You are on page 1of 35

KEPERAWATAN ANAK

“Laporan Pendahuluan Penyakit ISPA”

Disusun Oleh:
Keperawatan B
Kelompok 2
Ulfa Wildana Hasan
70300116051

PRODI KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2018
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Definisi

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut

yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih

14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini

mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin,
2008)

ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari

saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya

seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Nelson, 2003).

Jadi disimpulkan bahwa ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat

infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang

berhubungan dengan pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Muttaqin,

2008).

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan

1. Hidung

Hidung atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai

dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di

dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan

kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung (Syaifuddin, 2006).

Di bagian depan berhubungan keluar melalui nares (cuping hidung)

anterior dan di belakang berhubungan dengan bagian atas farings (nasofaring).

Masing-masing rongga hidung dibagi menjadi bagian vestibulum, yaitu


bagian lebih lebar tepat di belakang nares anterior, dan bagian

respirasi (Graaff, 2010).

Menurut Pearce (2007) permukaan luar hidung ditutupi oleh kulit yang

memiliki ciri adanya kelenjar sabesa besar, yang meluas ke dalam vestibulum

nasi tempat terdapat kelenjar sabesa, kelenjar keringat, dan folikel rambut

yang kaku dan besar. Rambut ini berfungsi menapis benda-benda kasar yang

terdapat dalam udara inspirasi.

Terdapat 3 fungsi rongga hidung :

a. Dalam hal pernafasan = udara yang di inspirasi melalui rongga hidung

akan menjalani 3 proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghanatan, dan

pelembaban.

b. Ephithelium olfactory = bagian meial rongga hidung memiliki fungsi

dalam penerimaan bau.

c. Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukan suara- suara

fenotik dimana ia berfungsi sebagai ruang resonasi.

Menurut Graaff (2010) pada potongan frontal, rongga hidung berbentuk

seperti buah alpukat, terbagi dua oleh sekat (septum mediana). Dari dinding
lateral menonjol tiga lengkungan tulang yang dilapisi oleh mukosa, yaitu:

a. Konka nasalis superior,

b. Konka nasalis medius,

c. Konka nasalis inferior, terdapat jaringan kavernosus atau jaringan erektil

yaitu pleksus vena besar, berdinding tipis, dekat permukaan.

Diantara konka-konka ini terdapat 3 buah lekukan meatus yaitu

meatus superior (lekukan bagian atas), meatus medialis (lekukan bagian

tengah dan meatus inferior (lekukan bagian bawah). Meatus-meatus inilah


yang dilewati oleh udara pernafasan, sebelah dalam terdapat lubang yang

berhubungan dengan tekak, lubang ini disebut koana.

Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas, keatas

rongga hidung berhubungan dengan beberapa rongga yang disebut sinus

paranasalis, yaitu sinus maksilaris pada rongga rahang atas, sinus frontalis

pada rongga tulang dahi, sinus sfenoidalis pada rongga tulang baji dan sinus

etmodialis pada rongga tulang tapis (Syaifuddin, 2006).

Pada sinus etmodialis, keluar ujung-ujung saraf penciuman yang

menuju ke konka nasalis. Pada konka nasalis terdapat sel-sel penciuman, sel

tersebut terutama terdapat di bagianb atas. Pada hidung di bagian mukosa

terdapat serabut-serabut syaraf atau respektor dari saraf penciuman disebut

nervus olfaktorius (Syaifuddin, 2006).

Disebelah belakang konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari

langit-langit terdapat satu lubang pembuluh yang menghubungkan rongga

tekak dengan rongga pendengaran tengah, saluran ini disebut tuba auditiva

eustaki, yang menghubungkan telinga tengah dengan faring dan laring.

Hidung juga berhubungan dengan saluran air mata disebut tuba


lakminaris (Syaifuddin, 2006).

Fungsi hidung, terdiri dari :

a. Bekerja sebagai saluran udara pernafasan

b. Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu

hidung

c. Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa

d. Membunuh kuman-kuman yang masuk, bersama-sama udara pernafasan

oleh leukosit yang terdapat dalam selaput lendir (mukosa) atau hidung.
2. Faring

Tekak atau faring merupakan tempat persimpangan antara jalan

pernapasan dan jalan makanan. Terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang

rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring

dengan organ-organ lain keatas berhubungan dengan rongga hidung, dengan

perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan berhubungan dengan

rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium. Ke bawah

terdapat dua lubang, ke depan lubang laring, ke belakang lubang

esofagus (Syaifuddin, 2006).

Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat

terdapat folikel getah bening. Perkumpulan getah bening ini dinamakan

adenoid. Disebelahnya terdapat 2 buah tonsilkiri dan kanan dari tekak. Di

sebelah belakang terdapat epiglottis (empang tenggorok) yang berfungsi

menutup laring pada waktu menelan makanan (Syaifuddin, 2006).

