri panggul. Penelitian yang dilakukan oleh World
Endometriosis research Foundation (WERF) Endocost Consortium, yang diikuti
oleh 10 negara, meliputi 909 wanita, menunukkan bahwa endometriosis dapat
secara signifikan menghilangkan produktivitas dan menurunkan kualitas hidup
wanita. Endometriosis dianggap sebagai penyakit yang bergantung pada
esterogen, sehingga salah satu pengobatan adalah dengan menekan hormon
menggunakan obat-obatan. Saat ini, pil kontrasepsi, progestin, GnRH agonis dan
aromatase inhibitor adalah tatalaksana medikamentosa endometriosis. Meskipun
obat-obatan ini efektif dalam mengurangi keluhan nyeri panggul, dismenorhea
dan dispareunia, namun berdasarkan sebuah penelitian Cochran, 2010
menunjukkan tidak ada peran signifikan obat-obatan tersebut untuk infertilitas.
Berbeda dengan penelitian Donnez, 2002 yang menyatakan bahwa rata-rata angka
kehamilan penderita endometriosis setelah menjalani terapi medikamentosa dan
pembedahan adalah 42-50%. 2,3,4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Endometriosis merupakan kondisi medis pada wanita yang ditandai
dengan tumbuhnya sel-sel endometrium di luar kavum uteri. Sel-sel endometrium
yang melapisi kavum uteri sangat dipengaruhi hormone wanita. Dalam keadaan
normal, sel-sel endometrium kavum uteri akan menebal selama siklus menstruasi
berlangsung agar nantinya siap menerima hasil pembuahan sel telur oleh sperma.
Bila sel telur tidak mengalami pembuahan, maka sel-sel endometrium yang
menebal akan meluruh dan keluar sebagai darah menstruasi.1

2.2. Patofisiologi
Pada endometriosis, sel endometrium yang semula berada dalam kavum
uteri berpindah dan tumbuh di luar kavum uteri. Sel-sel dapat tumbuh dan
berpindah ke ovarium, tuba Falopii, belakang kavum uteri, ligamentum uterus,
bahkan dapat sampai ke usus dan vesika urinaria. Pada saat menstruasi
berlangsung, sel-sel endometrium yang berpindah ini akan mengelupas dan
menimbulkan perasaan nyeri di sekitar panggul. Endometriosis akan
menyebabkan perubahan pada lingkungan fisiologis dalam pelvis. Adanya
jaringan endometrium di dalam pelvis akan mempengaruhi respon sel-sel imun di
daerah sekitar alat genitalia. Perubahan respon imunologis dapat mempengaruhi
nidasi intrauterin dan perkembangan awal dari fetus. Tubuh akan merespon
dengan terjadinya penolakan hasil konsepsi tersebut. Sebagai hasil akhir, nidasi
sering tidak berhasil dan terjadi penghambatan pertumbuhan fetus intrauterin;
juga bisa terjadi nidasi diluar intrauterin sehingga terjadi kehamilan ektopik.1
Endometriosis pelvis akan meningkatkan aktivitas makrofag baik dalam
pelvis untuk memfagositosis debris dan jaringan endometriosis. Aktivitas
makrofag juga terjadi intrauterin dan pada tuba yang menyebabkan peningkatan
aktivitas fagositosis sperma. Perdarahan yang timbul dari lesi endometriosis akan

2
menyebabkan pertumbuhan jaringan di dalam pelvis, terjadi perlengketan dengan
jaringan sekitarnya yang berakibat perubahan motilitas tuba, dispareunea dan
infertilitas.1,5

Gambar 1. Uterus Normal dan Uterus dengan Endometriosis5

Sampson mengemukakan teori menstruasi retrograde, dimana jaringan


menstruasi mengalami refluks melalui tuba falopi dan implan pada struktur
panggul. Mekanisme ini telah diamati secara konsisten pada manusia dan
didukung oleh distribusi anatomis dari implan jaringan endometriotik. Teori ini
tidak menjelaskan pengamatan bahwa refluks menstruasi terjadi pada kebanyakan
wanita namun hanya memiliki 5% sampai 10% populasi wanita. Dalam teori
coelomic-metaplasia, lesi endometriotik berkembang ketika sel-sel mesothelial
coelomic peritoneum mengalami metaplasia. Teori lain mendalilkan sirkulasi dan
implan jaringan tegang ektopik pria melalui sistem vena atau limfatik, atau
keduanya. 5

