You are on page 1of 15

BAB 1

PENDAHULUAN

Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan di mana usus gagal / tidak
mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik
ini bukan suatu penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit
primer, tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-
obatan yang dapat mempengaruhi kontraksi otot polos usus.1,2
Gerakan peristaltik merupakan suatu aktivitas otot polos usus yang
terkoordinasi dengan baik diatur oleh neuron inhibitory dan neuron exitatory dari
sistim enteric motor neuron. Kontraksi otot polos usus ini dipengaruhi dan
dimodulasi oleh berbagai faktor seperti sistim saraf simpatik – parasimpatik,
neurotransmiter (adrenergik, kolinergik, serotonergik,dopaminergik, hormon
intestinal, keseimbangan elektrolit dan sebagainya.1,2
Ileus paralitik hampir selalu dijumpai pada pasien pasca operasi abdomen.
Keadaan ini biasanya hanya berlangsung antara 24-72 jam. Beratnya ileus paralitik
pasca operasi bergantung pada lamanya operasi/narkosis, seringnya manipulasi
usus dan lamanya usus berkontak dengan udara luar. Pencemaran peritoneum oleh
asam lambung, isi kolon, enzim pankreas, darah, dan urin akan menimbulkan
paralisis usus. Kelainan retroperitoneal seperti hematoma retroperitoneal, terlebih
lagi bila disertai fraktur vertebra sering menimbulkan ileus paralitik yang berat.1,2

1
BAB II
ILEUS PARALITIK

A. Definisi
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan di mana usus gagal / tidak
mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik
ini bukan suatu penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit
primer, tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-
obatan yang dapat mempengaruhi kontraksi otot polos usus.1,2
B. Epidemiologi
Ileus paralitik paling banyak disebabkan oleh pascaoperasi abdomen yaitu
sekitar 50%. Ileus paralitik hampir selalu dijumpai pada pasien pasca operasi
abdomen. Keadaan ini biasanya hanya berlangsung antara 24-72 jam. Beratnya
ileus paralitik pasca operasi bergantung pada lamanya operasi/narkosis, seringnya
manipulasi usus dan lamanya usus berkontak dengan udara luar.2,3
C. Etiologi dan Faktor Resiko
Ileus paralitik merupakan bukan penyakit primer. Penyakit/ keadaan yang
menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan ,yaitu:3,4

Kausa Penyakit

 Pasca operasi
 Kerusakan medulla spinalis
Neurologik
 Keracunan timbal kolik ureter
 Iritasi persarafan splanknikus
 Pankreatitis

 Gangguan keseimbangan elektrolit


(terutama hypokalemia)
 Uremia
Metabolik  Komplikasi DM
 Penyakit sistemik seperti SLE,

2
Multiple sclerosis

 Narkotik
 Antikolinergik
Obat-obatan
 Ketokolamin
 Fenotiasin
 Antihistamin

Infeksi  Pneumonia
 Empyema
 Urosepsis
 Peritonitis
 Infelso sistemik berat lainnya

Cardiorespirasi  Penyakit Jantung koroner

D. Patofisiologi
Mekanisme ileus yang terlibat pada ileus paralitik dapat bersifat neurogenik,
miogenik atau humoral1. Ketiga faktor tersebut dapat menghambat secara
berlebihan maupun kurangnya rangsangan terhadap aktivitas otot pada usus.
Sebagian besar kasus berhubungan dengan substansi di pembuluh darah,
sedangkan mekanisme yang lain adalah mekanisme reflex dan kegagalan fungsi
otot.2,3,5
Tiga sistem saraf berperan dalam mengataur motilitas gastrointestinal yaitu
sistem saraf simpatik dan parasimpatik yang mengatur motilitas dan sistem
saraf intrinsik. Saraf parasimpatik meningkatkan motilitas dan saraf simpatik
menghambatnya. Ileus paralitik mungkin terjadi karena peningkatan aktivitas
saraf simpatik yang berkepanjangan. Hormon-hormon dapat bekerja lokal atau
melakukan fungsinya dari jauh melalui aliran darah. Kerusakan atau gangguan
pada reflex-refleks neural yang menentukan motilitas usus yang terkoordinir
dan atau kejadian inflamasi otot-otot intestinal dianggap merupakan pusat dari
patogenesis ileus yang dipicu tindakan manipulasi usus,sedangkan yang

