You are on page 1of 84

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkankan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,


atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya, maka penyusun dapat menyelesaikan
“Laporan Akhir Praktikum Manajemen Agroekosistem di Desa Sumber Brantas
Kecamatan Batu” ini. Laporan ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
praktikum Manajemen Agroekosistem tahun ajaran 2014/2015.

Laporan ini dapat terwujud berkat kerja sama dan bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu dalam kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima
kasih kepada :

1. Allah SWT atas semua nikmat dan karunia yang diberikan


2. Kedua orang tua penyusun yang selalu mendo‟akan dan memberi
dukungan dalam pembuatan laporan ini
3. Dosen pengampu mata kuliah Manajemen Agroekosistem Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya
4. Asisten praktikum Manajemen Agroekosistem Aspek HPT Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya
5. Asisten praktikum Manajemen Agroekosistem Aspek BP Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya
6. Asisten praktikum Manajemen Agroekosistem Aspek Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya
7. Semua pihak yang telah memberikan motivasi dan dorongan yang tidak
ternilai hingga terselesaikannya laporan ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis ini masih ada
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca demi kesempurnaan dalam pembuatan karya tulis di masa mendatang.

Malang, 3 Juni 2015

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………….………….i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii


DAFTAR TABEL…………………….…….…………………………………….iv

DAFTAR GAMBAR……………...………………………………………………v

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.3 Manfaat ..................................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
2.1 Agroekosistem Lahan Basah .................................................................... 3
2.2 Agroekosistem Lahan Kering ................................................................... 5
2.3 Kulalitas Tanah Dan Kesehatan Tanah .................................................... 6
2.4 Hama Dan Penyakit Penting Tanaman Pada Agroekosistem ................... 8
2.5 Pengaruh Populasi Musuh Alami Terhadap Agroekosistem .................. 15
2.6 Dampak Manajemen Agroekosistem Terhadap Kualitas dan Kesehatan
Tanah ...................................................................................................... 17
2.7 Kriteria Indikator dalam Pengelolaan Agroekosistem yang Sehat dan
Berkelanjutan ......................................................................................... 20
BAB III ................................................................................................................. 24
METODOLOGI .................................................................................................... 24
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................. 24
3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................... 24
3.3 Cara Kerja............................................................................................... 29
BAB IV ................................................................................................................. 38
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 38
4.1 Kondisi Umum lahan.............................................................................. 38
4.2 Analisis Keadaan Agroekosistem Lokasi Fieldtrip ................................ 38
4.3 Rekomendasi .......................................................................................... 60

ii
BAB V................................................................................................................... 72
PENUTUP ............................................................................................................. 72
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 72
5.2 Saran Terhadap Keberlanjutan Agroekosistem ...................................... 73
5.3 Saran Praktikum ..................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 74
LAMPIRAN .......................................................................................................... 77

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rotasi Tanaman PHT .............................................................................. 39


Tabel 2. Rotasi Tanaman Non-PHT ...................................................................... 45
Tabel 3. Biodeversitas Arthropoda dengan Konsep PHT ..................................... 46
Tabel 4. Biodeversitas Arthropoda dengan Konsep Non PHT ............................. 47
Tabel 5. Penyakit yang Ditemukan Di Lahan ....................................................... 55
Tabel 6. Skoring Penyakit .................................................................................... 58
Tabel 7. Serangan Intensitas Penyakit dengan Konsep PHT ................................ 58
Tabel 8. Denah Pengambilan Sampel Tanaman Terserang Penyakit ................... 59
Tabel 9. Serangan Intensitas Penyakit dengan Konsep Non PHT ........................ 60
Tabel 10. Denah Pengambilan Sampel Tanaman Terserang Penyakit…………...60

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Agroekosistem Lahan Basah……………………………………… 4


Gambar 2. Agroekosistem Lahan Kering………….…………………………. 5
Gambar 3. Tanah……………………………………………………………… 6
Gambar 4. Ulat Kubis (Plutella xylostella L.)………………………………... 9
Gambar 5. Ulat Krop Kubis (Crocidolomiabinotalis)………………………… 10
Gambar 6. Bercak Daun (Alternaria brassicae)………………………………. 11
Gambar 7. Busuk Lunak (Bacterial Soft Rot)………………………………… 12
Gambar 8. Busuk Hitam (Xanthomonas campestris Dows)…………….......... 14
Gambar 9. Layu Pembuluh (Fusarium oxysporum .sp.)……………………… 15
Gambar 10. Segitiga Fiktorial………………………………………………… 48
Gambar 11. Ulat Grayak (Spodoptera lituraF.)……………………………….. 51
Gambar 12. Ulat Kubis (Plutella xylostella L.)……………………………….. 51
Gambar 13. Kumbang Kubah Spot M (Menochillus sexmaculatus)………….. 52
Gambar 14. Capung Jarum (Ischnura senegalensis)…………………………... 52
Gambar 15. Semut Hitam ( Dolichoderus thoracicus S.)…………………....... 53
Gambar 16. Lalat Rumah (Musca domestica )……………………………….. 53
Gambar 17. Nyamuk………………………………………………………….. 54

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia merupakan salah satu makhluk yang membutuhkan bahan pangan
untuk dapat melangsungkan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut
manusia melakukan berbagai cara yang salah satunya adalah melakukan kegiatan
pertanian. Dalam aktifitas ini, manusia melakukan perubahan lingkungan dari
ekosistem alami menjadi sebuah agroekosistem dengan manajemen yang baik.

Manajemen agroekosistem adalah suatukegiatan dimulai dari


merencanakan, mengorganisir, mengarahkan, danmengontrol kegiatan budidaya
untuk mendapatkan hasil yang ingin dicapainamun tetap menjaga keseimbangan
dan kelestarian ekosistemnya.Di dalam ekosistem terdapat interaksi antara
organisme dengan lingkungannya yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik
yang terlibat dalam aliran energi dan siklus nutrisi. Pada agroekosistem terjadi
hubungan timbal balik antara sekelompok manusia dan komponen-komponen
ekosistem, disertai usaha memodifikasi lingkungan meliputi sistem budidaya,
pengolahan tanah dan pengendalian hama dan penyakit sehingga secara tidak
langsung akan merubah keseimbangan ekosistem. Apabila tidak dilakukan
manajemen agroekosistem yang baik, maka semakin lama akan menimbulkan
kerusakan lingkungan.

Masalah lingkungan serius di pedesaan dan pertanian adalah kerusakan


hutan, meluasnya padang alang-alang, degradasi lahan serta menurunnya
keanekaragaman biota. Masalah ini timbul seiring meningkatnya populasi
penduduk, komersialisasi pertanian, masukan teknologi pertanian dan permintaan
konsumsi masyarakat. Sehingga perlu dilakukan pengkajian dan penelitian
mengenai agroekosistem yang telah diterapkan di desa Sumber Brantas, meliputi
aspek budidaya pertanian, aspek tanah serta aspek hama dan penyakit untuk dan
mengetahui seberapa besar keseimbangan agroekosistemnya agar dapat
menentukan manajemen yang tepat untuk agroekosistem selanjutnya di lahan
tersebut.

1
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui tingkat keseimbangan agroekosistem di desa Sumber
Brantas
2. Untuk Mengetahui kondisi umum lahan, sistem budidaya, dan pengelolaan
tanaman yang dilakukan oleh petani di desa Sumber Brantas
3. Untuk mengetahui tingkat kesuburan pada lahan di desa Sumber Brantas
4. Untuk mengetahui pengaruh antara kualitas dan kesehatan tanah terhadap
kesuburan tanaman di desa Sumber Brantas

1.3 Manfaat
Harapannya dalam kegiatan ini dapat memberikan manfaat lebih dalam
Manajemen Agroekosistem di desa Sumber Brantas yang mencakup tiga aspek
penting yaitu aspek budidaya pertanian, aspek hama dan penyakit tanaman, dan
aspek tanah. Serta dapat menentukan rekomendasi manajemen agroekosistem
yang sesuai didalam upaya menciptakan keseimbangan ekosistem.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agroekosistem Lahan Basah

Lahan basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh


dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu
sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang
dangkal. Sumber airnya bisa berasal dari laut, sungai, rawa, dan juga irigasi
tergantung jenis nya. Kondisi pH juga relatif netral sehingga jasad renik yang ada
di tanah juga sangat beragam, ini membuat tanah pada lahan basah relatif lebih
subur jika dibandingkan dengan tanah pada lahan basah.

Lahan basah berdasarkan Sistem Klasifikasi Ramsar, diklasifikasikan


menjadi tiga kelompok utama, yaitu: lahan basah pesisir dan lautan, lahan basah
daratan, dan lahan basah buatan. Lahan basah pesisir dan lautan ini umunya
memiliki salinitas yang cukup tinggi karena berada di daerah pasang surut dan
juga muara sungai, sehingga perlakuanya juga harus berbeda dengan lahan basah
yang lain, perlu di ingat bahwa lahan basah ini tidak harus identik dengan
pertanian tetapi juga bisa dipandang dari sudut pandang perikanan. Salah satu
contoh pemanfaatan lahan basah pesisir ini diantaranya adalah digunakan sebagai
hutan bakau sebagai hutan konservasi dan juga penahan erosi, selain itu manfaat
dari hutan bakau ini juga berfungsi sebagai rumah beberapa jenis hewan laut
sehingga dapat menjaga ekosistem laut.

Selanjutnya lahan basah daratan, ini merupakan lahan basah alami yang
berada daratan contohnya adalah rawa-rawa, lahan gambut, sawah, tepian danau
dan juga daerah aliran sungai. Wilayah-wilayah ini umumnya memiliki
karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga perlu dilakukan suatu
pemikiran khusus dalam pemanfaatanya. Contoh perlakuanpada lahan gambut,
lahan gambut merupakan lahan potensial yang pemanfaatanya masih sangat
minim karena keterbatasan dalam hal pengelolaanya. Dalam pemanfaatan lahan
gambut kendalanya selain kondisi lahan yang rata-rata selalu tergenang air juga
karena sifat tanah yang sangat bersifat asam, maka dari itu perlu diadakan

3
penetralan pH, bisa dengan cara pengapuran atau juga dengan cara pencucian
dengan air, tergantung efisiensinya. Selain itu untuk mangatasi masalah genangan
air, maka perlu dibuat suatu sistem drainase untuk pengatusanya agar tidak terjadi
genangan pada lahan tersebut.

Dan jenis lahan basah yang ketiga adalah lahan basah buatan yang sengaja
diusahakan oleh manusia untuk mendudkung kegiatan pertaniannya. Jenis lahan
basah buatan yang paling sering ditemui adalah lahan basah beririgasi, biasanya
lahan ini awalnya berasal dari lahan kering yang sengaja diberikan saluran irigasi
untuk mendukung kegiatan budidaya pertaniannya. Setelah diberikan irigasi,
kebutuhan air lahan tersebut akan tercukupi sepanjang musim sehingga lahan ini
berubah status menjadi lahan sawah (Puspita, 2005).

Gambar 1. Agroekosistem Lahan Basah


Sumber :http://hutantani.blogspot.com/
Penggenangan selama pertumbuhan padi dan pengolahan tanah pada
tanah kering yang disawahkan, dapat menyebabkan berbagai perubahan sifat
tanah, baik sifat morfologi, fisika, kimia, mikrobiologi maupun sifat-sifat lain
sehingga sifat-sifat tanah dapat sangat berbeda dengan sifat-sifat tanah asalnya.
Sebelum tanah digunakan sebagai tanah sawah, secara alamiah tanah telah
mengalami proses pembentukan tanah sesuai dengan faktor-faktor pembentuk
tanahnya, sehingga terbentuklah jenis-jenis tanah tertentu yang masing-masing
mempunyai sifat morfologi tersendiri(Hardjowigno dan Endang, 2007).

4
2.2 Agroekosistem Lahan Kering
Agroekosistem lahan kering atau upland dimaknai sebagai wilayah
atau kawasan pertanian yang usaha taninya berbasis komoditas lahan kering selain
padi sawah. Menurut Kadekoh (2010) mendefinisikan bahwa lahan kering sebagai
lahan dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air
hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun.Dan menurut Rukmana (2001)
lahan kering merupakan suatu jenis lahan yang bisa digunakan untuk proses
budidaya pertanian dengan menggunakan air yang bersifat sangat terbatas, dan
biasanya sumber air ini hanya bisa didapatkan dari air hujan.

Pada umumnya istilah yang digunakan untuk pertanian lahan kering


adalah pertanian tanah darat, tegalan, tadah hujan dan huma. Potensi pemanfaatan
lahan kering biasanya untuk komoditas pangan seperti jagung, padi gogo, kedelai,
sorghum, dan palawija lainnya. Untuk pengembangan komoditas perkebunan,
dapat dikatakan bahwa hampir semua komoditas perkebunan yang produksinya
berorientasi ekspor dihasilkan dari usaha tani lahan kering.

Gambar 2. Agroekosistem Lahan Kering


Sumber :http://hutantani.blogspot.com/
Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan
cukup baik (Bamualim,2004). Lahan kering mempunyai potensi besar untuk
pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman perkebunan.
Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah
satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan
pangan nasional (Mulyani dkk, 2006). Namun demikian, tipe lahan ini umumnya
memiliki produktivitas rendah, kecuali pada lahan yang dimanfaatkan untuk
tanaman tahunan atau perkebunan. Pada usaha tani lahan kering dengan tanaman

5
semusim, produktivitas relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi
seperti tekanan penduduk yang terus meningkat (Sukmana, dalam Syam, 2003).

2.3 Kulalitas Tanah Dan Kesehatan Tanah


Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat berfungsi penting
dalam kelangsungan hidup mahluk hidup. Bukan hanya fungsinya sebagai tempat
berjangkarnya tanaman, penyedia sumber daya penting dan tempat berpijak tetapi
juga fungsinya sebagai suatu bagian dari ekosistem.Penurunan fungsi tanah
tersebut dapat menyebabkan terganggunya ekosistem di sekitarnya termasuk juga
manusia (Waluyaningsih, 2008).

Doran & Parkin (1994) memberikan batasan kualitas tanah adalah


kapasitas suatu tanah untuk berfungsi dalam batas-batas ekosistem untuk
melestarikan produktivitas biologi, memelihara kualitas lingkungan, serta
meningkatkan kesehatan tanaman dan hewan. Johnson et al. (1997) mengusulkan
bahwa kualitas tanah adalah ukuran kondisi tanah dibandingkan dengan
kebutuhan satu atau beberapa spesies atau dengan beberapa kebutuhan hidup
manusia.Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis
indikator-indikator kualitas tanah. Pengukuran indikator kualitas tanah
menghasilkan indeks kualitas tanah. Indeks kualitas tanah merupakan indeks yang
dihitung berdasarkan nilai dan bobot tiap indikator kualitas tanah. Indikator-
indikator kualitas tanah dipilih dari sifat-sifat yang menunjukkan kapasitas fungsi
tanah.

Gambar 3. Tanah
Sumber :https://tenagaeksogen16.wordpress.com/
Indikator kualitas tanah adalah sifat, karakteristik atau proses fisika,
kimia dan biologi tanah yang dapat menggambarkan kondisi tanah (SQI, 2001).
Menurut Doran & Parkin (1994), indikator-indikator kualitas tanah harus :

6
1. menunjukkan proses-proses yang terjadi dalam ekosistem,
2. memadukan sifat fisika tanah, kimia tanah dan proses biologi tanah,
3. dapat diterima oleh banyak pengguna dan dapat diterapkan di berbagai
kondisi lahan,
4. peka terhadap berbagai keragaman pengelolaan tanah dan perubahan
iklim, dan
5. apabila mungkin, sifat tersebut merupakan komponen yang biasa
diamati pada data dasar tanah.
Sedangkan menurut Karlen et al. (1996) mengusulkan bahwa
pemilihan indikator kualitas tanah harus mencerminkan kapasitas tanah untuk
menjalankan fungsinya yaitu:
1. melestarikan aktivitas, diversitas dan produktivitas biologis
2. mengatur dan mengarahkan aliran air dan zat terlarutnya
3. menyaring, menyangga, merombak, mendetoksifikasi bahan-bahan
anorganik dan organik, meliputi limbah industri dan rumah tangga
serta curahan dari atmosfer
4. menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur lain dalam biosfer
5. mendukung struktur sosial ekonomi dan melindungi peninggalan
arkeologis terkait dengan permukiman manusia.
Kesehatan tanah ialah integrasi dan optimasi sifat tanah yang
bertujuan untuk peningkatan produktivitas dan kualitas tanah,tanaman, dan
lingkungan. Indikator kinerja tanah ialah sifat tanah yang terukur dan dapat
menunjukkan tanda bahwa tanah menjalankan fungsinya atau tidak (Riwandi,
2010).
Tanah yang sehat adalah tanah mudah diolah, jeluk tanah cukup dalam,
unsur hara cukup tidak berlebihan, populasi hama dan penyakit tanaman kecil,
drainase sangat baik, populasi organisme tanah yang menguntungkan sangat
banyak, gulma sangat kecil, bebas bahan kimia dan toksin, tahan degradasi, lentur
(resilience) ketika terjadi kondisi yang buruk (Riwandi, 2010).

