You are on page 1of 7

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang menjadi masalah

kesehatan di seluruh dunia karena prevalensinya tinggi (Lidya, 2009).

Hipertensi disebut juga sebagai The Silent Killer,karena tidak menampakkan

gejala yang khas. WHO memperkirakan sekitar 30% penduduk dunia tidak

menyadari adanya hipertensi (Susilo & Wulandari, 2011). Hipertensi

merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkolusis, yakni

mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia

(Kemenkes, 2010). Meskipun semua umur beresiko terkena hipertensi, namun

yang lebih beresiko tinggi terkena hipertensi adalah Lansia (Lanjut usia),

karena tekanan darah pada lansia akan cenderung lebih tinggi sehingga lansia

lebih besar beresiko terkena hipertensi (tekanan darah tinggi). Bertambahnya

umur mengakibatkan tekanan darah meningkat karena dinding arteri pada

lansia akan mengalami penebalan yang mengakibatkan penumpukan zat

kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah berangsur-angsur

menyempit dan menjadi kaku (Anggraini, dkk, 2009).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Nasional (2007), prevalensi

hipertensi di Indonesia (31,7%), lebih tinggi jika di bandingkan dengan

Singapura (27,3%), Thailand (22,7%) dan Malaysia (20%) (Hartono, 2011).

Analisis prevalensi yang dilakukan oleh Puslitbang dan Kebijakan Kesehatan

(2008), menunjukkan bahwa 34,9% penduduk Indonesia menderita hipertensi


2

(Palmer, 2007). Menteri kesehatan DR. dr. siti Fadilah Supari, Sp. Jp (K)

menyatakan, prevalensi hipertensi di Indonesia rata-rata daerah urban dan

rural berkisar 17-21% (Kusumah, 2010). Menurut Dinkes Kabupaten

Banyuwangi tahun 2010 sebanyak 1171 jiwa. Prevalensi yang menderita

penyakit hipertensi di Banyuwangi cenderung meningkat, prevalensi sebesar

1,7% (6098) meningkat menjadi 2,6% (7244) pada tahun 2011 (Departemen

Kesehatan RI, 2006). Dari hasil studi pendahuluan peneliti pada tanggal 10

April 2015 di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Banyuwangi, didapatkan

data bahwa dari jumlah total 71 orang lansia, sebanyak 37 (52%) orang

menderita hipertensi. Dan yang mengikuti senam lansia hanya 20 orang setiap

minggunya, itupun tidak rutin dilakukannya (Lina Agustina, 2012).

Hipertensi dapat menyebabkan komplikasi yang berbahaya jika tidak

ditangani dengan baik (Tierney, 2009). Hipertensi dapat menimbulkan

komplikasi penyakit berupa gangguan pada otak, system kardiovaskuler,

ginjal dan mata. Hipertensi yang terjadi dalam jangka waktu lama dapat

menyebabkan stroke, serangan jantung, gagal jantung dan merupakan

penyebab utama gagal ginjal kronik (Purnomo, 2009).

Data survey Kusmana (2006) pada penderita hipertensi di Indonesia

menunjukkan 60% tatalaksana terapi menggunakan obat-obatan, 30%

menggunakan herbal terapy dan 10% fisikal terapy.

Menurut WHO, dari 50% penderita hipertensi yang diketahui, 25%

mendapatkan pengobatan dan hanya 12,5% yang diobati dengan baik.

Pengobatan penderita hipertensi belum efektif karena sering terjadi

kekambuhan serta menimbulkan efek samping berbahaya dalam jangka waktu


3

yang panjang (Dicky, 2011). Hal ini yang mendorong para ilmuwan untuk

mengembangkan terapi non farmakologis.

Terapi non farmakologis dapat digunakan sebagai pelengkap untuk

mendapatkan efek pengobatan farmakologis (obat anti hipertensi) yang lebih

baik (Dalimartha, 2008). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa

penatalaksanaan nonfarmakologis merupakan intervensi yang baik dilakukan

pada setiap pengobatan hipertensi (Brunner & Suddarth, 2008).

Terapi nonfarmakologis terbukti dapat mengontrol dan

mempertahankan tekanan darah agar tidak semakin meningkat berdasarkan

beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan para peneliti dan mahasiswa

dibidang ilmu keperawatan dan kesehatan tahun 2011 dan 2012.

Kurangnya aktifitas fisik menaikkan resiko serangan darah tinggi

(hipertensi) karena bertambahnya resiko menjadi gemuk (obesitas). Orang-

orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan

otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin

keras dan sering jantung harus memompa, semakin besar pula kekuatan yang

mendesak arteri (Rohaendi, 2008). Hans peter (2009) mengemukakan bahwa

kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan

arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari

berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi

semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri. Dinding

yang kini tidak elastis, tidak dapat lagi mengubah darah yang keluar dari

jantung menjadi aliran yang lancar. Hasilnya adalah gelombang denyut yang
4

tidak terputus dengan puncak yang tinggi (sistolik) dan lembah yang dalam

(diastolik) (Wolff, 2008).

