Professional Documents
Culture Documents
Head Injury Askep
Head Injury Askep
2.1 Pengertian
Menurut Smeltzer dan Suzanne (2012), cedera kepala/ head injury adalah
cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges,
(2008) cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi
karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan
perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang
otak.
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala
adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara
langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.
2.4 Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu cedera kepala. Cedera percepatan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan
ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada
kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan
batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak,
yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan
suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak
yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang
sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer,
yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan
pada seluruh sistem dalam tubuh.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cedera
kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan
dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan
karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus
dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Brain, 2009).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa
terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan
terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).
2.6 Komplikasi
Menurut Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari
perluasan hematoma intracranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak.
Komplikasi dari cedera kepala adalah:
2.6.1 Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa.
Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan
intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan
tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol
100-110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh
secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke
alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2.6.2 Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg,
dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang
mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang merupakan
komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal
jantung serta kematian.
2.6.3 Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping
tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus
memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah
cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah
pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan
diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system
pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
2.6.4 Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek
meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan,
diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga.
Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
2.6.5 Infeksi
2.8 Penatalaksaanan
2.8.1 Penatalaksanaan medis
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
7. Pembedahan.
2.8.2 Penatalaksanaan Keperawatan
1. Menjamin kelancaran jalan nafas dan control vertebra cervicalis
2. Menjaga saluran nafas tetap bersih, bebas dari secret
3. Mempertahankan sirkulasi stabil.
4. Melakukan observasi tingkat kesadaran dan tanda tanda vital.
5. Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai terjadi hiperhidrasi.
6. Menjaga kebersihan kulit untuk mencegah terjadinya decubitus.
7. Mengelola pemberian obat sesuai program
(Smeltzer dan Suzanne, 2012)
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Data fokus yang perlu dikaji:
1. Riwayat kesehatan.
Keluhan utama, kapan cidera terjadi, penyebab cidera, riwayat tak sadar, amnesia,
riwayat kesehatan yang lalu, dan riwayat kesehatan keluarga.
2. Pemeriksaan fisik
1). Keadaan umum
2). Pemeriksaan persistem
a. Sistem persepsi dan sensori (pemeriksaan panca indera: penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa). Kehilangan kesadaran
sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan,
diplopia, gangguan pengecapan/pembauan.
b. Sistem persarafan (tingkat kesadaran/ nilai GCS, reflek bicara, pupil, orientasi
waktu dan tempat). Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia
akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis. Perubahan kesadaran,
letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan (ataksia), cidera pada
tulang dan kehilangan tonus otot. Perubahan kesadaran, koma. Perubahan
status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil
(respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan
pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive
terhadap sentuhan / gerakan.
c. Sistem pernafasan (nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan kepatenan jalan
nafas). Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan
karena aspirasi).
d. Sistem kardiovaskuler (nilai TD, nadi dan irama, kualitas, dan frekuensi).
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh peningkatan TIK. Tekanan darah
normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan frekuensi jantung nadi
bradikardi, takhikardi dan aritmia.
e. Sistem gastrointestinal (nilai kemampuan menelan, nafsu makan/ minum,
peristaltik, eliminasi)
f. Sistem integumen ( nilai warna, turgor, tekstur dari kulit, luka/ lesi)
g. Sistem reproduksi
h. Sistem perkemihan (nilai frekuensi b.a.k, volume b.a.k)
3. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan (termasuk adakah kebiasaan
merokok, minum alcohol, dan penggunaan obat obatan).
2) Pola aktivitas dan latihan (adakah keluhan lemas, pusing, kelelahan, dan
kelemahan otot, lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan )
3) Pola nutrisi dan metabolisme (adakah keluhan mual, muntah). Mual, muntah,
perubahan selera makan, muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan
(batuk, disfagia
4) Pola eliminasi. BAB/BAK inkontinensia/disfungsi
5) Pola tidur dan istirahat. Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan
ROM, tonus otot hilang kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi
temperatur tubuh.
6) Pola kognitif dan perceptual. Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang
berbeda. Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri
yang hebat, gelisah.
7) Persepsi diri dan konsep diri
8) Pola toleransi dan koping stress. Perubahan tingkah laku/kepribadian, mudah
tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi.
9) Pola seksual dan reproduktif
10) Pola hubungan dan peran
11) Pola nilai dan keyakinan
(Smeltzer dan Suzanne (2012)
3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan cidera kepala
adalah sebagai berikut:
1. Perfusi jaringan tidak efektif (spesifik serebral) berhubungan dengan aliran
arteri dan atau vena terputus
2. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan hipoventilasi
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kemampuan
kognitif, motorik, dan afektif.
(Herdman, T Heather, 2015)
3.3 Perencanaan
No No DP Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1. I NOC: Monitor Tekanan Intra
1. Status sirkulasi Kranial
2. Perfusi jaringan serebral 1. Catat perubahan respon
Setelah dilakukan tindakan klien terhadap stimu-lus
keperawatan selama ..x 24 jam, / rangsangan
klien mampu mencapai : 2. Monitor TIK klien dan
1. Status sirkulasi dengan respon neurologis
indikator: terhadap aktivitas
Tekanan darah sistolik dan 3. Monitor intake dan
diastolik dalam rentang output
yang diharapkan 4. Pasang restrain, jika
Tidak ada ortostatik perlu
hipotensi 5. Monitor suhu dan angka
Tidak ada tanda tanda leukosit
PTIK 6. Kaji adanya kaku kuduk
2. Perfusi jaringan serebral, 7. Kelola pemberian
dengan indicator : antibiotik
8. Berikan posisi dengan
Klien mampu berko- kepala elevasi 30-40O
munikasi dengan je-las dan dengan leher dalam
sesuai ke-mampuan posisi netral
Klien menunjukkan 9. Minimalkan stimulus
perhatian, konsen-trasi, dan dari lingkungan
orientasi 10. Beri jarak antar tindakan
Klien mampu mem-proses keperawatan untuk
informasi meminimalkan
3.4 Pelaksanaan
Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan realisasi dari pada rencana
tindakan. Pelaksanaan memberikan asuhan keperawatan secara mandiri,
kolaboratif dan delegatif. Pada pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan,
validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencana keperawatan,
memberikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data.
3.5 evaluasi
Evaluasi akhir asuhan keperawatan dilaksanakan mengacu pada tujuan dan
alokasi waktu yang ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA