You are on page 1of 18

HALAMAN PENGESAHAN

ACUTE LUNG OEDEM (ALO)

DI RUANG 5 IPJT UNIT DALAM RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG

Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen Medikal Ruang 5 IPJT RSSA Malang

Oleh :
Hanifah Irma Ritmadiani

NIM. 170070301111011

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( )
ACUTE LUNG OEDEM (ALO)

A. DEFINISI
Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar
ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang terjadi secara akut. Pada
keadaan normal cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler
endotelium dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan mengalir ke
pembuluh limfe menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi (Flick,
2000, Hollenberg, 2003).
Pada edema paru terdapat penim-bunan cairan serosa atau serosanguinosa
secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveoli paru. Edema yang terjadi akut
dan luas sering disusul oleh kematian dalam waktu singkat (Harun S, Sally N. 2009)
Edem paru akut (EPA) adalah akumulas cairan di paru-paru yang terjadi
secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi
(edem paru kardia) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem
paru non cardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat
sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan
mengakibatkan hipoksia

B. EPIDEMIOLOGI
Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta
penderita edema paru di seluruh dunia. Di Inggris terdapat sekitar 2,1 juta penderita
edema paru yang memerlukan pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di
Amerika Serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema paru. Di Jerman
penderita edema paru sebanyak 6 juta penduduk. Ini merupakan angka yang cukup
besar yang perlu mendapat perhatian dari medik di dalam merawat penderita edema
paru secara komprehensif.
Di Indonesia, edema paru pertama kali terdeteksi pada tahun 1971. Sejak itu
penyakit tersebut dilaporkan di berbagai daerah sehingga sampai tahun 1980 sudah
mencakup seluruh propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus
menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di
Indonesia insiden tersebar terjadi pada 1998 dengan incidence rate (IR) = 35,19 per
100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar
10,17%, namun pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 %
(tahun 2000), 19,24 % (tahun 2002), dan 23,87 % (tahun 2003).2,8 Edema paru
kardiogenik akut (Acute cardiogenic pulmonary edema/ACPE) se-ring terjadi, dan
berdampak merugikan dan mematikan dengan tingkat kematian 10-20% (Salman A,
Milbrandt EB, Pinsky MR. 2010)
Angka kematian edema paru akut karena infark miokard akut mencapai 38 –
57% sedangkan karena gagal jantung mencapai 30% (Haas, 2002).

C. ETIOLOGI
Edem paru non kardiogenik
Edema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari pembuluh-
pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru yang
diakibatkan selain kelainan pada jantung. Beberapa penyebab edeme paru non
kardiogenik.
1.Peningkatkan permeabilitas kapiler paru (ARDS)
Secara langsung
 Aspirasi asam lambung
 Tenggelam
 Kontusio paru
 Pnemonia berat
 Emboli lemak
 Emboli cairan amnion
1. Inhalasi bahan kimia
2. Keracunan oksigen
Tidak langsung
 Sepsis
 Trauma berat
 Syok hipovolemik
 Transfusi darah berulang
 Luka bakar
 Pankreatitis
 Koagulasi intravaskular diseminata
 Anafilaksis
2. Peningkatan tekanan kapiler paru
a. Sindrom kongesti vena
 Pemberian cairan yang berlebih
 Transfusi darah
 Gagal ginjal
b. Edema paru neurogenik
c. Edema paru karena ketinggian tempat (Altitude)

Peningkatan Permeabilitas Kapiler


Edema paru biasanya disebabkan peningkatan tekanan pembuluh kapiler paru dan
akibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan
permeabilitas kapiler paru sering juga disebut acute respiratory distress syndrome
(ARDS)

Edema paru kardiogenik


Edema paru biasanya diakibatkan oleh peningkatan tekanan pembuluh kapiler
paru dan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan permeabilitas
kapiler paru sering disebut acute respiratory distress syndrome (ARDS).
Pada keadaan normal terdapat kese-imbangan tekanan onkotik (osmotik) dan
hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada
gagal jantung menyebabkan edema paru, sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi
cairan yang menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia
pada sindrom nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun
sehingga terjadi edema paru. Pada tahap awal edema paru terdapat peningkatan
kandungan cairan di jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru
akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru perlu dipikirkan bahwa kaskade
inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan
jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel
endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan
mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks ini
dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dengan hasil akhir
kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli
menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung
neutrofil dan sel-sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin. Karakteristik
edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru ialah tidak adanya
peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal).
Penyebab edema paru kardiogenik ialah:
1. Gagal jantung kiri, yang dapat diakibatkan oleh: infark miokard, penyakit katup
aorta dan mitral, kardiomiopati, aritmia, hipertensi krisis, kelainan jantung bawaan
(paten duktus arteriosus, ventrikel septal defek)
2. Volume overload
3. Obstruksi mekanik aliran kiri
4. Insufisiensi limfatik, yang terjadi sebagai akibat lanjut transplantasi paru,
karsinomatosis limfangi-ektasis, atau limfangitis fibrosis