3
Gambar 2. Patogenesis Endometriosis5

Meskipun tidak satu pun dari teori ini dapat benar-benar menjelaskan asal
mula dan perilaku penyakit ini, pemahaman kita sekarang tentang mekanisme
molekuler endometriosis menjadi dasar sebagian besar pendekatan terapeutik kita.
Kelangsungan hidup dan pertumbuhan sel endometriosis dan peradangan terkait
bertanggung jawab atas gejala klinis infertilitas dan nyeri. Peradangan, ciri utama
lesi endometriotik, ditandai dengan berlebihnya sitokinin, prostaglandin, dan zat
peradangan lainnya yang memediasi rasa sakit dan mungkin terkait dengan
subfertilitas. Estrogen mempromosikan kelangsungan hidup dan persistensi lesi
endometrium, yang dapat mengubah proses kekebalan dan inflamasi. Teori
etiologi seluler dan molekuler telah memperbaiki secara signifikan pendekatan
medis dan bedah terhadap resolusi gejala endometriosis, namun penelitian
lanjutan, baik dasar dan klinis, diperlukan untuk lebih memahami dan mengelola
gangguan ini. 5

4
2.3. Faktor Risiko
Risiko tinggi terjadinya endometriosis ditemukan pada :6
a. Wanita yang ibu atau saudara perempuannya menderita endometriosis.
b. Wanita usia produktif ( 15 – 44 tahun).
c. Wanita dengan siklus menstruasi 27 hari atau kurang
d. Usia menarche yang lebih awal dari normal
e. Lama waktu menstruasi
f. Adanya orgasme ketika menstruasi
g. Terpapar toksin dari lingkungan
Faktor risiko termasuk usia, peningkatan jumlah lemak tubuh perifer, dan
gangguan haid, kebiasaan merokok, kebiasaan hidup, dan genetik. Faktor genetik
berperan 6-9 kali lebih banyak dengan riwayat keluarga terdekat menderita.6

2.4. Pembagian Derajat dan Lokasi Lesi Endometriosis


Sistem klasifikasi untuk endometriosis pertama kali dibuat oleh American
Fertility Society (AFS) pada tahun 1979, yang kemudian berubah nama menjadi
ASRM pada tahun 1996, klasifikasi ini kemudian direvisi oleh AFS tahun 1985.
Revisi ini memungkinakan pandangan tiga dimensi dari endometriosis dan
membedakan antara penyakit superfisial dan invasif. Sayangnya, penelitian-
penelitian menunjukkan bahwa kedua klasifikasi ini tidak memberikan informasi
prognostik. Pada tahun 1996, dalam usaha untuk menemukan hubungan lebih
lanjut penemuan secara operasi dengan keluaran klinis, ASRM lalu merevisi
sistem klasifikasinya, yang dikenal dengan sistem skoring revised-AFS (r-AFS).
Dalam sistem ini dibagi menjadi empat derajat keparahan, yakni:2
 Stadium I (minimal) : 1-5
 Stadium II (ringan) : 6-15
 Stadium III (sedang) : 16-40
 Stadium IV (berat) : >40
Walaupun tidak ada perubahan staging dari klasifikasi tahun 1985, sistem
klasifikasi tahun 1996 memberikan deskripsi morfologi lesi endometriosis, yakni
putih, merah, dan hitam. Modifikasi ini didasarkan dari beberapa penelitian yang
menunjukkan bahwa terjadi beberapa aktivitas biokimia di dalam implan dan
mungkin prognosis penyakit dapat diprediksi melalui morfologi implan. 2

5
Gambar 3. Klasifikasi Endometriosis Menurut ASRM Revisi 19962

Menurut ASRM, Endometriosis dapat diklasifikasikan kedalam 4 derajat


keparahan tergantung pada lokasi, luas, kedalaman implantasi dari sel
endometriosis, adanya perlengketan, dan ukuran dari endometrioma ovarium. 2
Klasifikasi Enzian score dapat juga digunakan sebagai instrumen untuk
mengklasifikasikan endometriosis dengan infiltrasi dalam, terutama difokuskan
pada endometriosis bagian retroperitoneal yang berat. Pada penelitian ini,
didapatkan 58 pasien yang menurut Enzian Score diklasifikasikan sebagai
endometriosis dengan infiltrasi dalam, namun pada AFS revisi tidak didiagnosis
demikian. 2