3
diakibatkan bukan oleh manipulasi mungkin jauh lebih kompleks.5
Kadar serotonin plasma yang tinggi ditemukan pada kasus obstruksi
mekanik akut yang berhubungan dengan iskemik usus yang diduga,berkaitan
dengan kongesti vascular, tetapi tidak dijumpai pada kasus ileus paralitik.5
Namun begitu, mekanisme dari berbagai penyakit yang mendasari
terjadinya ileus paralitik masih misterius, kompleks dan jarang dapat
dimengerti. Terapi dapat berhasil apabila kita mengatasi penyakit yang
mendasari terjadinya ileus paralitik. Oleh karena itu, kita perlu mengenal
penyakit-penyakit tersebut. Di sini akan dibahas beberapa penyakit atau
keadaan yang mendasari terjadinya ileus paralitik.5
1. Hipokalemia
Hipokalemi adalah salah satu gangguan elektrolit yang paling sering
pada diare akut. Hipokalemi adalah suatu keadaan di mana konsentrasi
plasma < 3,5 mmol/L sebagai akibat dari satu atau lebih faktor berikut
ini: berkurangnya intake, masuknya kalium ke dalam sel, meningkatnya
pengeluaran kalium. Gejala hipokalemi jarang muncul kecuali
konsentrasi plasma < 3 mmol/L. Gejala-gejala tersebut adalah fatigue,
mialgia, kelemahan otot, dari ektremitas bawah yang merupakan akibat
dari lebih negatifnya resting membrane potential. Hipokalemi yang
lebih berat dapat berakibat kelemahan yang progresif, hipoventilasi, dan
kadang paralisis komplit. Salah satu manifestasi klinis yang berat pada
hipokalemi adalah ileus paralitik. Hal ini dikarenakan fungsi otot halus
yang terpengaruh kurangnya kadar kalium dan sebagai manifestasinya
adalah ileus paralitik.5
2. Diabetes Melitus
Pasien dengan diabetes sering mengalami diare maupun konstipasi.
Penyebab konstipasi dapat bersifat multifaktorial pada pasien diabetes.
Namun patofisiologinya belum diketahui secara jelas. Secara patologi,
pada pasien diabetes dapat terjadi demielinisasi nervus vagus proksimal
dan nervus simpatik yang mensyarafi usus. Waktu pengosongan
lambung diperpanjang sebagai akibat dari neuropati otonom yang terjadi

4
secara sekunder pada hiperglikemia, sedangkan hiperglikemia sendiri
dapat menyebabkan gangguan motilitas usus, namun hubungan secara
jelas dengan dismotilitas usus pada pasien diabetes masih belum dapat
diketahui.5
3. Hipotiroid
Ileus paralitik pada hipotiroidisme diduga merupakan suatu
neuropati otonom yang mempengaruhi syaraf di kolon. Laporan
mengenai hal ini pertama kali dibuat oleh Bastenie(1946) yang
mengemukakan hipotesisnya bahwa deposisi material miksedematosa
pada serat otot di intestinal berinterferensi dengan ganglia otonom.
Beberapa penulis berasumsi bahwa mekanisme ileus paralitik pada
hipotiroid adalah neuropati otonom seperti halnya neuropati perifer
yang sering ditemukan pada hipotiroidisme.5
Pada dismotilitas intestinal pada penyakit tiroid, ditemukan
abnormalitas pada kontrol elektrik intrinsik dari aktivitas motor usus.
Pada pasien hipotiroid frekuensi slow waves pada duodenum
menurun11. Hal ini mungkin adalah salah satu sebab dari menurunnya
motilitas usus dan waktu transit pada usus halus menjadi memanjang.
Pada studi manometrik pada satu pasien ditemukan adanya penurunan
dari amplitude kontraksi usus halus dan menurunnya motilitas usus
secara keseluruhan. Pada pasien dengan hipotiroid berat, dapat terjadi
ileus paralitik dan pseudoobstruksi intestinal. Abnormalitas tersebut
dapat kembali ke normal setelah koreksi dari disfungsi tiroid yaitu
dengan cara memberikan terapi hormon pengganti yang adekuat.5
4. Ileus paralitik post operatif
Ileus paralitik adalah masalah yang menjadi penyebab utama dari
memanjangnya masa perawatan di rumah sakit post operasi. Pada ileus
paralitik post operatif ini, terjadi gangguan pada sistem syaraf otonom
yang melibatkan hiperaktivitas simpatetik, gangguan sistem syaraf
enterik, inflamasi yang menyebabkan infiltrasi makrofag dan neutrofil
serta mediator inflamasi lain, serta sejumlah obat anestesi umum(seperti

