You are on page 1of 30

PRESENTASI KASUS

THALASSEMIA

Oleh :
Asri Paramytha S
110 2010 038
Universitas YARSI
Jakarta

Pembimbing : dr. Agus Patmono, SpPD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT
GATOT SOEBROTO
Jakarta

1
Pendahuluan

Latar Belakang

Thalassemia berasal dari kata Yunani talassa, yang berarti laut. Yang dimaksud dengan laut
tersebut adalah Laut Tengah, karena penyakit ini pertama kali dikenal di daerah sekitar Laut
Tengah. Thalassemia untuk pertama kali dijelaskan oleh Cooley (1925), yang ditemukannya
pada orang Amerika keturunan Italia. Penyakit ini ternyata banyak ditemukan di daerah
Mediterania dan daerah sekitar khatulistiwa. Thalassemia merupakan salah satu kelainan
genetik terbanyak di dunia dengan 1.67% penduduk dunia sebagai pasiennya. Sekitar 7%
penduduk dunia diduga carrier thalassemia, dan sekitar 300.000-400.000 bayi lahir dengan
kelainan ini setiap tahunnya.

Frekuensi gen thalassemia tertinggi di negara-negara tropis, namun dengan tingginya angka
migrasi, penyakit ini telah tersebar ke seluruh dunia. Di Indonesia, thalassemia merupakan
penyakit terbanyak di antara golongan anemia hemolitik. Data rekam medis rawat jalan pusat
Thalassemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
menunjukkan bahwa sejak tahun 1993 hingga Juli 2007 terdapat 1.267 pasien thalassemia
dengan penambahan 70-80 pasien baru setiap tahunnya.

Thalassemia disebabkan oleh kelainan sintesis rantai globin (α atau β) dengan gambaran
darah khas yaitu hipokrom mikrositer. Thalassemia mayor memberikan gambaran klinis yang
jelas berupa anemia berat, splenomegali, ekspansi sumsum disertai deformitas tulang, dan
kematian prematur. Thalassemia minor biasanya tidak memberikan gejala klinis.

Derajat anemia yang terjadi pada pasien thalassemia dapat bervariasi dari ringan sampai berat
akibat eritropoeisis yang tidak efektif. Transfusi Packed Red Cells (PRC) masih merupakan
tatalaksana suportif utama pada thalassemia dengan tujuan mempertahankan kadar
Hemoglobin (Hb) 9-10 gr/dL agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara normal.
Pemberian transfusi darah yang berulang-ulang dapat menimbulkan berbagai komplikasi,
seperti hemosiderosis dan hemokromatosis, yaitu menimbulkan penimbunan zat besi dalam
jaringan tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh seperti hati, limpa,
ginjal, jantung, tulang, dan pankreas. Tanpa transfusi yang memadai, pasien thalassemia
mayor akan meninggal pada dekade kedua. Efek lain yang ditimbulkan akibat transfusi yaitu
tertularnya penyakit lewat transfusi, seperti penyakit hepatitis B, C, dan HIV.

2
BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS

Nama : Tn. MT

Usia : 26 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Cilincing, Jakarta Selatan

Status : belum menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Karyawan

Tanggal masuk : 14 Januari 2015

Tanggal periksa : 15 Januari 2015

No.CM : 44 72 26

II. ANAMNESA (autoanamnesa)

1. Keluhan utama : Lemas dan pegal-pegal sejak 2 hari SMRS


2. Keluhan tambahan : Pusing dan pucat
3. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan lemas dan pegal-pegal pada seluruh badan sejak 2
hari SMRS. Lemas muncul secara perlahan dan dirasakan semakin hari semakin
memberat. Pasien juga mengaku mengalami pegal-pegal pada seluruh tubuhnya.
Keluhan disertai rasa pusing yang muncul bersamaan dengan keluhan utama dan
sedikit tampak pucat. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya gangguan nafsu
makan, rasa mual maupun muntah. Buang air besar dan buang air kecil juga

3
tidak ada masalah. Tidak ada buang air besar berdarah ataupun muntah darah.
Pasien juga menyangkal adanya riwayat perdarahan, sesak nafas, kembung,
nyeri perut dan demam. Dalam kesehariannya aktivitas pasien tidak ada
hambatan. Pasien merupakan karyawan toko dan masih dapat melakukan
aktivitas seperti biasa. Pasien telah didiagnosis thalasemia beta mayor sejak usia
7 tahun di salah satu RS di jakarta berdasarkan hasil laboratorium darah dan
rutin melakukan transfusi darah tiap 2 bulan sekali

4. Riwayat penyakit dahulu


Sejak umur 7 tahun pasien didiagnosa mengalami Thalassemia. Dengan Hb
awal 7 mg/dL. Sejak itu pasien rutin menerima tranfusi setiap 1 bulan sekali sampai
pasien menginjak SMP. Dan selanjutnya dilanjutkan dengan transfusi 2 bulan sekali
jika sudah ada tanda tanda seperting pusing dan pegal-pegal. Pasien belum pernah
dirawat karena penyakit – penyakit infeksi seperti demam berdarah atau tifus. Juga
belum pernah mengalami trauma yang menyebabkan perdarahan. Pasien juga tidak
mempunyai riwayat alergi.

5. Riwayat penyakit keluarga


Ibu pasien merupakan karier thalassemia. Pasien merupakan anak kedua dari 4
bersaudara, dan pasien merupakan satu-satunya yang terkena gejala thalassemia.
Dengan saudara kandung: pria-pria-wanita-pria.

6. Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai TNI. Sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga.
Untuk biaya berobat, pasien menggunakan ASKES dari ayahnya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-Tanda Vital :
 Tensi 120/70 mmHg
 Nadi 80x/menit
 Nafas 24x/menit
 Suhu 36.3 °C

4
 Berat badan : 65 Kg
 Tinggi Badan : 170cm
 BMI = 65 / (1.70)2 = 65 / 2.89 = 22,49 pasien termasuk normoweight
 Kulit : Hiperpigmentasi
 Pemeriksaan kepala
Bentuk : normocephal, simetris

Rambut : distribusi merata

Wajah : Fasies cooley’s (+)


Mata : Simetris
: Conjungtiva anemis ( + / + ) .
: Sklera ikterik ( +/+ )
 THT : Normotia, liang telinga lapang, sekret -/- .
Hidung simetris, sekret -/-, deviasi (-).
Mukosa mulut lembab, sianosis (-)
 Leher : Tidak ada pembesaran KGB
 Pemeriksaan dada
Dinding dada : simetris, retraksi intercostal (-)

Paru

Inspeksi : Dinding dada simetris, tidak ada refraksi sela


iga.

Palpasi : Fokal fremitus kanan dan kiri sama.

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, batas paru-


hepar ICS V.

Auskultasi : Suara dasar vesikuler, wheezing (-) dan


ronki.(-)

5
Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.

Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat.

Perkusi : Batas jantung

Kanan atas : ICS II

Kanan bawah : ICS IV

Kiri atas : ICS II

Kiri bawah : ICS V

Auskultasi : S1 > S2, reguler, murmur (-), gallop (-)

 Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Dinding perut datar simetris

Palpasi : Datar, supel, bising usus (+) 6x/menit, nyeri tekan (-), Hepar
tidak teraba, Lien teraba pasa Schuffner IV

Perkusi : tympani,nyeri ketok costo vertebrae (-)

Auskultasi : Bising usus (+) Normal

 Pemeriksaan ekstremitas
Edema (-), sianosis (-), pucat (+), akral hangat, CRT <2”,

IV. Pemeriksaan Penunjang

Jenis
Hasil Nilai Rujukan
Pemeriksaan

Hemoglobin 6.9 13-18 g/dl

Hematokrit 21 40-52 %

Eritrosit 3.5 4,3-6,0 juta/mL

Leukosit 7300 4.800-10.800/mL

6
Trombosit 96000 150.000-400.000/mL

MCV 61 80-96 fl

MCH 20 27-32 pg

MCHC 32 32-36 /dL

Kadar feritin  1200 mg/dL

V. Resume

Pasien laki laki usia 26 tahun datang dengan keluhan lemas dan pegal-pegal pada
seluruh badan sejak 2 hari SMRS. Lemas muncul secara perlahan dan dirasakan semakin hari
semakin memberat. Pasien juga mengaku mengalami pegal-pegal pada seluruh tubuhnya.
Keluhan disertai rasa pusing yang muncul bersamaan dengan keluhan utama dan sedikit
tampak pucat. Dalam kesehariannya aktivitas pasien tidak ada hambatan. Pasien telah
didiagnosis thalasemia beta mayor sejak usia 7 tahun di salah satu RS di jakarta berdasarkan
hasil laboratorium darah dan rutin melakukan transfusi darah tiap 2 bulan sekali.

Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan:

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-Tanda Vital :
 Tensi 120/70 mmHg
 Nadi 80x/menit
 Nafas 24x/menit
 Suhu 36.3 °C
 Berat badan : 65 Kg
 Tinggi Badan : 170cm
 BMI = 65 / (1.70)2 = 65 / 2.89 = 22,49 pasien termasuk normoweight
Pada kulit terdapat hiperpigmentasi, pada wajah facies cooley, konjungtiva
anemis+/+, sklera ikterik +/+, dan pada abdomen ditemukan splenomegali pada
schuffner IV.

7
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan penurunan: Hb, Ht, eritrosit, trombosit,
serta MCV,MCH serta kadar feritin >1200 mg/dL.

V. DIAGNOSIS KERJA

 Anemia hemolitik sedang ec thalasemia beta mayor

VI. DIAGNOSIS BANDING


 Gangguan pembentukan hemoglobin (thalasemia, hemoglobinopati)
 Anemia hemolitik herediter

VII. PENGKAJIAN

1. Anemia hemolitik sedang ec thalasemia beta mayor

 Anamnesa & pemeriksaan fisik:

Terdapat tanda & gejala anemia hemolitik : pasien merasa lemas, pegal
pegal, pusing, dan tampak pucat pada konjungtiva dan sklera ikterik,
splenomegali.

 LAB:

 Hb 6.9 g/dl (13 – 18)

 Ht 21% (40 – 52)

 Eritrosit 3.5 juta/Ul (4.3 – 6.0)

 Leukosit 7300/uL (4.800 – 10.800)

 Trombosit 96000/uL (150.000 – 400.000)

 MCV 61 fL (80-96)

 MCH 20 pg (27-32)

 MCHC 32 g/dL (32-36)

8
 Rencana Diagnostik

Cek DL post-transfusi

Serum iron

Fungsi hati (SGOT-SGPT)

Bilirubin total, direk, indirek

 Rencana Edukasi

Penjelasan tentang penyakit dan komplikasi

Penjelasan pencegahan komplikasi

VIII. Follow Up

Tanggal 15 Januari 2015 Tanggal 16 Januari 2015

Hari perawatan ke 1 Hari perawatan ke 2

S lemas (+), Hb: 6.9 g/dl Lanjutkan transfusi, tidak ada keluhan

O KU/Kes : Tampak sakit ringan /Composmentis KU/Kes : Tampak sakit ringan /Composmentis

Status mental : tenang Status mental : Tenang

Tanda-tanda vital : Tanda-tanda vital :

TD : 120/70mmHg TD : 120/80 mmHg

Nadi : 80x/menit Nadi : 80x/menit

RR : 24x/menit RR : 20x/menit

Suhu : 36.3OC Suhu : 36OC

Kepala : normocephal Kepala : normocephal

Mata: Konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik Mata: Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik +/+
+/+
Telinga : liang telinga lapang, sekret -/-.
Telinga : liang telinga lapang, sekret -/-
Hidung : sekret (-), NCH (-)
Hidung : sekret (-), NCH (-)
Mulut: mukosa bibir lembab
Mulut: mukosa bibir lembab
Leher : Pembesaran KGB (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)

9
Thorax : Thorax :

BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-). BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-).