Menurut Graaff (2010) Faring dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. Nasofaring, yang terletak di bawah dasar tengkorak, belakang dan atas

palatum molle. Pada bagian ini terdapat dua struktur penting yaitu adanya
saluran yang menghubungkan dengan tuba eustachius dan tuba auditory.

Tuba Eustachii bermuara pada nasofaring dan berfungsi menyeimbangkan

tekanan udara pada kedua sisi membrane timpani. Apabila tidak sama,

telinga terasa sakit. Untuk membuka tuba ini, orang harus menelan. Tuba

Auditory yang menghubungkan nasofaring dengan telinga bagian tengah.

b. Orofaring merupakan bagian tengah farings antara palatum lunak dan

tulang hyodi. Pada bagian ini traktus respiratory dan traktus digestif

menyilang dimana orofaring merupakan bagian dari kedua saluran ini.


Orofaring terletak di belakang rongga mulut dan permukaan belakang

lidah. Dasar atau pangkal lidah berasal dari dinding anterior orofaring,

bagian orofaring ini memiliki fungsi pada system pernapasan dan system

pencernaan. refleks menelan berawal dari orofaring menimbulkan dua

perubahan makanan terdorong masuk ke saluran cerna (oesophagus) dan

secara stimulant, katup menutup laring untuk mencegah makanan masuk

ke dalam saluran pernapasan. Orofaring dipisahkan dari mulut oleh

fauces. Fauces adalah tempat terdapatnya macam-macam tonsila, seperti

tonsila palatina, tonsila faringeal, dan tonsila lingual.

c. Laringofaring terletak di belakang larings. Laringofaring merupakan

posisi terendah dari farings. Pada bagian bawah laringofaring system

respirasi menjadi terpisah dari sitem digestif. Udara melalui bagian

anterior ke dalam larings dan makanan lewat posterior ke dalam

esophagus melalui epiglottis yang fleksibel.

3. Laring

Pangkal Tenggorokan (laring) merupakan saluran udara dan bertindak

sebagai pembentukan suara terletak di depan bagian faring sampai ketinggian


vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya. Pangkal

tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut

epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu

kita menelan makanan menutupi laring (Syaifuddin, 2006).

Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara lain:

a. Kartilago tiroid (1 buah) depan jakun sangat jelas terlihat pada pria.

b. Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker

c. Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin


d. Kartilago epiglotis (1 buah).

Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian

epiglotis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis (Syaifuddin, 2006).

Proses pembentukan suara :

Terbentuknya suara merupakan hasil dari kerjasama antara rongga

mulut, rongga hidung, laring, lidah dan bibir. Pada pita suara palsu tidak

terdapat otot, oleh karena itu pita suara ini tidak dapat bergetar, hanya antara

kedua pita suara tadi dimasuki oleh aliran udara maka tulang rawan gondok

dan tulang rawan bentuk beker tadi diputar. Akibatnya pita suara dapat

mengencang dan mengendor dengan demikian sela udara menjadi sempit atau

luas (Syaifuddin, 2006).

Pergerakan ini dibantu pula oleh otot-otot laring, udara yang dari paru-

paru dihembuskan dan menggetarkan pita suara. Getaran itu diteruskan

melalui udara yang keluar – masuk. Perbedaan suara seseorang bergantung

pada tebal dan panjangnya pita suara. Pita suara pria jauh lebih tebal daripada

pita suara wanita (Syaifuddin, 2006)

4. Trakea
Batang Tenggorokan (trakea) merupakan lanjutan dari laring yang

terbentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang

berbentuk seperti kuku kuda. Panjang trakea 9-11 cm dan dibelakang terdiri

dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos. Sebelah dalam diliputi oleh

selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia hanya bergerak

kearah luar (Syaifuddin, 2006).

Trakea terletak di depan saluran esofagus, mengalami percabangan di

bagian ujung menuju ke paru-paru. Yang memisahkan trakea menjadi bronkus


kiri dan kanan disebut karina. Dinding-dinding trakea tersusun atas sel epitel

bersilia yang menghasilkan lendir. Lendir ini berfungsi untuk penyaringan

lanjutan udara yang masuk, menjerat partikel-partikel debu, serbuk sari dan

kontaminan lainnya. Sel silia berdenyut akan menggerakan mukus ini naik ke

faring yang dapat ditelan atau dikeluarkan melalui rongga mulut. Hal ini

bertujuan untuk membersihkan saluran pernapasaan (Graaff, 2010).

