You are on page 1of 29

SISTEM NEUROBEHAVIOR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK


DENGAN AUTIS

Oleh :
KELOMPOK 1 / B9B

1. I DEWA NYOMAN SLAMET ARIMBAWA 16.322.2642


2. GDE SUKMA PRADIKA 16.322.2646
3. NI WAYAN MIRATININGSIH 16.322.2649
4. NI MADE SURYATI 16.322.2651
5. NI NYOMAN WAHYUNI 16.322.2652
6. I PUTU GEDE ADIATMIKA 16.322.2654
7. DESAK NYOMAN AGUNG LESTARI 16.322.2622

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA PPNI BALI


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2017
KATA PENGANTAR

“ Om Swastiastu”

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat – Nya
saya dapat menyelesaikan tugas matakuliah sisitem Endokrin dengan judul “Asuhan
Keperawatan Pada Anak Dengan Autis” tepat pada waktunya.

Penulis meminta maaf jika ada kesalahan dan kekurangan dalam penulisan maupun isi
dari materi yang saya tuliskan dalam tugas ini. Semoga materi yang terdapat dalam makalah ini
dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pikiran bagi pembaca dan pihak-pihak yang
membutuhkan.

“Om Shanti, Shanti, Shanti Om”

Denpasar, 14 Agustus 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi ........................................................................................................................... 3
2.2 Etiologi ........................................................................................................................... 4
2.3 Manifestasi Klinis ........................................................................................................... 6
2.4 Penatalaksanaan ............................................................................................................. 8

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN


3.1 Pengkajian ...................................................................................................................... 12
3.2 Diagnosa ......................................................................................................................... 14
3.3 Perencanaan/intervensi .................................................................................................... 14
3.4 Strategi Pelaksanaan ....................................................................................................... 21
3.5 Implementasi .................................................................................................................. 23
3.6 Evaluasi .......................................................................................................................... 23

BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 25
4.2 Saran ............................................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULLUAN

1.1 Latar Belakang


Autisme berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti “sendiri”, anak
Autisme seolah-olah hidup di dunianya sendiri, mereka menghindari / tidak
merespon terhadap kontak sosial dan lebih senang menyendiri.Walaupun
penderita Autisme sudah ada sejak dahulu, istilah Autisme baru diperkenalkan
oleh Lee Kanner pada tahun 1943. Autisme atau autisme infantil ( Early Infantile
Autism) pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943 seorang psikiatris
Amerika. Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis
pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner.
Ciri yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong
seolaholah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain
untuk menarik perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi.
Anak autis juga merupakan pribadi individu yang harus diberi pendidikan
baik itu keterampilan, maupun secara akademik. Permasalahan yang dilapangan
terkadang setiap orang tidak mengetahui tentang anak autis tersebut. Oleh kerena
itu kita harus kaji lebih dalam tentang anak autis. Dalam pengkajian tersebut kita
btuh banyak informasi mengenai siapa anak autis, penyebabnya dan lainnya.
Dengan adanya bantuan baik itu pendidikan secara umum. Dalam masyarakat
nantinya anak-anak tersebut dapat lebih mandiri dan anak-anak tersebut dapat
mengembangkan potensi yang ada dan dimilikinya yang selama ini terpendam
karena ia belum bisa mandiri. (Griadhi, Riandewi Ovy & Ratep, Nyoman. 2015)

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan anak autis?
2. Apa yang menyebabkan anak autis?
3. Bagimana patofisiologi anak yang autis?
4. Apa saja manifestasi klinis anak autis?
5. Apa saja penatalaksana anak autis?
6. Bagaimana ASKEP autis?

1.3 Tujuan
1. Pengertian anak autis
2. Etiologi ( penyebab ) autis
3. Patofisiologi autis
4. Manifestasi klinis ( gejala-gejala ) anak autis
5. Penatalaksanaan autis
6. ASKEP autis