D. FAKTOR RESIKO
1. Sindrom Kongesti Vena
Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat terjadi pada penderita
dengan kelebihan cairan intravaskular dengan ukuran jantung normal. Sindrom ini
sering terjadi pada penderita yang mendapat cairan kristaloid atau darah intravena
dalam jumlah besar, terutama pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal,
ataupun karena gagal ginjal itu sendiri (terjadi retensi air). Pemberian
kortikosteroid menyebabkan gangguan kongesti vena lebih lanjut Sindrom
kongesti vena (fluidoverload) ini sering terjadi pada penderita dengan trauma yang
luas, yang mendapat cairan dalam jumlah besar untuk menopang sirkulasi. Pada
fase penyembuhan, terjadilah edema paru.

2. Edem Paru Neurogenik


Keadaan ini terjadi pada penderita yang mengalami trauma kepala, kejang-
kejang, atau peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak. Diduga dasar
mekanisme edema paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus (akibat
penyebab di atas) yang menyebabkan rangsangan pada sistem adrenergik, yang
kemudian menyebabkan pergeseran volume darah dari sirkulasi sistemik ke
sirkulasi pulmonal dan penurunan “compliance” ventrikel kiri. Akibatnya terjadi
penurunan pengisian ventrikel kiri à tekanan atrium kiri meningkat dan terjadilah
edema paru.

3. Edem Paru Karena Ketinggian Tempat


Penyakit ini secara khas menyerang orang-orang muda yang berada pada
ketinggian di atas 2700 meter (9000 kaki). Penyebab keadaan ini tidak diketahui,
diduga mekanismenya adalah hipoksia karena ketinggian menyebabkan
vasokontriksi arteriole paru dan kegiatan yang berlebih (exercise) merangsang
peningkatan kardiak output dan peningkatan tekanan arteri pulmonal, akibatnya
terjadilah edema paru

4. Edem Paru Karena Sindrom Nefrotik


Mekanisme terbentuknya edema sangat kompleks; beberapa faktor adalah:
(1) Penurunan tekanan koloid osmotik plasma akibat penurunan konsentrasi
albumin serum; bertanggungjawab terhadap pergeseran cairan ekstraselular dari
kompartemen intra-vaskular ke dalam interstisial dengan timbulnya edema dan
penurunan volume intravaskular.
(2) Penurunan nyata eksresi natrium kemih akibat peningkatan reabsorpsi tubular.
Mekanisme meningkatnya reabsorpsi natrium tidak dimengerti secara lengkap,
tetapi pada prinsipnya terjadi akibat penurunan volume intravaskular dan tekanan
koloid osmotik. Terdapat peningkatan ekskresi renin dan sekresi aldosteron.
(3) Retensi air.
Penurunan tekanan koloid osmotik plasma dan retensi seluruh natrium yang
dikonsumsi saja tidaklah cukup untuk berkembangnya edema pada sindrom
nefrotik. Untuk timbulnya edema harus ada retensi air

5. Edem Paru Karena Malnutrisi


Prinsip mekanisme terjadinya edema paru pada malnutrisi hampir sama
dengan sindrom nefrotik. Hipoproteinemia merupakan dasar terjadinya edema

6. Aktivitas yang Berlebihan


Pada penelitian yang dilakukan Ayus JC dan kawan-kawan pada pelari
maraton terdapat 18% dari 605 pelari marathon yang mengalami edema paru
akibat hiponatremia. Mekanisme ini disimpulkan bahwa pada saat aktivitas
meningkat (maraton) terjadi pengeluaran natrium melalui air keringat, sehingga
tubuh kekurangan natrium. Setelah selesai melakukan aktivitas tubuh berusaha
melakukan homeostatis, dengan mensekresikan ADH dan terjadilah retensi air.
Akibatnya terjadilah edema paru.

