You are on page 1of 6

Menahan Amarah

Khutbah Pertama:

 Alhamdulillahi ladzi nahmaduhu wanastainuhu wanastaghfiruhu


wanaudhu billahi min syururi anfusyina wamin syayyiati a’malina man
yahdillahi fala mudhilla lahu waman yudhlil fala hadiyalah
 Ashadu ala ilaha illallah wahdahu lasyarika lahu wa Ashadu ana
Muhammadan abduhu wa rasuluhu lanabiyya ba’dah.
 Allahumma Sholli wassalim ala nabiyyina muhammadin wa ala alihi
washohbihi ajmain. Amma ba’du
 faya ibadallah ittaqullaha haqqa tuqotihi wala tamutunna illa wa antum
muslimun
Jamaah Jumat yang di rahmati Allah SWT

Khotib mewasiatkan kepada diri khotib pribadi dan jamaah sekalian agar senantiasa
bertakwa kepada Allah. Beriman kepada semua apa yang datang dari Allah.
Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Hendaknya seseorang bahagia dengan hidayah Allah yang diberikan kepada-Nya.


Karena masih banyak saudara-saudara kita di luar sana yang masih sibuk dengan
aktivitas dunia dan meninggalkan shalat Jumat. Apakah mereka kira, materi dunia itu
akan membuat mereka kekal? Apakah mereka kira kalau ajal menjemput, usia untuk
beribadah ini bisa dibeli dengan uang mereka? Sehingga mereka menyia-nyiakan
kewajiban. Oleh karena itu, patutlah kita bersyukur kepada Allah yang memberi
hidayah kepada kita. Meluangkan waktu yang tidak banyak, untuk memenuhi
kewajiban yang mulia ini. Allah Ta’ala berfirman,

Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan”. [Quran Yunus: 58].

Jamaah Jumat yang di rahmati Allah SWT

Dalam beberapa kesempatan, banyak sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


datang kepada beliau untuk meminta nasihat. Beliau menjawab permintaan-
permintaan nasihat tersebut dengan nasihat yang beragam. Terkadang, jawaban
tersebut dilatar-belakangi oleh kondisi orang tersebut. Terkadang, beliau ingin
menunjukkan suatu perkara penting yang disepelekan banyak orang. Di antara nasihat
tersebut adalah nasihat untuk menguasai diri agar tidak mudah marah.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, seorang lelaki berkata kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku wasiat.” Beliau menjawab, “Janganlah
engkau marah.” Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (selalu) menjawab, “Janganlah engkau marah.” (HR.
Bukhari, no. 6116).

Nasihat ini juga sangat tepat untuk kondisi kita saat ini. Terkadang kita begitu mudah
marah di jalan. Begitu mudah marah pada anggota keluarga, tetangga, dll. Hanya
karena permasalahan yang sepele.

Menahan amarah adalah akhlak mulia. Ketika seseorang menahan amarahnya, maka
Allah akan membalasnya dengan menahan murka kepada hamba tersebut atas dosa
yang ia lakukan. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Abdullah bin Amr
radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apa yang bisa menjauhkanku dari murka Allah?” Beliau bersabda, “Jangan marah.”
(HR. Ahmad).

Kita sering berbicara tentang akhlak yang mulia. Tapi, terkadang kita tidak tahu apa
bentuk akhlak mulia itu. Sebagian orang mengartikan akhlak mulia dan amalan yang
paling utama hanya dalam tataran suka menolong, meringankan beban orang lain,
atau hal semisal itu. Kalau hanya demikian, sempit sekali cakupan akhlak mulia itu.

Seorang tabi’ tabi’in yang mulia, Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah pernah
ditanya, “Jelaskan kepada kami tentang akhlak mulia dalam satu kalimat.” Beliau
menjawab, “Tidak marah.”

Jamaah Jumat yang di rahmati Allah SWT

Tidak marah atau tidak mudah marah merupakan amalan yang di dalamnya
terkandung banyak akhlak mulia. Seperti: Memiliki pribadi yang mulia. Tenang.
Memiliki rasa malu. Rendah hati. Tidak menyakiti orang. Pemaaf. Pribadi yang
hangat. Dan lain-lain.

Sedangkan mudah marah mengumpulkan banyak kejelekan. Bahkan marah bisa


menimbulkan dosa lain yang lebih besar. Seperti perkelahian sampai akhirnya terjadi
pembunuhan, wal’iyadzubillah.

Karena itu, agama kita menuntunkan agar seseorang mampu menahan amarah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang meninggalkan amarahnya, niscaya Allah akan tutup aurat


(kesalahan)-nya. Barangsiapa yang menahan amarahnya padahal ia mampu
melakukannya, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan memenuhi hatinya dengan rasa
aman pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Asakir).

Agama kita juga memuji orang-orang yang mampu menahan amarah dan mencela
orang yang mudah marah. Rasulullah menyebut orang yang kuat adalah mereka yang
mampu menahan amarah. Orang yang kuat, bukanlah orang yang melampiaskan
marahnya. Berkelahi dengan seseorang kemudian dianggap menang. Beliau bersabda,

“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya


dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya)
adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (Bukhari dan Muslim).