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFENISI
Secara harfiah autisme berasal dari kata autos (diri) sedangkan isme
(paham/aliran). Autisme secara etimologi adalah anak yang memiliki gangguan
perkembangan dalam dunianya sendiri. Beberapa pengartian autis menurut para
ahli adalah sebagai berikut:
1. Autisme merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pada anak,
mengalami kesendirian, kecenderungan menyendiri. (Waringin, Tung Desem.
2014)
2. Autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang
mengalami kondisi menutup diri. Dimana gangguan ini mengakibatkan anak
mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku
“Sumber dari Pedoman Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Austistik”.
(Herdman, Heater .2014)
3. Autisme adalah adanya gangguan dalam bidang Interaksi sosial, komunikasi,
perilaku, emosi, dan pola bermain, gangguan sensoris dan perkembangan
terlambat atau tidak normal. Autisme mulai tampak sejak lahir atau saat masi
bayi ( biasanya sebulum usia 3 tahun ). “Sumber dari Pedoman Penggolongan
Diagnotik Gangguan Jiwa” (PPDGJ III)
4. Autisme adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun
saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan
sosial atau komunikasi yang normal. Hal ini mengakibatkan anak tersebut
terisolasi dari anak yang lain. (Nasir, Abdul & Munit , Abdul. 2011).

3
Jadi anak autisme merupakan anak yang mengalami gangguan perkembangan
yang sangat kompleks yang dapat diketahui sejak umur sebelum 3 tahun
mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial serta perilakunya. Anak autisme
dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu:
1. Segi pendidikan : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan
perkembangan komunikasi, sosial, perilaku pada anak sesuai dengan kriteria
DSM-IV sehingga anak ini memerlukan penanganan/layanan pendidikan
secara khusus sejak dini.
2. Segi medis : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan/kelainan otak
yang menyebabkan gangguan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku
sesuai dengan kriteria DSM-IV sehingga anak ini memerlukan
penanganan/terapi secara klinis.
3. Segi psikologi : anak autis adalah anak yang mengalami gangguan
perkembangan yang berat bisa ketahui sebelum usia 3 tahun, aspek
komunikasi sosial, perilaku, bahasa sehingga anak perlu adanya penanganan
secara psikologis.
4. Segi sosial anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan
berat dari beberapa aspek komunikasi, bahasa, interaksi sosial, sehingga anak
ini memerlukan bimbingan ketrampilan sosial agar dapat menyesuaikan
dengan lingkungannya.
Jadi Anak Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak
yang bersifat pervasive (inco) yaitu meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi, dan gangguan interaksi sosial, sehingga ia mempunyai dunianya
sendiri. (Herdman, Heater .2014)

2.2 ETIOLOGI
Penyebab autisme menurut banyak pakar telah disepakati bahwa pada
otak anak autisme dijumpai suatu kelainan pada otaknya. Apa sebabnya sampai
timbul kelainan tersebut memang belum dapat dipastikan. Banyak teori yang
diajukan oleh para pakar, kekurangan nutrisi dan oksigenasi, serta akibat polusi

4
udara, air dan makanan. Diyakini bahwa ganguan tersebut terjadi pada fase
pempentukan organ (organogenesis) yaitu pada usia kehamilan antara 0 ± 4
bulan. Organ otak sendiri baru terbentuk pada usia kehamilan setelah 15 minggu.
Dari penelitian yang dilakukan oleh para pakar dari banyak negara
diketemukan beberapa fakta yaitu 43% penyandang autisme mempunyai kelainan
pada lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak cuek terhadap
lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama
pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya
ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Juga didapatkan
jumlah sel Purkinye di otak kecil yang sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan
keseimbangan serotonin dan dopamine, akibatnya terjadi gangguan atau
kekacauan impuls di otak.
Ditemukan pula kelainan yang khas di daerah sistem limbik yang disebut
hippocampus. Akibatnya terjadi gangguan fungsi control terahadap agresi dan
emosi yang disebabkan oleh keracunan logam berat seperti mercury yang banyak
terdapat dalam makanan yang dikonsumsi ibu yang sedang hamil, misalnya ikan
dengan kandungan logam berat yang tinggi. Pada penelitian diketahui dalam tubuh
anak-anak penderita autis terkandung timah hitam dan merkuri dalam kadar yang
relatif tinggi.
Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali terlalu agresif
atau sangat pasif. Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan
daya ingat. Terjadilah kesulitan penyimpanan informasi baru. Perilaku yang
diulang-ulang yang aneh dan hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus.
Faktor genetika dapat menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel – sel saraf dan
sel otak, namun diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan autisme,
walaupun bukti-bukti yang konkrit masih sulit ditemukan.
Diperkirakan masih banyak faktor pemicu yang berperan dalam timbulnya
gejala autisme. Pada proses kelahiran yang lama (partus lama) dimana terjadi
gangguan nutrisi dan oksigenasi pada janin dapat memicu terjadinya austisme.
Bahkan sesudah lahir (post partum) juga dapat terjadi pengaruh dari berbagai

