You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Trauma adalah istilah kedokteran untuk cedera atau perlukaan. Trauma


menjadi masalah kesehatan paling mahal,karena dari empat penyebab kematian
pada semua usia,trauma menjadi penyebab utama kematian pada anak dan dewasa
di bawah usia 45 tahun. Dari setiap akibat kematian akibat trauma, lebih dari 10
korban masuk rumah sakit dan ratusan lainnya berobat di pelayanan gawat
darurat. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganan trauma 2x lebih besar
dibanding penderita penyakit jantung dan kanker. Kerugian akibat trauma
meliputi cacat fisik dan materi sehingga mengharuskan adanya usaha untuk
mempelajari penanggulangan dan pencegahannya.

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanen. Cedera kepala (Traumatic Brain Injury) menimbulkan gangguan yang
lebih kompleks bila dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh yang lain. Hal
ini dikarenakan struktur anatomik dan fisiologis dari isi tengkorak yang
bervariasi. Strukturnya berkonsistensi cair, lunak dan padat yaitu cairan otak,
selaput otak, jaringan saraf, pembuluh darah dan tulang (Dito, 2008).

Cedera kepala merupakan salah satu jenis cedera terbanyak di unit gawat
darurat (UGD). Dari 100% pasien trauma lebih dari 80% disertai dengan adanya
cedera kepala dan sekitar 90% meninggal sebelum tiba di rumah sakit karena
adanya cedera otak (Samir, 2012). Berdasarkan beratnya, cedera kepala
diklasifikasikan menjadi cedera kepala ringan (CKR), cedera kepala sedang
(CKS) dan cedera kepala berat (CKB) dan berdasarkan morfologi yaitu Komosio

1
Serebri, Kontusio Serebri, Epidural hematom, Subdural hematom, Intraserebri
hematom dan Subarachnoid hematom.

Kulit kepala merupakan lapisan luar kepala yang ditutupi oleh rambut
dan terdiri dari 5 lapisan yaitu : skin, connective tissue, arteri, loose areolar dan
perikranium. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi, kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah. Tengkorak kepala juga berfungsi untuk melindungi otak
(Laumart, 2011). Dari fungsi diatas dapat dilihat cedera kepala bukan suatu
kejadian yang bisa dianggap sepele karena dapat menyebabkan kerusakan saraf,
infeksi otak, bahkan kehilangan kemampuan kognitif. Kerugian-kerugian yang
didapatkan dari cedera kepala membuat kita harus waspada dan melakukan
tindakan pencegahan terjadinya cedera kepala. Berdasarkan uraian tersebut
diatas maka kelompok tertarik untuk membahas konsep dasar trauma dan konsep
kegawatdaruratan pada pasien trauma kepala.

1.2 Rumusan Masalah

“Apakah konsep dasar trauma dan konsep kegawatdaruratan pada pasien trauma
kepala?”

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk memahami konsep dasar trauma

1.3.2 Untuk memahami konsep kegawatdaruratan pada pasien trauma kepala

2
1.4 Manfaat

Untuk mengetahui dan memahami bagaimana konsep dasar trauma dan konsep
dasar trauma kepala, sehingga nantinya dapat mengaplikasikan dalam asuhan
keperawatan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Trauma

2.1.1 Pengertian

Trauma adalah suatu penyakit yang terjadi pada bagian saraf. Apabila terjadi
benturan-benturan kecil sekalipun akan mengakibatkan fraktur pada penyakit ini.
Benturan keras yang dapat merusak tubuh inilah yang sering disebut sebagai
trauma (Sholeh, 2011). Trauma terbagi atas beberapa bagian, sebagai berikut :

1. Trauma Mekanik
Trauma Mekanik ialah terjadinya fraktur tulang yang patah. Hal ini terjadi jika
seseorang mempertahankan dirinya terhadap suatu benturan atau pukulan,
kemungkinan besar os ulnaris-nya akan patah. Tulang radius juga akan patah
jika seseorang jatuh kemudian ia bertopang badan dengan menggunakan salah
satu dari tangannya saja.
2. Trauma Panas
Trauma panas dapat terjadi karena adanya jaringan yang terbakar sacara
langsung atau membeku, akibat dari tekanan suhu yang terlalu dingin. Bisa
juga secara bertahap seluruh tubuh mendapatkan panas yang berlebihan atau
karena dingin yang terlalu rendah.
3. Trauma Bahan Kimia
Trauma bahan kimia dapat terjadi diakibatkan karena memakan racun,
misalnya fosfor kucing yang terdapat dalam korek api zaman dahulu.
4. Trauma Listrik
Trauma listrik merupakan bentuk syok akibat tersengat listrik bertegangan 220
volt. trauma seperti ini bisa merusak otak, jantung bahkan sering
mengakibatkan kematian.