H. KLASIFIKASI
Edema paru dapat diklasifikasikan sebagai edema paru kardiogenik dan edema paru
non-kardiogenik.
 Edema paru kardio-genik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik kapiler
paru yang dapat terjadi akibat perfusi berlebihan baik dari infus darah maupun
produk darah dan cairan lainnya,
 edema paru non-kardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler
paru antara lain pada pasca transplantasi paru dan reekspansi edema paru,
termasuk cedera iskemia-reperfusi-dimediasi.1,3-5 Walaupun penye-bab edema
paru kardiogenik dan non-kardiogenik berbeda, namun keduanya memiliki
penampilan klinis yang serupa sehingga menyulitkan dalam menegakkan
diagnosisnya. Terapi yang tepat dibutuh-kan untuk menyelamatkan pasien dari
kerusakan lanjut akibat gangguan keseimbangan cairan di paru.

E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala paling umum dari pulmonary edem adalah sesak nafas. Ini mungkin
adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara
perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari
pulmonary edem akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih
cepat mengembangkan sesak nafas daripada normal dengan aktivitas yang biasa
(dyspnea on exertion), nafas yang cepat (takipnea), kepeningan atau kelemahan
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-
pasien dengan pulmonary edem. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan
stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, seperti rales
atau crakles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden
pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernafas.

Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium :
Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan
fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat
inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat inspirasi.
Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis
kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih
memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh
gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan interstisial
diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi
right to left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapsia, tetapi
pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
F. PENATALAKSANAAN
Edema paru kardiogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang perlu
penanganan secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis. Penatalaksanaan utama
meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama untuk mempertahankan fungsi
paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ), sedangkan penyebab utama juga harus
diselidiki dan diobati sesegera mungkin bila memungkinkan. Prinsip penatalaksanaan
meliputi pemberian oksigen yang adekuat, restriksi cairan, dan mempertahankan
fungsi kardiovaskular.
Suplementasi oksigen
Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi susunan
saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun terjadinya syok.
Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi intervensi yang penting untuk
meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan kerja pernapasan, mengopti-malisasi
unit fungsional paru sebanyak mungkin, serta mengurangi overdistensi alveolar.
Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau masker
muka (face mask). Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat membantu
pada pasien edema paru kardiogenik.
Pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut, induksi ventilasi non-
invasif dalam gangguan pernapasan dan gangguan metabolik meningkat lebih cepat
daripada terapi oksigen standar tetapi tidak berpengaruh terhadap mortalitas jangka
pendek. Ventilasi non-invasif dengan CPAP telah terbukti menurunkan intubasi
endotrakeal dan kematian pada pasien dengan edema paru akut kardiogenik. Menurut
penelitian Agarwal et al., noninvasive pressure support ventilation (NIPSV)
tampaknya aman dan berkhasiat sebagai CPAP, daripada jika bekerja dengan titrasi
pada tekanan tetap. Penelitian Winck et al. mendukung penggunaan CPAP dan non-
invasive positive pressure ventilation (NPPV) pada edema paru akut kardiogenik.
Kedua teknik tersebut dipakai untuk menurunkan need for endotracheal intubation
(NETI) dan kematian dibandingkan standard medical therapy (SMT), serta tidak
menunjukkan peningkatan risiko infark miokard akut. CPAP dianggap sebagai
intervensi pertama dari NPPV yang tidak menunjukkan khasiat yang lebih baik
bahkan pada pasien dengan kondisi lebih parah, tetapi lebih murah dan lebih mudah
untuk diimplementasikan dalam praktek klinis. Intubasi dan penggunaan ventilasi
mekanik dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) diperlukan pada kasus yang
berat
Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan preload
Nitrogliserin (NTG) dapat menurun-kan preload secara efektif, cepat, dan efeknya
dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena diawali dengan dosis rendah
(20μg/menit) dan kemudian dinaikkan secara bertahap (dosis maksimal
200μg/menit).1,13
Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2 mekanisme, yaitu:
diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per oral 20-40 mg/hari
pada keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus pada keadaan yang berat.
Morfin sulfat digunakan untuk menu-runkan preload dengan dosis 3 mg secara intra
vena dan dapat diberikan berulang.
Obat-obatan yang menurunkan afterload
Angiotensin-converting enzyme inhi-bitors (ACE inhibitors) menunurunkan after
load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah jantung. Pemberian secara intra
vena (enalapril 1,25 mg) ataupun sublingual (captopril 25 mg) akan memperbaiki
keluhan pasien. Pada suatu meta analisis didapati bahwa pemberian ACE inhibitors
akan menurunkan angka mortalitas.
Obat-obatan golongan inotropik
Obat-obatan golongan inotropik diberikan pada edema paru kardiogenik yang
mengalami hipotensi, yaitu dobutamin 2-20 μg/kg/menit atau dopamin 3-20
μg/kg/menit