7
2.4 Hama Dan Penyakit Penting Tanaman Pada Agroekosistem
 Hama Penting Tanaman Sawi (Brassica oleracea)
1. Ulat Kubis (Plutella xylostella L.)
Kingdom :Arthopoda
Kelas : Insekta
Ordo : Lepidoptera
Famili :Plutellidae
Genus :Plutella
Species :Plutellaxylostella L.

Plutella xylostella L. tergolong dalam ordo Lepidoptera, famili Plutellidae,


Plutella xylostella mempunyai nama lain yaitu Plutella maculipennis, atau
disebut juga ulat tritip atau ulat kubis, tanaman inangnya, antara lain kubis, lobak,
sawi, kolhrabi, kubis bunga, kubis kale, kubis tunas dan tanaman lain yang
termasuk keluarga Cruciferae. Dalam perkembangannya Plutella xylostella
mengalami metamorfosis sempurna (Holometabola).
Imagonya berupa ngengat kecil berwarna coklat kelabu. Pada sayap depan
terdapat tanda tiga berlian yang berupa gelombang (undulasi). Warna berlian pada
ngengat betina lebih gelap dibandingkan dengan ngengat jantan. Lamanya siklus
(daur hidup) ± 21 hari, ngengatnya aktif pada senja dan malam hari.Bentuk telur
bulat panjang, lebar 0,26 mm dan panjang 0,49 mm. Telurnya kecil, putih
kekuningan diletakkan pada permukaan bawah daun dalam kelompok 10-20 butir
atau 3-4 butir. Ulat yang baru menetas berwarna hijau pucat, sedangkan yang
telah besar warnanya lebih tua dengan kepala lebih pucat. Larva Plutella
xylostella mudah dibedakan dengan larva serangga hama lainnya karena larva ini
tidak mempunyai garis membujur pada tubuhnya serta larva terdiri atas empat
instar.
Setelah cukup tua ulat mulai berkepompong, sarang kepompong dibuat
dari sejenis benang sutera yang berwarna abu-abu putih pada bagian bawah
permukaan daun. Pembentukan sarang kepompong mula-mula dibuat dari dasar,
kemudian sisi depan dan tutupnya. Pada ujung masih ada lubang kecil untuk
pernapasan(Sastrahidayat, 1991).

8
Pengendalian ulat kubis dapat dilakukan dengan cara mekanis, kimiawi
dengan insektisida kimia sintetik selektif maupun insektisida nabati, pola
bercocok tanam (tumpangsari, rotasi, irigasi, penanaman yang bersih),
penggunaan tanaman tahan, pengendalian hayati menggunakan predator,
parasitoid (misalnya dengan Diadegma semiclausum Helen, Cotesia plutellae
Kurdj., dll.), patogen (misalnya pemakaian bakteri B. thuringiensis, jamur
Beauveria bassiana, dsb.) serta aplikasi program PHT(Semangun, 1993).

Gambar 4. Ulat Kubis (Plutella xylostella L.)


Sumber : Dokumentasi
2. Ulat Krop Kubis (Crocidolomiabinotalis)
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Crambidae
Subfamili : Pyraustinae
Genus : Crocidolomia
Spesies : Crocidolomiabinotalis
Telurnya diletakkan di balik daun secara berkelompok, jumlah tiap
kelompok sekitar 11-18 dan setiap kelompok berisi sekitar 30 - 80 butir
telur.Telur berbentuk pipih dan berwarna jernih.Diameter telur berkisar antara 1-2
mm. Stadium telur berlangsung selama 3 hari.Larva yang baru menetas hidup
berkelompok di balik daun.Sesudah 4-5 hari, mereka bergerak ke titik
tumbuh.Ulat yang baru menetas berwarna kelabu, kemudian berubah menjadi
hijau muda.Pada punggungnya ada 3 baris putih kekuning-kuningan dan dua garis
di samping, kepalanya berwarna hitam.Panjang ulat sekitar 18 mm. Punggungnya
ada garis berwarna hijau muda.Sisi kiri dan kanan punggung warnanya lebih tua

9
dan ada rambut dari kitin yang warnanya hitam.Bagian sisi perut berwarna kuning
selain itu juga ada yang warnanya kuning disertai rambut hijau.Pupa terletak
dalam tanah di dekat pangkal batang inang. Panjang pupa sekitar 8,5 - 10,5 mm,
berwarna hijau pudar dan coklat muda, kemudian berubah menjadi coklat tua
seperti tembaga. Imago jantan lebih besar dan lebih lebih panjang sedikitdaripada
yang betina.Warna sayap muka krem dengan bercak abu-abu coklat.Lama hidup
untuk ngengat betina sekitar 16 - 24 hari. Daur hidupnya sekitar 22 - 30 hari.
Panjang larva dapat mencapai 18 - 25 mm.Larva kecil memakan bagian
bawah daun dengan meninggalkan bekas berupa bercak putih. Lapisan epidermis
permukaan atas daun biasanya tidak ikut dimakan dan akan berlubang setelah
lapisan tersebut kering serta hanya tinggal tulang-tulang daunnya. Bila bagian
pucuk yang terserang maka tanaman tidak dapat membentuk krop sama sekali.
Larva instar II mulai memencar dan menyerang daun bagian lebih dalam dan
sering kali masuk ke dalam pucuk tanaman serta menghancurkan titik tumbuh.
Apabila serangan terjadi pada tanaman kubis yang telah membentik krop, larva
yang telah mencapai instar III akan menggerek ke dalam krop dan merusak bagain
tersebut, sehingga dapat menurunkan nilai ekonominya.
Tidak jarang juga akan terjadi pembusukan krop karena serangan tersebut
yang diikuti oleh serangan skunder yaitu oleh jamur. Ulat krop kubis lebih banyak
ditemukan pda pertanaman yang telah membentuk krop, yaitu pada tanaman
berumur 7- 11 minggu setelah tanam.Ulat akanmenyerang dengan cepat pada
tanaman lainnya sehingga ulat ini merupakan hama yang berbahaya bagi tanaman
sawi besar dan kol(Sastrahidayat, 1991).

Gambar 5.Ulat Krop Kubis (Crocidolomiabinotalis)


Sumber :Sastrahidayat (1991)

10
 Penyakit Penting Tanaman Sawi (Brassica oleracea)
1. Bercak Daun (Alternaria brassicae)
Seperti halnya pada tanaman cabe, bercak alternaria pun dapat menyerang
tanaman sawi. Namun, penyakit pada sawi ini disebabkan oleh Alternaria
brassicae, A. brassicicola. Hampir seluruh tanaman sawi sangat peka terhadap
bercak daun Alternaria dan dapat menyerang tanaman pada seluruh fase
pertumbuhan (Semangun, 1993).
Gejala yang ditimbulkan oleh 2 patogen ini sama dan bisa ditemukan
dalam satu tanaman. Serangan pada tanaman di persemaian dapat mengakibatkan
damping off atau tanaman kerdil. Bentuk Bercak daun sangat beragam ukurannya
dari sebesar lubang jarum hingga yang berdiameter 5 cm(Pracaya, 1997).
Umumnya serangan dimulai dengan adanya bercak kecil pada daun yang
membesar hingga kurang lebih berdiamter 1,5 cm dan berwarna gelap dengan
lingkaran konsentris. Perubahan warna menjadi coklat pada head cauliflower dan
brokoli juga disebabkan oleh pathogen ini. Patogen ini juga menimbulkan bercak
elips nekrotis pada benih. Penyakit ini disebabkan oleh patogen yang terbawa
benih. Alternaria sendiri dapat disebarkan oleh angin. Serangan dapat dipercepat
oleh cuaca yang lembab dengan suhu optimum antara 25 – 30°C.
Pengendalian yang dapat dilakukan antara lain : menggunakan benih yang
bebas dari patogen ini. Air panas dan perlakuan benih dengan bahan kimia juga
sangat efektif serta penggunaan fungisida Promefon 250EC (Semangun, 1993).

Gambar 6.Bercak Daun (Alternaria brassicae)


Sumber: Dokumentasi

11
2. Busuk Lunak (Bacterial Soft Rot)
Penyakit busuk lunak ini disebabkan oleh bakteri Erwinia
carotovora.Penyakit busuk lunak dapat menyerang seluruh tanaman kubis-
kubisan,tetapi lebih sering menyerang sawi putih dan kubis. Jaringan tanaman
yang telah terserang menunjukkan gejala basah dan diameter serta kedalamannya
melebar secara cepat. Bagian tanaman yang terkena menjadi lunak dan berubah
warna menjadi gelap apabila serangan terus berlanjut. Tanaman yang terkena
penyakit ini akan menimbulkan bau yang khas akibat adanya perkembangan
organisme lain setelah pembusukan terjadi (Semangun, 1993).
Bakteri busuk lunak timbul dari seresah tanaman yang telah terinfeksi,
melalui akar tanaman, dari tanah, dan beberapa serangga. Luka pada tanaman
seperti stomata pada daun, serangan serangga, kerusakan mekanis, ataupun bekas
serangan dari patogen lain merupakan sasaran yang empuk untuk serangan
bakteri.Hujan dan suhu yang tinggi mendorong penyebaran di lahan. Infeksi pada
saat pengangkutan dan penyimpanan merupakan kontaminasi bakteri saat di lahan
maupun pasca panen melalui peralatan pengangkutan dan panen serta tempat
penyimpanan.
Bakteri busuk lunak dapat berkembang pada suhu 5 – 37oC dengan suhu
optimum berkisar 22oC. Pengendalian secara preventif bisa ditempuh melalui
kebersihan lingkungan dan sistem budidaya. Lahan harus memiliki drainase yang
baik untuk mengurangi kelembaban tanah serta jarak tanamnya harus cukup
memberikan pertukaran udara untuk mempercepat proses pengeringan daun saat
basah. Penyemprotan bakterisida seperti Kocide 77WP dengan interval 10 hari
sangat dianjurkan terutama saat penanaman musim hujan (Pracaya,1997).

Gambar 7.Busuk Lunak (Bacterial Soft Rot)


Sumber: Semangun (1993)

12
3. Busuk Hitam (Xanthomonas campestris Dows)
Penyakit busuk hitam yang disebabkan Xanthomonascampestris pv. Busuk
hitam dapat menyerang seluruh tanaman sawi. Gejala awal yang timbul adalah
pada tepi daun dan berlanjut hingga klorosis membentuk huruf V. Dengan
berjalannya waktu, gejala yang timbul tadi kemudian mengering dan seperti
terbakar (nekrotis). Serangan umumnya terjadi pada pori daun, tetapi tidak
menutup kemungkinan dapat menyerang di bagian daun mana saja yang telah
terserang serangga ataupun luka secara mekanis sehingga memudahkan bakteri
masuk. Bakteri ini menyerang jaringan pengangkutan tanaman dan dapat
berpindah secara sistematis dalam jaringan pengangkutan tanaman tersebut.
Jaringan angkut yang terserang warnanya menjadi kehitaman yang dapat dilihat
sebagai garis hitam pada luka atau bisa juga diamati dengan memotong secara
melintang pada batang daun atau pada batang yang terkena infeksi. Busuk hitam
juga dapat menyebabkan terjadinya busuk lunak.
Bakteri banyak terdapat pada seresah dari tanaman yang terinfeksi, tetapi
akan mati jika serasah tadi melapuk. Bakteri ini juga terdapat pada tanaman kubis
- kubisan yang lain dan tanaman rumput-rumputan serta dapat pula terbawa benih.
Suhu serta curah hujan yang tinggi sangat sesuai untuk perkembangan busuk
hitam. Bakteri ini berada pada tetesan butir air dari tanaman yang terluka serta
dapat menyebar ke seluruh tanaman melalui manusia ataupun peralatan yang
sering bergerak melintasi lahan saat kondisi tanaman sedang basah.
Pengendalian dapat dilakukan dengan pergiliran tanaman yang bukan jenis
kubis - kubisan, sehingga akan memberikan waktu yang cukup bagi seresah dari
tanaman kubis - kubisan untuk melapuk. Lalu menggunakan benih bebas hama
dan penyakit yang dihasilkan di iklim yang kering. Hindari untuk bekerja di lahan
saat daun tanaman basah. Tanamlah varietas kubis yang tahan terhadap busuk
hitam. Penyemprotan bakterisida Kocide 77WP sangat dianjurkan , terutama
untuk budidaya di musim penghujan( Pracaya, 1997).

13
Gambar 8.Busuk Hitam (Xanthomonas campestris Dows)
Sumber: Dokumentasi
4. Penyakit Layu Pembuluh (Fusarium oxysporum .sp.)
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Sub : Pezizomycotina
Kelas : sordariomycetes
Ordo : Hypocreales
Famili : nectriaceae
Genus : Fusarium
Spesies : Fusarium oxysporum .sp.
Layu fusarium merupakan penyakit yang sering menyerang tanaman
famili timun-timunan. Penyebabnya adalah Fusarium oxysporum .sp. niveum pada
semangka. Seperti halnya penyakit alternaria, penyakit ini hanya menyerang satu
jenis tanaman saja. Penyakit ini dapat bertahan di tanah untuk jangka waktu lama
dan bisa berpindah dari satu lahan ke lahan lain melalui mesin-mesin pertanian,
seresah daun yang telah terserang, maupun air irigasi. Suhu tanah yang tinggi
sangat sesuai untuk perkembangan penyakit ini(Susniahti, 2005). Tanaman yang
terserang bisa terjadi pada berbagai tahap pertumbuhan. Mulai dari bibit hingga
tanaman tua. Baik saat bibit maupun tanaman dewasa , serangan penyakit ini
dapat meyebabkan layu yang akhirnya mati. Tandanya dapat dilihat pada jaringan
angkut tanaman yang berubah warna menjadi kuning atau coklat(Pracaya. 1997).