5
pemicu, misalnya : infeksi ringan sampai berat pada bayi. Pemakaian antibiotika
yang berlebihan dapat menimbulkan tumbuhnya jamur yang berlebihan dan
menyebabkan terjadinya kebocoran usus (leaky get syndrome) dan tidak
sempurnanya pencernaan protein kasein dan gluten. Kedua protein ini hanya
terpecah sampai polipeptida. Polipeptida yang timbul dari kedua protein tersebut
terserap kedalam aliran darah dan menimbulkan efek morfin pada otak anak. Dan
terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yang diperlukan dalam
pertumbuhan otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur
dalam lambungnya, atau nutrisi tidak terpenuhi karena faktor ekonomi. (Herdman,
Heater .2014)

2.3 MANIFESTASI KLINIS


1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal
Meliputi kemampuan berbahasa dan mengalami keterlambatan atau sama
sekali tidak dapat bicara. Menggunakan kata-kata tanpa menghubungkannya
dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-
katanya tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Tidak mengerti atau tidak
menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Ekolalia (meniru atau
membeo), meniru kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya. Bicara monoton
seperti robot.
2. Gangguan dalam bidang interaksi social
Meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak
menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau
menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan orang yang
terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknnya. Tidak
berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat bermain bila didekati malah
menjauh.
3. Gangguan dalam bermain

6
Diantaranya bermain sangat monoton dan aneh, misalnya menderetkan sabun
menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola pada mobil dan mengamati
dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada kedekatan dengan benda
tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa
kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya.
Tidak menyukai boneka, gelang karet, baterai atau benda lainnya. Tidak
spontan, reflaks dan tidak berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru
tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura-
pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar
atau angin yang bergerak. Perilaku yang ritualistik sering terjadi, sulit
mengubah rutinitas sehari-hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-
urutan tertentu, bila bepergian harus melalui rute yang sama.
4. Gangguan perilaku
Dilihat dari gejala sering dianggap sebagi anak yang senang kerapian harus
menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat hiperaktif
misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia datangi, ia akan
membuka semua pintu, berjalan kesana kemari dan berlari-lari tentu arah.
Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung
terbang). Ia juga sering menyakiti dirinya sendiri seperti memukul kepala di
dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), duduk
diam bengong denagn tatap mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk
akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun
orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang
lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan
gangguan perilaku lainnya.
5. Gangguan perasaan dan emosi
Dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa
sebab nyata. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila
tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, bahkan bisa menjadi agresif
dan merusak. Tidak dapt berbagi perasaan (empati) dengan anak lain.

7
6. Gangguan dalam persepsi sensori
Meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya (penglihata), pendengaran,
sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat.
Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila
mendengar suara keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci
rambutnya. Merasakan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak
menyukai pelukan, bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari
pelukan.
7. Intelegensi
Dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara
fungsional. Kecerdasan sering diukur melalui perkembangan nonverbal,
karena terdapat gangguan bahasa. Didapatkan IQ dibawah 70 dari 70%
penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun sekitar 5% mempunyai IQ diatas
100. Anak autis sulit melakukan tugas yang melibatkan pemikiran simbolis
atau empati. Namun ada yang mempunyai kemampuan yang menonjol di
suatu bidang, misalnya matematika atau kemampuan memori. (Soetjiningsih
& Ranuh. 2014)

2.4 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada autisme harus secara terpadu, meliputi semua disiplin
ilmu yang terkait: tenaga medis (psikiater, dokter anak, neurolog, dokter
rehabilitasi medik) dan non medis (tenaga pendidik, psikolog, ahli terapi
bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial). Tujuan terapi pada autis adalah untuk
mengurangi masalah perilaku dan meningkatkan kemampuan belajar dan
perkembangannya terutama dalam penguasaan bahasa. Dengan deteksi sedini
mungkin dan dilakukan manajemen multidisiplin yang sesuai yang tepat waktu,
diharapkan dapat tercapai hasil yang optimal dari perkembangan anak dengan
autisme.

