You are on page 1of 13

Kriminalisasi dan dekriminalisasi

Kriminalisasi
Sejak dahulu kala, telah dipermasalahkan saat timbulnya hukum. Biasanya, hal
ini dikaitkan dengan suatu tindakan dari peguasa yang berupa suatu penetapan. Di dalam
ilmu hukum adat, antara lain, dikenal ajaran-ajaran dari ter haar yang menyatakan, bahwa
hukum adat timbul sejak ada keputusan daripada pejabat fungsionaris hukum. Tetapi di lain
pihak ter haar juga mengakui, bahwa hukum adat timbul dari keputusan bersama dari para
warga masyarakat hukum adat.

Mungkin dapat diambil jalan tengah, yaitu bahwa sepanjang mengenai hukum
manusia, maka hal itu timbul sejak ada penetapan penguasa. Penetapan tersebut dapat
berupa penetapan tentang hukum yang telah hidup dalam masyarakat, maupun mencakup
hukum yang baru. Keputusan warga masyarakat adalah kabanyakan mengenai hukum
mengatur, misalnya hukum perjanjian.

Proses kriminalisasi merupakan suatu proses dimana perbuatan-perbuatan


tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai
perbuatan yang dapat dipidana. Proses tersebut terakhir dengan terbentuknya peraturan
hukum pidana.

Dekriminalisasi
Proses dekriminalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses, dimana suatu
prilaku yang semula dikualifikasikan sebagai peristiwa pidana dan dikenakan sanksi negatif
di bidang pidana, kemudian kemudian dihapuskan kualifikasi pidananya dan sanksi
negatifnya. Dalam proses dekriminalisasi tidak hanya kualifikasi pidana yang dihapuskan,
akan tetapi juga sifat melawan atau melanggar hukumnya. Kecuali itu maka penghapusan
kualifikasi pidana dan sanksi-sanksi negatifnya tidak diganti dengan reaksi-reaksi sosial
lainnya yang diatur, misalnya dalam bentuk sanksi perdata atau administratif.
Suatu proses dekriminalisasi dapat terjadi karena beberapa sebab, seperti
misalnya (contoh-contoh dibawah ini tidak bersifat limitatif):

a. Suatu sanksi secara sosiologi merupakan persetujuan (sanksi positif) atau penolakan
terhadap pola prilaku tertentu (sanksi negatif). Ada kemungkinan bahwa nilai-nilai
masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap prilaku tertentu pula
mengalami perubahan, sehingga prilaku yang terkena sanksi-sanksi tersebut tidak
lagi ditolak.
b. Timbulnya keragu-raguan yang sangat kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan
penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu.
c. Adanya keyakinan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi
negatif tertentu sangat besar.
d. Sangat terbatasnya efektivitas dari sanksi-sanksi negatif tertentu, sehingga
penerapannya akan menimbulkan kepudaran kewibawaan hukum.
contoh-contoh

Contoh Kriminalisasi

Stop Kriminalisasi Terhadap Petani !


Submitted by admin on Sat, 04/18/2009 - 17:02.

Jakarta— Sekitar 100 yang mengatasnamakan Koalisi


Penegak Keadilan mengadu ke Komnas HAM, Selasa (21/4).
Koalisi penegak keadilan terdiri dari Serikat Petani Indonesia,
Konsursium Pembaharuan Agraria, Aliansi Buruh
Menggugat, Huma, Walhi, Sawit Watch, Solidaritas
Perempuan, Serikat Petani Pasundan, Serikat Mahasiswa
Indonesia, Farmaci, FPMR, FPPMG, Yapemas, LBH SPP,
BEM Ubigal Ciamis, dan LPE Pasundan. Pengaduan diterima Komisioner Komnas HAM,
Johny Nelson Simanjuntak, didampingi staf pemantauan Nurjaman dan Dyah dari Pelayanan
Pengaduan.