6
Gambar 4. Klasifikasi Endometriosis Menurut Enzian Score2

2.1.5 Penatalaksanaan Endometriosis


Tatalaksana endometriosis amat tergantung pada gejala spesifik yang
pasien rasakan, keparahan gejala, lokasi endometriosis, tujuan tatalaksana dan
keinginan untuk mempertahankan kesuburan atau fertilitas.1,5

7
Obat Antiinflamasi Non Steroid
Terkait dengan nyeri, pemberian NSAIDs dapat diberikan sebagai analgesik.
NSAIDs dapat menekan produksi prostaglandin yang terlibat dalam terjadinya
nyeri dan peradangan pada endometriosis. Obat golongan ini merupakan lini
pertama pada wanita dengan dismenorea primer dan nyeri panggul sebelum
konfirmasi dengan laparoskopi dilakukan. Juga, pada wanita dengan gejala nyeri
minimal atau ringan terkait endometriosis. Beberapa NSAIDs yang dapat
digunakan antara lain adalah:5
 Ibuprofen, dosis 400 mg setiap 4-6 jam,
 Naproxen, dosis awal 500, dilanjutkan 250 mg tiap 6-8 jam
 Naproxen sodium, dosis awal 550 mg, dilanjutkan 275 mg tiap 6-8 jam
 Asam mefenamat, dosis awal 500 mg, dilanjutkan 250 mg tiap 6 jam,
dimulai pada saat menstruasi selama 3 hari
 Ketoprofen, dosis 50 mg tiap 6-8 jam
Perlu diperhatikan bahwa pemberian obat-obatan tersebut dilakukan untuk
meredakan nyeri semata. Jika sudah tidak nyeri, NSAIDs tidak perlu diberikan.
Efek samping yang sering muncul pada penggunaan obat-obatan di atas antara
lain adalah mual, nyeri epigastrium, anoreksia, konstipasi dan perdarahan
gastrointestinal.5

Obat Kontrasepsi Oral Kombinasi


Obat kontrasepsi oral kombinasi juga dapat digunakan sebagai bagian dari
penatalaksanaan nyeri pada endometriosis. Obat ini bekerja dengan menghambat
pelepasan gonadotropin, mengurangi aliran darah menstruasi dan desiduasi
implan. Selain itu, terdapat efek tambahan sebagai suatu alat kontrasepsi,
penekanan ovulasi dan manfaat nonkontrasepsi lainnya. Obat ini dapat diberikan
secara siklik (sebagaimana penggunaan sebagai obat KB) atau secara kontinyu.
Pemberian secara kontinyu berarti tanpa pemberian jeda untuk menstruasi.
Pemberian secara kontinyu dapat dilakukan jika pemberian secara siklik tidak
berhasil mengurangi nyeri.1,5

Progestin

8
Progestin merupakan salah satu agen yang juga digunakan pada
penatalaksanaan endometriosis. Progestin bekerja dengan melawan kerja dari
estrogen pada endometrium sehingga terjadi desidualisasi awal dan atropi
endometrium lebih lanjut. Beberapa contoh regimennya adalah progestin oral,
DMPA, IUD yang melepaskan levonogestrel, dan selective progesterone-receptor
modulators (SPRMs). Efek samping yang perlu diperhatikan pada pemberian
progestin berupa MPA antara lain adalah jerawat, edema, berat badan meningkat,
dan perdarahan menstruasi yang tidak teratur. MPA dapat diberikan dengan dosis
antara 20-100 mg perhari. Pemberian juga dapat diberikan dengan depot dosis 150
mg tiap 3 bulan melalui suntikan secara IM. Dalam bentuk DMPA atau depot
MPA, kembalinya menstruasi normal dan ovulasi lebih lama dibanding pemberian
secara oral sehingga perlu dipertimbangkan pada wanita yang hendak
merencanakan kehamilan.1,5

