You are on page 1of 6

CKD

PATOGENESIS
Perjalanan umum CKD diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan
kreatinin dengan GFR sebagai persentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin
serum dan kadar Blood Uric Nitrogen (BUN) karena massa nefron dirusak secara
progresif. Perjalanan penyakit CKD secara umum terjadi dalam beberapa tahapan,
yaitu (Price dan Wilson, 2010):
a. Stadium I (Penurunan Fungsi Ginjal)
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR < 50%. Pada keadaan ini,
tanda dan gejala CKD belum muncul, namun sudah terdapat peningkatan pada
ureum dan kreatinin darah
b. Stadium II (Insufisiensi Ginjal)
Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak dapat lagi
menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR mengalami
penurunan yang bermakna hingga mencapai 25% dari besaran normal akibat
kerusakan lebih dari 75% jaringan nefron. Tanda dan gejala serta disfungsi
ginjal yang ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan melakukan
kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan konsentrasi urin,
nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjal saat stres dapat terjadi pada
tahapan ini.
c. Stadium III (Gagal Ginjal)
Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia, asidosis,
ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan elektrolit
sepertu : hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia. Keadaan gagal
ginjal terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek pada sistem
organ lain.
d. Stadium IV (End Stage Renal Disease/ ESRD)
Stadium ini dimulai ketika sekitar 90% dari massa nefron telah hancur,
atau hanya sekitar 200.000 nefron yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10% dari
keadaan normal, dan bersihan kreatinin hanya sebesar 5-10 ml per menit atau
kurang. Pada keadaan ini, kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat
dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap GFR yang mengalami
penurunan. Gejala yang timbul cukup parah, karena ginjal tidak sanggup
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Pasien
biasanya menjadi oligourik dan terdapat perubahan biokimia serta gejala-gejala
yang dinamakan sindrom uremik.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi umum CKD dijelaskan melalui dua pendekatan teoretis. Sudut
pandang tradisional mengatakan semua unit nefron telah terserang penyakit namun
dalam stadium yang berbeda-beda dan bagian-bagian spesifik dari nefron yang
berkaitan dengan fungsi tertentu saja yang benar-benar rusak atau berubah
strukutnya. Sebagai contoh kerusakan pada medula akan merusak susunan anatomik
pada lengkung Henle, sehingga dapat mempengaruhi pompa klorida dan
mengganggu proses aliran balik pemekat dan aliran balik penukar. Teori kedua atau
disebut dengan hipotesis Bricker. Apabila nefron terserang penyakit maka seluruh
unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal.
Uremia akan timbul jika jumlah nefron sudah berkurang sehingga keseimbangan
cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi (Price dan Wilson, 2010).
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β
(TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia.Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerolus maupun interstitial (Price dan Wilson, 2010).
Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam usahanya
untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadi peningkatan filtrasi dan reabsorbsi
glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GFR untuk seluruh massa nefron
yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal. Mekanisme tersebut mampu
menyokong keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal
yang paling rendah. Namun jika 75% massa nefron telah hancur, maka kecepatan
filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron akan semakin tinggi. Hal ini
mengakibatkan keseimbangan glomerulus tubulus tidak dapat dipertahankan lagi
(Price dan Wilson, 2010).
Pada saat kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih hilang atau
menurun, maka akan menyebabkan berat jenis urin tetap pada nilai 1,010 atau 285
mOsm/liter yaitu sama dengan konsentrasi plasma, dan merupakan penyebab gejala
poliuria dan nokturia. Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak
mampu mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa
terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita sering
menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif dan hipertensi (Price dan Wilson, 2010).
Hipertensi merupakan salah satu penyebab CKD karena dapat meningkatkan
aliran darah ginjal pada glomerulus yang secara progresif akan menyebabkan
kerusakan endotel dan barrier filtrasi glomerulus. Kerusakan sel tersebut akan diikuti
inflamasi yang menyebabkan kematian sel podosit dan sel mesangial. Disfungsi
endotel akan menyebabkan vasokonstriksi sehingga mengurangi aliran darah ke
glomerulus ginjal. Penurunan aliran darah akan diikuti penurunan tekanan
glomerulus yang mengakibatkan penurunan pada LFG. Inflamasi dan kematian sel
yang terjadi akibat kerusakan pada ginjal akan menyebabkan fibrosis dan
glomerulosklerosis. Fibrosis dan glomerulosklerosis ini yang akan menyebabkan
tereduksinya kemampuan ginjal untuk melakukan fungsinya. Keadaan ini
dikompensasi oleh tubuh dengan mengeluarkan zat vasoaktif dan growth factor yang
menyebabkan hipertrofi structural dari neuron yang tersisa (Lopez-Novoa et., al.,
2010).
Usaha tersebut dalam tujuan mengembalikan fungsi normal ginjal, dalam
keadaan ini LFG dapat normal atau bahkan meningkat. Hipertrofi ginjal secara
progresif akan berubah menjadi fungsi yang tidak sesuai oleh karena tingginya
beban kerja yang harus ditanggung. Hipertrofi glomerulus berlanjut menjadi
glomerulosklerosis sehingga menurunkan aliran darah ginjal. Penurunan aliran darah
ginjal tersebut akan diikuti penurunan tekanan darah pada glomerulus yang
menyebabkan penurunan LFG (Lopez-Novoa et., al., 2010).
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin dan angiotensin.
Kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Saat muntah dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium yang dapat memperberat stadium uremik.
Dengan berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring dengan
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal
mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al, 2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi eritropoetin yang tidak
adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Eritropoetin adalah suatu substansi
normal yang diproduksi oleh ginjal, menstimulus sumsum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD produksi eritropoetin menurun
(Price and Wilson, 2010).
Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan fosfat.
Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling berlawanan. Dengan
menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat
serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price and Wilson, 2010).
Pada penderita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat – zat sisa. Keadaan
ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam urin penderita. Inilah
yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price and Wilson, 2010).
Penderita CKD juga dapat mengalami osteoforosis sebagai akibat dari
menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormon (Price and Wilson,
2010).
DAFTAR PUSTAKA

Lopez-Novoa, M. Jose, M.S. Carlos, B. Ana, J.L.H. Francisco. 2010. Common


Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease: Therapeutic Perspectives.
Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81.

Price, S.A., L.M. Wilson. 2010. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Perjalanan Penyakit.
Jakarta: EGC.

Rizki Baiti Oktaviyani


G4A016108

You might also like