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang yang dilaku-kan untuk menegakkan diagnosis, yaitu:
1. Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan CHF) dan
adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi bilateral dengan pola
butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang berkabut serta adanya garis-garis
Kerley b di interlobularis. Gambaran lain yang berhubungan dengan penyakit jantung
berupa pembesaran ventrikel kiri sering dijumpai. Efusi pleura unilateral juga sering
dijumpai dan berhubungan dengan gagal jantung kiri.
2. EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium kiri,
pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark.
3. Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi dari
ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.
4. Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar brain natriuretic peptide
(BNP) di dalam darah sebagai respon terhadap peningkatan tekanan di ventikel; kadar
BNP >500 pg/ml dapat membantu menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik.
5. Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan PCO2 pada
keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya PO2 semakin menurun
sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang berat biasanya dijumpai hiperkapnia
dan asidosis respiratorik.
6. Kateterisasi jantung kanan: Pengukuran P pw (pulmonary capillary wedge
pressure) melalui kateterisasi jantung kanan merupakan baku emas untuk pasien
edema paru kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg sedangkan pada pasien ARDS P
pw 0-18 mmHg.3,13
7. Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan edema
dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk membedakan edema paru
kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil dengan pengisapan
cairan edema paru melalui pipa endotrakeal atau bronkoskop dan pengambilan
plasma. Pada edema paru kardiogenik, konsentrasi protein cairan edema relatif rendah
dibanding plasma (rasio <0,6). Pada edema paru non-kardiogenik konsentrasi protein
cairan edema relatif lebih tinggi (rasio >0,7) karena sawar mikrovaskular ber-kurang

H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi pada edema paru,meliputi :
1. Gagal nafas
2. Asidosis respiratorik
3. Henti jantung
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ALO (ACUTE LUNG OEDEM )

PENGKAJIAN
Identitas :
 Umur: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa muda
 Riwayat Masuk: Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau
batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan
dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan
masing-masing tanda klinik mungkin menyertai klien
 Riwayat Penyakit Dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti
sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta
penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien

Pemeriksaan fisik
Sistem Integumen
Subyektif :
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder),
banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
Sistem Pulmonal
Subyektif : Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif :Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii
pada lapang paru.
Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif :Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah
menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan
otot aksesoris pernafasan
Sistem genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
Studi Laboratorik
Hb : menurun/normal
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar
karbon darah meningkat/normal
Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal

DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial
(penurunan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehubungan dengan penumpukan secret akibat
penumpukan cairan di alveolus paru
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus
(perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli)
4. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru.
5. resiko infeksi sehubungan dengan ketidakefektifan dalam pengeluaran secret
6. Cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas).
7. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer sehubungan dengan sianosis yang
mengakibatkan akral dingin dan CRT <2
8. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan keletihan
(keadaan fisik yang lemah).
9. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan dengan kurang
terpajang informasi
RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontakilitas miokardial (penurunan).
Tujuan : Curah jantung tercukupi untuk kebutuhan individual
Kriteria hasil : Menunjukkan tanda vital dalam batas normal dan bebas gejala gagal jantung.
Rencana tindakan :
a) Catat suara jantung
Rasional: S1 dan S2 mungkin lemah karena terdapat kelemahan dalam memompa. Irama
gallop sering ada (S2 dan S3). Murmur merupakan gambaran adanya
ketidaknormalan/stenosis dari katup.
b) Monitor tekanan darah
Rasional: pada awal tekanan darah meningkat karena peningkatan SVR, lama kelamaan
badan/body jantung tidak bisa bertambah panjang agar bisa untuk kompensasi dan bisa
terjadi hipotensi berat.
c) Palpasi denyut peripher
Rasional: Penurunan CO akan menyebabkan kelemhan denyut pada arteri radialis,
poplitea,dorsalis pedis dan posttibial. Denyut dapat yang cepat atau reguler dan mungkin
juga terdapat pulsus alternans (denyut yang kuat di selingi denyut yang lemah)
d) Lihat warna kulit,pucat,cyanosis
Rasional: Pucat menunjukkan berkurangnya perfusi perifer sebagai akibat sekunder dari
ketidakadekuatnya CO
e) Nilai perubahan tanggapan panca indera seperti: lethargy, kebingungan, disoientasi
cemas dan depresi.
Rasional: Menunjukkan tidak adekuatnya perfusi cerebral sebagai akibat sekunder dari
penurunan CO
f) Collaborative dalam pemberian O2 lewat canul nasal/masker sesuai indikasi.
Rasional: meningkatnya persediaanya O2 untuk kebutuhan myokard untuk menanggulangi
efek hypoxia/iskemia.
g) Collaborative pemberian diuretik
Rasional : Pengurangan preload penting dalam pengobatan pada pasien cardiac out put
yang relative normal yang di sertai oleh gejala-gejala bendungan. Pemberian loup diuretics
akan mengurangi reabsorbsi dari sodium dan air.
h) Collaborative pemberin digoxin
Rasional: meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan melambatkan kecepatan denyut
jantung (heart rate) dengan menurunkan kecepatan konduksi dan memperpanjng periode
retrakter dari AV junction untuk meningkatkan efisiensi jantung/cardiac out put.