Danazol
Danazol, merupakan suatu sintesis androgen yang dapat mengekan LH
surge sehingga terjadi kondisi anovulasi kronis. Danazol menempati reseptor pada
SHBG (sex hormone binding globulin) sehingga meningkatkan kadar testosteron
bebas dalam serum serta mengikat langsung pada reseptor andoren dan
progesteron. Dengan begitu, danazol dapat menciptakan kondisi hipoestrogen,
hiperandrogen serta menginduksi atrofi endometrium pada implan endometriosis.
Danazol dapat diberikan pada dosis 200 mg secara oral, tiga kali sehari. Efek
samping yang dapat muncul pada pemberian danazol antara lain adalah jerawat,
hirsutism, perubahan profil lipid, suara lebih dalam (kebalikan dari suara wanita
yang tinggi), peningkatan enzim hati, dan perubahan mood. Pengobatan dengan
danazol sebaiknya dilakukan bersamaan dengan kontrasepsi efektif.5

GnRH agonis

9
GnRH endogen yang dilepaskan secara pulsatif menyebabkan aktifitas
gonadotrof pada pituitari anterior eshingga terjadi steroidogenis ovarium dan
ovulasi. Namun, jika diberikan secara kontinyu terjadi desensitisasi pituitari dan
hambatan steroidogenis ovarium. Dengan begitu akan terjadi kondisi
hipoestrogenik selama tatalaksana.5
Pemberian GnRH agonis bermanfaat bagi perbaikan nyeri yang dirasakan oleh
pasien. Namun, perlu diperhatikan bahwa kondisi hipoestrogenik dalam jangka
panjang dapat menyebabkan terjadinya insomnia, hot flush, penurunan libido,
kekeringan vagina, dan sakit kepala. Yang tidak kalah penting adalah resiko
terjadinya penurunan massa tulang. Oleh karena itu, pemberian estrogen tambahan
dalam bentuk kontrasepsi oral kombinasi dapat diberikan untuk menghasilkan add
back therapy. Norethindrone acetate dosis 5 mg oral perhari dapat digunakan
sebagai regimen penghasil add back therapy. Pemberian dapat dilakukan dengan
atau tanpa estrogen konjugasi dengan dosis 0,625 mg perhari selama 12 bulan.5

Penatalaksaan Bedah
Pembedahan pada kasus endometriosis juga dilakukan untuk membantu
meredakan nyeri. Beberapa tindakan bedahnya antara lain adalah pembuangan lesi
dan adhesiolisis, reseksi endometrioma, neurektomi presacral hingga histerektomi
dengan bilateral ooforektomi. Karena metode utama diagnosis endometriosis
adalah laparoskopi, tatalaksana bedah pada saat penegakan diagnosis dapat
menjadi pilihan.5

2.6 Peran GnRH agonist


2.6.1 Definisi dan jenis

10
GnRH (Gonadotropin releasing hormone) merupakan struktur dekapeptida
yang disintesis di daerah nukleus arkuatus hipotalamus. Pada hipotalamus dapat
ditemukan dua pusat yang berbeda fungsinya. Pusat-pusat ini merupakan pusat
tonik di daerah ventromedial nukleus arkuatus dan pusat siklik di daerah
preoptikus dekat nukleus suprakiasmatika. Pusat siklik berfungsi mengatur
pengeluaran LH pada per-tengahan siklus haid, sedangkan pusat tonik mengatur
kebutuhan basal harian hormon gonadotropin. Melalui inti-inti tersebut, GnRH
disekresikan ke hipofisis melalui jalur sirkulasi portal hipofisis-hipotalamus dan
berikatan dengan reseptor permukaan sel gonadotropin di hipofisis anterior.7,8
Analog GnRH yaitu agonis dan antagonis yang memiliki dua tipe cara
bekerja yang berbeda. GnRH menstimulasi gonadotropin dari pituitary anterior
dan berguna untuk induksi ovulasi. GnRH agonis memiliki potensial lebih tingi
dan waktu paru lebih panjang dari GnRH. GnRH agonis menghasilkan sekresi
FSH dan LH dan respons gonad. Respons ini diikuti oleh inhibisi aksis pituitary
dan gonad serta berkurangnya jumlah reseptor karena kadar hormone yang
berlebih.7,8 Dibandingkan dengan GnRH antagonis yang dengan segera menekan
gonadotropin di pituitary dengan melakukan kompetisi reseptor GnRH.9
Perbandingan kerja kedua analog tersebut dapat dilihat dibawah ini.