5. Bronkus

Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri, bronkus lobaris

kanan ( 3 lobus) dan bronkus lobaris kiri ( 2 bronkus). Bronkus lobaris kanan

terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi

menjadi 9 bronkus segmental. Bronkus segmentalis ini kemudian terbagi lagi

menjadi bronkus subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang

memiliki arteri, limfatik dan saraf (Syaifuddin, 2006).

a. Bronkiolus

Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus. Bronkiolus

mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang

membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan


nafas.

b. Bronkiolus terminalis

Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis

(yang mempunyai kelenjar lendir dan silia).

c. Bronkiolus respiratori

Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respirstori.

Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional antara lain

jalan nafas konduksi dan jalan udara pertukaran gas.


d. Duktus alveolar dan sakus alveolar

Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar

dan sakus alveolar. Dan kemudian menjadi alvioli.

6. Paru-Paru

Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri

dari gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri

dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang

lebih 90 m². Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam

darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini

kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan) (Syaifuddin, 2006).

Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus

(belahan paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior.

Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinistra

lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang

kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah

segmen pada lobus superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paru-paru

kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2


buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen pada lobus inferior.

Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang

bernama lobulus (Syaifuddin, 2006).

Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat

yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat

sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak

sekali, cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada

alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm (Syaifuddin, 2006).


Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah

rongga dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk

paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru

dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu,

yang pertama pleura visceral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru

yang langsung membungkus paru-paru. Kedua pleura parietal yaitu selaput

yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara keadaan normal, kavum

pleura ini vakum (hampa) sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan

juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki

permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding

dada sewaktu ada gerakan bernapas (Syaifuddin, 2006).

Persyarafan penting dalam aksi pergerakan pernapasan disuplai

melalui N. Phrenicus dan N. Spinal Thoraxic. Nervus Phrenicus

mempersyarafi diafragma, sementara N.Spinal Thoraxic mempersyarafi

intercosta. Di samping syaraf-syaraf tersebut, paru juga dipersyarafi oleh

serabut syaraf simpatis dan para simpatis (Pearce, 2007).

Di dalam paru terdapat peredaran darah ganda. Darah yang miskin


oksigen dari ventrikel kanan masuk ke paru melalui arteri pulmonalis. Selain

system arteri dan vena pulmonalis, terdapat pula arteri dan vena bronkialis,

yang berasal dari aorta, untuk memperdarahi jaringan bronki dan jaringan ikat

paru dengan darah kaya oksigen. Ventilasi paru (bernapas) melibatkan otot-

otot pernapasan, yaitu diafragma dan otot-otot interkostal. Selain ini ada otot-

otot pernapasan tambahan eperti otot-otot perut (Graaff, 2010).

Menurut Pearce (2007) volume udara pernafasan terdiri dari:


a. Volume Tidal (VT) : Volume udara yang keluar masuk paru-paru sebagai

akibat aktivitas pernapasan biasa (500 cc).

b. Volume Komplemen (VK) : Volume udara yang masih dapat dimasukkan

secara maksimal ke dalam paru-paru setelah inspirasi biasa (1500 cc)

c. Volume Suplemen (VS) : Volume udara yang masih dapat dihembuskan

secara maksimal dari dalam paru-paru setelah melakukan ekspirasi biasa

(1500 cc)

d. Volume Residu (VR) : Volume udara yang selalu tersisa di dalam paru-

paru setelah melakukan ekspirasi sekuat-kuatnya (1000 cc)

e. Kapasitas Vital (KV) : Volume udara yang dapat dihembuskan sekuat-

kuatnya setelah melakukan inspirasi sekuat-kuatnya (KV = VT + VK +

VS) 3500 cc

f. Kapasitasi Total (KT) : Volume total udara yang dapat tertampung di

dalam paru-paru (KT = KV + VR) 4500 cc

C. Etiologi

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri

penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus,


Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium. Virus penyebab ISPA

antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus,

Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Suhandayani, 2007).

Faktor resiko timbulnya ISPA menurut Dharmage (2009) :

1. Faktor Demografi

Faktor demografi terdiri dari 3 aspek yaitu :

a. Jenis kelamin
Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan perempuan, laki-lakilah

yang banyak terserang penyakit ISPA karena mayoritas orang laki-laki

merupakan perokok dan sering berkendaraan, sehingga mereka sering

terkena polusi udara (Dharmage, 2009).

b. Usia

Anak balita dan ibu rumah tangga yang lebih banyak terserang

penyakit ISPA. Hal ini disebabkan karena banyaknmya ibu rumah tangga

yang memasak sambil menggendong anaknya (Dharmage, 2009).

c. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh

dalam kesehatan, karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas

kesehatan serta pengetahuan yang kurang di masyarakat akan gejala dan

upaya penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPA yang datang

kesarana pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat karena kurang

mengerti bagaimana cara serta pencegahan agar tidak mudah terserang

penyakit ISPA (Dharmage, 2009).

