You are on page 1of 19

BAB II

KONSEP DASAR HEAD INJURY/CEDERA KEPALA

2.1 Pengertian
Menurut Smeltzer dan Suzanne (2012), cedera kepala/ head injury adalah
cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges,
(2008) cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi
karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan
perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang
otak.
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala
adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara
langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.

2.2 Klasifikasi cedera kepala


2.2.1 Menurut Smeltzer dan Suzanne (2012) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
1. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau
luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan
bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
2. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,
kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala
tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.
2.2.2 Menurut Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat
berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu:
1. Ringan
1) GCS = 13 – 15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
1) GCS = 9 – 12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
1) GCS = 3 – 8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial.

2.3 Etiologi dan predisposisi


Menurut Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

2.4 Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu cedera kepala. Cedera percepatan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan
ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada
kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan
batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak,
yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan
suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak
yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang
sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer,
yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan
pada seluruh sistem dalam tubuh.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cedera
kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan
dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan
karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus
dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Brain, 2009).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa
terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan
terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2009).

2.5 Manifestasi klinik


Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
2.5.1 Cedera kepala ringan.
1. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
2. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
3. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku.
4. Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2.5.2 Cedera kepala sedang
1. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau
bahkan koma.
2. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
2.5.3 Cedera kepala berat
1. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
2. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
3. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
4. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.

2.6 Komplikasi
Menurut Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari
perluasan hematoma intracranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak.
Komplikasi dari cedera kepala adalah:
2.6.1 Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa.
Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan
intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan
tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol
100-110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh
secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke
alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2.6.2 Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg,
dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang
mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang merupakan
komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal
jantung serta kematian.
2.6.3 Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping
tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus
memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah
cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah
pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan
diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada system
pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
2.6.4 Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek
meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan,
diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga.
Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
2.6.5 Infeksi

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Scan CT (tanpa/dengan kontras). Untuk Mengidentifikasi adanya sol,
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI. Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
3. Angiografi serebral. Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pengeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
4. EEG. Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
5. Sinar X. Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons). Menentukan fungsi korteks dan
batang otak.
7. PET (Positron Emission Tomography). Menunjukan perubahan aktifitas
metabolisme pada otak.
8. Fungsi lumbal, CSS. Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan
subarachnoid.
9. GDA (Gas Darah Artery). Mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
10. Kimia /elektrolit darah. Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan
dalam peningkatan TIK/perubahan mental.
11. Pemeriksaan toksikologi. Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung
jawab terhadap penurunan kesadaran.
12. Kadar antikonvulsan darah. Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup fektif untuk mengatasi kejang.
(Doenges, 2008)