5
halotan dan enfluran) dan penggunaan anti nyeri opiate.5,6

Patofisiologi ileus paralitik postoperasi

E. Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan pasien tergantung pada waktu perkembangan ileus terjadi,
penyakit yang mendasari, komplikasi dan faktor penyerta. Pasien dapat
mengeluh perut kembung (oleh karena distensi abdomen), anoreksia, mual
dan obstipasi dan mungkin disertai muntah.2,5
Nyeri abdomen yang tidak begitu berat namun bersifat kontinu dan
lokasi nyeri yang tidak jelas adalah karakteristik keluhan pasien ileus.
Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan untuk mendeteksi adanya
kemungkinan miopati atau neuropati yang disebabkan oleh penyakit
herediter.2,3,5
2. Pemeriksaan fisik
 Inspeksi
Pasien biasanya berbaring dengan tenang, didapatkan adanya distensi
abdomen.3,5
 Auskultasi

6
Auskultasi harus dilakukan secara cermat oleh karena dapat
ditemukan bising usus yang lemah, jarang, dan bahkan dapat tidak
terdengar sama sekali. Dapat terdengar low pitched gurgle, suara
berdenting yang lemah yang kadang dapat dicetuskan dengan cara
menepuk perut pasien, atau dapat terdengar suara air
bergerak(succusion splash) saat pasien berpindah posisi.1,5
 Palpasi
Pada palpasi, pasien menyatakan perasaan tidak enak pada perut dan
tidak dapat menunjuk dengan jelas lokasi nyeri. Tidak ditemukan
adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif).5
 Perkusi
Pada pemeriksaan perkusi abdomen dapat ditemukan perkusi
timpani.2,5

Pemeriksaan fisik perlu dilakukan secara berulang karena komplikasi


dapat timbul seiring waktu berjalan sehingga dapat terjadi perubahan hasil
pemeriksaan fisik. Demam, hipotensi, atau tanda-tanda sepsis merupakan
tanda bahaya akan terjadinya komplikasi yang mengancam jiwa.5

3. Pemeriksaan penunjang
1. Labratorium
Pemeriksaan laboratorium pada ileus paralitik sangat penting
dilakukan karena gangguan metabolic dan elektrolik dapat
menyebabkan ileus paralitik. Pemeriksaan yang perlu dilakukan :7
 Darah rutin : Hb, Ht, RBC, WBC
 Evaluasi serum elektrolit : K, Ca, Mg. Untuk mengidentifikasi
ketidakseimbangan elektrolit.
 Kimia darah :
 Fungsi ginjal : urea-nitrogen dan kreatinin
 Fungsi hati dan pancreas : Gula darah, bilirubin, SGOT,
SGPT, kolesterlol, trigliserida, amilase, dan lipase.