Koalisi Penegak Keadilan mendesak Komnas HAM menggunakan kewenangannya untuk


menyelesaikan maraknya kriminalisasi terhadap petani di Indonesia. Dalam statemennya,
Koalisi Penegak Keadilan mengaku prihatin terhadap persolan konflik agraria yang semakin
meningkat akhir-akhir ini yang berakumulasi terhadap pelanggaran hak-hak asasi petani.
Menurut mereka, korban kriminalisasi terhadap petani semakin meningkat ditandai dengan
banyaknya aksi teror, intimidasi, penculikan, penangkapan dan pemenjaraan. Para petani
menjadi korban demi kepentingan kekuasaan pihak-pihak tertentu. ”Penyelesaian persoalan
konflik agraria lebih didominasi dengan cara kekerasan dan penipuan hukum oleh negara. Ini
wujud kegagalan pemerintah dalam mengelola konflik agraria ,” katanya.

Diungkapkan, belum lama ini kasus kriminalisasi menimpa Sadar bin Sawiyan (57), seorang
petani di Ciamis yang dihukum penjara 4 tahun oleh pengadilan. Padahal, menurut mereka,
Sadar hanyalah seorang petani penggarap yang berjuang mempertahankan hak atas tanah
garapannya. ”Sadar dan keluarganya hanya butuh hidup dari berladang, tapi justru jeruji besi
yang didapat. Ini tidak adil, negara telah menggunakan hukum untuk menindas hak asasi
petani. Kami minta Komnas HAM menggunakan kewenangannya untuk menangani masalah
ini,” tegasnya.

Itu sebabnya, Koordinator aksi Koalisi Penegak Keadilan, Arif Budiman menuntut kepada
pemerintah untuk membebaskan Sadar bin Sawiyan dari segala tuntutan hukum, sebab
tuduhan yang ditimpakan kepadanya tidak benar dan tidak pernah terungkap di persidangan.
Untuk itu, mereka meminta putusan Pengadilan Tinggi Bandung dibatalkan demi tegaknya
keadilan dan supremasi hukum di Indonesia. Di samping itu mereka juga menuntut
pemerintah melalui aparat-aparatnya untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi
terhadap para petani. ”Tolak semua kekerasan dan intimidasi yang dilakukan aparat negara
yang merugikan rakyat dan membuat masyarakat tidak merasa tenang di kampung
halamannya sendiri,” imbuhnya.

Menanggapi pengadu, Johny Simanjuntak menilai persoalan ini menunjukkan


ketidaksensitifan aparat hukum dalam menyelesaikan masalah. ” Aparat hukum tidak
menegakan keadilan tapi menegakan hukum negara yang tidak berpihak,” ujarnya. Untuk itu,
ia berjanji akan menyelesaikan permasalahan ini dengan berpegang pada kewenangan yang
dimiliki Komnas HAM. ”Karena masalah ini sudah dilimpahkan ke Mahkamah Agung, maka
kami akan mengirim surat kepada Mahkamah Agung untuk mempertimbangkan keputusan-
keputusannya dengan prinsip-prinsip HAM,” tegas Johny. Di samping itu, ditambahkan
Johny, Komnas HAM juga akan memanggil pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan
soal masalah tersebut. (Ign)

(sumber : KRIMINALISASI\stop-kriminalisasi-terhadap-petani.htm).

Tanggapan saya :

Dalam kasus diatas pemerintah khususnya aparatur pemerintah telah melakukan


krminalisasi dengan melanggar hak asasi petani dengan mengintimidasi dan melakukan
kekerasan kepada para petani, oleh karena itu aparatur pemerintah yang melakukan hal
tersebut harus dihukum atau diberikan sanksi administratif, supaya hal tersebut diatas tidak
terulang lagi.

Kriminalisasi
Selasa, 3 November 2009 | 02:49 WIB

Oleh Eep Saefulloh Fatah

Sambil malu menyaksikan ”kehebatan” kerja kepolisian dalam perkara Chandra M


Hamzah dan Bibit S Rianto, saya seperti terkepung kata ”kriminalisasi”.

Beberapa hari ini saya bertemu sejumlah orang yang mengaku tak paham arti
”kriminalisasi”, terutama terkait kasus yang menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).

