You are on page 1of 25

REFERAT

LEPTOSPIROSIS

Dosen Pembimbing :
dr. Tatag Primiawan, Sp.PD

Disusun oleh :
Kartika Yulianti
1710221071

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
RST DR. SOEDJONO MAGELANG
MAGELANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Leptospirosis

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian


Ilmu Penyakit Dalam RST dr. Soedjono Magelang

Disusun oleh :
Kartika Yulianti

Magelang, April 2018


Dosen Pembimbing,

dr. Tatag Primiawan, Sp.PD


I. PENDAHULUAN

Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh


mikroorganisme pathogen yaitu Leptosira Interrogans . Leptospirosis merupakan
zoonosis dengan distribusi luas di seluruh dunia, terutama pada wilayah dengan
iklim tropis dan subtropis. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Weil pada
tahun 1886 sebagai penyakit yang ditandai oleh ikterus.
Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Di
daerah dengan kejadian luar biasa leptospirosis ataupun pada daerah yang
memiliki faktor risiko tinggi terpapar leptospirosis, angka kejadian leptospirosis
dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000 per tahun. Di daerah tropis dengan
kelembaban tinggi angka kejadian leptospirosis berkisar antara 10-100 per
100.000 sedangkan di daerah subtropis angka kejadian berkisar antara 0,1-1 per
100.000 per tahun.
Di Indonesia sendiri, penyebaran leptospirosis ditemui di pulau Jawa,
Sumatera, Kali- mantan, Bali hingga Sulawesi. Di Indonesia pada tahun 2012
dilaporkan terdapat 239 kasus leptospirosis dengan 29 kasus kematian (case
fatality rate 12,13%). Menurut International Leptospirosis Society (ILS)
menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan insiden leptospirosis
peringkat 3 di bawah Cina dan India. Angka kematian leptospirosis mencapai
2,5%- 16,45% atau rata-rata 7,1%. Angka ini dapat mencapai 56% pada penderita
berusia 50 tahun ke atas.
Penyakit ini menyebar melalui kontak, baik langsung ataupun tidak langsung,
antara mukosa atau kulit manusia yang mengalami luka dengan hewan yang
terinfeksi seperti tikus, anjing, kucing, dan hewan rumahan lain.
Faktor risiko terjadinya penularan leptospirosis adalah yang manusia yang
pekerjaannya berhubungan dengan hewan liar dan hewan peliharaan seperti
peternak, petani, petugas laboratorium hewan, dan bahkan tentara. Wanita dan
anak di perkotaan sering terinfeksi setelah berenang dan piknik di luar rumah.
Orang yang hobi berenang termasuk yang berisiko terkena penyakit ini (Kunoli,
2013).
Ditjen PP & PL Kemenkes RI melaporkan bahwa kejadian leptospirosis di
Indonesia tahun 2011 terdapat 857 kasus dan 82 orang meninggal (CFR 9,57%),
tahun 2012 terdapat 239 kasus dan 29 orang meninggal (CFR 12,13%), tahun
2013 terdapat 641 kasus dan 60 orang meninggal (CFR 9,36%) (Kemenkes RI,
2014).
Diagnosis leptospirosis seringkali terlewatkan sebab gejala klinis penyakit
ini tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium.
Tampilan klinis leptospirosis bervariasi dari gejala ringan yang menyerupai
penyakit lain seperti influenza, hingga bentuk klinis yang parah yaitu penyakit
Weil’s. Leptospirosis secara khas menampilkan gejala ikterus, disfungsi renal, dan
diatesis hemoragik.
Belakangan ini, kejadian luar biasa leptospirosis di beberapa negara,
seperti Asia, Amerika Selatan dan Tengah, serta Amerika Serikat menjadikan
penyakit ini termasuk dalam the emerging infectious diseases. Sehingga
mengetahui definisi, cara mendiagnosis hingga tata laksana leptospirosis penting
untuk diketahui.
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1.Leptospirosis
II.1.1.Pengertian Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan
binatang. Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti
manusia. Termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia.
Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena
memang muncul dikarenakan banjir.
Dibeberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama demam
icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit swinherd, demam rawa, penyakit
weil, demam canicola (PDPERSI Jakarta, 2007). Leptospirosis adalah penyakit
infeksi yang disebabkan kuman leptospira patogen (Saroso, 2003).
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira.
Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever
(Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever, Infectious jaundice, Field fever,
Cane cutter dan lain-lain (WHO, 2003).
Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia,
tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira
icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus (Swastiko, 2009).