4
5. Trauma Radiasi
Trauma radiasi dapat terjadi akibat hujan debu radioaktif yang berasal dari
letusan bom. Bahkan cahaya matahari juga dapat menyebabkan trauma
(sunburn) ini.
6. Trauma Biologi
Trauma biologi dapat terjadi disebabkan oleh bakteri, virus, penyakit, parasit
malaria, gigitan ular dan sebagainya.
7. Trauma Emosi
Trauma emosi biasanya terjadi disebabkan oleh teman sendiri atau sesama
manusia.
2.1.2 Jenis-jenis trauma mekanik
1. Trauma kapitis
2. Trauma okuli
3. Trauma torak
4. Trauma abdomen
5. Trauma tulang
6. Trauma organ lainnya

2.1.3 Penanganan trauma mekanik

Penanganan trauma mekanik awal secara umum sama pada semua jenis trauma
yaitu :

1. Survey primer untuk menstabilkan kondisi pasien


1) Airway (jalan nafas)
a. Pastikan tidak ada benda asing atau cairan yang menghalangi jalan nafas.
b. Lakukan intubasi jika diperlukan (awas cedera servikal).
2) Breathing (pernafasan) : berikan oksigen dengan target saturasi oksigen
>92%.
3) Circulation. Pasang jalur intravena dan infus NaCl 0,9% atau RL. Hindari
cairan hipotonis, pertahankan tekanan darah sistolik >90 mmhg.

5
2. Survey sekunder, dilakukan setelah pasien stabil.
1) Pemeriksaan lab dan radiologi.
2) Penentuan apakah pasien harus menjalani operasi, dirawat di ruang
intensif, ruang rawat biasa, atau boleh rawat jalan.

(Chris Tanto….[et al], 2014)

2.2 Konsep kegawatdaruratan Pada Pasien Trauma Kepala


2.2.1 Pengertian

Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala
baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen (Chris Tanto….[et al], 2014).

Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu


kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.

2.2.2 Etiologi

Beberapa penyebab cedera kepala (Smeltzer & Suzanne, 2012), antara lain :

1. Trauma tajam
2. Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak,
misalnya tertembak peluru atau benda tajam
3. Trauma tumpul
4. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya
5. Cedera akselerasi

6
6. Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan
maupun bukan dari pukulan
7. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
8. Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
9. Kecelakaan lalu lintas
10. Jatuh
11. Kecelakaan industri
12. Perkelahian
2.2.3 Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa
berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-
deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi. Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh

7
siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek
kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit
hingga beberapa jam setelah cedera awal.
Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam
pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen
intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin
secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa
natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan
pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak,
bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk
glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai
terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003).
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek
yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan
ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada
kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan
batang otak.
2.2.4 Jenis-jenis trauma kepala

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3


deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.

8
1. Berdasarkan Mekanisme
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul
dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.
Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath,
2009).
2. Berdasarkan Tingkat Keparahan
Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS.
Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
 Reaksi membuka mata (E)

Reaksi membuka mata Nilai

Membuka mata spontan 4

Buka mata dengan rangsangan 3


suara
Buka mata dengan rangsangan 2
nyeri
Tidak membuka mata dengan 1
rangsangan nyeri

 Reaksi berbicara

Reaksi Verbal Nilai

Komunikasi verbal baik, jawaban 5


tepat
Bingung, disorientasi waktu, 4
tempat dan ruang
Dengan rangsangan nyeri keluar 3
kata-kata
Keluar suara tetapi tak berbentuk 2
kata-kata

9
Tidak keluar suara dengan 1
rangsangan apapun

 Reaksi Gerakan lengan / tungkai

Reaksi Motorik Nilai

Mengikuti perintah 6

Melokalisir rangsangan nyeri 5

Menarik tubuhnya bila ada 4


rangsangan nyeri
Reaksi fleksi abnormal dengan 3
rangsangan nyeri
Reaksi ekstensi abnormal dengan 2
rangsangan nyeri
Tidak ada gerakan dengan 1
rangsangan nyeri

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan


menjadi :
1) Cedera kepala ringan : Nilai GCS-nya 13-15, kehilangan kesadaran kurang
dari 30 menit. Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada
penyerta seperti pada fraktur tengkorak, kontusio/hematoma
2) Cedera kepala sedang : Nilai GCS-nya 9-12, kehilangan kesadaran antara
30 menit – 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi
ringan (bingung)
3) Cedera kepala berat : Nilai GCS-nya 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24
jam, meliputi: kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral
(Hudack dan Gallo, 1996)

10
3. Berdasarkan Morfologi Cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur kranium dan lesi
intrakranial.
1) Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye
sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea,
otorrhea) dan paresis nervus fasialis (Bernath, 2009).
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput
duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur
tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat
sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura
tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian
dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali
pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali
pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan
ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah
sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)
2) Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difus, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma
intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,

11
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau
bahkan koma dalam keadaan klinis
(a) Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH)
adalah perdarahan yang
terbentuk di ruang potensial
antara tabula interna dan
duramater dengan ciri berbentuk
bikonvek atau menyerupai lensa
cembung. Paling sering terletak
diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya
pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal
arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga
kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena,
terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat
saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera,
prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak
berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural
berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum
pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan
adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu
bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya
tindakan bedah memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari
seorang ahli bedah saraf (Harga Daniel, 2009). Dengan pemeriksaan CT
Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogen, bentuknya
bikonveks sampai planokonvex, melekat pada tabula interna dan
mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ).
Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila

12
meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena
sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).
(b) Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di
antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan
EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat.
Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks
serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau
tidak.
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural
akut. Biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil
oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
(1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti bulan sabit )
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural
hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom
di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya
hematom subdural.
(2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,
kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh
karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area
hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks,
berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran
hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas
ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya
menjadi hipodens.