Bukan pertama

Sejauh ingatan saya, penggunaan kata ”kriminalisasi” dalam kasus KPK hari-hari ini
bukanlah yang pertama. Kata itu kerap digunakan kalangan aktivis pada era Orde Baru.

Yang paling dramatis adalah kriminalisasi penduduk Kedung Ombo, Jawa Tengah,
tahun 1985. Pemerintah membangun waduk untuk menjadi pembangkit listrik 22,5
megawatt dengan biaya dari Bank Dunia (156 juta dollar AS), Bank Exim Jepang (25,2
juta dollar AS), dan APBN 1985-1989. Untuk itu, 5.268 keluarga di 37 desa, tujuh
kecamatan di Kabupaten Sragen, Boyolali, dan Grobogan kehilangan tanahnya untuk
pembangunan waduk itu.

Namun, karena tiap meter persegi tanah penduduk hanya dihargai pemerintah setara
dengan satu batang rokok, penduduk menolak pembebasan tanahnya. Perlawanan ini
berkembang menjadi gerakan sosial melibatkan aktivis prodemokrasi dan mahasiswa
dari spektrum sosial, politik, dan ideologi beragam.

Lalu terjadilah ”kriminalisasi” penduduk Kedung Ombo. Puncaknya, Presiden Soeharto


menyebut mereka sebagai pembangkang (mbalelo), mengganggu pembangunan dan
stabilitas nasional. Kata kriminalisasi digunakan guna menggambarkan pelekatan
identitas kriminal secara keliru kepada mereka yang memperjuangkan hak-haknya.

Pada era reformasi, kata ”kriminalisasi” beberapa kali digunakan beragam kalangan.
Saat penyerbuan kantor PDI (27 Juli 1996) kembali diungkit, kata ini sempat digunakan
kelompok penyokong tentara.

Ada yang merasa, penyebutan Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya
sebagai orang yang ikut merancang penyerbuan yang berbuah jatuhnya korban dan
meruaknya kerusuhan di Jakarta, sekadar misal, sebagai ”kriminalisasi” perwira tinggi.

Belakangan, kata ”kriminalisasi” ramai digunakan saat politisi Zaenal Maarif berurusan
dengan kasus pencemaran nama baik Presiden. Zaenal secara serampangan menyebut
Presiden sebagai pembohong karena tak mengakui, sebelum pernikahannya yang
sekarang pernah melakukan pernikahan lain. Presiden melaporkan fitnah Zaenal tadi ke
kepolisian.

Beberapa penyokong posisi Presiden sempat menggunakan terminologi ”kriminalisasi”


dalam kasus itu. Presiden dipandang menjadi korban kriminalisasi karena dituduh
melakukan kebohongan publik (sebuah tindakan kriminal jika pelakunya adalah pejabat
publik apalagi setinggi presiden) tentang sejarah hidupnya. Para pendukung presiden
tak bisa menerima, ”pemimpin mulia” yang mereka hormati sepenuh jiwa dinistakan satu
keranjang dengan kriminal.

Presiden melawan dan Zaenal terlanda bencana dan berkah beriringan. Bencana
datang dalam bentuk penyidikan, peradilan, dan ancaman pemenjaraan. Namun, berkah
datang karena Zaenal loncat pagar dari Partai Bintang Reformasi yang mengalami masa
senja kala ke Partai Demokrat yang sedang menyemai sukses.

Bibit-Chandra

Syukurlah, ternyata saya lumayan paham kata itu meski tak sepaham kawan-kawan di
Pusat Bahasa! Dengan pemahaman, saya memandang kasus penersangkaan dan
penahanan Bibit dan Chandra bukan saja kriminalisasi, tetapi juga kriminalisasi KPK.
Bahkan, prosesi penahanan sejak 29 Oktober lalu jelas menunjukkan cukup telanjang
”kriminalisasi media massa”.