II.1.2. Epidemiologi
Pada iklim sedang infeksi leptospira didapatkan terutama melalui paparan
rekreasional (mengendarai kano, berlayar, ski air) atau pekerjaan, atau hidup di
daerah kumuh. Di daerah tropik, paparan terutama melalui aktivitas pekerjaan
seperti bersawah. Infeksi jarang dari kontak langsung dengan darah, urin, atau
jaringan hewan terinfeksi. Terdapat sekitar 160 spesies hewan yang menjadi
tempat perlindungan bakteri tersebut, reservoir yang paling penting adalah tikus.
Yang ada di mana-mana adalah icterohaemorrhagiae dengan spesies tikus Rattus,
hardjo dengan sapi, canicola dengan anjing, dan pomona dengan babi dan sapi.
Angka kejadian leptospirosis dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000
per tahun. Ditjen PP & PL Kemenkes RI melaporkan bahwa kejadian leptospirosis
di Indonesia tahun 2011 terdapat 857 kasus dan 82 orang meninggal (CFR
9,57%), tahun 2012 terdapat 239 kasus dan 29 orang meninggal (CFR 12,13%),
tahun 2013 terdapat 641 kasus dan 60 orang meninggal (CFR 9,36%) (Kemenkes
RI, 2014).

II.1.3. Etiologi
Leptosiprosis disebabkan spesies patogenik dari genus Leptospira, suatu
bakteri spirochaeta aerob obligat, berukuran 0,25 x 6,25 μm. Leptospira berada di
tubulus ginjal pejamu dan keluar di urin. Bakteri ini bertahan hidup selama
berhari-hari atau berminggu-minggu pada kondisi hangat, lembap, dan sedikit
alkali, terutama di air segar yang tenang atau mengalir lambat pada suhu sedang di
musim panas serta di tanah yang lembap dan air di daerah tropik, terutama pada
musim hujan. Berdasarkan hibridisasi DNA, genus Leptospira yang sudah
dikenali terdiri atas 12 yang patogenik atau mungkin patogenik dan 6 saprofitik.
Pembagian berdasarkan aglutinasi menunjukkan terdapat lebih dari 200 serovar
patogenik dan 60 serovar saprofitik.

Leptospira interrogans memiliki berbagai subgrup yang masing-masing


terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih binatang piaraan
seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang liar seperti
tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak
pada kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi dengan air, tanah, lumpur dan
sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih binatang yang terinfeksi leptospira
(Mansjoer, 2005).
Genus leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks, yang patogen
L.interrogans, dan yang non pathogen atau saprofit L.biflexs kelompok patogen
terdapat pada manusia dan hewan. Kelompok yang patogen atau L.interrogans
terdiri dari sub grup yang masing-masingnya terbagi lagi atas berbagai serotype
(serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan 240 serotipe
yang tergabung dalam 23 serogrup. Sub grup yang dapat menginfeksi manusia di
antaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L. javanica, L. celledoni, L. canicola, L
ballum, L. pyrogenes, L. cynopteri, L. automnalis, L. australis, L. pomona, L.
grippothyphosa, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. bufonis,
L. andamana, L. shermani, L. ranarum, L. copenhageni.

