Professional Documents
Culture Documents
Menahan Amara1
Menahan Amara1
Khutbah Pertama:
Khotib mewasiatkan kepada diri khotib pribadi dan jamaah sekalian agar senantiasa
bertakwa kepada Allah. Beriman kepada semua apa yang datang dari Allah.
Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan”. [Quran Yunus: 58].
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, seorang lelaki berkata kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku wasiat.” Beliau menjawab, “Janganlah
engkau marah.” Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (selalu) menjawab, “Janganlah engkau marah.” (HR.
Bukhari, no. 6116).
Nasihat ini juga sangat tepat untuk kondisi kita saat ini. Terkadang kita begitu mudah
marah di jalan. Begitu mudah marah pada anggota keluarga, tetangga, dll. Hanya
karena permasalahan yang sepele.
Menahan amarah adalah akhlak mulia. Ketika seseorang menahan amarahnya, maka
Allah akan membalasnya dengan menahan murka kepada hamba tersebut atas dosa
yang ia lakukan. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Abdullah bin Amr
radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apa yang bisa menjauhkanku dari murka Allah?” Beliau bersabda, “Jangan marah.”
(HR. Ahmad).
Kita sering berbicara tentang akhlak yang mulia. Tapi, terkadang kita tidak tahu apa
bentuk akhlak mulia itu. Sebagian orang mengartikan akhlak mulia dan amalan yang
paling utama hanya dalam tataran suka menolong, meringankan beban orang lain,
atau hal semisal itu. Kalau hanya demikian, sempit sekali cakupan akhlak mulia itu.
Seorang tabi’ tabi’in yang mulia, Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah pernah
ditanya, “Jelaskan kepada kami tentang akhlak mulia dalam satu kalimat.” Beliau
menjawab, “Tidak marah.”
Tidak marah atau tidak mudah marah merupakan amalan yang di dalamnya
terkandung banyak akhlak mulia. Seperti: Memiliki pribadi yang mulia. Tenang.
Memiliki rasa malu. Rendah hati. Tidak menyakiti orang. Pemaaf. Pribadi yang
hangat. Dan lain-lain.
Karena itu, agama kita menuntunkan agar seseorang mampu menahan amarah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Agama kita juga memuji orang-orang yang mampu menahan amarah dan mencela
orang yang mudah marah. Rasulullah menyebut orang yang kuat adalah mereka yang
mampu menahan amarah. Orang yang kuat, bukanlah orang yang melampiaskan
marahnya. Berkelahi dengan seseorang kemudian dianggap menang. Beliau bersabda,
Setelah mengetahui yang demikian, tentu kita tidak akan membiarkan setan senang
dan bahagia karena kita begitu mudah marah. Selayaknya bagi kita menjauhi hal-hal
yang buruk ini dan mudah memaafkan.
Khutbah Kedua:
Setelah mengetahui bahwa marah itu merupakan perbuatan buruk dan dapat
menimbulkan keburukan lainnya. Tentu selayaknya kita menyikapi sesuatu yang
tidak menyenagkan dengan memaafkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr -seorang pengajar tetap di Masjid
Nabawi- mengatakan, “Betapa mulia dan agung sifat memaafkan orang lain yang
menyakitinya. Ia sadar dirinya tidak sama dengan orang yang menyakitinya. Inilah
hakikat mulia dan wibawa.”
“Semoga Allah mengisi kuburan mereka dan rumah mereka dengan api neraka.
Sebagaimana mereka telah menyibukkan kami dari shalat wushta hingga matahari
terbenam” (HR. Bukhari).
Artinya, marah itu boleh dalam syariat Islam. Hanya saja marah pada tempat yang
tepat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah terkait masalah agama dan
memaafkan dalam masalah pribadi. Berbeda dengan kita, kita cepat sekali marah
kalau itu berkaitan dengan pribadi kita. Tapi kalau dengan masalah agama kita tidak
peduli.
Adakah orang yang marah, atau memberikan teguran ketika rapat di tempat kerjanya
menunda shalat? Bahkan kita sendiri yang menyengajakan diri menunda shalat.
Semoga Allah Ta’ala memberi petunjuk kepada kita dan memperbaiki semua amalan
kita.
Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa menahan amarah sehingga kita menjadi
orang-orang yang dipenuhi keridhaan Allah kelak di hari kiamat.