You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut data statistic tahun 1995 dari WHO terdapat 135 juta penderita DM
diseluruh dunia. Bahkan WHO menyebutkan jumlah penderita DM di Indonesia
menduduki peringkat ke empat setelah india, china dan Amerika Serikat.1

Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa tahun 2030 pravelensi Diabetes


Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang, sedangkan hasil riset kesehatan
dasar tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada
kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke 2 yaitu 14,7%
dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.1

Menurut Ketua Indonesia Diabetes Association, DM tipe 2 merupakan


terbanyak, yaitu sekitar 95% dari keseluruhan kasus diabetes mellitus, selain factor
genetic, juga bias dipicu oleh lingkungan yang menyebabkan perubahan gaya hidup
yang tidak sehat, seperti makan berlebihan, kurang aktifitas fisik dan stress.1

1
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus (DM)
merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.2

2.2. Epidemiologi
Epidemiologi
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3%-6% dari jumlah
penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi diabetes meningkat cepat dalam 10
tahun terakhir. Di Amerika Serikat, penderita diabetes meningkat dari 6.536.163 jiwa
di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di tahun 2010. Di Indonesia, kekerapan
diabetes berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali di beberapa tempat yaitu di Pekajangan
2,3% dan di Manado 6%.2

2.3. Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010 (ADA 2010),
dibagi dalam 4 jenis
yaitu:
a. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun.
Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat
ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak
terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah
ketoasidosis.

2
b. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes
Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa
membawa glukosa masuk
ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan
untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi
insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi
dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat
mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan
sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap
adanya glukosa.
Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya
resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan
glukosa berkurang. DM tipe sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.2

2.4. Diagnosis
Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia,
polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika
terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl
diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa
(GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM.
Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu
kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan investigasi
lebih lanjut yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl. Alur penegakkan diagnosis DM
dapat dilihat pada skema di gambar.2

3
Gambar 2.1. Alur diagnosis DM

2.5. Komplikasi

Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun
komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Di
Amerika Serikat, DM merupakanpenyebab utama dari end-stage renal disease
(ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness.2

Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah
ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetesakibat komplikasi akut bisa
menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes
dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat diabetes yang
tidak terkendali adalah :

4
Kerusakan saraf (Neuropati)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan sarafpusat, yaitu otak dan sumsum tulang
belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf
otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya
terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan
berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabilaglukosa darah berhasil diturunkan
menjadi normal,terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka
yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan
melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke
saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut\ neuropati diabetik (diabetic
neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau
menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim.
Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena.
Prevalensi Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada populasi klinik berkisar 3% s/d
65.8% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 12.8% s/d 54%. Sedangkan pada
pasien DM tipe 2 prevalensineuropati pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0%
dan dalam penelitian pada populasi berkisar 13.1% s/d 45.0%.2

Kerusakan ginjal (Nefropati)


Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh darah kecil
yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan yang tidak
berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja selama 24 jam
sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk oleh
tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan,
sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke luar. Semakin lama
seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan darah tinggi, maka
penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada penderita
diabetes juga terkait dengan neuropathy atau kerusakan saraf.2

5
Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 4.3% s/d 37.6%
pada populasi klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan
pada pasien DM tipe 2 prevalensi mikroalbuminuria pada populasi klinik berkisar
2.5% s/d 57.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 18.9% s/d 42.1%.
Prevalensi overt nephropathy dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 0.7% s/d 27% pada
populasi klinis dan 0.3% s/d 24% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada
pasien DM tipe 2 prevalensi overt nephropathy pada populasi klinik berkisar 5.4%
s/d 20.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 9.2% s/d 32.9%.2

Kerusakan mata (Retinopati)


Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadipenyebab utama
kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu:
1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang
sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2)
katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga
menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah
yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga
merusak saraf mata. Prevalensi retinopati dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 10.8%
s/d 60.0% pada polpulasi klinik dan 14.5% s/d 79.0% dalam penelitian pada populasi.
Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi retinopati pada populasi klinik berkisar
10.6% s/d 47.3% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 10.1% s/d 55.0%.

