Professional Documents
Culture Documents
M AKALAH
M AKALAH
Kriminalisasi
Sejak dahulu kala, telah dipermasalahkan saat timbulnya hukum. Biasanya, hal
ini dikaitkan dengan suatu tindakan dari peguasa yang berupa suatu penetapan. Di dalam
ilmu hukum adat, antara lain, dikenal ajaran-ajaran dari ter haar yang menyatakan, bahwa
hukum adat timbul sejak ada keputusan daripada pejabat fungsionaris hukum. Tetapi di lain
pihak ter haar juga mengakui, bahwa hukum adat timbul dari keputusan bersama dari para
warga masyarakat hukum adat.
Mungkin dapat diambil jalan tengah, yaitu bahwa sepanjang mengenai hukum
manusia, maka hal itu timbul sejak ada penetapan penguasa. Penetapan tersebut dapat
berupa penetapan tentang hukum yang telah hidup dalam masyarakat, maupun mencakup
hukum yang baru. Keputusan warga masyarakat adalah kabanyakan mengenai hukum
mengatur, misalnya hukum perjanjian.
Dekriminalisasi
Proses dekriminalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses, dimana suatu
prilaku yang semula dikualifikasikan sebagai peristiwa pidana dan dikenakan sanksi negatif
di bidang pidana, kemudian kemudian dihapuskan kualifikasi pidananya dan sanksi
negatifnya. Dalam proses dekriminalisasi tidak hanya kualifikasi pidana yang dihapuskan,
akan tetapi juga sifat melawan atau melanggar hukumnya. Kecuali itu maka penghapusan
kualifikasi pidana dan sanksi-sanksi negatifnya tidak diganti dengan reaksi-reaksi sosial
lainnya yang diatur, misalnya dalam bentuk sanksi perdata atau administratif.
Suatu proses dekriminalisasi dapat terjadi karena beberapa sebab, seperti
misalnya (contoh-contoh dibawah ini tidak bersifat limitatif):
a. Suatu sanksi secara sosiologi merupakan persetujuan (sanksi positif) atau penolakan
terhadap pola prilaku tertentu (sanksi negatif). Ada kemungkinan bahwa nilai-nilai
masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap prilaku tertentu pula
mengalami perubahan, sehingga prilaku yang terkena sanksi-sanksi tersebut tidak
lagi ditolak.
b. Timbulnya keragu-raguan yang sangat kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan
penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu.
c. Adanya keyakinan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi
negatif tertentu sangat besar.
d. Sangat terbatasnya efektivitas dari sanksi-sanksi negatif tertentu, sehingga
penerapannya akan menimbulkan kepudaran kewibawaan hukum.
contoh-contoh
Contoh Kriminalisasi
Diungkapkan, belum lama ini kasus kriminalisasi menimpa Sadar bin Sawiyan (57), seorang
petani di Ciamis yang dihukum penjara 4 tahun oleh pengadilan. Padahal, menurut mereka,
Sadar hanyalah seorang petani penggarap yang berjuang mempertahankan hak atas tanah
garapannya. ”Sadar dan keluarganya hanya butuh hidup dari berladang, tapi justru jeruji besi
yang didapat. Ini tidak adil, negara telah menggunakan hukum untuk menindas hak asasi
petani. Kami minta Komnas HAM menggunakan kewenangannya untuk menangani masalah
ini,” tegasnya.
Itu sebabnya, Koordinator aksi Koalisi Penegak Keadilan, Arif Budiman menuntut kepada
pemerintah untuk membebaskan Sadar bin Sawiyan dari segala tuntutan hukum, sebab
tuduhan yang ditimpakan kepadanya tidak benar dan tidak pernah terungkap di persidangan.
Untuk itu, mereka meminta putusan Pengadilan Tinggi Bandung dibatalkan demi tegaknya
keadilan dan supremasi hukum di Indonesia. Di samping itu mereka juga menuntut
pemerintah melalui aparat-aparatnya untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi
terhadap para petani. ”Tolak semua kekerasan dan intimidasi yang dilakukan aparat negara
yang merugikan rakyat dan membuat masyarakat tidak merasa tenang di kampung
halamannya sendiri,” imbuhnya.
(sumber : KRIMINALISASI\stop-kriminalisasi-terhadap-petani.htm).
Tanggapan saya :
Kriminalisasi
Selasa, 3 November 2009 | 02:49 WIB
Beberapa hari ini saya bertemu sejumlah orang yang mengaku tak paham arti
”kriminalisasi”, terutama terkait kasus yang menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Bukan pertama
Sejauh ingatan saya, penggunaan kata ”kriminalisasi” dalam kasus KPK hari-hari ini
bukanlah yang pertama. Kata itu kerap digunakan kalangan aktivis pada era Orde Baru.