Bibit dan Chandra menjadi tersangka karena dipandang polisi melakukan


penyalahgunaan wewenang. Padahal, wewenang yang sama dan penggunaan serupa
dilakukan pimpinan KPK sejak periode pertama lembaga ini berdiri. Pimpinan yang lain
tak terundung sanksi hukum apa pun atas ”penyalahgunaan wewenang” sebagaimana
disangkakan kepada Bibit dan Chandra. Alhasil, Bibit dan Chandra mengalami
kriminalisasi sebagaimana pernah dialami warga Kedung Ombo, perwira tinggi, dan
presiden dalam ilustrasi sebelumnya.

Kriminalisasi Bibit-Chandra itu lalu menjadi drama lucu saat kepolisian tergagap-gagap
hingga saat ini untuk membuktikan bahwa mereka selain menyalahgunakan wewenang
juga terlibat praktik penyuapan. Kelucuan mencapai puncaknya saat berbagai pihak
yang disebut terlibat dalam praktik ini ramai-ramai membantah sangkaan polisi. Polisi
menghadiahi status tersangka bagi Bibit-Chandra sambil terus mencari-cari bukti yang
cukup.

Kriminalisasi

Adapun KPK juga mengalami kriminalisasi. Penggunaan kewenangan sebagaimana


dilakukan Bibit-Chandra adalah salah satu bagian dari kerja KPK yang sudah membatin
dalam institusi ini. Alhasil, saat unsur yang lekat-erat-dekat dengan kerja kepemimpinan
dan fungsi institusi ini disasar sebagai bentuk pelanggaran hukum, maka KPK
mengalami kriminalisasi.

Sebuah institusi yang bekerja di atas landasan kokoh diperlakukan Kepala Kepolisian
(yang bekerja berdasar pembiaran oleh atasannya) sebagai penyedia fasilitas tindakan
kriminal.

Kriminalisasi juga menghantam media massa. Polisi menahan Bibit dan Chandra
dengan alasan obyektif (terkena ancaman hukuman di atas lima tahun) dan subyektif
(berpotensi melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatannya),
plus alasan khusus mempersulit penyidikan selama di luar tahanan karena kerap
mengadakan jumpa pers.

Kewarasan pikiran saya agak terganggu oleh keterangan itu. Bukankah dengan kerap
mengadakan jumpa pers, seseorang atau sekelompok orang jadi menampakkan diri di
depan publik sehingga mempersempit peluang yang bersangkutan untuk melarikan diri?
Bukankah Presiden sudah memberhentikan sementara Bibit dan Chandra dan
mencabut aneka kewenangannya sehingga keduanya mustahil mengulangi perbuatan
yang sama (menyalahgunakan wewenang itu)? Bagaimana mungkin Bibit-Chandra
sebagai tersangka bisa menghilangkan barang bukti jika polisi hingga kini masih sulit
menemukan barang-barang bukti itu?

Lalu, jika jumpa pers dipandang polisi sebagai menyulitkan penyidikan, proses
kriminalisasi media massa pun berlangsung. Media massa yang justru membantu publik
memahami peta kisruh polisi-KPK secara lebih baik justru dilecehkan sebagai alat
mempersulit penyidikan, seolah membangun persengkongkolan kriminal.

Akhirnya, saya amat mendukung imbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono


(Jumat, 30/10/2009) agar kita berhati-hati menggunakan istilah ”kriminalisasi KPK”.
Menurut saya, imbauan ini terutama berlaku untuk mereka yang (mengaku) tidak paham
artinya dan terlebih-lebih untuk para pelaku kriminalisasi itu. Bagi mereka, kasus Bibit-
Chandra potensial menjadi persemaian bibit-bibit ketidakpercayaan publik.