Gambar 5. Perbandingan mekanisme kerja GnRH agonis dan antagonis7


Operasi adalah pengobatan lini pertama yang digunakan untuk terapi
endometriosis. Pada umumnya GnRH agonis digunakan untuk mengontrol gejala
endometriosis dan menjegah rekurensi post operasi. Namun efek dari GnRH

11
agonis, seperti pasien merasa kepanasan, berkeringan, kekeringan pada vagina,
osteoporosis dan perdarahan vagina masih sering terjadi. Berdasarkan pedoman
konvensional, GnRH agonis direkomendasikan untuk terapi post operasi selama
menstruasi. Pengalaman klinis menunjukan bahwa Terapi GnRH 3-5 hari setelah
operasi efektif untuk mengatasi gejala dan mencegah endometriosis kembali.10

2.6.2 Mekanisme kerja GnRH agonist dalam Endometriosis


Endometriosis adalah jaringan endometrium yang terdapat di luar kavum
uteri seperti di organ genitalia interna, vesika urinaria, usus, peritoneum, paru,
umbilikus bahkan dapat dijumpai di mata dan otak. Di tempat tersebut, lesi
endometriosis tetap dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron, sehingga
pada waktu haid akan dirasakan nyeri yang hebat, karena darah haid tadi tidak
dapat keluar melalui jalan yang semestinya seperti kanalis servikalis dan vagina.
GnRH agonis sangat kuat menekan produksi estrogen, sehingga kadarnya dalam
darah menyerupai kadar estrogen pada wanita menopause. Kombinasi pengobatan
laparoskopi operatif dengan GnRH agonis merupakan pengobatan yang paling
banyak dipilih dan paling rendah angka residifnya.8
Endometriosis disebabkan oleh estrogen, akibat stimulasi hipotalamus-
pituitari dari produksi esterogen dari ovarium. Sebagai tambahan, jaringan
endometriotik bergantung pada adanya estrogen untuk pertumbuhan dan
pertahanannya.11 Endometriosis juga bertanggung jawab pada stimulasi berbagai
aspek sistem imun, sistem saraf, dan sistem endokrin. GnRH agonis menginhibisi
sekresi FSH, mencegah produksi estrogen dari ovarium dan menyebabkan status
hipoestrogen. Hal ini menghambat perkembangan, pertahanan, dan pertumbuhan
dari endometriosis, yang sebaliknya akan menyebabkan perubahan pada efeknya
di imun, saraf, dan sistem endokrin. GnRH agonist bekerja juga dalam inhibisi
neoangiogenesis, meningkatkan reaktivitas fibrinolitik, dan reduksi inflamasi. Hal
ini menjelaskan bahwa GnRH dapat menurunkan formasi adhesi pada model
binatang, meskipun belum ada studi yang mempelajari hal tersebut pada manusia.
12,13

12
Gambar 6. Mekanisme GnRH agonis terhadap endometriosis11

2.6.3 Jangka penggunaan GnRH agonis


Kemampuan kelenjar hipofisis anterior untuk bereaksi terhadap pemberian
hormon GnRH tidak selalu sama. Cara perang-sangan pulsatil dengan interval

13
antara 60-90 menit akan menghasilkan peningkatan sekresi gonadotropin,
sedangkan cara perangsangan yang bersifat terus-menerus (non-pulsatil) akan
menyebabkan terhenti-nya produksi gonadotropin, setelah terlebih dahulu
mengalami periode perangsangan awal (initial stimulation/flare-up effect).8
Setelah pemberian GnRH agonis dosis tunggal, langsung terjadi kenaikan
tajam konsentrasi LH dan FSH. Konsentrasi maksimum dicapai setelah 4 jam,
diikuti dengan penurunan bertahap mencapai konsentrasi hingga di bawah nilai
normal setelah 2 minggu. Konsentrasi LH tetap ditekan di bawah batas deteksi
selama jangka waktu 7 minggu. Fungsi ovarium menunjukkan respon awal
terhadap lonjakan gonadotropin, di mana konsentrasi estradiol meningkat menjadi
seperti kadar pada masa folikular tengah atau akhir. Setelah 1-2 minggu
konsentrasi estradiol telah jatuh ke seperti pada keadaan pasca-menopause dan
tetap demikian sampai minggu keenam setelah pemberian dosis tunggal GnRH.7,8
Pada pasien yang melakukan operasi untuk terapi endometriosisnya,
GnRH agonis telah digunakan untuk menurunkan nyeri dan mempersingkat waktu
pengobatan ketika digunakan postoperasi selama 6 bulan.11