8
Manajemen multidisiplin dapat dibagi menjadi dua yaitu non medikamentosa
dan medika mentosa.
1. Non medikamentosa
1) Terapi edukasi
Intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial, keterampilan
sehari-hari agar anak menjadi mandiri. Tedapat berbagai metode
penganjaran antara lain metode TEACHC (Treatment and Education of
Autistic and related Communication Handicapped Children) metode ini
merupakan suatu program yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan
metode klasikal yang individual, metode pengajaran yang sistematik
terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata khusus.
2) Terapi perilaku
Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme. Apapun
metodenya sebaiknya harus sesegera mungkin dan seintensif mungkin
yang dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak
dipakai adalah ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana
keberhasilannya sangat tergantung dari usia saat terapi itu dilakukan
(terbaik sekitar usia 2 – 5 tahun).
3) Terapi wicara
Intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu dilakukan, mengingat
tidak semua individu dengan autisme dapat berkomunikasi secara verbal.
Terapi ini harus diberikan sejak dini dan dengan intensif dengan terapi-
terapi yang lain.
4) Terapi okupasi/fisik
Intervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme dapat melakukan
gerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol dan teratur
sesuai kebutuhan saat itu.
5) Sensori integrasi
Adalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada (gerakan,
sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran)untuk

9
menghasilkan respon yang bermakna. Melalui semua indera yang ada otak
menerima informasi mengenai kondisi fisik dan lingkungan sekitarnya,
sehingga diharapkan semua gangguan akan dapat teratasi.

6) AIT (Auditory Integration Training)


Pada intervensi autisme, awalnya ditentukan suara yang mengganggu
pendengaran dengan audimeter. Lalu diikuti dengan seri terapi yang
mendengarkan suara-suara yang direkam, tapi tidak disertai dengan suara
yang menyakitkan. Selanjutnya dilakukan desentisasi terhadap suara-suara
yang menyakitkan tersebut.
7) Intervensi keluarga
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik
perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan untuk dapat
tercapainya perkembangan yang optimal dari seorang anak, mandiri dan
dapat bersosialisai dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan keluarga
yang dapat berinteraksi satu sama lain (antar anggota keluarga) dan saling
mendukung. Oleh karena itu pengolahan keluarga dalam kaitannya dengan
manajemen terapi menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga
rasanya sulit sekali kita dapat melaksanakan terapi apapun pada individu
dengan autisme.
2. Medikamentosa
Individu yang destruktif seringkali menimbulkan suasana yang tegang bagi
lingkungan pengasuh, saudara kandung dan guru atau terapisnya. Kondisi ini
seringkali memerlukan medikasi dengan medikamentosa yang mempunyai
potensi untuk mengatasi hal ini dan sebaiknya diberikan bersama-sama
dengan intervensi edukational, perilaku dan sosial.
1) Jika perilaku destruktif yang menjadi target terapi, manajemen terbaik
adalah dengan dosis rendah antipsikotik/neuroleptik tapi dapat juga
dengan agonis alfa adrenergik dan antagonis reseptor beta sebagai
alternatif.

10
(1) Neuroleptik
(2) Agonis reseptor alfa adrenergic
(3) Beta adrenergik blocker
2) Jika perilaku repetitif menjadi target terapi
Neuroleptik (Risperidon) dan SSRI dapat dipakai untuk mengatasi
perilaku stereotipik seperti melukai diri sendiri, resisten terhadap
perubahan hal-hal rutin dan ritual obsesif dengan anxietas tinggi.
3) Jika inatensi menjadi target terapi
Methylphenidat (Ritalin, Concerta) dapat meningkatkan atensi dan
mengurangi destruksibilitas.
4) Jika insomnia menjadi target terapi
Dyphenhidramine (Benadryl) dan neuroleptik (Tioridazin) dapat
mengatasi keluhan ini.
5) Jika gangguan metabolisme menjadi problem utama
Ganguan metabolisme yang sering terjadi meliputi gangguan pencernaan,
alergi makanan, gangguan kekebalan tubuh, keracunan logam berat yang
terjadi akibat ketidak mampuan anak-anak ini untuk membuang racun dari
dalam tubuhnya. Intervensi biomedis dilakukan setelah hasil tes
laboratorium diperoleh. Semua gangguan metabolisme yang ada
diperbaiki dengan obatobatan maupun pengaturan diet.
(Lubis, Namora Lumongga 2010)