Beberapa serotipe menyebabkan panyakit dengan gejala yang berat seperti


L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada serogrup atau seropati dengan gejala yang
ringan, misalnya infeksi L. automnalis, L. bataviae, L. pyrogenes, dan sebagainya.
II.1.4. Faktor risiko
Orang yang berisiko ialah orang yang sering menyentuh binatang atau air,
lumpur, tanah, dan tanaman yang telah dicemari air seni binatang yang
terkontaminasi leptospirosis. Beberapa pekerjaan yang berisiko seperti petani
sawah, pekerja pejagalan, peternak, pekerja tambang, industri perikanan, serta
petani tebu dan pisang. Dokter hewan maupun staf laboratorium yang kontak
dengan kultur leptospirosis juga memiliki risiko terpapar leptospirosis. Beberapa
kegemaran yang bersentuhan dengan air atau tanah yang tercemar juga bisa
menularkan lepto- spirosis, seperti berkemah, berkebun, berkelana di hutan,
berakit di air berjeram, dan olahraga air lainnya. Meskipun leptospirosis sering
dianggap sebagai penyakit pedesaan, orang yang tinggal di kota juga dapat
terkena, tergantung pada kondisi hidup dan tingkat kebersihan baik di rumah
maupun lingkungan terdekatnya. Wabah leptospirosis telah dilaporkan mengikuti
terjadinya bencana alam seperti banjir dan badai.
II.1.5. Patogenesis
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira
masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit,
konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus,
alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang
terkontaminasi.
Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam
lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak virulen
gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah
setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di
darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga
menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis
kuman leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan
toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai
aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram (-) dan
aktifitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit,
sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan
lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi
mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran
cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan
permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal.
Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan
bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis
intrahepatik sampai berkurangya sekresi bilirubin.
Dapat juga leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput
lendir, memasuki akiran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke
jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon immunologi baik secara selular maupun
humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik.
Walaupun demikian beberapa organism ini masih bertahan pada daerah yang
terisolasi secara immunologi seperti di dalam ginjal dimana bagian mikro
organism akan mencapai convoluted tubulus. Bertahan disana dan dilepaskan
melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam urin sekitar 8 hari sampai beberapa
minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme
humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya
agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikro organism hanya dapat
ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria berlangsung 1-4
minggu.
Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenesis leptospirosis : invasi
bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi immunologi.
II.1.6. Patofisiologi
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin
yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ.
Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada
leptospirosis terdapat perbadaan antaraderajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histology yang ringan
ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari
organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal dari
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit,
limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan
perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di
ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk
ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan
meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai
komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah
ginjal, hati, otot dan pembuluh darah.
Kelainan spesifik pada organ:
Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk
lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal
ginjal terjadi akibat nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi
immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikro
organism juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.
Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit
fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi,
sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat
diantara sel-sel parenkim.
Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan
miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel
mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat
terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endikarditis.
Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal
nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada
leptospira disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen
leptospira pada otot.
Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya
vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau
petechie pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan
bawah kulit.
Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal
(CSS) dan dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu
terbentuknya respon antibody, tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya
meningitis diperantarai oleh mekanisme immunologis. Terjadi penebalan
meningen dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis
yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L.
canicola.
Weil Desease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan
ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan
demam tipe kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus
dengan leptospirosis. Penyebab Weil disease adalah serotype icterohaemorragica
pernah juga dilaporkan oleh serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis
bervariasi berupa gangguan renal, hepatic atau disfungsi vascular.