14
Gambar 9.Layu Pembuluh (Fusarium oxysporum .sp.)
Sumber: Susniahti (2005)

2.5 Pengaruh Populasi Musuh Alami Terhadap Agroekosistem


Musuh alami merupakan komponen penyusun keanekaragaman hayati
di lahan pertanian.Keanekaragaman hayati di lahan pertanian (agrobiodeversity)
meliputi diversitas (keanekaragaman) jenis tanaman yang di budidayakan,
diversitas (keanekaragaman) spesies liar yang berpengaruh dan di pengeruhi oleh
kegiatan pertanian, serta diversitas ekosistem yang dibentuk oleh populasi spesies
yang berhubungan dengan tipe penggunaan lahan yang berbeda (dari habitat lahan
pertanianintensif sampai lahan pertanian alami).Diversitas spesies liar berperan
penting dalam banyak hal. Beberapa menggunakan lahan pertanian sebagai habitat
( dari sebagian sampai yang tergantung pada lahan pertanian secara total) atau
mengguanan habitat lain tetapi di pengaruhi oleh aktivitas pertanian. Adapun yang
berperan sebagai gulma dan spesies hama yang merupakan pendatang maupun
yang asli ekosistem sawah tersebut, yang mempengaruhi prosuksi pertanian dan
agroekosistem (Channa.et,al. 2004).
Menurut Sunarno (2010), musuh alami dapat dikelompokkan menjadi
tiga dilihat dari fungsinya, yaitu:
1. Parasitoid
Merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang
antropoda lainnya.Parasitoid bersifat parasit pada fase pradewasa, sedangkan
dewasanya hidup bebas dan tidak terikat pada inangnya. Parasitoid hidup
menumpang di luar atau di dalam tubuh inangnya dengan cara menghisap cairan
tubuh iangnyaa guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Parasitoid menyedot energi
dan memakan selaagi iangnya masih hidup dan membunuh atau melumpuhkan
iangnya untuk kepentingan keturunannya.Kebanyakan parasitoid bersifat monofag

15
(memiliki inang spesifik), tetapi ada juga yang oligofag (inang tertentu). Selain itu
parasitoid memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dari inangnya .
2. Predator
Predator adalah binatang atau serangga lain yang memangsa serangga
hama. Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan,
membunuh atau memangsa atau serangga lain, ada beberapa ciri predator: (1)
Predator dapat memangsa semua tingkat perkembangan mangsanya (telur, larva,
nimfa, pupa dan imago). (2) Predator membunuh dengan cara memakan atau
menghisap mangsanya dengan cepat. (3) Seekor predator memerlukan dan
memakan banyak mangsa selama hidupnya. (4) Predator membunuh mangsanya
untuk dirinya sendiri. (5) Kebanyakan predator bersifat karnifor. (6) Predator
memiliki ukuran tubuh lebih besar dari pada mangsanya. (7) Dari segi perilaku
makannya, ada yang mengunyah semua bagian tubuh mangsanya, ada menusuk
mangsanya dengan mulutnya yang berbentuk seperti jarum dan menghisap cairan
tubuh mangsanya. (8) Metamorfosis predator ada yang holometabola dan
hemimetabola.
3. Patogen
Golongan mikroorganisme atau jasad renik yang menyebabkan serangga
sakit dan akhirnya mati. Patogen dalah salah satu faktor hayati yang turut serta
dalam mempengaruhi dan menekan perkembangan serangga hama. Karena
mikroorganisme ini dapat menyerang dan menyebabkan kematian serangga hama,
maka patogen disebut sebagai salah satu musuh alami serangga hama. Beberapa
patogen dalam kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi faktor mortalitas utama
bagi populasi serangga tetapi ada banyak patogen pengaruhnya kecil terhadap
gejolak populasi serangga.Kelompok serangga dalam kehidupan diserang banyak
patogen atau penyakit yang berupa virus, bakteri, protozoa, jamur, riketzia dan
nematode.Ini merupakan macam patogenik yang dapat digunakan sebagai agen
pengendali hayati.
Dari uraian diatas jelas bahwa terdapat organisme yang berperan positif
terhadap tanaman yang dibudidayakan (produksi pertanian), dan ada juga yang
berperan negatif terhadap tanaman yang dibudidayakan. Menurut Untung (2006),

16
musuh alami (predator, parasitoid dan patogen) dapat berperan positif dalam
pertanian, sebagai berikut:
1. Dapat mengendalikan organisme penggangu yang berupa hama dan
gulma.
2. Apabila musuh alami mampu berperan sebagai pemangsa secara
optimal sejak awal, maka populasi hama dapat berada pada tingkat
equilibrium positif atau flukstuasi populasi hama dan musuh lamia
menjadi seimbang shingga tidak akan terjadi ledakan hama.
3. Pengelolaan ekosistem pertanian dengan perpaduan optimal teknik-
teknik pengendalian hama dan meminimalkan penggunaan
pestisida sintetis yang berspektrum luas.
4. Pembatas dan pengatur populasi hama yang efektif karena sifat
pengaturannya bergantung pada kepadatan (density dependent),
sehingga mampu mempertahankan populasi hama pada
keseimbangan umum (general equilibrium position) dan tidak
menimbulkan kerusakan pada tanaman. Keberadaan musuh alami
dapat meningkatkan keanekaragaman hayati, sehingga tercipta
keseimbangan ekosistem (ecosystem balance) .
5. Penggunaan musuh alami lebih ekonomis, karena dapat
meminimalisir penggunaan pestisida. Penggunaan musuh alami
bersifat alami, efektif, murah dan tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan dan lingkungan hidup serta dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam meningkatkan
kualitas dan kuantitas produksi hasil panennya.

2.6 Dampak Manajemen Agroekosistem Terhadap Kualitas dan Kesehatan


Tanah
Dalam suatu agroekosistem akan selalu dilakukan pengelolaan-
pengelolaan terhadap tanah. Pangeloalaan tanah dengan yang baik, bukan hanya
mampu meningkatkan produksi tapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan.
Menurut Lal (1995 dalam Suryani, 2014), pengelolaan tanah yang berkelanjutan
berarti suatu upaya pemanfaatan tanah melalui pengendalian masukan dalam suatu
proses untuk memperoleh produktivitas tinggi secara berkelanjutan, meningkatkan

17
kualitas tanah, serta memperbaiki karakteristik lingkungan.Namun, apabila dalam
pengelolaan tanah tersebut tidak tepat salah satunya dampaknya yaitu penurunan
kualitas dan kesehatan tanah. Indikator kualitas dan kesuburan tanah pada suatu
agroekosistem dapat dilihat dari sifat kimia, fisik dan bioligi tanahnya.

1. Dari Segi Kimia Tanah


a. Bahan Organik Tanah

Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem
kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang yang
terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena
dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia (Kononova, 1961 dalam
Suryani, 2014). Pada sistem pertanian yang diolah secara intensif dengan
menerapkan sistem monokultur, biasanya jumlah bahan organiknya sedikit karena
tidak ada atau minimnya seresah di permukaan lahan, selain itu input bahan
organik yang berasal dari pupuk organik baik pupuk kandang atau pupuk hijau
minim karena lebih menekankan penggunaan input kimia. Dari hal tersebut dapat
diindikasikan pertanian tanpa penerapan tambahan bahan organik pada lahan
pertanain intensif merupakan pengelolaan agroekosistem yang tidak sehat.

b. pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun


pH tanah pada sistem pertanian intensif biasanya agak masam karena
seringnya penggunaan pupuk anorganik seperti Urea yang diaplikasikan secara
terus-menerus untuk menunjang ketersediaan unsure hara dalam tanah. pH tanah
juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman.
Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda dalam suatu agroekosistem maka
pemilihan jenis tanamannya disesuaikan dengan pH tanah.
c. Ketersediaan Unsur Hara
Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses pertumbuhan dan
perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain : Bahan organik,
mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan pemberian pupuk kimia.
Pada lahan dengan pengolahan secara intensif sumber unsur haranya berasal dari
input-input kimiawi berupa pupuk anorganik, petani kurang menerapkan
tambahan bahan organic seperti aplikasi pupuk kandang dan seresah dari tanaman

18
yang diusahkan. Penggunaan pupuk kimia berlebihan dapat menyebabkan
penurunan kesuburan tanah.
2. Dari Segi Fisika Tanah
a. Kondisi Kepadatan Tanah
Sarief (1987) menyatakan bahwa nilai berat jenis tanah dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah, bahan organik, pemadatan
tanah baik oleh air hujan maupun alat pertanian, tekstur, struktur dan kandungan
air. Tanah-tanah di lahan dengan pengolahan intensif biasanya memiliki nilai BI
dan BJ yang tinggi karena telah mengalami pemadatan akibat penggunaan alat-
alat berat untuk pengolahantanahnya.
b. Kedalaman efektif tanah
Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus
oleh akar tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati
penyebaran akar tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar
kasar, serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak
dijumpai akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan
kedalaman solum tanah (Hardjowigno, 2007).
c. Erosi Tanah
Erosi adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke
tempat lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi
penutup tanah dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi
tanah. Erosi tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang
subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan
terjadinya kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
Di lahan pertanian dengan pengolahan intensif, khususnya praktek
penebangan hutan untuk pembukaan lahan baru memiliki tingkat kerusakan
lingkungan yang amat tinggi. Pembukaan hutan tersebut merupakan tindakan
eksploitasi lahan yang berlebihan, perluasan tanaman, penggundulan hutan, telah
berdampak pada keberlangsungan hidup biota yang berada di bumi. Bila kondisi
tersebut terus berlangsung dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan
bertambahnya jumlah lahan kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah.Selain itu,
penanaman satu jenis tanaman semusim pada satu areal lahan menyebabkan tidak

19
adanya tutupan lahan lain yang cukup kuat untuk melindu gi tanah dari daya
pukul air hujan secara langsung ke tanah, hal tersebut mengakibatkan laju erosi
cenderung tinggi.

3. Dari Segi Biologi Tanah


a. Keanekaragaman biota dan fauna tanah
Biota tanah memegang peranan penting dalam siklus hara di dalam
tanah, sehingga dalam jangka panjang sangat mempengaruhi keberlanjutan
produktivitas lahan. Salah satu biota tanah yang paling berperan yaitu cacing
tanah. Cacing jenis „penggali tanah‟ yang hidup aktif dalam tanah, walaupun
makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akar-
akar yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam
mencampur seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan
meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya
dalam tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan
karbon (C) dan hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).

Pada lahan dengan pengolahan intensif, jarang terdapat seresah pada


lahan tersebut sehingga keberadaan biota tanah seperti cacing tanah sedikit,
padahal aktifitas cacing tanah dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan
biologi tanah, seperti meningkatkan kandungan unsur hara, mendekomposisikan
bahan organik tanah, merangsang granulasi tanah dan sebagainya.

2.7 Kriteria Indikator dalam Pengelolaan Agroekosistem yang Sehat dan


Berkelanjutan
Menurut Hairiah (2004), pengelolaan pertanian berwawasan lingkungan
dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, lestari dan
menguntungkan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk
kepentingan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Kriteria atau
indikator agroekosistem yang sehat dapat dilihat dari segi kimia dan fisik tanah
serta sifat biologi tanah, sebagai berikut :

20
1. Dari Segi Kimia Tanah
a) Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan
binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali.
Sumber primer bahan organik tanah dapat berasal dari Seresah yang merupakan
bagian mati tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur
dan tinggal di permukaan tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian
mengalami pelapukan. Dalam pengelolaan bahan organik tanah, sumbernya juga
bisa berasal dari pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang, pupuk hijau
dan kompos, serta pupuk hayati (inokulan). Bahan organik tersebut berperan
langsung terhadap perbaikan sifat-sifat tanah baik dari segi kimia, fisika maupun
biologinya, diantaranya :
 Memengaruhi warna tanah menjadi coklat sampai hitam
 Memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah
 Meningkatkan daya tanah menahan air sehingga drainase tidak
berlebihan, kelembaban dan tempratur tanah menjadi stabil
 Sumber energi dan hara bagi jasad biologis tanah terutama
heterotrofik.
b) pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun
Tanah bersifat asam dapat disebabkan karena berkurangnya kation
Kalsium, Magnesium, Kalium dan Natrium.Unsur-unsur tersebut terbawa oleh
aliran air kelapisan tanah yang lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman.pH
tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi
tanaman. Pada tanah asam banyak ditemukan unsur alumunium yang selain
bersifat racun juga mengikat phosphor, sehingga tidak dapat diserap oleh
tanaman.Pada tanah asam unsur-unsur mikro menjadi mudah larut sehingga
ditemukan unsur mikro seperti Fe, Zn, Mn dan Cu dalam jumlah yang terlalu
besar, akibatnya juga menjadi racun bagi tanaman.
Tetapi dengan pH yang agak masam belum tentu kebutuhan tanaman
terhadap pH tanah tidak cocok karena itu tergantung dari komoditas tanaman
budidaya yang dibudidayakan.Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda
dalam suatu agroekosistem maka apabila suatu lahan digunakan untuk pertanian

21
maka pemilihan jenis tanamannya disesuaikan dengan pH tanah apakah tanaman
yang diusahakan sesuai dan mampu bertahan dengan pH tertentu.
c) Ketersediaan Unsur Hara
Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses pertumbuhan dan
perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain bahan organik,
mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan pemberian pupuk kimia.
Pada lahan pertanian diketahui sumber unsur hara berasal dari bahan organik,
karena pada lokasi tersebut banyak ditemukan seresah yang merupakan sumber
bahan organic selain itu aplikasi pupuk kandang juga menambah
ketersediaanunsur hara yang berfungsi ganda, diserap oleh tanaman dan
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
2. Dari Segi Fisika Tanah
a) Kondisi kepadatan tanah
Bahan organik dapat menurunkan berat isidan tanah yang memiliki nilai
berat isi kurang dari satu (< 1) merupakan tanah yang memiliki bahan organik
tanah sedang sampai tinggi. Selain itu, Nilai berat isi untuk tekstur berpasir antara
1,5 – 1,8 g / m3, nilai berat isi untuk tekstur berlempung antara 1,3 – 1,6 g / m3
dan nilai berat isi untuk tekstur berliat antara 1,1 – 1,4 g/m3 merupakan nilai berat
isi yang dijumpai pada tanah yang masih alami atau tanah yang tidak mengalami
pemadatan.
b) Kedalaman efektif tanah
Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus
oleh akar tanaman.Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati
penyebaran akar tanaman.Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar
kasar, serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak
dijumpai akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan
kedalaman solum tanah.
c) Erosi Tanah
Erosi adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke
tempat lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi
penutup tanah dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi
tanah.Erosi tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang

22
subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman.Oleh sebab itu, erosi mengakibatkan
terjadinya kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
3. Dari Segi Biologi Tanah
Ditunjukkan dengan adanya kascing.Biota tanah memegang peranan
penting dalam siklus hara di dalam tanah, sehingga dalam jangka panjang sangat
mempengaruhi keberlanjutan produktivitas lahan.Salah satu biota tanah yang
paling berperan yaitu cacing tanah.Hasil penelitian menunjukkan bahwa cacing
tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisik,
dan biologis tanah.
Kascing (pupuk organik bekas cacing atau campuran bahan organik sisa
makanan cacing dan kotoran cacing) mempunyai kadar hara N, P dan K 2,5 kali
kadar hara bahan organik semula, serta meningkatkan porositas tanah (pori total
dan pori drainase cepat meningkat 1,15 kali). Cacing jenis „penggali tanah‟ yang
hidup aktif dalam tanah, walaupun makanannya berupa bahan organik di
permukaan tanah dan ada pula dari akar-akar yang mati di dalam tanah. Kelompok
cacing ini berperanan penting dalam mencampur seresah yang ada di atas tanah
dengan tanah lapisan bawah, dan meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok
cacing ini membuang kotorannya dalam tanah, atau di atas permukaan tanah.
Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C) dan hara lainnya dari pada tanah di
sekitarnya.