(sumber : KRIMINALISASI\Kriminalisasi.htm)
Contoh Dekriminalisasi
Dekriminalisasi Pers Tuntutan Zaman
oleh : Atmakusumah (Pengamat pers dan pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di
Jakarta)

Artikel ini diambil dari situs www.komisihukum.go.id

Dekriminalisasi karya jurnalistik dalam media pers kini sudah menjadi tuntutan zaman yang
tidak terelakkan. Tuntutan ini tidak memungkinkan kita menarik kembali sejarah kebebasan
ke masa lampau. Kebebasan itu termasuk kebebasan pers, yang merupakan bagian dalam satu
paket yang tidak terpisahkan dari kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat yang
dimiliki oleh setiap warga, seperti para demonstran, aktivis advokasi, dan penceramah.
Perkembangan kebebasan di banyak negara sudah demikian jauh sehingga dipandang tidak
lagi wajar, bahkan tidak patut, untuk menjatuhkan sanksi hukum pidana penjara kepada para
pencipta karya pemikiran kreatif seperti karya jurnalistik, pendapat, atau ekspresi. Berkat
perjuangan yang sangat panjang dari para pendukung kebebasan, keterbukaan, dan
demokrasi, perkembangan itu kini amat berbeda dari, umpamanya, sikap para penguasa
pemerintahan lima abad yang lalu.
Ketika dunia cetak-mencetak barulah mengawali sejarahnya di Eropa sekira 500 tahun yang
silam, seorang pejabat tinggi Inggris memperingatkan, “Kita harus menghancurkan
percetakan. Jika tidak, percetakan akan menghancurkan kita.” Tetapi, para pencetak terus saja
mencetak segala rupa gagasan pada mesin cetak berukuran kecil dan sederhana. Ketekunan
ini hanyalah berbekal keyakinan pada kata-kata para pemikir besar bahwa “Kita harus
mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan membuat kita bebas.”
Di Inggris pada masa itu, mengritik raja, para menteri, dan parlemen dipandang sebagai
kejahatan. Hakim Agung Inggris malahan menetapkan, “Menulis masalah pemerintah—tidak
menjadi soal, apakah itu memuji atau mencela—adalah tindak kejahatan karena tidak seorang
pun berhak mengatakan sesuatu tentang pemerintah.” Hukuman bagi pelanggaran terhadap
ketetapan ini ialah memotong daun telinga, mengiris lidah, dan siksaan lainnya—bahkan
hukuman mati (Gertrude Hartman, Builders of the Old World).
Penindasan terhadap arus informasi dan pendapat di Inggris mencerminkan kekhawatiran di
Eropa bahwa percetakan telah menjadi alat untuk berekspresi dan melakukan pembaruan
melalui produk bacaan. Ketakutan demikian juga menyebar ke wilayah koloni Inggris di
Benua Amerika. Gubernur Inggris di Virginia, Sir William Berkeley, pada 1671 mengatakan
“berterima kasih kepada Tuhan” karena wilayah kekuasaannya terbebas dari kegiatan cetak-
mencetak (Edward C. Smith, A History of Newspaper Suppression in Indonesia, 1949—
1965).
Ketakutan itu pun menular ke Hindia Belanda 41 tahun kemudian. Seharusnya Indonesia
sudah memiliki surat kabar pertama pada 1712. Tetapi, De Heeren Zeventien, 17 direktur
VOC (Perserikatan Dagang Hindia Timur), di Nederland melarang rencana penerbitan surat
kabar itu di Batavia karena takut para pesaingnya memperoleh keuntungan dari berita
perdagangan yang dimuat di koran itu.
Barulah 32 tahun kemudian, pada 1744, pemerintah liberal dari Gubernur Jenderal Gustaaf
Willem Baron von Imhoff membolehkan penerbitan surat kabar pertama di negeri ini,
Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia).
Nasib koran pertama ini tetap buruk. Hampir dua tahun kemudian, pada 20 Juni 1746,
gubernur jenderal terpaksa membredelnya atas perintah para direktur VOC yang menganggap
koran itu “merugikan dan membahayakan.” Barangkali karena mereka ketakutan kepada para
pesaing dagang yang memperoleh informasi dari Bataviasche Nouvelles.
Setelah itu, pembredelan media pers hampir terus-menerus terjadi di Hindia Belanda.
Demikian pula pada masa penjajahan Jepang selama Perang Dunia Kedua dan malahan
setelah Indonesia merdeka. Pemberedelan terakhir kali terjadi pada 1994, 250 tahun sejak
kelahiran surat kabar pertama di negeri ini dan empat tahun sebelum pemerintahan Orde Baru
berakhir.