Yang paling dramatis adalah kriminalisasi penduduk Kedung Ombo, Jawa Tengah,
tahun 1985. Pemerintah membangun waduk untuk menjadi pembangkit listrik 22,5
megawatt dengan biaya dari Bank Dunia (156 juta dollar AS), Bank Exim Jepang (25,2
juta dollar AS), dan APBN 1985-1989. Untuk itu, 5.268 keluarga di 37 desa, tujuh
kecamatan di Kabupaten Sragen, Boyolali, dan Grobogan kehilangan tanahnya untuk
pembangunan waduk itu.
Namun, karena tiap meter persegi tanah penduduk hanya dihargai pemerintah setara
dengan satu batang rokok, penduduk menolak pembebasan tanahnya. Perlawanan ini
berkembang menjadi gerakan sosial melibatkan aktivis prodemokrasi dan mahasiswa
dari spektrum sosial, politik, dan ideologi beragam.
Pada era reformasi, kata ”kriminalisasi” beberapa kali digunakan beragam kalangan.
Saat penyerbuan kantor PDI (27 Juli 1996) kembali diungkit, kata ini sempat digunakan
kelompok penyokong tentara.
Ada yang merasa, penyebutan Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya
sebagai orang yang ikut merancang penyerbuan yang berbuah jatuhnya korban dan
meruaknya kerusuhan di Jakarta, sekadar misal, sebagai ”kriminalisasi” perwira tinggi.
Belakangan, kata ”kriminalisasi” ramai digunakan saat politisi Zaenal Maarif berurusan
dengan kasus pencemaran nama baik Presiden. Zaenal secara serampangan menyebut
Presiden sebagai pembohong karena tak mengakui, sebelum pernikahannya yang
sekarang pernah melakukan pernikahan lain. Presiden melaporkan fitnah Zaenal tadi ke
kepolisian.
Presiden melawan dan Zaenal terlanda bencana dan berkah beriringan. Bencana
datang dalam bentuk penyidikan, peradilan, dan ancaman pemenjaraan. Namun, berkah
datang karena Zaenal loncat pagar dari Partai Bintang Reformasi yang mengalami masa
senja kala ke Partai Demokrat yang sedang menyemai sukses.
Bibit-Chandra
Syukurlah, ternyata saya lumayan paham kata itu meski tak sepaham kawan-kawan di
Pusat Bahasa! Dengan pemahaman, saya memandang kasus penersangkaan dan
penahanan Bibit dan Chandra bukan saja kriminalisasi, tetapi juga kriminalisasi KPK.
Bahkan, prosesi penahanan sejak 29 Oktober lalu jelas menunjukkan cukup telanjang
”kriminalisasi media massa”.
Kriminalisasi Bibit-Chandra itu lalu menjadi drama lucu saat kepolisian tergagap-gagap
hingga saat ini untuk membuktikan bahwa mereka selain menyalahgunakan wewenang
juga terlibat praktik penyuapan. Kelucuan mencapai puncaknya saat berbagai pihak
yang disebut terlibat dalam praktik ini ramai-ramai membantah sangkaan polisi. Polisi
menghadiahi status tersangka bagi Bibit-Chandra sambil terus mencari-cari bukti yang
cukup.
Kriminalisasi
Sebuah institusi yang bekerja di atas landasan kokoh diperlakukan Kepala Kepolisian
(yang bekerja berdasar pembiaran oleh atasannya) sebagai penyedia fasilitas tindakan
kriminal.
Kriminalisasi juga menghantam media massa. Polisi menahan Bibit dan Chandra
dengan alasan obyektif (terkena ancaman hukuman di atas lima tahun) dan subyektif
(berpotensi melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatannya),
plus alasan khusus mempersulit penyidikan selama di luar tahanan karena kerap
mengadakan jumpa pers.
Kewarasan pikiran saya agak terganggu oleh keterangan itu. Bukankah dengan kerap
mengadakan jumpa pers, seseorang atau sekelompok orang jadi menampakkan diri di
depan publik sehingga mempersempit peluang yang bersangkutan untuk melarikan diri?
Bukankah Presiden sudah memberhentikan sementara Bibit dan Chandra dan
mencabut aneka kewenangannya sehingga keduanya mustahil mengulangi perbuatan
yang sama (menyalahgunakan wewenang itu)? Bagaimana mungkin Bibit-Chandra
sebagai tersangka bisa menghilangkan barang bukti jika polisi hingga kini masih sulit
menemukan barang-barang bukti itu?