II.1.7. Manifestasi Klinis


Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 – 26 hari, biasanya 7 - 13 hari
dan rata-rata 10 hari.
Gambaran klinik pada leptospirosis :
Demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia,
conjungtivitis, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit,
fotofobia. Beberapa gejala yang jarang ditemui pneumonitis, hemaptoe, delirium,
perdarahan, diare, edema, splenomegali, artralgia, gagal ginjal, periferal neuritis,
pankreatitis, parotitis, epididimytis, hematemesis, asites, miokarditis.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas ( bifasik ) yaitu fase
leptospiremia/septikemia dan fase imun.
 Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)
Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam
darah dan css, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit
kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada
paha, betis dan pingang disertai nyeri tekan pada otot tersebut. Mialgia
dapat di ikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai
mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai
mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran.
Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus
(50%). Pada hari ke 3-4 dapat di jumpai adanya conjungtivitis dan
fotophobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk macular,
makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali,
hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika
cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal,
penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal
3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam
turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah
itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase
imun.
 Fase Imun (minggu ke-2)
Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi
dapat terdeteksi dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi
dari urin, namun tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan
serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai konsekuensi dari respon imun
tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu 30 hari atau lebih.
Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala
pada fase pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung
selama beberapa hari, namun ditemukan juga beberapa kasus dengan
gejala penyakit bertahan sampai beberapa minggu. Demam dan mialgia
pada fase yang ke-2 ini tidak begitu menonjol seperti pada fase pertama.
Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami nyeri kepala hebat yang
nyaris tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik. Nyeri kepala ini
seringkali merupakan tanda awal dari meningitis.
Anicteric disesase ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik
paling utama yang menandai fase imun anicteric Gejala dan keluhan
meningeal ditemukan pada sekitar 50 % pasien. Namun, cairan
cerebrospinalis yang pleiositosis ditemukan pada sebagian besar pasien.
Gejala meningeal umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat
pula menetap sampai beberapa minggu. Meningitis aseptik ini lebih
banyak dialami oleh kasus anak-anak dibandingkan dengan kasus
dewasa
Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat
diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul.
Gejala yang ditemukan adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi (
ditemukan pada 30 % kasus ), hepatosplenomegali,mual, muntah dan
anoreksia. Uveitis ditemukan pada 2-10 % kasus, dapat ditemukan pada
fase awal atau fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis, iridosiklitis dan
khorioretinitis ( komplikasi lambat yang dapat menetap selama beberapa
tahun ) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula muncul
beberapa bulan setelah awal penyakit.
Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia
subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan
aquaeous. Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria,
hematuria, proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50 % kasus.
Manifestasi paru ditemukan pada 20-70 % kasus. Selain itu,
limfadenopati, bercak kemerahan dan nyeri otot juga dapat ditemukan.
 Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4)
Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsur-
angsur hilang.

II.1.8. Diagnosis
a. Anamnesis

Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data


epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan
pasien. Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat
tinggal, jenis pekerjaan, dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan
maupun hewan liar di lingkungannya, karena berhubungan dengan
leptospirosis.
Biasa yang mudah terjangkit pada usia produktif, karena kelompok ini
lebih banyak aktif di lapangan. Tempat tinggal; dari alamat dapat diketahui
apakah tempat tinggal termasuk wilayah padat penduduk, banyak pejamu
reservoar, lingkungan yang sering tergenang air maupun lingkungan kumuh.
Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim pengujan
lebih-lebih dengan adanya banjir. Keluhan-keluahan khas yang dapat
ditemukan, yaitu : demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya,
mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah
kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha.

b. Pemeriksaan fisik

- Gejala klinik mengarah ke leptospirosis : ikterik, demam, mialgia,


nyeri sendi serta conjungtival suffusion.
- Gejala klinik yang paling sering ditemukan : conjungtival suffusion
dan mialgia.
- Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada
hari ke-3 selambatnya hari ke-7 terasa sakit dan sering disertai
perdarahan konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang disertai
fotofobia dan injeksi faring, faring terlihat merah dan bercak-
bercak.
- Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan
nyeri hebat dan hiperestesi kulit.
- Kelainan fisik lain : hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk,
rangsang meningeal, hipotensi, ronkhi paru dan adanya diatesis
hemoragik.
- Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan
manifestasi dapat terlihat sebagai petekiae, purpura, perdarahan
konjungtiva dan ruam kulit.
- Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula
ataupun urtikaria generalisata maupun setempat pada badan, tulang
kering atau tempat lain.

c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium umum
a. Pemeriksaan darah
 Pemeriksaan darah rutin : leukositosis normal atau menurun.
 Hitung jenis leukosit : peningkatan netrofil.
 Trombositopenia ringan.
 LED meningkat.
 Pada kasus berat ditemui anemia hipokrom mikrositik akibat perdarahan yang
biasa terjadi pada stadium lanjut perjalanan penyakit.

b. Pemeriksaan fungsi hati


- Jika tidak ada gejala ikterik  fungsi hati normal.
- Gangguan fungsi hati : SGOT, SGPT dapat meningkat.
- Kerusakan jaringan otot  kreatinin fosfokinase meningkat 
peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata
mencapai 5 kali nilai normal.