Sanksi Pidana Kian Tidak Populer


Lima abad yang silam, memberitakan, apalagi mengkritik, raja, para menteri, dan parlemen di
Inggris dianggap sebagai kejahatan. Sekarang haruslah kita pertanyakan, apakah pandangan
demikian masih patut dipertahankan.
Ternyata, pandangan yang menganggap karya jurnalistik atau pendapat dan ekspresi sebagai
kejahatan—bila melanggar hukum—kini semakin tidak populer sehingga tidak selayaknya
dipertahankan. Kriminalisasi—dengan menjatuhkan sanksi hukum pidana berupa hukuman
penjara ataupun denda—dipandang tidak sesuai dengan standar internasional tentang
kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.
Contoh yang dipaparkan oleh Leo Batubara (“Pers Profesional Taat Hukum dan Etika,”
Kompas, 5 Maret 2005) memperlihatkan perkembangan di semakin banyak negara yang
menghapus sejumlah pasal hukum pidana yang dapat menghambat kebebasan berekspresi dan
berpendapat serta kebebasan pers. Atau, mengalihkan pasal-pasal hukum pidana itu menjadi
pasal-pasal hukum perdata.
Malahan di Ethiopa, yang dalam tulisan Batubara itu dikatakan “sedang dalam proses
perubahan menuju civil defamation,” pemerintahnya sudah berpikir lebih maju lagi. Dalam
upaya memperbarui perundang-undangan tentang pers, dengan mengubah kasus pers dari
perkara pidana menjadi perkara perdata, Ethiopia tidak akan mengenakan sanksi denda yang
berat. Menurut Menteri Informasi Bereket Simone, “kami percaya bahwa denda yang lebih
ringan akan mendorong kebebasan berekspresi.” Selain itu, denda bagi pelanggar hukum pers
hanya menyangkut masalah prosedur, bukan karena isi media pers.