Lalu, jika jumpa pers dipandang polisi sebagai menyulitkan penyidikan, proses
kriminalisasi media massa pun berlangsung. Media massa yang justru membantu publik
memahami peta kisruh polisi-KPK secara lebih baik justru dilecehkan sebagai alat
mempersulit penyidikan, seolah membangun persengkongkolan kriminal.
(sumber : KRIMINALISASI\Kriminalisasi.htm)
Contoh Dekriminalisasi
Dekriminalisasi Pers Tuntutan Zaman
oleh : Atmakusumah (Pengamat pers dan pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di
Jakarta)
Dekriminalisasi karya jurnalistik dalam media pers kini sudah menjadi tuntutan zaman yang
tidak terelakkan. Tuntutan ini tidak memungkinkan kita menarik kembali sejarah kebebasan
ke masa lampau. Kebebasan itu termasuk kebebasan pers, yang merupakan bagian dalam satu
paket yang tidak terpisahkan dari kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat yang
dimiliki oleh setiap warga, seperti para demonstran, aktivis advokasi, dan penceramah.
Perkembangan kebebasan di banyak negara sudah demikian jauh sehingga dipandang tidak
lagi wajar, bahkan tidak patut, untuk menjatuhkan sanksi hukum pidana penjara kepada para
pencipta karya pemikiran kreatif seperti karya jurnalistik, pendapat, atau ekspresi. Berkat
perjuangan yang sangat panjang dari para pendukung kebebasan, keterbukaan, dan
demokrasi, perkembangan itu kini amat berbeda dari, umpamanya, sikap para penguasa
pemerintahan lima abad yang lalu.
Ketika dunia cetak-mencetak barulah mengawali sejarahnya di Eropa sekira 500 tahun yang
silam, seorang pejabat tinggi Inggris memperingatkan, “Kita harus menghancurkan
percetakan. Jika tidak, percetakan akan menghancurkan kita.” Tetapi, para pencetak terus saja
mencetak segala rupa gagasan pada mesin cetak berukuran kecil dan sederhana. Ketekunan
ini hanyalah berbekal keyakinan pada kata-kata para pemikir besar bahwa “Kita harus
mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan membuat kita bebas.”
Di Inggris pada masa itu, mengritik raja, para menteri, dan parlemen dipandang sebagai
kejahatan. Hakim Agung Inggris malahan menetapkan, “Menulis masalah pemerintah—tidak
menjadi soal, apakah itu memuji atau mencela—adalah tindak kejahatan karena tidak seorang
pun berhak mengatakan sesuatu tentang pemerintah.” Hukuman bagi pelanggaran terhadap
ketetapan ini ialah memotong daun telinga, mengiris lidah, dan siksaan lainnya—bahkan
hukuman mati (Gertrude Hartman, Builders of the Old World).
Penindasan terhadap arus informasi dan pendapat di Inggris mencerminkan kekhawatiran di
Eropa bahwa percetakan telah menjadi alat untuk berekspresi dan melakukan pembaruan
melalui produk bacaan. Ketakutan demikian juga menyebar ke wilayah koloni Inggris di
Benua Amerika. Gubernur Inggris di Virginia, Sir William Berkeley, pada 1671 mengatakan
“berterima kasih kepada Tuhan” karena wilayah kekuasaannya terbebas dari kegiatan cetak-
mencetak (Edward C. Smith, A History of Newspaper Suppression in Indonesia, 1949—
1965).
Ketakutan itu pun menular ke Hindia Belanda 41 tahun kemudian. Seharusnya Indonesia
sudah memiliki surat kabar pertama pada 1712. Tetapi, De Heeren Zeventien, 17 direktur
VOC (Perserikatan Dagang Hindia Timur), di Nederland melarang rencana penerbitan surat
kabar itu di Batavia karena takut para pesaingnya memperoleh keuntungan dari berita
perdagangan yang dimuat di koran itu.
Barulah 32 tahun kemudian, pada 1744, pemerintah liberal dari Gubernur Jenderal Gustaaf
Willem Baron von Imhoff membolehkan penerbitan surat kabar pertama di negeri ini,
Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia).
Nasib koran pertama ini tetap buruk. Hampir dua tahun kemudian, pada 20 Juni 1746,
gubernur jenderal terpaksa membredelnya atas perintah para direktur VOC yang menganggap
koran itu “merugikan dan membahayakan.” Barangkali karena mereka ketakutan kepada para
pesaing dagang yang memperoleh informasi dari Bataviasche Nouvelles.