2.8 Penatalaksaanan
2.8.1 Penatalaksanaan medis
1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
7. Pembedahan.
2.8.2 Penatalaksanaan Keperawatan
1. Menjamin kelancaran jalan nafas dan control vertebra cervicalis
2. Menjaga saluran nafas tetap bersih, bebas dari secret
3. Mempertahankan sirkulasi stabil.
4. Melakukan observasi tingkat kesadaran dan tanda tanda vital.
5. Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai terjadi hiperhidrasi.
6. Menjaga kebersihan kulit untuk mencegah terjadinya decubitus.
7. Mengelola pemberian obat sesuai program
(Smeltzer dan Suzanne, 2012)
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Data fokus yang perlu dikaji:
1. Riwayat kesehatan.
Keluhan utama, kapan cidera terjadi, penyebab cidera, riwayat tak sadar, amnesia,
riwayat kesehatan yang lalu, dan riwayat kesehatan keluarga.
2. Pemeriksaan fisik
1). Keadaan umum
2). Pemeriksaan persistem
a. Sistem persepsi dan sensori (pemeriksaan panca indera: penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa). Kehilangan kesadaran
sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan,
diplopia, gangguan pengecapan/pembauan.
b. Sistem persarafan (tingkat kesadaran/ nilai GCS, reflek bicara, pupil, orientasi
waktu dan tempat). Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia
akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis. Perubahan kesadaran,
letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan (ataksia), cidera pada
tulang dan kehilangan tonus otot. Perubahan kesadaran, koma. Perubahan
status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil
(respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan
pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive
terhadap sentuhan / gerakan.
c. Sistem pernafasan (nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan kepatenan jalan
nafas). Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan
karena aspirasi).
d. Sistem kardiovaskuler (nilai TD, nadi dan irama, kualitas, dan frekuensi).
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh peningkatan TIK. Tekanan darah
normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan frekuensi jantung nadi
bradikardi, takhikardi dan aritmia.
e. Sistem gastrointestinal (nilai kemampuan menelan, nafsu makan/ minum,
peristaltik, eliminasi)
f. Sistem integumen ( nilai warna, turgor, tekstur dari kulit, luka/ lesi)
g. Sistem reproduksi
h. Sistem perkemihan (nilai frekuensi b.a.k, volume b.a.k)
3. Pola fungsi kesehatan menurut Gordon
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan (termasuk adakah kebiasaan
merokok, minum alcohol, dan penggunaan obat obatan).
2) Pola aktivitas dan latihan (adakah keluhan lemas, pusing, kelelahan, dan
kelemahan otot, lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan )
3) Pola nutrisi dan metabolisme (adakah keluhan mual, muntah). Mual, muntah,
perubahan selera makan, muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan
(batuk, disfagia
4) Pola eliminasi. BAB/BAK inkontinensia/disfungsi
5) Pola tidur dan istirahat. Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan
ROM, tonus otot hilang kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi
temperatur tubuh.
6) Pola kognitif dan perceptual. Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang
berbeda. Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri
yang hebat, gelisah.
7) Persepsi diri dan konsep diri
8) Pola toleransi dan koping stress. Perubahan tingkah laku/kepribadian, mudah
tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi.
9) Pola seksual dan reproduktif
10) Pola hubungan dan peran
11) Pola nilai dan keyakinan
(Smeltzer dan Suzanne (2012)
3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan cidera kepala
adalah sebagai berikut:
1. Perfusi jaringan tidak efektif (spesifik serebral) berhubungan dengan aliran
arteri dan atau vena terputus
2. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan hipoventilasi
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kemampuan
kognitif, motorik, dan afektif.
(Herdman, T Heather, 2015)

3.3 Perencanaan
No No DP Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1. I NOC: Monitor Tekanan Intra
1. Status sirkulasi Kranial
2. Perfusi jaringan serebral 1. Catat perubahan respon
Setelah dilakukan tindakan klien terhadap stimu-lus
keperawatan selama ..x 24 jam, / rangsangan
klien mampu mencapai : 2. Monitor TIK klien dan
1. Status sirkulasi dengan respon neurologis
indikator: terhadap aktivitas
 Tekanan darah sistolik dan 3. Monitor intake dan
diastolik dalam rentang output
yang diharapkan 4. Pasang restrain, jika
 Tidak ada ortostatik perlu
hipotensi 5. Monitor suhu dan angka
 Tidak ada tanda tanda leukosit
PTIK 6. Kaji adanya kaku kuduk
2. Perfusi jaringan serebral, 7. Kelola pemberian
dengan indicator : antibiotik
8. Berikan posisi dengan
 Klien mampu berko- kepala elevasi 30-40O
munikasi dengan je-las dan dengan leher dalam
sesuai ke-mampuan posisi netral
 Klien menunjukkan 9. Minimalkan stimulus
perhatian, konsen-trasi, dan dari lingkungan
orientasi 10. Beri jarak antar tindakan
 Klien mampu mem-proses keperawatan untuk
informasi meminimalkan