23
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum lapang mata kuliah Manajemen Agroekosistem dilaksanakan di
lahan budidaya tanaman sawi putih di Desa Sumber Brantas, Batu, Malang pada
hari Sabtu tanggal 23 Mei 2015 pukul 06.30-12.00 WIB.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Aspek HPT
A. Alat
 Sweptet : untuk menangkap serangga diudara
 Yellow Sticky trap : untuk menangkap serangga di udara
 Pantrap : untuk menangkap serangga di tanah
 Pitfall : untuk menjebak serangga di tanah
 Kantong Plastik besar : untuk tepat spesimen setelah ditangkap
 Plastik bening : untuk tepat spesimen yang sudah dibius
 Kapas : untuk alat membius serangga dengan alkohol
 Kamera : untuk dokumentasi
 Modul praktikum : untuk panduan dalam praktikum lapang
 Alat tulis :untuk mencatat hasil identifikasi serangga
B. Bahan
 Detergen : untuk bahan membius serangga
 Alkohol 75% : untuk bahan membius serangga
 Air : untuk pelarut detergen
 Serangga : untuk bahan pengamatan hama, musuh alami, dan
serangga lain
 Tanaman sawi putih : untuk pengamatan penyakit

24
3.2.2 Aspek BP
 Kuisioner : untuk acuan pertanyaan kepada narasumber
 Alat tulis : untuk mencatat data informasi hasil wawancara
 Kamera : untuk dokumentasi

3.2.3 Aspek Tanah


1. Lapang
a. Alat
 Ring sampel : untuk mengambil sampel tanah
 Penggaris :untuk mengukur kedalaman perakaran dan mengukur
ketinggian seresah
 Gunting : untuk menggunting understorey
 Plastik : untuk wadah sampel tanah
 Palu : untuk memukul ring sampel agar mempermudah masuk
kedalam tanah
 Map coklat : untuk wadah seresah
 Kertas label : untuk memberi label pada sampel tanah
 Frame : untuk pembatas plot dalam mengamati seresah dan
understorey
 Cetok : untuk mengambil sampel tanah
 Spidol : untuk memberi keterangan sampel tanah pada plastik
b. Bahan
 Plot lahan : untuk pengambilan sampel tanah, pengamatan seresah,
understorey, dan mikrooerganisme tanah
2. Laboratorium
1) Berat Isi Tanah
a. Alat
 Jangka sorong : untuk mengukur diameter ring sampel
 Penggaris : untuk mengukur tinggi ring sampel
 Pistil dan mortal : untuk menghaluskan tanah
 Cawan : untuk tempat meletakkan tanah dalam oven

25
 Pisau : untuk memotong tanah yang melebihi batas ring
sampel
 Timbangan : untuk menghitung berat tanah dan berat cawan
 Oven : untuk mengeringkan tanah
 Alat tulis : untuk mencatat hasil praktikum
 Kamera : untuk dokumentasi
b. Bahan
 Sampel tanah utuh : untuk bahan praktikum
2) Berat Jenis Tanah
a. Alat
 Piknometer : untuk tempat tanah yang sudah dihaluskan
 Pistil dan mortar : untuk menghaluskan tanah
 Timbangan : untuk menimbang tanah dan cawan
 Oven : untuk mengeringkan sampel tanah
 Corong : untuk alat bantu menuangkan air ke dalam
pinkometer
 Botol semprot : untuk menuangkan air
 Nampan : untuk wadah tanah saat di oven
 Labu ukur : untuk tempat tanah yang sudah halus pada
pengujian BJ
 Alat tulis : untuk mencatat hasil praktikum
 Kamera : untuk dokumentasi
b. Bahan
 Sampel tanah halus : untuk bahan praktikum
 Air sudah rebus : untuk menghomogenkan dan melarutkan tanah
3) C-organik
a. Alat
 Gelas ukur : untuk mengukur volume larutan
 Gelas beaker : untuk mengukur volume aquades
 Timbangan : untuk menimbang sampel tanah

26
 Pipet : untuk alat memindahkan larutan dari wadah satu
ke wadah yang lain
 Pengaduk magnetis : untuk mengaduk larutan agar homogen
 Buret dan statis : untuk alat titrasi
 Ayakan 0,5 mm : untuk mengayak sampel tanah
 Pistil dan mortar : untuk menghaluskan sampel tanah
 Labu elenmeyer 500 ml: untuk tempat menghomogenkan tanah dan
larutan
 Alat tulis : untuk mencatat hasil praktikum
b. Bahan
 Sampel tanah : untuk bahan praktikum
 K2Cr2O7 10 ml : untuk mengikat rantai C
 H2SO4 20 ml : untuk memisahkan rantai C dengan
tanah
 H2PO4 85% 10 ml : untuk menghilangkan pengaruh Fe
 FeSO4 : untuk bahan titrasi
 Aquades 200 ml : untuk menghentikan reaksi H2SO4
 Difenilatelin : untuk indikator warna
4) pH Tanah
a. Alat
 Gelas ukur : untuk mengukur H2O
 Pistil dan mortar : untuk menghaluskan sampel tanah
 pH meter : untuk mengukur pH
 Fial film : untuk tempat pencampuran tanah dan larutan
 Timbangan : untuk menimbang sampel tanah
 Ayakan 2 mm : untuk mengayak sampel tanah
 Alat tulis : untuk mencatat hasil praktikum
b. Bahan
 H2O 10 ml : untuk menentukan pH actual
 Sampel tanah : untuk bahan praktikum

27
5) eH tanah
a. Alat
 Timbangan : untukmenimbang sampel tanah
 Fial film : untuk tempat pencampuran tanah dan
larutan
 Mortar dan pistil : untuk menghaluskan sampel tanah
 Ayakan 2 mm : untuk mengayak sampel tanah
 Gelas Ukur : untuk mengukur H2O
 Conductivity Meter : untuk mengukur eC
 Alat tulis : untuk mencatat hasil praktikum
 Kamera : untuk dokumentasi
b. Bahan
 H2O 10 ml : untuk menentukan eH
 Sampel tanah : untuk bahan praktikum
6) Seresah
a. Alat
 Timbangan : untuk menimbang seresah
 Kertas : untuk membungkus seresah
 Oven : untuk mengeringkan seresah
 AlatTulis : untuk mencatat hasil praktikum
 Kamera : untuk dokumentasi
b. Bahan
 Seresah :untuk bahan pengamatan
7) Understorey
a. Alat
 Timbangan : untuk menimbang understorey
 Kertas : untuk membungkus understorey
 Oven : untuk mengeringkan understorey
 Kamera : untuk dokumentasi
b. Bahan
 Understorey : untuk bahan pengamatan

28
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Aspek HPT
1. Sweptnet

Melakukan Ambil serangga


penangkapan yang tertangkap
Menyiapkan serangga yang
terbang dengan pada sweep net
alat dan bahan
sweptnet dengan dan masukkan
3 kali ayunan dalam plastik

Melakukan
Serangga di
pengamatan dan
Hasil dan bius
klasifikasi pada
dokumentasi menggunakan
serangga yang
alkohol 75%
ditemukan

2. Pantrap

Pan trap diisi


Menyiapkan alat Memasang
dengan campuran
dan bahan pantrap
air dan detergen

Setelah 24 jam
dilakukan Di tinggalkan di
Masukkan dalam
pengambilan lapang selama 24
plastik
serangga yang jam
terperangkap

Melakukan
Hasil dan
klasifikasi setiap
dokumentasi
serangga

29
3. Pitfall

Masukkan
campuran air Tinggalkan di
Menyiapkan alat dan detergen lapang selama
dan bahan kedalam gelas
plastik ± 1/2 24 jam
bagian

Setelah 24 jam
Melakukan dilakukan
klasifikasi Masukkan
pengambilan
serangga dalam plastik
serangga yang
terperangkap

Hasil dan
dokumentasi

4. Yellow sticky trap

Melekatkan Meletakkan pada


Menyiapkan alat yellow sticky trap tempat yang sudah
dan bahan mengitari botol air ditemtukan selama
mineral 24 jam

Setelah 24 jam
dilakukan
Melakukan
Hasil dan pengambilan dan
klasifikasi
dokumentasi pengamatan
serangga
serangga yang
terjebak

30
5. Pengamatan penyakit

Mengamati
tanaman yang
terserang penyakit Mengidentifikasi
Menyiapkan alat
dengan melihat penyakit yang
dan bahan
skoring penyakit menyerang
di modul
praktikum

Hasil dan Menghiting


dokumentasi intensitas penyakit

3.3.3.1 Aspek BP

Menyiapkan Melakukan
Mencatat hasil
kuisioner dan wawancara
wawancara
alat tulis dengan petani

Dokumentasi

31
3.4.1 Aspek Tanah
a. Lapang
1. Pengambilan sampel Tanah Utuh

Menentukan lahan Membersihkan


Menyiapkan alat
yang akan diambil lahan dan mencari
dan bahan
sampel tanahnnya tanah yang datar

Meratakan tanah Menancapkan ring


dengan Mengambil ring sampel dan
membersihkan sampel berlahan- memukul ring
tanah yang lahan agar ring terisi
melebihi ring tanah penuh

Masukkan ring
dalam plastik dan Dokumentasi
beri label

2. Pengambilan tanah komposit

Menentukan lahan Mengambil tanah


Menyiapkan alat
yang akan diambil dari 4 titik secara
dan bahan
sampel tanahnya zig zag

Masukkan dalam
Dokumentasi plastik dan beri
label

32
3. Pengambilan Seresah

Memasang frame
Mengukur
pada lahan yang
Menyiapkan alat ketinggian seresah
telah ditentukan
dan bahan dari plot 1 dan
dan menentukan
plot 2
plot 1 dan plot 2

Masukkan dalam Mengambil


Dokumentasi plastik dan beri seresah dari plot 1
label dan plot 2

4. Pengambilan Understory

Memasang frame Mengambil


pada lahan yang understory pada
Menyiapkan alat
telah ditentukan masing-masing
dan bahan
serta menentukan plot menggunakan
plot 1 dan plot 2 gunting

Masukkan dalam
Dokumentasi kantong plastik
dan beri label

33
b. Laboraturium
1. Berat Isi tanah
Menimbang
Menyiapkan Menimbang ring yang
alat dan bahan ring berisi sampel
tanah

Mengukur Mengeluarkan
Letakkan
tinggi dan sampel tanah
dalam cawan
diameter ring dari ring

Mengoven
Setelah 24
Menimbang tanah selama
jam keluarkan
sampel tanah 24 jam
sampel tanah
beserta ring dengan suhu
dari oven
105°C

Mencatat hasil Menimbang


Menghitung
dan sampel tanah
nilai berat isi
dokumentasi oven

2. Berat Jenis Tanah

Masukkan
Menimbang sampel
Menghalusk
Menyiapkan sampel tanah tanah 20 gr
an tanah
alat dan 20 gr dan ke dalam
yang sudah
bahan labu ukur labu ukur
dioven
yang kosong lalu
ditimbang

Mengisi air 3/4


dari volume labu
Mencatat hasil Menghitung ukur dan kocok
dan nilai berat untuk
dokumentasi jenis mengeluarkan
udara yang
terjerat

34
3. C-Organik
Masukkan
Menimbang
sampel tanah
sampel tanah
Menyiapkan alat yang lolos
dan ayak sampel
dan bahan ayakan dalam
tanah dengan
labu elenmeyer
ayakan 0,5 mm
500 ml

Digoyang-
Diamkan dalam goyang agar Masukkan
ruang asam tanah dapat K2Cr2O7 10 ml
selama 15 menit berinteraksi dan H2SO4
sepenuhnya

Titrasi dengan
Masukkan FeSO4 sampai
Tambahkan H3PO4 85% 10 warnanya
aquades 200 ml ml dan 30 tetes berubah
difenilamina menjadi hijau
tua

Mencatat
volume sampel
Dokumentasi
dan menghitung
C-organik

35
4. pH Tanah

Menimbang 10 gr
Mengayak
sampel tanah yang
Menyiapkan sampel tanah
lolos ayakan 2 mm
alat dan bahan dengan ayakan
dan masukkan
2 mm
dalam fial film

Masukkan
Mengukur pH
Diamkan 15 H2O 10 ml
sampel
menit agar dalam fial film
menggunakan
homogen lalu dikocok
Ph meter
10 menit

Catat hasilnya
dan
dokumentasi

5. eH Tanah

Masukkan 10 gr
Masukkan H2O
sampel tanah
Menyiapkan alat 10 ml dalam fial
yang sudah lolos
dan bahan film dan kocok 10
ayakan 2 mm
menit
dalam fial film

Mengukur eH
Mencatat hasilnya sampel tanah Diamkan selama
dan dokumentasia menggunakan 15 menit
conductivity meter

36
6. Pengukuran Seresah

Menyiapkan alat Menimbang Bungkus dengan


dan bahan seresah kertas

Timbang berat
Mencatat hasilnya kering seresah Masukkan dalam
dan dokumentasi yang sudah di oven selama 3 hari
oven

7. Pengukuran Understorey

Menyiapkan alat Menimbang Bungkus dengan


dan bahan understorey kertas

Menimbang berat
Masukkan dalam
Mencatat hasilnya kering
oven selama 3
dan dokumentasi understorey yang
hari
sudah di oven

37
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum lahan


Lokasi kegiatan fieldtrip terletak di Desa Sumber Brantas yang termasuk
dalam wilayah Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Secara astronomis terletak di
112°17'10,90"-122°57'11" Bujur Timur dan 7°44'55,11"-8°26'35,45 Lintang
Selatan. Desa Sumber Brantas memiliki wilayah seluas 197,09 km². Jarak antara
pusat pemerintahan Kota Batu dengan Desa Sumber Brantas yaitu 18 km. Suhu
rata-rata 12°C - 22 °C dengan curah hujan yang tinggi dan berada pada ketinggian
1.400 sampai 1.700 meter di atas permukaan laut. Desa Sumber Brantas terdiri
dari tiga dusun yaitu Dusun Krajan, Dusun Lemah Putih dan Dusun Jurang Kuali(
PPID Kota Batu, 2012).

Lahan di daerah Sumber Brantas mempunyai 5 relief meliputi berombak,


bergelombang, berbukit kecil, berbukit, dan bergunung. Karena secara geografis
berada di area perbukitan dan pegunungan, maka geomorfologi kawasan Sumber
Brantas dipengaruhi oleh aktivitas Gunung Arjuno-Welirang. Desa Sumber
Brantas merupakan salah satu desa yang penggunaan lahannya didominasi oleh
lahan pertanian dengan luas 358,32 Ha atau 66,22 %, hal ini dipengaruhi oleh
kondisi tanah yang subur dan iklim yang menunjang untuk kegiatan pertanian
(PPID Kota Batu, 2012).

4.2 Analisis Keadaan Agroekosistem di Desa Sumber Brantas


4.2.1 Aspek Budidaya Pertanian (Sawi Putih)
4.2.1.1 Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Penggunaan lahan di Desa Sumber Brantas sebagian besar lahan pertanian
yang ditanami tanaman sayuran seperti sawi, kentang, wortel, dan kubis. Lahan
berupa tegalan yang berada dipegunungan dan memiliki sumber air yang
mencukupi. Lahan di Desa Sumber Brantas subur namun kering. Pada lahan ini
menggunakan pengendalian hama terpadu, penggunaan PHT bertujuan untuk
mengendalikan hama agar secara ekonomis tidak merugikan, mempertahankan
kelestarian lingkungan dan menguntungkan petani. Salah satu pengendalian hama
terpadu adalah penggunaan tanaman barrier, namun pada lokasi pengamatan tidak

38
ditemukan tanaman barrier. Pekerjaan utama didesa ini adalah sebagai petani
hortikultura. Menurut Bapak Purnomo sebelum menjadi lahan pertanian pada
daerah ini merupakan kawasan hutan.Pola tanam dilakukan secara rotasi, setiap
musim tanam selalu ditanami komoditas yang berbeda. Sebelumnya lahan
ditanami kentang, wortel, dan sekarang sedang ditanami sawi putih varietas ITO.
Saat ini, pola tanam yang digunakan petani adalah monokultur dan rotasi tanaman
yang disesuaikan dengan musim.
Tabel 1.Rotasi Tanaman PHT
Rotasi tanaman

Bulan

6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5

Komoditas K K K K K W W W W S S S

Keterangan :
 K :Kentang
 W : Wortel
 S : Sawi Putih
Benih yang digunakan oleh petani adalah benih hibrida yang didapatkan
dari toko pertanian terdekat. Benih sawi yang dibutuhkaan untuk luasan 1 hektar
lahan sebanyak 35-40 pak(±20gr/pak) berisi sekitar 1.700 – 2000 benih sawi dan
ditanam dengan jarak tanam 15 – 20 cm. Menurut Cahyono(2003), jarak tanam
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil panen. Pada sawi
Putih varietas ITO (Hibrida) dengan umur panen 75-85 hst. Pemupukan diberikan
sebanyak 3 kali yaitu pupuk dasar dan pupuk tambahan. Jenis pupuk yang dipakai
untuk meningkatkan produktivitas sawi adalah pupuk kandang yang berasal dari
kotoran ayam sebanyak 20-30 ton/ha dan pupuk kimia yang diberikan pada umur
30-40 HST. Pupuk kimia yang digunakan oleh petani adalah pupuk urea yang
digunakan sebagai pupuk dasar sebanyak 1,5 kw/ha dan pupuk NPK bas
digunakan pada pemupukan selanjutnya.

39
Petani menjual hasil panennya dengan sistem borongan. Sistem borongan
merupakan sistem perdagangan yang dilakukan pedagang dengan membeli secara
keseluruhan (semua) hasil produksi. Petani menggunakan sistem borongan karena
kemudahannya dalam pemanenan dan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan
untuk pekerja dan distribusi. Petani tidak repot untuk menjual sendiri hasil
produksi ke pasar. Produktivitas tanaman sawi seluas 1 gawang (400 m2) adalah 4
ton dan menghasilkan 80-90juta/ha. Sistem pengairan yang digunakan adalah
tadah hujan dan irigasi teknis. Irigasi teknis dilakukan dengan menggunakan
sistem irigasi springkle dan hanya ¼ ha yang menggunakan irigasi. Sumber air
yang digunakan untuk penambahan air berasal dari sumber mata air di hutan.
Petani menyediakan tandon untuk menampung air dari sumber yang kemudian
dialirkan melalui pipa dan selanjutnya dialirkan ke lahan untuk menambah air
yang diperlukan tanaman. Pemberian pupuk dan air yang cukup akan
meningkatkan pertumbuhan vegetatif seperti tinggi tanaman, jumlah daun,
diameter batang, pertumbuhan generatifnya (Cahyono, 2003).

Beberapa kendala dan masalah sering dirasakan oleh petani. Masalah


utama yang dihadapi adalah hama dan penyakit yang mampu menurunkan hasil
produksi yaitu ulat tanah dan akar gada yang sulit dikendalikan. Hama ulat tanah
menyerang tanaman sawi pada 15 HST dan dikendalikan menggunakan pestisida
nabati atau organik dan pestisida sintetik. Pestisida ini disemprotkan pada sawi
sebelum sawi terserang ulat untuk antisipasi serangan ulat tanah. Jika setelah
penyemprotan masih terjadi serangan ulat tanah maka petani menyemprotkan
pestisida ulang. Serangan Agrotis ipsilon secara ekonomis mempunyai arti yang
penting (Sujud & Emka 1974). Penyakit yang menyerang sawi adalah akar gada
pada 40 HST. Pengendalian yang dilakukan petani adalah mencabut tanaman
yang terserang.

Menurut Bapak Purnomo, selama menjadi petani hortikultura belum


pernah kekurangan modal karena terdapat koperasi yang menyediakan modal
untuk petani yang membutuhkan modal. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
membantu mengelola lahan pertanian sebanyak 6 orang (2 perempuan dan 4 laki-
laki).

40
Pupuk merupakan suatu kebutuhan untuk petani karena dapat
meningkatkan produktivitas. Ketersediaan pupuk menurut petani sangat langka
dan harga jual mahal. Jika membutuhkan pupuk maka kelompok tani harus
mengajukan permintaan pupuk terlebih dahulu. Harga pupuk NPK bas sebesar Rp
476.000/50 kg, kotoran ayam Rp 14.000/sak, urea Rp 90.000/50 kg, untuk
mendapatkan hasil sawi yang baik dan bagus petani menggunakan pupuk “jawa
paten kali”, namun harga pupuk ini sangat mahal sehingga petani tidak
menggunakan pupuk ini. Harga pupuk jawa paten kali Rp 900.000/50 kg. Petani
mampu membuat sendiri jenis pestisida nabati dan pupuk organik dari sisa
tanaman.

Tanaman hortikultura mempunyai harga yang tidak stabil. Harga jual sawi
ketika rendah sebesar Rp 400/kg dan hasil panen hanya mendapatkan Rp 5juta/ha,
sedangkan biaya produksi sebesar Rp 15 juta. Hal ini menyebabkan petani
mengalami kerugian yang banyak. Harga sawi pada pasaran rata-rata adalah Rp
2.500,- .

Ketidakstabilan harga tanaman hortikultura dipengaruhi oleh beberapa


faktor. Jumlah stok yang menumpuk ketika panen raya merupakan salah satu
faktor ketidakstabilan harga. Selain itu, serangan hama dan penyakit
menyebabkan turunnya produktivitas tanaman yang juga menjadi faktor
ketidakstabilan harga. Pendapatan petani yang tidak stabil disebabkan setiap
musim tanam tidak selalu menghasilkan produksi yang baik dan optimal.

Stabilitas dan keberlanjutan diDesa Sumber Brantas memiliki skor 35 dari


hal ini menunjukkan suatu awal yang baik kearah keberlanjutan. Keberlanjutan
pertanian dapat diketahui dari pengelolaan pertanian yaitu berupa pertanian
organik dan hasil produksi yang tinggi. Menurut Wahyudi (2003), bahwa
implementasi dan pengembangan PHT sejalan dengan konsep sustainable
agriculture, walaupun konsep ini perlu digarap secara sistematik dan terpadu
untuk memperoleh manfaat optimal.

41
Menurut Wahyudi (2003), bahwa implementasi dan pengembangan PHT
sejalan dengan konsep sustainable agriculture, walaupun konsep ini perlu digarap
secara sistematik dan terpadu untuk memperoleh manfaat optimal. Kemerataan
pertanian, hampir seluruh petani di desa ini membudidayakan tanaman
hortikultura. Pada lahan bapak Purnomo, lahan yang dikelola merupakan lahan
sendiri seluas >1 ha dengan pendapatan petani setiap musim tanam lebih dari Rp
5.000.000. Kemerataan penghasilan petani dapat dilihat dari banyaknya petani
yang bertani tanaman hortikultura. Petani bergabung dengan kelompok tani
sehingga pengelolaan harga dan lahan lebih baik. Tidak hanya di desa Sumber
Brantas yang memiliki kemerataan pendapatan, namun juga wilayah sekitarnya.
Wilayah Batu memiliki banyak desa dan daerah, setiap wilayah ini mempunyai
komoditas yang berbeda-beda. Selain itu, kemerataan juga dapat dilihat dari
kemampuan wilayah ini untuk melakukan ekspor sayur dan mengirim produksi ke
Kalimantan. Ketika suatu daerah telah mampu mengirim hasil produksi keluar
wilayah berarti ketersediaan bahan telah terpenuhi. Banyaknya bahan diperoleh
dari banyak produsen, sehingga dapat dikatakan kemerataan pada wilayah ini
telah baik.

4.2.1.2 Non- Pengendalian Hama Terpadu (Non-PHT)


Di lahan pengamatan Non-PHT juga menanam komoditas sawi putih
dengan varietas ITO (Hibrida) bersertifikasi. Menurut Bapak Joni alasan
penggunaan bibit bersertifikasi adalah penggunaan benih bermutu yang menjamin
keberhasilan usaha tani. Menurut Anwar et al (2005), keberhasilan budidaya
sayuran utama di Indonesia sangat ditentukan oleh ketersediaan benih sayuran
yang bermutu secara berkesinambungan. Sedangkan ketersediaan benih sangat
dipengaruhi oleh berbagai kebijakan dalam bidang pertanían oleh pemerintah
Indonesia. Umur panen sawi putih 75-85 hst dengan hasil 35-50 ton/ha, beliau
membeli benih dari toko pertanian terdekat. Sistem tanam yang di gunakan
merupakan sistem tanam monokultur, jarak tanam yang digunakan 30x30 cm
dengan kebutuhan benih 20 pak/ha atau 90-100 ribu benih/ha. Menurut
Cahyono(2003), jarak tanam sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
dan hasil panen. Pengaturan jarak tanam harus disesuaikan menurut varietas yang

42
di tanam. Pada umumnya jaraktanam yang digunakan adalah 30 cm x 40 cm.
Akan tetapi bapak Joni memakai jarak tanam 30x30 cm.
Pengolahan lahan yang dilakukan oleh bapak Joni secara intensif. Hal ini
bisa diamati dari tanaman yang diusahakan adalah tanaman sawi putih yang
merupakan tanaman hortikultura dan dari hasil wawancara secara langsung,
dimana pengolahan dilakukan setiap akan memulai masa tanam. Pengolahan lahan
menggunakan bajak dan cangkul. Tidak hanya pengolahan lahan, penggunaan
pupuk juga diberikan secara intensif dengan tujuan untuk mengembalikan
kandungan unsur hara yang telah diserap tanaman. Pupuk yang biasa digunakan
adalah pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam (sebagai pupuk dasar) yang
diperoleh dari peternak ayam yang merupakan milik warga sekitar, dan
diaplikasikan sebanyak 20-35 kw/ha saat pengolahan lahan. Selain itu beliau juga
menggunakan pupuk NPK sebanyak 5 kw/ha.
Sistem Irigasi yang diterapkan merupakan irigasi campuran, dimana pada
musim hujan, bergantung pada air hujan. Sedangkan pada musim kemarau
menggunakan sistem irigasi sprinkle yang berasal dari sumber air yang
menggunakan pipa-pipa sebagai saluran primer, sekunder, dan tersier. Untuk
pelaksanaan irigasi sprinkle ini dilakukan setiap 2-3 hari sekali sesuai kebutuhan
tanaman. Menurut Cahyono (2003), pemberian air yang cukup akan
meningkatkan pertumbuhan vegetatif seperti tinggi tanaman, jumlah daun, luas
daun, diameter batang, dan pertumbuhan genaratif seperti jumlah bunga, buah,dan
kualitas biji.
Dalam kegiatan budidaya yang dilakukan oleh pak Joni tidak luput dari
serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan ini menjadi salah satu
kendala dan masalah yang sering dirasakan oleh petani. OPT yang paling umum
menyerang adalah Klaper/kupu, selain itu penyakit yang sering bahkan menjadi
masalah utama yaitu penyakit akar gada, Menurut Semangun (1989) dan Djatnika
(1993), penyakit ini disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae Wor. yang
termasuk klas jamur lendir. Jamur membentuk spora tahan yang berbentuk bulat,
hialin, dan garis tengahnya dapat mencapai 4 μm. Spora tahan ini dapat
berkecambah dalam medium yang sesuai, membengkak sampai mencapai ukuran
beberapa kali dari ukuran semula, dan biasanya menjadi satu spora kembara

43
(zoospora). Spora kembara ini tidak berdinding sel, merupakan protoplas berinti
satu, biasanya sangat aktif dan bergerak seperti amuba. Spora kembara
mempunyai dua bulu cambuk (flagellum), yang satu panjang dan satunya lagi
pendek. Menurut bapak Joni, pengendalian akar gada dirasa sulit, sehingga
tindakan yang bisa dilakukan adalah dengan rotasi, pengolahan lahan yang
intensif saat akan memulai masa tanam dan apabila ada tanaman yang terserang
maka tanaman harus dicabut dikeringkan kemudian dibakar agar tidak menular
pada tanaman yang sehat.
Di daerah Sumber Brantas untuk tenaga kerja tergolong sulit karena para
buruh tani lebih memilih menjadi pedagang yang lebih menjanjikan daripada
sebagai buruh tani. Upah yang di peroleh sebagai buruh yang di mulai jam 6
sampai jam 11 untuk laki-laki memperoleh upah Rp. 50.000 – Rp. 60.000, untuk
tenaga kerja wanita memperoleh upah sebesar Rp. 30.000 – Rp. 35.000.
Sistem tanam yang diterapkan di lahan adalah monokultur dimana hanya
ditanami satu jenis tanaman saja yaitu tanaman Sawi Putih yang merupakan
tanaman holtikultura. Bapak Joni juga melakukan rotasi tanam, sebelum menanam
Sawi Putih beliau menanam tanaman kentang kemudian wortel.
Tabel 2.Rotasi Tanaman Non-PHT
Rotasi tanaman

Bulan

6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5

Komoditas K K K K K W W W W S S S

Keterangan :
 K : Kentang
 W : Wortel
 S : Sawi Putih
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Joni, hasil panen yang
dapat di capai minimum 35 tom/ha maksimum 45- 50 ton/ha dengan harga jual
paling murah Rp. 800/kg - Rp. 1.000/kg harga paling mahal Rp. 1.000/kg - Rp.
2.000/kg bila di jual ke tengkulak. Sedangkan harga pasaran (langsung ke

44
konsumen) Rp. 4.000. Pemasaran hasil panen biasanya dijual kepada tengkulak
(pemborong) kemudian baru oleh tengkulakdipasarkan ke pasar, namun ada pula
ke luar jawa ( Kalimantan) bahkan sampai ekspor ke Taiwan karena Sawi putih di
Sumber Brantas memiliki kwalitas no 1 se-Indonesia.
Untuk kestabilan dan keberlanjutannya Kecukupan dan ketersediaan
pangan dan gizi seimbang dapat diakses dengan mudah. Pangan yang diproduksi
di dalam masyarakat12%, diperoleh dari produsen pangan local di luar
masyarakat 25%, tumbuh secara organik 50%, dari tanaman indigenous/asli25%.
Produksi surplus pangan masih termasuk kedalam wilayah. Penggunaan rumah
kaca untuk produksi pangan ada beberapa dan hasil tanam masyarakat di sana di
jual ke tengkulak maupun ke pasar secara langsung. Untuk penggunaan pestisida,
herbsida, pupuk kima dalam produksi pangan/pertanian ada beberapa dan benih
yang di gunakan benih hibrida. Jadi dari data yang di hasilkan diatas didapatkan
hasil skoring sebesar 16 dan menunjukkan perlunya tindakan untuk melakukan
keberlanjutan.
Untuk kemerataannya pendapatan petani setiap musim tanam
menghasilkan > Rp 5.000.000 dan sifat kepemilikan lahan petani rata-rata milik
sendiri dengan luas lahan > 1 ha. Menurut Wahyudi (2003), bahwa implementasi
dan pengembangan PHT sejalan dengan konsep sustainable agriculture, walaupun
konsep ini perlu digarap secara sistematik dan terpadu untuk memperoleh manfaat
optimal.

4.2.2 Aspek Hama Dan Penyakit Tanaman


Pada aspek Hama dan Penyakit Tanaman terdapat 2 lahan dengan konsep
pengendalian secara PHT (Pengendalian Hama Terpadu) dan Non-PHT. Dari
pengamatan yang dilakukan di lahan dengan menggunakan beberapa metode yaitu
pantrap, sweptnet, pitfall dan yellow sticky trap diperoleh arthropoda diantaranya
hama, musuh alami dan serangga lain sebagai berikut:

45
Tabel 3. Biodeversitas Arthropoda dengan Konsep PHT
Jenis Perangkap
Yellow Total Persentase
Jumlah Pantrap Sweptnet Pitfall Sticky Arthropoda (%)
Trap
Hama 0 5 0 0 5 25
Musuh
0 1 2 0 3 15
Alami
Serangga
0 0 1 11 12 60
Lain
Total 0 6 3 11 20 100
Total Arthropoda = 20
Hama =5
Musuh Alami (MA) = 3
Serangga Lain (SL) = 12

Hama : = = 25 %

Musuh Alami : %

Serangga Lain :

Tabel 4. Biodeversitas Arthropoda dengan Konsep Non PHT

Jenis Perangkap
Yellow Total Persentase
Jumlah
Pantrap Sweptnet Pitfall Stiky Arthropoda (%)
Trap
Hama 0 5 0 0 5 23
Musuh
0 1 0 0 1 4
Alami
Serangga
1 9 0 6 16 73
Lain
Total 1 15 0 6 22 100

46
Total Arthropoda = 22
Hama =5
Musuh Alami (MA) = 1
Serangga Lain (SL) = 16

Hama :

Musuh Alami :

Serangga Lain :

Gambar 10. Segitiga Fiktorial

SL
SL
10
10
0
0

0 0
0 0

Ha 0 MA Ha 0 MA
ma 100 ma 100
100 100
Konsep PHT Konsep Non-PHT
Keterangan:
Garis hama :
Garis serangga lain :

Berdasarkan pengamatan Arthropoda di lahan sawi putih dengan metode


PHT ditemukan 7 jenis Arthropoda yaitu ulat grayak (Spodoptera litura F.) dan
ulat kubis (Plutella xylostella L.) yang berperan sebagai hama, kumbang kubah
spot M (Menochillus sexmaculatus ), capung jarum (Ischnura senegalensis) , dan
semut hitam (Dolichoderus thoracicus S.) yang berperan sebagai musuh alami
serta lalat rumah (Musca domestica) dan nyamuk (ordo Diptera) yang berperan

47
sebagai serangga lain. Persentase arthropoda terbesar ditemukan pada serangga
lain (60%).
Sedangkan dari segitiga fiktorial dapat di analisis bahwa arthropoda yang
memiliki peranan paling besar adalah serangga lain. Pada pengamatan di lapang
juga banyak ditemukan serangga lain daripada hama dan musuh alami. Padahal di
lahan tersebut juga sudah menggunakan tanaman pinggir sebagai inang oleh
musuh alami. Selain itu seharusnya pada pertanian dengan konsep PHT harus
ditemukan musuh alami yang banyak karena bila jumlah musuh alami lebih
rendah dari jumlah serangga lain dapat memungkinkan ledakan hama yang
disebabkan oleh tidak seimbangnya ekosistem. Keseimbangan ekosistem ini juga
dapat terganggu oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya
aplikasi pengendalian hama terpadu yang kurang baik, rotasi tanaman yang salah,
penggunaan pupuk kompos yang belum matang dsb. Sedangkan faktor eksternal
misalnya anomali cuaca (FAM Organik, 2009). Serta menurut Oka(1995) bahwa
faktor eksternal antara lain yaitu persaingan antar individu dalam suatu populasi
atau dengan spesies lain, perubahan lingkungan kimia akibat adanya sekresi dan
metabolisme, kekurangan makanan, serangan predator/penyakit, emigrasi, faktor
iklim misalnya cuaca, suhu dan kelembapan. Sedangkan faktor internal yaitu
perubahan genetik dari populasi
Menurut Mulyaningsih, (2010) bahwa konsep perlindungan tanaman
ditujukan kepada Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang bertujuan untuk
mengurangi penggunaan pestisida dan pupuk kimia sehingga dapat menghasilkan
produk pertanian yang bebas bahan kimia seperti pestisida dan pupuk kimia.
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada hakekatnya dititik beratkan pada
pengendalian secara biologi dan cara lain yang tidak atau sedikit mengganggu
keseimbangan alami yaitu pada ekosistem pertanian terjaga keseimbangan antara
populasi hama dan populasi musuh alaminya.