2. Pemeriksaan laboratorium spesifik


Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosa
leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi
keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi
hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan pemeriksaan secara
tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira (MAT,
ELISA, tes penyaring).
Pemeriksaan yang spesifik adalah pemeriksaan bakteriologis dan
serologis. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan bahan biakan/kultur
leptospira dengan medium kultur Stuart, Fletcher, dan Korthof. Diagnosa pasti
dapat ditegakkan jika dalam waktu 2-4 minggu terdapat leptospira dalam kultur.
Gold standard pemeriksaan serologi adalah MAT (Mikroskopik
Aglutination Test), suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk
mendeteksi titer antibodi aglutinasi dan dapat mengidentifikasi jenis serovar.
Pemeriksaan serologis ini dilakukan pada fase ke-2 (hari ke 6-12). Dugaan
diagnosis leptospirosis didapatkan jika titer antibodi > 1:100 dengan gejala klinis
yang mendukung.
Ig M ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara dini,
tes akan positif pada hari ke-2 sakit ketika manifestasi klinis mungkin tidak khas.
Tes ini sangat sensitif dan efektif (93%). Tes penyaring yang sering dilakukan di
Indonesia adalah Lepto Dipstik asay, Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral
Flow.
Komplikasi di hati ditandai dengan peninggian transaminase dan bilirubin.
Pada 50% kasus didapat peninggian Creatinin Fosfokinase (CPK) pada fase awal
sampai mencapai 5x normal. Hal ini tidak terjadi pada hepatitis viral. Jadi jika
terdapat peninggian transaminase dan CPK, maka diagnosis leptospirosis lebih
mungkin daripada hepatitis viral.
Pada pemeriksaan urine didapatkan perubahan sedimen urine (leukosituria,
eritrosit meningkat dan adanya torak hialin atau granuler). Pada leptospirosis
ringan bisa terdapat proteinuria dan pada leptospirosis berat dapat terjadi
azotemia.
Pemeriksaan langsung darah atau urine dengan mikroskop lapangan gelap
sering gagal dan menyebabkan misdiagnosis, sehingga lebih baik tidak digunakan.
Pada Leptospirosis yang sudah mengenai otak, maka pemeriksaan CSS
didapatkan peningkatan sel-sel PMN ( pada awal ) tapi kemudian digantikan oleh
sel-sel monosit, protein pada CSS normal atau meningkat, sedangkan glukosanya
normal.
II.1.9. Tata laksana
A. Pencegahan

Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur


intervensi yang meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan
dan intervensi pada penjamu manusia.
Kuman leptospira mampu bertahan hidup bulanan di air dan tanah, dan
mati oleh desinfektans seperti lisol. Maka upaya ”Lisolisasi” upaya "lisolisasi"
seluruh permukaan lantai , dinding, dan bagian rumah yang diperkirakan tercemar
air kotor banjir yang mungkin sudah berkuman leptospira, dianggap cara mudah
dan murah mencegah "mewabah"-nya leptospirosis.
Selain sanitasi sekitar rumah dan lingkungan, higiene perorangannya
dilakukan dengan menjaga tangan selalu bersih. Selain terkena air kotor, tangan
tercemar kuman dari hewan piaraan yang sudah terjangkit penyakit dari tikus atau
hewan liar. Hindari berkontak dengan kencing hewan piaraan.
Biasakan memakai pelindung, seperti sarung tangan karet sewaktu
berkontak dengan air kotor, pakaian pelindung kulit, beralas kaki, memakiai
sepatu bot, terutama jika kulit ada luka, borok, atau eksim. Biasakan membasuh
tangan sehabis menangani hewan, ternak, atau membersihkan gudang, dapur, dan
tempat-tempat kotor.
Hewan piaraan yang terserang leptospirosis langsung diobati , dan yang
masih sehat diberi vaksinasi. Vaksinasi leptospirosis disarankan untuk manusia
yang memiliki risiko tinggi terjangkit, dan pemberiannya harus diulang setiap
tahun. Di AS sejak Desember 2000 lalu, ada anjuran bagi orang yang berisiko
tinggi terjangkit leptospirosis diberikan terapi profilaksis dengan doksisiklin 200
mg 1 x seminggu.
Tikus rumah perlu dibasmi sampai ke sarang-sarangnya. Begitu juga jika
ada hewan pengerat lain. Jangan lupa bagi yang aktivitas hariannya di peternakan,
atau yang bergiat di ranch. Kuda, babi, sapi, bisa terjangkit leptospirosis, selain
tupai, dan hewan liar lainnya yang mungkin singgah ke peternakan dan
pemukiman, atau ketika kita sedang berburu, berkemah, dan berolahraga di danau
atau sungai. Selain itu penyediaan air minum juga harus terjaga baik dan
diklorinasi.
B. Farmakologi
Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah
Penicillin G, dosis dewasa 4 x 1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x 2,4
unit/i.m, selama 7 hari.

