Professional Documents
Culture Documents
Restless Leg Syndrome Maria 2
Restless Leg Syndrome Maria 2
Nama lain:
- Anxietas tibiarum
- Leg jitters
- Asthenia crurum paraesthetica
- Focal akathisia of the legs
- Ekbom syndrome
Definisi
RLS adalah kelainan neurologis yang dikarakteristikkan dengan adanya dorongan yang sangat untuk
menggerakkan ekstremitas yang berhubungan dengan parestesia, yang terjadi pada sebagian atau
seluruh kaki, yang dapat berkurang dengan pergerakan, dan yang biasanya terjadi saat istirahat atau
pada malam hari, yang nantinya dapat menyebabkan timbulnya gangguan tidur.
Epidemiologi
Etiologi
DD
Manifestasi klinis
- Keinginan yang amat sangat untuk menggerakkan kaki karena adanya sensasi yang tidak
nyaman, yang dapat berkurang dengan pergerakan dan biasanya terjadi pasa saat istirahat
atau malam hari. Kebanyakan orang dengan RLS dapat menjelaskan gejala-gejala ini dengan
sangat terperinci.
- Keluhan tipikal yang umum dan dan membuat pasien dengan RLS datang mecari pengobaan
adalah adanya gangguan tidur
- Keluhan dapat membaik jika diberikan terapi dengan levodopa.
- Meningkatnya sensitifitas terhadap rasa nyeri
Laboratorium
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Untuk mendiagnosis RLS pada anak, harus ada 4 kriteria esensial dari orang dewasa yang dipenuhi
yang didapatkan secara autoanamnesis atau setidaknya terdapat 2 kriteria berikut ini:
- Gangguan tidur
- Saudara atau orang tua yang secara biologis memiliki RLS
- Terdapat lebih dari 5 periodik bergeraknya PLM per jam pada waktu tidur
- Dideteksi oleh polysomnography
Patofisiologi
Patogenesis dari RLS sampai saat ini masih belum diketahui. Kebanyakan hipotesa berpusat pada
dopamin dan besi. Beberapa bukti lainnaya juga menghubungkan dengan sistem opiod, mekanisme
spinal cord, hormon seks steroid, neuropati perifer, atau kelainan vaskular.
Ada bukti yang menyatakan berperanan besi dalam RLS, kebanyakan karena terdapatnya defisit besi
pada kasus RLS sekunder (contohnya end stage renal disease, kehamilan, dan defisiensi besi)
Sebagai tambahan, penelelitian yang menggunakan pengukuran cairan serebrospinal, MRI, dan
materi otopsi untuk menentukan status besi pada orang dengan RLS menyimpulkan adanya
kekurangan zat besi pada otak orang dengan RLS. Lebih menariknya lagi, besi adalah kofaktor dari
tyrosine hydroxylase, yang merupakan enzim yang digunakan untuk sintesis dopamin. Oleh karena
itu, besi diperlukan untuk sintesis dopamin dan defisiensi dari besi dapat menyebabkan gangguan
dari produksi dopamin.
Respon positif dari pengobatan dengan mengunakan dopamin dosis rendah dan memburuknya
gejala dengan dopamine release blocker menegaskan adanya peran penting dopamin dalam
patofisiologi dari RLS. Akan tetapi peran dari dopamin ini juga meragukan karena:
Namun, respon neuroendrocrine orang dengan RLS terhadap pemberian levodopa lebih bermakna
jika diberikan pada malam hari dibandingan pada pagi hari. Ini mungkin menyimpulkan adanya
hipersensitivitas pada reseptor dopamin pada malam hari, pada saat gejala RLS terjadi paling
maksimal. Sistem dari dopamin merupakan cicardian expression dari RLS.
Kesimpulannya, respon dari dopaminergic agent mungkin merupakan salah satu karakteristik yang
berhubungan dengan RLS.
Opiate-system
Terlibatnya sistem opiate dalam RLS dikemukan berdasarkan bukti yang adanya efektifitas pada
pengobatan dengan opiate pada orang dengan RLS. Pemberian naloxone kepada pasien yang
diterapi dengan opiate akan mengakibatkan reaktifitas dari gejala RLS. Akan tetapi efek ini tidak
konsisten terdapat pada pasien yang diobati dengan menggunakan dopaminergic-agent. Pemberian
naloxone pada pasien yang tidak diterapi dengan opiate juga tidak menunjukkan adanya
pemburukan pada gejala RLS. Pasien RLS yan belum diobat juga memperlihatkan adanya respon
hormonal yang normal (meningkatnya hGH, cortisol, adrenocorticotropic hormone (ACTH) dengan
pemberian naloxone.
Definisi pada saat ini tidak mengikutsertakan adanya komponen nyeri pada gejala sensoris dari RLS.
Akan tetapi, sensasi nyeri dapat merupakan bagian dari RLS. Dan ada penelitian yang
mengemukakan bahwa terdapat 56-85% pasien dengan RLS yang mendeskripsikan simptom yang
mereka alami sebagai rasa nyeri. Pasien dengan RLS juga diduga mengalami peningkatan sensitivitas
dari nyeri, sebagai contohnya static mechanical hyperalgesia. Menariknya, rasa nyeri ini berkurang
dengan pengobatan levodopa jangka panjang (1 tahun) namun tidak dengan jangka pendek. Akan
tetapi, sensitivitas terhadap rasa nyeri juga berhubungan dengan kualitas tidur yang jelek dan
depresi, slow wave sleep deprivation.
Terdapat suatu penelitian yang juga mengemukakan bahwa pada pemeriksaan dengan
diprenorphine PET tidak ditemukan adanya perbedaan ikatan opioid antara orang dengan RLS dan
kontrol. Akan tetapi, pada grup orang degnan RLS, opioid receptor binding berkaitan dengan
keparanhan dari RLS dan skor rasa nyeri yang dirasakannya. Secara keseluruhan, RLS memberikan
respon terhadap agen opiodergic-agent dan ini memengaruhi rasa nyeri yang dirasakannya.
Keterlibatan spinal cord pada patofisiologi dari RLS didasarkan dari adanya fakta bahwa gejala
sensoris dan motoris terjadi secara bilateral dan terlokalisasi secara segmental pada kebanyakan
kasus. Ada kemungkinan bahwa impuls sensorik dari perifer ke korteks sensorik dipengaruhi oleh
ketinggian dari spinal cord yang terkena atau keabnormalan input itu yang terjadi ppada tingkat
spinal cord yang bersangkutan
Ada beberapa laporan kasus yang mnejelaskan adanya onset baru dari RLS yang berhubungan
dengan bagian temporal dengan adanya kelainan spinal seperti lumbosacral radiculopathy, borrelia
induced myelitis, transverse myelitis, vascular injury of the spinal cord, traumatic lesion or cervical
spondylotic myelopathy. Dan menariknya kebanyak memberikan respon yang positif terhadap terapi
dopamin. Setelah dilakukan anestesi spinal, 9% dari 161 pasien
Terdapat defisit koginif pada orang dengan RLS pada area yang berhubungan dengan attention dan
executive functioning.
Tatalaksana
- Opioid dapat memperparah kondisi ada pasien yang memiliki Sleep Related Breathing
Disorder (SRBD).