Diagnosa Keperawatan 2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan


membran kapiler-alveolus (perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli) Tujuan:
Pertukaran gas efektif
Kriteria hasil: menunjukkan ventilasi dan oksigenasi jaringan yang adekuat pada jringan di
tunjukkan oleh GDA/oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan
Rencana tindakan:
a) Auskultasi suara nafas, catat adanya krekels
Rasional: Menunjukkan adanya bendungan pulmonal/penumpukan secret yang membutuhkan
penanganan lebih lanjut
b) Atur posisi fowler dan bed rest
Rasional: merangsang pengembangan paru secara maksimal.
c) Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri
Rasional: hipoksemia dapat menjadi berat selama edema paru.
d) Collaborative pemberian O2 sesuai indikasi
Rasional: meningkatkan konsenterasi O2 alveolar yang akan mengurangi hypoxemia jaringan
e) Collaborative pemberian obat Diuretic
Rasional: Mengurangi bendungan alveolar sehingga meningkatkan pertukaran gas
f) Bronkodilator
Rasional : Meningkatkan pemasukan O2 dengan jalan dilatasi saluran nafas.

Diagnosa Keperawatan 3. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan


menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
Tujuan: Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal
Kriteria hasil: Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada
pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi nafas terdengar
jelas.
Rencana tindakan:
a. Identifikasi faktor penyebab
Rasional: Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat mengambil tindakan yang tepat
b. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi
Rasional: Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien
c. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat
tidur ditinggikan 60 – 90 derajat
Rasional: Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa
maksimal
d. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon pasien). Rasional:
Peningkatan RR dan tachicardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru
e. Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam
Rasional: Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian paru-paru
f. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif
Rasional: Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam. Penekanan otot-otot
dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif
g. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan serta foto thorax
Rasional: Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya
sianosis akibat hiponia. Dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya
cairan dan kembalinya daya kembang paru.
DAFTAR PUSTAKA

Mattu A, Martinez JP, Kelly BS. Modern management of cardiogenic pulmonary edema.
Emerg Med Clin N Am. 2005;23:1105-25.
Harun S, Sally N. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi ke-5). Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2009; p. 1651-3.
Ware LB, Matthay MA. Acute pulmonary edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96.
Nendrastuti H, Mohamad S. Edema paru akut, kardiogenik dan non kardiogenik. Majalah
Kedokteran Respirasi. 2010;1(3):10.
Huldani H. Edema paru akut. Refarat. Universitas Lambung Mangkurat Fakultas Kedokteran,
Banjarmasin. 2014. Available from: eprints.unlam.ac.id/207/
Salman A, Milbrandt EB, Pinsky MR. The role of noninvasive ventilation in acute
cardiogenic pulmonary edema. Critical Care. 2010;14(303):1-3.
Soemantri. Cardiogenic pulmonary edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit
Dalam 2011. FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo, 2011. p.113-9.
Harun S. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Markum HMS, Setiati S, Alwi I, Gani RA,
Sumaryono, editors. Naskah lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit
Dalam 1998. Jakarta: Bagian IPD FKUI; 1998. p. 97-101.
Hetty N, Soetomo M. 2010 EDEMA PARU AKUT KARDIOGENIK DAN NON
KARDIOGENIK PPDS I IP Paru FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya.Staf
Bag/SMF Kardiologi FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya. Majalah Kedokteran
Respirasi Vol. 1. No. 3 Oktober
Harun S dan Sally N. EdemParuAkut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, SetiatiS,editor. BukuAjarIlmuPenyakitDalam 5th ed. Jakarta:
PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalamFakultasKedokteranUniversitas
Indonesia. p. 1651-3.
Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. NaskahLengkap PKB XXVI
IlmuPenyakitDalam 2011. FKUNAIR-RSUD DR.Soetomo, p.113-9.
Alasdair et al. Noninvasive Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N Engl J
Med 2008; 359: 142-51.
Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005; 353:2788-96.
Maria I. 2010. PenatalaksanaanEdemParupadaKasus VSD dan Sepsis VAP. Anestesia&
Critical Care. Vol 28 No.2 Mei 2010 p.52.

You might also like