Dukungan Politik Masih Langka


Dukungan politik dan perlindungan hukum bagi kebebasan pers memang lazim karena
pekerjaan jurnalistik bukan sekadar hak, melainkan—lebih dari itu—adalah tugas; bukan
sekadar rights, melainkan duty. Hal itu ditegaskan antara lain dalam “Deklarasi Hak dan
Kewajiban Wartawan (Declaration of Rights and Obligations of Journalists)”, atau dikenal
juga sebagai “Munich Charter (Piagam Muenchen)”. Piagam ini disepakati di kota Jerman itu
oleh organisasi wartawan dari berbagai negara pada 24—25 November 1971.
Mukadimah “Piagam Muenchen” menegaskan: “Hak akan informasi serta hak akan
kebebasan menyatakan pendapat dan kritik adalah salah satu hak mendasar bagi manusia.
Semua hak dan tugas wartawan berasal dari hak masyarakat ini untuk mendapatkan informasi
tentang peristiwa dan pendapat. Tanggung jawab wartawan terhadap masyarakat melebihi
tanggung jawab lainnya, terutama [melebihi tanggung jawab] terhadap majikan dan pejabat
publik [pejabat negara].”
Tetapi, dukungan politik yang dinyatakan dengan jelas secara terbuka dari para pemimpin
pemerintahan di Indonesia terhadap kebebasan pers, berekspresi, dan berpendapat sangat
langka selama ini. Dari yang langka itu dapat dicatat, misalnya:
* Amir Syarifudin, menteri penerangan pertama, dalam pernyataan resmi pemerintah RI pada
Oktober 1945: “Pikiran masyarakat umum (public opinion) itulah sendi dasar Pemerintah
yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tidak merdeka tidak mungkin menyatakan pikiran
masyarakat, [melainkan] hanya [mewakili] pikiran dari beberapa orang berkuasa saja. Maka
asas kami ialah: ’Pers haroes merdeka’” (Dr. Bachtiar Aly, M.A., “Pers Indonesia
Menghadapi Tuntutan Zaman”, 14 Oktober 1994).
* Mohammad Yunus Yosfiah, menteri penerangan kabinet Presiden B.J. Habibie: Ada dua
semangat yang tersirat dalam rancangan undang-undang tentang pers. Semangat pertama,
menghapus semua hambatan kebebasan pers. Kedua, menghapus sanksi pidana yang berbau
kolonial (haatzaai artikelen)…. “Pokoknya, kita mengembangkan kebebasan pers serta
memberikan perlindungan kepada pers sehingga wartawan tidak lagi diperlakukan sebagai
penjahat” (Majalah Tempo, 29 Maret 1999).
* Prof. Dr. Bagir Manan, ketua Mahkamah Agung: “Kita sudah bertekad bahwa kebebasan
pers merupakan salah satu unsur absolut dalam kehidupan demokrasi kita. Ini prinsip yang
harus disadari semua orang—termasuk oleh para hakim…. Saya ingin kita tak menarik
mundur kebebasan tersebut. Saya juga bisa mengeluh dengan pemberitaan pers. Tapi hal itu
tak bisa dijadikan alasan untuk kembali membungkam pers…. Sebagai sebuah negara
merdeka, Indonesia menganut sistem demokrasi yang secara prinsip mengusung kebebasan
pers dan kebebasan berekspresi” (Majalah Tempo, 12—19 Oktober 2003). Dalam pidato
pelantikan hakim agung dan ketua Pengadilan Tinggi Negeri di gedung Mahkamah Agung
pada 14 September 2004 ia mengatakan: “Pers yang bebas bukan hanya instrumen
demokrasi. Tetapi, sekaligus penjaga demokrasi…. Jangan sampai tangan hakim berlumuran,
ikut memasung kemerdekaan pers yang akan mematikan demokrasi….” Dengan memasung
kemerdekaan pers, maka hakim sedang memasung kemerdekaannya sendiri. (Koran Tempo,
Kompas, 15 September 2004).
* Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden dari Partai Demokrat ketika
berkunjung ke Pondok Pesantren Syaichona Cholil di Bangkalan, Madura, pada 6 September
2004 seperti dilaporkan oleh I.D. Nugroho dalam www.geocities.com. Ia berpendapat bahwa
pada zaman yang lebih terbuka seperti sekarang ini tidak perlu ada lagi wartawan yang
dipenjarakan karena karya jurnalistiknya. Bila terjadi sengketa pemberitaan antara publik dan
pers atau wartawan, Yudhoyono menganjurkan agar digunakan Undang-Undang Pers yang
sudah ada. Ia menyerukan, “Gunakan Undang-Undang Pers untuk menyelesaikan persoalan
pers; buat apa Undang-Undang Pers dibuat kalau tidak digunakan.”

(Topik artikel telah dipresentasikan pada


Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2004) KHN, 7/12/04,
dan dimuat di harian Kompas, 12 Maret 2005)

(contoh: KRIMINALISASI\Dekriminalisasi Pers Tuntutan Zaman « Dunia Anggara.htm)

Tanggapan saya :

Dulunya Pers khususnya karya-karya jurnalistik dianggap sebagai suatu kejahatan, tetapi akibat
perkembangan zaman, hal tersebut sudah tidak demikian lagi, karena pers dianggap sebagai
dekriminalisasi dan sangat dibutuhkan sebagai penyalur berita. Apalagi dengan adanya Undang-
undang Pers telah memperjelas peranan dan fungsi pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dekriminalisasi Tawuran
Diterbitkan 3 Maret 2008 FreeTalk Tinggalkan a Komentar

Ketika perasaan mengalahkan logika maka akan menghasilkan ketidakmampuan. Hal itulah yang
sedang terjadi ketika mahasiswa Universitas Hasanudin dan Universitas Sam Ratulangi terlibat
tawuran di kampusnya masing-masing. Predikat mahasiswa yaitu “maha” dan “siswa” tidak dapat
membendung sifat anarkis mereka. Ketika mahasiswa dihadapkan menjadi agent of change, hal
tersebut dirasa terlalu diawang-awang.