2.6.4 Perawatan
Terapi hormonal terutama dengan agonis GnRH harus diikuti dengan
pemberian add back therapy untuk mengurangi komplikasi yang ditimbulkan
akibat pemberian agonis GnRH yang lama. Beberapa penelitian mengemukakan
bahwa add back therapy tidak akan memperberat keluhan nyeri.8,14
Terapi add-back ini diberikan pada pasien yang menggunakan terapi
GnRH agonis untuk jangka waktu yang lama atau pada pasien yang diterapi
dengan GnRH agonis yang mengalami gejala hipoestrogen yang nyata. Pemberian
terapi addback ini sebaiknya dimulai 12 minggu setelah pemberian GnRH agonis,
yaitu dengan pemberian 0,75 mg estropiptate ditambah 0,7 mg norethindrone
yang diberikan pada hari ke-1 sampai hari ke- 14 setiap bulannya.8

14
Gambar 7. Estradiol threshold hypothesis. Gonadotropin-releasing hormone
(GnRH) agonis akan mengurangi konsentrasi estradiol ke kisaran pasca-
menopause (zona C). Oleh estrogen dan progesteron add back, konsentrasi
estradiol terkoreksi ke daerah threshold (zona B), di mana pertumbuhan kembali
dari mioma uteri tidak terjadi dan efek samping dan resorpsi tulang yang terjadi
menjadi terbatas dan dapat dicegah.8

2.6.5 Komplikasi
Pemberian GnRH berulang akan terus menghasilkan keadaan hipo-
estrogenism. Jadi di sini terlihat bahwa permulaan pemberian agonis GnRH tidak
terjadi penekanan fungsi hipofisis, justru memicu pengeluaran FSH dan LH dari
hipofisis (flare-up effect). Setelah beberapa hari sensitivitas hipofisis terhadap
rangsangan GnRH agonis terus berkurang yang menyebabkan penurunan LH,
FSH, serta estrogen dan progesteron (down regulation, desensititation).7,8
Kebanyakan efek samping dari terapi ini berkaitan dengan hipoestrogen
dan memberikan gejala vasomotor, insomnia, dan atrofi urogenital. Efek samping
lainnya adalah pusing, penurunan libido, perdarahan vaginal ireguler, depresi,
arthralgia, myalgia, iritabilitas, keleahan, dan penurunan elastisitas kulit. Banyak

15
dari efek samping ini dapat diobati dengan terapi add-back. Kehilangan densitas
mineral tulang telah terbukti mengganggu untuk pasien yang menggunakan GnRH
agonis. Rata-rata penurunan BMD kurang lbih 6% pertahun, hal ini menyebabkan
limitasi pada durasi penggunaan terapi GnRH agonis. Lebih lagi, ketika densitas
mineral tulang menurun substansial, penyembuhannya mungkin tidak akan selsai
hingga 6 tahun setelah tatalaksana. Efek samping lain yang sering terjadi adalah
gangguan ingatan. Sebuah studi menyatakan penggunaan GnRH agonis
menurunkan ingatan secara signifikan, dan mengenai 44% pasien yang
menggunakan. 7,11
Penggunaan steroids sebagai terapi umpan balik juga dapat memberikan
komplikasi lain. Penggunaan progesterone dosis tinggi dapat menyebabkan
pergantian mood, depresi, menurunnya kekencangan dada. Kombinasi dosis
rendah estrogen dan progestin sering menyebabkan perdarahan uterus ireguler.7,11