11
BAB III
ASKEP AUTIS

3.1 Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, suku bangsa,
tanggal, jam masuk RS, nomor registrasi, dan diagnosis medis.
2. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya anak autis dikenal dengan kemampuan berbahasa,
keterlambatan atau sama sekali tidak dapat bicara. Berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu
singkat, tidak senang atau menolak dipeluk. Saat bermain bila didekati
akan menjauh. Ada kedekatan dengan benda tertentu seperti kertas,
gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi.
Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. sebagai anak yang
senang kerapian harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya.
Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau bend apa saja. Bila
mendengar suara keras, menutup telinga. Didapatkan IQ dibawah 70 dari
70% penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun sekitar 5% mempunyai
IQ diatas 100.
2) Riwayat kesehatan ketika anak dalam kandungan ( riwayat kesehatan
dahulu)
(1) Sering terpapar zat toksik, seperti timbal.
(2) Cidera otak
3) Riwayat kesehatan keluarga

12
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan. Biasanya pada anak autis ada riwayat penyakit keturunan.
3. Status perkembangan anak.
1) Anak kurang merespon orang lain.
2) Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.
3) Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
4) Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal.
5) Keterbatasan kognitif.
4. Pemeriksaan fisik
1) Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/sentuhan).
2) Terdapat ekolalia.
3) Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain.
4) Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut.
5) Peka terhadap bau.
5. Psikososial
1) Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
2) Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
3) Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
4) Perilaku menstimulasi diri
5) Pola tidur tidak teratur
6) Permainan stereotip
7) Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
8) Tantrum yang sering
9) Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan
10) Kemampuan bertutur kata menurun
11) Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus
6. Neurologis
1) Respons yang tidak sesuai terhadap stimulus
2) Refleks mengisap buruk

13
3) Tidak mampu menangis ketika lapar

3.2 Diagnosa keperawatan


Kemungkinan diagnosa yang muncul :
1. Risiko mencedrai diri sendiri berhubungan dengan gangguan neurologis.
2. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan neurologis.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan stimulasi sensori yang
kurang, menarik diri.
4. Gangguan identitas diri berhubungan dengan stimulasi sensori yang kurang.
(Nurarif, Amin Huda & Kusuma,Hardi. 2013)
3.3 Intervensi
1. Diagnosa I
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan gangguan neurologis
Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
hasil
Tujuan: 1. Sediakan lingkungan 1. Anak yang austik dapat
Sasaran Jangka kondusif dan sebanyak berkembang melalui
Pendek mungkin rutinitas lingkungan yang
Pasien tampak tenang, sepanjang periode kondusif dan rutinitas,
mendemonstrasikan perawatan di RS dan biasanya tidak
perilaku - perilaku dapat beradaptasi
alternatif (misalnya : terhadap perubahan
memulai interaksi dalam hidup mereka.
antara diri dengan Mempertahankan
perawat) sebagai program yang teratur
respon terhadap dapat mencegah
kecemasan. perasaan frustasi, yang
dapat menuntun pada

14
ledakan kekerasan
2. Lakukan intervensi 2. Sesi yang singkat dan
Sasaran Jangka keperawatan dalam sering memungkinkan
Panjang sesingkat dan sering. anak mudah mengenal
Pasien tidak akan Dekati anak dengan perawat serta
melukai diri, orang sikap lembut, lingkungan rumah sakit.
lain dan lingkungan bersahabat dan Mempertahankan sikap
jelaskan apa yang anda tenang, ramah dan
Kriteria Hasil : akan lakukan dengan mendemontrasikan
Menunjukan mencari kalimat yang jelas, dan prosedur pada orang
bantuan ketika ingin sederhana. Apabila tua, dapat membantu
merasa mecederai diri dibutuhkan, anak menerima
,tidak membawa demontrasikan intervensi sebagai
peralatan untuk prosedur kepada orang tindakan yang tidak
mencederai diri tua. mengancam, dapat
mencegah perilaku
destruktif
3. Gunakan restrain fisik 3. Restrain fisik dapat
selama prosedur ketika mencegah anak dari
membutuhkannya, tindakan mencederai
untuk memastikan diri sendiri. Biarkan
keamanan anak dan anak terlibat dalam
untuk mengalihkan perilaku yang tidak
amarah dan terlalu membahayakan,
frustasinya, misalnya misalnya membanding
untuk mencagah anak bantal, perilaku
dari membenturkan semacam ini
kepalanya ke dinding memungkinkan
berulang-ulang, menyalurkan