SN Vesikuler, Rhonki (-), Wheezing(-). SN Vesikuler, Rhonki (-), Wheezing(-).

Abdomen : datar, supel, hepar tidak teraba, lien Abdomen : datar, supel, hepar tidak teraba, lien
teraba di schuffner IV teraba di scuffner IV

Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-) CRT < Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-) CRT <
2” 2”

A Thalasemia β mayor Thalasemia β mayor

P - Tranfusi PRC I 500cc - Tranfusi PRC II 500cc


- Premedikasi: Dexamethasone 1 Amp (5 - Ferriprox 500mg 2-2-3
mg/mL) - Cek DL post transfusi, SI, TIBC, Fungsi
hati (SGOT-SGPT), Bilirubin total,
direk, indirek

IX. Prognosis

- Quo ad vitam : Dubia ad Malam

- Quo ad Functionam : Dubia ad Malam

- Quo ad Sanationam : Dubia ad Malam

10
BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Definisi Thalasemia
Thalassemia adalah ketidakadaan atau kekurangan produksi satu atau lebih
rantai globin dari hemoglobin. (George, E. 1994)
Thalassemia adalah sekelompok heterogen anemia hipokromik herediter
dengan berbagai derajat keparahan. (Nelson, 1996)
Thalassemia adalah penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal resesif
menurut hukum Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Thalassemia adalah
grup kelainan sintesis hemoglobin yang heterogen akibat pengurangan produksi satu
atau lebih rantai globin. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai
globin. Ketidakseimbangan rantai globin pada thalassemia akan mempengaruhi
kegagalan eritropoeisis dan mempercepat pengrusakan eritrosit.
Penyakit thalassemia meliputi suatu keadaan penyakit dari gelaja klinis yang
paling ringan (bentuk heterozigot) yang disebut thalassemia minor atau thalassemia
trait (carrier = pengemban sifat) hingga yang paling berat (bentuk homozigot) yang
disebut thalassemia mayor. Bentuk heterozigot diturunkan oleh salah satu orang
tuanya yang mengidap penyakit thalassemia, sedangkan bentuk homozigot diturunkan
oleh kedua orang tuanya yang mengidap penyakit thalassemia.

Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel
darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120
hari). Akibatnya penderita thalasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya

11
pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi
berulang.

B. Epidemiologi
Di seluruh dunia, 15 juta orang memiliki presentasi klinis dari thalassemia.
Fakta ini mendukung thalassemia sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak;
menyerang hampir semua golongan etnik dan terdapat pada hampir seluruh negara di
dunia.
Thalassemia β memiliki distribusi sama dengan thalassemia α. Dengan
pengecualian di beberapa Negara, frekuensinya rendah di Afrika, tinggi di
Mediterania dan bervariasi di Timur Tengah, India dan Asia Tenggara. Penyakit
thallassemia ini tersebar luas di daerah mediteranian seperti Itali, Yunani, Afrika
bagian Utara, Kawasan Timur Tengah, India Selatan, Sri Langka sampai kawasan
Asia Tenggara. Frekuensi thallassemia di Asia Tenggara antara 3-9% (Tjokronegoro,
2001).
Untuk thallassemia alfa di daerah perbatasan Muang Thai dan Laos
frekuensinya sekitar 30-40%, kemudian tersebar dalam frekuensi yang lebih rendah di
Asia tenggara termasuk Indonesia. (Tjokronegoro, 2001). Jumlah penderita
thalassemia di Indonesia hingga tahun ini naik 8,3 persen dari total 3.653 penderita
yang tercatat selama tahun 2006.

C. Etiologi Thalasemia
Thalasemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein
yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin sebagaimana mestinya. Hemoglobin
merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah dan berfungsi
sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh yang
membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi hemoglobin berkurang atau tidak
ada, maka pasokan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh tidak dapat
terpenuhi, sehingga fungsi tubuh pun terganggu dan tidak mampu lagi menjalankan
aktivitasnya secara normal.
Ketidakseimbangan dalam rantai protein hemoglobin alfa dan beta, yang
diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang
diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua

12
orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi
pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
1) Gangguan genetik
Orang tua memiliki sifat carier (heterozygote) penyakit thalasemia sehingga
klien memiliki gen resesif homozygote.

2) Kelainan struktur hemoglobin


Menurut kelainan pada rantai Hb juga, thalasemia dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu
: thalasemia alfa (penurunan sintesis rantai alfa) dan beta (penurunan sintesis rantai beta).

3) Produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu.
Defesiensi produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai α dan β

4) Terjadi kerusakan sel darah merah (eritrosit) sehingga umur eritrosit pendek
(kurang dari 100 hari). Struktur morfologi sel sabit (thalasemia) jauh lebih rentan
untuk rapuh bila dibandingkan sel darah merah biasa.
Hal ini dikarenakan berulangnya pembentukan sel sabit yang kemudian
kembali ke bentuk normal sehingga menyebabkan sel menjadi rapuh dan lisis.