16
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Endometriosis dianggap sebagai penyakit yang bergantung pada esterogen,
sehingga salah satu pengobatan adalah dengan menekan hormon menggunakan
obat-obatan. Saat ini, pil kontrasepsi, progestin, GnRH agonis dan aromatase
inhibitor adalah tatalaksana medikamentosa endometriosis. Analog GnRH yaitu
agonis dan antagonis yang memiliki dua tipe cara bekerja yang berbeda. GnRH
menstimulasi gonadotropin dari pituitary anterior dan berguna untuk induksi
ovulasi. GnRH agonis menginhibisi sekresi FSH, mencegah produksi estrogen
dari ovarium dan menyebabkan status hipoestrogen. Hal ini menghambat
perkembangan, pertahanan, dan pertumbuhan dari endometriosis, yang sebaliknya
akan menyebabkan perubahan pada efeknya di imun, saraf, dan sistem endokrin.
GnRH agonist bekerja juga dalam inhibisi neoangiogenesis, meningkatkan
reaktivitas fibrinolitik, dan reduksi inflamasi. Hal ini menjelaskan bahwa GnRH
dapat menurunkan formasi adhesi pada model binatang, meskipun belum ada
studi yang mempelajari hal tersebut pada manusia.
Operasi adalah pengobatan lini pertama yang digunakan untuk terapi
endometriosis. Pada umumnya GnRH agonis digunakan untuk mengontrol gejala
endometriosis dan menjegah rekurensi post operasi. Berdasarkan pedoman
konvensional, GnRH agonis direkomendasikan untuk terapi post operasi selama
menstruasi. Kombinasi pengobatan laparoskopi operatif dengan GnRH agonis
merupakan pengobatan yang paling banyak dipilih dan paling rendah angka
residifnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Suparman, E. Penatalaksanaan Endometriosis. Jurnal Biomedik. Vol. 4.


2012; 2: 69-78.
2. Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Indonesia. Konsensus
Tatalaksana Nyeri Haid Pada Endometriosis. POGI. 2013: 5-32.
3. Macer, M L dan Hugh S T. Endometriosis and Infertility: A review of the
Pathogenesis and Treatment of Endometriosis-Associated Infertility. Obstet
Gynecol Clin North Am. 2012; 39 (4): 535-549.
4. Donnez, J, Frederic C, dan Michelle N. The Efficacy of Medical and Surgical
Treatment of Endometriosis-Associated Infertility: Arguments in Favour of a
Medico-Surgical Aproach. Human Reproduction Update. 2002; 8: 89-94.
5. Leyland N, Casper R, Laberge P, Singh SS, Allen L, Arendas K,
Allaire C, Awadalla A, Best C, Contestabile E, Dunn S. Endometriosis:
diagnosis and management. Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada.
2010 Jul 1;32(7):S1-3.
6. Peterson CM, Johnstone EB, Hammoud AO, Stanford JB, Varner
MW, Kennedy A, Chen Z, Sun L, Fujimoto VY, Hediger ML, Louis GM.
Risk factors associated with endometriosis: importance of study population
for characterizing disease in the ENDO Study. American journal of obstetrics
and gynecology. 2013 Jun 30;208(6):451-e1.
7. Rosario DJ, Davey P, Green J, Greene D, Turner B, Payne H, et al.
The role of gonadotrophin-releasing hormone antagonists in the treatment of
patients with advanced hormone-dependent prostate cancer in the UK. World
J Urol. 2016;34(12):1601–9.
8. Suparman E, Smf B, Kedokteran F, Sam U, Manado R, Prof R, et
al. Peran GnRH agonis. Biomedik (JBM). 2016;8(1):1–7.
9. Kumar P, Sharma A. Gonadotropin-releasing hormone analogs:
Understanding advantages and limitations. J Hum Reprod Sci [Internet].
2014;7(3):170. Available from: http://www.jhrsonline.org/text.asp?
2014/7/3/170/142476
10. Gong L, Zhang S, Han Y, Long Q, Zou S, Cao Y. Initiation of GnRH agonist
treatment on 3-5 days postoperatively in endometriosis patients: A

18
randomized controlled trial. J Clin Pharmacol. 2015;55(8):848–53.
11. Olive DL. Gonadotropin-Releasing Hormone Agonists for Endometriosis. N
Engl J Med [Internet]. 2008;359(11):1136–42. Available from:
http://www.nejm.org/doi/abs/10.1056/NEJMct0803719
12. Hadisaputra W, Feharsal Y. Adhesion Prevention in Operative Laparoscopy.
Indones J Obs Gynecol 2010; 2010;34(4):204–7.
13. Khan HL, Khan YL, Sardar S, Khawaja AR. Impact of GnRH Agonists and
GnRH Antagonists on Embryo Quality, Endometrial Thickness and
Pregnancy Rate in In-vitro Fertilization. 2016;5(3):107–11.
14. Dun EC, Taylor HS. Elagolix: a promising oral GnRH antagonist for
endometriosis-associated pain. Oncotarget [Internet]. 2017;8(59):99219.
Available from: http://www.oncotarget.com/fulltext/22381

19

You might also like