2. Faktor Biologis
Faktor biologis terdiri dari 2 aspek yaitu (Notoatmodjo, 2010)

a. Status gizi

Menjaga status gizi yang baik, sebenarnya bisa juga mencegah atau

terhindar dari penyakit terutama penyakit ISPA. Misal dengan

mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna dan memperbanyak minum

air putih, olah raga yang teratur serta istirahat yang cukup. Karena dengan

tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh akan semakin menigkat, sehingga
dapat mencegah virus ( bakteri) yang akan masuk kedalam tubuh

(Notoatmodjo, 2010).

b. Faktor rumah

Syarat-syarat rumah yang sehat (Suhandayani, 2007):

1) Bahan bangunan

a) Lantai : Ubin atau semen adalah baik. Syarat yang penting disini

adalah tdak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada

musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak

berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian

dipadatkan dengan benda-benda yang berat, dan dilakukan berkali-

kali. Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit

gangguan pernapasan (Suhandayani, 2007).

b) Dinding : Tembok adalah baik, namun disamping mahal tembok

sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih bila

ventilasinya tidak cukup. Dinding rumah di daerah tropis

khususnya di pedesaan lebih baik dinding atau papan. Sebab

meskipun jendela tidak cukup, maka lubang-lubang pada dinding


atau papan tersebut dapat merupakan ventilasi, dan dapat

menambah penerangan alamiah (Suhandayani, 2007).

c) Atap Genteng : Atap genteng adalah umum dipakai baik di daerah

perkotaan maupun pedesaan. Disamping atap genteng cocok untuk

daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan bahkan

masyarakat dapat membuatnya sendiri. Namun demikian, banyak

masyarakat pedesaan yang tidak mampu untuk itu, maka atap daun

rumbai atau daun kelapa pun dapat dipertahankan. Atap seng


ataupun asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, di samping

mahal juga menimbulkan suhu panas didalam rumah

(Suhandayani, 2007).

d) Lain-lain (tiang, kaso dan reng): Kayu untuk tiang, bambu untuk

kaso dan reng adalah umum di pedesaan. Menurut pengalaman

bahan-bahan ini tahan lama. Tapi perlu diperhatikan bahwa

lubanglubang bambu merupakan sarang tikus yang baik. Untuk

menghindari ini cara memotongnya barus menurut ruas-ruas

bambu tersebut, maka lubang pada ujung-ujung bambu yang

digunakan untuk kaso tersebut ditutup dengan kayu (Suhandayani,

2007).

2) Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah

untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar.

Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni

rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan

O2 (oksigen) didalam rumah yang berarti kadar CO2 (karbondioksida)


yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Tidak

cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam

ruangan naik karena terjadinya proses penguapan dari kulit dan

penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk

bakteri-bakteri, patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit)

(Suhandayani, 2007).
3) Cahaya

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan

tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk kedalam ruangan

rumah, terutama cahaya matahari di samping kurang nyaman, juga

merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan

berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya

didalam rumah akan menyebabkan silau, dam akhirnya dapat

merusakan mata (Suhandayani, 2007).

3. Faktor Polusi

Adapun penyebab dari faktor polusi terdiri dari 2 aspek yaitu

(Lamsidi, 2003) :

a. Cerobong asap

Cerobong asap sering kita jumpai diperusahaan atau pabrik-pabrik

industri yang dibuat menjulang tinggi ke atas (vertikal). Cerobong tersebut

dibuat agar asap bisa keluar ke atas terbawa oleh angin. Cerobong asap

sebaiknya dibuat horizontal tidak lagi vertikal, sebab gas (asap) yang

dibuang melalui cerobong horizontal dan dialirkan ke bak air akan mudah
larut. Setelah larut debu halus dan asap mudah dipisahkan, sementara air

yang asam bisa dinetralkan oleh media Treated Natural Zeolid (TNZ)

yang sekaligus bisa menyerap racun dan logam berat. Langkah tersebut

dilakukan supaya tidak akan ada lagi pencemaran udara, apalagi hujan

asam. Cerobong asap juga bisa berasal dari polusi rumah tangga, polusi

rumah tangga dapat dihasilkan oleh bahan bakar untuk memasak, bahan

bakar untuk memasak yang paling banyak menyebabkan asap adalah

bahan bakar kayu atau sejenisnya seperti arang (Lamsidi, 2003).


b. Kebiasaan merokok

Satu batang rokok dibakar maka akan mengelurkan sekitar 4.000 bahan

kimia seperti nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen

cianida, ammonia, acrolein, acetilen, benzol dehide, urethane, methanol,

conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresorperyline dan lainnya, sehingga di

bahan kimia tersebut akan beresiko terserang ISPA (Lamsidi, 2003).

D. Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan

dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin, 2008):

1. Golongan Umur Kurang 2 Bulan

a. Pneumonia Berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian

bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2

bulan yaitu 6x per menit atau lebih (Muttaqin, 2008).

b. Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah

atau napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan,
yaitu:

1) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang

dari ½ volume yang biasa diminum)

2) Kejang

3) Kesadaran menurun

4) Stridor

5) Wheezing

6) Demam / dingin (Muttaqin, 2008).


2. Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun

a. Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian

bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak

harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta) (Muttaqin,

2008).

b. Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:

1) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih

2) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih (Muttaqin, 2008).

c. Bukan Pneumonia

1) Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun

yaitu:

a) Tidak bisa minum

b) Kejang

c) Kesadaran menurun
d) Stridor

e) Gizi buruk (Muttaqin, 2008).

Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :

1. ISPA ringan

Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala

batuk, pilek dan sesak (DepKes, 2002).


2. ISPA sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari

39 C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok (DepKes, 2002).

3. ISPA berat

Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba,

nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah

(DepKes, 2002).

E. Manifestasi Klinik

ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran

pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradanga dan edema mukosa,

kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare

(Muttaqin, 2008).

Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing, malaise

(lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya),

gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi

suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada

gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian (Nelson,

2003)

Sedangkan tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :

1. Gejala dari ISPA Ringan

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu

atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

a. Batuk

b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal pada

waktu berbicara atau menangis).


c. Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.

d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C atau jika dahi anak diraba

(DepKes, 2002).

2. Gejala dari ISPA Sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala

dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

a. Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari

satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu

tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung

jumlah tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan

arloji.

b. Suhu lebih dari 390 C (diukur dengan termometer).

c. Tenggorokan berwarna merah.

d. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.

e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

f. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).

g. Pernafasan berbunyi menciut-ciut (DepKes, 2002).

3. Gejala dari ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-

gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai

berikut:

a. Bibir atau kulit membiru.

b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas.

c. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.

d. Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah.


e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.

f. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.

g. Tenggorokan berwarna merah (DepKes, 2002).

F. Patofisiologi

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan

tubuh.Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang

terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah

faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring.Jika refleks tersebut

gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan

(Muttaqin, 2008)

Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk

kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan

aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga

terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal.Rangsangan cairan yang

berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA

yang paling menonjol adalah batuk (Muttaqin, 2008).

Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder


bakteri.Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang

merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri

sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan

atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus

menyerang mukosa yang rusak tersebut (Muttaqin, 2008).

Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak

dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga

menyebabkan batuk yang produktif.Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya


fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi.Suatu laporan penelitian menyebutkan

bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat

menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Muttaqin, 2008).

Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat

yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa

menyebar ke saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa

menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya

ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat

menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Muttaqin, 2008).

Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek

imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas

yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik

pada umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan

limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas

berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada saluran nafas atas sedangkan

IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat

berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas (Muttaqin, 2008).


Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi

empat tahap, yaitu:

1. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum

menunjukkan reaksi apa-apa.

2. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh

menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang

sudah rendah.
3. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala

demam dan batuk.

4. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna,

sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat

pneumonia (Muttaqin, 2008).

G. Komplikasi

Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh sendiri

5-6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lainnya. Komplikasi yang dapat terjadi adalah

sinusitis paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyebaran infeksi .

1. Sinusitis paranasal

Komplikasi ini hanya terjadi pada anak besar karena pada bayi dan

anak kecil sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih besar,

nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya didaerah sinus

frontalis dan maksilaris. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan foto

rontgen dan transiluminasi pada anak besar (Notoatmodjo, 2010).

Proses s

inusitis sering menjadi kronik dengan gejala malaise, cepat lelah dan
sukar berkonsentrasi (pada anak besar). Kadang-kadang disertai sumbatan

hidung, nyeri kepala hilang timbul, bersin yang terus menerus disertai secret

purulen dapat unilateral ataupun bilateral.Bila didapatkan pernafasan mulut

yang menetap dan rangsang faring yang menetap tanpa sebab yang jelas perlu

yang dipikirkan terjadinya komplikasi sinusitis.Sinusitis paranasal ini dapat

diobati dengan memberikan antibiotik (Notoatmodjo, 2010).


2. Penutupan tuba eusthachii

Tuba eusthachii yang buntu memberi gejala tuli dan infeksi dapat

menembus langsung kedaerah telinga tengah dan menyebabkan otitis media

akut (OMA).Gejala OMA pada anak kecil dan bayi dapat disertai suhu badan

yang tinggi (hiperpireksia) kadang menyebabkan kejang demam

(Notoatmodjo, 2010).