7
2. Radiolgi
Pemeriksaan radiologi sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis, membedakan ileus paralitik dengan ileus obstruksi, dan untuk
memahami penyebabnya. Sebagai awal, dapat dilakukan pemeriksaan
foto abdomen polos dengan posisi supine dan tegak. Untuk
membedakan ileus paralitik dan ileus obstruksi, perlu diperhatikan
derajat distensi abdomen, volume cairan dan gas intraluminal Pada ileus
paralitik akan ditemukan distensi lambung, usus halus dan usus besar
oleh karena terdapat kelainan pada akumulasi gas dan cairan, namun
akumulasi gas dan cairan pada ileus paralitik tidak sebanyak pada
obstruksi intestinal.5,7,8
Selain itu gas lebih banyak terdapat di kolon loop dari distensi usus
ringan dan dapat terlihat di sebelah atas atau berdekatan dengan lokasi
proses inflamatorik misalnya pada pankreatitis. Loop ini disebut juga
sentinel loops1 . Air fluid level berupa suatu gambaran line up (segaris).
Selain itu terdapat gambaran stepladder pattern.5
Pemeriksaan dengan CT-Scan terutama diperlukan untuk
membedakan ileus dengan penyebab lain dari nyeri abdomen akut non-
traumatik.5
Pemeriksaan dengan manometri usus halus dapat menyediakan
informasi tambahan mengenai pola motilitas yang mendasari seperti
miopati, neuropati atau obstruksi. Jika manometri menunjukkan pola
kontraktil normal dengan kontraksi amplitudo rendah cenderung
merupakan tanda dari penyakit yang didasari oleh masalah miogenik.
Namun karena kegunaan klinisnya masih belum jelas, pemeriksaan ini
belum digunakan secara rutin dan perlu diadakan evaluasi lagi.5
Ekg dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya hypokalemia pada
ileus paraalitik. Ultrasonography dapat dilakukan jika kecurigaan ileus
paralitik karena pankreatitis, cholesystisis, dan abses hepar.5

8
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien ileus paralitik yang paling penting adalah
mengobati penyakit yang mendasar. Sampai saat ini tidak ada obat yang dapat
meberikan manfaat dalam motilitas usus pada pasien ileus paralitik.
Mengobati penyakit yang mendasari ileus paralitik tidak mudah. Untuk itu
pada pasien ileus paralitik terapi yang diberikan berupa terapi suportif dan terapi
berdasarka etiologi.7
1. Terapi suportif7
 Keadaan Umum
1) Berikan informasi dan edukasi pada pasien dan keluarga
mengenai terapi yang diberikan seperti pasien harus puasa,
pemasangan Nasogastric Tube. Sehingga pasien dan
keluarga bisa koperatif.
2) Bed rest
3) Berpuasa
4) Memantau tanda-tanda vital (kesadaran, tekanan darah, nadi,
temperature, dan respirasi) setiap 6-8 jam atau 24-48 jam
5) Tambahkan injeksi IV cairan kristaloid (0.9% Nacl atau RL)
untuk keadaan darurat.
6) Pemeriksaan laboratorium berupa darah tepi, guladarah,
ureum, kreatinin, elektrolit, analisa gas darah.
7) Evaluasi urin 24 jam dengan kateter.
8) Monitor EKG untuk mengidentifikasi hypokalemia.7
 Koreksi cairan, elektrolit, dan keseimbangan asam basa
Apabila keadaan umum dan tanda-tanda vital dalam batas
normal. Maka kebutuhan cairan pasien umumnya 2.5-3 liter/hari.
Apabila ada keadaan syok hipokalemi, masukkan cairan (RL/Nacl
0.9%) drips sampai tekanan darah mencapai 100/60 mmHg, setelah
itu IVFD menyusaikan dengan hasil evaluasi kadaan fisik dan hasil
laboratorium pasien.
Jumlah cairan yang dibutuhkan ditentuakn oleh perkiraan