Penyakit jantung koroner (PJK)


Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di
dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke
otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak
bisa terjadi. Prevalensi Penyakit jantung koroner dengan penyakit DM (baik tipe 1
dan 2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada polpulasi klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam
penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi penyakit jantung coroner

6
berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan
Diabetes tipe 2. 2

Stroke
Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3%
pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh
persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe 1 dan
berkisar 4.1% and 6.7% dengan Diabetes tipe 2.2

Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhanyang dramatis
seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat
memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko
serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga
terkena hipertensi.2

Penyakit pembuluh darah perifer


Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan
Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat
pada penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut
pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes
berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami
kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau
neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami
penyempitan pada pembuluh darah jantung.2

Gangguan pada hati


Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan gula bisa bisa
mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat
penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes,

7
penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C.
Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi orang yang sakit hepatitis karena
mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis
kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi atau radang
hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang sering ditemukan pada penderita
diabetes adalah perlemakan hati atau fatty liver, biasanya (hampir 50%) pada
penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini jangan dibiarkan karena bisa
merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.2

Penyakit paru
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberculosis paru dibandingkan orang
biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes
memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah.2

Gangguan saluran cerna


Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena kontrol glukosa
darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai saluran
pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi,
gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi
yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan
menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini
adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan
saluran makan bisa juga timbul akibat pemakaian obat- obatan yang diminum.2

Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsikekebalan tubuh dalam menghadapi
masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah terkena infeksi.
Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki,
kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang tinggi juga merusak
system saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap adanya infeksi.2

8
2.6. Penatalaksanaan
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan
sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2
memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali factor risiko
kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di
Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar
penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi
farmakologis.

A. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi
dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk
memiliki perilaku sehat.

Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes
untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali
masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih
reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri,
dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.8

Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan


kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas
fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.

B. Terapi Gizi Medis


Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang,
sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan
keteraturan jadwal

9
Jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan
terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium
kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/har.

C. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang lebih
30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobic seperti berjalan santai,
jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.

D. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,
pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.1 Obat yang saat ini ada antara lain:

I. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)


Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea
• Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
• Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
• Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan
ginjal serta malnutrisi

b. Glinid
• Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
• Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin
fase pertama.
• Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia Postprandial

10
Peningkat sensitivitas insulin:
a. Biguanid
• Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.
• Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin
pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati.
• Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai
dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.

b. Tiazolidindion.
• Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.
• Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena meningkatkan retensi
cairan.

Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (Metformin).
• Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi produksi glukosa
hati.
• Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin serum
> 1,5 mg/ dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia
seperti pada sepsis
• Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan
sulfonylurea.
• Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa diatasi
dengan pemberian sesudah makan.

Penghambat glukosidase alfa :


Acarbose
• Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.

11
• Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan
sulfonilurea.
• Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan
flatulens.
• Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1)
merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang
kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah
menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat
meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat penglepasan glukagon.

II. OBAT SUNTIKAN


Insulin
a. Insulin kerja cepat
b. Insulin kerja pendek
c. Insulin kerja menengah
d. Insulin kerja panjang
e. Insulin campuran tetap
Agonis GLP-1/incretin mimetik
• Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa menimbulkan hipoglikemia,
dan menghambat penglepasan glukagon
• Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonilurea
• Efek samping antara lain gangguan saluran cernaseperti mual muntah

Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat dipahami
bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua pengobatan
DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang terus menerus,
mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten, dan melakukan latihan
jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat terkendali kadar glukosa

12
darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan GHS glukosa darah belum
terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.
Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda
tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid
diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bisa diberikan sebelum/sesaat/sesudah
makan. Acarbose diberikan bersama makan suapan pertama. Tiazolidindion tidak
bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat makan atau
sebelum makan. Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum
terkendali maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2
OHO yang cara kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila
dengan GHS dan kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada
2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan
kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal.
Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja menengah atau kerja
panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur. Bila dengan cara diatas glukosa
darah terap tidak terkendali maka pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih
kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini diberikan kombinasi insulin basal
untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan insulin kerja cepat atau kerja pendek
untuk mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial
ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial. Tes hemoglobin
terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3
bulan, atau minimal 2 kali setahun. Gambar 3 menunjukkan panduan tatalaksana
berdasarkan hasil HbA1c.