Sedangkan berdasarkan pengamatan Arthropoda di lahan sawi putih


dengan metode Non PHT ditemukan 4 jenis Arthropoda yaitu ulat kubis (Plutella
xylostella L.) yang berperan sebagai hama, kumbang kubah spot M (Menochillus
sexmaculatus ) yang berperan sebagai musuh alami serta lalat rumah (Musca
domestica) dan nyamuk (ordo Diptera) yang berperan sebagai serangga lain.

48
Kemudian pada segitiga fiktorial dapat di analisis bahwa arthropoda yang
memiliki peranan paling besar adalah serangga lain. Pada pengamatan di lapang
juga ditemukan nyamuk dan lalat rumah dalam jumlah yang banyak. Hal ini
mungkin terjadi akibat tidak menggunakannya tanaman pinggir sebagai inang
musuh alami sehingga jumlah musuh alami juga lebih rendah. Apabila hal ini
terjadi maka dimungkinkan juga terjadi ledakan hama. Selain itu di lahan tersebut
juga menggunakan pupuk kimia dan insektisida kimiawi yang dapat menyebabkan
jumlah hamadan serangga lain semakin banyak. Apabila pengendalian hama
menggunakan insektisida kimiawi yang terus-menerus memungkinkan hama
tersebut lebih resisten dan malah semakin lebih banyak. Menurut Mulyaningsih
(2010) bahwa hama Plutella xylostella L hama utama yang sulit di kendalikan
secara kimiawi, karena jika secara terus menerus dikendalikan dengan insektisida
sintetik, hama utama kubis tersebut semakin resisten terhadap insektisida yang
umum digunakan petani. Penggunaan insektisida terutama golongan organofosfat,
benzoil Urea dan piretroid menimbulkan resistensi terhadap hama Plutella
xylostella L. Sampai saat ini upaya pengendalian secara konvensional sering di
lakukan oleh kebanyakan petani Indonesia yang lebih menekankan penggunaan
insektisida kimiawi dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi. Penggunaan
insektisida kimiawi jika tidak bijaksana akan menimbulkan dampak negatif baik
secara ekonomi, kesehatan maupun ekologi. Selain mempunyai spektrum luas
yang tidak hanya membunuh hama sasaran, insektisida kimiawi juga dapat
membunuh parasitoid, predator danhama bukan sasaran yang berarti dapat
mengganggu keseimbangan alami serta dapat menyebabkan timbulnya strain-
strain Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang tahan.

49
Klasifikasi Arthropoda Yang Ditemukan Di Lahan
 Hama
1. Ulat Grayak (Spodoptera lituraF.)
Menurut Kalshoven (1981)
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Genus : Spodoptera
Spesies : Spodoptera litura F

Gambar 11.Ulat Grayak (Spodoptera lituraF.)


Sumber: Dokumentasi
2. Ulat Kubis (Plutella xylostella L.)
Menurut Kalshoven (1981)
Kingdom :Arthopoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili :Plutellidae
Genus :Plutella
Species :Plutellaxylostella L.

Gambar 12.Ulat Kubis (Plutella xylostella L.)


Sumber: Dokumentasi

50
 Musuh Alami
1. Kumbang Kubah Spot M (Menochillus sexmaculatus)
Menurut Kalshoven (1981)
Kingdom : Anamalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Coleoptera
Famili : Minochilas
Genus : Menochilus
Spesies : Menochillus sexmaculatus

Gambar 13.Kumbang Kubah Spot M (Menochillus sexmaculatus)


Sumber: Dokumentasi

2. Capung Jarum (Ischnura senegalensis)


Menurut Kalshoven (1981)
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Odonata
Sub ordo : Zygoptera
Famili : Coenagrionidae
Genus : Ischnura
Spesies : Ischnura senegalensis

Gambar 14.Capung Jarum (Ischnura senegalensis)


Sumber: Dokumentasi

51
 Serangga Lain
1. Semut Hitam ( Dolichoderus thoracicus S.)
Menurut Kalshoven (1981)
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Hexapoda
Ordo : Hymenoptera
Famili : Formicidae
Sub famili : Dolichoderinae
Genus : Dolichoderus
Spesies : Dolichoderus thoracicus S.

Gambar 15.Semut Hitam ( Dolichoderus thoracicus S.)


Sumber: Dokumentasi
2. Lalat Rumah (Musca domestica )
Menurut Kalshoven,1981
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Muscidae
Genus : Musca
Spesies : Musca domestica

Gambar 16.Lalat Rumah (Musca domestica )


Sumber: Dokumentasi

52
3. Nyamuk
Menurut Kalshoven,1981
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera

Gambar 17.Nyamuk
Sumber: Dokumentasi

53
Tabel 5.Penyakit yang Ditemukan Di Lahan
Nama Gejala Gambar
Penyakit
Disebabkan oleh cendawan
1. Bercak A brassicae. Patogen ini
Daun umumnya menyerang pada
daun tua, dengan gejala
(Alternaria
khas berupa bercak-bercak
brassicae)
bulat coklat dan lingkaran Sumber:
konsentris yang merupakan Dokumentasi
kumpulan spora.
Disebabkan oleh bakteri
serta memiliki ciri-ciri
2. Busuk
tanaman bercak coklat
Hitam
kehitam-hitaman pada daun
(Xanthomonas membentuk huruf V, daun
campestris Dows) busuk berwarna hitam. Sumber:
Dokumentasi

Disebabkan oleh patogen


3. Akar Gada yang menyerupai jamur
(Plasmodiophora) dengan ciri-ciri akar yang
besar atau membengkak,
tanaman kerdil, serta pada
penampakan luar daun Sumber:
terlihat layu. Dokumentasi

Dari hasil pengamatan penyakit di lahan dengan konsep PHT hanya


ditemukan satu jenis penyakit dari 10 sampel tanaman.Diduga penyakit tersebut
adalah penyakit bercak daun (Alternaria brassicae) karena memiliki gejala
dengan ciri-ciri di daunnya terdapat berbintik-bintik kelabu kemudian menjadi
bercak cokelat dan terdapat serabut-serabut berwarna putih apabila dipegang pada

54
daun yang terdapat bercaknya.Hal ini menandakan bahwa tanaman tersebut
terkena penyakit akibat infeksi cendawan. Menurut Wahyuni (2003) bahwa
penyakit bercak daun alternaria ini disebabkan oleh cendawan A brassicae.
Patogen ini umumnya menyerang pada daun tua, dengan gejala khas berupa
bercak-bercak bulat coklat dan lingkaran konsentris yang merupakan kumpulan
spora. Penyebaran patogen ini dapat melalui udara atau benih. Miselium A.
brassicae bercabang-cabang, bening, halus. Konodiofor dalam bentuk kelompok
2-10 atau lebih dengan konidianya soliter dan kadang-kadang membentuk rantai.
Pengendalian dapat dilakukan dengan perlakuan benih yang direndam
dengan air hangat (50oC) selama 15 menit, jarak tanam yang tidak terlalu rapat
sehingga sirkulasi udara berjalan dengan baik, pergiliran tanaman dengan tanaman
selain kubis-kubisan dan sebagai alternatif terakhir dengan penyemprotan
fungisida yang berbahan aktif benomil (Wahyuni, 2003).

Sedangkan pada pengamatan di lahan sawi putih dengan konsep non PHT
ditemukan dua jenis penyakit yang menyerang.Diduga kedua penyakit tersebut
adalah penyakit busuk hitam (Xanthomonas campestris Dows) dan akar gada
(Plasmodiophora).Gejala yang ditimbulkan di daunnya terdapat bercak coklat
kehitaman yang hampir membentuk huruf V di bagian pinggir daun kemudian
mengarah ke bagian tengah daun dan bagian pinggirnya berwarna kuning agak
kering. Menurut Wahyuni (2003), gejala busuk hitam (Xanthomonas campestris
Dows) diawali dengan serangan pada pori-pori air yang terdapat pada ujung-ujung
tepi daun yang menyebabkan tepi daun berubah menjadi kuning pucat atau
klorosis yang akan meluas kebagian tengah. Gejala khas penyakit busuk hitam ini
adalah adanya bercak kuning yang menyerupai huruf V di sepanjang pinggir daun
yang mengarah ke bagian tengah daun.

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv.


campestris. Bakteri ini berbentuk batang, membentuk rantai, berkapsula, tidak
berspora, dan bergerak dengan satu flagelum polar. Patogen dapat bertahan pada
biji kubis, dalam tanah atau dalam sisa tanaman sakit. Pengendalian dapat
dilakukan dengan cara mencabut atau memusnahkan tanaman yang terserang,

55
menjaga kebersihan kebun dari gulma atau sisa-sisa tanaman sakit dan mengatur
sistem drainase dengan baik (Wahyuni, 2003).

Selain penyakit busuk hitam diduga juga terdapat akar gada


(Plasmodiophora) yang ditandai oleh tanaman tumbuh kerdil yang terlihat
berbeda dari tanaman yang lain, semua daun layu dan apabila tanaman dicabut
akan terlihat akar yang membengkak.

Menurut Wahyuni (2003), gejala yang umum terlihat atau terjadi pada
bagian akar. Akar-akar yang terinfeksi cendawan ini akan menunjukkan reaksi
dengan pembelahan dan pembesaran sel yang menyebabkan terjadinya bintil atau
kelenjar yang tidak 7 teratur. Selanjutnya bintil-bintil ini bersatu, sehingga
menjadi membengkak atau membesar menyerupai batang (gada). Penyebab
penyakit ini adalah Plasmodiophora brassicae Wor.Cendawan ini membentuk
spora tahan, bulat, hialin, dan spora ini dapat berkecambah pada medium yang
sesuai, membengkak sampai mencapai ukuran beberapa kali dari ukuran normal.

Penanaman kubis secara terus-menerus akan meningkatkan populasi


Plasmodiophora. Sampai sekarang belum tersedia jenis kubis yang tahan terhadap
penyakit akar gada. Untuk mengendalikan penyakit akar gada ini, dapat dilakukan
dengan melakukan rotasi tanaman selain tanaman kubis-kubisan, membersihkan
ladang secara teratur, melakukan pengapuran untuk meningkatkan pH tanah
karena cendawan ini tumbuh dengan baik pada tanah yang masam, atau secara
kimiawi dengan menggunakan pestisida seperti Brassicol (quintozene), Benlate
(benomyl) (Wahyuni, 2003).

56
Tabel 6. Skoring Penyakit
Skor penyakit Uraian

0 Tidak ada infeksi

Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman yang


1
terserang 10%

Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman yang


2
terserang lebih dari 10% sampai 25%

Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman yang


3
terserang lebih dari 25% sampai 50%

Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman yang


4
terserang lebih dari 50%

Tabel 7. Serangan Intensitas Penyakit dengan Konsep PHT


Sampel Skor Penyakit (v)
N ∑ (n.v)
Tanaman 0 1 2 3 4
1 6 4 3 2 11 26 60
2 4 4 4 3 8 23 53
3 2 2 3 5 4 16 39
4 6 1 2 4 1 14 21
5 5 2 2 1 3 13 21
6 6 2 2 1 4 15 25
7 11 3 7 2 4 27 39
8 12 2 3 4 9 30 56
9 1 3 2 4 5 15 40
10 0 5 2 2 3 12 27

57
Tabel 8.Denah Pengambilan Sampel Tanaman Terserang Penyakit

Tanaman
Bedengan
1 2 3 4 5 6 7 8
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Perhitungan Intensitas Penyakit


 Sampel Tanaman 1
∑( )
IP =

 Sampel Tanaman 2
∑( )
IP =

 Sampel Tanaman 3
∑( )
IP =

 Sampel Tanaman 4
∑( )
IP =

 Sampel Tanaman 5
∑( )
IP =

 Sampel Tanaman 6
∑( )
IP =

 Sampel Tanaman 7
∑( )
IP =

 Sampel Tanaman 8
∑( )
IP =

58
 Sampel Tanaman 9
∑( )
IP =

 Sampel Tanaman 10
∑( )
IP =

Tabel 9. Serangan Intensitas Penyakit dengan Konsep Non PHT


Sampel Skor Penyakit (v)
N ∑ (n.v)
Tanaman 0 1 2 3 4
1 4 5 2 0 1 12 13
2 6 1 4 0 2 11 9
3 6 4 3 0 0 13 10
4 3 6 2 1 0 12 16

Tabel 10. Denah Pengambilan Sampel Tanaman Terserang Penyakit


Bedengan Tanaman
1 2 3 4 5 6 7 8
1
2
3
4

Perhitungan Intensitas Penyakit


 Sampel Tanaman 1
∑( )
IP =

 Sampel Tanaman 2
∑( )
IP =

Berdasarkan hasil perhitungan intensitas penyakit dapat diketahui bahwa


intensitas penyakit pada tanaman sawi putih lebih tinggi di lahan dengan konsep
PHT. Hal ini disebabkan oleh penggunaan jarak tanam antar bedeng dan
perbedeng tidak teratur sehingga menyebabkan penyakit dapat mudah menular ke

59
tanaman lain. Selain itu pada lahan ini tanaman tidak terlalu tumbuh subur seperti
pada tanaman di lahan dengan konsep non PHT karena tingkat kesuburan
tanahnya masih rendah. Menurut Bambang, (2006) menyatakan bahwa faktor
lingkungan ikut menentukan timbulnya suatu penyakit tanaman. Faktor-faktor
lingkungan tersebut antara lain suhu, kelembaban, cahaya, dan unsur hara dalam
tanah. Lingkungan dapat menyebabkan terjadinya perubahan perkembangan
penyakit menjadi lebih cepat atau lebih lambat. Tentu saja perubahan yang terjadi
pada faktor lingkungan tersebut mampu mempengaruhi tanaman inang, patogen
atau kedua-duanya.