Data dari Dr. Sadoso Sumosardjuno, DSOR (2010) dalam jurnalnya

Jalan Kaki Sehat Tanpa Cedera, menunjukkan bahwa berjalan kaki 20-30

menit antara 4-5 km dapat membakar lemak dan memiliki efek psikologis.

Psikologis tenang akan menghambat peningkatan produksi angiotensin dan

produksi adrenalain yang berlebih sehingga jantung tidak berdebar-debar dan

peningkatan tekanan darah dapat ditekan sehingga peredaran darah akan

menjadi lancar. 67% pria dan 91% wanita dapat mencapai denyut nadi dalam

zona latihannya saat berjalan 1,6 km secepat-cepatnya yang dapat mereka

lakukan. 18% dari berjalan kaki meningkatkan konsumsi O2 saat berjalan dan

menurunkan konsumsi O2 saat istirahat (pernafasan setabil). Berbeda dengan

olahraga, penderita hipertensi tidak semuanya mampu melakukan sebab telah

dipahami tidak semua olahraga akan memberikan efek yang positif apalagi

dengan gangguan tekanan darah (Cooper, 2010). Bryant Stamford.Ph.D.

dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa olahraga endurance seperti jalan

kaki, jalan cepat, lari dan aerobic, dapat menurunkan tekanan sistolik maupun

diastolic pada orang yang mempunyai tekanan darah tinggi. Jalan kaki

menimbulkan efek seperti beta blocker yang dapat menenangkan system saraf

simpatikus dan melambatkan denyut jantung. Penelitian dr. Duncan

membuktikan, latihan atau olahraga seperti jalan kaki akan menurunkan

jumlah keluaran hormon norepinefrin (noradrenalin) dan hormon-hormon lain

yang menyebabkan stress, yaitu yang menyebabkan pembuluh-pembuluh

darah menciut dan menaikkan tekanan darah (Sadoso Sumosardjuno, 2010)


5

Dari latar belakang di atas penulis bermaksud melakukan penelitian

tentang “Pengaruh Jalan Kaki 30 Menit Terhadap Kestabilan Tekanan Darah

Pada Lansia Penderita Hipertensi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia

Kecamatan Glenmore Kabupaten Banyuwangi Tahun 2015.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut diatas, maka dapat

dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

Adakah pengaruh jalan kaki 30 menit terhadap kestabilan tekanan darah pada

lansia penderita hipertensi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kecamatan

Glenmore Kabupaten Banyuwangi tahun 2015?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh jalan kaki 30 menit terhadap kestabilan tekanan

darah pada lansia penderita hipertensi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut

Usia Kecamatan Glenmore Kabupaten Banyuwangi tahun 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi tekanan darah pada lansia penderita hipertensi

sebelum dilakukan terapi jalan kaki 30 menit.

2. Mengidentifikasi tekanan darah pada lansia penderita hipertensi

sesudah dilakukan terapi jalan kaki 30 menit.

3. Menganalisis “Pengaruh jalan kaki 30 menit terhadap kestabilan

tekanan darah pada lansia penderita hipertensi di UPT Pelayanan


6

Sosial Lanjut Usia Kecamatan Glenmore Kabupaten Banyuwangi

tahun 2015.”

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Diharapkan hasil penelitian ini menjadi bekal ilmu sebagai calon

perawat professional dan memberikan wawasan baru akan

informasi penatalaksanaan olah fisik pada kasus hipertensi

sehingga dapat meningkatkan daya kreatifitas diri.

1.4.2 Ilmu Keperawatan dan Profesi Keperawatan

Melengkapi konsep-konsep intervensi keperawatan dalam

penyusunaan Asuhan Keperawatan untuk pengendalian penyakit

Hipertensi.

1.4.3 Keperawatan Komunitas dan Keluarga

Menjadi dasar atau acuan untuk menetapkan program pengendalian

hipertensi dalam kegiatan Health Education dan Health Therapy.

1.4.4 Bagi Masyarakat

1. Bagi para pembaca dan penderita hipertensi adalah

memberikan informasi baru tentang alternatif non-farmakologi

untuk menjaga kestabilan tekanan darah bagi diri mereka.

2. Keluarga dengan anggota keluarga yang menderita Hipertensi

dapat termotivasi untuk melakukan olah fisik dan memberi

dorongan kesembuhan bagi si penderita.


7

1.4.5 Instansi Pendidikan

Untuk menambah referensi baru dalam mengembangkan ilmu

keperawatan terutama tentang tentang hipertensi melalui olah fisik

berjalan kaki.

You might also like