15
restrain badan anak amarahnya, serta
pada bagian atasnya, mengekpresikan
tetapi memperbolehkan frustasinya dengan cara
anak untuk memukul yang aman
bantal
4. Gunakan teknik 4. Pemberian imbalan dan
modifikasi perilaku hukuman dapat
yang tepat untuk membantu mengubah
menghargai perilaku perilaku anak dan
positif dan mencegah episode
menghukum perilaku kekerasan
yang negatif. Misalnya,
hargai perilaku yang
positif dengan cara
memberi anak
makanan atau mainan
kesukaannya, beri
hukuman untuk
perilaku yang negatif
dengan cara mencabut
hak istimewanya
5. Ketika anak 5. Setiap peningkatan
berperilaku destruktif, perilaku agresif
tanyakan apakah ia menunjukkan perasaan
mencoba stres meningkat,
menyampaikan kemungkinan muncul
sesuatu, misalnya dari kebutuhan untuk
apakah ia ingin sesuatu mengomunikasikan
untuk dimakan atau sesuatu.

16
diminum

2. Diagnosa II
Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan neurologis
Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
hasil
Tujuan: 1. Kaji pola interaksi antara 1. Mengetahui pola
Jangka pendek pasien dan orang lain interaksi agar dapat
Pasien akan memberikan intervensi
mendemonstrasikan yang tepat
kepercayaan pada 2. Berikan informasi 2. Membantu pasien atau
seorang pemberi tentang sumber-sumber meningkatkan interaksi
perawatan dikomunitas sosial setelah
pemulangan
Jangka panjang 3. Berikan anak benda- 3. Benda-benda ini
Pasien akan memulai benda yang dikenal memberikan rasa aman
interaksi-interaksi (misalnya mainan dalam waktu-waktu
sosial (fisik, verbal, kesukaan aman bila anak merasa
nonverbal) dengan distres
pemberi perawatan saat 4. Sampaikan sikap yang 4. Karakteristik-
pulang hangat,dukungan,dan karakteristik ini
kebersediaan ketika meningkatkan
Kriteria hasil : pasien berusaha untuk pembentukan dan
1. Menunjukan memenuhi kbutuhan- mempertahankan
partisipasi bermain kebutuhan dasarnya. hubungan saling
2. Menunjukan mempercayai
keterampilan 5. Mulai dengan penguatan 5. Pasien autistik dapat
interaksi sosial yang positif pada kontak merasa terancam oleh
3. Menunjukan mata ,perkenalkan secara suatu rangsangan yang

17
perkembangan anak berangsung-angsur gencar pada pasien
4. Menunjukan dengan sentuhan,pelukan tidak terbiasa
keterlibatan sosial 6. Tingkatkan kontak fisik 6. Agar tidak dapat
secara tahap demi tahap diinterprestasikan
menggunakan sntuhan sebagai suatu ancaman
sampai kepercayaan oleh pasien
anak telah terbentuk
7. Beritahu orang tua 7. Dapat meningkatkan
tentang pentingnya pencapaian harga diri
perhatian dan dukungan
mereka terhadap konsep
diri yang positif pada
perkembangan anaknya

3. Diagnosa III
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan stimulasi sensori yang
kurang, menarik diri

Tujuan dan kriteria


Intervensi Rasional
hasil
Tujuan: 1. Mintalah pasien untuk 1. Mengidentifikasi
Jangka pendek mengucapkan suara adanya disatria sesuai
Agar pasien dapat sederhana seperti “sh” komponan motorik dari
mengindikasikan atau “pus” bicara ( seperti lidah,
pemahaman tentang gerakan bibir, kontrol
masalah komunikasi napas ) yang dapat
Jangka panjang mem-pengaruhi
Pasien akan memulai artikulasi dan mungkin