Melampiaskan amarah di tempat-tempat umum. Meluapkan emosi di jalan karena


terjadi sedikit senggolan. Di perkantoran karena menganggap orang melecehkan
dirinya. Dan lain-lain. Adalah membuat harga diri kita turun. Tidak ada orang yang
memuji. Dan mengganggu ketertiban. Sama sekali tidak ada kebaikannya.

Dalam sabdanya yang lain, marah adalah dari setan.


“Sesungguhnya amarah itu dari setan dan setan diciptakan dari api. Api akan padam
dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudh.” (HR.
Ahmad dan selainnya).

Setelah mengetahui yang demikian, tentu kita tidak akan membiarkan setan senang
dan bahagia karena kita begitu mudah marah. Selayaknya bagi kita menjauhi hal-hal
yang buruk ini dan mudah memaafkan.

 Aqulu qouli hadha wa astaghfirullahal Adhim,


 li walakum wa lisyairil muslimin walmuslimati min kulli dzanbin
 fastaghfiruhu innahu huwal ghafururrohim.

Khutbah Kedua:

 Alhamdulillahilladzi Arsala rasulahu bil huda wadinil haqq liyud-hirahu


aladdini kullihi wakafa billahi syahidan.
 Ashadu ala ilaha illallah wahdahu lasyarikalahu wa ashadu anna
muhammadan abduhu wa rasuluhu la nabiyya ba’da.
Jamaah Jumat yang di rahmati Allah SWT

Setelah mengetahui bahwa marah itu merupakan perbuatan buruk dan dapat
menimbulkan keburukan lainnya. Tentu selayaknya kita menyikapi sesuatu yang
tidak menyenagkan dengan memaafkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

“Tidaklah Allah menambahkan kepada orang yang mau memaafkan melainkan


kemuliaan.” (HR. Muslim no. 2588).

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr -seorang pengajar tetap di Masjid
Nabawi- mengatakan, “Betapa mulia dan agung sifat memaafkan orang lain yang
menyakitinya. Ia sadar dirinya tidak sama dengan orang yang menyakitinya. Inilah
hakikat mulia dan wibawa.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diperlakukan kasar oleh seseorang.


Kain di leher beliau ditarik hingga leher beliau memerah. Ternyata orang tersebut
meminta jatah zakat untuknya. Beliau tidak membentak orang tersebut. Dan memberi
apa yang dia minta. Beliau tidak marah kalau pribadi beliau disakiti. Tapi kalau
agama ini yang dihinakan barulah beliau marah. Beliau pernah mengutuk orang-
orang musyrikin. Saat itu orang-orang musyrik memerangi Rasulullah. Beliau
menghadapi mereka sehingga menunda shalat ashar hingga menjelang maghrib.
Beliau kutuk orang-orang tersebut dengan mengatakan,

“Semoga Allah mengisi kuburan mereka dan rumah mereka dengan api neraka.
Sebagaimana mereka telah menyibukkan kami dari shalat wushta hingga matahari
terbenam” (HR. Bukhari).

Artinya, marah itu boleh dalam syariat Islam. Hanya saja marah pada tempat yang
tepat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah terkait masalah agama dan
memaafkan dalam masalah pribadi. Berbeda dengan kita, kita cepat sekali marah
kalau itu berkaitan dengan pribadi kita. Tapi kalau dengan masalah agama kita tidak
peduli.
Adakah orang yang marah, atau memberikan teguran ketika rapat di tempat kerjanya
menunda shalat? Bahkan kita sendiri yang menyengajakan diri menunda shalat.
Semoga Allah Ta’ala memberi petunjuk kepada kita dan memperbaiki semua amalan
kita.

Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa menahan amarah sehingga kita menjadi
orang-orang yang dipenuhi keridhaan Allah kelak di hari kiamat.

 Alhamdulillahi robbil alamin. Wassholatu wassalamu ala muhammadin wa


ala alihi wa shohbihi ajmain.
 Allahummaghfir lil muslimina wal muslimati wal mu’minina wal mu’minati
al akhyai minhum wal amwat innahu syamiun qoribun mujibudda’wat.
 Robbanaghfirlana dzunubana wa kaffir-anna syayyiatina watawaffana maal
abror.
 Robbanaghfirlana wala ikhwaninal ladzina syabaquna bil iman wala taj-al fi
qulubina ghillan lilladzina amanu robbana innaka roufun rokhim.
 Robbana la tuakhidna innasyina au akhtho’na. Robabana wala taghmil
alaina ishron kama khamaltahu alalladzina min qoblina. Robbana wala
tukhammilna mala thoqota lana bih, wa’fuanna waghfirlana warkhamna
anta maulana fansyurna alal qoumil kafirin.
 Robbana Atina Fiddunya khasanah wa fil akhiroti khasanah wa qina adza
bannar.
 Subhana Robbana Robbil Izzati Amma yasyifun wasalamun alal mursalin wal
khamdulillahi robbil alamin. Aqimus sholah

You might also like