D. Patofisiologi
Thalassemia adalah kelainan herediter dari sintesis Hb akibat dari gangguan
produksi rantai globin. Penurunan produksi dari satu atau lebih rantai globin tertentu
(α,β,γ,δ) akan menghentikan sintesis Hb dan menghasilkan ketidakseimbangan
dengan terjadinya produksi rantai globin lain yang normal.
Karena dua tipe rantai globin (α dan non-α) berpasangan antara satu sama lain
dengan rasio hampir 1:1 untuk membentuk Hb normal, maka akan terjadi produksi
berlebihan dari rantai globin yang normal dan terjadi akumulasi rantai tersebut di
dalam sel menyebabkan sel menjadi tidak stabil dan memudahkan terjadinya destruksi
sel. Hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, mengandung zat besi (Fe).
Kerusakan sel darah merah pada penderita thalasemia mengakibatkan zat besi akan
tertinggal di dalam tubuh. Pada manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh
digunakan untuk membentuk sel darah merah baru.
Tipe thalassemia biasanya membawa nama dari rantai yang tereduksi. Reduksi
bervariasi dari mulai sedikit penurunan hingga tidak diproduksi sama sekali (complete

13
absence). Sebagai contoh, apabila rantai β hanya sedikit diproduksi, tipe thalassemia-
nya dinamakan sebagai thalassemia-β+, sedangkan tipe thalassemia-β° menandakan
bahwa pada tipe tersebut rantai β tidak diproduksi sama sekali. Konsekuensi dari
gangguan produksi rantai globin mengakibatkan berkurangnya deposisi Hb pada sel
darah merah (hipokromatik). Defisiensi Hb menyebabkan sel darah merah menjadi
lebih kecil, yang mengarah ke gambaran klasik thalassemia yaitu anemia hipokromik
mikrositik. Hal ini berlaku hampir pada semua bentuk anemia yang disebabkan oleh
adanya gangguan produksi dari salah satu atau kedua komponen Hb : heme atau
globin. Namun hal ini tidak terjadi pada silent carrier, karena pada penderita ini
jumlah Hb dan indeks sel darah merah berada dalam batas normal.
Dalam bentuk yang berat, seperti thalassemia-β mayor atau anemia Cooley,
berlaku patofisiologi yang sama dimana terdapat adanya substansial yang berlebihan.
Kelebihan rantai α bebas yang signifikan akibat kurangnya rantai β akan
menyebabkan terjadinya pemecahan prekursor sel darah merah di sumsum tulang
(eritropoesis inefektif).
Pada penderita thalasemia, zat besi yang ditinggalkan sel darah merah yang
rusak itu menumpuk dalam organ tubuh seperti jantung dan hati (lever). Jumlah zat
besi yang menumpuk dalam tubuh atau iron overload ini akan mengganggu fungsi
organ tubuh. Penumpukan zat besi terjadi karena penderita thalasemia memperoleh
suplai darah merah dari transfusi darah. Penumpukan zat besi ini, bila tidak
dikeluarkan, akan sangat membahayakan karena dapat merusak jantung, hati, dan
organ tubuh lainnya, yang pada akhirnya bisa berujung pada kematian.

E. Patogenesis
Patogenesis thalassemia secara umum dimulai dengan adanya mutasi yang
menyebabkan HbF tidak dapat berubah menjadi HbA, adanya ineffective
eritropoiesis, dan anemia hemolitik. Tingginya kadar HbF yang memiliki afinitas O2
yang tinggi tidak dapat melepaskan O2 ke dalam jaringan, sehingga jaringan
mengalami hipoksia. Tingginya kadar rantai α-globin, menyebabkan rantai tersebut
membentuk suatu himpunan yang tak larut dan mengendap di dalam eritrosit.
Hal tersebut merusak selaput sel, mengurangi kelenturannya, dan
menyebabkan sel darah merah yang peka terhadap fagositosis melalui system fagosit
mononuclear. Tidak hanya eritrosit, tetapi juga sebagian besar eritroblas dalam
sumsum dirusak, akibat terdapatnya inklusi (eritropioesis tak efektif).

14
Eritropoiesis tak efektif dapat menyebabkan adanya hepatospleinomegali,
karena eritrosit pecah dalam waktu yang sangat singkat dan harus digantikan oleh
eritrosit yang baru (dimana waktunya lebih lama), sehingga tempat pembentukan
eritrosit (pada tulang-tulang pipa, hati dan limfe) harus bekerja lebih keras. Hal
tersebut menyebabkan adanya pembengkakan pada tulang (dapat menimbulkan
kerapuhan), hati, dan limfe.

1) Thalasemia-α
Pada homozigot thalassemia α yaitu hydrop fetalis, rantai α sama sekali tidak
diproduksi sehingga terjadi peningkatan Hb Bart’s dan Hb embrionik. Meskipun
kadar Hb-nya cukup, karena hampir semua merupakan Hb Bart’s, fetus tersebut
sangat hipoksik.
Sebagian besar pasien lahir mati dengan tanda-tanda hipoksia intrauterin.
Sedangkan pada thalassemia heterozigot yaitu αo dan α+ menghasilkan
ketidakseimbangan jumlah rantai tetapi pasiennya mampu bertahan dengan penyakit
HbH. Kelainan ini ditandai dengan adanya anemia hemolitik karena HbH tidak bisa
berfungsi sebagai pembawa oksigen.

2) Thalasemia-β
Tidak dihasilkannya rantai β karena mutasi kedua alel β globin pada
thalassemia β menyebabkan kelebihan rantai α. Rantai α tersebut tidak dapat
membentuk tetramer sehingga kadar HbA menjadi turun, sedangkan produksi HbA2
dan HbF tidak terganggu karena tidak membutuhkan rantai β dan justru sebaliknya
memproduksi lebih banyak lagi sebagai usaha kompensasi.
Kelebihan rantai α tersebut akhirnya mengendap pada prekursor eritrosit.
Eritrosit yang mencapai darah tepi memiliki inclusion bodies (heinz bodies) yang
menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi membran sel, akibat pelepasan heme
dari denaturasi hemoglobin dan penumpukan besi pada eritrosit.

15
Gambar 2. Pewarnaan supravital pada sapuan apus darah tepi Penyakit Hb H yang
menunjukkan Heinz-Bodies

Sehingga anemia pada thalassemia β disebabkan oleh berkurangnya produksi


dan pemendekan umur eritrosit. Pada hapusan darah, eritrosit terlihat hipokromik,
mikrositik, anisositosis, RBC terfragmentasi, polikromasia, RBC bernukleus, dan
kadang-kadang leukosit imatur.