• Terapi untuk leptospirosis ringan


Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu
biasa. Pada golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan tanda
yang menyebabkan penderita mencari pengobatan. Ikterus kalaupun ada masih
belum tampak nyata. Sehingga penatalaksanaan cukup secara konservatif.15
Penatalaksanaan konservatif
 Pemberian antipiretik, terutama apabila demamnya melebihi 38°C
 Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat.
Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen,
dianjurkan sekitar 2000-3000 kalori tergantung berat badan penderita.
Karbohidrat dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis.
Protein diberikan 0,2 – 0,5 gram/kgBB/hari yang cukup mengandung
asam amino essensial.
 Pemberian antibiotik-antikuman leptospira.
paling tepat diberikan pada fase leptospiremia yaitu diperkirakan pada
minggu pertama setelah infeksi. Pemberian penicilin setelah hari ke
tujuh atau setelah terjadi ikterus tidak efektif. Penicillin diberikan dalam
dosis 2-8 juta unit, bahkan pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4
dapat diberikan sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama
pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10
hari.
 Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat.
Pengawasan terhadap fungsi ginjal sangat perlu.

 Terapi untuk leptospirosis berat


 Antipiretik
 Nutrisi dan cairan.
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita
biasanya menurun maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi
yang seimbang dengan kebutuhan kalori dan keadaan fungsi hati dan
ginjal yang berkurang. Diberikan protein essensial dalam jumlah cukup.
Karena kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia maka masukan kalium
dibatasi sampai hanya 40mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi.
Pada fase oligurik maksimal 0,5gram/hari. Pada fase ologurik pemberian
cairan harus dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu banyak atau
cairan yang justru membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer
laktat misalnya, justru akan membebani kerja hati yang sudah terganggu.
Pemberian cairan yang berlebihan akan menambah beban ginjal. Untuk
dapat memberikan cairan dalam jumlah yang cukup atau tidak
berlebihan secara sederhana dapat dikerjakan monitoring / balance cairan
secara cermat.
Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan
makan secara parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan
cukup kandungan nutrisinya.
 Pemberian antibiotik
◦ Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan
sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian
penisilin bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10 hari.
Penelitian terakhir : AB gol. fluoroquinolone dan beta laktam
(sefalosporin, ceftriaxone) > baik dibanding antibiotik
konvensional tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan
keunggulannya secara in vivo.
 Penanganan kegagalan ginjal.
Gagak ginjal adalah salah satu komplikasi berat dari leptospirosis.
Kelainan ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN). Terjadinya
ATN dapat diketahui dengan melihat ratio osmolaritas urine dan plasma
(normal bila ratio <1). Juga dengan melihat perbandingan kreatinin urine
dan plasma.
 Pengobatan terhadap infeksi sekunder.
Penderita leptospirosis sangat rentan terhadap terjadinya beberapa
infeksi sekunderakibat dari penyakitnya sendiri atau akibat tindakan
medik, antara lain: bronkopneumonia, infeksi saluran kencing,
peritonitis (komplikasi dialisis peritoneal), dan sepsis. Dilaporkan
kelainan paru pada leptospirosis terdapat pada 20-70% kasus (Kevins O
Neal, 1991). Pengelolaan sangat tergantung dari jenis komplikasi yang
terjadi. Pada penderita leptospirosis, sepsis / syok septik mempunyai
angka kematian yang tinggi.
 Penanganan khusus
1. Hiperkalemia  diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa
insulin (10-20 U regular insulin dalam infus dextrose 40%)
Merupakan keadaan yang harus segera ditangani karena
menyebabkan cardiac arrest.
2. Asidosis metabolik  diberikan natrium bikarbonas dengan
dosis (0,3 x KgBB x defisit HCO3 plasma dalam mEq/L)
3. Hipertensi  diberikan antihipertensi
4. Gagal jantung  pembatasan cairan, digitalis dan diuretik
5. Kejang
Dapat terjadi karena hiponatremia, hipokalsemia, hipertensi
ensefalopati dan uremia. Penting untuk menangani kausa
ptimernya, mempertahankan oksigenasi / sirkulasi darah ke otak,
dan pemberian obat anti konvulsi.
6. Perdarahan  transfusi
Merupakan komplikasi penting pada leptospirosis, dan sering
mnakutkan. Manifestasi perdarahan dapat dari ringan sampai
berat. Perdarahan kadang0-kadang terjadi pada waktu
mengerjakan dialisis peritoneal. Untuk menyampingkan enyebab
lain perlu dilakukan pemeriksaan faal koagulasi secara lengkap.
Perdarahan terjadi akibat timbunan bahan-bahan toksik dan
akibat trpmbositopati.
7. Gagal ginjal akut  hidrasi cairan dan elektrolit, dopamin,
diuretik, dialisis.