18
interaksi - interaksi juga tidak desertai
sosial (fisik, verbal, afasia motorik
nonverbal) dengan 2. Kaji tipe/derajat 2. Membantu menentukan
pemberi perawatan saat disfungsi, seperti pasien daerah dan derajat
pulang tidak tampak memahami kerusakan serebal yang
kata atau mengalami terjadi dan kesuliatan
Kriteria hasil : kesulitan berbicara pasien dalam beberapa
1. Mengindiksikan atau seluruh tahap
pemahaman tentang komunikasi, dengan
masalah mengucap-kan kata-
komunikasi kata dengan benar
2. Mem-buat metode 3. Perhatikan kesalahan 3. Pasien mungkin
komunikasi di mana dalam komunikasi dan kehilangan kemampuan
kebutuhan dapat berikan umpan balik untuk memantau ucapan
diekspresikan yang keluar dan tidak
3. Menggunakan menyadari bahwa
sumber - sumber komunikasi yang
dengan tepat diucapkan tidak nyata
4. Bicaralah dengan nada 4. Pasien tidak perlu
normal dan hindari merusak pendengaran
percakapan yang cepat, dan meninggikan suara
berikan pasien jarak dapat menimbul-kan
waktu untuk merespon marah pasien/men-
yebabkan kepedihan.
Memfokus-kan respons
dapat mengabitkan
frustasi dan mungkin
menyebab-kan pasien
terpaksa untuk bicara

19
“otomatis”, seperti me-
mutarbalikan kata,
berbicara, kasar/kotor
5. Kemampuan pasien
5. Hargai kemampuan untuk merasakan harga
pasien sebelum terjadi diri, sebab kemampuan
penyakit, hindari “pem- intelektual pasien
bicaraan yang merendah- seringkali tetap baik
kan” pada pasien

4. Diagnosa IV
Gangguan identitas diri berhubungan dengan stimulasi sensori yang kurang.
Tujuan dan kriteria
Intervensi Rasional
hasil
Tujuan: 1. Mengenal peran 1. peran dalam hidup,
Klien memahami peran dalam
perilaku dan ekspresi keluarga, periode
diri sesuai dengan transisi peran dalam
perannya. kehidupan
2. perilaku yang
2. Mengenal perubahan
Kriteria hasil : diperlukan terhadap
peran
1. Mampu melakukan perubahan peran,
komunikasi antara perubahan peran
anggota keluarga saat sakit
secara langsung dan 3. Melatih klien untuk 3. beradaptasi terhadap
jelas melakukan strategi perubahan peran
manajemen perubahan

20
2. Mampu mengenali peran
perubahan peran
(Nurarif, Amin Huda & Kusuma,Hardi. 2013)

3.4 Strategi Pelaksanaan


Terapi Kemampuan SP
Klien 1. Membina hubungan saling percaya SP1(Ps)
/Pasien 2. membantu klien untuk menurunkan keinginan untuk
mencederai dirinya (Behavior Management)
3. menggali dan membentuk support system bagi klien :
menyediakan infomasi dan support yang mendukung
klien dalam membuat keputusan
4. management delusi (jika klien mengalami delusi)
5. meningkatkan tilik diri klien terhadap dirinya, waktu,
tempat dan lingkungan
6. Identifikasi masalah : “what”, “where”, “when”, “who”
tentang masalah
7. membantu klien untuk meningkatkan keyakinan diri
klien bahwa dia berharga
8. penjagaan terhadap klien terhadap bahaya merusak diri
9. Diskusikan pikiran dan perasaan pada saat mempunyai
keinginan
10. Catat pikiran otomatis, klasifikasikan dalam distorsi
kognitif
Keluarga 1. Mengajak keluarga untuk mengetahui permasalah klien SP1(Kelg)
2. Membantu keluarga untuk dapat menerima klien apa
adanya
3. Membantu keluarga untuk dapat merawat klien dan
membantu klien untuk mengenal jati dirinya
4. Mengajarkan pada keluarga untuk waspada tanda –
tanda klien apabila ingin merusak diri

21
5. Mengajarkan pada keluarga bagaimana menghadapi
klien jika ingih merusak diri
Klien 1. Review ulang SP2(Ps)
/Pasien 2. Diskusikan pikiran otomatis
3. Tanya penyebab
4. Beri respon empati kepada klien
5. Tanyakan tindakan klien pada saat merasa tidak
berguna/sedih
6. Anjurkan menulis perasaan yang paling klien
rasakan
7. Rencana tindak lanjut: hasil tulisan klien akan
dibahas