F. Macam-Macam Thalasemia
1. Secara molekuler thalasemia dibedakan atas :
a) Alfa – Thalasemia (melibatkan rantai alfa)
Alfa – Thalasemia paling sering ditemukan pada orang kulit
hitam (25% minimal membawa 1 gen). Sindrom thalassemia-α
disebabkan oleh delesi pada gen α globin pada kromosom 16 (terdapat
2 gen α globin pada tiap kromosom 16) dan nondelesi seperti gangguan
mRNA pada penyambungan gen yang menyebabkan rantai menjadi
lebih panjang dari kondisi normal.

Faktor delesi terhadap empat gen α globin dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
Genotip Jumlah gen α Presentasi Klinis Hemoglobin Elektroforesis
Saat Lahir > 6 bulan
αα/αα 4 Normal N N
-α/αα 3 Silent carrier 0-3 % Hb Barts N
--/αα atau 2 Trait thal-α 2-10% Hb Barts N
–α/-α

16
--/-α 1 Penyakit Hb H 15-30% Hb Bart Hb H
--/-- 0 Hydrops fetalis >75% Hb Bart -

1) Delesi pada satu rantai α (Silent Carrier/ α-Thalassemia Trait 2)


Gangguan pada satu rantai globin α sedangkan tiga lokus globin yang ada masih bisa
menjalankan fungsi normal sehingga tidak terlihat gejala-gejala bila ia terkena thalassemia.

2) Delesi pada dua rantai α (α-Thalassemia Trait 1)


Pada tingkatan ini terjadi penurunan dari HbA2 dan peningkatan dari HbH dan terjadi
manifestasi klinis ringan seperti anemia kronis yang ringan dengan eritrosit hipokromik
mikrositer dan MCV 60-75 fl.

3) Delesi pada tiga rantai α (HbH disease)


Delesi pada tiga rantai α ini disebut juga sebagai HbH disease (β4) yang disertai
anemia hipokromik mikrositer, basophylic stippling, heinz bodies, dan retikulositosis.
HbH terbentuk dalam jumlah banyak karena tidak terbentuknya rantai α sehingga rantai
β tidak memiliki pasangan dan kemudian membentuk tetramer dari rantai β sendiri (β4).
Dengan banyak terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami presipitasi dalam
eritrosit sehingga dengan mudah eritrosit dapat dihancurkan. Penderita dapat tumbuh
sampai dewasa dengan anemia sedang (Hb 8-10 g/dl) dan MCV 60-70 fl.

4) Delesi pada empat rantai α (Hidrops fetalis/Thalassemia major)


Delesi pada empat rantai α ini dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya
terdapat banyak Hb Barts (γ4) yang disebabkan juga karena tidak terbentuknya rantai
α sehingga rantai γ membentuk tetramer sendiri menjadi γ4.
Manifestasi klinis dapat berupa ikterus, hepatosplenomegali, dan janin yang
sangat anemis. Kadar Hb hanya 6 g/dl dan pada elektroforesis Hb menunjukkan 80-
90% Hb Barts, sedikit HbH, dan tidak dijumpai HbA atau HbF. Biasanya bayi yang
mengalami kelainan ini akan mati beberapa jam setelah kelahirannya.

17
Gambar 3. Thalassemia alpha menurut hukum Mendel

b) Beta – Thalasemia (melibatkan rantai beta)


Beta – Thalasemia pada orang di daerah Mediterania dan Asia Tenggara.
Thalassemia-β disebabkan oleh mutasi pada gen β globin pada sisi pendek kromosom
11.
1) Thalassemia βo
Pada thalassemia βo, tidak ada mRNA yang mengkode rantai β sehingga tidak
dihasilkan rantai β yang berfungsi dalam pembentukan HbA. Bayi baru lahir dengan
thalasemia β mayor tidak anemis dengan gejala awal pucat mulanya tidak jelas,
biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang
berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Bila penyakit ini tidak segera
ditangani dengan baik, tumbuh kembang anak akan terhambat. Anak tidak nafsu
makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan demam berulang akibat infeksi. (Kapita
selekta kedokteran)
2) Thalassemia β+
Pada thalassemia β+, masih terdapat mRNA yang normal dan fungsional namun
hanya sedikit sehingga rantai β dapat dihasilkan dan HbA dapat dibentuk walaupun
hanya sedikit.

18
Gambar 4. Thalassemia beta menurut Hukum Mendel

1. Secara klinis, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu :


a) Thalasemia Mayor (sifat sifat gen dominan)
Thalasemia mayor merupakan penyakit yang ditandai dengan
kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya, penderita kekurangan
darah merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel
darah merahnya jadi cepat rusak dan umurnya pun sangat pendek, hingga yang
bersangkutan memerlukan transfusi darah untuk memperpanjang hidupnya.
Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di
usia 3-18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa
muncul gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies cooley.
Facies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni batang hidung
masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja
terlalu keras untuk mengatasi kekurangan hemoglobin. Penderita thalasemia
mayor akan tampak memerlukan perhatian lebih khusus. Pada umumnya,
penderita thalasemia mayor harus menjalani transfusi darah dan pengobatan
seumur hidup.