Bagaimana mungkin, mereka dapat melakukan tindakan yang begitu bodohnya dengan tidak
mengindahkan kaedah-kaedah yang mereka dapatkan di bangku kuliah. Mirisnya lagi,
mahasiswa yang terlibat tawuran tersebut tidak sedikit yang datang dari Fakultas Hukum,
dimana rasionalitas dan norma hukum begitu terasa di kehidupan kampus. Apa yang mereka
dapatkan di bangku kuliah tidak dapat mereka terapkan di kehidupan sosial, sehingga apa
yang disebut sebagai tawuran antar kampus pasti selalu akan terjadi dan bahkan menjelma
menjadi tradisi.

Universitas Hasanudin telah memproklamirkan secara tidak langsung diri mereka sendiri
sebagai kampus pencetak generasi anarkis nasional. Tawuran hampir selalu terjadi di setiap
tahun, disetiap fakultas atau disetiap angkatan. Korban telah berjatuhan, mahasiswa telah
banyak dihukum dan diskors namun itu semua tidak dapat mengurangi tradisi buruk tersebut
karena sistem disana saya rasa justru mengesahkan (justifikasi) kekerasan.

Seperti yang Joseph Labadie katakan, “From my point of view the killing of another, except
in defense of human life, is archistic, authoritarian, and therefore, no Anarchist can commit
such deeds. It is the very opposite of what Anarchism stands for…”

Secara logika, jika telah banyak orang dihukum dan kerusuhan masih saja selalu terjadi, kita
pun sebagai seorang yang logis pasti akan memandang hal tersebut bukan kepada kesalahan
pelaku semata tapi karena ada suatu lingkungan atau sistem yang tercipta sedemikian rupa
yang membuatnya semakin benar.

Kriminalisasi atau suatu proses dimana suatu perbuatan yang dulunya mungkin tidak dapat
dikategorikan sebagai tindakan kriminal namun karena sesuatu hal maka perbuatan tersebut
sekarang dapat digolongkan sebagai tindak kriminal. Dan Dekriminalisasi adalah sebaliknya
yaitu perbuatan yang dulunya kriminal namun sekarang bukan menjadi perbuatan kriminal.
Oleh karenanya, tawuran dikampus sekarang telah menjadi objek Dekriminalisasi sosial. Dan
kita juga anda jangan lagi heran kalau tahun depan kerusuhan dan tawuran dilingkungan
kampus pasti akan berlangsung kembali selama mahasiwa yang katanya intelek itu masih
menganggap tawuran adalah bagian dari SKS yang harus diambil untuk lulus menjadi Sarjana

(sumber : KRIMINALISASI\Dekriminalisasi Tawuran « Dion’s Blog.htm)

Tanggapan saya :

Sekarang ini tawuran di kampus dianggap sebagai dekriminalisasi, tetapi menurut saya hal ini sudah
sangat memprihatinkan, karena dapat menyebabkan kerusakan moral bagi para mahasiswa dan juga
merusak nama mahasiswa sebagai penerus bangsa yang bertujuan untuk mensejahterakan
masyarakat, yang justru membuat masyarakat merasa resah dan mengganggu ketertiban umum.
Oleh karena itu pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas kepada para mahasiswa yang
melakukan tawuran.
Kesimpulan

Proses-proses sosial dan hukum yang penting dalam hubungannya


dengan persoalan kejahatan, penjahat dan reaksi sosial terhadap kejahatan adalah
proses kriminalisasi dan dekriminalisasi, yang dimana proses kriminalisasi merupakan
suatu proses dimana perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau
golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana.
Proses tersebut terakhir dengan terbentuknya peraturan hukum pidana. Sedangkan
proses dekriminalisasi merupakan suatu proses yang menjadikan suatu tindakan
yang dulunya dinggap sebagai tindak pidana kemudian dianggap sebagai bukan
tindak pidana lagi, atau bahkan menjadi suatu kebiasaan.

You might also like