 Klien mampu mem-buat peningkatan TIK

keputusan de-ngan de-ngan 11. Kelola obat obat untuk

benar mempertahankan TIK

 Tingkat kesadaran klien dalam batas spesifik

membaik Monitoring Neurologis


(2620)
1. Monitor ukuran,
kesimetrisan, reaksi dan
bentuk pupil
2. Monitor tingkat
kesadaran klien
3. Monitor tanda-tanda
vital
4. Monitor keluhan nyeri
kepala, mual, dan
muntah
5. Monitor respon klien
terhadap pengobatan
6. Hindari aktivitas jika
TIK meningkat
7. Observasi kondisi fisik
klien
Terapi Oksigen (3320)
1. Bersihkan jalan nafas
dari secret
2. Pertahankan jalan nafas
tetap efektif
3. Berikan oksigen sesuai
instruksi
4. Monitor aliran oksigen,
kanul oksigen, dan
humidifier
5. Beri penjelasan kepada
klien tentang pentingnya
pemberian oksigen
6. Observasi tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor respon klien
terhadap pemberian
oksigen
8. Anjurkan klien untuk
tetap memakai oksigen
selama aktivitas dan
2. DP 2 NOC NIC
1. Respiratory status : 1. Kaji kecepatan,
Ventilation kedalaman, frekuensi,
2. Respiratory status : airway irama nafas, adanya
patency sianosis. Kaji suara nafas
3. Vital sign status tambahan (rongki,
Setelah dilakuan tindakan mengi, krekels).
keperawatan selama …x24 2. Atur posisi klien dengan
jam diharapkan pola nafas posisi semi fowler 30o
efektif dengan Berikan posisi semi
Kriteria hasil: prone lateral/ miring,
 Klien tidak mengatakan jika tak ada kejang
sesak nafas selama 4 jam pertama
 Retraksi dinding dada rubah posisi miring atau
tidak ada, dengan tidak terlentang tiap 2 jam.
ada otot-otot dinding dada. 3. Anjurkan pasien untuk
 Pola nafas reguler, RR. 16- minum hangat (minimal
24 x/menit, ventilasi 2000 ml/hari).
adekuat 4. Kolaborasi terapi

 Bebas sianosis dengan oksigen sesui indikasi.

GDA dalam batas normal 5. Lakukan section dengan

pasien hati-hati (takanan, irama,

 Kepatenan jalan nafas lama) selama 10-15

dapat dipertahankan. detik, catat, sifat, warna


dan bau secret
6. Kolaborasi dengan
pemeriksaan AGD,
tekanan oksimetri.

3. DP 3 NOC: Manajemen nyeri (1400)


1. Nyeri terkontrol 1. Kaji keluhan nyeri,
2. Tingkat Nyeri lokasi, karakteristik,
3. Tingkat kenyamanan onset/durasi, frekuensi,
Setelah dilakukan asuhan kualitas, dan beratnya
keperawatan selama …. x 24 nyeri.
jam, klien dapat : 2. Observasi respon
1. Mengontrol nyeri, de-ngan ketidaknyamanan secara
indikator: verbal dan non verbal.
 Mengenal faktor-faktor 3. Pastikan klien menerima
penyebab perawatan analgetik dg
 Mengenal onset nyeri tepat.
 Tindakan pertolong-an non 4. Gunakan strategi
farmakologi komunikasi yang efektif
 Menggunakan anal-getik untuk mengetahui respon

 Melaporkan gejala-gejala penerimaan klien

nyeri kepada tim kesehatan. terhadap nyeri.