Setelah itu, pembredelan media pers hampir terus-menerus terjadi di Hindia Belanda.
Demikian pula pada masa penjajahan Jepang selama Perang Dunia Kedua dan malahan
setelah Indonesia merdeka. Pemberedelan terakhir kali terjadi pada 1994, 250 tahun sejak
kelahiran surat kabar pertama di negeri ini dan empat tahun sebelum pemerintahan Orde Baru
berakhir.
Tanggapan saya :
Dulunya Pers khususnya karya-karya jurnalistik dianggap sebagai suatu kejahatan, tetapi akibat
perkembangan zaman, hal tersebut sudah tidak demikian lagi, karena pers dianggap sebagai
dekriminalisasi dan sangat dibutuhkan sebagai penyalur berita. Apalagi dengan adanya Undang-
undang Pers telah memperjelas peranan dan fungsi pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dekriminalisasi Tawuran
Diterbitkan 3 Maret 2008 FreeTalk Tinggalkan a Komentar
Ketika perasaan mengalahkan logika maka akan menghasilkan ketidakmampuan. Hal itulah yang
sedang terjadi ketika mahasiswa Universitas Hasanudin dan Universitas Sam Ratulangi terlibat
tawuran di kampusnya masing-masing. Predikat mahasiswa yaitu “maha” dan “siswa” tidak dapat
membendung sifat anarkis mereka. Ketika mahasiswa dihadapkan menjadi agent of change, hal
tersebut dirasa terlalu diawang-awang.
Bagaimana mungkin, mereka dapat melakukan tindakan yang begitu bodohnya dengan tidak
mengindahkan kaedah-kaedah yang mereka dapatkan di bangku kuliah. Mirisnya lagi,
mahasiswa yang terlibat tawuran tersebut tidak sedikit yang datang dari Fakultas Hukum,
dimana rasionalitas dan norma hukum begitu terasa di kehidupan kampus. Apa yang mereka
dapatkan di bangku kuliah tidak dapat mereka terapkan di kehidupan sosial, sehingga apa
yang disebut sebagai tawuran antar kampus pasti selalu akan terjadi dan bahkan menjelma
menjadi tradisi.
Universitas Hasanudin telah memproklamirkan secara tidak langsung diri mereka sendiri
sebagai kampus pencetak generasi anarkis nasional. Tawuran hampir selalu terjadi di setiap
tahun, disetiap fakultas atau disetiap angkatan. Korban telah berjatuhan, mahasiswa telah
banyak dihukum dan diskors namun itu semua tidak dapat mengurangi tradisi buruk tersebut
karena sistem disana saya rasa justru mengesahkan (justifikasi) kekerasan.
Seperti yang Joseph Labadie katakan, “From my point of view the killing of another, except
in defense of human life, is archistic, authoritarian, and therefore, no Anarchist can commit
such deeds. It is the very opposite of what Anarchism stands for…”
Secara logika, jika telah banyak orang dihukum dan kerusuhan masih saja selalu terjadi, kita
pun sebagai seorang yang logis pasti akan memandang hal tersebut bukan kepada kesalahan
pelaku semata tapi karena ada suatu lingkungan atau sistem yang tercipta sedemikian rupa
yang membuatnya semakin benar.
Kriminalisasi atau suatu proses dimana suatu perbuatan yang dulunya mungkin tidak dapat
dikategorikan sebagai tindakan kriminal namun karena sesuatu hal maka perbuatan tersebut
sekarang dapat digolongkan sebagai tindak kriminal. Dan Dekriminalisasi adalah sebaliknya
yaitu perbuatan yang dulunya kriminal namun sekarang bukan menjadi perbuatan kriminal.
Oleh karenanya, tawuran dikampus sekarang telah menjadi objek Dekriminalisasi sosial. Dan
kita juga anda jangan lagi heran kalau tahun depan kerusuhan dan tawuran dilingkungan
kampus pasti akan berlangsung kembali selama mahasiwa yang katanya intelek itu masih
menganggap tawuran adalah bagian dari SKS yang harus diambil untuk lulus menjadi Sarjana
Tanggapan saya :
Sekarang ini tawuran di kampus dianggap sebagai dekriminalisasi, tetapi menurut saya hal ini sudah
sangat memprihatinkan, karena dapat menyebabkan kerusakan moral bagi para mahasiswa dan juga
merusak nama mahasiswa sebagai penerus bangsa yang bertujuan untuk mensejahterakan
masyarakat, yang justru membuat masyarakat merasa resah dan mengganggu ketertiban umum.
Oleh karena itu pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas kepada para mahasiswa yang
melakukan tawuran.
Kesimpulan