19
Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita thalasemia mayor hanya
dapat bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa sering transfusi darah ini harus
dilakukan lagi-lagi tergantung dari berat ringannya penyakit. Yang pasti,
semakin berat penyakitnya, semakin sering pula si penderita harus menjalani
transfusi darah.
Gejala klinis thalasemia mayor :
i. Tampak pucat dan lemah karena kebutuhan jaringan akan oksigen
tidak terpenuhi yang disebabkan hemoglobin pada thalasemia (HbF) memiliki afinitas
tinggi terhadap oksigen
ii. Facies thalasemia yang disebabkan pembesaran tulang karena
hiperplasia sumsum hebat
iii. Hepatosplenomegali yang disebakan oleh penghancuran sel
darah merah berlebihan, hemopoesis ekstramedular, dan kelebihan beban besi.
iv. Pemeriksaan radiologis tulang memperlihatkan medula yang lebar,
korteks tipis, dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan pada
anak besar kadang-kandang terlihat brush appereance.
v. Hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin menyebabkan
keterlambatan menarche dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder. Selain itu
juga menyebabkan diabetes, sirosis hati, aritmia jantung, gagal jatung, dan
perikarditis.
vi. Sebagai sindrom klinik penderita thalassemia mayor (homozigot)
yang telah agak besar menunjukkan gejala-gejala fisik yang unik berupa hambatan
pertumbuhan, anak menjadi kurus bahkan kurang gizi, perut membuncit akibat
hepatosplenomegali dengan wajah yang khas mongoloid, frontal bossing, mulut
tongos (rodent like mouth), bibir agak tertarik, maloklusi gigi

b) Thalasemia Minor
Individu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun individu hidup
normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau thalasemia minor
tak bermasalah, namun bila ia menikah dengan thalasemia minor juga akan
terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menderita thalasemia mayor.
Pada garis keturunan pasangan ini akan muncul penyakit thalasemia
mayor dengan berbagai ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo
dan sering mengalami pendarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan

20
akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan transfusi
darah di sepanjang hidupnya.
Gejala klinis Thalasemia minor
Penderita yang menderita thalasemia minor, hanya sebagai carrier dan hanya
menunjukkan gejala-gejala yang ringan. Orang dengan anemia talasemia minor
(paling banyak) ringan (dengan sedikit menurunkan tingkat hemoglobin dalam darah).
Situasi ini dapat sangat erat menyerupai dengan anemia kekurangan zat besi
ringan. Namun, orang dengan talasemia minor memiliki tingkat besi darah normal
(kecuali mereka miliki adalah kekurangan zat besi karena alasan lain). Tidak ada
perawatan yang diperlukan untuk thalasemia minor. Secara khusus, besi tidak perlu
dan tidak disarankan.

G. Patofisiologi Gejala Klinis Thalasemia


Gejala yang didapat pada pasien berupa gejala umum anemia yaitu: anemis,
pucat, mudah capek, dan adanya penurunan kadar hemoglobin. Hal ini disebabkan
oleh penurunan fungsional hemoglobin dalam menyuplai atau membawa oksigen ke
jaringan-jaringan tubuh yang digunakan untuk oksidasi sel. Sehingga oksigenasi ke
jaringan berkurang. Selain sebagai pembawa oksigen, hemoglobin juga sebagai
pigmen merah eritrosit sehingga apabila terjadi penurunan kadar hemoglobin ke
jaringan maka jaringan tersebut menjadi pucat.
Penurunan fungsional hemoglobin tersebut dapat disebabkan oleh adanya
kelainan pembentukan hemoglobin, penurunan besi sebagai pengikat oksigen dalam
hemoglobin. Kompensasi tubuh agar suplai oksigen ke jaringan tetap terjaga maka
jantung sebagai pemompa darah berdenyut lebih keras dan sering yang disebut
sebagai takikardia di mana hal ini juga terjadi pada anak (denyut nadi 120 kali/menit,
normal 60-100 kali.menit). Tetapi frekuensi respirasi pasien dalam tahap normal 24
kali/menit (normal 16-24 kali/menit).
Kelainan pembentukan hemoglobin tersebut dapat mengakibatkan adanya
morfologi eritrosit abnormal (mikrositik, Heinz bodies, sel target) sehingga dengan
cepat akan didestruksi oleh limpa dan hati. Peristiwa destruksi eritrosit secara cepat
kurang dari masa hidupnya (120 hari) disebut sebagai hemolisis.
Adanya hemolisis menyebabkan proses perombakan eritrosit secara cepat.
Eritrosit abnormal cepat dihancurkan oleh limpa dan hati dengan bantuan makrofag

21
sehingga semakin banyak eritrosit abnormal maka kerja limpa akan semakin berat.
Hal inilah yang menyebabkan adanya splenomegali.
Adanya hepatomegali dan splenomegali pada pasien dapat mengakibatkan
penurunan imunitas tubuh sehingga tubuh rentan terhadap infeksi mikroorganisme.
Limpa sebagai tempat sintesis limfosit dan sel plasma (bahan antibodi) merupakan
salah satu pertahanan imunitas tubuh. Hati sebagai tempat yang sering dilalui
mikroorganisme patogenik yang akan dihancurkan sebelum memasuki saluran
gastrointestinal.
Kemungkinan pasien mengalami infeksi dimana terdapat tanda-tanda infeksi
pada pasien, yaitu : suhu (38,00C), panas, tonsil membesar dan kemerahan, dan faring
kemerahan. Infeksi ini bisa didapatkan dari mikroorganisme seperti: malaria,
hepatitis, haemophilus, streptococcus, pneumococcus, dll.

A. Stadium Thalassemia
Terdapat suatu sistem pembagian stadium thalassemia berdasarkan jumlah
kumulatif transfusi darah yang diberikan pada penderita untuk menentukan tingkat
gejala yang melibatkan kardiovaskuler dan untuk memutuskan kapan untuk memulai
terapi khelasi pada pasien dengan thalassemia-β mayor atau intermedia. Pada sistem
ini, pasien dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
· Stadium I
○ Merupakan mereka yang mendapat transfusi kurang dari 100 unit Packed
Red Cells (PRC). Penderita biasanya asimtomatik, pada echokardiogram (ECG) hanya
ditemukan sedikit penebalan pada dinding ventrikel kiri, dan elektrokardiogram
(EKG) dalam 24 jam normal.
· Stadium II
○ Merupakan mereka yang mendapat transfusi antara 100-400 unit PRC dan
memiliki keluhan lemah-lesu. Pada ECG ditemukan penebalan dan dilatasi pada
dinding ventrikel kiri. Dapat ditemukan pulsasi atrial dan ventrikular abnormal pada
EKG dalam 24 jam
· Stadium III
○ Gejala berkisar dari palpitasi hingga gagal jantung kongestif, menurunnya
fraksi ejeksi pada ECG. Pada EKG dalam 24 jam ditemukan pulsasi prematur dari
atrial dan ventrikular.