II.1.10 Komplikasi
Meningitis aseptik merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan.
Gagal ginjal, kerusakan hati, perdarahan paru, vaskulitis, dan miokarditis jarang
ditemukan walaupun pada umumnya dapat menyebabkan kematian.

II.1.11. Prognosis
Mortalitas pada leptospirosis berat sekitar 10%, kematian paling sering
disebabkan karena gagal ginjal, perdarahan masif atau ARDS. Fungsi hati dan
ginjal akan kembali normal, meskipun terjadi disfungsi berat, bahkan pada pasien
yang menjalani dialisis. Sekitar sepertiga kasus yang menderita meningitis aseptik
dapat mengalami nyeri kepala secara periodic.
DAFTAR PUSTAKA

Daher Ede F, de Abreu KL, da Silva Junior GB. Leptospirosis-associated acute


kidney injury. J Bras Nefrol. 2010;32(4):400-7.

Day NPJ, Edwards CN. Leptospirosis. In: Cohen J, Opal SM, Powderly WG,
editors. Infectious diseases. 3ed. London: Mosby Elsevier; 2010. p. 1241-2.

Gulati S, Gulati A. Pulmonary manifestations of leptospirosis. Lung India


2012;29:347-53.

Kementerian Kesehatan. Pro l pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan


tahun 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan; 2012.

Leptospirosis clinical practice guidelines 2010 [Internet]. [cited 2013 Dec 20].
Available from:
http://www.psmid.org.ph/contents/Leptospirosis_GUIDELINES_
(contents).pdf.

Leptospirosis clinical practice guidelines 2010 [Internet]. [cited 2013 Dec 20].
Available from:
http://www.psmid.org.ph/contents/Leptospirosis_GUIDELINES_
(contents).pdf.

Watt G. Leptospirosis. In: Magill AJ, Hill DR, Solomon T, Ryan ET, editors.
Hunter’s tropical medicine and emerging infectious diseases. 9 ed. London:
Saunders Elsevier; 2013. p. 597-601.

World Health Organization. Leptospirosis burden epidemiology reference group


[Internet]. [cited 2013 Dec 4]. Available from:
http://www.who.int/zoonoses/ diseases/lerg/en/index2.html.
1. Leptospirosis clinical practice guidelines 2010 [Internet]. [cited 2013 Dec 20]. Available from:
http://www.psmid.org.ph/contents/Leptospirosis_GUIDELINES_ (contents).pdf.

You might also like