Anak sangat gelisah, terlihat nyeri bila kepala digoyangkan atau

memegang telinganya yang nyeri (pada bayi juga dapat diketahui dengan

menekan telinganya dan biasanya bayi akan menangis keras). Kadang-kadang

hanya ditemui gejala demam, gelisah, juga disertai muntah atau diare. Karena

bayi yang menderita batuk pilek sering menderita infeksi pada telinga tengah

sehingga menyebabkan terjadinya OMA dan sering menyebabkan kejang

demam, maka bayi perlu dikonsul kebagian THT. Biasanya bayi dilakukan

parsentesis jika setelah 48-72 jam diberikan antibiotika keadaan tidak

membaik. Parasentesis (penusukan selaput telinga) dimaksudkan mencegah

membran timpani pecah sendiri dan terjadi otitis media perforata (OMP)

(Notoatmodjo, 2010).
Faktor-faktor OMP yang sering dijumpai pada bayi dan anak adalah :

a. Tuba eustachii pendek, lebar dan lurus hingga merintangi penyaluran

sekret.

b. Posisi bayi anak yang selalu terlentang selalu memudahkan perembesan

infeksi juga merintangi penyaluran sekret.

c. Hipertrofi kelenjar limfoid nasofaring akibat infeksi telinga tengah walau

jarang dapat berlanjut menjadi mastoiditis atau ke syaraf pusat

(meningitis) (Notoatmodjo, 2010).


3. Penyebaran infeksi

Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring kearah bawah

seperti laryngitis, trakeitis, bronkiis dan bronkopneumonia.Selain itu dapat

pula terjadi komplikasi jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta

(Notoatmodjo, 2010)

H. Pemeriksaan Penunjang

1. EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san

kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial.

Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard

menunjukkan adanya aneurime ventricular. EKG dapat mengungkapkan

adanya takikardi, hipertrofi bilik jantung dan iskemik( jika disebabkan oleh

AMI).

2. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam

fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.

3. Scan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan

dinding.

4. Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu


membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau

insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan

kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan

kontrktilitas.

5. Foto thorak dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, edema atau

efusi fleura yang menegaskan diagnisa CHF.

6. Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga

hasil hemodilusi darah dari adanya kelebihan retensi air (Nursalam, 2008)
I. Penatalaksanaan

Obat –obat yang digunakan antara lain :

1. Antagonis kalsium, untuk memperbaiki relaksasi miokard dan menimbulkan

vasodilatasi koroner.

2. Beta bloker, untuk mengatasi takikardia dan memperbaiki pengisian ventrikel.

3. Diuretika, untuk gagal jantung disertai udem paru akibat disfungsi diastolik.

Bila tanda udem paru sudah hilang, maka pemberian diuretika harus hati-hati

agar jangan sampai terjadi hipovolemia dimana pengisian ventrikel berkurang

sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun.

4. Pemberian antagonis kalsium dan beta bloker harus diperhatikan karena

keduanya dapat menurunkan kontraktilitas miokard sehingga memperberat

kegagalan jantung.

5. Dukungan diet : Pembatasan Natrium untuk mencegah, mengontrol, atau

menghilangkan edema (Muttaqin, 2008).


BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Identitas Pasien

Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, tanggal

masuk RS, tanggal pengkajian, no. MR, diagnosa medis, nama orang tua,

umur orang tua, pekerjaan, agama, alamat, dan lain-lain (Muttaqin, 2008).
2. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat penyakit sekarang

Biasanya klien mengalami demam mendadak, sakit kepala, badan

lemah, nyeri otot dan sendi, nafsu makan menurun, batuk,pilek dan sakit

tenggorokan.

b. Riwayat penyakit dahulu

Biasanya klien sebelumnya sudah pernah mengalami penyakit ini

c. Riwayat penyakit keluarga

Menurut anggota keluarga ada juga yang pernah mengalami sakit

seperti penyakit klien tersebut.

d. Riwayat sosial

Klien mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan yang berdebu

dan padat penduduknya (Muttaqin, 2008).

3. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan Umum : Bagaimana keadaan klien, apakah letih, lemah atau sakit

berat.

b. Tanda vital
c. Kepala : Bagaimana kebersihan kulit kepala, rambut serta bentuk kepala,

apakah ada kelainan atau lesi pada kepala

d. Wajah : Bagaimana bentuk wajah, kulit wajah pucat/tidak.

e. Mata : Bagaimana bentuk mata, keadaan konjungtiva anemis/tidak, sclera

ikterik/ tidak, keadaan pupil, palpebra dan apakah ada gangguan dalam

penglihatan

f. Hidung : Bentuk hidung, keadaan bersih/tidak, ada/tidak sekret pada

hidung serta cairan yang keluar, ada sinus/ tidak dan apakah ada gangguan

dalam penciuman

g. Mulut : Bentuk mulut, membran membran mukosa kering/ lembab, lidah

kotor/ tidak, apakah ada kemerahan/ tidak pada lidah, apakah ada

gangguan dalam menelan, apakah ada kesulitan dalam berbicara.

h. Leher : Apakah terjadi pembengkakan kelenjar tyroid, apakah ditemukan

distensi vena jugularis

i. Thoraks : Bagaimana bentuk dada, simetris/tidak, kaji pola pernafasan,

apakah ada wheezing, apakah ada gangguan dalam pernafasan (Muttaqin,

2008).
Pemeriksaan Fisik Difokuskan Pada Pengkajian Sistem Pernafasan

a. Inspeksi

1) Membran mukosa- faring tamppak kemerahan

2) Tonsil tampak kemerahan dan edema

3) Tampak batuk tidak produktif

4) Tidak ada jaringan parut dan leher

5) Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, pernafasan

cuping hidung (Muttaqin, 2008).


b. Palpasi

1) Adanya demam

2) Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher/nyeri

tekan pada nodus limfe servikalis

3) Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid (Muttaqin, 2008).

c. Perkusi

1) Suara paru normal (resonance) (Muttaqin, 2008).

d. Auskultasi

1) Suara nafas terdengar ronchi pada kedua sisi paru

2) Abdomen : Bagaimana bentuk abdomen, turgor kulit kering/ tidak,

apakah terdapat nyeri tekan pada abdomen, apakah perut terasa

kembung, lakukan pemeriksaan bising usus, apakah terjadi

peningkatan bising usus/tidak.

3) Genitalia : Bagaimana bentuk alat kelamin, distribusi rambut kelamin,

warna rambut kelamin. Pada laki-laki lihat keadaan penis, apakah ada

kelainan/tidak. Pada wanita lihat keadaan labia minora, biasanya labia

minora tertutup oleh labia mayora.


4) Integumen : Kaji warna kulit, integritas kulit utuh/tidak, turgor kulit

kering/ tidak, apakah ada nyeri tekan pada kulit, apakah kulit teraba

panas.

5) Ekstremitas atas : Adakah terjadi tremor atau tidak, kelemahan fisik,

nyeri otot serta kelainan bentuk (Muttaqin, 2008).

B. Diagnosa Keperawatan

1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.


2. Nyeri telan berhubungan dengan inflamasi pada membran mukosa faring dan

tonsil.

3. Kebersihan jalan napas inefektif b/d peningkatan produksi sekret

4. Resiko penularan infeksi (Khaidir:2008)

C. Intervensi Keperawatan

1. Dx I: Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.

Tujuan: suhu tubuh kembali normal (36⁰c-37,5⁰c)

Kriteria hasil: pasien mengatakan suhu tubuhnya tidak panas lagi.

Intervensi:

a. Observasi tanda-tanda vital

R/ Pemantauan TTV yang teratur dapat menentukan perkembangan

selanjutnya.

b. Anjurkan kepada keluarga klien untuk melakukan kompres hangat pada

aksila atau dahi.

R/ dengan memberikan kompres hangat maka akan terjadi evaporasi /

penguapan, sehingga panasnya akan berkurang.

c. Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan yang dapat
menyerap keringat, seperti yang terbuat dari katun.

R/ untuk mempercepat evaporasi atau penguapan.

d. Atur sirkulasi udarah

R/ penyediaan udara bersih.

e. Anjurkan klien untuk minum air hangat ± 2000-2500 ml/hari.

R/ kebutuhan cairan meningkat karena proses penguapan tubuh

meningkat.

f. Anjurkan klien untuk istirahat di tempat tidur selama feblis penyakit.


R/: tirah baring untuk mengurangi metabolisme dan panas.

g. Pemberian terapi obat-obatan anti mikroba.

Antipiretik

R/: untuk mengontrol infeksi dan menurunkan panas (Doenges,

Moorhouse, & Geissler, 2014).

2. Dx II: Nyeri akut b/d inflamasi pada membran mukosa faring dan tonsil.

Tujuan: nyeri berkurang / terkontrol

Kriteria hasil: pasien tampak rileks

Intervensi:

a. Teliti keluhan nyeri, catat intensitas (dengan skala 0-10) faktor

memperburuk atau meledakan lokasinya, lamanya dan karakteristiknya.

R/: identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan

merupakan suatu hal yang erat penting untuk memilih intervensi-

intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi

yang diberikan.

b. Pantau TTV.