 Nyeri terkontrol 5. Evaluasi keefektifan

2. Menunjukkan tingkat nyeri, penggunaan kontrol

dengan indikator: nyeri

 Melaporkan nyeri 6. Monitoring perubahan


nyeri baik aktual
 Frekuensi nyeri
maupun potensial.
 Lamanya episode nyeri
7. Sediakan lingkungan
 Ekspresi nyeri; wa-jah
yang nyaman.
 Perubahan respirasi rate
8. Kurangi faktor-faktor
 Perubahan tekanan darah
yang dapat menambah
 Kehilangan nafsu makan
ungkapan nyeri.
3. Tingkat kenyamanan,
9. Ajarkan penggunaan
dengan indicator :
tehnik relaksasi sebelum
 Klien melaporkan
atau sesudah nyeri
kebutuhan tidur dan
berlangsung.
istirahat tercukup
10. Kolaborasi dengan tim
kesehatan lain untuk
memilih tindakan selain
obat untuk meringankan
nyeri.
11. Tingkatkan istirahat
yang adekuat untuk
meringankan nyeri.
Manajemen pengobatan
(2380)
1. Tentukan obat yang
dibutuhkan klien dan cara
mengelola sesuai dengan
anjuran/ dosis.
2. Monitor efek teraupetik
dari pengobatan.
3. Monitor tanda, gejala
dan efek samping obat.
4. Monitor interaksi obat.
5. Ajarkan pada klien /
keluarga cara mengatasi
efek samping pengobatan.
6. Jelaskan manfaat
pengobatan yg dapat
mempengaruhi gaya hidup
klien.
Pengelolaan analgetik
(2210)
1. Periksa perintah medis
tentang obat, dosis &
frekuensi obat analgetik.
2. Periksa riwayat alergi
klien.
3. Pilih obat berdasarkan
tipe dan beratnya nyeri.
4. Pilih cara pemberian IV
atau IM untuk
pengobatan, jika
mungkin.
5. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgetik.
6. Kelola jadwal pemberian
analgetik yang sesuai.
7. Evaluasi efektifitas dosis
analgetik, observasi
tanda dan gejala efek
samping, misal depresi
pernafasan, mual dan
muntah, mulut kering, &
konstipasi
8. Kolaborasi dgn dokter
untuk obat, dosis & cara
pemberian yg
diindikasikan.
9. Tentukan lokasi nyeri,
karakteristik, kualitas,
dan keparahan sebelum
pengobatan.
10. Berikan obat dengan
prinsip 12 benar
11. Dokumentasikan respon
dari analgetik dan efek
yang tidak diinginkan
4. DP 4 NOC NIC
1. Joint movement : Aktif 1. Periksa kembali
2. Mobility level kemampuan dan keadaan
3. Self care ADLS secara fungsional pada
4. Transfer performance kerusakan yang terjadi.
Setelah dilakuan tindakan 2. Berikan bantu untuk
keperawatan selama …x24 latihan rentang gerak /ROM
jam diharapkan pasien dapat Bantu pasien dalam program
melakukan mobilitas fisik latihan dan penggunaan alat
setelah mendapat perawatan mobilisasi. Tingkatkan
dengan aktivitas dan partisipasi
Kriteri Hasil : dalam merawat diri sendiri
 Tidak adanya kontraktur, sesuai kemampuan
footdrop.
 Ada peningkatan kekuatan
dan fungsi bagian tubuh
yang sakit.
Mampu mendemonstrasikan
aktivitas yang
memungkinkan dilakukannya
(Mosby, 2013)

3.4 Pelaksanaan
Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan realisasi dari pada rencana
tindakan. Pelaksanaan memberikan asuhan keperawatan secara mandiri,
kolaboratif dan delegatif. Pada pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan,
validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencana keperawatan,
memberikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data.

3.5 evaluasi
Evaluasi akhir asuhan keperawatan dilaksanakan mengacu pada tujuan dan
alokasi waktu yang ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges,Marilyn E. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta. EGC
Herdman,T.Heather. 2016. Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan
:Definisi & Klasifikasi. 2015-2017. Jakarta. EGC.
Mosby. 2013. Nursing Outcomes Classification. Elsevier. Singapore.
Mosby. 2013. Nursing Intervention Classification. Elsevier. Singapore.
Nurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis Dan Nanda NIC-NOC. Jogjakarata. Mediaction.
Smeltzer, Suzanne. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta. EGC

You might also like