H. Diagnosis Thalasemia
1) Anamnesis

22
Keluhan timbul karena anemia yaitu pucat, gangguan nafsu makan, gangguan
tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran lien dan hati. Pada
umumnya keluh kesah ini mulai timbul pada usia 6 bulan
2) Pemeriksaan fisis
a. Pucat
b. Bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
c. Dapat ditemukan ikterus
d. Gangguan pertumbuhan
e. Splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut
membesar

Gambar 5. Deformitas tulang pada thalassemia beta mayor (Facies


Cooley)

3) Pemeriksaan penunjang
a. Darah tepi
Hb rendah dapat sampai 2-3 g/dl
Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target,
anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi,
basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target.
Gambaran ini lebih kurang khas.
Retikulosit meningkat.

b. Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis)

23
Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak
dari jenis asidofil.
Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.

c. Pemeriksaan khusus :
Hb F meningkat : 20%-90% Hb total
Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar
Hb F.
Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia
mayor merupakan trait (carrier) dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb
total)
4) Pemeriksaan lain
o Foto Ro tulang kepala;
Gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan
trabekula tegak lurus pada korteks.
o Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang;
Perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.
o Pemeriksaan Ultrasonografi
Memperlihatkan adanya perubahan pada organ retikuloendotelial sel
berupa hepatomegali atau hepatosplenomegali. Dapat pula mendeteksi adanya
batu kandung empedu sebagai salah satu akibat komplikasi thalassemia.
Deteksi dini intrauterine juga dapat dilakukan dengan menggunakan sonografi,
dimana gambaran peningkatan ketebalan plasenta pda fetus muncul di awal
gestasi. Peningkatn ketebalan plasenta lebih dari 2 SD (standar Deviasi) di atas
normal mempunyai nilai prediktif untuk penyakit ini dengan sensitifitasnya 72
% sebelum 12 minggu masa gestasi dan 97 % sesudah 12 minggu masa
gestasi.
o CT - Scan
Modalitas ini dapat memperlihatkan kandungan besi yang berlebihan
(hemosiderosis) pada penderita thalassemia dengan mendeteksi peningkatan
densitas hepar.Juga dapat memperlihatkan peningkatan densitas lien, pankeas,
glandula adrenal serta kelenjar getah bening.
o MRI

24
Dapat mengevaluasi deposit besi di dalam hepar dan organ lain serta
perubahan anatominya akibat hemopoesis ekstramedular.

Faktor Resiko Penderita Thalasemia


1) Anak dengan orang tua yang memiliki gen thalassemia
2) Resiko laki-laki atau perempuan untuk terkena sama
3) Thalassemia Beta mengenai orang asli dari Mediterania atau ancestry
(Yunani, Italia, Ketimuran Pertengahan) dan orang dari Asia dan Afrika Pendaratan.
4) Alfa thalassemia kebanyakan mengenai orang tenggara Asia, Orang
India, Cina, atau orang Philipina.

I. Penatalaksanaan dan Pencegahan pada Penderita Thalasemia

Penderita trait thalassemia tidak memerlukan terapi ataupun perawatan lanjut


setelah diagnosis awal dibuat. Terapi preparat besi sebaiknya tidak diberikan kecuali
memang dipastikan terdapat defisiensi besi dan harus segera dihentikan apabila nilai
Hb yang potensial pada penderita tersebut telah tercapai. Diperlukan konseling pada
semua penderita dengan kelainan genetik, khususnya mereka yang memiliki anggota
keluarga yang berisiko untuk terkena penyakit thalassemia berat.
Penderita thalassemia berat membutuhkan terapi medis, dan regimen transfusi
darah merupakan terapi awal untuk memperpanjang masa hidup. Transfusi darah dan
pemberian tambahan asam folat harus dimulai pada usia dini ketika anak mulai
mengalami gejala dan setelah periode pengamatan awal untuk menilai apakah anak
dapat mempertahankan nilai Hb dalam batas normal tanpa transfusi. Penderita yang
menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat
oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan
keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan
sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
Pada penatalaksanan pada pasien harus melakukan pertimbangan aspek
ekonomi, sosial, dan budaya pasien. Untuk memberikan terapi senantiasa meminta
persetujuan dari pasien.

1. Medikamentosa

 Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin


serum sudah mencapai 1000 g/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20
kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan
melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut
setiap selesai transfusi darah.

25
 Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek
kelasi besi.
 Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
 Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel
darah merah.

2. Bedah

Splenektomi dilakukan dengan indikasi:

 limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan


peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur
 hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun

Gambar 6. Splenektomi

 Transplantasi Sel Sel Hematopoetik


TSSH merupakan satu-satunya yang terapi kuratif untuk thalassemia yang saat ini
diketahui. Prognosis yang buruk pasca TSSH berhubungan dengan adanya hepatomegali,

26
fibrosis portal, dan terapi khelasi yang inefektif sebelum transplantasi dilakukan.
Prognosis bagi penderita yang memiliki ketiga karakteristik ini adalah 59%, sedangkan
pada penderita yang tidak memiliki ketiganya adalah 90%. Meskipun transfusi darah
tidak diperlukan setelah transplantasi sukses dilakukan, individu tertentu perlu terus
mendapat terapi khelasi untuk menghilangkan zat besi yang berlebihan.

3. Suport

Transfusi darah :

Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi,
dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian
darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1
g/dl.