4.2.2 Aspek Tanah


Pada aspek tanah terdapat 3 indikator yang diamati yaitu indikator biologi,
kimia, dan fisika. Indikator biologi yang diamati seperti pengukuran BO tanah,
populasi hewan tanah, dan kedalaman efektif tanah. Bahan organik sendiri
merupakan bahan-bahan yang dapat diperbaharui, didaur ulang, dirombak oleh
bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman tanpa
mencemari tanah dan air.Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-
sisa tanaman dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan
pembentukan kembali.Bahan organik demikian berada dalam pelapukan aktif dan
menjadi mangsa serangan jasad mikro.Sebagai akibatnya bahan tersebut berubah
terus dan tidak mantap sehingga harus selalu diperbaharui melalui penambahan
sisa-sisa tanaman atau binatang (Aprianis, dkk. 2007).
Indikator Biologi
 Understory :

Frame 1

60
Frame 2

 Seresah :

Frame 2 :

 % C-Organik :

( )

( )

 % Bahan Organik :

61
BO tanah yang telah diamati di lahan yaitu seresah, understory, adanya
makroorganisme cacing, dan kascing. Untuk data seresah yang di dapatkan pada
lahan PHT adalah 6,1 gram, understory frame 1 sebesar 4,5 gram dan frame 2
sebesar 34,6 gram, untuk makroorganisme cacing tidak ditemukan di lahan begitu
pula dengan kascing. Di lahan tidak dilakukan pengamatan tentang kedalaman
efektif tanah tetapi kita dapat melihatnya dari jenis tanaman yang tumbuh di
atasnya.
Sedangkan untuk data pada lahan Non PHT seperti seresah adalah seresah
pada frame 1 sebesar 1,1gram dan pada frame 2 didapatkan 3,5 gram. Pada Lahan
Non PHT tidak dilakukan pengambilan sample understory karena tidak ada
intruksi pengamatan untuk itu, namun jika dilihat dari kenampakannya tanaman
understory pada lahan Non PHT relatif sedikit. Untuk makroorganisme pada lahan
Non PHT tidak ditemukan adanya kascing. Sedangkan untuk kedalaman efektif
perakaran yaitu 24 cm. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa seresah pada
lahan PHT lebih banyak dibandingkan dengan lahan Non PHT, sehingga populasi
gulma yang muncul lebih banyak pada lahan Non PHT dan tanah di lahan PHT
tergolong subur karena cukup tingginya kandungan seresah yang ada
dibandingkan dengan Non PHT. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Mindawati,
1999) setelah mengalami penguraian atau proses dekomposisi, serasah menjadi
senyawa organik sederhana dan menghasilkan hara, sehingga dapat langsung
dimanfaatkan oleh tanaman. Peran serasah dalam proses penyuburan tanah dan
tanaman sangat tergantung pada laju produksi dan laju dekomposisinya. Selain itu
komposisi serasah akan sangat menentukan dalam penambahan hara ke tanah dan
dalam menciptakan substrat yang baik bagi organisme pengurai. Di tambah lagi
dengan kandungan understory atau tumbuhan bawah yang cukup banyak
membuktikan bahwa lahan dengan komoditas sawi tersebut tergolong subur.
Bahan organik memiliki berbagai peran penting yang dapat digunakan
sebagai indikator kesehatan tanah, diantaranya yaitu:
Secara fisik, biomass (bahan organik) berperan :
1. Mempengaruhi warna tanah menjadi coklat-hitam
2. Merangsang granulasi
3. Menurunkan plastisitas dan kohesi tanah

62
4. Memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah
5. Meningkatkan daya tanah menahan air sehingga drainase tidak
berlebihan, kelembaban dan temperatur tanah menjadi stabil (Aprianis,
dkk. 2007).
Disamping sebagai sumber bahan organik tanah, tanaman penutup tanah
(canopy) dapat berfungsi menetralisir daya rusak butir-butir hujan dan menekan
aliran (run off), yang kemudian dapat menghambat erosi dan pelindian hara.Hal
ini dapat dilihat dengan adanya pengaruh positif tanaman penutup tanah terhadap
sifat-sifat fisik tanah (Elliot, 1997). Sedangkan secara kimiawi biomass berperan
sebagai :
1. Bagian mudah terurai dari biomass melalui proses mineralisasi akan
menyumbangkan sejumlah ion-ion hara tersedia
2. Senyawa sisa mineralisasi dan senyawa sulit terurai melalui proses
humifikasi akan menghasilkan humus tanah yang terutama berperan
secara koloidal
3. Selama proses dekomposisi, sejumlah hara tersedia akan
diakumulasikan ke dalam sel-sel mikrobia, yang apabila ini mati
mudah dimineralisasikan kembali, sehingga menghindarkan ino-ion
hara ini dari pelindian oleh aliran massa air
4. Koloidal organik ini melalui muatan listriknya dapat meningkatkan
kapasitas tukar kation (KTK) tanah 30 kali lebih besar daripada
koloidal anorganik (liat dan mineral oksida berdiameter < 1µm)
5. Melalui kemampuannya dalam mencengkam (chilate) koloid/ mineral
oksida bermuatan positif dan kation-kation terutama Al dan Fe yang
reaktif, menyebabkan fiksasi P tanah menjadi ternetralisir, serta adanya
asam-asam organik hasil dekomposisi bahan organik yang mampu
melarutkan P dan unsur lain dari pengikatnya (Proctor, 1983).
Secara biologis, biomass merupakan sumber energi dan hara bagi jasad
biologis tanah terutama heterotrofik. Kandungan bahan organik dalam setiap jenis
tanah tidak sama. Hal ini tergantung dari beberapa hal yaitu; tipe vegetasi yang
ada di daerah tersebut, populasi mikroba tanah, keadaan drainase tanah, curah
hujan, suhu, dan pengelolaan tanah. Pengelolaan tanah yang dimaksud berarti

63
berhubungan dengan cara manusia memperlakukan suatu lahan. Apabila peran
bahan organik yang bergitu penting berhubungan dengan kualitas tanah, kesehatan
tanah, dan kesuburan tanah tersebut diabaikan, maka suatu lahan tersebut tidak
sehat.Bahan organik dapat ikut berpartisipasi untuk meningkatkan produktivitas
lahan.Oleh karena itu diperlukan manajemen lahan agar keberadaan bahan
organik tanah tetap ada dan memberi dampak positif terhadap keberlanjutan suatu
agroekosistem (Herrick, 2000).
Indikator Kimia

Indikator kimia juga diamati di lahan, dengan melihat kandungan C-


Organik, pH, dan eH. Untuk hasil C-Organik pada lahan PHT sebesar 4,8%, pH
sebesar 5,6, dan Eh sebesar 86,9 mV. Sedangkan untuk lahan Non PHT
didapatkan C-organik sebesar 5,04%, pH sebesar 5,2 dan Eh sebesar 107,8 mV.
Dari hasil pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa tanah pada lahan PHT
memiliki pH lebih besar dibandngkan dengan lahan Non PHT Nilai pH
menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hydrogen (H+) di dalam tanah. Semakin
tinggi kadar ion H+di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut. Hal ini
berbanding terbalik dengan ion OH- di dalam tanah.Pada tanah alkalis kandungan
OH- lebih banyak dari H+.Menurut (Sutedjo, 2005) tanah bersifat asam karena
berkurangnya kation Kalsium, Magnesium, Kalium dan Natrium.Unsur-unsur
tersebut terbawa oleh aliran air kelapisan tanah yang lebih bawah atau hilang
diserap oleh tanaman. Dengan jumlah pH sebesar 5,6 berarti tanah tersebut
termasuk asam. pH di lahan penting untuk diamati guna diketahui bagaimana
pengolahan yang tepat jika pH tidak sesuai untuk pertanaman di lahan tersebut.
Selain itu pentingnya pH tanah adalah untuk:
1. Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tanaman.
2. Pada umumnya unsur hara mudah diserap oleh akar tanaman pada pH
tanah netral 6-7, karena pada pH tersebut sebagian besar unsur hara
mudah larut dalam air.
3. pH tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat
racun bagi tanaman. Pada tanah asam banyak ditemukan unsur
alumunium yang selain bersifat racun juga mengikat phosphor,
sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Pada tanah asam unsur-

64
unsur mikro menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro
seperti Fe, Zn, Mn dan Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya
juga menjadi racun bagi tanaman.
4. pH tanah sangat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme di
dalam tanah. Pada pH 5.5–7 bakteri jamur pengurai organik dapat
berkembang dengan baik. pH optimum untuk ketersediaan unsur hara
tanah adalah sekitar 7,0 karena pada pH ini semua unsur hara makro
tersedia secara maksimum kecuali Mo, sehingga kemungkinan
terjadinya toksisitas unsur mikro tertekan. Tindakan pemupukan tidak
akan efektif apabila pH tanah diluar batas optimal. Pupuk yang telah
ditebarkan tidak akan mampu diserap tanaman dalam jumlah yang
diharapkan, karenanya pH tanah sangat penting untuk diketahui jika
efisiensi pemupukan ingin dicapai. Pemilihan jenis pupuk tanpa
mempertimbangkan pH tanah juga dapat memperburuk pH tanah.
Derajat keasaman (pH) tanah sangat rendah dapat ditingkatkan dengan
menebarkan kapur pertanian, sedangkan pH tanah yang terlalu tinggi
dapat diturunkan dengan penambahan sulfur (Hardjowigno, 2003).
Secara umum pH yang ideal bagi pertumbuhan tanaman adalah mendekati
6.5-7.Namun kenyataannya setiap jenis tanaman memiliki kesesuaian pH yang
berbeda.Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda dalam suatu
agroekosistem maka apabila suatu lahan digunakan untuk pertanian maka
pemilihan jenis tanamannya disesuaikan dengan pH tanah apakah tanaman yang
diusahakan sesuai dan mampu bertahan dengan pH tertentu (Magdoff, 2002).
Sedangkan untuk nilai Eh dari hasil pengamatan di lahan Non PHT tergolong
tinggi yaitu sebesar 107,8 mV dibandingkan dengan lahan PHT yang hanya
sebesar 86,9 mV. Hal ini menandakan bahwa pada lahan Non PHT kandungan
unsur hara lebih besar jika dibandingkan dengan lahan PHT. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Ghildyal (1984) yang menyatakan bahwa Eh sendiri adalah
potensial redoks yang merupakan indeks yang menyatakan kuantitas elektron
dalam suatu sistem. Nilai Eh merupakan penciri paling penting dalam evaluasi
status unsur dalam tanah.Nilai Eh dan pH berpengaruh langsung terhadap
ketersediaan unsur hara esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman.

65
Dan untuk hasil yang terakhir yaitu besarnya C-Organik yang tertinggi dalam
tanah terdapat pada lahan Non PHT yaitu sebesar 5,04% dan masuk dalam
kategori sedang sampai tinggi. Dari hasil tersebut dapat kita ketahui bahwa pada
lahan Non PHT lebih subur dibandingkan dengan lahan PHT yang terlihat dari
persentase kandungan C-organik yang lebih besar di lahan Non PHT. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Hanafian (2005) yang menyatakan bahwahubungan
kadar C-Organik terhadap pH adalah, semakin tinggi kadar C-Organik dalam
tanah maka pH tanah akan mampu mencapai netral, sehingga meningkatkan
kesuburan

Indikator Fisika

Pengamatan yang terakhir dilakukan adalah melalui indikator fisika. Dan


yang diamati adalah Berat Isi (BI) dan Berat Jenis (BJ) tanah, porositas, dan kadar
air tanah. Hasil pada lahan PHT yaitu BI tanah adalah 0,38 gr /cm3, BJ sebesar
2,19 gr /cm3, porositas 83 % dan kadar air tanah sebesar 0,4 kg/kg. Sedangkan
pada lahan Non PHT yaitu BI tanah sebesar 0,8 gr/ cm3 , BJ sebesar 1,59 gr/cm3 ,
porositas tanah sebesar 50 % dan % kadar air sebesar 19,1%. Dari data tersebut
dapat diketahui bahwa pada lahan PHT dan Non PHT di Sumber Brantas,
kandungan BI lebih besar terdapat pada lahan Non PHT sebesar 0,8 gr/ cm3,
dengan kedalaman akar menembus tanah yang mencapai 24cm. Hal ini sesusai
karena berat isi (BI) penting untuk diketahui pada suatu lahan, karena erat
kaitannya dengan tingkat kepadatan tanah dan kemampuan akar tanaman
menembus tanah. Definisi berat isi tanah sendiri adalah berat tanah utuh
(undisturbed) dalam keadaan kering dibagi dengan volume tanah, dinyatakan
dalam g/cm3(g/cc). Nilai berat isi tanah sangat bervariasi antara satu titik dengan
titik lainnya karena perbedaan kandungan bahan organik, tekstur tanah,
kedalaman tanah, jenis fauna tanah, dan kadar air tanah (Sutanto,2005).
Sedangkan definisi dari Berat Jenis adalah berat tanah kering per satuan volume
partikel-partikel (padat) tanah (jadi tidak termasuk pori-pori tanah)
(Sutanto,2005).

66
Menurut Sutanto (2005), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
bobot isi dan bobot jenis tanah, yaitu :
 Bobot isi
1. Infiltrasi air
Semakin tinggi BI tanah maka struktur tanah akan semakin mantap dan
infiltrasi akan semakin kecil, sebaliknya jika BI rendah pori-pori tanah
akan semakin besar sehingga infiltrasi air akan bertambah besar.
2. Konsistensi
Jika BI tanah tinggi maka struktur tanah akan semakin mantap dan
konsistensi tanah akan semakin kuat.
3. Pergerakan akar
Semakin besar bobot isi tanah maka akar akan semakin susah
menembusnya karena pori-pori tanah akan semakin kecil dan struktur
tanahnya akan semakin mantap.
4. Pengolahan tanah
Jika BI tinggi maka tanah akan semakin padat dan akan semakin sulit
untuk diolah.

 Bobot jenis
4.1 Porositas
Jika kandungan BJ tanah tinggi maka porositas tanah akan semakin
rendah, sebaliknya jika kandungan BJ tanah rendah maka porositas akan
semakin tinggi.
4.2 Pengolahan
Semakin tinggi bobot jenis tanah maka tanah akan semakin padat sehingga
pengolahannya akan semakin sulit.
 Perhitungan Bobot Jenis Tanah

Rumus Bobot Jenis :

( )
Bobot Jenis = (

67
( )
Bobot Jenis = =
( ( )

= = 2,19 gr / cm3

 Perhitungan Kadar Air dan Bobot Isi Tanah

Kadar Air :

( )–( )
KA = =
( )

= = 0,4gram / gram

Bobot Isi :

(( ) )
BI = =

= = 0,38 gr / cm3

Dilihat dari pembahasan literatur tersebut, dapat dibandingkan hasil yang


telah didapat melalui perhitungan BJ dan BI dengan keadaan tanah di lahan
dengan komoditas sawi tersebut. Dimana antara lahan PHT dan Non PHT tersebut
paling besar memiliki BJ tanah sebesar 2,19 gr /cm3 dan BI tanah sebesar 0,8
gr/cm3. Untuk BJ tanah, menurut literatur, menyatakan bahwa keadaan tanah
secara umum nilai Bj antara 2,6-2,7 g/m3. Bila semakin banyak kandungan BO,
maka nilai BJ semakin kecil. Dan pada lahan sawah tersebut yang memiliki nilai
BJ yang kecil yaitu 2,19 gr /cm3 berarti memiliki kandungan BO yang banyak
sebesar 8,2 %.
 Porositas
Jika kandungan BJ tinggi maka porositas tanah akan semakin rendah, sebaliknya
apabila kandungan BJ tanah rendah maka porositas tanah akan semakin tinggi

% Porositas = 1 X X 100 % = 1 X X 100 %

= 0,82%

68
 Berat Isi tanah
Undang (2006) menyatakan bahwa, “Bahan organik dapat menurunkan BI
dan tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu merupakan tanah yang memiliki
bahan organik tanah sedang sampai tinggi. Selain itu, nilai BI untuk tekstur
berpasir antara 1,5 – 1,8 g / m3, nilai BI untuk tekstur berlempung antara 1,3 – 1,6
g / m3 dan nilai BI untuk tekstur berliat antara 1,1 – 1,4 g / m3 merupakan nilai BI
yang dijumpai pada tanah yang masih alami atau tanah yang tidak mengalami
pemadatan”. Bobot isi tanah di lahan dengan pengolahan intensif biasanya
memiliki nilai BI tinggi karena tanah telah mengalami pemadatan akibat
penggunaan alat-alat berat untuk pengolahan tanahnya. Pada lahan tersebut nilai
BI tanah sebesar 0,38 gr /cm3, dan dapat disimpulkan pada lahan ini pengolahan
tidak terlalu intensif karena BI-nya yang cukup rendah. Namun kandungan BO
dalam tanah termasuk tinggi karena nilai BI rendah dan dilihat dari indikator
biologi yang didapat.
 Kadar Air Tanah
Kadar air, dapat dikatakan bahwa berat jenis partikel berbanding terbalik
dengan kadar air. Hal ini terjadi jika suatu tanah memiliki tingkat kadar air yang
rendah dalam menyerap air tanah maka artinya pori-pori di dalam tanah kecil
(kepadatan tanah tinggi) sehingga tanah yang memiliki pori kecil akan lebih sulit
memasukkan air di dalam agregat tanah. Dari hasil perhitungan yang telah
dilakukan jumlah kadar air pada tanah tergolong rendah yaitusebesar 0,4 kg/kg.