9
isotonik, kebutuhan pemeliharaan harian, dan kehilangan cairan.
Isotonik dapat dihitung dengan membandingkan berat pasien
sebelum sakit. Tingkat dehidrasi diperkirakan dari penurunan berat
badan pasien selama sakit, 4% apabila dehidrasi ringan, 8%
dehidrasi berat. Setengah dari deficit cairan diberikan dalam 24 jam
pertama, sementara sisanya diberikan dalam waktu 24 jam
berikutnya. Kehilangan cairan dari muntah, nasogastric tube, serta
urin 24 jam dipantau untuk menentukan kebutuhan cairan total.
Keadaan asidosis metabolik terjadi karena gangguan asupan
makannan pasien (pasien tidak bisa mentolerir makanan dan
minuman). Kondisi ini dapat diatasi dengan natrium bikarbonat,
dengan cara harus diberikan jika tingkat PH arteri dibawah 7.1.
Apabila terlalu cepat mengkoreksi dengan natrium bikarbonat akan
menyebabkan cairan intraselular akan ke ekstraselular, dan PH
dicairan cerebrospinal akan menururn secara drastis, yang akan
memperparah neurologis pasien. Apabila kekurangan setengah
bikarbonat harus diberikan untuk peningkatan tingkat plasma HCO3
untuk 16 mEq/L 12 jam, sementara 12 jam berturut-turut.7
 Dekompresi abdomen
Dekompresi abdomen bertujuan untuk mengurangi akumulasi
gas disaluran cerna yang berguna untuk :
1. Mengurangi keluhan/nyeri
2. Mengurangi kesulitan bernapas
3. Mengurangi mual dan muntah
4. Mencegah aspirasi muntah ke saluran pernapasan
Dekompresi abdomen dilakukan dengan cara pemasangan
nasogastric tube untuk menghilangkan gas dari sistem pencernaan
atas, dan pseudo-obstruksi usus. Endoskopi/kolonoskopi dilakukan
untuk menghilangkan gas dari usus besar.7
 Total parenteral nutrisi
Total parenteral nutrisi harus segera dilakukan jika ada

10
tanda-tanda malnutrisi (berat badan menurun dan
hipoalbuminemia), atau jika terdapat intoleransi asupan oral selama
7 hari atau lebih.
Kebutuhan kalori pasien dihitung berdasarkan kebutuhan
basal dan persyaratn lainnya. Menurut departemen endokrin
metabolik sub-departement dari ilmu penyakit dalam Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo, basal energy expenditure pada perempuan
25 kalori/KgBB/hari, dan laki-laki 30 kalori/KgBB/hari. Jumlah ini
harus ditambahkan dengan komplikasi lain seperti infeksi (20-30%),
kekurangan gizi (20-30%), demam (10% untuk setiap 1 derajat
celcius). Secara sederhana total parenteral nutrisi diperkirakan 1000-
1500 kalori/hari. Komposisi cairan nutrisi parenteral harus:
karbohidrar:lipid:protein= 50%,30%,20%. Cairan asam amino (3-
4%) dan dextrose (5-10%), dapat diberikan dengan lemak emulsi.7
 Obat-Obatan
Diduga secara kuat bahwa sistem saraf simpatik sangat
bertanggug jawab terjadinya ileus paraltik, maka pemberian obat
inhibitor saraf simpatatik seperti guanetidine, dihydroergotamin,
memiliki sedikit efek pada ileus paralitik post operasi, namun
penggunannya perlu hati-hati karena efek sampingnya yaitu
menyebabkan hipotensi.
Penggunaan obat golongan prokinetik seperti
metoclopramide, atau cisapride telah terbukti tidak efektif dalanm
kasus ileus paralitik
Neostigmin telah lama digunakan untuk mencegah
mempersingkat kejadian ileus post operasi, walaupun kurangnya
bukti efektivitas nesotigmin. 3 x 1 neostigmin/prostigmin vial dapat
diberikan untuk meningkatkan motilitas usus.7