PEMANTAUAN

Berdasarkan riset, 64.1 % penderita talasemia termasuk gizi kurang, 22.7 %


gizi baik, dan 13.2 % gizi buruk. Gangguan pertumbuhan pada penderita talasemia
disebabkan banyak faktor, antara lain :

- hormonal, akibat hemokromatiosis kelenjar endokrin


- hipoksia jaringan akibat anemia
- defisiensi mikronutrien, terutama Zn
- Genetik
- Lingkungan
- Nutrisi

Terapi

 Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi
sebagai akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah berulang.
 Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar
bernapas. Bila hal ini terjadi kelasi besi dihentikan.

27
Pencegahan
Pencegahan thalassemia atau kasus pada pasien ini dapat dilakukan dengan
konsultasi pra nikah untuk mengetahui apakah diantara pasutri ada pembawa gen
thalassemia (trait), amniosentris melihat komposisi kromosom atau analisis DNA
untuk melihat abnormalitas pada rantai globin. Dapat dilakukan skrining premarital
dengan menggunakan pedigree. Atau bisa juga dilakukan pemeriksaan terhadap setiap
wanita hamil berdasar ras, melalui ukuran eritrosit, kadar Hb A2 (meningkat pada
thalassemia-β). Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa menganalisis
rantai α.
1. Pencegahan primer
Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah
perkawinan di antara penderita talasemia agar tidak mendapat keturunan yang
homozigot atau varian-varian talasemia dengan mortalitas tinggi.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bayi homozigot dari pasangan suami istri dengan
talasemia heterozigot. Salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan
sperma berasal dari donor yang bebas talasemia trait. Kelahiran kasus homozigot
terhindar, tetapi 50% dari anak yang lahir adalah carrier seperti ibunya sedangkan
50% lainnya normal. Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion
merupakan suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot
intrauterin sehingga dapat dilakukan tindakan abortus provokatus.

J. Prognosis
Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari thalassemia.
Seperti dijelaskan sebelumnya, kondisi klinis penderita thalassemia sangat bervariasi
dari ringan bahkan asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa.

28
BAB III
ANALISA KASUS

Penegakan diagnosis pada pasien ini didapatkan dari anamnesis yang menunjukan
adanya tanda- tanda anemia yaitu tampak pucat dan lemas dan mudah letih. Pasien
mengatakan sering lemas dan pusing. Hal ini disebabkan pada seorang penderita thalasemia
terjadi destruksi sel darah merah secara cepat yang menyebabkan ketidakadekuatan sirkulasi
Hb dalam jaringan sehingga perfusi menjadi terganggu dan menjadikan pasien mengalami
gejala-gejala anemia seperti lemah, pucat dan pusing.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan normoweight. Dilihat dari pemeriksaan status generalis
lainnya didapatkan raut muka pasien facies coley (+) yang disebabkan akibat adanya
hiperplasia masif pada sumsum tulang sehingga terjadi ekspansi pada sumsum tulang wajah
dan cranium dan terjadi perubahan bentuk wajah. Konjungtiva terlihat anemis (+/+) serta
sklera ikterik (+/+). Pemeriksaan abdomen didapatkan adanya pembesaran limpa sesuai
dengan schuffner IV tanpa disertai adanya pembesaran hati. Ekstremitas didapatkan akral
hangat, tidak adanya edema ataupun sianosis.

Diagnosis thalasemia juga didukung dari pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan
darah lengkap. Dan didapatkan anemia mikrositik hipokromik dengan menghitung kadar MCV dan MCH,
didapatkan hasil kadar MCV 61 fL yang menggambarkan mikrositik dan kadar MCH 20 pg yang
menggambarkan hipokromik. Adanya gambaran anemia mikrositik hipokromik merupakan gambaran darah
tepi dari thalassemia. Pemeriksaan kadar feritin juga sebenarnya harus dilakukan untuk menentukan perlu
tidaknya pasien mendapatkan terapi kelasi besi. Yang pada pasiem ini yaitu >1200.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah penatalaksanaan suportif yaitu dexamethasone
1 ampul untuk premedikasi. Serta kelasi besi yaitu pada pasien ini Ferriprox 3 x dengan dosis
2-2-3. Pada thalasemia terjadi perubahan susunan dan fungsi membran eritrosit yang
menyebabkan mudah lisisnya eritrosit. Selain itu pada pasien ini juga sempat diberikan
transfusi PRC 1000cc selama 2 kali untuk mencapai kadar Hb tetap pada 9-9.5 gr/dl
sepanjang waktu

29
Daftar Pustaka

Almatsier S. Vitamin. Dalam: Prinsip dasar ilmu gizi. Edisi pertama. Jakarta: Pt. Gramedia
Pustaka Utama; 2001.h.167-73.

Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Edisi ke-15. Jakarta :
EGC ; 1996

Herdata, Heru Noviat. 2/9/2008. Thalassemia.


http://ebookfkunsyiah.wordpress.com/2008/09/02/thalassemia/

Orkin SH, Nathan DG, Ginsburg D, Look AT, Fisher DE, Lux SE. Hematology of infancy
and childhood book II. 7th ed. Philadelphia: 2009.

Kenichi Takeshida, MD, Adjunct Associate Professor, Department of Medicine, Division of


Hematology, New York University School of Medicine; Medical Director, Clinical Research
and Development, Celgene.24/8/2009. Thalasemia Beta.
http://emedicine.medscape.com/article

Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wahyu IW dan setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran,


Jilid 2 Edisi 3, Jakarta: Media aesculapius, 2001. 497-498

Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M. Buku ajar hematologi-
onkologi anak. 3rd ed. Badan Penerbit IDAI: 2010.

Samer A Bleibel, MD, Staff Physician, Department of Internal Medicine, Wayne State
University, St John's Hospital and Medical Centers.26/8/2009. Thalasemia Alpha.
http://emedicine.medscape.com/article

Yaish HM. Thalassemia. July 29, 2009 (cited December 5, 2009). Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/958850-followup

30

You might also like