4.3 Rekomendasi
Upaya perbaikan melalui rekomendasi yang sesuai merupakan salah satu
cara untuk menigkatkan perbaikan bagi lahan pertanian baik dalam aspek
Budidaya Pertanian, Hama Penyakit Tanaman, dan Manejemen Sumber Daya
Lahan. Dari hasil pengamatan dan uji laboraturium baik dari lahan PHT dan Non-
PHT kami merekomendasikan suatu manajemen dan pengupayaan bagi lahan
tersebut, belum terpenuhinya komponen manajemen agroekosistem dengan baik
yang terdiri dari produktivitas, stabilitas, keberlanjutan dan kemerataan, masih
kurangnya keberagaman musuh alami, dan pengolahan yang kurang terhadap
lahan, oleh karena itu pengendalian dengan mempertimbangkan penggunaan
sistem IPM (Integrated Pest Management), ICM (Integrated Crop Management),

69
dan ISFM (Integrated Soil Fertility Management) diperlukan agar tercapai
manajemen agroekosistem yang baik. Penggabungan ketiga sistem pertanian
diatas diharapkan mampu untuk mengurangi intensitas serangan hama dan
penyakit tanaman, dan menambah populasi musuh alami, penggunaan sitem
secara IPM yang menggunakan startegi pengendalian secara kultur teknis (melalui
Rotasi Tanaman, Multiple cropping,Inter cropping, Alley cropping, pergantian
dengan tanaman polong dan lorong penambahan tanaman yang mengandung zat
alelopati dan tanaman yang dapat menambah unsur tanah), kemudian
pengendalian secara fisik dan mekanik, kemudian biologi, dan yang terakhir
adalah secara kimia apabila benar-benar tidak bisa dikendalikan dengan
pengendalian lainnya Penerapan PHPT (IPM) pada tanaman sawi memungkinkan
petani memilih strategi pengelolaan yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan.
Penggunaan sistem pengelolaan terpadu mengurangi tingkat serangan hama dan
penyakit pada tanaman, mengurangi penggunaan bahan kimia yang tidak perlu,
menyediakan alternatif pengelolaan hama dan penyakit dan memperbaiki hasil
serta kualitas tanaman, oleh karena itu dapat meningkatkan pendapatan petani
(Daniel,2009).

Kemudian startegi ICM yang tidak terlalu jauh dengan pengendalian


secara kultur teknis pengaturan pola tanam yang sesuai agar tidak mempermudah
hama bersarang pada tanaman. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan produksi tanaman sawi adalah dengan memilih sistem pola tanam
yang tepat. Sistem pola tanam dapat dilakukan dengan monokultur atau polikultur.
Penanaman secara monokultur dirasakan kurang menguntungkan karena
mempunyai resiko yang besar, baik dalam keseimbangan unsur hara yang
tersedia, maupun kondisi hama penyakit dapat menyerang tanaman secara
eksplosif sehingga menggagalkan panen. Tumpangsari (intercropping) merupakan
pola tanam polikultur yang sering digunakan dalam pembudidayaan tanaman,
termasuk tanaman, tumpangsari ditujukan untuk memenfaatkan lingkungan (hara,
air dan sinar matahari) sebaik-baiknya agar diperoleh produksi maksimal.
Tumpangsari bertujuan untuk mendapatkan hasil panen lebih dari satu kali dari
satu jenis atau beberapa jenis tanaman dalam setahun pada lahan yang sama
(Marliah dkk, 2010). Tumpangsari pada tanaman sawi dapat dilakukan dengan

70
menanam tanaman daun bawang pada alur diantara bedengan. Diversifikasi
familytanaman, pengaturan waktu tanam yang sesuai juga berpengaruh terhadap
perkembangan OPT.

Penggunaan sistem ISFM (Integrated Soil Fertility Management) dengan


pengolahan tanah yang sesuai agar tanah menjadi gembur dan tidak memadat
sehingga penyerapan air lebih mudah melalui pori tanah, penambahan pupuk
hayati, penambahan pupuk kompos yang dirasa mampu memperbaiki struktur dan
pori tanah, serta pengontrolan pupuk yang sesuai dengan kebutuhan., pemberian
bahan organik akan meningkatkan pori meso dan menurunkan pori mikro. Dengan
demikian akan meningkatkan pori yang dapat terisi udara dan menurunkan pori
yang terisi air, artinya akan terjadi perbaikan aerasi untuk tanah Terbukti
penambahan bahan organik (pupuk kandang) akan meningkatkan pori total tanah
dan akan menurunkan berat volume tanah (Wongso, 2003).Keberhasilan sebuah
manajemen tentunya ditunjang dengan pematangan rencana, pelaksanaan secara
lapang, dan juga pengontrolan yang selalu konsisten yang dibutuhkan agar
tercapai keseimbangan agoekosistem. Perekomendasian secara IPM, ICM dan
ISFM yang dijadikan menjadi satu yang akan berdampak bagi meningkatnya
produktivitas, stabilitas, keberlanjutan dan kemerataan dirasa sudah cukup untuk
mengatasi permasalahan di lahan pertanian Desa Sumber Brantas, Kabupaten
Batu.

71
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari aspek Budidaya Pertanian bagi lahan PHT maupun Non-PHT masih
belum memenuhi 4 prinsip agroekosistem diantaranya produktivitas, stabilitas,
keberlanjutan dan kemerataan. Untuk produktivitas sawi putih belum memenuhi
syarat walaupun untuk hasil panen per hektar sudah cukup baik dan untuk harga
pasaran per Kg sawi putih masih rendah yaitu 400-1000/Kg, yang mana apabila
sawi putih ini di pasarkan oleh tengkulak baik di dalam wilayah ataupun luar
wilayah daerah tersebut harganya bisa berkali-kali lipat. Sedangkan untuk
stabilitas juga belum stabil, apabila dilihat dari produktivitas sawi putih akibat
gangguan iklim tidak berpengaruh karena perganitian tanam setiap musim selalu
dilakukan sedangkan untuk stabilitas harga terkadang bisa naik turun tergantung
banyaknya hasil panen sawi putih, untuk produktivitas masih dapat turun akibat
serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Kemudian untuk keberlanjutan
dan kemerataan masih belum terpenuhi, karena antara satu petani dengan petani
lainnya masih berbeda dilihat dari pendapatan hasil panen perhektarnya
dibuktikan dengan bedanya pendapatan antara petani PHT dan Non-PHT.

Dari hasil pengamatan baik itu PHT maupun Non-PHT masih belum
sesuai, baik dalam hal keberagaman dan keseimbangan ekosistem yang sesuai
untuk pertanian, hal ini dapat dilihat dari keberagaman yang didominasi oleh
serangga lain dan hama, walaupun tidak semua serangga lain merugikan tetapi
dapat berpotensi sebagai hama. Selain itu intensitas penyakit masih sering
menyerang pertanaman lahan tersebut baik itu PHT maupun Non-PHT. Penularan
penyakit melalui udara juga sebagai salah satu faktor pendukung persebaran
penyakit.

Untuk kriteria penilaian aspek tanah baik dari indikator biologi, kimia dan
fisiki baik itu pada lahan PHT maupun NoN-PHT sudah memenuhi indikator
kesuburan tanah dari banyaknya seresah, kandungan C-organik, PH, Eh, BI serta
BJ tanah. Hanya saja pengolahan tanah secara intensif perlu dilakukan untuk
meningkatkan porositas dan kandungan air yang dibutuhkan tanaman dan dapat

72
diserap akar tanaman, karena apabila porositas kecil maka kemampuan tanah
untuk menyerap air berkurang.

Dari semua aspek pengamatan diperlukan bebrapa upaya perbaikan yang


dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas dari tanaman sawi putih, perlu
adanya pengendalian yang sesuai, perbaikan, dan pengusahaan yang tepat yang
mencakup managemen agroekosistem yang sesuai untuk mencapai keberlanjutan
yang dapat diterima oleh masyarakat, menguntungkan secara ekonomi dan tidak
merusak lingkungan. Upaya perekomendasian yang sesuai diharapkan mampu
mengurangi kendala-kendala yang dihadapi para petani yang membudidayakan
sawi putih di desa Sumber Brantas tersebut.

5.2 Saran Terhadap Keberlanjutan Agroekosistem


Dalam sejarah lahan pada lahan PHT dulunya adalah hutan, pengubahan
penggunaan lahan dapat mengubah komponen agroekosistem apabila tidak
ditunjang dengan keterpaduan sistem yang baik maka keseimbangan
agroekosistem sulit untuk dicapai. Penggunaan sistem yang sesuai untuk
keberlanjutan agroekosistem penting adanya penggunaan IPM (Integrated Pest
Management), ICM (Integrated Crop Management), dan ISFM (Integrated Soil
Fertility Management) untuk lahan PHT maupun Non-PHT adalah saran yang
kami rekomendasikan.

5.3 Saran Praktikum


Praktik langsung atau pembuatan project perkelas penciptaan lahan yang
menggunakan sistem IPM (Integrated Pest Management), ICM (Integrated Crop
Management), dan ISFM (Integrated Soil Fertility Management) untuk mata
kuliah Manajemen Agroekositem.

73
DAFTAR PUSTAKA

Agustian, dkk. 2009. Penerapan Teknologi Pengendalian HamaTerpadu Pada


Komoditas Perkebunan Rakyat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi danKebijakan
PertanianIndonesian Center For Agricultural Socio Economic and PolicyStudies
Anwar, Aswaldi et al. 2005. Perbenihan Sayuran di Indonesia: Kondisi Terkini
dan ProspekBisnis Benih Sayuran, Indonesian Vegetable Seeds: Current
Condition and Prospects in Business of Vegetable Seeds. Bul. Agron.
Vol. 33 No. 1: Hal 38 – 47
Aprianis, Y., A.B. dkk. 2010. Laporan Hasil Penelitian. Evaluasikandungan
biomassa dan dekomposisi serasah. Riau: Balai Penelitian Hutan
Penghasil Serat
Bambang P. 2006. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman : Proses Terjadinya
Penyakit Tumbuhan.Laboratorium Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu. Bengkulu

Bamualim, A. 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah Kering.


Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan
Lingkungan. Bogor: IPB

Cahyono, Bambang. 2003. Teknik dan Strategi Budidaya Sawi Hijau (Pai – Rsai).
Yogyakarta :Yayasan Pustaka Nusatama

Channa,N.B., Bambaradeniya and Felix P.Amarasinghe. 2004. Biodiversity


Associated With The Rice Field Agro – Ecosystem In Asian Countries : A
Brief Review. Ghana, Pakistan, South Afrika, Srilanka, Thailand
Daniel, Rosalie dan Guest, David. 2009. Pengelolaan Hama danPenyakit Terpadu
untuk Produksi Kakao Berkelanjutan. Australia: Universitas Sydney
Elliot, E. T. (1997). Rationale for developing bioindicators of soil health. In C.
Pankhurst,B.M. Doube and V.V.S.R. Gupta (eds). Biological indicators of
Soil Health. CAB International. UK 49-78
Ghildyal, B.P. 1984. Rethinking soil physics research. Jour. Indian Soc. Soil Sci.
32:556-574.

74
Hanafiah, Kemas Ali. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Hardjowigno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo
Harisha, Khansa. 2015. Kesehatan Tanah. Diunduh dari
https://tenagaeksogen16.wordpress.com/ pada tanggal 1 jJuni 2015
Herrick, J. E. (2000). SoilQuality: an indicator of sustainable land management
Applied Soil Ecology. (15) 75-83
Kadekoh, I. 2010. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan
Dengan Sistem Polikultur.
Kalshoven, L. G. E., 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Revised and Tranlated
By P.A. Van der laan. P.T. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta
Magdoff, F. (2002) Concept, componen and strategies of soil health in
agroecosystems.Journal of Nematology. 33 (4); 169-172
Mindawati, N. 1999. Produksi dan laju dekomposisi serasah. Willd. Buletin
PenelitianHutan. Vol. VI. No.8; P. 65-77
Mulyani,A. 2006. Potensi Lahan Kering Masam untuk Pengembangan
Pertanian.Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 28 (2):
16-17. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Mulyaningsih, Liliek. 2010. Aplikasi Agensia Hayati AtauInsektisida
DalamPengendalian Hama Plutella Xylostella Linn Dan Crocidolomia
Binotalis ZellUntuk Peningkatan Produksi Kubis(Brassica Oleracea L.)
Vol. 7 No. 2 .Ngawi:Fakultas Pertanian- Universitas Soerjo Ngawi
Oka, Ida Nyoman. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University press

PPID Kota Batu. 2012. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Batu
2012-2017. Batu

Pracaya. 1997. Hama dan Penyakit Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya

Proctor, J. 1983. In Tropical Rain Forest Ecological and Management 2.


BlackwellScientific Publication. Oxford

Puspita,Leni.2005.Lahan Basah Buatan di Indonesia.Ditjen PKHA: Bogor

75
Rukmana, R. 2001. Teknik Pengelolaan Lahan Berbukit dan Kritis. Yogyakarta:
Kanisius

Sastrahidayat, I.R. 1991. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional, Surabaya


Semangun, Haryono. 1993. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. ,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Silya, Miya. 2015. Pertanian Lahan Basah dan Kering. Diunduh dari
http://hutantani.blogspot.com/pada tanggal I Juni 2015
Susniahti, N., Sumeno, H., Sudarjat. 2005. Bahan Ajar Ilmu Hama Tumbuhan.
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta Unpad: Bandung
Sutanto, Rachman. 2005. Dasar-dasar Ilmu tanah. Yogyakarta: Kanisius
Sutedjo,Mulyani. 2005. Pengantar Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Syam, A. 2003.Sistem Pengelolaan Lahan Kering di Daerah Aliran Sungai
Bagian Hulu. Jurnal Litbang Pertanian, 22 (4) : 162-171. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
Undang, Kurnia dkk. 2006. Sifat Fisik Tanah & Metode penelitian. Bogor: Tim
Dosen
Untung,K. 2006.Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu (Edisi
Kedua).Yogayakarta : Gadjah Mada University Press
Wahyudi, A., 2003. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan
Rakyat.Pengembangan dan Implementasi PHT Perkebunan Rakyat
Berbasis Agribisnis: Bogor, 17 – 18 September 2002. Bagian Proyek
PHT Tanaman Perkebunan 2003. Hlm 37-54
Wahyuni, Sri. 2006. Perkembangan Hama Dan Penyakit Kubis DanTomat Pada
Tiga Sistem Budidaya Pertanian DiDesa Sukagalih Kecamatan
MegamendungKabupaten Bogor. Bogor: Fakultas Pertanian- IPB
Wongso, Sutoro Atmojo. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan
Tanah Dan Upaya Pengelolaannya. University Sebelas Maret Press.
Semarang

76
LAMPIRAN

A. Aspek HPT

Penjebak Pantrap Penjebak Yellow Sticky Trap

Tanaman Sawi Putih PHT Sawi Putih yang Terserang Hama

B. Aspek BP

Wawancara dengan petani Tanaman Sawi Putih Non-PHT

77
C. Aspek Tanah
 Tanah PHT

Pengambilan Sampel Tanah Pengukuran Tinggi Seresah

 Tanah Laboratorium

Menimbang Seresah Menimbang Kascing

Proses Titrasi

78

You might also like