R/: perubahan frekuensi jantung atau TD menunjukan bahwa pasien


mengalami nyeri.

c. Kaji pernyataan verbal dan non verbal nyeri pasien.

R/: ketidaksesuaian antara petunjuk verbal/non verbal dapat memberikan

petunjuk derajat nyeri, kebutuhan/keefektifan interfensi.

d. Dorong pasien menyatakan perasaan tentang nyeri.

R/: takut/masalah dapat meningkan tegangan otot dan menurunkan

ambang persepsi nyeri.


e. Anjurkan klien untuk menghindari alergen / iritan terhadap debu, bahan

kimia asap rokok dan mengistirahatkan / meminimalkan berbicra bila

secara serak.

R/: mengurangi bertambah beratnya penyakit.

f. Anjurkan klien untuk melakukan kumur air garam hangat.

R/: peningkatan sirkulasi pada daerah tenggorokan serta mengurangi nyeri

tenggorokan.

g. Berikan obat sesuai indikasi:

-analgesik

R/: analgetik untuk mengurangi nyeri (Doenges et al., 2014).

3. Dx III: Kebersihan jalan napas inefektif b/d peningkatan produksi sekret

Tujuan: jalan napas bersih dan normal.

Kriteria hasil: klien dapat bernapas dengan normal.

Intervensi:

a. kaji frekuensi pernapasan dengan gerak dada.

R/: Penurunan bunyi dapat menunjukan atelektasis, ronchi, mengi dan

pula menunjukan akumulasi sekret atau ketidak mampuan untuk


membersihkan jalan napas.

b. Lakukan auskultasi area paru dan bunyi paru

R/: mendengar bunyi ronchi

c. Obsevasi penurunan ekspansi dinding dada dan adanya /peningkatan

fremitus.

R/: ekspansi dada terbatas atau tak sama sehubungan dengan cairan,

edema dan sekret.


d. Pertahankan posisi tubuh/ kepala tepat dan gunakan alat jalan napas sesuai

kebutuhan.

R/: memudahkan memilihara jalan napas.

e. Lakukan cluping dan fibrasi

R/: membantu pengembangan paru sehingga memudahkan pengeluaran

sekret.

f. Anjurkan kepada keluarga klien untuk memperhatikan kebersihan klien

dan hindarkan klien dari debu.

R/: agar terhindar dari kuman-kuman yang menyebabkan timbulnya

penyakit tersebut.

g. Pemberian terapi antibiotik.

R/: untuk mempercepat proses penyembuhan (Doenges et al., 2014).

4. Dx V: Resiko penularan infeksi b/d tidak kuatnya pertahanan sekunder

(adanya infeksi penekanan imun)

Tujuan: tidak terjadi penularan dan komplikasi

Kriteria hasil: tidak terjadi komplikasi berlanjut terhadap pasien

Intervensi:
a. Batasi pengunjung.

R/: menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius.

b. Jaga keseimbangan antara istirahat dan aktivitas

R/: menurunkan komsumsi atau kebutuhan keseimbangan o₂ dan

memperbaiki pertahanan klien terhadap infeksi meningkatkan

penyembuhan.

c. Tutup mulut dan hidung jika bersin, jika di tutup dengan tisu buang segera

di tempat sampah.
R/: mencegaah penyebaran patogen melalui cairan.

d. Observasi warna, karakter, bau sputum.

R/: sekret berbau, kuning atau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.

e. Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.

R/: malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan

tahanan terhadap infeksi.

f. Pemberian obat sesuai dengan hasil kultur.

R/: dapat di berikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan

kultur dan sensitifitas / di berikan secara profilaktik karena resiko tinggi

(Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2014).


DAFTAR PUSTAKA

DepKes. (2002). Pedoman Pemberantasan Penyakit Saluran Pernafasan Akut.


Jakarta: Depkes RI.
Dharmage. (2009). Risk Factor of Acute Lower Tract Infection In Children Under
FiveYears of Age. Medical Public Health.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2014). Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Lamsidi, A. (2003). Hubungan Kondisi Kesehatan Lingkungan Prmondokan Dengan
Kejadian IPA di Pondok Pesantren Sabilal Muhtadin Desa Jaya Karet
Kecamatan Mentaya Hilir Selatan Propinsi Kalimantan Tengah.
Muttaqin. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Nelson. (2003). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, S. (2010). Mmetologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep dan Perawatan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Pedoman Skripsi Tesis dan Instrumen Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Suhandayani. (2007). Infeksi Saluran Pernafasan Akut dan Penanggulangannya.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Graaff, V. D. (2010). Human Anatomy, Ten Edition. New York: McGraw-Hill
Copanies.
Pearce, E. C. (2007). Anantomy dan Fisiology untuk paramedis. Jakarta: EGC.
Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:
EGC.

You might also like