Klien 1. Diskusikan hasil tulisan SP3(Ps)


/Pasien 2. Dorong untuk beri pendapat tentang tulisannya
3. Tanya perasaan saat menulis buku harian
4. Beri umpan balik
5. Dorong untuk ungkap keinginan
6. Beri persepsi perawat terhadap keinginan
7. Tanyakan apakah dapat menyelesaikan masalah
8. Diskusikan cara mengatasi hambatan
9. Anjurkan untuk mengatasi sesuai kemampuan
10. Beri reinforcement positif

(Nurarif, Amin Huda & Kusuma,Hardi. 2013)

3.5 Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan. Pada situasi nyata, implementasi seringkali jauh berbeda dengan
rencana. hal itu terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana

22
tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Yang biasa dilakukan perawat
adalah menggunakan rencana tidak tertulis, yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan,
itu yang dilaksanakan. hal itu sangat membahayakan klien dan perawat jika
tindakan berkibat fatal, dan juga tidak memenuhi aspek legal.
Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu
memvalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dan
dibutuhkan oleh klien saat ini (here and now). perawat juga menilai diri sendiri,
apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, dan teknikal yang
diperlukan untuk melaksanakan tindakan. Dokumentasikan semua tindakan yang
telah dilaksanakan beserta respons klien (Keliat, Panjaitan dan Helena, 1998).

3.6 Evaluasi
Menurut Doenges, Toesend & Moorhouse (2006), evaluasi respon klien
terhadap perawatan yang diberikan dan pencapaian hasil yang diharapakan (yang
dikembangkan pada fase perencanaan dan didokumentasikan dalam rencana
keperawatan) merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Fase evaluasi
merupakan proses berkesinambungan yang perlu dilakukan untuk menentukan
seberapa baik rencana perawatan dilakukan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatann S.O.A.P
diantaranya sebagai berikut:
1. S : Respons subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat diukur dengan menanyakan :”Bagaimana perasaan
Bapak setelah berlatih cara menghardik halusinasi ?”
2. O : Respons objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien pada saat
tindakan dilakukan, atau menanyakan kembali apa yang telah diajarkan atau
memberi umpan balik sesuai dengan hasil observasi.
3. A : Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang

23
kontradiksi dengan masalah yang ada. Dapat pula membandingkan hasil
dengan tujuan.
4. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respons
klien.
(Nurarif, Amin Huda & Kusuma,Hardi. 2013)

24
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat

masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau

komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan

masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. Pada awalnya

istilah “autisme” diambilnya dari gangguan schizophrenia, dimana Bleuer

memakai autisme ini untuk menggambarkan perilaku pasien skizofrenia yang

menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri. Namun ada

perbedaan yang jelas antara penyebab dari autisme pada penderita skizofrenia

dengan penyandang autisme infantile. Pada skizofrenia, autisme disebabkan

dampak area gangguan jiwa yang didalamnya terkandung halusinasi dan delusi

yang berlansung minimal selama 1 bulan, sedangkan pada anak-anak dengan

autisme infantile terdapat kegagalan dalam perkembangan yang tergolong dalam

kriteria Gangguan Pervasif dengan kehidupan autistic yang tidak disertai dengan

halusinasi dan delusi.

4.2 Saran
Perlunya lebih banyak membaca dan sumber yang banyak dapat mengasah dalam
mengingat dan memahami materi sistem neurobehavior kususnya pada anak autis

25
DAFTAR PUSTAKA

Griadhi, Riandewi Ovy & Ratep, Nyoman. 2015 .Jurnal Diagnosis


Penatalaksanaan Autisme.https://www.google.co.id/search?q=jurnal.
Di akses Pada tanggal 15-08-2017

Herdman, Heater .2014. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC

Lubis, Namora Lumongga & Pieter, Herri Zan. 2010. Pengantar Psikologi dalam
Keperawatan. Jakarta : Kencana

Nasir, Abdul & Munit , Abdul. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Selemba Medika

Nurarif, Amin Huda & Kusuma,Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa & Medis. Yogyakarta : Media Action

Soetjiningsih & Ranuh. 2014. Tumbuh Kembang Anak Edisi 2. Denpasar: EGC

Waringin, Tung Desem. 2014. Autism is curable. Jakarta: PT Gramedia

26

You might also like