13
2.7. Kriteria pengendalian DM
Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang
merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila kadar glukosa
darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran.

14
Metformin dan DM tipe 2
Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral, metformin mempunyai beberapa efek
terapi antara lain menurunkan kadar glukosa darah melalui penghambatan produksi
glukosa hati dan menurunkan resistensi insulin khususnya di hati dan otot. Metformin
tidak meningkatkan kadar insulin plasma.

Metformin menurunkan absorbsi glukosa di usus dan meningkatkan sensitivitas


insulin melalui efek penngkatan ambilan glukosa di perifer. Studi-studi invivo dan
invitro membuktikan efek metformin terhadap fluidity membran palsma, plasticity
dari reseptor dan transporter, supresi dari mitochondrial respiratory chain,
peningkatan insulin-stimulated receptor phosphorylation dan aktivitas tirosine kinase,
stimulasi translokasi GLUT4 transporters, dan efek enzimatik metabolic pathways.

Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya bertujuanuntuk kendali glikemik, tetapi


juga kendali faktor risiko kardiovaskuler, karena ancaman mortalitas dan morbiditas

15
justru datang dari berbagai komplikasi kronik terebut. Dalam mencapai tujuan ini,
Metformin salah satu jenis OHO ternyata bukan hanya berfungsi untuk kendali
glikemik, tetapi juga dapat memperbaiki disfungsi endotel, hemostasis, stress
oksidatif, resistensi insulin, profil lipid dan redistribusi lemak.
Metformin terbukti dapat menurunkan berat badan, memperbaiki sensitivitas
insulin, dan mengurangi lemak visceral. Pada penderita perlemakan hati (fatty liver),
didapatkan perbaikan dengan penggunaan Metformin. Metformin juga terbukti
mempunyai efek protektif terhadap komplikasi makrovaskular.4 Selain berperan
dalam proteksi risiko kardiovaskuler, studi-studi terbaru juga mendapatkan peranan
neuroprotektif Metformin dalam memperbaiki fungsi saraf, khususnya spatial
memory function15 dan peranan proteksi Metformin dalam karsinogenesis. Diabetes
tipe-2 mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena berbagai macam kanker terutama
kanker hati, pankreas, endometrium, kolorektal, payudara, dan kantong kemih.
Banyak studi menunjukkan penurunan insidens keganasan pada pasien yang
menggunakan Metformin.
Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari the American
Diabetes Association/ European Association for the Study of Diabetes (ADA/EASD)
dan the American Association of Clinical Endocrinologists/American College of
Endocrinology (AACE/ACE) merekomendasikan pemberian metformin sebagai
monoterapi lini pertama. Rekomendasi ini terutama berdasarkan efek metformin
dalam menurunkan kadar glukosa darah, harga relatif murah, efek samping lebih
minimal dan tidak meningkatkan berat badan. Posisi Metformin sebagai terapi lini
pertama juga diperkuat oleh the United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) yang pada studinya mendapatkan pada kelompok yang diberi Metformin
terjadi penurunan risiko mortalitas dan morbiditas. UKPDS juga mendapatkan efikasi
Metformin setara dengan sulfonylurea dalam mengendalikan kadar glukosa darah. Ito
dkk dalam studinya menyimpulkan bahwa metformin juga efektif pada pasien
dengan berat badan normal.

16
KESIMPULAN
Diabetes mellitus tipe-2 masih merupakan masalah kesehatan yang penting,
khususnya karena komplikasi kronik yang ditimbulkannya. Tatalaksana diabetes
mellitus tipe-2 bukan hanya ditujukan pada kendali glikemik, tetapi juga terhadap
proteksi komplikasi kardiovaskuler. Metformin merupakan obat hipoglikemik lini
pertama untuk diabetes mellitus tipe-2, karena disamping terbukti efektif dalam
kendali glikemik, Metformin juga terbukti mempunyai efek protektif terhadap
komplikasi kardiovaskuler, disamping masih mempunyai banyak efek positif lainnya
yang sebagian masih dalam tahap penelitian.

17
18

You might also like