13
3) Kontusi dan Hematoma Intraserebral
Kontusi serebral murni bisanya
jarang terjadi. Selanjutnya,
kontusi otak hampir selalu
berkaitan dengan hematoma
subdural akut. Majoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal
dan temporal, walau dapat
terjadi pada setiap tempat
termasuk serebelum dan batang
otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak
jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat
secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di
dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis
dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau
pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.
4) Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada
cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana
kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari
komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia.
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang
lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan
amnesia antegrad.

14
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya
atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca
trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam
bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu.
Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia,
dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi massa atau serangan iskemik. Biasanya penderita
dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih
sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita
seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis
dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedera
otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan
tersebut seringg terjadi bersamaan.
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam
bahasan cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah
ini, yang meski bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan
menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.
2.2.5 Manifestasi klinis

Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera
kepala.

1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang


dapat dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale). Pada cedera
kepala berat nilai GCS nya 3-8

15
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri kepala karena
regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh
tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.

3. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi


jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).

4. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas


berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi), gurgling.

2.2.6 Penatalaksanaan trauma kepala


1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah
pelaksanaan operasi trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan
membuka tulang kepala yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan
pembedahan definitive (seperti adanya SDH (subdural hematoma) atau EDH
(epidural hematoma) dan kondisi lain pada kepala yang memerlukan tindakan
kraniotomi). Epidural Hematoa (EDH) adalah suatu pendarahan yang terjadi
diantara tulang dang dan lapisan duramater; Subdural Hematoa (SDH) atau
pendarahan yang terjadi pada rongga diantara lapisan duramater dan dengan
araknoidea. Pelaksanaan operasi trepanasi ini diindikasikan pada pasien
1) Penurunan kesadaran tiba-tiba terutama riwayat cedera kepala akibat
berbagai factor.
2) Adanya tanda herniasi/lateralisasi

16
3) Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT
Scan Kepala tidak bisa dilakukan.

Perawatan pasca bedah yang penting pada pasien post trepanasi adalah
memonitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Terapi
profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran
CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya
infeksi nosokomial. Terapi konservatif meliputi bedrest total, pemberian obat-
obatan, observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).

Prioritas perawatan adalah maksimalkan perfusi / fungsi otak, mencegah


komplikasi, pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi
normal, mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga, pemberian
informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan
rehabilitasi.

2.2.7 Komplikasi
1. Koma.
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi
ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa
ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki
vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering
membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon
reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu
tahun jarang sembuh
2. Seizure.
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun
demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy

17
3. Infeksi.
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya
karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang
lain
4. Kerusakan saraf.
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus
facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari
saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan
ganda
5. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
berat mengalami masalah kesadaran.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Trauma adalah suatu penyakit yang terjadi pada bagian saraf. Apabila
terjadi benturan-benturan kecil sekalipun akan mengakibatkan fraktur pada
penyakit ini. Benturan keras yang dapat merusak tubuh inilah yang sering disebut
sebagai trauma. Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik
terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan
gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik
temporer maupun permanen. Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera
kepala adalah pelaksanaan operasi trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu
tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan untuk mencapai otak untuk
tindakan pembedahan definitive (seperti adanya SDH (subdural hematoma) atau
EDH (epidural hematoma) dan kondisi lain pada kepala yang memerlukan
tindakan.

3.2 Saran

Perawat hendaknya memahami konsep trauma dan konsep kegawatdaruratan


pada pasien trauma kepala karena kasus tersebut sangat terjadi. Dengan
memahami konsep tersebut akan mempermudah perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Brain and Spinal Cord. Brain Injury Statistic. 28 Juli 2009 [15 Januari 2015].
Available from : http://www.brainandspinalcord.org/br ain-injury/statistics.html.
Chris Tanto…[et al]. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. Media Aesculapius.
Dito A. 2008. Cedera Kepala Traumatik. Neurologi update.
Laumart H. Profil Penderita Cedera Kepala di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode Januari 2010-Desember 2010. [skripsi].[Manado]: Universitas
Sam Ratulangi; 2011.
Samir HH, Yaseen MA. Critical Care Management of Severe Traumatic Brain Injury
in adults. Scandinavian Journal of Trauma Resuscitation and Emergency
Medicine. 2012; 14.
Sholeh S. Naga, 2011. Ilmu Penyakit Dalam. Yang Menerbitkan DIVA Press : Jogjakarta.
Smeltzer, Suzanne. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta. EGC

20

You might also like