2. Terapi penyakit yang mendasari


 Hipokalemia

11
Hypokalemia sering terjadi atau harus dicurigai dalam kasus
diare kronis/penggunaan bebas diuretik hemat kalium, pasien
paralisis periodik mengalami alkalosis pernapasan.
Terapi dengan KCL intravena, karena pasien dengan ileus
paralitik mentoleransi setiap pemberian oral. Dosis KCl umumnya
tidak lebih 10 mEg/jam per infus. Memberikan lebih dari dosis
dapat menyebabkan iritasi vena dan phlebitis. Serum kalium
dievaluasi setiap 3-6 jam, karena resika terjadi aritmia jantung.
 Hipokalsemia
Hipokalsemia sering dijumpai dalam kasus-kasus
hipoparatirodisme, pseudohypoparathyroidism, pankreatitis akut,
karsinoma medula kelenjar tiroid, kanker prostat, kanker payudara
dengan metastasi osteoblastik, gagal ginjal kronik (retensi fosfat dan
gangguan metabolism Vit D). memberikan cytotoxic pada
lymphoma atau leukemia.
Memberikan 1-2 vial dalam 10 ml gluconil calcium 10% atau
calcium chloride 10% intravena dengan kecepatan lambat (lebih 5
menit) atau diencerkan 3-6 gluconic calcium dalam 500 ml dextrose
5% per infus dengan kecepatan 0,5-2 mg/kgBB/Jam, atau 30-100
ml/jam (tergantung derajat insufisiensi kalsium darah)
meningkatkan kalsium darah 7-8.5 mg/dl. Evaluasi kadar kalsium
darah untuk memonitoring hasil terapi.7
 Hypermagnesemia
Hypermagnesemia sering dijumpai pada gagal ginjal kronik,
pengobatan eclamsia dengan MgSO4, dan penggunanan berlebihan
obat pencahar atau antasida Heart Burn yang mengandung MgSO4,
Mg-Citrate. Terapi diberikan sesuai sesuai dengan fungsi ginjal
pasien, yang dapat diberikan :
 Memberikan cairan NaCl dan diuretik (furosemid) untuk
meningkatkan ekskresi magnesium, atau
 Pemberian cairan intravena kalsium (sebagai Mg antagonis) 500

12
mg kalsium klorida dengan kecepatan 100mg/menit
 Hemodialisa dilakkan pada pasien dengan disfungsi ginjal.7
 Ileus paralitik karena infeksi
Semua jenis infeksi tubuh, utamanya septikema dapat
menyebabkan ileus paralitik. Antibiotik harus diberikan secara
parenteral sesuai dengan jenis mikroba dan hasil tes kepekaan
antibiotik untuk memberikan hasil yang memuaskan.7

13
BAB III
KESIMPULAN
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan di mana usus gagal / tidak
mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik
ini bukan suatu penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit
primer, tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-
obatan yang dapat mempengaruhi kontraksi otot polos usus.
Penatalaksanaan pada pasien ileus paralitik yang paling penting adalah
mengobati penyakit yang mendasar. Sampai saat ini tidak ada obat yang dapat
meberikan manfaat dalam motilitas usus pada pasien ileus paralitik.
Mengobati penyakit yang mendasari ileus paralitik tidak mudah. Untuk itu
pada pasien ileus paralitik terapi yang diberikan berupa terapi suportif dan terapi
berdasarka etiologi.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Djumhana, Ali. Ileus Paralitik.Ilmu Penyakit Dalam.Internal Publishing.


Edisi VI.Jakarta. 2014; Hal 1924-1925.

2. Djumhana, Ali. Ileus Paralitik.Sub Bagian Gastroentero-Hepatologi,Bagian


Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran UNPAD/RS dr.Hasan Sadikin.
Bandung. 2017.

3. MD,Burt Cagir. Postoperative Ileus. Medscape.2016;Available :


http://emidicine.meds.com/article/22421-overview#showall

4. Dairi, Leonardo Basa. Zain, Lukman Hakim. Sembiring, Juwita. DKK.Ileus.


Divisi Gastroenterologi-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumetara Utara. Medan. 2010.

5. Vather, Ryash. O’Grady, Greg. Bissett, Ian P. Dinning, Phill G.


Pathophysiologic, translational and clinical aspects of postoperative ileus-A
review. Departement of surgery. University of Auckland. New Zeland. 2013.
Availabe: http://aups.org.au/Proceedings/44/85-99.

6. Wintery, Elizabeth Merry. Syam, Ari F. Simadibrata, Marcellus. Management


Of Paralityc Ileus. Departement Of Internal Medicine. The Indonesian
Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscpy. Vol 4, N
3. 2003.

7. Lim, Jae Hoon. Intestinal Obstruction. Departement Of Radiology and Center


For Imaging Science. Sungkyunkwan University School Of Medicine. Korea.

15

You might also like